Tahap keputusan Y Formulasi Strategi Kebijakan Penggunaan Stimulansia Dalam Produksi Getah Pinus di Perum Perhutani
bahwa umur rata-rata penyadap 51 tahun dengan kisaran umur 35 –72 tahun.
Pengkategorian umur muda dan tua pada Tabel 5 didasarkan pada hasil rata-rata data umur responden. Berdasarkan hasil penelitian eperti pada Tabel 5 dapat
dilihat bahwa 43 responden termasuk kategori muda ≤ 51 tahun sedang 56,2 termasuk kategori tua 51 tahun. Melihat usia penyadap yang rata-rata berumur
51 tahun, berarti bahwa para penyadap sebenarnya termasuk kategori usia tua. Kenyataan di lapangan juga menunjukkan bahwa masyarakat yang bekerja
sebagai penyadap pinus memang sudah berumur tua, namun mereka masih kuat bekerja. Alasan utamanya karena untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dan
lebih baik bekerja selagi masih mampu daripada duduk-duduk di rumah. Sepertinya pekerjaan sebagai penyadap pinus belum menarik
bagi kaum muda ≤ 40 tahun, dimana mereka lebih memilih bekerja sebagai buruh bangunan, pabrik,
perkebunan, atau pun mengadu nasib di kota. Pertimbangan yang lainnya, mungkin karena pekerjaan sebagai penyadap pinus sebagian besar merupakan
pekerjaan sampingan selain sebagai petani sawah. Namun ada juga yang menjadikannya sebagai pekerjaan pokok terutama di daerah Majenang Jawa
Tengah.
Tabel 7 Karakteristis Internal Penyadap Pinus
Karakteristik Internal Majenang
Trenggalek Bojonglopang
TOTAL Jml
orang Jml
orang Jml
orang Jml
orang Umur tahun
Muda ≤ 51 tahun Tua 51 tahun
22 14
61,1 38,9
8 23
25,8 74,2
9 13
40,9 59,1
39 50
43,8 56,2
Pendidikan Rendah tidak tamat SD
Tinggi tamat SD 18
18 50,0
50,0 2
29 6,5
93,5 8
14 36,4
63,6 28
51 28,1
57,3 Pendidikan non formal
Rendah tidak pernah Tinggi ≥ 1 kali
32 4
88,9 11,1
28 3
90,3 9,7
21 1
95,5 4,5
81 8
91,0 9,0
Pengalaman penyadap Rendah ≤ 13 tahun
Tinggi 13 tahun 14
22 38,9
61,1 14
17 54,2
54,8 12
10 54,5
45,5 40
49 44,9
55,1 Lahan garapan
Sempit ≤ 0,4 ha Luas 0,4 ha
21 15
58,3 41,7
18 13
58,1 41,9
13 9
59,1 40,9
52 37
58,4 41,6
Penghasilan dari getah Rendah ≤ 388.000
Tinggi 388.000 22
14 61,1
38,9 20
11 64,5
35,5 11
11 50,0
50,0 53
36 59,6
40,4 Keanggotaan
Anggota Pengurus
33 3
91,7 8,3
30 1
96,8 3,2
21 1
95,5 4,5
84 5
94,4 5,6
Keterangan : jumlah responden 89 orang, jml = jumlah
Sekitar 57 penyadap mempunyai tingkat pendidikan formal tamat SD, yang berarti ada penyadap yang hanya tamat SD saja sebagian besar, namun ada
juga yang melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi hingga tamat SMP maupun SMA atau STM sebagian kecil. Sisanya sekitar 28 penyadap tidak tamat SD.
49 Penyadap yang dapat merampungkan tingkat pendidikan SMP atau SMA dan
STM sebagian besar responden yang berumur di bawah 51 tahun sedang yang tidak tamat SD didominasi oleh penyadap yang sudah tua di atas 56 tahun.
Tingkat pendidikan non formal dalam penelitian ini adalah keikutsertaan penyadap dalam kegiatan pelatihan atau diklat yang berhubungan dengan
pekerjaannya sebagai penyadap. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 91 atau 81 orang penyadap belum pernah mengikuti kegiatan kursus atau diklat yang
berhubungan dengan kegiatan penyadapan pinus, sedang 9 8 orang sisanya pernah mengikuti pelatihan. Pelatihan yang diikuti itu pun sebagian besar tidak
ada hubungannya dengan bidang pekerjaannya yaitu penyadap. Sebagian besar pelatihan diiukuti oleh pekerja yang berstatus mandor atau polhut, sedang untuk
penyadap yang berstatus sebagi pekerja anggota tidak pernah mengikuti pelatihan. Pelatihan yang diikuti misalnya pelatihan penjenjangan untuk kenaikan
jabatan dan hanya 1 satu pelatihan saja yang berhubungan dengan bidang pekerjaan, yaitu tentang pengenalan alat semi mekanis Mujitech untuk
penyadapan pinus. Kebijakan Perum Perhutani mungkin mengedepankan mandor atau siapa saja yang ikut pelatihan untuk mensosialisasikan hasil pelatihan kepada
penyadap dan di lapangan pada prakti
knya berupa “getok tular’ dari mulut ke mulut antar penyadap.
Pengalaman responden sebagai penyadap di areal Perum Perhutani berkisar antara 1
–28 tahun dengan rata-rata selama 13 tahun. Penyadap yang sudah berpengalaman menyadap pinus selama lebih dari 13 tahun sebanyak
kurang lebih 55 sedang yang berperpengalaman di bawah 13 tahun sebanyak 45. Dengan kata lain, lebih dari 50 responden mempunyai pengalaman
sebagai penyadap getah selama lebih dari 13 tahun dan sisanya berpengalaman kurang dari 13 tahun. Hal ini dapat diartikan juga bahwa masih banyak
masyarakat sekitar hutan yang memilih bekerja sebagai tenaga penyadap atau pun melanjutkan pekerjaan orangtuanya yang sudah berlangsung secara turun
temurun. Pada umumnya mereka memilih pekerjaan sebagai penyadap dimulai sejak masih muda belum menikah dan berkelanjutan hingga usia tua.
Lahan garapan yang menjadi tanggungjawab penyadap bervariasi antara 0,25
–1 ha dengan rata-rata 0,4 ha. Di dalam areal yang mereka garap tersebut terdapat tegakan pinus sebanyak 120
–900 pohon tergantung luas areal dan jarak tanam dengan rata-rata jumlah tegakan pinus 340 pohon. Lahan garapan yang luas
dan jumlah pohon pinus yang banyak biasanya dikerjakan oleh 2 atau 3 orang yang masih mempunyai hubungan saudara, seperti istri, anak atau menantunya.
Hanya saja tanggungjawab areal tersebut dipegang oleh 1 orang saja sehingga dalam rekapitulasi data penelitian luas lahan yang luas tercatat dipegang oleh 1
orang padahal sebenarnya dikerjakan oleh 2 atau3 orang. Penyadap yang mempunyai lahan garapan luas 0,4 ha sebanyak 41,1 sedang yang
mempunyai lahan sempit ≤ 0,4 ha sebesar 58,4. Pada umumnya semakin luas lahan yang digarap dan semakin banyak pohon pinusnya, hasil getah yang
diperoleh juga semakin banyak namun sebenarnya tergantung pada kemauan dan rajin tidaknya penyadap melakukan pekerjaannya.Terkadang juga dijumpai
perilaku penyadap yang ber sifat hanya sekedar` untuk pemenuhan kebutuhan hidup. Perilaku ini dikenal dengan nama subsiten. Menurut Neiro dalam Wolf
1983, seorang pekerja kemungkinan akan menghentikan usaha produktifnya di ladang ketika kebutuhan minimal kalorinya serta dana penggantinya sudah
terjamin. Namun demikian tingkat minimal pemenuhan kebutuhan kalori tersebut tergantung pada tuntutan sosial. Dengan kata lain standar terpenuhinya kebutuhan
mendapat pengaruh dari lingkungan sosial, yaitu bila individu lain di lingkungan sosialnya berkembang kebutuhannya, maka standar kebutuhannya akan meningkat
juga. Perilaku subsisten ini pernah terjadi di kalangan penyadap getah kemenyan di desa Simasom Jaruan, Tapanuli Utara. Menurut Nurrochmat 2001, petani
penyadap kemenyan di desa tersebut memiliki pola sikap “target pendapatan”, yaitu bila hasil penyadapan getah kemenyan sudah memenuhi target untuk
memenuhi kebutuhan hidup, maka mereka akan berhenti bekerja.
Penghasilan penyadap dari pekerjaan menyadap pinus bervariasi dari Rp 150.000
–Rp 850.000 per bulan dengan rata-rata Rp 338.000bulan. Besar kecilnya penghasilan yang diperoleh dipengaruhi oleh luas lahan, jumlah pohon
pinus yang mereka sadap, rajin tidaknya penyadap melakukan pembaharuan luka sadap dan kualitas getah yang mereka peroleh. Getah yang mempunyai kualitas
baik mengandung sedikit pengotor sehingga harga getah per kilogramnya lebih tinggi dibandingkan yang berkualitas tidak baik karena zat pengotorya lebih
banyak. Harga getah kualitas A dapat mencapai Rp 2.870kg sedang yang kualitas B sekitar Rp 2.650kg. Hasil getah penyadap bervariasi dari 90
–350 kgbulan. Penyadap degnan pendapatan tinggi biasanya menjadikan pekerjaan penyadap
sebagai pekerjaan utama sedang yang berpenghasilan lebih rendah menjadikan pekerjaan sampingan saja. Penyadap yang mempunyai pendapatan dari getah hasil
sadapan ≤ Rp 388.000 sebanyak 59,6 sedang yang mempunyai pendapatan Rp 388.000 sebanyak 40,4. Sebagian besar penyadap mempunyai pekerjaan pokok
sebagai petani dan pekerjaan sebagai penyadap hanya merupakan pekerjaan sampingan sehingga rata-rata penghasilan dari hasil getah tidak terlalu tinggi.
Keanggotaan yang dimaksud di sini adalah keanggotaan dalam masyarakat maupun dalam kelompok penyadap pinus. Keanggotan di sini meliputi anggota
biasa dan penggurus, yaitu mandor sadap, ketua RT atau ketua RW dalam kurun 6 enam bulan terakhir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 94 84
responden berstatus anggota biasa dan hanya 5,6 5 responden sebagai mandor dan ketua RT. Hal ini menunjukkan bahwa responden sebagian besar adalah
anggota biasa.
51
Karakteristik eksternal
Karakteristik eksternal berasal dari luar penyadap getah pinus yang dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan adopsi inovasi stimulansia dalam
penyadapan pinus. Karakteristik internal tersebut terdiri dari intensitas penyuluhan, ketersediaan sumber informasi, ketersediaan sarana dan prasarana,
peluang pasar dan intensitas promosi. Tabel 8 menggambarkan sebaran penyadap menurut karakteristik eksternalnya.
