Bahan kimia yang digunakan dalam perlakuan tersebut disebut bahan pengawet kayu. Pengawetan kayu dapat dilakukan dengan beberapa metode,
yaitu: metode pelaburan, pencelupan, rendaman, rendaman dingin, rendaman panas dingin, vakum tekan dan injeksi.
Perlakuan tanah soil treatment adalah upaya memasukkan pestisida anti rayap termitisida kepada tanah di bawah dan di sekeliling bangunan agar
terbentuk penghalang kimia yang memisahkan antara koloni rayap di dalam tanah dengan kayu di dalam bangunan. Menurut sifat aplikasinya, ada dua
teknik perlakuan tanah, yaitu; 1 perlakuan pra konstruksi pre construction treatment
bila perlakuan dilaksanakan menjelangsewaktu bangunan didirikan; dan 2 perlakuan pasca konstruksi Post construction treatment bila perlakuan
dilaksanakan pada bangunan yang sudah berdiri. Teknologi lain yang dapat digunakan dalam pengendalian rayap adalah
dengan menggunakan metode pengumpanan baiting. French 1991 menyatakan bahwa teknik ini memiliki beberapa keuntungan di antaranya lebih ramah
lingkungan karena bahan kimia yang digunakan tidak mencemari tanah, memiliki sasaran yang spesifik rayap, mudah dalam penggunaannya, dan mempunyai
kemampuan mengeliminasi koloni secara total. Dalam metode pengumpanan digunakan insektisida yang dikemas dalam bentuk yang disenangi rayap sehingga
menarik untuk dimakan. Prinsip teknologi ini adalah memanfaatkan sifat trofalaksis
rayap, yaitu racun yang dimakan disebarkan ke dalam koloni oleh rayap pekerja. Untuk itu racun yang digunakan harus bekerja secara lambat slow
action sehingga rayap pemakan umpan masih sempat kembali ke sarangnya dan
menyebarkan racun kepada anggota koloni lainnya.
3. Pengendalian Hayati
Pengendalian hayati meliputi penggunaan musuh alami, yang biasanya berhubungan dengan rayap tetapi tidak memberikan pengaruh yang berbahaya
kecuali apabila berada pada jumlah yang besar. Pengendalian ini diarahkan untuk memanipulasi musuh-musuh alami tersebut sehingga dapat mengurangi populasi
rayap sampai tingkat yang dapat diterima secara ekonomis.
Musuh-musuh alami rayap yang dikenal termasuk nematoda, jamur, dan virus, di samping organisme lain seperti semut dan predator pemakan laron.
Nematoda merupakan agens pengendalian biologis yang efektif untuk rayap yang hidup di dalam sarang
bukit. Beberapa ratus nematoda mampu
ditularkan dari satu individu rayap ke individu yang lain setelah penularan oleh satu individu nematoda dewasa. Namun demikian, masalah utama penggunaan
nematoda untuk pengendalian adalah dalam mentransfer rayap sehingga berhubungan secara langsung dengan nematoda dan daya tahan nematoda
tersebut yang memerlukan air bebas. Rayap yang terinfeksi oleh nematoda cenderung diisolasi dari koloninya oleh rayap pekerja lainnya, oleh karena itu
menghambat infeksi nematoda lebih lanjut. Pengaruh nematoda Steinernema pada Reticulitermes telah diuji coba oleh Empsky dan Capinera 1988.
Penggunaan nematoda dari genus yang sama di Cina cukup efektif untuk pengendalian C. formosus dan R. speratus pada dosis 4000-8000 nematoda 3
ml. Penggunaan jamur pathogen Metarrhizium anisopliae dan Beauveria
bassiana tampak lebih berhasil untuk pengendalian rayap. Beberapa jenis
jamur lain yang potensial untuk digunakan dalam pengendalian rayap adalah Aspergillus flavus, Serratia marcescens, Entomophtera virulenta
dan Absidia coerulea.
Pada masa yang akan datang penggunaan virus untuk pengendalian rayap lebih memberikan harapan terutama karena cara penularannya kepada rayap
lebih mudah dibandingkan penggunaan organisme lain seperti nematoda. Namun demikian beberapa hasil penelitian para ahli sampai saat ini
menunjukkan bahwa keefektifan penggunaan musuh alami untuk pengendalian rayap di lapangan masih sangat rendah.
