Potensi Interaksi Obat Antidiabetes pada Pasien Rawat Inap Diabetes Melitus Tipe 2 Di RSUD Dr. Pirngadi Medan Juli-Desember 2014
PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2015
POTENSI INTERAKSI OBAT ANTIDIABETES
PADA PASIEN RAWAT INAP DIABETES MELITUS TIPE 2
DI RSUD DR. PIRNGADI MEDAN JULI-DESEMBER 2014
SKRIPSI
OLEH:
Ovilia Della Prativi
NIM 131524039
(2)
PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2015
POTENSI INTERAKSI OBAT ANTIDIABETES
PADA PASIEN RAWAT INAP DIABETES MELITUS TIPE 2
DI RSUD DR. PIRNGADI MEDAN JULI-DESEMBER 2014
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara
OLEH:
OVILIA DELLA PRATIVI
NIM 131524039
(3)
PENGESAHAN SKRIPSI
POTENSI INTERAKSI OBAT ANTIDIABETES
PADA PASIEN RAWAT INAP DIABETES MELITUS TIPE 2
DI RSUD DR. PIRNGADI MEDAN JULI-DESEMBER 2014
OLEH:
OVILIA DELLA PRATIVI NIM 131524039
Disetujui oleh:
Dipertahankan dihadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara
Pada Tanggal: 12 November 2015
Pem bimbing I Panitia Penguji,
Hari Ronaldo Tanjung, S.Si., M.Sc., Apt. NIP 197803142005011002
Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt NIP 195103261978022001
Pembimbing II,
Khairunnisa, S.Si, M.Pharm, Ph.D., Apt. NIP 197802152008122001
Hari Ronaldo Tanjung, S.Si., M.Sc., Apt. NIP 197803142005011002
Drs. Saiful Bahri, M.S., Apt.
NIP 195208241983031001
Aminah Dalimunthe, S.Si., M.Si., Apt. NIP 197806032005012004
Medan, November 2015 Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara Pejabat Dekan,
Dr. Masfria, M.S., Apt. NIP 195707231986012001 Pembimbing I,
(4)
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
karunia yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan
judul “Potensi Interaksi Obat Antidiabetes pada Pasien Rawat Inap Diabetes
Melitus Tipe 2 Di RSUD Dr. Pirngadi Medan Juli-Desember 2014”. Skripsi ini
diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi di
Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan
terima kasih kepada Ibu Dr. Masfria, M.S., Apt. selaku Pejabat Dekan Fakultas
Farmasi USU Medan dan Ibu Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt., selaku Wakil
Dekan I Fakultas Farmasi USU Medan, yang telah menyediakan fasilitas kepada
penulis selama perkuliahan di Fakultas Farmasi. Penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada Bapak Hari Ronaldo Tanjung, S.Si., M.Sc., Apt. dan Ibu
Khairunnisa, S.Si, M.Pharm, Ph.D., Apt yang telah membimbing dan memberikan
petunjuk serta saran-saran selama penelitian hingga selesainya skripsi ini. Ibu Prof.
Dr. Rosidah, M.Si., Apt., Bapak Drs. Saiful Bahri, M.S., Apt. dan Ibu Aminah
Dalimunthe, S.Si., M.Si., Apt. selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik,
saran dan arahan kepada penulis dalam menyempurnakan skripsi ini. Bapak Dr.
Kasmirul Ramlan Sinaga, M.S., Apt. selaku penasehat akademik yang selalu
memberikan bimbingan kepada penulis selama masa perkuliahan serta Bapak dan
Ibu staf pengajar Fakultas Farmasi USU Medan yang telah mendidik selama
perkuliahan.
Penulis juga mempersembahkan rasa terima kasih yang tiada terhingga
(5)
Pramadya dan Retno Dhiah Pramesti, atas limpahan kasih sayang, do’a dan
dukungan yang tidak ternilai apapun. Penulis tak lupa mengucapkan terima kasih
kepada teman-teman yang telah banyak membantu selama penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu penulis menerima kritik dan saran demi
kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan
manfaat bagi kita semua.
Medan, November 2015 Penulis
Ovilia Della Prativi NIM 131524039
(6)
POTENSI INTERAKSI OBAT ANTIDIABETES PADA PASIEN RAWAT INAP DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RSUD DR. PIRNGADI MEDAN
JULI-DESEMBER 2014 ABSTRAK
Penyakit diabetes melitus merupakan salah satu penyakit penyebab kematian dan prevalensinya terus bertambah setiap tahunnya. Penderita diabetes melitus tipe 2 mencapai 90-95% dari keseluruhan populasi penderita diabetes dan penyakit ini merupakan penyakit degeneratif yang memerlukan penanganan seksama. Umumnya penderita diabetes menerima terapi antidiabetes kombinasi dengan terapi lainnya atau polifarmasi sehingga berpotensi terjadi interaksi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil penggunaan, frekuensi, jenis obat antidiabetes, mekanisme, tingkat keparahan yang berpotensi untuk berinteraksi pada pasien diabetes melitus tipe 2 serta melihat hubungan usia dan jumlah obat dengan kejadian potensi interaksi obat antidiabetes.
Metode penelitian ini adalah deskriptif dilakukan dengan survey secara retrospektif. Penelitian dilakukan di RSUD Dr. Pirngadi Medan dengan menggunakan rekam medik pasien rawat inap diabetes melitus tipe 2 pada bulan Juli-Desember 2014 yang memenuhi kriteria inklusi. Analisa data dilakukan secara deskriptif dan menggunakan uji Chi Square pada program IBM SPSS 20.
Hasil penelitian menunjukkan dari 90 rekam medik ditemukan kejadian potensi interaksi obat sebesar 68,90%, obat antidiabetes yang berpotensi interaksi adalah insulin aspart (38,40%), metformin 30%, dan insulin detemir 20,80%, mekanisme potensi tertinggi adalah farmakodinamik (72%), potensi dengan tingkat keparahan terbanyak adalah moderate (82,40%), serta tidak ada hubungan antara usia dengan kejadian potensi interaksi (p=0,215) dan adanya hubungan yang signifikan antara jumlah obat dan kejadian potensi interaksi obat (p=0,000). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat potensi interaksi antidiabetes pada pasien rawat inap diabetes melitus tipe 2 di RSUD Dr. Pirngadi Medan Juli-Desember 2014.
Kata kunci: potensi interaksi obat antidiabetes, diabetes melitus tipe 2, RSUD Dr.
(7)
POTENTIAL ANTIDIABETIC DRUG INTERACTION AMONG INPATIENTS WITH TYPE 2 DIABETES MELLITUS IN DR. PIRNGADI MEDAN HOSPITAL JULY-DECEMBER 2014
ABSTRACT
Diabetes mellitus is one of the leading causes of death, and its prevalence increases every year. Type 2 diabetes mellitus patients reach 90-95% of all diabetic population and the disease is a degenerative disease that requires careful handling. Generally, people with diabetes receive antidiabetic therapy in combination with other therapies or polypharmacy that potentially interact.
This study aims to determine the profile drug use, frequency, type of antidiabetic drugs, mechanisms, severity that potentially to interact in patients with type 2 diabetes mellitus and determine the correlation of age and amount of drugs with the incidence of potential antidiabetic drug interactions.
This research method is descriptive survey conducted by the retrospective approach. The study was conducted at Dr. Pirngadi Medan Hospital using medical records of inpatients with type 2 diabetes mellitus in July-December 2014 that fulfilled the inclusion criteria. The data were analyzed descriptively by using Chi Square test on IBM SPSS 20 program.
The results showed of 90 medical records found the incidence of potential drug interactions amounted 68.90%, antidiabetic drug interaction that could potentially interact was insulin aspart (38.40%), metformin (30%), and insulin detemir (20.80%), the highest potential mechanism interaction was pharmacodynamic (72%), with the highest potential severity was moderate (82.40%), there was no correlation between age and incidence of potential interactions (p = 0.215) and there was a significant relationship between the number of drugs and the incidence of potential drug interaction (p = 0.000). Based on the description above it can be concluded that the potential antidiabetic drug interaction in inpatients with type 2 diabetes mellitus in Dr. Pirngadi Medan hospital July-December 2014 exist.