Tabel 8 Karakteristis Eksternal Penyadap Pinus
Karakteristik Internal Majenang
Trenggalek Bojonglopang
TOTAL Jml
orang Jml
orang Jml
orang Jml
orang intensitas penyuluhan
rendah ≤ 1 tinggi 1
32 4
88,9 12,1
28 3
90,3 8,7
21 1
95,5 4,5
81 8
91,0 9,0
ketersediaan informasi tidak ada ≤ 2
ada 2 6
30 16,7
83,3 31
100 22
100 59
30 66,3
33,7 ketersediaan SarPras
rendah tidak ada tinggi ada
29 7
80,6 18,4
28 3
90,3 9,7
19 3
86,4 3,6
76 13
85,4 14,6
peluang pasar rendah
≤ 6 tinggi 6
36 100
31 100
22 100
89 100
intensitas promosi rendah tidak ada
tinggi ada 30
6 83,3
16,7 28
3 90,3
9.7 13
9 59,1
40,9 71
18 79,8
20,2 Keterangan : jumkah responden 89, SarPras =sarana dan prasarana, jml =jumlah
Penyuluhan bagi para penyadap pinus tentunya yang berhubungan dengan kegiatannya sebagai penyadap, yaitu penggunaan stimulansia dalam penyadapa
pinus. Dalam penelitian ini indikatornya adalah
1 adanya penyuluhan sesuai kebutuhan sebagai penyadap pinus; 2 banyaknya kegiatan penyuluhan yang
dapat diikuti responden dan 3 manfaat penyuluhan untuk responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 91 81 orang menyatakan bahwa intensitas
penyuluhan rendah sedang 9 8 orang menyatakan tinggi. Berdasarkan ketiga indikator tersebut ternyata banyak responden yang berpendapat bahwa
penyuluhan tentang penggunaan stimulansia, kegunaan dan efek negatif yang ditimbulkannya yang disampaikan secara langsung dengan penyadap masih
kurang bahkan tidak ada. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas penyadap tidak pernah mengikuti kegiatan penyuluhan sedang sebanyak 9 8 orang saja yang
pernah mengikuti penyuluhan. Penyadap yang mengikuti penyuluhan sebagian besar mempunyai kedudukan sebagai mandor sadap. Mandor yang mengikuti
penyuluhan diharapkan dapat menularkan apa yang sudah didapat tersebut kepada penyadap yang lainnya sehingga ilmu yang didapat dalam penyuluhan itu juga
bisa dimengerti dan diikuti oleh penyadap pada umumnya. Sebenarnya penyadap sendiri menyadari penting dan manfaat penyuluhan untuk mendukung
pekerjaannya dan juga merasa senang serta antusias mengikuti penyuluhan jika itu ada. Undang-Undang No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian,
Perikanan dan Kehutanan dalam Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1, butir 3 dinyatakan bahwa ”Penyuluhan adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama
serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi,
permodalan dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas,
efisiensi usaha,
pendapatan dan
kesejahteraannya dan
meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup. Namun demikian sepertinya penyuluhan secara langsung di kalangan penyadap pinus
masih dirasa kurang dan perlu ditingkatkan agar transformasi informasi, teknologi, dan lain sebagainya untuk meningkatkan produktivitas, pendapatan,
kesejahteraan hingga kesadaran akan pelestarian lingkungan dapat langsung diperoleh masyarakat penyadap. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa terkadang
sumber daya masyarakat penyadap masih rendah sehingga daya tangkap untuk memehami suatu ilmu pengetahuan kurang. Namun kondisi ini dapat diatasi
dengan melakukan penyuluhan yang bersifat teknis langsung praktek di lapangan dan dengan disampaikan dalam bahasa yang mudah dipahami sesuai tingkat
pengetahuannya.
Kenyataan di lapangan juga menunjukkan bahwa teknik penyadapan yang dilakukan oleh para penyadap sebagian besar tidak memenuhi Petunjuk Teknis
Juknis yang ditetapkan Perum Perhutani, yaitu sesuai SK Direksi No 792KPTSDIR2005 tentang Pedoman Penyadan Getah Pinus. Teknik
penyadapan yang dilakukan sampai saat ini terlihat terlalu mengeksploitasi tegakan pinmus dan membahayakan keamanan penyadap, misalnyajumlah koakan
per batang pohon lebih dari dua koakan, tinggi koakan mencapai ± 2 meter dan ukuran koakan terlalu lebar dan dalam. Bagi Perum Perhutani sendiri sebenarnya
mengetahui hal tersebut dan berusaha mencegahnya dengan cara mengawasan di lapangan. Namun karena jumlah tenaga pengawas tidak sebanding dengan areal
yang diawasi sehingga seolah-olah hal tersebut diabaikan. Selain itu rupanya orientasi ekonomi lebih dinomersatukan daripada ekologi ataupun sosial.
Ketersediaan sumber informasi tentang penggunaan stimulansi dalam penyapan pinus bagi penyadap biasanya diperoleh dari mandor atau KaRPH
mantri hutan atau polisi hutan. Pada umumnya mereka mendapatkan segala informasi tentnag teknik penyadapan pinus berasal dari saluran interpersonal.
Tidak jarang juga mereka mendapat informasi dari sesama penyadap yang lebih dahulu mengetahui informasi yang dimaksud. Bagi penyadap, ketersediaan
sumber informasi 66,3 dalam tingkatan rendah sedang 33,7 mengatakan tinggi. Bagi penyadap beranggapan bahwa informan yang bisa mereka peroleh
hanya dari mandor atau sesama penyadap yang lebih mengetahui duluan
“gethok
tular”.
53 Ketersediaan sarana dan prasarana, yaitu tersedianya sarana dan prasarana
yang dibutuhkan penyadap, dalam hal ini stimulansia ataupun alat-alat lain yang digunakan dalam penyadapn pinus. Berdasarkan hasil penelitian, sebanyak 76
penyadap menyatakan rendah penyediaan sarana dan prasarana sedang 14,6 menyatakan tinggi. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa sarana dan
prasarana yang diperlukan penyadap disediakan oleh Perum Perhutani, seperti stimulansia, alat sadap kedukulpethel, penampung getah batok, talang sadap,
dan spreyer untuk menyemprotkan stimulansia. Sebagian besar penyadap menganggap bahwa penyediaan kebutuhan stimulansia per penyadap tidak sesuai
dengan kebutuhannya, yaitu jenis dan jumlah stimulansi. Misalnya jika yang diperlukan stimulansia jenis ETRAT ternyata bukan ETRAT yang dikirimnya,
demikian juga dengan jumlahnya dan terkadang datangnya kebutuhan yang diperlukan tersebut tidak tepat waktu alias terlambat.
Peluang pasar bagi penyadap getah di sini yaitu terjaminnya pemasaran getah dengan menggunakan inovasi stimulansia dalam penyadapan pinus dengan
harga jual yang menguntungkan. Berdasarkan hasil penelitian, sebanyak 100 penyadap menyatakan peluang pasar pada tingkatan tinggi. Artinya penyadap
mudah menjual getah tersebut ke pihak Perum Perhutani tentunya dengan harga sesuai standar Perum Perhutani. Di sisi lain penyadap tidak mengetahui jalur
pemasaran getah tersebut, sehingga informasi tentang harga jual getah di pasaran, mereka tidak mengetahuinya. Bagi mereka yang penting hasil getah yang mereka
sadap bisa dibeli semua oleh Perum Perhutani sehingga mereka mendapatkan penghasilan untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Intensitas promosi stimulansia yaitu banyaknya kegiatan promosi tentang stimulansia merk dagang lain yang dilakukan oleh penyalur stimulansia dalam
waktu enam bulan terakhir. Sebanyak 79,8 penyadap menyatakan rendah sedangkan 20,2 sisanya menyatakan tinggi. Berdasarkan informasi yang
dihimpun, dalam enam bulan terkhir ini hanya ada satu merk dagang stimulansia yang dipromosikan ke pihak Perum Perhutani. Itupun tidak semua areal Perum
Perhutani menerima promosi tersebut. Stimulansia yang dimaksud bermerk dagang BIOCAS yang diklaim produsennya sebagai stimulansia ramah
lingkungan dan diproduksi oleh CV Tusam di Jember, masih satu perusahaan dengan produk stimulansia an-organik. Promosi dilakukan secara langsung
dengan cara mendatangi kantor Unit Perum Perhutani dan para pejabat Perum Perhutani, sedang bagi masyarakat penyadap baru mengetahuinya setelah
penyadap melakukan ujicoba stimulansia di lapangan. Itu pun tidak dengan serta merta seluruh penyadap mengetahui promosi tersebut, namun hanya penyadap
tertentu yang ditunjuk untuk melakukan ujicoba di lapangan. Demikian juga dengan mandor sadap atau petugas lapangan, yang hanya mengetahui adanya
promosi pada saat ada ujicoba di lapangan.
Sifat keinovatifan
Persepsi penyadap terhadap inovasi stimulansia yang digunakan dalam penyadapan pinus merupakan penilaian responden terhadap inovasi stimulansia
yang berhubungan dengan tahapan proses inovasi, yaitu keuntungan relatif, kesesusaian, kesederhanaan, kemudahan untuk dicoba dan kemudahan untuk
diamati . Sifat inovasi tersebut diuraiakan seperti pada Tabel 9. Tabel 9 Sifat keinovatifan stimulansia dalam penyadapan pinus
Karakteristik Internal Majenang
Trenggalek Bojonglopang
TOTAL Jml
orang Jml
orang Jml
orang Jml
orang Keuntungan relatif
rendah tinggi
19 12
61,3 38,7
21 15
58,3 41,7
5 17
22,7 77,3
45 44
50,6 49,4
Kompatibilitas rendah
tinggi 7
24 22,6
77,4 11
25 30,6
69,4 4
18 18,2
81,8 32
57 35,9
64,1 Simplisitas
rendah tinggi
16 15
51,6 48,4
19 17
52,8 47,2
6 16
27,3 72,7
41 48
46,1 53,9
Triabilitas rendah
tinggi 31
100 1
35 2,8
97,2 22
100 1
88 1,1
98,9 Observabilitas
rendah tinggi
11 20
64,5 35,5
20 16
55,6 45,4
10 12
45,5 54,5
41 48
46,1 53,9
Keterangan: jumlah responden 89, jml =jumlah
Keuntungan relatif atau relative advantages yaitu tingkatan dimana suatu inovasi stimulansiadalam penyadapan pinus dianggap lebih menguntungkan
daripada yang terdahulu, baik dari segi ekonomi, lebih ramah terhadap lingkungan menimbulkan gangguan lingkungan yang minimal dan resiko kesehatan.
Berdasarkan hasil peneltian diperoleh bahwa sebanyak 50,6 responden menyatakan keuntungan relatif yang diperoleh dari penggunaan stimulansia ramah
lingkungan termasuk dalam tingkatan tinggi dan 49,4 responden menyatakan rendah. Bagi penyadap selaku responden, keuntungan dari segi ekonomi dalam
hal ini peningkatan produksi getah, lebih diutamakan daripada keuntungan yang lainnya. Penggunaan stimulansia dalam penyadapan pinus baik jenisstimulansia
an-organik maupun ETRAT menghasilkan getah lebih tinggi dibandingkan jika tanpa stimulansia. Namun demikian jika penyadap dihadapkan pada pilihan antara
stimulansia an-organik atau ETRAT, sebagian besar penyadap memilih stimulansia an-organik meskipun mengetahui resiko yang ditimbulkan dari
penggunaan stimulansia an-organik. Orientasi ekonomi masih menjadi pilihan utama.
Kompabilitas inovasi stimulansia dalam penyadapan pinus disesuaikan dengan pengalaman dan kebutuhan penyadap, yaitu kesesuaikan dengan target
hasil getah yang dibutuhkan, kebiasaan penyadap pinus dan kondisi lapangan dimana tegakan pinus itu tumbuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak
55 64,1 penyadap menyatakan tingkat kesesuaikan penggunaan stimulansia dalam
penyadapan pinus tinggi sedang 35,9 sisanya menyatakan rendah. Hal ini berarti sebagian besar penyadap menyatakan bahwa penggunaan stimulansia
jenisstimulansia an-organik atau pun ETRAT sesuai dengan target produksi getah, tidak merubah kebiasaan penyadap dalam melakukan kegiatan penyadapan dan
sesuai dengan lingkungan tumbuh tegakan pinus. Sebanyak 35,9 penyadap menyatakan tidak kompatibel, terutama jika dihubungkan dengan tempat tumbuh
tegakan pinus. Bagi mereka, pinus yang tumbuh pada ketinggian di atas 500 mdpl tidak cocok jika menggunakan stimulansia ETRAT karena produksi getahnya
tidak setinggi jika menggunakan stimulansia an-organik meskipun sebenarnya dengan menggunakan stimulansia ETRAT bisa meningkatkan produksi getah.
Kesederhanaan atau simplisitas penggunaan stimulansia bagi penyadap dihubungkan dengan mudah tidaknya dimengerti dan digunakan. Berdasarkan
penelitian sebanyak 54 penyadap menyatakan bahwa penggunaan stimulansia dalam penyadapan pinus tingkat tinggi sedang 46 sisanya menyatakan rendah.
Hal ini berarti bahwa sebagian penyadap menyatakan penggunaan stimulansia an- organik ataupun ETRAT mudah dimengerti dan digunakan, tidak memerlukan
tenaga khusus terampil dan mudah mendapatkan stimulansia tersebut. Bagi penyadap yang menyatakan tingkat kesederhanaan tersebut pada tingkat rendah,
mereka beranggapan bahwa penggunaan stimulansia tersebut mudah dan tidak memerlukan tenaga terampil khusus namun penyediaan stimulansia tidak selalu
ada atau cukup sulit diperoleh manakala dibutuhkan. Kondisi ini tergantung kelancaran pasokan Perum Perhutani dan distribusinya bagi penyadapan.
