The Rule of Law

tersebut adalah The rule of law dan Peradilan cepat, sederhana, dan biaya murah. Kedua asas tersebut, baik the rule of law dan peradilan cepat, sederhana, dan biaya murah menjunjung keluhuran harkat dan martabat manusia atau menghendaki adanya perlindungan terhadap hak-hak seorang warga negara dari segala bentuk penindasan dan kesewenang-wenangan aparat penegak hukum.

2.3.1 The Rule of Law

Dalam sejarahnya, konsep the rule of law telah tercermin ketika King John Lockland, Raja Inggris yang telah mengalami kelelahan perang di Eropa yang berkepanjangan, secara terpaksa harus menandatangani Magna Charta pada tanggal 15 Juni 1215 yang isinya selain pembatasan kekuasaan raja dan pungutan pajak yang semena-mena, juga berisikan ketentuan tentang tak seorangpun boleh ditangkap, diasingkan, dirampas harta kekayaannya, atau dengan cara apapun diperkosa hak-haknya kecuali atas dasar peraturan hukum atau putusan pengadilan Reksodiputro, 1994: 2. A.C. Dicey pun dengan segala ketenarannya menulis dalam bukunya “An introduction to the study of the law of the constitution” mencetuskan gagasan yang dituangkan dalam istilah Rule of Law mengemukakan tiga pengertian the rule of law, yakni: 1. Bahwa setiap orang tidak dapat dipidana dan tidak akan menderita jasmaniah ataupun materil, kecuali jika tampak adanya suatu pelanggaran hukum yang jelas, yang ditetapkan menurut hukum oleh pengadilan; 2. The rule of law khususnya sebagai suatu karakteristik untuk Inggris, bahwa tidak seorangpun di atas hukum, tetapi setiap orang tunduk pada suatu hukum biasa dan termasuk jurisdiksi dari peradilan umum yang tidak mengenal status, dan kedudukan kondisinya. Di Inggris tumbuh suatu ide yang disebut legal equality, yang artinya bahwa setiap orang segala golongan tunduk pada hukum yang ditetapkan oleh pengadilan umum; 3. Atribut khusus bagi lembaga-lembaga di Inggris ialah prinsip- prinsip umum apa yang dikenal sekarang sebagai hak asasi manusia yang merupakan ketentuan konstitusional, sebagai suatu hasil dari putusan pengadilan yang menetapkan hak-hak seseorang dalam perkara-perkara khusus Seno Adji, 1981: 231. Konsep the rule of law yang dikemukakan oleh Dicey sejalan dengan rule of adat masyarakat Bugis pada abad XV dan XVI dimana ada keunikan Wajo yang dalam peninggalannya masih tercantum pada lambang Kabupaten Wajo sekarang yang bertuliskan “Maradeka to wajo-wajo ade’ nami, napopuang” yang artinya, merdeka orang-orang Wajo hanya adatnya yang dipertuan Abidin, 1983: 146. Pada masa itu masyarakat Wajo hidup dalam hukum adat yang demokratis sifatnya. Dalam adat istiadat masyarakat Wajo raja dipilih bukan secara turun temurun, selain itu cara pengambilan keputusan pun dengan suara terbanyak, dan ada pula suatu jabatan semacam pembela rakyat yang digelar Arung Saotanre yang bertugas membela hak-hak rakyat yang dilanggar oleh raja atau oleh pejabat- pejabat lain. Semua orang di hadapan hukum adat masyarakat Wajo adalah sama. Melalui sejarah yang ada tersebut dapat kita ketahui bahwa salah satu aspek penting dari the rule of law adalah asas legalitas. Asas legalitas merupakan jaminan bagi setiap orang tanpa terkecuali kepada para tersangka atau terdakwa untuk diperlakukan sama dalam proses hukum, termasuk adanya kesempatan yang sama untuk menggunakan hak-haknya sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Asas legalitas membuat semua orang dapat mengetahui perbuatan mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Selain itu fungsi asas legalitas itu sendiri adalah sebagai pedoman bagi penegak hukum dalam bertindak, sehingga memberi jaminan kepada semua warga negara bahwa yang berkuasa dalam suatu negara adalah hukum bukan orang. Dengan begitu, the rule of law bukan hanya menuntut masyarakat untuk taat kepada hukum, melainkan juga pemerintah beserta segenap perangkatnya termasuk penegak hukum itu sendiri. Soekanto 1983: 65 mengartikan the rule of law dalam dua arti, yakni secara formal dan materil. Secara formal, Soekanto mengartikan the rule of law sebagai kekuasaan publik yang terorganisir, yang artinya adalah setiap sistem kaidah yang didasarkan pada hirarki perintah merupakan the rule of law. Dengan demikian the rule of law merupakan alat yang paling dampaktif dan efisien untuk pemerintahan yang tirani. Secara materil, Soekanto menuliskan adanya cakupan ukuran-ukuran hukum yang baik dan hukum yang buruk antara lain sebagai berikut: 1 Ketaatan dari segenap warga masyarakat terhadap kaidah-kaidah hukum yang dibuat serta diterapkan oleh badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. 2 Kaidah-kaidah hukum harus selaras dengan hak-hak asasi manusia. 3 Negara mempunyai kewajiban untuk menciptakan kondisi-kondisi sosial yang memungkinkan terwujudnya aspirasi-aspirasi manusia dan penghargaan yang wajar terhadap martabat manusia. 4 Terdapatnya tata cara yang jelas dalam proses mendapatkan keadilan terhadap perbuatan yang sewenang-wenang dari penguasa. 5 Adanya badan yudikatif yang bebas dan merdeka yang akan dapat memeriksa serta memperbaiki setiap tindakan yang sewenang-wenang dari badan eksekutif dan legislatif. Dalam keterkaitan ini, Lon Fuller sebagaimana dikutip oleh Tahir 2010: 42 memaparkan delapan persyaratan formal dari the rule of law yakni: 1 Generaly, artinya segala keputusan otoritas tidak dibuat atas suatu dasar sementara dan atas dasar kebijakan yang bebas, melainkan atas dasar aturan-aturan yang umum; 2 Promulgation, artinya aturan-aturan yang menjadi pedoman otoritas tidak boleh dirahasiakan, melainkan harus diumumkan; 3 Non-retroactive laws, bahwa aturan harus dibuat untuk menjadi pedoman bagi kegiatan-kegiatan dikemudian hari. Maksudnya tidak boleh berlaku surut; 4 The Clarity of laws yang artinya hukum harus dibuat sedemikian rupa sehingga mudah dimengerti oleh masyarakat hasrat untuk kejelasan, demikian Fuller menamakannya; 5 Contradiction in the laws, artinya aturan-aturan tidak boleh bertentangan antara satu dengan yang lainnya; 6 Laws requring the imposible, yang berarti aturan-aturan tidak boleh mensyaratkan perilaku yang di luar kemampuan pihak- pihak yang terkena. Dengan kata lain, hukum tidak boleh memerintahkan suatu yang tidak mungkin dilakukan; 7 Constancy of the law trought time, artinya dalam hukum harus ada ketegasan, hukum tidak boleh diubah-ubah setiap waktu, sehingga orang tidak bisa lagi mengorientasikan kegiatannya kepada hukum; 8 Congruence between official action and declared rule, yang artinya harus ada konsistensi antara aturan-aturan sebagaimana yang diumumkan dengan pelaksanaan senyatanya. Pandangan Fuller tentang the rule of law di atas sangat berorientasi kepada kepastian hukum. Bila dikatakan proses hukum yang adil tidak dapat dipisahkan dengan sistem peradilan pidana, demikian juga halnya the rule of law dengan rechtsstaat demikian Hadjon mengemukakannya. Salah satu yang menjadi ciri utama negara hukum adalah dianutnya asas legalitas yang artinya bahwa setiap tindakan pemerintahan harus didasarkan atas dasar peraturan perundang-undangan Akhmad, 2010: 115. Aristoteles dan Plato telah memperkenalkan konsep negara hukum sejak enam ratus tahun sebelum masehi jauh sebelum istilah negara hukum populer pada abad 19. Plato memperkenalkan ide negara hukum yang disebut nomoi, dimana dalam suatu negara semua orang harus tunduk kepada hukum termasuk penguasa atau raja. Kemudian ide tersebut dikembangkan Aristoteles dengan menyatakan sumber kekuasaan tertinggi ialah hukum dan bukan manusia, meletakkan supremasi hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Ide negara hukum ini ternyata dijadikan juga sebagai landasan Indonesia sesuai dengan yang tertulis dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Oleh karena itu baik para pejabat penguasa negara maupun para warga masyarakat berada di bawah dan tunduk kepada hukum undang-undang yang sama.