Keywords: potential interactions of antidiabetic drug, type 2 diabetes mellitus,
(8)
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Kerangka Pikir Penelitian ... 4
1.3 Perumusan Masalah ... 5
1.4 Hipotesis ... 6
1.5 Tujuan Penelitian ... 6
1.6 Manfaat penelitian ... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8
2.1 Interaksi Obat ... 8
2.1.1 Definisi Interaksi Obat ... 8
2.1.2 Mekanisme Interaksi Obat ... 9
(9)
2.2 Diabetes Melitus ... 16
2.2.1 Klasifikasi Diabetes Melitus ... 16
2.2.2 Diagnosis Diabetes Melitus ... 18
2.2.3 Penatalaksanaan Diabetes Melitus Tipe 2 ... 22
BAB III METODE PENELITIAN ... 30
3.1 Jenis Penelitian ... 30
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 30
3.2.1 Lokasi Penelitian ... 30
3.2.2 Waktu Penelitian ... 30
3.3 Populasi dan Sampel ... 31
3.3.1 Populasi ... 31
3.3.2 Sampel ... 31
3.4 Definisi Operasional ... 32
3.5 Instrumen Penelitian ... 34
3.5.1 Sumber Data ... 34
3.5.2 Teknik Pengumpulan Data ... 34
3.6 Analisis Data ... 35
3.7 Bagan Alur Penelitian ... 36
3.8 Prosedur Penelitian ... 36
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38
4.1 Karakteristik Umum Subjek Penelitian ... 38
4.1.1 Usia ... 38
(10)
4.2 Profil Penggunaan Obat Antidiabetes pada Pasien Rawat Inap Diabetes Melitus Tipe 2 di RSUD Dr. Pirngadi
Medan Juli-Desember 2014 ... 40
4.3 Persentase Frekuensi Potensi Interaksi Obat Antidiabetes Subjek Penelitian ... 41
4.3.1 Kriteria Usia ... 41
4.3.2 Kriteria Jumlah Obat ... 42
4.4 Gambaran Kejadian Potensi Interaksi Obat Antidiabetes Subjek Penelitian ... 43
4.4.1 Obat Antidiabetes yang Sering Mengalami Potensi Interaksi pada Subjek Penelitian ... 43
4.4.2 Mekanisme Potensi Interaksi Obat Antidiabetes pada Subjek Penelitian ... 47
4.4.3 T i n g k a t K e p a r a h a n P o t e n s i I n t e r a k s i O b a t Antidiabetes pada Subjek Penelitian ... 50
4.5 Hubungan Karakteristik Subjek P enelitian dengan Kejadian Potensi Interaksi Obat Antidiabetes ... 53
4.5.1 Faktor Usia ... 53
4.5.2 Faktor Jumlah Obat ... 54
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 56
5.1 Kesimpulan ... 56
5.2 Saran ... 56
DAFTAR PUSTAKA ... 58
(11)
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1.1 Skema kerangka pikir ... 5
2.1 Terapi antihiperglikemik pada pasien DM tipe 2:
rekomendasi umum ... 29
3.1 Bagan alur penelitian potensi interaksi obat antidiabetes pada pasien rawat inap diabetes melitus tipe 2 di RSUD
Dr. Pirngadi Medan Juli-Desember 2014 ... 36
4.1 Hubungan usia dengan potensi interaksi obat ... 54
(12)
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
4.1 Karakteristik subjek penelitian jenis kelamin dan usia ... 38
4.2 Karakteristik subjek penelitian jumlah obat ... 39
4.3 Persentase tingkat penggunaan obat antidiabetes pasien rawat inap diabetes melitus tipe 2 di RSUD Dr. Pirngadi Medan Juli-Desember 2014 ... 40
4.4 Persentase potensi interaksi obat antidiabetes pada subjek
penelitian dengan kriteria usia ... 41
4.5 Persentase potensi interaksi obat antidiabetes pada subjek
penelitian dengan kriteria jumlah obat ... 42
4.6 Jenis kejadian potensi interaksi obat antidiabetes pada subjek
Penelitian ... 44
4.7 Obat antidiabetes yang memiliki potensi interaksi pada subjek
penelitian... 45
4.8 Mekanisme potensi interaksi pada jenis kejadian potensi interaksi antidiabetes pada subjek penelitian ... 47
4.9 Persentase mekanisme potensi interaksi obat antidiabetes pada
subjek penelitian ... 48
4.10 Tingkat keparahan pada jenis kejadian potensi interaksi obat
antidiabetes pada subjek penelitian ... 50
4.11 Tingkat keparahan potensi interaksi obat pada subjek penelitian 51
4.12 Frekuensi potensi interaksi obat antidiabetes berdasarkan usia ... 53
4.13 Frekuensi potensi interaksi obat antidiabetes berdasarkan jumlah
(13)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Hasil analisis hubungan beberapa variabel bebas terhadap potensi interaksi obat antidiabetes dengan menggunakan
analisis Chi Square pada program IBM SPSS 20 ... 62
2. Data potensi interaksi obat antidiabetes pada pasien rawat inap diabetes melitus tipe 2 di RSUD Dr. Pirngadi Medan Juli-Desember 2014 ... 65
3. Resep pada rekam medik ... 75
4. Surat izin penelitian ... 76
(14)
POTENSI INTERAKSI OBAT ANTIDIABETES PADA PASIEN RAWAT INAP DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RSUD DR. PIRNGADI MEDAN
JULI-DESEMBER 2014 ABSTRAK
Penyakit diabetes melitus merupakan salah satu penyakit penyebab kematian dan prevalensinya terus bertambah setiap tahunnya. Penderita diabetes melitus tipe 2 mencapai 90-95% dari keseluruhan populasi penderita diabetes dan penyakit ini merupakan penyakit degeneratif yang memerlukan penanganan seksama. Umumnya penderita diabetes menerima terapi antidiabetes kombinasi dengan terapi lainnya atau polifarmasi sehingga berpotensi terjadi interaksi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil penggunaan, frekuensi, jenis obat antidiabetes, mekanisme, tingkat keparahan yang berpotensi untuk berinteraksi pada pasien diabetes melitus tipe 2 serta melihat hubungan usia dan jumlah obat dengan kejadian potensi interaksi obat antidiabetes.
Metode penelitian ini adalah deskriptif dilakukan dengan survey secara retrospektif. Penelitian dilakukan di RSUD Dr. Pirngadi Medan dengan menggunakan rekam medik pasien rawat inap diabetes melitus tipe 2 pada bulan Juli-Desember 2014 yang memenuhi kriteria inklusi. Analisa data dilakukan secara deskriptif dan menggunakan uji Chi Square pada program IBM SPSS 20.
Hasil penelitian menunjukkan dari 90 rekam medik ditemukan kejadian potensi interaksi obat sebesar 68,90%, obat antidiabetes yang berpotensi interaksi adalah insulin aspart (38,40%), metformin 30%, dan insulin detemir 20,80%, mekanisme potensi tertinggi adalah farmakodinamik (72%), potensi dengan tingkat keparahan terbanyak adalah moderate (82,40%), serta tidak ada hubungan antara usia dengan kejadian potensi interaksi (p=0,215) dan adanya hubungan yang signifikan antara jumlah obat dan kejadian potensi interaksi obat (p=0,000). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat potensi interaksi antidiabetes pada pasien rawat inap diabetes melitus tipe 2 di RSUD Dr. Pirngadi Medan Juli-Desember 2014.
Kata kunci: potensi interaksi obat antidiabetes, diabetes melitus tipe 2, RSUD Dr.
(15)
POTENTIAL ANTIDIABETIC DRUG INTERACTION AMONG INPATIENTS WITH TYPE 2 DIABETES MELLITUS IN DR. PIRNGADI MEDAN HOSPITAL JULY-DECEMBER 2014
ABSTRACT
Diabetes mellitus is one of the leading causes of death, and its prevalence increases every year. Type 2 diabetes mellitus patients reach 90-95% of all diabetic population and the disease is a degenerative disease that requires careful handling. Generally, people with diabetes receive antidiabetic therapy in combination with other therapies or polypharmacy that potentially interact.
This study aims to determine the profile drug use, frequency, type of antidiabetic drugs, mechanisms, severity that potentially to interact in patients with type 2 diabetes mellitus and determine the correlation of age and amount of drugs with the incidence of potential antidiabetic drug interactions.
This research method is descriptive survey conducted by the retrospective approach. The study was conducted at Dr. Pirngadi Medan Hospital using medical records of inpatients with type 2 diabetes mellitus in July-December 2014 that fulfilled the inclusion criteria. The data were analyzed descriptively by using Chi Square test on IBM SPSS 20 program.
The results showed of 90 medical records found the incidence of potential drug interactions amounted 68.90%, antidiabetic drug interaction that could potentially interact was insulin aspart (38.40%), metformin (30%), and insulin detemir (20.80%), the highest potential mechanism interaction was pharmacodynamic (72%), with the highest potential severity was moderate (82.40%), there was no correlation between age and incidence of potential interactions (p = 0.215) and there was a significant relationship between the number of drugs and the incidence of potential drug interaction (p = 0.000). Based on the description above it can be concluded that the potential antidiabetic drug interaction in inpatients with type 2 diabetes mellitus in Dr. Pirngadi Medan hospital July-December 2014 exist.
Keywords: potential interactions of antidiabetic drug, type 2 diabetes mellitus,
(16)
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit tidak menular (PTM) merupakan 63% penyebab kematian di
seluruh dunia dengan membunuh 36 juta jiwa per tahun, salah satu dari penyakit
tidak menular tersebut adalah diabetes melitus dimana 3% kematian pada tahun
2008 disebabkan oleh diabetes melitus, pada laki-laki dewasa prevalensi diabetes
adalah 9,8% dan pada wanita 9,2%, mencerminkan peningkatan dari 8,3% pada
laki-laki dan 7,5% pada wanita pada tahun 1980. Jumlah penderita diabetes
meningkat dari 153 juta di tahun 1980 menjadi 347 juta di tahun 2008 (WHO,
2011).
Sebanyak 31 provinsi di Indonesia (93,9%) menunjukkan kenaikan
prevalensi DM yang cukup berarti. Diketahui prevalensi diabetes di Indonesia
berdasarkan wawancara tahun 2013 adalah 2,1%, angka tersebut lebih tinggi
dibanding dengan tahun 2007 (1,1%) (Kemenkes RI, 2014). Menurut laporan
WHO, Indonesia menempati urutan ke empat terbesar dari jumlah penderita
diabetes melitus dengan prevalensi 8,6% dari total penduduk sedangkan posisi
urutan diatasnya yaitu India, China dan Amerika Serikat dan WHO memprediksi
kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000
menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 (PERKENI, 2011).
Senada dengan WHO, International Diabetes Foundation (IDF) pada
tahun 2009 memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM dari 7 juta pada tahun
(17)
peningkatan jumlah penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030
(PERKENI, 2011). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (2014) dalam
Riskesdas 2013 melaporkan prevalensi diabetes melitus di Sumatera Utara pada
umur ≥ 18 tahun pada tahun 2013 berdasarkan diagnosis dokter sebesar 1,8% dan berdasarkan diagnosis dan gejala sebesar 2,3% (Kemenkes RI, 2014).
Diabetes melitus adalah kumpulan penyakit metabolik yang ditandai
dengan hiperglikemia akibat adanya gangguan sekresi insulin, kerja insulin,
ataupun keduanya. Hiperglikemia tersebut berhubungan degan kerusakan jangka
panjang, disfungsi, kegagalan, berbagai organ terutama mata, saraf, jantung, dan
pembuluh darah (ADA, 2012). Selain itu diabetes melitus merupakan faktor risiko
yang penting untuk penyakit jantung koroner (PERKENI, 2011). Diabetes melitus
tipe 2 adalah tipe diabetes yang paling banyak ditemukan dari pada diabetes
melitus tipe 1. Hal ini disebabkan banyaknya faktor resiko yang berkaitan dengan
diabetes tipe 2 tersebut seperti obesitas, gaya hidup, dan pola makan yang buruk
(Charles dan Ivar, 2011).
Penyakit diabetes melitus tipe 2 adalah penyakit seumur hidup (Yunir dan
Soebardi, 2009). Oleh karena itu, terapi pada penyakit ini tentu dilakukan seumur
hidup pula untuk menjaga agar kadar glukosa darah tetap stabil. Terapi
farmakologis dilakukan jika pengendalian glikemia masih gagal setelah dilakukan
perubahan pola hidup (Soegono, 2009). Penderita DM Tipe 2 mencapai 90-95%
dari keseluruhan populasi penderita diabetes, umumnya berusia di atas 45 tahun
(Depkes RI, 2005). Prevalensi diabetes berdasarkan diagnosis dokter dan gejala
meningkat sesuai dengan pertambahan umur, namun pada umur ≥65 tahun cenderung menurun. Angka tertinggi yakni 4,8% pada usia 55-64 tahun yang
(18)
dinyatakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (2013) dalam
Riskesdas 2013. Rata-rata penderita diabetes melitus tipe 2 berusia 65 tahun dan
ditemukan 26,7% DRP yang mana faktor terbesar yang berkontribusi adalah
polifarmasi (Ogbonna, et al., 2014). Harugeri, et al. (2010) juga menyatakan
bahwa pada usia lanjut sering terjadi polifarmasi sehingga pasien beresiko
mengalami DRP.