Nematoda Entomopatogen Biologi dan Siklus Hidup Nematoda Entomopatogen
Nematoda entomopatogen NEP adalah nematoda yang hidup dalam tubuh serangga dan bersifat parasit terhadap inangnya. Sebagian besar NEP mempunyai
siklus hidup sederhana dan pada dasarnya mempunyai stadia utama dari perkembangan telur, juvenil dan dewasa. Secara morfologis larva infektif juvenil
3 teradaptasi untuk tetap hidup dalam jangka waktu lama di lingkungan sambil menunggu serangga inang. Pada umumnya mengalami empat kali pergantian kulit
sebelum mencapai dewasa dan pergantian kulit dapat saja terjadi di dalam telur, di lingkungan dan di dalam tubuh serangga inangnya Kaya dan Gaugler, 1993.
Menurut Kaya dan Gaugler 1993 pada saat nematoda entomopatogen mendapatkan inang yang cocok, akan melakukan penetrasi melalui lubang alami
mulut, anus, dan spirakel atau penetrasi langsung melalui kutikula. Juvenil infektif Heterorhabditis sp memiliki tonjolan gigi pada ujung kepala sehingga
dapat melakukan penetrasi pada integumen inang, meskipun penetrasi langsung melalui kutikula ini jarang terjadi. Setelah berhasil memenetrasi inang, nematoda
entomopatogen akan melepaskan bakteri simbionnya ke dalam hemolimf, selanjutnya bakteri berkembang dan akan membunuh inang setelah 24 - 48 jam
Ehlers dan Peters, 1995. Umumnya setiap nematoda entomopatogen mempunyai interaksi
mutualistik dengan satu jenis bakteri, tetapi bakteri Xenorhabdus spp dapat berasosiasi dengan lebih dari satu jenis nematoda entomopatogen Kaya dan
Gaugler, 1993. Menurut Ehlers dan Peters 1995, tanpa adanya bakteri simbion nematoda entomopatogen tidak dapat berkembang biak dengan baik, di sisi lain
bakteri simbion tidak dapat hidup tanpa nematoda entomopatogen. Siklus Hidup
nematoda entomopatogen Steinernema spp All strain disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Siklus Hidup Nematoda Entomopatogen Sumber : Kaya ,1993
Hubungan mutualistik ini bagi nematoda patogen serangga menurut Kaya dan Gaugler 1993 adalah memberikan beberapa keuntungan yaitu dapat
membunuh inang dengan cepat secara septicemia, menyediakan nutrisi yang cocok, membuat lingkungan yang cocok bagi perkembangan dan reproduksi
nematoda. Bakteri simbion juga mampu memproduksi senyawa antibiotik bakteriosin yang dapat menghambat perkembangan mikroorganisme sekunder
yang ada dalam tubuh serangga inang. Sedangkan fungsi nematoda entomopatogen bagi bakteri adalah melindungi bakteri dari kondisi ekstrim dalam
tanah dan melindungi bakteri dari kemungkinan adanya protein anti bakteri yang dikeluarkan oleh serangga inang.
Steinernematidae memiliki kutikula yang halus dibagian lateralnya, esophagus memiliki tiga bagian termasuk metacorpus dan menyebabkan warna
karamel hingga coklat tua pada uji kutikula serangga inang. Panjang tubuhnya berkisar antara 221-676 µm dengan lebar 19-28 µm. Lubang eksretori dan nerve
ring larva infektif di bagian anterior. Setelah dewasa jantan memiliki testis
tunggal, sepasang spikula dan terdapat gubernaculum Heterorabditidae memiliki panjang tubuh 260-715 µm dengan lebar tubuh
16-27 µm. Nematoda dewasa Heterorhabtidae memiliki sistem reproduksi hermaprodit. Serangga yang serserang oleh Heterorhabditis, warna kutikulanya
akan menjadi merah, merah bata atau oranye. Lubang ekskretori dan nerve ring larva infektif berada dibagian posterior Bahari 2000
Potensi Nematoda Sebagai Agens Pengendali Hayati
Glazer 1992 melaporkan bahwa S. carpocapsae memiliki patogenitas yang cukup tinggi terhadap Helicoverpa armigera, Earias insulata dan Galleria
mellonella di laboratorium. Gejala serangan S. carpocapsae pada Spodoptera
litura ditandai dengan perubahan warna larva menjadi coklat kekuningan dan
tubuh larva menjadi lembek. Menurut Simoes dan Rosa 1996 hal ini dikarenakan adanya simbiose mutualisme antara S. carpocapsae dengan X.