Kemudahan untuk dicoba penggunaan stimulansia dalam penyadapan pinus mudah diujicobakan. Hampir seluruh penyadap menyebutkan bahwa inovasi
stimulansia dalam penyadapan pinus mudah dilakukan. Penggunaan stimulansia an-organik dan ETRAT mudah dilakukan, tanpa peralatan atau perlakuan khusus
atau pun keahlian khusus. Semua pekerjaan pemberian stimulansia dilakukan dengan menyemprotkan stimulansia sesuai dosis pada bidang sadapan. Hanya saja
pada kenyataannya tidak semua penyadap pinus mendapat kesempatan mencoba terlebih dahulu produk stimulansia yang ditawarkan karena memang hanya
penyadap yang ditunjuk saja yang melaksanakan ujicoba di arealnya. Jika hasilnya bagus, penyadap akan mencobanya di arealnya masing-masing secara
sporadis sedikit demi sedikit dan menularkannya pada penyadap yang lainnya.
Kemudahan diamati atau observabilitas inovasi stimulansia diindikasikan berdasarkan kemudahan diamatinya hasil getah yang dihasilkan dan kemudahan
inovasi tersebut dikomunikasikan. Berdasarkan hasil penelitian sebanyak 54 penyadap menyatakan tingkat kemudahan inovasi stimulansia tersebut tinggi
sedang 46 menyatakan rendah. Perhatian utama penyadap terhadap kemudahan inovasi stimulansia adalah hasil getahnya bukan kemudahan inovasi tersebut
dikomunikasikan kepada penyadap yang lainnya. Penggunaan stimulansia an- organik menghasilkan getah relatif lebih tinggi dibandingkan ETRAT, sehingga
54 penyadap menyatakan tingkat kemudahan inovasi stimulansia tinggi. Bagi penyadap faktor ekonomi masih dipentingkan meskipun penggunaan stimulansia
an-organik berdampak negatif terhadap kesehatan mereka, pohon yang disadap dan lingkungan. Data tersebut juga memperkuat tingkat kemudahan inovasi
diterapkan dicoba di areal masing-masing penyadap, karena banyak penyadap yang tidak melakukan ujicoba terlebih dahulu tetapi langsung merepakannya
setelah melihat hasil yang baik dari penyadap yang lainnya.
Tahap Proses Pengambilan Keputusan Adopsi Inovasi Stimulansia Dalam Penyadapan Pinus
Tahapan pengambilan keputusan adopsi inovasi stimulansia dalam penyadapan pinus terdiri dari tahap pengenalan Y1, tahap persuai Y2, tahap
keputusan Y3, tahap implementasi Y4 dan tahap konfirmasi Y5. Tahapan pengambilan keputusan pada masing-masing daerah penelitian disajikan pada
Tabel 10.
Tabel 10 Tahapan proses pengambilan keputusan adopsi inovasi stimulansi dalam penyadapan pinus
Tahapan proses pengambilan keputusan Y
Majenang Trenggalek
Bojonglopang TOTAL
Jml orang
Jml orang
Jml orang
Jml orang
Pengenalan Y1 rendah
tinggi 16
20 44,4
55,6 18
13 58,1
41,9 14
8 63,6,
36,7 48
41 53,9
46,1 Persuasi Y2
rendah tinggi
24 12
66,7 33,3
24 7
77,4 22,6
13 9
59,1 40,9
61 28
68,5 31,5
Pengambilan keputusan Y3 rendah
tinggi 14
22 38,9
61,1 14
17 45,2
44,8 21
1 95,5
4,5 49
40 55,1
44,9 Implementasi Y4
rendah tinggi
16 20
44,4 55,6
16 15
51,6 48,4
21 1
95,5 4,5
53 36
59,6 40,4
Konfirmasi Y5 rendah
tinggi 20
16 55,6
44,4 19
12 61,3
38,7 21
1 95,5
4,5 60
29 67,4
32,6 Keterangan : jumkah responden 89, jml =jumlah
Berdasarkan Tabel 10 dapat dilihat bahwa sebanyak 54 penyadap masih mempunyai tahap pengenalan yang rendah sedang sisanya mempunyai tingkat
pengenalan yang tinggi. Rendahnya pengenalan akan adanya suatu inovasi bisa disebabkan karena kebijakan Perum Perhutani dalam mengatur pengadopsian
inovasi stimulansia melalui mekanisme tertentu, yaitu: 1 pengenalan produk stimulansia oleh produsen stimulansia kepada pejabat Perum Perhutani bidang
Produksi Hasil Hutan non Kayu, 2 uji coba produk di lapangan atau dibuat demplot dan 3 penerapan stimulansia secara menyeluruh jika berpengaruh
positif. Dengan kata lain, suatu produk inovasi stimulansia tidak akan langsung
57 diperkenalkan kepada penyadap tetapi akan melewati pejabat Perum Perhutani
terkait sesuai mekanisme yang berlaku di Perum Perhutani. Penyadap yang termasuk dalam tingkat pengenalan tinggi 46 merupakan penyadap yang
memang ditunjuk langsung untuk melakukan ujicoba di lapangan sehingga secara langsung mereka lebih dahulun mengenal adanya inovasi baru dibandingkan
penyadap yang lainnya.
Sikap persuasi penyadap terhadap inovasi stimulanisa sesuai hasil penelitian menunjukkan bahwa 68,5 penyadap mempunyai minat ketertarikan terhadap
inovasi stimulansia yang tinggi sedang 31,5 penyadap memiliki sikap tidak berminat. Bagi penyadap yang memiliki sikap persuasi yang tinggi, mereka
menilai bahwa penggunaan stimulansia dalam penyadapan pinus dapat meningkatkan produksi getah dibandingkan tidak menggunakan stimulansia. Bagi
penyadap yang menilai rendah terhadap persuasi inovasi stimulansia umumnya mereka menilai inovasi stiulansia yang baru akan merusak tegakan pinis yang
disadap.
Tahap keputusan bagi penyadap merupakan intepretasi penyadap untuk menentukan pilihan apakah menerima atau menolak inovasi stimulansia. Pada
tahap pengambilan keputusan ini sebanyak 55,1 penyadap memutuskan untuk menerima inovasi sedang 44,9 memutuskan untuk menolaknya. Pada umumnya
penyadap yang mempunyai persuasi yang tinggi terhadap inovasi cenderung memutuskan untuk menerima inovasi baru. Namun demikian ada juga yang
mempunyai persuasi tinggi tetapi memutuskan untuk menolak inovasi baru demikian sebaliknya. Pada kondisi ini disebut dissonansi innovation, yaitu
ketidakselarasan antara sikap dan tingkah lakutindakan Rogers 1983. Bagi penyadap yang memutuskan untuk tidak menerima inovasi, mereka mempunyai
pertimbangan bahwa yang berhak membuat keputusan adalah pihak Perum Perhutani sedang penyadap sebagai pekerja hanya menerima apa yang menjadi
keputusan Perum Perhutani.
Sebanyak 59,6 penyadap menyatakan mengimplementasikan inovasi stimulansia dalam penyadapan pinus sedang 40,4 sisanya tidak melakukan
implementasi. Namun demikian, penyadap melakukan implementasi secara bertahap tidak langsung ke seluruh areal garapannya. Setelah hasilnya bagus
sesuai harapan, baru mereka melakukan implementasi secara menyeluruh di seluruh areal yang mereka garap. Pada umumnya penyadap juga melakukan
implementasi setelah mereka melihat keberhasilan dari penyadap lain yang sudah terlebih dahulu mngimplementasikan inovasi stimulansia tersebut.
Tahap konfirmasi merupakan tahap dimana penyadap akan memperkuat keputusannya dalam mengadopsi inovasi stimulansia yaitu akan melanjutkan atau
tidak. Sebanyak 67,4 penyadap tetap melanjutkan untuk menerapkan penggunaan stimulansia dalam penyadapn pinus sedang 32,6 memutuskan tidak
akan melanjutkan. Rupanya pada tahap konfirmasi ini jumlah penyadap yang menyatakan untuk melanjutkan menggunakan stimulansia dalam penyadapannya
meningkat dibandingkan pada tahap implementasi. Ada beberapa pertimbangan mengapa penyadap tetap melanjutkan mengadopsi penggunaan stimulansia dalam
penyadapan pinus, yaitu :
1. Penggunaan stimulansia menghasilkan produksi getah yang lebih banyak
dibandingkan jika tanpa stimulansia sehingga target produksi dapat tercapai;
2. Ada jaminan kontinuitas penyediaan stimulansia sesuai kebutuhan;
3. Getah yang dihasilkan dengan menggunakan stimulansia jenis apa pun
tetap dibeli oleh Perum Perhutani.
Hubungan Antara Faktor Internal, Eksternal, Persepsi Inovasi Terhadap Pengambilan Keputusan Adopsi Inovasi Stimulansia
Hubungan Faktor Internal Penyadap terhadap Pengambilan Keputusan
Hubungan antara faktor internal penyadap terhadap tahap pengambilan keputusan adopsi inovasi dapat dilihat pada Tabel 11.
Karakteristik internal penyadap berupa umur penyadap ternyata tidak berpengaruh nyata terhadap semua tahap pengambilan keputusan baik tahap
pengenalan, persuasi, pengambilan keputusan, implementasi dan konfirmasi Tabel 8. Hal ini berarti bahwa penyadap y
ang berumur muda maupun tua ≤ 51 atau 51 tahun tidak berpengaruh pada proses tahapan pengambilan keputusan
adopsi inovasi stimulansia. Tabel 11 Hubungan karakteristik internal penyadap terhadap tahap pengambilan
keputusan adopsi inovasi stimulansia
Karakteristik eksternal Tahap pengambilan keputusan Y
Pengenalan Y1
Persuasi Y2
Keputusan Y3
Implementasi Y4
Konfirmasi Y5
Umur 0,338
-0,216 -0,100
-0,20 -0,725
Pendidikan formal 0,050
0,000 0,2477
0,598 0,507
Pendidikan non formal 0,878
0,379 0,9956
0,049 -0,141
Pengalaman penyadap 0,515
0,052 -0,025
0,001 0,015
Lahan garapan 0,204
0,221 -0,035
-0,0291 -0,048
Penghasilan dari getah 0,980
0,968 0,5270
-0,0271 -0,049
Keanggotaan 0,050
0,3585 0,809
0,1979 0,1397
Keterangan : = berbeda nyata pada taraf α ≤ 0,05
Pendidikan formal penyadap berpengaruh terhadap tahap pengenalan dan persuasi. Bagi penyadap yang mempunyai pendidikan tinggi tamat SD biasanya
mempunyai sifat mudah menerima pengenalan inovasi baru yang kemudian mempengaruhi sikap mereka dalam menentukan sikap suka atau tidak suka
terhadap inovasi baru tersebut. Dalam penelitian ini sesuai Tabel 5, sebanyak 57 penyadap mempunyai pendidikan formal tamat SD, bahkan ada yang tamat SMP
ataupun SMA. Di sisi lain bagi penyadap yang mempunyai pendidikan rendah tidak tamat SD biasanya mereka akan menutup diri dan merasa takut untuk
mengenal inovasi baru. Mereka berprinsip bahwa apa yang mereka lakukan
59 selama ini secara turun temurun merupakan tindakan yang paling baik dan benar.
Keterbatasan mereka dalam memahami suatu pengetahuan menjadikan mereka tidak dapat menerima suatu inovasi baru.
Pendidikan non formal penyadap berpengaruh terhadap tahap implementasi suatu inovasi. Berbekal ilmu yang diperoleh pada saat mengikuti
pelatihan, kursus atau diklat, akan mempengaruhi pola pikir para penyadap untuk mengimplementasikan suatu inovasi di areal yang mereka garap, apakah akan
diimplementasikan secara bertahap atau sebagian atau barangkali seluruhnya.