Drug Related Problem (DRP) adalah setiap peristiwa atau keadaan yang
melibatkan terapi obat yang menghalangi atau berpotensi menghalangi pasien
mencapai hasil yang optimal dari perawatan medis. Salah satu bentuk dari DRP
adalah interaksi obat (Parthasarathi, et al., 2005). Suatu interaksi terjadi ketika
efek suatu obat diubah oleh kehadiran obat lain, obat herbal, makanan, minuman
atau agen kimia lainnya dalam lingkungannya. Hasilnya dapat berbahaya jika
interaksi menyebabkan peningkatan toksisitas obat. (Stockley, 2008). Interaksi
obat didefinisikan oleh Mateti, et al. (2009) sebagai dua atau lebih obat
berinteraksi sedemikian rupa sehingga efektivitas atau toksisitas salah satu atau
lebih obat berubah. Rambhade, et al. (2012) menemukan bahwa polifarmasi
menyebabkan interaksi antar obat di pusat pelayanan kesehatan di Bhopal, India
tahun 2009. Sari, et. al. (2008) juga menemukan 41,69% resep obat antidiabetik
oral memiliki interaksi di rumah sakit X Depok, Indonesia.
Diabetes melitus termasuk salah satu penyakit degeneratif yang
memerlukan penanganan seksama (PERKENI, 2011). Jenis obat diabetes yang
sering digunakan adalah metformin 42,1%, sulfonylurea 30,8%, dan insulin
(19)
lansia karena penyakit berlangsung lama dan memerlukan terapi kombinasi atau
lebih dari satu obat untuk mendapatkan kontrol yang baik (Shastry, et al., 2015).
Latar belakang di atas menunjukkan bahwa pentingnya pemilihan obat
terutama pada pasien dengan diabetes melitus tipe 2 untuk mengindari atau
menurunkan terjadinya interaksi obat. Hal tersebut membuat penulis tertarik untuk
melakukan penelitian potensi interaksi obat antidiabetes pada pasien diabetes
melitus tipe 2 agar tercapai suatu keberhasilan terapi.
1.2 Kerangka Pikir Penelitian
Penelitian ini mengkaji tentang frekuensi potensi interaksi obat
antidiabetes pada pasien rawat inap diabetes melitus tipe 2 di RSUD Dr. Pirngadi
Medan, mengidentifikasi obat-obat antidiabetes yang sering berpotensi terjadi
interaksi dan mempelajari mekanisme potensi interaksi serta menentukan tingkat
keparahan potensi interaksi obat yang terjadi. Dalam hal ini karakteristik pasien
(usia) dan karakteristik obat (jumlah obat yang diterima pasien) adalah variabel
bebas (independent variable) yang merupakan faktor risiko, kejadian interaksi
obat sebagai variabel terikat (dependent variable). Adapun gambaran kerangka
(20)
Variabel Bebas Variabel Terikat Parameter Faktor
Resiko
Karakteristik Obat: -Jumlah obat
Karakteristik Pasien: -Usia pasien
Potensi Interaksi
Obat antidiabetes
Potensi Interaksi: - Frekuensi Interaksi - Mekanisme Interaksi - Jenis Obat yang
Berinteraksi - Tingkat Keparahan
Interaksi
Gambar 1.1 Skema kerangka pikir penelitian 1.3 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah pada
penelitian di RSUD Dr. Pirngadi Medan Juli-Desember 2014 adalah sebagai
berikut:
a. bagaimana profil penggunaan obat antidiabetes pada pasien rawat inap
diabetes melitus tipe 2?
b. berapakah persentase frekuensi potensi interaksi obat antidiabetes pada pasien
rawat inap diabetes melitus tipe 2?
c. obat antidiabetes, mekanisme interaksi obat antidiabetes, dan tingkat
keparahan apa saja yang sering berpotensi terjadi interaksi pada pasien rawat
inap diabetes melitus tipe 2?
d. apakah ada hubungan antara usia dengan potensi interaksi obat antidiabetes
dan juga antara jumlah obat dengan potensi interaksi obat antidiabetes pada
(21)
1.4 Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka hipotesis pada penelitian ini
adalah sebagai berikut:
a. profil penggunaan obat antidiabetes pada pasien rawat inap diabetes melitus
tipe 2 meliputi insulin, metformin.
b. persentase frekuensi potensi interaksi obat antidiabetes pada pasien rawat
inap diabetes melitus tipe 2 tinggi.
c. obat antidiabetes yang sering berpotensi terjadi interaksi adalah insulin, pola
mekanisme potensi interaksi obat antidiabetes meliputi farmakodinamik,
farmakokinetik, dan unknown, dan tingkat keparahan interaksi obat
antidiabetes yang berpotensi terjadi pasien rawat inap diabetes melitus tipe 2
meliputi major, moderate, minor.
d. ada hubungan antara usia dengan potensi interaksi obat antidiabetes dan juga
antara jumlah obat dengan potensi interaksi obat antidiabetes pada pasien
rawat inap diabetes melitus tipe 2.
1.5 Tujuan Penelitian
Berdasarkan hipotesis di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
a. mengetahui profil penggunaan obat antidiabetes pada pasien rawat inap
diabetes melitus tipe 2
b. mengetahui persentase frekuensi potensi interaksi obat antidiabetes pada
(22)
c. mengetahui jenis obat antidiabetes, mekanisme potensi interaksi, dan tingkat
keparahan yang berpotensi terjadi pada pada pasien rawat inap diabetes
melitus tipe 2.
d. mengetahui hubungan antara usia dengan potensi interaksi obat antidiabetes
dan juga antara jumlah obat dengan potensi interaksi obat antidiabetes pada
pasien rawat inap diabetes melitus tipe 2.
1.6 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
a. memberikan gambaran mengenai frekuensi potensi interaksi obat antidiabetes
pasien rawat inap diabetes melitus tipe 2.
b. memberikan gambaran tentang profil potensi interaksi obat antidiabetes
meliputi mekanisme potensi interaksi, jenis obat, dan tingkat keparahan yang
berpotensi terjadi pada pasien rawat inap diabetes melitus tipe 2.
c. sebagai landasan bagi tenaga kerja kesehatan untuk meningkatkan pelayanan
kesehatan dengan peresepan secara rasional.
d. sebagai landasan bagi pemerintah terutama profesional kesehatan untuk
membuat strategi pengobatan diabetes melitus tipe 2 sebagai upaya
peningkatkan pelayanan kesehatan sehingga tercapai penggunaan obat secara
(23)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Interaksi Obat
Di antara berbagai faktor yang mempengaruhi respon tubuh terhadap
pengobatan terdapat faktor interaksi obat. Obat dapat berinteraksi dengan
makanan, zat kimia yang masuk dari lingkungan, atau dengan obat lain.
Pengobatan dengan beberapa obat sekaligus memudahkan terjadinya interaksi
obat (Setiawati, 2013).
2.1.1 Definisi Interaksi Obat
Interaksi obat didefinisikan ketika obat bersaing satu dengan yang
lainnya, atau yang terjadi ketika satu obat hadir bersama dengan obat yang lainnya
(Stockley, 2008). Interaksi obat-obat dapat didefinisikan sebagai respon
farmakologis atau klinis terhadap kombinasi obat berbeda ketika obat-obat
tersebut diberikan tunggal (Tatro, 2009). Dua atau lebih obat yang diberikan pada
waktu yang bersamaan dapat menghasilkan efeknya secara bebas atau dapat
berinteraksi. Interaksinya bisa bersifat potensiasi atau antagonis dari satu obat
oleh obat lainnya, atau adakalanya beberapa efek lainnya (BNF, 2014).
Interaksi obat dianggap penting secara klinik bila berakibat
meningkatkan toksisitas dan atau mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi
terutama bila menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi
yang rendah), misalnya glikosida jantung, antikoagulan, dan obat-obat sitostatik
(24)
2.1.2 Mekanisme Interaksi Obat
Mekanisme interaksi obat adalah bagaimana interaksi itu muncul. Ada dua
macam mekanisme interaksi obat yakni interaksi farmakokinetik dan interaksi
farmakodinamik.
2.1.2.1 Interaksi Farmakokinetik
Interaksi farmakokinetik adalah ketika obat diberi bersamaan obat yang
satu mengubah absorpsi, distribusi, metabolisme atau ekskresi obat lain. Hal ini
paling sering diukur dengan perubahan dalam satu atau lebih parameter kinetik,
seperti konsentrasi serum puncak, area di bawah kurva, konsentrasi waktu paruh,
jumlah total obat yang diekskresikan dalam urin (Tatro, 2009). Interaksi
farmakokinetik terdiri dari beberapa tipe :
a. Interaksi pada absorbsi obat
i. Efek perubahan pH gastrointestinal
Obat melintasi membran mukosa dengan difusi pasif tergantung pada
apakah obat terdapat dalam bentuk terlarut lemak yang tidak terionkan. Absorpsi
ditentukan oleh kelarutannya dalam lemak, pH isi usus dan sejumlah parameter
yang terkait dengan formulasi obat. Sebagai contoh adalah absorpsi asam salisilat
oleh lambung lebih besar terjadi pada pH rendah daripada pada pH tinggi
(Stockley, 2008).
ii. Adsorpsi, khelasi, dan mekanisme pembentukan komplek
Arang aktif dimaksudkan bertindak sebagai agen penyerap di dalam usus
untuk pengobatan overdosis obat atau untuk menghilangkan bahan beracun
lainnya, tetapi dapat mempengaruhi penyerapan obat yang diberikan dalam dosis
(25)
contoh, antibakteri tetrasiklin dengan kalsium, bismut aluminium, dan besi,
membentuk kompleks yang kurang diserap sehingga mengurangi efek antibakteri
(Stockley, 2008).
iii. Perubahan motilitas gastrointestinal
Karena kebanyakan obat sebagian besar diserap di bagian atas usus kecil,
obat-obatan yang mengubah laju pengosongan lambung dapat mempengaruhi
absorpsi. Misalnya metoklopramid mempercepat pengosongan lambung sehingga
meningkatkan penyerapan parasetamol (asetaminofen) (Stockley, 2008).
iv. Malabsorbsi dikarenakan obat
Neomisin menyebabkan sindrom malabsorpsi dan dapat mengganggu
penyerapan sejumlah obat-obatan termasuk digoksin dan metotreksat (Stockley,
2008).
b. Interaksi pada distribusi obat
i. Interaksi ikatan protein
Setelah absorpsi, obat dengan cepat didistribusikan ke seluruh tubuh oleh
sirkulasi. Beberapa obat secara total terlarut dalam cairan plasma, banyak yang
lainnya diangkut oleh beberapa proporsi molekul dalam larutan dan sisanya terikat
dengan protein plasma, terutama albumin. Ikatan obat dengan protein plasma
bersifat reversibel, kesetimbangan dibentuk antara molekul-molekul yang terikat
dan yang tidak. Hanya molekul tidak terikat yang tetap bebas dan aktif secara
farmakologi (Stockley, 2008).
ii. Induksi dan inhibisi protein transport obat
Distribusi obat ke otak, dan beberapa organ lain seperti testis, dibatasi oleh
(26)
membawa obat keluar dari sel-sel ketika obat berdifusi secara pasif. Obat yang
termasuk inhibitor transporter dapat meningkatkan penyerapan substrat obat ke
dalam otak, yang dapat meningkatkan efek samping Central Nervous System
(CNS) (Stockley, 2008).
c. Interaksi pada metabolisme obat
i. Perubahan pada metabolisme fase pertama
Meskipun beberapa obat dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk tidak
berubah dalam urin, banyak diantaranya secara kimia diubah menjadi yang lebih
mudah diekskresikan oleh ginjal. Jika tidak demikian, banyak obat yang akan
bertahan dalam tubuh dan terus memberikan efeknya untuk waktu yang lama.
