Pajak Bumi dan Bangunan
Mardiasmo 2003 mengemukakan “besarnya tarif PBB adalah sebesar 0,5 yang berlaku secara menyeluruh terhadap segala macam objek pajak di seluruh wilayah
Indonesia”.
Dalam rangka meningkatkan kapasitas fiskal daerah, melalui Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, daerah telah diberikan
kewenangan untuk memungut pajak taxing power. Setidaknya ada empat perubahan fundamental yang diatur dalam undang-undang tersebut. Pertama, mengubah
penetapan pajak daerah dan retribusi daerah dari open-list system menjadi closedlist system. Kedua, memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah melalui
perluasan basis pajak daerah dan retribusi daerah, penambahan jenis pajak baru yang dapat dipungut oleh daerah, dan pemberiaan diskresi kepada daerah untuk
menetapkan tarif sesuai batas tarif maksimum dan minimum yang ditentukan, Ketiga, memperbaiki sistem pengelolaan pajak daerah dan retribusi daerah melalui kebijakan
bagi hasil pajak provinsi kepada kabupatenkota dan kebijakan earmarking untuk jenis pajak daerah tertentu. Keempat, meningkatkan efektivitas pengawasan pungutan
daerah dengan mengubah mekanisme pengawasan dari sistem represif menjadi sistem preventif dan korektif.
Salah satu jenis pajak baru yang dapat dipungut oleh daerah adalah Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan PBB-P2. PPB-P2 yang sebelumnya merupakan
pajak pusat, dialihkan menjadi pajak daerah kabupatenkota, dengan berbagai pertimbangan. Pertama, secara konseptual PBB-P2 dapat dipungut oleh daerah karena
lebih bersifat lokal, visibilitas, objek pajak tidak berpindah-pindah immobile, dan terdapat hubungan erat antara pembayar pajak dan yang menikmati hasil pajak
tersebut. Kedua, pengalihan PBB-P2 kepada daerah diharapkan dapat meningkatkan PAD dan memperbaiki struktur APBD. Ketiga, pengalihan PBB-P2 kepada daerah
dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, dan memperbaiki aspek transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaannya. Keempat, berdasarkan praktek
di banyak negara, PBB-P2 termasuk dalam jenis local tax.
Mengingat PBB-P2 merupakan jenis pajak baru bagi daerah, maka dalam pengelolaannya masih terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi oleh daerah,
antara lain masih adanya daerah yang belum menerbitkan Peraturan Kepala Daerah mengenai pelaksanaan pengelolaan PBB-P2, lemahnya sistem pengelolaan basis data
objek, subjek dan wajib pajak, dan lemahnya sistem administrasi dan pelayanan kepada masyarakat wajib pajak. Hal tersebut semuanya terkait dengan terbatasnya
kesiapan saranaprasarana, organisasi, dan SDM di daerah yang akan melakukan pemungutan PBB-P2.
Pengalihan pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan PBB
dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah merupakan suatu bentuk tindak lanjut kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Bentuk kebijakan tersebut
dituangkan ke dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Hal ini adalah titik balik dalam pengelolaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan
Perkotaan. Dengan pengalihan ini maka kegiatan proses pendataan, penilaian,
penetapan, pengadministrasian, pemungutanpenagihan dan pelayanan PBB akan diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah KabupatenKota.
Adapun tujuan Pengalihan pengelolaan PBB menjadi pajak daerah sesuai dengan Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah:
• meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah • memberikan peluang baru kepada daerah untuk mengenakan pungutan baru
menambah jenis pajak daerah dan retribusi daerah, • memberikan kewenangan yang lebih besar dalam perpajakan dan retribusi dengan
memperluas basis pajak daerah, • memberikan kewenangan kepada daerah dalam penetapan tarif pajak daerah, dan
• menyerahkan fungsi pajak sebagai instrumen penganggaran dan pengaturan pada daerah.
Peralihan PBB perkotaan dan pedesaan dari pajak pusat menjadi pajak daerah yang diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009, akan memberi dampak terhadap keuangan
negara dan keuangan daerah. Pada prinsipnya secara administrasi terjadi perpindahan pencatatan hasil pemungutan PBB, jika sebelumnya penerimaan PBB tercatat pada
keuangan negara APBN dalam penerimaan perpajakan, kemudian setelah mekanisme peralihan berjalan akan masuk dalam PAD khususnya pajak daerah.
Sektor PBB bagi daerah dijadikan salah satu modal dalam pembangunan daerahnya dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini ditegaskan pula dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan hasil dari perubahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 berbunyi:
• Bahwa pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang sangat penting artinya bagi pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional sebagai
pengamalan Pancasila yang bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, perlu dikelola dengan meningkatkan peran
serta masyarakat sesuai dengan kemampuannya. • Bahwa Bumi dan Bangunan memberikan keuntungan danatau kedudukan sosial
ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai sesuatu hak atasnya atau memperoleh manfaat daripadanya, dan diwajibkan memberikan
sebagian dari manfaat atau kenikmatan yang diperolehnya kepada negara melalui pajak.
PBB merupakan pajak objektif yang dikenakan atas harta tak bergerak dalam hal ini yang terpenting adalah objeknya sedangkan keadaan dan status orang atau badan yang
dijadikan subjek tidaklah mempengaruhi besarnya pajak.