Pengalaman kerja penyadap berpengaruh terhadap tahap persuasi, keputusan, implementasi dan konfirmasi. Penyadap yang semakin berpengalaman
akan lebih mudah menentukan sikap untuk bersikap persuasif terhadap inovasi baru. Sikap menyukai terhadap suatu inovasi tidak hanya berhenti sampai di situ,
mereka juga akan mencari tahu tentang inovasi baru tersebut. Namun demikian dalam pengambilan keputusan mereka akan selektif, artinya semakin
berpengalaman akan semakin berhati-hati tidak mudah menerima dalam menentukan keputusan untuk mengadopsi suatu inovasi. Dari hasil statistik dapat
dilihat dari tanda - pada angka yang diikutinya. Pada tahap implementasi, penyadap yang berpengalaman akan mudah mengimplementasikan suatu inovasi
tentu dengan segala macam pertimbangan sehingga pada tahap konfirmasi, mereka dengan mudah memutuskan apakah akan meneruskan menggunakan
inovasi baru atau tidak. Mereka dapat mempertimbangkan untung rugi penggunaan inovasi baru karena mereka yakin akan pengalaman yang mereka
dapat selama ini.
Lahan garapan yang menjadi tanggungjawab masing-masing penyadap juga mempengaruhi tahap pengambilan keputusan, implementasi dan konfirmasi.
Dengan lahan garapan yang semakin luas, penyadap akan berhati-hati tidak mudah dalam memutuskan mengadopsi inovasi baru demikian juga dalam
mengimplementasikan di lapangan dan mengkonfirmasi keputusan yang diambil ditandai dengan tanda - yang mengikuti angka di depannya. Dengan lahan
yang luas, mereka akan menganggung resiko yang tinggi jika ternyata inovasi beru tersebut gagal diimplementasikan.
Penghasilan penyadap dari getah yang mereka peroleh berpengaruh terhadap tahap implemnetasi dan konfirmasi. Semakin tinggi penghasilan yang
mereka peroleh akan semakin berhati-hati dalam mengimplementasikan inovasi baru demikian jugan dalam tahap konfirmasi apakah akan menggunakan
seterusnya atau berhenti sampai di situ saja. Hal ini berhubungan dengan kekhawatiran penyadap akan inovasi baru, apakah akan bisa memberikan
pendapatan yang lebih tinggi atau justru mereka akan merugi.
Keanggotaan penyadap berpengarhu terhadap tahap pengenalan inovasi baru. Penyadap yang menjadi pengurus atau mandor akan mudah menerima tahap
pengenalan inovasi baru. Hal ini berhubungan dengan kemudahan mandor
dibandingkan penyadap biasa untuk mngakses informasi-informasi sehubungan ada tidaknya produk beru.
Hubungan Faktor Eksternal Penyadap terhadap Pengambilan Keputusan
Hubungan faktor ekternal penyadap terhadap pengambilan keputusan pengadopsian suatu inovasi dapat dijabarkan dalam Tabel 12.
Tabel 12 Hubungan karakteristik eksternal penyadap terhadap tahap pengambilan keputusan adopsi inovasi stimulansia
Karakteristik eksternal
Tahap pengambilan keputusan Y
Pengenalan Y1
Persuasi Y2
Keputusan Y3
Implementasi Y4
Konfirmasi Y5
intensitas penyuluhan 0,996
0,9708 0,050
0,4303 0,4303
ketersediaan sumber informasi
-0,079 -0,729
0,048 0,6712
0,3129 ketersediaan SarPras
0,001 0,004
0,271 0,1780
0,1780 peluang pasar
- -
- -
- intensitas promosi
0,2179 0,036
0,051 0,051
0,050
Keterangan : = berbeda nyata pada taraf α ≤ 0,051
Intensitas penyuluhan berpengaruh terhadap pengambilan keputusan penyadap untuk mengadopsi atau tidak suatu inovasi baru. Semakin tinggi
intensitas penyuluhan yang dilakukan dapat lebih membantu penyadap untuk mengambil keputusan. Namun demikian, pad kenyataan di lapangan penyuluhan
langsung ke penyadap jarang dilakukan, padahal sebenarnya penyadap menginginkan informasi banyak tentang apapun yang berhubungan dengan
profesi mereka selaku penyadap pinus.
Tersedianya sumber informasi berpengaruh terhadap sikap penyadap dalam tahap pengambilan keputusan. Berdasarkan informasi di lapangan, sumber
informasi yang mereka peroleh secara intentif hanya dari mandor atau petugas lapangan. Oleh karena itu sepertinya peran mandor sangat mempengaruhi
penyadap dalam mengambil keputusan. Dengan kata lain, apa yang dikatakan mandor akan dituruti. Selain itu dengan mendapatkan informasi dari teman
sesama penyadap yang dianggap lebih tahu juga akan mempengaruhi keputusan penyadap yang akan diambilnya.
Ketersediaan sarana dan prasarana di lapangan juga mempengaruhi tahap pengenalan dan persuasi. Sarana dan prasarana yang mendukung dalam
pengenalan suatu inovasi baru memang diperlukan penyadap agar penyadap lebih mudah mengetahu dan memahami inovasi baru yang ditawarkan sehingga juga
akan mempengaruhi penyadap dalam mengambil sikap persuasif, akankah menyukai atau tidak terhadap inovasi baru.
Faktor intensitas promosi ternyata mempengaruhi tahap persuasi, pengambilan keputusan, implementasi dan konfirmasi. Promosi yang
dimaksudkan di sini tentu mengikuti mekanisme yang sudah ditetapkan Perum Perhutani seperti tersebut dalam Bab sebelumnya. Intensitas promosi yan
61 dilakukan secara gencar akan semakin mempengaruhi penyadap dalam
mengambil sikap persuasif untuk menyukai atau tidak terhadap inovasi baru yang dikenalkan. Dengan promosi yang gencar pula penyadap bisa mendapatkan
informasi yang dibutuhkan sehingga mereka dapat mengambil keputusan untuk menerima atau tidak inovasi baru tersebut. Demikian juga dengan tahap
implementasi dan konfirmasi. Dengan kata lain, untuk menunjang proses pengambilan keputusan pengadopsian inovasi baru, promosi terus dilakukan
secara intensif. Hubungan Faktor Persepsi Inovasi Penyadap terhadap Pengambilan
Keputusan
Hubungan antara persepsi inovasi penyadap terhadap pengambilan keputusan pengangadopsian suatu inovasi dijabarkan dalam Tabel 13.
Tabel 13 Hubungan persepsi inovasi penyadap terhadap tahap pengambilan keputusan adopsi inovasi stimulansia
Persepsi inovasi Tahap pengambilan keputusan Y
Pengenalan Y1
Persuasi Y2
Keputusan Y3
Implementasi Y4
Konfirmasi Y5
Keuntungan relatif 0,0296
0,046 0,0328
0,001 0,001
Kompatibilitas -0,7545
0,3591 -0,7726
0,9322 -0,4798
Simplisitas 0,1301
-0,801 -0,000
-0,000 -0,002
Triabilitas -0,3708
-0,9963 0,9692
0,9623 0,7179
Observabilitas 0,7185
-0,3296 -0,3346
0,4031 -0,8427
Keterangan : = berbeda nyata pada taraf α ≤ 0,051
Faktor persepsi inovasi yang mempengaruhi tahap pengenalan, persuasi, keputusan, implementasi dan konfirmasi dalam tahap pengambilan keputusan
adalah keuntungan relatif yang dimiliki oleh inovasi baru. Hal ini berarti bahwa persepsi masyarakat penyadap terhadap inovasi baru secara umum harus
menguntungkanbaik secara ekonomi, kesehatan dan keamanan kerja dan lingkungan. Oleh karena itu inovasi baru yang mengedepankan keuntungan relatif
akan mudah mempengaruhi sikap penyadap untuk mengenal dan bersikap persuasif sehingga dapat menentukan sikap dalam mengambil keputusan,
mengimplementasikan dan mengkonfirmasi inovasi tersebut.
Persepsi lain yang berpengaruh dalam pengambilan keputusan adopsi stimulansia adalah simplisitas inovasi atau kesederhaan inovasi jika diterapkan di
lapangan. Berdasarkan kenyataan di lapangan dapat dilihat bahwa semakin rumit suatu inovasi akan semakin susah diadopsi oleh penyadap. Oleh karena itu
kesederhanaan suatu inovasi untuk diaplikasikan lebih memudahkan penyadap untuk mengambil keputusan, mengimplemntasikan di lapangan dan juga
mengkonfirmasinya lagi.
Simpulan
Proses pengambilan keputusan dalam mengadopsi inovasi baru, yaitu stimulansia dalan penyadapan pinus dipengaruhi leh beberapa faktor. Tahap
pengenalan dipengaruhi oleh 1 faktor internal penyadap, yaitu pendidikan formal dan status keanggotaan; 2 faktor eksternal penyadap, yaitu ketersediaan
sarana dan prasaran; dan 3 persepsi inovasi, yaitu keuntungan relatif dan simplisitas. Tahap persuasi dipengaruhi oleh 1 faktor internal penyadap, yaitu
pendidikan formal dan pengalaman kerja; 2 faktor eksternal penyadap, yaitu ketersediaan sarana dan prasaran dan intensitas promosi; 3 persepsi inovasi,
yaitu keuntungan relatif. Tahap pengambilan keputusan dipengaruhi oleh 1 faktor internal penyadap, yaitu pengalaman kerja dan lahan garapan; 2 faktor
eksternal penyadap, yaitu intensitas penyuluhan dan promosi; 3 persepsi inovasi, yaitu keuntungan relatif dan simplisitas. Tahap implementasi dipengaruhi oleh 1
faktor internal penyadap, yaitu pendidikan non formal, pengalaman kerja, lahan garapan dan penghasilan; 2 faktor eksternal penyadap, yaitu intensitas promosi;
3 persepsi inovasi, yaitu keuntungan relatif dan simplisitas. Tahapan konfirmasi dipengaruhi oleh 1 faktor internal penyadap, yaitu pengalaman kerja, luas lahan
garapan dan penghasilan; 2 faktor eksternal penyadap, yaitu intensitas promosi; dan 3 persepsi inovasi, yaitu keuntungan relatif dan simplisitas. Peningkatan
proses tahapan pengambilan keputusan adopsi penggunaan stimulansia dalam penyadapan pinus perlu memperhatikan faktor internal penyadap terutama
pengalaman kerja dan luas lahan yang dikelolanya dan faktor eksternal penyadap terutama intensitas penyuluhan dan promosi serta persepsi inovasi terutama pada
faktor keuntungan relatif dan simplisitas.
Implikasi kebijakan adopsi inovasi stimulansia di Perum Perhutani dapat diterapkan dengan memperhatikan faktor internal yaitu pengalaman kerja dan luas
lahan garapan. Sebaiknya penerapan inovasi stimulansia ramah lingkungan diawali dari para penyadap yang telah berpengalaman dan memiliki lahan garapan
yang relatif luas. Faktor eksternal yang perlu diperhatikan berupa intensitas penyuluhan dan promosi secara langsung kepada para penyarap agar penerapan
inovasi stimulansia ramah lingkungan tetap menguntungkan di mata penyadap dan mudah dilakukan di lapangan.
63
4 PERAN PEMANGKU KEPENTINGAN DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN ADOPSI INOVASI STIMULANSIA
Pendahuluan
Pemangku kepentingan merupakan orang dengan suatu kepentingan atau perhatian pada permasalahan yang diidentifikasi dengan pertimbangan tertentu,
yaitu dari posisi penting dan pengaruh yang mereka miliki Fletcher et al. 2003. Stakeholder mencakup semua aktor atau kelompok yang mempengaruhi danatau
dipengaruhi oleh kebijakan, keputusan dan tindakan dari sebuah proyek.
Stakeholder dikelompokkan berdasarkan pengaruh dan kepentingannya, yaitu sebagai key players, context setter, subjects, dan crowd Reed et al. 2009.
Pengaruh influence merujuk pada kekuatan power yang dimiliki pemangku kepentingan untuk mengontrol proses dan hasil dari suatu keputusan. Kepentingan
importance merujuk pada kebutuhan pemangku kepentingan dalam pencapaian output dan tujuan. Pengaruh dan kepentingan akan mengalami perubahan dari
waktu ke waktu, sehingga perlu menjadi bahan pertimbangan. Menurut Yukl 1994 keberhasilan suatu kebijakan pengelolaan ditentukan oleh kemampuan
saling mempengaruhi diantara pemangku kepentingan yang terkait, dimana key players
harus optimal, terutama dalam memanfaatkan pengaruh yang dimiliki oleh kelompok context setter.