2.3.2 Peradilan Yang Bebas Dan Dilakukan Dengan Cepat, Sederhana, Dan Biaya Ringan

Dokumen yang terkait

Cerai Thalak Di Bawah Tngan Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif Di Indonesia Suatu Analisis Komparatif (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Agama Jantho)

2 41 202

PENULISAN HUKUM TINJAUAN YURIDIS TENTANG PEMINJAMAN BARANG BUKTI YANG TIDAK DAPAT DIHADIRKAN DALAM PROSES PERSIDANGAN DI PENGADILAN.

0 3 11

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM DALAM PROSES PERSIDANGAN Perlindungan Hukum Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum dalam Proses Persidangan di Pengadilan Negeri: Studi Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak di Pengadilan N

0 2 17

PENDAHULUAN Perlindungan Hukum Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum dalam Proses Persidangan di Pengadilan Negeri: Studi Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak di Pengadilan Negeri Magetan.

0 7 22

DAFTAR PUSTAKA Perlindungan Hukum Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum dalam Proses Persidangan di Pengadilan Negeri: Studi Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak di Pengadilan Negeri Magetan.

0 2 4

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM DALAM PROSES PERSIDANGAN Perlindungan Hukum Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum dalam Proses Persidangan di Pengadilan Negeri: Studi Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak di Pengadilan N

0 2 16

PENIPUAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA) PENIPUAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA).

0 1 11

PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN DALAM PROSES PERSIDANGAN DI PENGADILAN NEGERI PADANG.

0 1 9

PERAN BANTUAN HUKUM TERHADAP ANAK DALAM PROSES PERSIDANGAN ANAK ( STUDI KASUS PENGADILAN NEGERI IA PADANG).

1 1 10

PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANAYANG ADIL DAN LAYAK (DUE PROCESS MODEL) (Sebuah Telaah Sosiologi Hukum)

0 0 43