nematiphilus yang menghasilkan eksotoksin.
Terdapat hubungan antara mortalitas inang dengan nematoda yang masuk dalam tubuh inang, hal ini juga digunakan sebagai ukuran infektifitas nematoda
Caroli et.al,. 1996 dan efisiensi invasi persentase nematode yang menyerang inang.
Epsky dan Capinera 1994 menguji infektifitas S. carpocapsae strain DD- 136 terhadap S. litura pada media tanah pasir dalam cawan petri dengan
kosentrasi 1000 IJserangga dapat menyebabkan mortalitas 100 dan efisiensi invasi 22 . Menurut Caroli et.al.1996 persentase nematoda yang masuk pada S.
exigua telah diinokulasi dengan S.carpocapsae dengan kosentrasi 200 IJml
mencapai 20 . Patogenisitas nematoda secara umum melalui beberapa tahap antara lain
invasi, evasi dan toksikogenesis. Tahapan tersebut di atas akan dilalui secara berurutan, mulai saat nematoda berhasil mempenetrasi serangga inang hingga
bakteri simbion nematoda keluar menuju bagian dalam tubuh serangga dan melepaskan racun yang dapat menyebabkan kematian serangga. Masing-masing
tahapan tersebut sangat dipengaruhi oleh enzim, pH, suhu dalam tubuh serangga Downes dan Griffin, 1996; Simoes dan Rosa, 1996; Sulistyanto, 1998, dan suhu
lingkungan Gauge et al, 1994; Grewal et al, 1994; Glazer et al. 1996; Griffin et al.
1996. Suhu lingkungan yang kurang menguntungkan akan menggagalkan proses
penetrasi nematoda ke dalam tubuh serangga, dan akan menyebabkan nematoda mengalami kematian Griffin, 1996. Demikian pula dengan pH dalam tubuh
serangga yang tidak mendukung perkembangbiakan bakteri simbion nematoda akan menghambat perkembangbiakan bakteri simbion nematoda dalam tubuh
serangga inang Schiroki dan Hague, 1997. Perkembangbiakan bakteri simbion yang lambat juga akan memperlambat kematian serangga inang Strauch dan
Ehlers, 1998. Meskipun toksin yang dikeluarkan bakteri simbion memiliki peranan
penting dalam meracuni serangga inang namun simbiose antara bakteri dan nematoda merupakan syarat mutlak yang hampir tidak dapat dipisahkan antara
keduanya. Dalam hal ini bakteri tidak pernah dapat masuk ke dalam tubuh serangga inang tanpa nematoda. Sehingga antara bakteri simbion dan nematoda
saling menguntungkan satu dengan lainnya Sulistyanto, 1999.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan mulai bulan Agustus tahun 2005 sampai dengan Februari 2006 di Laboratorium Biologi Hasil Hutan - Pusat Penelitian Sumber
Daya Hayati dan Bioteknologi PPSHB-IPB Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Pengendalian Hayati - Departemen Proteksi Tanaman DPT
Institut Pertanian Bogor. Untuk pengujian lapang dilaksanakan di Hutan Percobaan Yanlappa, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bogor di
Jasinga Kabupaten Bogor.
Bahan Penelitian Rayap tanah
Coptotermes curvignathus
Rayap tanah C. curvignathus diperoleh dari Hutan Percobaan Yanlappa Jasinga Bogor dan dipelihara di Laboratorium Biologi Hasil Hutan – PPSHB
selama satu tahun. Pemeliharaan rayap tanah C. curvignathus dilakukan di dalam bak-bak plastik berukuran 60 x 50 x 40 cm
3
yang disimpan pada ruang gelap dengan kelembaban udara berkisar antara 85-90. Sebagai sumber makanan
diberikan potongan kayu pinus Pinus merkusii.