Besar kecilnya pengaruh pemangku kepentingan tergantung pada kekuatan yang dimilikinya. Yukl 1994 mengacu pada French Raven 1959 membagi
kekuatan dalam lima kategori berdasarkan sumber-sumbernya yaitu: reward power
, coercive power, legitimate power, expert power dan referent power. Reward power
dimana orang yang ditargetkan menjadi patuh agar dapat memperoleh imbalan reward yang diyakini dimiliki oleh agen. Coercive power
di mana orang yang ditargetkan menjadi patuh agar dapat menghindari hukuman yang diyakini dimiliki oleh agen. Legitimate power dimana orang yang
ditargetkan menjadi patuh karena percaya bahwa agen tersebut mempunyai hak untuk meminta dan orang yang ditargetkan mempunyai kewajiban untuk
mematuhinya. Expert power di mana orang yang ditargetkan menjadi patuh karena percaya bahwa agen tersebut mempunyai pengetahuan mengenai cara
terbaik untuk melakukan sesuatu. Referent power orang yang ditargetkan menjadi patuh karena ia mengagumi dan mengidentifikasi dirinya dengan agen tersebut
dan ingin memperoleh penerimaan dari agen.
Analisis stakeholder dalam penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi stakeholder
yang terlibat, tingkat kepentingan dan peranannya dalam kebijakan pengambilan keputusan penggunaan stimulansia dalam penyadapan pinus di
wilayah Perum Perhutani.
Metode Penelitian
Penelitian tentang pemangku kepentingan dalam pengambilan keputusan dilakukan pada bulan Agustus
–November 2012. Data dan informasi dikumpulkan menggunakan metode wawancara semi terstruktur sesuai tujuan yang telah
disusun. Data dan informasi tersebut kemudian diolah dan dianalisis. Identifikasi pemangku kepentingan dan kepentingannya dilakukan dengan menggunakan
metode snowball sampling yaitu penentuan responden didasarkan atas rekomendasi pemangku kepentingan sebelumnya.
Metode analisis pemangku kepentingan yang digunakan didasarkan metode Reed et al. 2009 yang dilakukan dengan cara 1 mengidentifikasi
pemangku kepentingan; 2 mengelompokkan dan mengkategorikan antar pemangku kepentingan; dan 3 menyelidiki hubungan antar pemangku kebijakan.
Identifikasi pemangku kepentingan
Identifikasi para pemangku kepentingan yang terkait dengan kebijakan adopsi penggunaan stimulansia dalam penyadapan pinus dilakukan dengan
analisis para pihak. Dalam analisis tersebut, pemangku kepentingan dikategorikan dalam tiga kelompok Crosby 1991:
a. Para pihak utama primer, yaitu para pihak yang terkena dampak
langsung oleh suatu program atau proyek baik positif maupun negatif serta mempunyai kepentingan langsung dengan kegiatan tersebut. Para pihak
ini seharusnya ditempatkan sebagai penentu utama dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan.
b. Para pihak pendukung sekunder, yaitu para pihak yang tidak memiliki
kepentingan langsung terhadap kegiatan tersebut, tetapi memiliki kepedulian. Mereka dapat menjadi intermediaries atau fasilitator dalam
proses dan cukup berpengaruh terhadap pengambilan keputusan.
c. Para pihak kunci, yaitu para pihak yang memiliki kewenangan legal dalam
hal pengambilan keputusan. Para pihakyang sudah terindetifikasi kemudian dikelompokkan dan
dikategorikan berdasarkan Reed et al. 2009 dengan menggunakan matriks pengaruh dan kepentingan. Kategori para pihak tersebut adalah:
a. Key players, yaitu aktor
yang aktif dan berperan kunci karena mereka mempunyai kepentingan dan pengaruh yang tinggi terhadap pengembangan
suatu proyek;
b. Context setters, yaitu aktor
memiliki pengaruh yang tinggi tetapi sedikit kepentingan sehingga mereka dapat menjadi resiko yang signifikan untuk
dipantau;
c. Subjects, yaitu aktor
memiliki kepentingan yang tinggi tetapi pengaruhnya rendah dan walaupun mereka mendukung kegiatan, kapasitasnya terhadap
dampak mungkin tidak ada. Namun dapat menjadi pengaruh jika membentuk aliansi dengan pemangku kepentingan lainnya.
65 d.
Crowd, yaitu aktor
memiliki sedikit kepentingan dan pengaruh terhadap hasil yang
diinginkan dan
hal ini
menjadi pertimbangan
untuk mengikutsertakannya dalam pengambilan keputusan.
Pengaruh influence merujuk pada kekuatan power yang dimiliki para pihak untuk mengontrol proses dan hasil dari suatu keputusan. Kepentingan
importance merujuk pada kebutuhan para pihakdi dalam pencapaian output dan tujuan Reed et al. 2009. Berdasarkan data jawaban stakeholder yang
teridentifikasi terhadap tingkat kepentingan dan pengaruhnya, dilakukan skoring untuk menentukan angka pada setiap indikatornya yang kemudian disandingkan
sehingga membentuk koordinat. Hasil analisis ini diilustrasikan seperti Gambar 11.
Analisis pemangku kepentingan dilakukan dengan penafsiran matriks kepentingan dan pengaruh pemangku kepentingan terhadap pengelolaan hutan
pinus. Penyusunan matriks tersebut dilakukan berdasarkan deskripsi pertanyaan responden dan dinyatakan dalam ukuran kuantitatif skor dan dikelompokkan
menurut kriteria pengaruh dan kepentingan. Penetapan skoring didasarkan atas pertanyaan yang digunakan dalam mengukur tingkat kepentingan dan pengaruh
pemangku kepentingan.
Peranan Pemangku Kepentingan
Analisis peran pemangku kepentingan bertujuan untuk mengidentifikasi peranan antar pihak yang mempunyai ikatan kepentingan terhadap kebijakan
adopsi penggunaan stimulansia dalam penyadapan pinus di areal Perum Perhutani. Metode pendekatan yang digunakan adalah analisis 4Rs yang dipopulerkan oleh
Dubois 1998, yaitu rights, responsibilities, revenues dan relationship hak, tanggung jawab, manfaat yang diterima dan hubungan diantara masing-masing
pihak. Pembobotan untuk masing-masing unsur tersebut sesuai dengan Tabel 14.
Gambar 11 Matriks Pengaruh dan Kepentingan menurut Reed et al. 2009
Pengaruh
Key Players Kuadran I
Context Setter Kuadran III
Subjects Kuadran II
Crowd Kuadran IV
Kepentin gan
T in
g g
i
R en
d ah
Tinggi Rendah
Tabel 14 Diskripsi dan bobot nilai masing-masing unsur 3R rights, responsibilities, revenues
Nilai Kategori
Diskripsi Hak
Tanggungjawab Manfaat
5 Sangat tinggi
Mempunyai hak, sangat
mempengaruhi implementasi
kebijakan Menjalankan
tanggungjawabnya, sangat mempengaruhi
kinerja implementasi kebijakan
Mendapatkan manfaat langsung,
sesuai dengan tujuantarget
4 Tinggi
Mempunyai hak, cukup mempengaruhi
implementasi kebijakan
Menjalankan tanggungjawabnya,
cukup mempengaruhi kinerja implementasi
kebijakan Mendapatkan
manfaat tidak langsung sesuai
dengan tujuantarget
3 Cukup
Mempunyai hak, sedikit mempengaruhi
proses implementasi kebijakan
Menjalankan tanggungjawabnya,
cukup mempengaruhi kinerja implementasi
kebijakan Mendapatkan
manfaat langsung, tidak sesuai tanpa
dengan tujuantarget
2 Rendah
Mempunyai hak, tidak mempengaruhi proses
implementasi kebijakan
Menjalankan tanggungjawabnya,
sedikit mempengaruhi kinerja implementasi
kebijakan Mendapatkan
manfaat tidak langsung tanpa ada
target
1 Sangat
rendah Tidak mempunyai hak,
namun mempengaruhi proses implementasi
kebijakan Menjalankan tanggung
jawabnya, tidak mempengaruhi kinerja
implementasi kebijakan Tidak Mendapatkan
manfaat
Amat sangat rendah
Tidak mempunyai hak dan pengaruh
Tidak mempunyai tanggungjawab, namun
mempengaruhi kinerja implementasi kebijakan ,
atau mempunyai tanggung jawab, namun
tidak menjalankannya Tidak mempunyai
tanggunjawab
Dalam penelitian ini menggunakan analisis 3R, yaitu: a.
Rigths hak: hak yang dimiliki oleh para pihak sehubungan dengan pengambilan keputusan, perumusan kebijakan dan implementasi
adopsi stimulansia dalam penyadapn pinus; b.
Responsibilities tanggungjawab: meliputi kewenangan, kewajiban
dan tugas-tugas serta pelaksanaan kebijakanaturankeputusan yang telah ditetapkan sehubungan dengan adopsi penggunaan stimulansia
dalam penyadapan pinus;
67 c.
Revenues manfaat: manfaat atau keuntungan yang diperoleh para
pihak baik berupa manfaat langsung maupun tidak langsung yang timbul sebagai akibat dari dilaksanakannya kebijakan adopsi
penggunaan stimulansia.
Hubungan antar pemangku kepentingan Analisis hubungan antar pemangku kepentingan bertujuan untuk
mengidentifikasi hubungan diantara berbagai pihak yang mempunyai ikatan kepentingan terhadap kebijakan adopsi penggunaan stimulansia dalam
penyadapan pinus di Perum Perhutani. Analisis hubungan antar pemangku kepentingan ini juga disebut sebagai relationship yang merupakan bagian dari
analis 4Rs oleh Dubois 1998. Identifikasi relationship antar pemangku kepentingan dilakukan dengan 4 kategori, yaitu interaksi, kontinuitas, sinergitas,
kekuatan dan ada tidaknya konflik. Masing-masing kategori tersebut diberikan nilai bobot berdasarkan Tabel 15.
Tabel 15 Diskripsi dan bobot nilai masing-masing kategori relationship
Skor Kategori hubungan
Kriteria “relationship” Interaksi
Kontinuitas Sinergitas
Kekuatan Konflik
5 Sangat Baik
Ada Kontinu
Ada Kuat
Tidak 4
Baik Ada
Kontinu Ada
Cukup Tidak
3 Cukup Baik
Ada Kontinu
Tidak Lemah
Tidak 2
Kurang Baik Ada
Tidak Tidak
Lemah Tidak
1 Tidak ada hubungan
Tidak Tidak
Tidak Lemah
Tidak Tidak teridentifikasi
- -
- -
- -1
Potensial terjadi konflik
Ada Tidak
Tidak Lemah
Ada -2
Sering terjadi konflik
Ada Kontinu
Tidak Cukup
Ada
Hasil dan Pembahasan Identifikasi Pemangku Kepentingan
Pada pemangku kepentingan yang terlibat atau berhubungan dengan kebijakan adopsi penggunaan stimulansia dalam penyadapan pinus di areal Perum
Perhutani ada sebanyak 12 pihak. Identifikasi pemangku kebijakan didasarkan pada pendapat Crosby 1991 dan diuraikan sebagai berikut:
1.
Para pihak utama, yaitu para pihak yang terkena dampak langsung oleh suatu program atau proyek baik positif maupun negatif serta mempunyai
kepentingan langsung dengan kegiatan tersebut. Para pihak ini seharusnya ditempatkan sebagai penentu utama dalam pengambilan keputusan dan
pelaksanaan kebijakan. Pihak yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penyadap pinus sebagai pekerja lepas di areal sadapan tegak pinus milik
Perum Perhutani. Para penyadap inilah yang langsung terkena dampak dari
adanya kebijakan adopsi stimulansia yang digunakan dalam penyadapan pinus. Dampak positif yang mereka rasakan adalah hasil getah yang
meningkat karena penggunaan stimulansia dalam penyadapannya sehingga pendapatan yang mereka peroleh juga meningkat. Namun dampak negatif
yang mereka rasakan secara langsung adalah kurang amannya penggunaan stimulansia tersebut terhadap kesehatan mereka, seperti timbulnya rasa gatal,
tangan menjadi kasar hingga gangguan pernafasan. Belum lagi resiko negatif terhadap kesehatan pohon dan lingkungan yang pada akhirnya dapat
menyebabkan mereka menjadi kehilangan pekerjaan karena pohon dan lingkungan yang rusak. Sebagai pengguna langsung stimulansia dalam
penyadapan pinus, seharusnya para penyadap dilibatkan, didengarkan suaranya dalam pengambilan keputusan yang pada akhirnya menjadi
kebijakan perusahaan Perum Perhutani. Namun kenyataannya tidak demikian, kebijakan yang diambil pihak Perum Perhutani dalam hal
penggunaan stimulansia tersebut bersifat top down dari pejabat atas turun ke bawah dan penyadap tinggal menjalankan kebijakan tersebut.