Perubahan kimia ini disebut metabolisme, biotransformasi, degradasi biokimia,
atau kadang-kadang detoksifikasi. Beberapa metabolisme obat terjadi di dalam
serum, ginjal, kulit dan usus, tetapi proporsi terbesar dilakukan oleh enzim yang
ditemukan di membran retikulum endoplasma sel-sel hati. Ada dua jenis reaksi
utama metabolisme obat. Yang pertama, reaksi tahap I (melibatkan oksidasi,
reduksi atau hidrolisis) obat-obatan menjadi senyawa yang lebih polar.
Sedangkan, reaksi tahap II melibatkan terikatnya obat dengan zat lain (misalnya
asam glukuronat, yang dikenal sebagai glukuronidasi) untuk membuat senyawa
yang tidak aktif. Mayoritas reaksi oksidasi fase I dilakukan oleh enzim sitokrom
P450 (Stockley, 2008).
ii. Induksi Enzim
Ketika barbiturat secara luas digunakan sebagai hipnotik, perlu terus
(27)
sama, alasannya bahwa barbiturat meningkatkan aktivitas enzim mikrosom
sehingga meningkatkan laju metabolisme dan ekskresinya (Stockley, 2008).
iii. Inhibisi enzim
Inhibisi enzim menyebabkan berkurangnya metabolisme obat, sehingga
obat terakumulasi di dalam tubuh. Jalur metabolisme yang paling sering dihambat
adalah fase oksidasi oleh isoenzim sitokrom P450. Signifikansi klinis dari banyak
interaksi inhibisi enzim tergantung pada sejauh mana tingkat kenaikan serum obat.
Jika serum tetap berada dalam kisaran terapeutik interaksi tidak penting secara
klinis (Stockley, 2008).
iv. Interaksi isoenzim sitokrom P450 dan obat yang diprediksi
Siklosporin dimetabolisme oleh CYP3A4, rifampisin menginduksi
isoenzim ini, sehingga tidak mengherankan bahwa rifampisin mengurangi efek
siklosporin (Stockley, 2008).
d. Interaksi pada ekskresi obat
i. Perubahan pH urin
Pada nilai pH tinggi (basa), obat yang bersifat asam lemah (pKa 3-7,5)
sebagian besar terdapat sebagai molekul terionisasi, yang tidak dapat berdifusi ke
dalam sel tubulus maka akan tetap dalam urin dan dikeluarkan dari tubuh.
Sebaliknya, basa lemah dengan nilai pKa 7,5 sampai 10,5. Dengan demikian,
perubahan pH yang meningkatkan jumlah obat dalam bentuk terionisasi
(28)
ii. Perubahan ekskresi aktif tubular renal
Obat yang menggunakan sistem transportasi aktif yang sama di tubulus
ginjal dapat bersaing satu sama lain dalam hal ekskresi. Sebagai contoh,
probenesid mengurangi ekskresi penisilin dan obat lainnya (Stockley, 2008).
iii. Perubahan aliran darah renal
Aliran darah melalui ginjal dikendalikan oleh produksi vasodilator
prostaglandin ginjal. Jika sintesis prostaglandin ini dihambat, ekskresi beberapa
obat dari ginjal dapat berkurang (Stockley, 2008).
2.1.2.2 Interaksi farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi yang mana satu obat
menginduksi perubahan respon pasien terhadap obat tanpa mengubah
farmakokinetik objek obat. Artinya, seseorang dapat melihat perubahan kerja obat
tanpa perubahan konsentrasi plasma. Interaksi farmakologis yaitu penggunaan
bersamaan dari dua atau lebih obat dengan aksi farmakologis yang sama atau
berbeda, misalnya penggunaan alkohol dengan obat anti ansietas dan hipnotik atau
antihistamin. Beberapa dokter mengatakan bahwa reaksi tersebut bukan interaksi
obat dan memang sebagian besar tanpa kecuali reaksi yang dilaporkan merugikan
(Tatro, 2009).
a. Interaksi aditif atau sinergis
Jika dua obat yang memiliki efek farmakologis yang sama diberikan
bersamaan efeknya bisa bersifat aditif. Sebagai contoh, alkohol menekan SSP, jika
diberikan dalam dosis terapi normal sejumlah besar obat (misalnya ansiolitik,
(29)
kadang efek aditif menyebabkan toksik misalnya aditif ototoksisitas,
nefrotoksisitas dan depresi sumsum tulang (Stockley, 2008).
b. Interaksi antagonis atau berlawanan
Berbeda dengan interaksi aditif, ada beberapa pasang obat dengan aktivitas
yang bertentangan satu sama lain. Misalnya efek penurunan glukosa dari
antidiabetes akan ditentang oleh kortikosteroid dengan aktivitas glukokortikoid
(hiperglikemik) dan hiperglikemia yang signifikan telah terlihat dengan
kortikosteroid sistemik. Contonnya adalah penggunaan dosis tinggi fluticasone
inhalasi dengan glibenklamid dan metformin (Stockley, 2008).
2.1.3 Tingkat keparahan interaksi obat
Tingkat keparahan interaksi sangat penting dalam menilai risiko
dibandingkan dengan manfaat terapi alternatif. Dengan penyesuaian dosis yang
tepat atau modifikasi jadwal penggunaan obat, efek negatif dari kebanyakan
interaksi dapat dihindari. Tiga derajat keparahan didefinisikan sebagai berikut:
a. Keparahan minor
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan minor jika efek yang
ditimbulkan biasanya ringan; konsekuensi mungkin mengganggu atau tidak terlalu
mencolok tapi tidak signifikan mempengaruhi hasil terapi. Pengobatan tambahan
biasanya tidak diperlukan (Tatro, 2009).
b. Keparahan moderate
Sebuah interaksi termasuk dalam keparahan moderate jika efek yang
ditimbulkan dapat menyebabkan penurunan status klinis pasien. Pengobatan
tambahan, rawat inap, atau perpanjangan perawatan di rumah sakit mungkin
(30)
c. Keparahan major
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan major jika terdapat
probabilitas yang tinggi, berpotensi mengancam jiwa atau dapat menyebabkan
kerusakan permanen (Tatro, 2009).
Profesional perawatan kesehatan perlu menyadari sumber interaksi obat
yang mengidentifikasi kedekatan dan tingkat keparahan interaksi, dan mampu
menggambarkan hasil potensi interaksi dan menyarankan intervensi yang tepat.
Hal ini juga tugas bagi profesional kesehatan untuk dapat menerapkan literatur
yang tersedia untuk setiap situasi. Profesional harus mampu untuk merekomendasi
secara individual berdasarkan parameter-pasien tertentu. Meskipun beberapa
pihak menyarankan efek samping yang dihasilkan dari interaksi obat mungkin
kurang sering daripada yang dipercaya, profesional perawatan kesehatan harus
melindungi pasien terhadap efek berbahaya dari obat-obatan, terutama ketika
interaksi tersebut dapat diantisipasi dan dicegah (Tatro, 2009).
Strategi pelaksanaan interaksi obat meliputi (Fradgley, 2003):
a. Menghindari kombinasi obat yang berinteraksi
Jika risiko interaksi pemakaian obat lebih besar daripada manfaatnya maka
harus dipertimbangkan untuk memakai obat pengganti. Pemilihan obat pengganti
tergantung pada apakah interaksi obat tersebut merupakan interaksi yang
berkaitan dengan kelas obat tersebut atau merupakan efek obat yang spesifik.
b. Penyesuaian dosis obat
Jika interaksi obat meningkatkan atau menurunkan efek obat maka perlu
(31)
kenaikan atau penurunan efek obat tersebut. Penyesuaian dosis diperlukan pada
saat mulai atau menghentikan penggunaan obat yang berinteraksi.
c. Pemantauan pasien
Jika kombinasi yang saling berinteraksi diberikan, maka diperlukan
pemantauan pasien. Keputusan untuk memantau atau tidak tergantung pada
berbagai faktor, seperti karakteristik pasien, penyakit lain yang diderita pasien,
waktu mulai menggunakan obat yang menyebabkan interaksi dan waktu
timbulnya reaksi interaksi obat.
d. Melanjutkan pengobatan seperti sebelumnya
Jika interaksi obat tidak bermakna klinis atau jika kombinasi obat yang
berinteraksi tersebut merupakan pengobatan optimal, pengobatan pasien dapat
diteruskan.
2.2 Diabetes Melitus
Diabetes melitus (DM) adalah suatu penyakit atau gangguan metabolisme
kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa darah
disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai
akibat insufisiensi fungsi insulin (Depkes RI, 2005).
2.2.1 Klasifikasi Diabetes Melitus
Menurut American Diabetes Association (2015), terdapat 4 klasifikasi
diabetes melitus, yaitu:
a. Diabetes melitus tipe 1
Diabetes melitus tipe 1 sebelumnya disebut dengan istilah diabetes
(32)
kanak-kanak atau remaja (juvenile-onset diabetes) (ADA, 2015). Walaupun
bentuk diabetes ini biasanya muncul pada anak-anak dan remaja, ini juga dapat
muncul pada usia berapa saja. (Triplitt, et al., 2008).