Nematoda Steinernema sp. Rhabditida : Steinernematidae dan
Heterorhabditis sp. Rhabditida : Heterorhabditidae.
Isolat nematoda entomopatogen yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah isolat lokal Bogor yang sudah tersedia di Laboratorium Biologi Hasil
Hutan PPSHB-IPB dan sudah diidentifikasikan sebagai Steinernema sp. Gambar 2
dan Heterorhabditis sp. Gambar 3 Arinana, 2002.
Gambar 2. Heterorhabditis sp. a. Infektif juvenil; b. Dewasa
b a
400 x
Gambar 3 . Steinernema sp. a. Betina; b. Jantan a
400 x
b
400 x
Perbanyakan nematoda secara in vivo dilakukan dengan cara menginokulasi terhadap larva serangga Tenebrio molitor Coleoptera : Tenebrionidae. Suspensi
nematoda diteteskan pada ulat tersebut di atas kertas filter dalam cawan petri
Woodring dan Kaya, 1988 Gambar 4.
Gambar 4. Inokulasi nematoda pada ulat Tenebrio molitor Setelah 24 - 48 jam ulat mati akibat infeksi nematoda dipanen dengan
metode White trap, yaitu dengan meletakan ulat tersebut pada kertas serap di atas cawan petri yang diletakkan terbalik. Cawan tersebut di letakkan didalam cawan
lain yang lebih besar. Dalam cawan besar di isikan air sehingga kertas hisap selalu
terendam air. Cawan besar ditutup dan di letakkan dalam suhu kamar Gambar 5
.
Gambar 5. Metode White trap
Hasil perbanyakan dapat diperoleh setelah 1 - 2 minggu berikutnya dan disaring dengan menggunakan saringan berukuran ± 23 µm untuk mendapatkan
nematoda IJ3 Infective Juvenile 3. Hasil tersebut kemudian disimpan dalam spon berbentuk kubus berukuran 2 x 2 x 2 cm
3
. Spon yang mengandung nematoda
selanjutnya dimasukkan ke dalam tabung erlenmeyer dan disimpan dalam lemari pendingin.
Untuk perbanyakan nematoda secara massal diperbanyak lagi dengan teknik in vitro. Media yang digunakan dalam teknik in vitro ini menggunakan
media agar yang dicampur dengan ampela ayam. Ampela ayam yang digunakan dimaksudkan sebagai suplai nutrisi bagi nematoda.
Media dibuat dengan cara mencampurkan agar sebanyak 5 gram dan ampela ayam sebanyak 100 gram. Sebelum dicampur, ampela ayam direbus
terlebih dahulu selama ± 10 menit kemudian di haluskan dengan belender. Agar, ampela ayam dan air sebanyak 500 ml dicampurkan dan di autoklaf selama 20
menit dengan tekanan 1 atm 121
o
C. Media agar yang telah di autoklaf kemudian dituang ke dalam cawan-
cawan petri dan didinginkan minimal selama 2 hari sebelum digunakan. Sepasang nematoda dewasa dari perbanyakan in vivo kemudian di letakan pada media agar
Gambar 6.
Gambar 6. Perbanyakan nematoda secara in vitro
Setelah 2 minggu berikutnya cawan petri berisi media in vitro kemudian di letakkan didalam cawan lain yang lebih besar. Antara cawan berisi media dengan
cawan yang lebih besar di letakkan kertas hisap. Kedalam cawan besar di isikan air sehingga kertas hisap selalu terendam air. Cawan besar ditutup dan di letakkan
dalam suhu kamar. Setelah 2 hari nematoda infektif juvenil yang terkumpul pada air di cawan
besar dapat dipanen. Pemanenan dapat dilakukan setiap dua hari sekali dengan tetap menambahkan air dalam cawan besar.
Metode Penelitian Keefektifan Nematoda terhadap rayap
1. Lethal Concentration