2. Para pihak pendukung sekunder, yaitu para pihak yang tidak memiliki
kepentingan langsung terhadap kegiatan tersebut, tetapi memiliki kepedulian. Mereka dapat menjadi intermediator atau fasilitator dalam proses dan cukup
berpengaruh terhadap pengambilan keputusan. Dalam penelitian ini pihak pendukung adalah para akademisi, peneliti, Dinas Kehutanan dan Kemenhut.
Para akademisi di sini adalah para dosen dari berbagai Perguruan Tinggi yang selama ini konsen pada kebijakan pengelolaan hutan pinus sebagai penghasil
getah. Demikian juga dengan peneliti yang mempunyai tupoksi meneliti sesuai bidang kepakarannya dan mempublikasikan hasil penelitian tersebut
baik dalam media cetak berupa buku, jurnal, petunjuk teknis hingga sosialisasi ke masyarakat. Bagi para akademisi dan peneliti, mereka tidak
segan-segan memberikan sumbangan pemikiran dalam menyelesaikan permasalahan yang mungkin dihadapi Perum Perhutani dalam pengelolaan
hutan pinus. Terkadang mereka juga menyampaikan kritik terhadap pengelolaan yang kurang baik dan memberikan solusi yang diperlukan.
Terlepas apakah semua sumbangan pemikiran, kritik dan saran yang mereka sampaikan akan didengar atau tidak. Semua itu mereka sampaikan untuk
mendapatkan pengelolaan hutan pinus yang lebih baik. Namun ternyata dari hasil wawancara dengan para pejabat Perum Perhutani, apa yang disampaikan
para akademisi dan peneliti tetap mereka dengar dan menjadi bahan pertimbangan dalam mengambil langkah kebijakan selanjutnya. Dinas
Kehutanan yang ada di daerah di mana areal pengelolaan hutan pinus berada berperan sebagai pejabat pemberi ijin pemanfaatan sedang Kemenhut
berperan dalam hal penetapan peraturan yang mengatur Pengelolaan Hutan Tanaman, khususnya pengelolaan hutan pinus. Namun demikian secara teknis
di lapangan lebih banyak ditetapkan oleh Perum Pehutani.
69 3.
Para pihak kunci, yaitu para pihak yang memiliki kewenangan legal dalam hal pengambilan keputusan. Dari hasil penelitian ini, para pihak yang
termasuk dalam kelompok ini adalah para pejabat Perum Perhutani, yaitu Wakil Kepala Unit, Kepala Biro Produksi Bukan Kayu, Kepala KPH, Wakil
Kepala KPH, Kepala Seksi Produksi Hasil Hutan Bukan Kayu, Kepala Seksi Pemasaran Hasil Hutan, Kepala RPH, Polisi Hutan Polhut dan mandor
sadap. Kebijakan penggunaan stimulansia dalam penyadapan pinus didasarkan pada SK no 527045.1PRODDir tanggal 5 September 2007
perihal stimulansia pada sadapan getah pinus yang isinya tentang anjuran penggunaan stimulanisa an-organik dan SK no 220045.9PROSARDir
tanggal 25 April 2011 perihal penggunaan stimulansia ETRAT pada penyadapan pinus. Kebijakan tentang penggunaan stimulansia yang tertuang
dalam Surat Keputusan SK dan dikeluarkan oleh Direktur Perum Perhutani di Jakarta. Berdasarkan hasil wawancara dengan para pejabat Perum
Perhutani diperoleh informasi bahwa kebijakan penggunaan stimulanisa dalam penyadapn pinus sesuai SK tersebut diatas pada implementasinya di
lapangan akan diserahkan kepada kebijakan masing-masing Unit I, II dan III. Oleh karena itu kebijakan penggunaan stimulansia yang terjadi di
masing-masng Unit akan berbeda-beda. Misalnya dalam hal pengadaan stimulansia, bagi Perum Perhutani Unit I pengadaan stimulansia dipusatkan
di kantor Unit, baik dalam hal penunjukan produsen penyedia stimulansia, harga beli, hingga pada pendistribusiannya ke masing-masing KPH. Keadaan
ini akan berbeda dengan Perum Perhutani Unit III, di mana pengadaaan stimulansia akan diserahkan pada masing-masing KPH. Demikian juga
tentang kebijakan penggunaan jenis stimulansia pada penyadapan pinus, di mana penggunaan stimulansia ETRAT dilakukan pada sadapan buka sedang
stimulansia an-organik untuk sadapan lanjut. Instruksi kebijakan dilakukan dari jajaran Petinggi Perum Perhutani paling atas turun ke bawah atau model
top down
. Apa yang sudah diinstruksikan oleh atasan akan dilaksanakan oleh bawahannya.
Hasil identifikasi dan kategorisasi terhadap limabelas pemangku kebijakan disajikan pada Tabel 16.
Tabel 16 Skor dan tingkat kepentingan dan pengaruh para pihak sehubungan kebijakan penggunaan stimulansia dalam penyadapn pinus di Perum
Perum Perhutani
No Para pihak
kepentingan pengaruh
skor tingkatan
skor tingkatan 1.
Wakil Kepala Unit 24
tinggi 22
tinggi 2.
Kepala Biro Produksi Bukan Kayu 22
tinggi 20
tinggi 3.
Kepala KPH 20
tinggi 18
tinggi 4.
Wakil KPH 19
tinggi 17
tinggi 5.
Kepala Seksi Produksi Bukan Kayu 16
sedang 15
sedang 6.
Kepala Seksi Pemasaran 14
sedang 12
sedang 7.
Kepala BKPH 14
sedang 13
sedang 8.
Kepala RPH 12
sedang 12
sedang 9.
Polhut 12
sedang 11
rendah 10.
Mandor sadap 12
sedang 11
rendah 11.
Penyadap 22
tinggi 10
rendah 12.
Akademisi 11
rendah 15
redang 13.
Peneliti 9
rendah 14
sedang
14. Dinas Kehutanan
10 rendah
17 tinggi
15. Kemenhut
12 sedang
9 rendah
Keterangan: Hasil olah data penelitian berdasarkan interpretasi peneliti
Pada Gambar 12 disajikan matriks kepentingan dan pengaruh masing- masing pemangku kepentingan.
71
Gambar 12 Matriks kepentingan dan pengaruh masing-masing pemangku kepentingan
Berdasarkan analisis pemangku kepentingan diperoleh hasil sebagai berikut: a.
Kuadran I: merupakan pemangku kepentingan yang sangat berkepentingan dengan pengelolaan hutan pinus tapi memiliki tingkat pengaruh yang rendah.
Pihak ini terdiri dari para penyadap pinus. Tampaknya rendahnya pengaruh ini
oleh kekurangmampuan atau tidak dilibatkannya penyadap dalam pengambilan kebijakan sehubungan dengan pengelolaan hutan pinus
khususnya dalam hal penyadapan pinus. Sebagai pekerja, penyadap tinggal bekerja begitu saja sementara sarana dan prasarana yang diperlukan untuk
menyadap pinus sudah disediakan oleh Perum Perhutani, misalnya alat sadap, talang sadap, tempat penampung getah hingga jenis stimulansa yang
diperlukan. Demikian juga dengan penentuan harga getah, semunya ditetapkan sesuai dengan standar Perum Perhutani. Ketergantungan yang
tinggi dari penyadap terhadap pengelolaan hutan pinus di Perum Perhutani 5
10 15
20 25
30
5 10
15 20
25 KEPEN
TINGAN
PENGARUH 1
2 3
4 5
6 7
8 9
10 11
12 13
14 15
Kuadran II Subjects
Kuadran I Key Players
Kuadran IV Crowd
Kuadran III Context Setter
terutama berkaitan dengan dengan kepentingan ekonomi. Dengan kata lain kepentingan masyarakat di sekitar hutan pinus yang dikelola Perum Perhutani
lebih dipengaruhi oleh kebutuhan masyarakat untuk menopang kelangsungan hidup mereka. Namun sebenarnya Perum Perhutani juga mempunyai
kepentingan yaitu diperolehnya tenaga kerja sebagai penyadap pinus. Perum Perhutani juga tergantung pada penyadap pinus untuk memperoleh getah.
Oleh karena itu komunikasi dua arah diperlukan sehingga diperoleh kesepakatan yang saling menguntungkan, baik untuk Perum Perhutani
maupun bagi penyadap sebagai pekerjanya.
b. Kuadran II; merupakan pemangku kepentingan yang paling kritis karena
memiliki kepentingan dan pengaruh yang sama-sama tinggi. Posisi ini ditempati oleh para pejabat Perum Perhutani, mulai dari Wakil Kepala Unit,
Kabiro Produksi Bukan Kayu, Kepala KPH, Wakil Kepala KPH, Kepala Seksi Produksi dan Kepala Seksi Pemasaran. Pejabat tersebut dianggap
mewakili Perum Perhutani selaku pengelola lahan hutan. Perum Perhutani memiliki kepentingan dan pengaruh yang tinggi berkenaan dengan otoritas
dan tanggung jawab terbesar sebagai pengelolaan yang mencakup perencanaan, perlindungan, pemanfaatan dan evaluasi terhadap realisasi
program kerja pengelolaan hutan khususnya pengelolaan hutan pinus di Pulau Jawa. Kondisi ini sering ditemui di setiap kegiatan pengelolaan sumberdaya
alam, dimana pengelola yang mendapat kekuasaan secara legal selalu menempati posisi sebagai pemangku kepentingan utama Li et al. 2012;
Maguire et al. 2012; Sembiring et al. 2010.
c. Posisi Kuadran III; merupakan pemangku kepentingan yang memiliki
pengaruh yang tinggi, karena suaranya diperhitungkan dipertimbangakan dalam kegiatan pengelolaan hutan pinus, tetapi mereka memiliki kepentingan
yang relatif rendah terhadap kegiatan pengelolaan kawasan. Para pemangku kepentingan pada kuadran ini adalah akademisi, peneliti dan Dinas
Kehutanan. Pemangku kepentingan ini dapat mempengaruhi kebijakan pengelolaan hutan pinus yaitu dengan memberikan kritikan, solusi masalah,
hasil-hasil peneltian ataupun hasil kajian meskipun semuanya itu hanya sebatas dipertimbangkan dan didengar oleh Perum Perhutani. Namun jika
Perum Perhutani selalu bersikap demikian, tidak menutup kemungkinan suara akademisi dan peneliti dapat didengar oleh pihak-pihak yang kompeten di
luar Perum Perhutani seperti, Kementerian, LSM, dan lain sebagainya yang mungkin bisa mempengaruhi kebijakan Perum Perhutani. Tak menutup
kemungkinan hasil-hasil penelitian ataupun kajian dapat diperoleh oleh para pekerja lapangan di Perum Perhutani sehingga informasi yang mereka
peroleh ditularkan kepada yang lainnya.
d. Kuadran IV; merupakan pemangku kepentingan yang memiliki kepentingan
dan pengaruh yang rendah dalam pengelolaan hutan pinus di Perum Perhutani. Pada posisi ini ditempati oleh para pekerja Perum Perhutani yang
73 bertugas di lapangan, yaitu Polisi Hutan Kepala RPH dan mandor sadap. Para
petugas lapangan ini mengemban tugas untuk mengamankan, mengecek di lapangan dan memberi pengarahan serta penyuluhan kepada para penyadap
sehingga hasil getah pinus yang diperoleh dapat sesuai target. Mereka melakukan itu semua karena mereka juga mempunyai kepentingan agar
pengelolaan hutan pinus terus berkelanjutan sehingga mereka pun tetap dapat menjadi pegawai Perum Perhutani. Namun demikian saran dan masukan yang
mereka sampaikan berdasarkan evaluasi di lapangan, tidak sedikit yang belum didengar oleh Perum Perhutani dalam menetukan kebijakan
selanjutnya.