Kasus DM tipe 1 berkisar antara 5-10% dari seluruh populasi penderita
diabetes. Diabetes tipe ini terjadi dikarenakan destruksi autoimun dari sel β pankreas. Namun beberapa bentuk diabetes tipe 1 tidak diketahui etiologinya
(idiophatic diabetes). Pasien dengan diabetes bentuk ini memiliki insulinopenia
permanen dan cenderung terjadi ketoasidosis episodik dan menunjukkan berbagai
tingkat defisiensi insulin antara episodenya. Tidak ada bukti dari autoimunitas
untuk bentuk diabetes ini dan kurangnya bukti mengenai imunologi autoimunitas
sel β. Diabetes tipe ini biasanya diturunkan dan insulin mutlak dibutuhkan oleh penderita diabetes tipe ini (ADA, 2015).
b. Diabetes melitus tipe 2
Diabetes melitus tipe 2 sebelumnya dikenal dengan istilah diabetes yang
tidak tergantung insulin (non-insulin-dependent diabetes) atau diabetes yang
muncul setelah dewasa (adult-onset) (ADA, 2015). Penderita DM tipe 2 mencapai
sekitar 90-95% dari seluruh populasi penderita diabetes (Depkes RI, 2005).
Diabetes jenis ini dikarakterisasi oleh resistensi insulin dan berkurangnya
sensitivitas insulin. Timbulnya DM tipe 2 dikaitkan dengan pola gaya hidup yang
buruk, seperti: kurangnya olahraga, obesitas, dan diet tinggi lemak dan rendah
serat (Triplitt, et al., 2008).
c. Diabetes Melitus Gestasional (Gestational Diabetes Mellitus/GDM)
Diabetes melitus gestasional adalah intoleransi glukosa yang timbul
(33)
diklasifiksikan memiliki diabetes tipe 2. GDM adalah diabetes yang didiagnosa
pada trimester kedua atau ketiga kehamilan yang tidak jelas-jelas diabetes. (ADA,
2015). Sekitar 7% dari seluruh wanita hamil menderita GDM. Deteksi klinis
penting sebagai terapi untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas perinatal
(Triplitt, et al., 2008)
d. Diabetes tipe spesifik
Tipe spesifik diabetes dikarenakan oleh penyebab lain seperti sindrom
monogenik diabetes (seperti neonatal diabetes dan maturity-onset diabetes of the
young {MODY}), penyakit eksokrin pankreas (seperti fibrosis sistik), dan obat
atau bahan kimia yang menginduksi diabetes (seperti pada pengobatan HIV/AIDS
atau setelah transplantasi organ) (ADA, 2015).
2.2.2 Diagnosis Diabetes Melitus
Diagnosis Diabetes melitus (DM) harus didasarkan atas pemeriksaan
konsentrasi glukosa darah. Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan
asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk
diagnosis dapat digunakan darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler dengan
memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan
oleh WHO. Untuk pemantauan hasil pengobatan dapat diperiksa glukosa darah
kapiler. Uji diagnostik DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan
gejala/tanda DM. (Purnamasari, 2009).
PERKENI (2011) menjelaskan diagnosis DM dilakukan jika terdapat
gejala klasik DM seperti poliuria, polidipsi, polifagia, dan penurunan berat badan
(34)
a. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.
b. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126mg/dL
c. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO
≥200mg/dL (11,1 mmol/L) TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang
dilarutkan ke dalam air. Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih
sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan gukosa plasma puasa,
namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit
dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakuakan karena
membutuhkan persiapan khusus.
d. Pemeriksaan HbA1c (≥6,5%) oleh ADA (2015) sudah dimasukkan menjadi salah satu kriteria diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium
yang telah terstandardisasi dengan baik.
Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik akan menimbulkan komplikasi
akut dan kronis. Menurut PERKENI (2011) komplikasi DM dapat dibagi menjadi
dua kategori, yaitu :
a. Komplikasi akut
i. Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah kadar glukosa darah seseorang di bawah nilai normal
(<50 mg/dl). Gejala umum hipoglikemia adalah pusing, lemas, gemetar,
pandangan berkunang-kunang, pitam (pandangan menjadi gelap), keluar keringat
dingin, detak jantung meningkat, sampai hilang kesadaran. Apabila tidak segera
(35)
yang terlalu rendah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan energi
sehingga tidak berfungsi bahkan dapat mengalami kerusakan (Depkes RI, 2005).
ii. Ketoasidosis Diabetik
Hiperglikemia adalah apabila kadar gula darah meningkat secara tiba-tiba.
Gejala hiperglikemia adalah poliuria, polidipsia, polifagia, kelelahan yang parah,
dan pandangan kabur. Hiperglikemia yang berlangsung lama dapat berkembang
menjadi keadaan metabolisme yang berbahaya, antara lain ketoasidosis diabetik
(Depkes RI, 2005). Ketoasidosis diabetik adalah keadaan dekompensasi-
kekacauan metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis,
terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif (Soewondo, 2009).
Kebutuhan tubuh terpenuhi setelah sel lemak pecah dan membentuk senyawa
keton, keton akan terbawa dalam urin dan dapat dicium baunya saat bernafas.
Akibat akhir adalah darah menjadi asam, jaringan tubuh rusak, tak sadarkan diri
dan mengalami koma (Utami dan Tim Lentera, 2003).
iii. Koma Hiperosmoler Non Ketotik (KHNK)
Hiperglikemia yang berlangsung lama juga dapat berkembang menjadi
Koma Hiperosmoler Non Ketotik (KHNK) (Depkes RI, 2005). Sindrom KHNK
ditandai oleh hiperglikemia, hiperosmolar tanpa adanya ketosis. Gejala klinis
utamanya adalah dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan seringkali disertai
gangguan neurologis dengan atau tanpa adanya ketosis. Perjalanan klinis KHNK
biasanya berlangsung dalam jangka waktu tertentu (beberapa hari sampai
beberapa minggu), dengan gejala khas meningkatnya rasa haus disertai poliuri,
polidipsi, dan penurunan berat badan. Koma hanya ditemukan kurang dari 10%
(36)
iv. Kemolakto Asidosis/Asidosis Laktat
Kemolakto asidosis/asidosis laktat terjadi akibat peningkatan konsentrasi
asam laktat darah, yang disebabkan gangguan perfusi dan hipoksemia. Tingginya
konsentrasi asam laktat dapat dipakai sebagai prediktor kegagalan metabolise
karbohidrat dan berat penyakikit/kematian (Seowondo dan Hendarto, 2009).
Gejala yang muncul biasanya berupa stupor hingga koma. Pemeriksaan gula darah
biasanya hanya menunjukkan hiperglikemia ringan (glukosa darah dapat normal
atau sedikit turun) (Utami dan Tim Lentera, 2003).
b. Komplikasi kronis
i. Komplikasi makrovaskuler
Tiga jenis komplikasi makrovaskuler yang umum berkembang pada
penderita DM adalah penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh darah dan otak,
dan penyakit pembuluh darah perifer. Walaupun komplikasi makrovaskuler dapat
juga terjadi pada DM tipe 1, namun yang lebih sering merasakan komplikasi
makrovaskuler ini adalah penderita DM tipe 2 yang umumnya menderita
hipertensi, dislipidemia dan/atau kegemukan. Kombinasi dari penyakit-penyakit
makrovaskuler dikenal dengan berbagai nama antara lain Insulin Resistance
Syndrome, Hyperinsulinemic Syndrome, Syndrome X (Depkes RI, 2005).
ii. Komplikasi mikrovaskuler
Komplikasi mikrovaskuler terutama terjadi pada penderita DM tipe 1.
Hiperglikemia yang persisten dan pembentukan protein yang terglikasi (termasuk
HbA1c) menyebabkan dinding pembuluh darah semakin lemah dan menyebabkan
(37)
komplikasi-komplikasi mikrovaskuler seperti retinopati, nefropati, dan neuropati
(Depkes RI, 2005).
2.2.3 Penatalaksanaan Diabetes Melitus
Penatalaksanaan diabetes menurut (Depkes RI, 2005) memiliki tujuan
akhir untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas DM, yang secara spesifik
ditujukan untuk mencapai 2 target utama, yaitu:
a. Menjaga agar kadar glukosa plasma berada pada kisaran normal
b. Mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi diabetes
2.2.3.1 Terapi Non Farmakologi a. Pengaturan diet
Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan diabetes.
Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam
hal karbohidrat, protein dan lemak. Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan,
status gizi, umur, stress akut dan kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan
untuk mencapai dan mempertahankan berat badan ideal. Penurunan berat
badan telah dibuktikan dapat mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki
respon sel-sel β terhadap stimulus glukosa. Selain jumlah kalori, pilihan jenis bahan makanan dan masukan serat juga sebaiknya diperhatikan (Depkes RI,
2005).
b. Olahraga
Berolahraga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula
darah tetap normal. Prinsipnya, tidak perlu olahraga berat, olahraga ringan asal
(38)
Beberapa contoh olahraga yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi,
bersepeda, berenang, dan lain sebagainya. Olahraga akan memperbanyak jumlah
dan juga meningkatkan penggunaan glukosa (Depkes RI, 2005).
2.2.3.2 Terapi Farmakologi
Apabila penatalaksaan terapi obat (pengaturan diet dan olahraga) belum
berhasil mengendalikan kadar glukosa darah penderita, maka perlu dilakukan
langkah berikutnya berupa penatalaksaan terapi obat, baik dalam bentuk terapi
obat hipoglikemik oral, terapi insulin, atau kombinasi keduanya.
a. Insulin
Insulin merupakan protein kecil yang mengandung 51 asam amino
tersusun dalam 2 rantai (A dan B) yang dihubungkan oleh jembatan disulfida.
Insulin dilepaskan dari sel β pankreas dengan laju basal yang rendah dan dengan laju yang jauh lebih tinggi bila terstimulasi sebagai respon terhadap berbagai
rangsangan, terutama glukosa. Insulin meningkatkan simpanan lemak dan glukosa
di dalam sel target khusus dan mepengaruhi pertumbuhan sel dan fungsi
metabolik berbagai jaringan (Nolte dan Karam, 2012).
Sediaan insulin yang beredar di pasaran mengandung hanya peptida aktif
insulin. Ada empat jenis sediaan insulin injeksi antara lain:
i. Insulin kerja ultra pendek (rapid acting Insulin),
Insulin kerja ultra pendek mempuyai daya absorpsi pada tempat suntikan
lebih cepat (90% dalam 100 menit) dibandingkan dengan insulin regular (90%
dalam 150 menit). Onset kerja lebih cepat, puncak konsentrasi lebih tinggi dan
lebih dini, serta lama kerja lebih singkat (Deliana, et al., 2007). Contohnya insulin
(39)
5-6 jam. Insulin lispro dengan onset 15-30 menit dan masa kerja maksimum 4-6
jam (Triplitt, et al., 2008).
ii. Insulin kerja pendek (short acting insulin)
Potensi dan efek hipoglikemia insulin kerja pendek atau insulin regular,
hampir sama dengan insulin kerja ultra pendek. Selain dapat diberikan subkutan,
insulin regular adalah insulin yang dapat diberikan secara intra vena, oleh karena
itu insulin ini biasa dipakai untuk mengatasi keadaan akut seperti ketoasidosis,
pasien baru, dan tindakan bedah (Deliana, et al., 2007). Contohnya adalah insulin
regular yang memiliki onset 0,5-1 jam dengan masa kerja maksimum 6-8 jam
(Triplitt, et al., 2008).
iii. Insulin kerja menengah (intermediate insulin)
Insulin kerja menengah mempunyai onset yang lambat dan masa kerja
yang panjang tetapi masih kurang dari 24 jam. Insulin jenis ini dapat digunakan
dua kali sehari (Deliana, et al., 2007). Contohnya adalah insulin NPH (Neutral
Protamine Hagedorn) dengan onset 2-4 jam dan masa kerja maksimum 14-18 jam
(Triplitt, et al., 2008).
iv. Insulin kerja panjang (long acting insulin)
Mengingat masa kerja yang panjang, maka pemakaian insulin ini cukup
diberikan satu kali dalam satu hari. Penggunaan insulin kerja panjang secara
bermakna mengurangi kejadian hipoglikemia pada malam hari (nocturnal
hypoglycemia). Penggunaan insulin ini juga secara bermakna dapat menurunkan
kadar HbA1c serta frekuensi terjadinya hipoglikemia (Deliana, et al., 2007).
(40)
24 jam. Kemudian insulin glargine dengan onset 4-5 jam dan masa kerja
maksimum 24 jam (Triplitt, et al., 2008).
b. Obat Antidiabetik Oral
i. Golongan Sulfonilurea
Sulfonilurea digunakan sebagai salah satu terapi pada DM tipe 2 karena
dapat menstimulasi sekresi insulin. Mekanisme sekresi insulin terjadi karena
sulfonilurea dapat berikatan dengan subunit SUR1 pada kanal kalium yang
sensitif ATP (k-ATP) di sel β pankreas sehingga dapat menginduksi terjadinya penutupan kanal k-ATP. Penutupan kanal tersebut menyebabkan depolarisasi
membran sel β pankreas sehingga kanal Ca2+
yang sensitif tegangan terbuka dan
terjadi influks kalsium. Peningkatan kalsium intraseluler menstimulasi eksositosis
pelepasan granul insulin dan meningkatkan sekresi insulin (Triplitt, et al., 2008).
Obat yang termasuk dalam golongan ini, yaitu glibenklamid, gliklazid,
glipizid, glikuidon, dan glimepirid. Efek samping obat golongan ini yang sering
terjadi, yaitu hipoglikemia dan peningkatan berat badan (Triplitt, et al., 2008).
ii. Golongan Biguanida
Golongan ini yang tersedia adalah metformin, metformin meningkatkan
sensitivitas insulin baik pada hati dan jaringan perifer. Metformin juga menekan
nafsu makan hingga berat badan tidak meningkat, sehingga layak diberikan pada
penderita yang overweight. Efek samping dari baguanida adalah gangguan
gastrointestinal meliputi diare dan rasa tidak nyaman pada perut (Triplitt, et al.,
(41)
iii. Golongan Tiazolidindion
Golongan obat baru ini memiliki kegiatan farmakologis yang luas dan
berupa penurunan kadar glukosa dan insulin dengan jalan meningkatkan kepekaan
bagi insulin dari otot, jaringan lemak dan hati, sebagai efeknya penyerapan
glukosa ke dalam jaringan lemak dan otot meningkat. Contoh: Pioglitazone,
Rosiglitazone (Triplitt, et al., 2008).
iv. Golongan Inhibitor Alfa Glukosidase
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim glukosidase
alfa di dalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan hiperglikemia
postprandrial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak menyebabkan
hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin. Contoh: Acarbose
dan Miglitol (Triplitt, et al., 2008).
v. Golongan DPP 4 Inhibitor
Penghambat Dipeptidyl Peptidase 4 (DPP-4) menghambat kerja DPP-4
dalam menguraikan inkretin. Penghambat DPP-4 juga bekerja seperti GLP-1
(Glucagon like Peptide-1) yaitu menstimulasi insulin dan menghambat sekresi
glukagon, namun penghambat DPP-4 tidak menghambat pengosongan lambung.
Contoh penghambat DPP-4 adalah sitagliptin dan vildagliptin. Penghambat DPP-4
memiliki waktu paruh yang panjang kecuali Vildagliptin. Efek samping yang
sering terjadi pada penggunaan Penghambat DPP-4 adalah diare, mual, muntah
(42)
vi. Inhibitor ko-transporter natrium-glukosa 2 (Sodium-Glucose cotransporter
2 inhibitor/SGLT 2)
Inhibitor SGLT 2 menghadirkan penurunan glukosa tidak bergantung
insulin dengan memblok reabsorpsi glukosa di tubulus proksimal ginjal dengan
menginhibisi SGLT 2. Agen ini menghadirkan penurunan berat badan sedang dan
penurunan tekanan darah. Contohnya adalah canagliflozin, depagliflozin,
empagliflozin. Obat ini meningkatkan glukosuria, sehingga efek samping yang
dapat timbul adalah infeksi genitourinary, poliuria, hipotensi, pusing, peningkatan
LDL-C dan peningkatan kreatinin (sementara) (ADA, 2015).
2.2.3.3 Algoritma Penatalaksanaan Diabetes Melitus Tipe 2
American Diabetes Association (2015) telah mengeluarkan algoritma
penatalaksanaan DM tipe 2 dengan tahapan sebagai berikut:
a. Tahap 1
Kebanyakan pasien harus memulai dengan perubahan gaya hidup
(konseling gaya hidup, edukasi penurunan berat badan, olahraga, dll.). Apabila
perubahan gaya hidup saja tidak cukup untuk mempertahankan tujuan glikemik,
monoterapi metformin harus ditambahkan apabila tidak intoleransi dan
dikontraindikasikan. Metformin adalah agen farmakologis awal yang lebih disukai
untuk DM tipe 2.
b. Tahap 2
Apabila target HbA1C tidak tercapai dalam 3 bulan dengan monoterapi,
metformin dapat digunakan kombinasi dengan salah satu dari agen berikut:
Sulfonilurea, Thiazolidindion, inhibitor DPP-4, agonis reseptor GLP-1,
(43)
pada variasi pasien, penyakit, karakteristik obat, dengan sasaran menurunkan
KGD dan meminimalisir efek samping, terutama hipoglikemia. Obat golongan
lain tidak ditampilkan pada Gambar 2.1 misalnya α-glukosidase inhibitor, kolesevelam, bromokriptin, pramlintide karena biasa digunakan pada keadaan
spesifik, tetapi tidak diutamakan disebabkan efikasinya sederhana, frekuensi
pemberian, dan/atau efek sampingnya. Mulai terapi dengan kombinasi saat
HbA1C ≥9%. c. Tahap 3
DM tipe 2 merupakan penyakit degeneratif yang semakin lama akan
semakin parah dikarenakan progres alaminya sehingga terapi insulin akhirnya
banyak diindikasikan untuk pasien ini. Pertimbangan terapi kombinasi dengan
insulin dimulai saat KGD ≥300-350mg/dL (16,7-19,4 mmol/L) dan/atau HbA1C
≥10-12%. Insulin basal sendiri adalah regimen insulin awal yang cocok. Insulin basal biasanya diresepkan dengan metformin dan kemungkinan dengan satu
tambahan agen noninsulin. Apabila insulin basal yang telah dititrasi untuk KGD
puasa dapat diterima, tetapi kadar HbA1C masih diatas target, kombinasi terapi
injeksi dapat dipertimbangkan untuk dimulai guna menangani fluktuasi glukosa
postprandial. Pilihan menambahkan agonis reseptor GLP1-1 atau insulin saat
makan, yang terdiri dari satu sampai tiga injeksi analog insulin kerja ultra pendek
(lispro, aspart, glulisine) dapat diberikan saat sebelum makan. Atau juga dapat
menggunakan insulin campuran (formulasi NPH-regular premixed 70/30, 70/30
asprat mix). Alternatif terapi “basal-bolus” dengan multipel injeksi harian (insulin pump) jarang digunakan dan relatif lebih mahal.
(44)
Pemilihan agen farmakologis didasarkan pada individu dan pertimbangan
seperti efikasi, biaya, efek samping yang potensial, resiko hipoglikemia, dan
preferensi pasien.
Gambar 2.1Terapi antihiperglikemik pada pasien DM tipe 2: rekomendasi umum. Keterangan: DPP-4-i, inhibitor DPP-4; fx, fraktur; GI, gastrointestinal; GLP-1-RA, reseptor agonis GLP-1; GU, genitourinari; HF, heart failure (gagal jantung); Hipo, hipoglikemia; SGLT2-i, inhibitor SGLT 2; SU, sulfonilurea; TZD, thiazolidindion. * Pertimbangkan memulai tahap ini saat A1C ≥9%.
** Pertimbangkan mulai tahap ini saat KGD ≥300 -350 mg/dL (16,7-19,4 mmol/L) dan/atau A1C ≥10-12%, terutama apabila tanda atau ciri katabolik muncul (penurunan berat badan, ketosis), dalam hal ini insulin basal + insulin waktu
(45)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif
dilakukan dengan survei. Menurut Travers (1978) yang dikutip oleh Sevilla, et al.
(2007) penelitian deskriptif merupakan rancangan penelitian yang digunakan
untuk mengumpulkan informasi dari kondisi yang ada. Dalam hal ini penelitian
dilakukan dengan menggunakan data sekunder pasien penderita diabetes melitus
tipe 2 yang memenuhi kriteria inklusi dengan pendekatan secara retrospektif,
dalam hal ini adalah rekam medik dan laporan pemakaian obat pasien rawat inap
diabetes melitus di RSUD Dr. Pirngadi Medan Juli-Desember 2014.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di RSUD Dr. Pirngadi Medan yang berlokasi di Jl.
Prof. H. M. Yamin, SH No. 47 Medan. Lokasi ini dipilih karena berdasarkan
pertimbangan RSUD Dr. Pirngadi Medan merupakan rumah sakit rujukan dan
merupakan rumah sakit kelas B.
3.2.2 Waktu Penelitian
Pengambilan dan pengumpulan data dilakukan pada bulan Maret 2015
(46)
= 3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi
Populasi adalah kumpulan dari keseluruhan pengukuran, objek, atau
individu yang akan dikaji yang menjadi fokus perhatian suatu kajian (Harinaldi,
2005). Populasi dalam penelitian ini adalah data rekam medik pasien rawat inap
diabetes melitus tipe 2 di RSUD Dr. Pirngadi Medan Juli-Desember 2014.
Populasi target diperoleh dari rekam medik pasien rawat inap diabetes melitus tipe
2 di RSUD Dr. Pirngadi Medan Juli-Desember 2014 sejumlah 840.