Peranan para pihak
Peranan para pihak dianalisis dengan menggunakan analisis 4Rs, yaitu hak rights, tanggung jawab responsibilities dan manfaat revenues. Hasil
identifikasi terhadap peranan para pihak dalam kebijakan adopsi inovasi stimulansia pada penyadapan pinus di Perum Perhutani disajikan dalam Tabel 17.
Berdasarkan Tabel 17 tersebut dan pengkategorian peran para pihak sesuai pendapat Crosby 1991 kemudian dibuat distribusi para pihak sesuai perannya
dan disajikan pada Tabel 18.
Tabel 17 Peranan para pihak berdasarkan hak, tanggung jawab dan manfaat yang diperoleh dalam kebijakan adopsi inovasi stimulansia pada penyadapan
pinus
No Keterlibatan Para Pihak
Kategori Jumlah
Hak Tanggung
jawab Manfaat
1 Wakil Kepala Unit
5 5
5 15
2 Kepala Biro Produksi Bukan
Kayu 4
4 5
13 3
Kepala KPH 4
5 5
14 4
Wakil KPH 4
4 5
13 5
Kepala Seksi Produksi Bukan Kayu
3 4
5 12
6 Kepala Seksi Pemasaran
3 4
5 12
7 Kepala BKPH
3 4
5 12
8 Kepala RPH
2 2
5 9
9 Polhut
1 1
4 6
10 Mandor sadap
1 1
5 7
11 Penyadap
1 1
5 7
12 Akademisi
4 4
8 13
Peneliti 4
4 8
14 Dinas Kehutanan
2 3
3 8
15 Kemenhut
3 4
2 9
Keterangan : diolah sesuai hasil wawancara, pemberian skor kategori berdasarkan Tabel 14
Berdasarkan Tabel 18 dapat dilihat bahwa peran Perum Perhutani sebagai pihak kunci dalam kebijakan adopsi penggunaan stimulansia pada
penyadapan pinus sebesar 73,9, sedangkan penyadap sebagai pihak utama mempunyai peran sebanyak 4,5. Pihak pendukung yang terdiri dari akademisi
dan peneliti mempunyai peran sebanyak 17,6. Kondisi ini dapat dipahami karena Perum Perhutani sebagai peran kunci merupakan pihak yang diberi
kewenangan untuk mengelola hutan di Jawa sesuai PP no 53 tahun 1999 tentang Perum Perhutani yang berarti Perum Perhutani memiliki kewenangan legal dalam
hal pengambilan keputusan pengelolaan hutan yang menjadi kewenangannya. Sebagai BUMN, Perum Perhutani juga dituntut untuk menghasilkan profit bagi
perusahaannya sehingga Perum Perhutani harus mampu mencapai target-target yang sudah ditetapkan peusahaan. Oleh karena itulah Perum Perhutani
mempunyai wewenang dan tanggungjawab atas semua program kegiatan yang sudah dicanangkan. Peran penyadap sebesar 4,5 dalam kebijakan tersebut yaitu
sebagai pekerja lepas untuk mendapatkan penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidup. Bagi penyadap pinus, kategori manfaat menjadi faktor penting daripada
kategori hak dan tanggungjawab. Akademisi, peneliti, Dinas Kehutanan dan Kemenhut memiliki peran pendukung sebanyak 17. Bagi peneliti dan
akademisi, dalam hal tanggungjawabnya sebagai ilmuwan untuk menyumbangkan buah pikiran menciptakan inovasi-inovasi baru dan implementasinya tentu
mendapatkan manfaat dari inovasi baru yang diciptakannya itu. Ada rasa kepuasan dapat memberi solusi atas persoalan yang terjadi sehingga pegelolaan
hutan bisa diperbaiki. Terlebih bila inovasi yang diciptakannya dapat digunakan di lapangan, paling tidak mempunyai hak paten atas apa yang mereka ciptakan.
Dinas Kehutanan berperan dalam hal perijinan, sedang Kemenhut berperan dalam hal penetapan peraturan yang mengatur Pengelolaan Hutan Tanaman, khususnya
pengelolaan hutan pinus. Namun demikian secara teknis di lapangan lebih banyak ditetapkan oleh Perum Pehutani
Tabel 18 Distribusi peran para pihak dalam kebijakan adopsi penggunaan stimulansia
No. Peran para pihak
Skor Persentase
1. Pihak kunci : Perum Perhutani, yaitu
113 73,9
75
Wakil Kepala Unit 15
Kepala Biro Produksi Bukan Kayu 13
Kepala KPH 14
Wakil KPH 13
Kepala Seksi Produksi Bukan Kayu 12
Kepala Seksi Pemasaran 12
Kepala BKPH 12
Kepala RPH 9
Polhut 6
Mandor sadap 7
2. Pihak Utama
7 4,5
Penyadap 7
3. Pihak pendukung
27
17,6
Akademisi 8
Peneliti 8
Dinas Kehutanan 8
Kemenhut 9
TOTAL 153
100
Hubungan antar pemangku kepentingan
Analisis hubungan antar pemangku kepentingan dilakukan dengan mengidentifikasi relationship antar pemangku kepentingan berdasarkan 4
kategori, yaitu interaksi, kontinuitas, sinergitas, kekuatan dan ada tidaknya konflik. Hasil analisis hubungan antar pemangku kepentingan dapat dilihat pada
Tabel 19. Tabel 19 Hubungan antar pemangku kepentingan dalan kebijakan adopsi
stimulansia
No Keterlibatan Para Pihak
Kategori Skor
K1 K2
K3 K4
K5 1
Wakil Kepala Unit ada
kontinu ada
kuat tidak
5 2
Kepala Biro Produksi Bukan Kayu
ada kontinu
ada kuat
tidak 5
3 Kepala KPH
ada kontinu
ada kuat
tidak 5
4 Wakil KPH
ada kontinu
ada kuat
tidak 5
5 Kepala Seksi Produksi
Bukan Kayu ada
kontinu ada
cukup tidak
4 6
Kepala Seksi Pemasaran ada
kontinu ada
cukup tidak
4 7
Kepala BKPH ada
kontinu ada
cukup tidak
4 8
Kepala RPH ada
kontinu ada
cukup tidak
4 9
Polhut ada
kontinu tidak
lemah tidak
3 10
Mandor sadap ada
kontinu ada
cukup tidak
4
11 Penyadap
ada kontinu
tidak lemah
tidak 3
12 Akademisi
ada tidak
tidak lemah
tidak 2
13 Peneliti
ada tidak
tidak lemah
tidak 2
14 Dinas Kehutanan ada
kontinu ada
cukup ada
2 15 Kemenhut
ada kontinu
ada cukup
tidak 4
Keterangan : K1 = interaksi; K2 = kontinuitas; K3 = sinergitas; K4 = kekuatan; K5 = konflik
Berdasarkan Tabel 19 dapat dilihat bahwa hubungan antara pihak pemangku kepentingan yaitu pihak Perum Perhutani para pejabat Perum
Perhutani, yaitu pucuk pimpinan sampai dengan mandor sadap dengan penyadap pinus, mempunyai hubungan interaksi, kontinuitas dan sinergitas yang baik.
Sebagai pengelola kawasan hutan pinus di pulau Jawa, Perum Perhutani mempunyai kekuatan legal, sehingga semua kegiatan dan program-program
Perum Perhutani dalam melibatan masyarakat sekitar hutan dapat dijalankan dengan baik. Tentunya didukung oleh semua jajaran Perum Perhutani baik yang
ada di Pusat maupun yang di lapangan. Kebijakan penggunaan stimulansia dalam penyadapan pinus untuk mencapai terget produksi didukung oleh semua jajaran
dan dijalankan secara dengan baik di lapangan. Penyadap selaku pekerja menggantungkan hidupnya untuk bisa mengambil bagian sebagai pekerja
penyadap sehingga bisa menambah pendapatan mereka. Bagi Perum Perhutani, mendapatkan tenaga kerja yang berasal dari sekitar hutan mempunyai nilai
tersendiri yaitu selain mendapatkan tenaga kerja yang mudah dan murah, Perum Perhutani juga sekaligus dapat menjalankan aspek sosial kehutanan dengan
melibatkan masyarakat sekitar hutan sehingga kemanan hutan dapat dijaga bersama-sama dengan masyarakat sekitar hutan. Dengan demikian dapat
meminimalkan terjadinya konflik antara Perum Perhutani dengan masyarakat sekitar hutan.
Bagi akademisi dan peneliti juga mempunyai hubungan yang baik dengan Perum Perhutani terutama dalam hal transfer ilmu untuk implementasi di
lapangan. Akademisi dan peneliti tetap konsen dengan pemberian solusi terhadap permasalahan yang dihadapi Perum Perhutani dan menciptakan inovasi baru
untuk pengelolaan hutan yang lebih baik meskipun terkadang bagi Perum Perhutani memerlukan waktu untuk mengadopsi suatu inovasi dengan berbagai
pertimbangan.
Dalam hal tertentu Dinas Kehutanan mempunyai hubungan yang kurang baik dengan pihak Perum Perhutani, misalnya masalah pemberdayaan masyarakat
sekitar hutan dalam keikutsertaan sebagai pekerja. Konflik antara Dinas Kehutanan dan Perum Perhutani terkadang terjadi manakala Dinas Kehutanan
sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat merasa mempunyai wewenang dalam pengelolaan hutan di wilayah kerjanya, sementara Perum Perhutani juga
merasa sebagai pengelola utama di areal tersebut. Kondisi ini bisa diatasi dengan koordinasi diantara kedua pihak tersebut sehingga pengelolaan hutan di areal
tersebut dapat dilakukan bersama-sama.
77 Kementerian Kehutanan berperan sebagai instansi yang membuat
peraturan perundangan pengelolaan hutan pinus, sementara itu secara teknis dilakukan sepenuhnya oleh Perum Perhutani tentu dengan koordinasi dengan
Dinas Kehutanan terkait.
Simpulan
Kebijakan adopsi penggunaan stimulansi untuk penyadapan pinus dilakukan secara top down, yaitu dari pejabat paling atas turun ke bawah.
Pemangku kepentingan yang terlibat dalam kebijakan adopsi penggunaan stimulansia untuk penyadapan pinus berdasarkan peran dan kepentingannya terdiri
dari tiga pihak, yaitu 1. pihak kunci, yaitu pihak yang memiliki kewenangan legal dalam hal pengambilan keputusan adalah Perum Perhutani yang terdiri dari semua
jajaran pejabat Perum Perhutani dari Pusat hingga mandor sadap; 2 pihak utama, yaitu pihak yang terkena dampak langsung positif dan negatif dan mempunyai
kepentingan langsung atas kebijakan adopsi penggunaan stimulanisa tersebut adalah penyadap pinus dan 3 pihak pendukung, yaitu pihak yang tidak memiliki
kepentingan langsung terhadap kebijakan tersebut tetapi memiliki kepedulian adalah akademisi, peneliti, Dinas Kehutanan dan Kemenhut. Mereka dapat
menjadi intermediator atau fasilitator dalam proses dan cukup berpengaruh terhadap pengambilan keputusan. Semakin tinggi jabatan seseorang dalam jajaran
Pejabat Perum Perhutani, semakin tinggi pula pengaruh dan kewenangannya dalam menentukanmemutuskan kebijakan. Hubungan antar pemegang
kepentingan berdasarkan empat kategori, yaitu interaksi, kontinuitas, sinergitas, kekuatan dan ada tidaknya konflik yang terjalin selama ini adalah selalu ada
interaksi, ada sinergitas, terjadi secara kontinu kecuali pihak akademisi dan peneliti karena mereka pihak di luar Perum Perhutani. Dengan demikian
diharapkan tidak terjadi konflik. Untuk menghindari konflik pengelolaan hutan di daerah, koordinasi antara Perum Perhutani dan Dinas Kehutanan perlu dilakukan
dalam hal pengelolaan hutan di suatu wilayah.