3.3.2 Sampel
Sampel merupakan sebagian, atau subset (himpunan bagian), dari suatu
populasi (Harinaldi, 2005). Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
data rekam medik pasien rawat inap diabetes melitus tipe 2 di RSUD Dr. Pirngadi
Medan Juli-Desember 2014 yang memenuhi kriteria inklusi. Sampel diambil
secara acak sederhana dihitung berdasarkan rumus sampel minimal Slovin.
Rumus sampel minimal Slovin merupakan salah satu metode yang digunakan
untuk menentukan jumlah sampel minimal yang diambil bila diketahui jumlah
populasinya (Sevilla, 2007).
Rumus sampel minimal Slovin sebagai berikut:
N
n = 1 + N(e)²
840 n =
1 + 840. (0,1)
840 1 + 840(0,01)
840
= 1 + 8,4 = 840 9,4 = 89,36 Keterangan:
n : Jumlah Sampel
N : Jumlah Populasi (840)
(47)
Dengan jumlah populasi sebesar 840 dan batas toleransi kesalahan 10%
maka diperoeh besar sampel minimal 89,36.
Sampel yang dipilih harus memenuhi kriteria inklusi .
Kriteria inklusi:
a. rekam medik atau laporan pemakaian obat pasien yang dirawat di instalasi
rawat inap RSUD Dr. Pirngadi Medan dengan diagnosis penyakit diabetes
melitus tipe 2 pada bulan Juli-Desember 2014.
b. data rekam medik pasien lengkap, memuat: data pasien (nama, jenis kelamin,
usia, tanggal masuk rumah sakit), diagnosis penyakit, data penggunaan obat
antidiabetes.
c. kategori semua gender dan usia.
d. mendapat terapi ≥ 2 obat. Kriteria eksklusi:
a. Data rekam medik pasien lengkap tetapi tidak dapat dibaca.
3.4 Definisi Operasional
a. subyek penelitian adalah rekam medik atau laporan pemakaian obat pasien
rawat inap dengan diagnosis penyakit diabetes melitus tipe 2 di RSUD Dr.
Pirngadi Medan Juli-Desember 2014.
b. penyakit diabetes melitus tipe 2 adalah suatu kumpulan gejala klinis
(sindroma klinis) yang timbul oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa
darah kronis akibat kekurangan insulin maupun menurunnya kepekaan
(48)
c. rekam medik adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang
identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain
kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan.
d. data laporan pemakaian obat per pasien adalah berkas yang berisikan data
tentang pemakaian obat pada pasien rawat inap dengan diagnosis diabetes
melitus tipe 2 yang dirawat inap di RSUD Dr. Pirngadi Medan pada periode
Juli-Desember 2014.
e. periode pengamatan adalah suatu rentang waktu untuk menentukan besarnya
insidensi pada periode tersebut.
f. potensi interaksi obat antidiabetes adalah potensi obat antidiabetes dengan
obat antidiabetes atau dengan obat lain untuk berinteraksi sedemikian rupa
sehingga efektivitas atau toksisitas salah satu atau lebih obat berubah.
g. persentase kejadian potensi interaksi antidiabetes adalah persentase potensi
interaksi obat antidiabetes yang ditemukan pada subjek penilitian.
h. usia subjek dihitung sejak tahun lahir sampai dengan ulang tahun terakhir,
kelompok usia ditentukan menjadi tahun, 25-34 tahun, 35-44 tahun, 45-54
tahun, 55- 64 tahun, 65-74 tahun, dan ≥75 tahun.
i. jenis obat adalah obat antidiabetes yang berpotensi interaksi.
j. mekanisme interaksi adalah bagaimana interaksi obat terjadi apakah secara
farmakokinetik, farmakodinamik atau unknown.
k. tingkat keparahan interaksi obat adalah minor, moderate, atau major.
l. interaksi farmakokinetik adalah salah satu obat mengubah tingkat absorpsi,
(49)
m. interaksi farmakodinamik adalah interaksi dimana suatu obat menginduksi
perubahan respon pasien terhadap obat lain tanpa mengubah farmakokinetik
obat lain.
n. unknown adalah kejadian interaksi obat yang telah tercatat dalam literatur
tetapi mekanisme interaksinya belum diketahui secara jelas.
o. tingkat keparahan minor memiliki efek ringan, kemungkinan dapat
mengganggu tetapi seharusnya tidak secara signifikan mempengaruhi hasil
terapi. Pengobatan tambahan biasanya tidak diperlukan.
p. tingkat keparahan moderate menyebabkan penurunan status klinis pasien.
Pengobatan tambahan, rawat inap, atau diperpanjang dirawat di rumah sakit
mungkin diperlukan.
q. Tingkat keparahan major secara potensial mengancam jiwa atau dapat
menyebabkan kerusakan permanen.
3.5 Instrumen Penelitian 3.5.1 Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini yaitu rekam medik dari pasien rawat inap
diabetes melitus tipe 2 di RSUD Dr. Pirngadi Medan Juli-Desember 2014.
3.5.2 Teknik Pengumpulan Data
Berdasarkan buku registrasi dapat diketahui jumlah populasi penelitian,
dari populasi, ditentukan sampel yang memenuhi kriteria inklusi, rekam medik
sampel yang telah ditetapkan kemudian dikumpulkan. Pemindahan data yang
diperlukan dari tiap rekam medik dipindahkan ke lembar pengumpulan data.
(50)
retrospective yaitu berupa pengamatan atau gambaran mengenai subjek penelitian
yang meneliti data kebelakang. Data yang dikumpulkan merupakan data resep
pengobatan dari rekam medik pasien rawat inap diabetes melitus tipe 2 di RSUD
Dr. Pirngadi Medan Juli -Desember 2014 berdasarkan jenis kelamin, Usia,
diagnosis penyakit, jumlah obat per pasien, jenis obat di RSUD Dr. Pirngadi
Medan. Data interaksi obat antidiabetes yang diambil dari data obat yang
diberikan pada pasien dari awal masuk hingga keluar rumah sakit, dimana pada
resep terdapat obat antidiabetes, jika terdapat keberulangan resep maka diambil
satu jenis.
3.6 Analisis Data
Evaluasi data interaksi obat antidiabetes dilakukan secara teoritik
berdasarkan studi literatur seperti buku Drug Interaction Fact, drug interaction
checker medscape interaction checker webmd interaction checker drugs.com
data deskriptif meliputi persentase frekuensi potensi interaksi obat antidiabetes
secara keseluruhan, mekanisme potensi interaksi obat baik yang mengikuti
mekanisme interaksi farmakokinetik, farmakodinamik, dan unknown, serta
ditentukan jenis-jenis obat antidiabetes yang sering berpotensi terjadi interaksi dan
potensi tingkat keparahannya. Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan
program Microsoft Excel 2007, kemudian disajikan dalam bentuk tabel.
Hubungan variabel penelitian dianalisis dengan metode Chi Square menggunakan
(51)
3.7 Bagan Alur Penelitian
Dalam penelitian ini, terdapat beberapa proses sebelum pada akhirnya data
disajikan. Proses penyajian data tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.1.
Rekam Medik Pasien Rawat Inap Diabetes Melitus Tipe 2 Juli-Desember 2014
Rekam Medik Pasien Rawat Inap Diabetes Melitus Tipe 2 yang mendapat obat antdiabetes
Potensi Interaksi Obat Antidiabetes
Profil Penggunaan Obat Antidiabetes
Karakteristik Subjek Penelitian
Tidak Ada Potensi Interaksi
Ada Potensi Interaksi
Analisis Data
- Jenis Kelamin - Usia
- Jumlah Obat
Persentase Potensi Interaksi
Obat yang Sering Berpotensi
Mekanisme Potensi Interaksi
Tingkat Keparahan
Potensi Interaksi
Penarikan Kesimpulan
Gambar 3.1 Bagan alur penelitian potensi interaksi obat antidiabetes pada pasien rawat inap diabetes melitus tipe 2 di RSUD Dr. Pirngadi Medan Juli-Desember 2014.
3.8 Prosedur Penelitian
Adapun cara kerja dalam penelitian ini sebagai berikut:
a. Pengurusan izin
Meminta izin dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara untuk
(52)
Utama RSUD Dr. Pirngadi Medan untuk mendapatkan izin penelitian dan
pengambilan data, dengan membawa surat rekomendasi dari fakultas.
b. Survei awal
Proses survei ini dimulai dari observasi laporan di Sub Bagian Rekam
Medik untuk kasus-kasus dengan diagnosis diabetes melitus tipe 2 di RSUD Dr.
Pirngadi Juli-Desember 2014. Dari data Sub Bagian Rekam Medik digunakan
untuk mengumpulkan rekam medik pasien.
c. Pembuatan lembar pengumpulan data
Pembuatan lembar pengumpulan data ini bertujuan untuk memudahkan
pengumpulan data dari rekam medik. Lembar pengumpulan data berisikan: no
rekam medik, nama pasien, umur pasien, jenis kelamin, tanggal masuk rumah
sakit, tanggal keluar rumah sakit, diagnosis, data obat yang digunakan.
d. Pelaksanaan pengambilan data
Proses pengambilan data dilakukan dengan cara mencatat data-data yang
dibutuhkan dari rekam medik dan laporan pemakaian obat per pasien yang telah
meemnuhi kriteria inklusi ke lembar pengumpul data.
e. Analisis Data
Menganalisis data yang diperoleh sehingga didapatkan kesimpulan dari
(53)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pengamatan rekam medik pada pasien rawat inap
diabetes melitus tipe 2 periode Juli-Desember 2014 yang memenuhi kriteria
inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi diperoleh 90 rekam medik yang
terdapat 165 resep.
4.1 Karakteristik Umum Subjek Penelitian 4.1.1 Usia
Berdasarkan sampel yang diambil dari 90 rekam medik (165 resep) yang
menggunakan obat antidiabetes dalam resepnya, diperoleh gambaran umum
karakteristik subjek yang dominan antara lain 56,67% perempuan; 41,11% usia
55-64 tahun. Karakteristik umum subjek mengenai usia dan jenis kelamin yang
diteliti secara garis besar ditunjukkan pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Karakteristik subjek penelitian jenis kelamin dan usia
Karakteristik Subjek Jumlah RM (n=90) %
Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan
39 51
43,33 56,67 Usia
25-34 35-44 45-54 55-64 65-74
≥75
1 7 22 37 20 3
1,11 7,78 24,45 41,11 22,22 3,33
Data di atas menunjukkan bahwa penderita diabetes melitus tipe 2
dominan banyak diderita oleh pasien dengan rentang usia 55-64 tahun. Riskesdas
(2013) juga melaporkan bahwa penyakit diabetes dominan pada usia 55-64 tahun
(54)
Kekenusa, et al. (2006) juga menunjukkan bahwa pasien diabetes melitus tipe 2
didominasi kelompok usia ≥45 tahun. Usia ≥45 tahun memiliki resiko 8 kali lebih besar terkena penyakit diabetes melitus tipe 2 dibandingkan usia <45 tahun. Hal
ini dapat terjadi karena pada lansia terjadi perubahan fisik dan penurunan fungsi
tubuh yang mempengaruhi kemampuan fisik dan menurunkan kekebalan tubuh,
serta proses metabolisme yang menurun yang tidak diimbangi dengan peningkatan
aktivitas fisik (Maryam, et al., 2008).
4.1.2 Jumlah Obat
Berdasarkan sampel yang berjumlah 90 rekam medik (165 resep) yang
menggunakan obat antidiabetes dalam resepnya, diperoleh 88,48% jumlah obat
dalam resep yakni ≥5.
Tabel 4.2 Karakteristik subjek penelitian jumlah obat
Karakteristik Subjek Jumlah Resep (n=165) %
Jumlah Obat <5
≥5 146 19
11,52 88,48
Data di atas menunjukkan bahwa peresepan ≥5 obat memiliki persentase yang tinggi yakni 88,48% pada pasien diabetes melitus tipe 2. Penelitian yang
dilakukan oleh Mayasari (2013) menunjukkan bahwa pada pasien diabetes lebih
dari 50% menerima obat ≥5. Hal ini dapat terjadi karena pada penderita diabetes melitus tipe 2 terjadi resistensi insulin dan sekresi insulin yang semakin rendah
dari waktu ke waktu. Kebanyakan individu dengan diabetes tipe 2 menunjukkan
sindrom resistensi insulin atau sindrom metabolik. Karena kelainan ini, pasien
dengan diabetes tipe 2 beresiko mengalami komplikasi (Triplitt, et al., 2008). Hal
(55)
memerlukan terapi kombinasi untuk mendapatkan kontrol yang baik (Shastry, et
al., 2015).
4.2 Profil Penggunaan Obat Antidiabetes pada Pasien Rawat Inap Diabetes Melitus Tipe 2 di RSUD Dr. Pirngadi Medan Juli-Desember 2014
Persentase penggunaan obat antidiabetes di RSUD Dr. Pirngadi Medan
Juli-Desember 2014 yang diambil dari 165 resep dimana terdapat 230 penggunaan
obat antidiabetes ditunjukkan oleh Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Persentase tingkat penggunaan obat antidiabetes pasien rawat inap diabetes melitus tipe 2 di RSUD Dr. Pirngadi Medan Juli-
Desember 2014 No
Nama Obat
Jumlah
penggunaan %
1 Insulin aspart 95 41,30
2 Insulin detemir 57 24,78
3 Metformin 43 18,70
4 Glimepirid 11 4,78
5 Insulin aspart + Insulin protaminated 8 3,48
6 Insulin glargine 5 2,17
7 Glicazide 4 1,74
8 Glibenklamid 3 1,30
9 Gliquidone 3 1,30
10 Acarbose 1 0,43
Jumlah 230 100
Data di atas menunjukkan bahwa persentase tertinggi penggunaan obat
antidiabetes yakni insulin aspart 41,30%. Penelitian yang dilakukan oleh
Istiqomatunnisa (2014) juga menunjukkan bahwa insulin merupakan salah satu
obat antidiabetes injeksi yang banyak digunakan pada pasien rawat inap diabetes
Kartu Jakarta Sehat di RS TNI AU Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat. Penggunaan
insulin diberikan jika kondisi pasien memiliki kadar glukosa yang sangat tinggi
dan mengalami komplikasi. Jika kadar glukosa darah sudah relatif stabil maka
(56)
Insulin aspart banyak digunakan karena memiliki kerja onset kerja cepat dan
menurunan kadar glukosa postprandial lebih cepat dibandingkan insulin regular
(ACCP, 2013). Penderita DM Tipe 2 tertentu kemungkinan juga membutuhkan
terapi insulin apabila terapi lain yang diberikan tidak dapat mengendalikan kadar
glukosa darah. Selain itu ketika penderita mengalami stress berat, seperti pada
infeksi berat, tindakan pembedahan, infark miokard akut atau stroke, ketoasidosis
diabetik. Penderita DM yang mendapat nutrisi parenteral atau yang memerlukan
suplemen tinggi kalori untuk memenuhi kebutuhan energi yang meningkat, secara
bertahap memerlukan insulin eksogen untuk mempertahankan kadar glukosa
darah mendekati normal ketika terjadi peningkatan kebutuhan insulin (Depkes RI,
2005).
4.3 Persentase Frekuensi Potensi Interaksi Obat Antidiabetes Subjek Penelitian
4.3.1 Kriteria Usia
Berdasarkan analisis terhadap 90 rekam medik, ditemukan adanya potensi
interaksi obat antidiabetes sebesar 68,9%. Gambaran umum kejadian potensi
interaksi obat kriteria usia ditunjukkan pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4 Persentase potensi interaksi obat antidiabetes pada subjek penelitian dengan kriteria usia
Kriteria Subjek
Total Rekam Medik=90 Berpotensi Interaksi % Tidak Berpotensi Interaksi % Usia 25-34 35-44 45-54 55-64 65-74 ≥75 0 5 15 27 12 3 0 5,56 16,70 30 13,31 3,33 1 2 7 10 8 0 1,11 2,22 7,78 11,11 8,89 0
(1)
Lampiran 2. (Lanjutan)
No Nama Obat Pola mekanisme
interaksi
Tingkat keparahan
interaksi
Jumlah
kejadian Mekanisme interaksi Manajemen
43
Lisinopril + Insulin Detemir
farmakodinamik Moderate 2
Lisinopril meningkatkan efek insulin detemir oral melalui sinergisme farmakodinamik (peningkatan sensitivitas insulin) Pengaturan dosis dan kontrol KGD secara teratur, pantau tanda-tanda hipoglikemi
44 Maprotilin +
Insulin Aspart farmakodinamik Minor 1
maprotilin meningkatkan efek insulin aspart dengan
sinergisme farmakodinamik/efek obat ditambah. Tidak memerlukan manajemen khusus
45 Meloxicam +
Glimepirid farmakokinetik Moderate 1
Meloxicam dapat menstimulasi sekresi glimepirid atau meningkatkan konsentrasi plasma dari glimepirid dengan menggantinya
dari situs pengikatan protein dan/atau menginhibisi metabolismenya . beresiko hipoglikemia Pengaturan dosis dan kontrol KGD secara teratur, pantau tanda-tanda hipoglikemi
46 Metformin +
Insulin Aspart farmakodinamik Moderate 3
Metformin dapat meningkatkan efek hipoglikemik insulin aspart dengan meningkatkan mekanisme kontrol selular oleh insulin atau efek pada reaksi
biokimia komplementer. Monitor ketat tanda- tanda hipoglikemi a, pengaturan dosis dapat diperlukan saat memulai/ menghentik an terapi 47 Metformin + Insulin Detemir
farmakodinamik Moderate 6
Metformin dapat meningkatkan efek hipoglikemik insulin detemir dengan meningkatkan mekanisme kontrol selular oleh insulin atau efek pada reaksi
biokimia komplementer. Monitor ketat tanda- tanda hipoglikemi a, pengaturan dosis dapat diperlukan saat memulai/ menghentik an terapi
72
(2)
Lampiran 2. (Lanjutan)
No Nama Obat Pola mekanisme
interaksi
Tingkat keparahan
interaksi
Jumlah
kejadian Mekanisme interaksi Manajemen
48
Metformin + Insulin Glargine
farmakodinamik Moderate 2
Metformin dapat meningkatkan efek hipoglikemik insulin glargine dengan meningkatkan mekanisme kontrol selular oleh insulin atau efek pada reaksi
biokimia komplementer. Monitor ketat tanda- tanda hipoglikemi a, pengaturan dosis dapat diperlukan saat memulai/ menghentik an terapi 49 Metilpredniso lon + Insulin
Aspart
farmakodinamik moderate 1
metilprednisolon menurunkan efek insulin aspart melalui
antagonisme farmakodinamik Pengaturan dosis dan kontrol KGD secara teratur, pantau tanda-tanda hiperglikem ia 50 Metilpredniso lon + Insulin
Glargine
farmakodinamik moderate 1
metilprednisolon menurunkan efek insulin glargine melalui antagonisme farmakodinamik Pengaturan dosis dan kontrol KGD secara teratur, pantau tanda-tanda hiperglikem ia 51 Metilpredniso lon + Metformin
farmakodinamik moderate 2
metilprednisolon menurunkan efek metformin melalui antagonisme farmakodinamik Pengaturan dosis dan kontrol KGD secara teratur, pantau tanda-tanda hiperglikem ia
52 Na. diclofenac
+ Glimepirid farmakokinetik Moderate 2
Na Diclofenac dapat menstimulasi sekresi insulin atau meningkatkan konsentrasi plasma dari glimepirid dengan menggantinya
dari situs pengikatan protein dan/atau menginhibisi metabolismenya . beresiko hipoglikemia Pengaturan dosis dan kontrol KGD secara teratur, pantau tanda-tanda hipoglikemi
73
(3)
Lampiran 2. (Lanjutan)
No Nama Obat Pola mekanisme
interaksi
Tingkat keparahan
interaksi
Jumlah
kejadian Mekanisme interaksi Manajemen
53 Nifedipin +
Metformin farmakokinetik Moderate 1
Nifedipin meningkatkan level metformin melalui peningkatan absorpsi GI. Titrasi hati- hati metfromin, pantau gejala asidosis laktat dan KGD. 54 Prednisolone + Insulin Aspart
farmakodinamik Minor 1
prednisolone menurunkan efek insulin aspart melalui
antagonism farmakodinamik. Pantau gejala hiperglikem ia 55 Ramipril + Insulin Detemir
farmakodinamik Moderate 4
ramipril meningkatkan efek insulin detemir melalui sinergisme farmkodinamik (peningkatan sekresi insulin) Pengaturan dosis dan kontrol KGD secara teratur, pantau tanda-tanda hipoglikemi
56 Ranitidin +
Metformin farmakokinetik Moderate 33
ranitidin akan meningktkan level/efek metformin
melalui penurunan klirens ginjal/kompetisi transport tubular renal.
Titrasi sangat lambat dan hati-hati metformin, dosis maksimal metformin sebaiknya diturunkan, pantau gejala asidosis laktat
57 Risperidone +
Insulin Aspart unknown Moderate 1
risperidone, insulin aspart. Antipsikotik atipikal telah dikaitkan dengan hiperglikemia yang dapat mengubah kontrol glukosa darah,
Monitor KGD, gejala hiperglikem ia, dan pengaturan dosis bisa diperlukan.
74
(4)
Lampiran 3. Resep pada rekam medik
(5)
Lampiran 4. Surat permohonan izin penelitian/pengambilan data
(6)