5 STRATEGI KEBIJAKAN PENGGUNAAN STIMULANSIA RAMAH LINGKUNGAN
Pendahuluan
Hasil Hutan Bukan Kayu HHBK menjadi alternatif sumber pendapatan bagi perusahaan pada saat ketersediaan hasil hutan kayu di Indonesia semakin
terbatas. Getah pinus sebagai salah satu jenis HHBK sudah masuk dalam sistem perdagangan internasional. Pangsa pasar getah pinus Indonesia dalam
perdagangan internasional menempati urutan ke tiga setelah Cina FAO 2005. Perum Perhutani sebagai salah satu penghasil getah pinus di Indonesia mampu
mengekspor 80 produksinya ke mancanegara, yaitu Eropa, India, Korea Selatan, Jepang dan Amerika Perum Perhutani 2006.
Upaya peningkatan hasil getah terus dilakukan Perum Perhutani seiring dengan permintaan konsumen akan getah pinus. Salah satu cara yang dilakukan
untuk meningkatkan produksi getah pinus dengan pemberian stimulansia atau zat perangsang dalam penyadapan pohon pinus. Stimulan atau zat perangsang
merupakan cairan tertentu yang diberikan pada luka sadap pinus yang berguna untuk lebih memperlancar keluarnya getah dari dalam batang pinus sehingga
getah yang dapat dikumpulkan menjadi lebih banyak pada saat itu. Cairan yang digunakan sebagai stimulansia biasanya berbahan dasar asam. Hampir seluruh
areal Perum Perhutani menggunakan stimulansia an-organik berbahan dasar asam kuat yaitu H
2
SO
4
sebagai stimulansia dalam penyadapan pinus dengan komposisi pemberian stimulansia yang berbeda-beda tergantung ketinggian tempatnya.
Pengguanan stimulansia an-organik dirasa tidak aman baik untuk kesehatan pohon pinus yang disadap maupun tenga penyadapnya serta
lingkungan. Oleh karena itu dikembangkanlah produk stimulansia berbahan dasar organik yaitu ETRAT yang lebih aman dan ramah lingkungan. Selain itu
stimulansia ETRAT memberikan efek positif terhadap produksi getah, yaitu dapat meningkatkan produksi getahnya. Namun demikian masyarakat penyadap tidak
dengan serta merta lalu menggunakan stimulansia tersebut di lapangan. Hal ini berhubungan dengan kebijakan Perum Perhutani yang memang belum
memberikan instruksi penggunaan stimulansia ETRAT dalam penyadapan pinus untuk seluruh areal hutan pinus. Di sisi lain stimulansia ramah lingkungan
berbahan dasar organik berbahan dasar cuka kayu mempunyai prospek yang cukup baik dalam kegiatan penyadapan pinus.Selain biaya produksi yang murah,
pembuatan cuka kayu juga dapat memberikan nilai tambah pemanfaatan limbah hutan.
Pengelolaan hutan pinus sebagai penghasil getah di areal pulau Jawa menjadi kewenangan ilegal bagi Perum Perhutani. Peningkatan produksi getah
seiring dengan peningkatan kebutuhan dalam negeri dan luar negeri menjadi tanggung jawab Perum Perhutani, termasuk kebijakan penggunaan stimulansia
79 dalam penyadapan pinus untuk meningkatkan produksi getah. Bagi masyarakat
penyadap, stimulansia jenis apapun yang disediakan oleh Perum Perhutani akan digunakannya, meskipun stimulansia tersebut berdampak negatif terhadap
kesehatan penyadap dan tidak ramah lingkungan.Tidak sedikit penyadap yang menyadari bahaya penggunaan stimulansia an-organik dan berharap dapat
menggunakan stimulansia yang lebih ramah lingkungan. Dengan syarat selain aman dan ramah lingkungan, penggunaan stimulansia ramah lingkungan juga
dapat meningkatkan produksi getah. Bagi Perum Perhutani sendiri mensyaratkan juga harga stimulansia tidak mahal bahkan kalau memungkinkan harga
stimulansia ramah lingkungan lebih murah daripada stimulansia an-organik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi strategi kebijakan penggunaan stimulansia ramah lingkungan dalam penyadapan pinus. Strategi
kebijakan yang diperoleh diperlukan untuk mengakomodir kepentingan Perum Perhutani dalam kegiatan penyadapan pinus tanpa mengesampingkan keinginan
masyarakat penyadap.
Metode Penelitian
Pengumpulan data dilakukan pada bulan September –November 2014 di
areal Perum Perhutani dan merupakan bagian dari rangkaian penelitian disertasi. Penelitian ini bersifat kualitatif dan pengumpulan data dilakukan melalui
wawancara mendalam terhadap beberapa informan yang terdiri dari masyarakat penyadap yang bekerja di areal Perum Perhutani 89 orang, mandor 5 orang,
Polhut 1 orang, Kepala RPH 4 orang, Kepala KPH 2 orang, WaKa KPH 2 orang, Kasie HHBK 3 orang, Karo Produksi 3 orang dan WaKa Unit 1
orang. Pemilihan informan dilakukan secara purposif yaitu 3 daerah penghasil getah pinus terbesar di Perum Perhutani KPH Banyumas Barat, KPH Kediri dan
KPH Sukabumi.
Analisis SWOT digunakan sebagai alat evaluasi untuk mencapai tujuan penelitian. Menurut Rangkuti 2008 analisis SWOT adalah identifikasi berbagai
faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan dengan cara memaksimalkan kekuatan dan peluang, namun pada saat bersamaan dapat
meminimalkan kelemahan dan ancaman. Analisis SWOT dilakukan dengan cara: A.
Mengidentifikasi faktor Internal berupa kekuatan strenghts dan kelemahan weaknesses serta peluang opportunities dan ancaman threatsyang dapat
mempengaruhi adopsi penggunaan stimulansia ramah lingkungan dalam kegiatan penyadapan pinus di Perum Perhutani.
B. Menentukan Faktor Kunci Keberhasilan FKK dan Peta Posisi Kekuatan,
yaitu: 1.
Menentukan Faktor Kunci Keberhasilan FKK Dari enam faktor internal utama dan enam faktor eksternal utama,
selanjutnya dipilih faktor kunci keberhasilan FKK. Untuk memilih dan menetapkan FKK, maka dilakukan evaluasi terhadap faktor internal dan
eksternal yang telah diidentifikasi sebelumnya. Faktor yang menyebabkan urgensi, dukungan dan keterkaitan yang tinggi terhadap keberhasilan untuk
masa sekarang dan masa mendatang, ditetapkan sebagai FKK, dengan aspek yang dinilai setiap faktor adalah:
a. Urgensi faktor terhadap pencapaian sasaran, meliputi nilai urgensi NF
dan bobot faktor BF. Penilaian NF dalam pencapaian sasaran dilakukan dengan cara merubah nilai kualitatif menjadi nilai kuantitatif dengan
skala 1 sampai dengan 5, dengan rincian sebagaimana Tabel 20.
Tabel 20 Skala Penilaian Urgensi NF
No Skala Nilai
Keterangan 1
5 Sangat besartinggi
2 4
Besartinggi 3
3 Sedangcukup
4 2
Rendahkecil 5
1 Sangat rendahkecil
Nilai BF merupakan rasio antara NF dengan jumlah NF untuk masing- masing faktor internal dan eksternal, yang dinyatakan dalam persen.
Rumus untuk menghitung BF adalah: BF = NF x 100ΣNF
b. Dukungan faktor terhadap pencapaian sasaran, meliputi nilai dukungan
ND dan nilai bobot dukungan NBD. Nilai dukungan ND masing- masing faktor ditetapkan atas dasar besarnya dukungan faktor tersebut
terhadap pencapaian sasaran dengan skala 1 sampai dengan 5. Rincian skala nilai ND sama dengan rincian skala nilai NF. Nilai NBD tiap faktor
dihitung dengan rumus: NBD = ND x BF
c. Keterkaitan antar faktor terhadap pencapaian sasaran, meliputi nilai
keterkaitan NK, nilai rata-rata keterkaitan NRK dan nilai bobot keterkaitan NBK. Faktor-faktor internal dan eksternal saling terkait
atau berhubungan dalam pencapaian sasaran. Dengan adanya keterkaitan akan tercipta sinergitas dalam mendukung pencapaian sasaran. Nilai-nilai
keterkaitan faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut: Nilai keterkaitan NK tiap faktor terhadap faktor lain ditentukan
dengan skala 0 sampai dengan 5. Skala 5 menunjukkan adanya keterkaitan yang sangat erat antar faktor dalam mendukung
pencapaian sasaran, skala nilai 1 sangat lemah, sedangkan skala nilai 0 menunjukkan tidak adanya hubungan keterkaitan.
Nilai rata-rata keterkaitan NRK tiap faktor adalah jumlah NK dibagi jumlah faktor terkait n-1 atau dengan rumus NRK =
ΣNKΣn-1 Nilai NBK dihitung dengan rumus NBK = NRK X BF
81 d.
Total nilai bobot TNB merupakan penjumlahan nilai NBD dan NBKatau dengan rumus TNB = NBD + NBK
Faktor kunci keberhasilan FKK ditentukan berdasarkan faktor yang mempunyai nilai TNB tertinggi. Kemudian dipilih 4 empat FKK yang terdiri
dari satu faktor dengan nilai TNB tertinggi dari masing-masing faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman.
Hasil dan Pembahasan
Tabel 21 Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal
FAKTOR INTERNAL Kekuatan
Strengths
1.
Penggunaan stimulansia ramah lingkungan lebih aman
2.
Keberlanjutan pengelolaan hutan pinus lebih terjamin
3.
Tersedianya stimulansia ramah lingkungan
Kelemahan Weaknesses
1.
Produktivitas getah lebih rendah
2.
Belum ada harga pembeda getah yang dihasilkan dari penggunaan
stimulansia ramah lingkungan dan stimulansia an-organik
3.
Harga stimulansia ramah lingkungan mahal
FAKTOR EKSTERNAL Peluang
Opportunities
1.
Stimulansia ramah lingkungan organik dapat diproduksi sendiri
oleh Perum Perhutani
2.
Penyadap getah pinus sangat membutuhkan stimulansi yang
aman dan ramah lingkungan
3.
Inovasi stimulansia ramah lingkungan yang digunakan untuk
meningkatkan produksi getah pinus sudah dikembangkan
Ancaman Threats
1.
Penggunaan stimulansia berbahan dasar asam kuat an-organik sudah
menjadi harga mati untuk kegiatan penyadapan getah pinus di Perum
Perhutani
2.
Inovasi stimulansia yang aman dan ramah lingkungan belum bisa diterima
penggunaannya di Perum Perhutani secara menyeluruh
3.
Sulitnya merubah kebiasaan penggunaan stimulansia berbahan
dasar stimulansia an-organik yang sudah dilakukan secara turun temurun
Analisis faktor-faktor internal kekuatan dan kelemahan dan faktor eksternal peluang dan ancaman, yang dapat mempengaruhi adopsi penggunaan
stimulansia ramah lingkungan dalam kegiatan penyadapan pinus di Perum Perhutani dapat dilihat pada Tabel 21.
Faktor Kekuatan 1.
Penggunaan stimulansia ramah lingkungan lebih aman Sampai sekarang ini stimulansia yang digunakan dalam penyadapan pinus di
areal Perum Perhutani sebagian besar menggunakan stimulansia an-organik berbahan dasar asam kuat yaitu H
2
SO
4
atau dikenal sebagaistimulansia an- organik atau juga merk dagang SOCEPAS terdiri dari Asam Sulfat dan
Chloroastyl Phosponil Acid. Penggunaan stimulansia berbahan dasar asam kuat tersebut dikeluhkan oleh penyadap karena efek negatif terhadap kesehatan
seperti tangan menjadi gatal dan kasar, pedih bila kena mata dan menimbulkan batuk. Lebih lanjut dalam LIPI 2004 menyebutkan bahwa efek jangka pendek
bila menghirup uap asam sulfat dapat mnyebabkan iritasi pada hidung dan tenggorokan serta mengganggu paru-paru. Cairan asam dapat merusak kulit
dan menimbulkan luka yang amat sakit. Dapat menimbulkan kebutaan bila terkena mata. Menghirup uap asam kadar kecil dalam jangka panjang berakibat
iritasi pada hidung, tenggorokan dan parau-paru. Bagi pohon pinus itu sendiri, penggunaan asam kuat dapat menyebabkan perubahan warna batang bekas
sadapan, yaitu tampak berwarna merah hingga hitam gosong dan pada penggunaan secara terus menerus dalam jangka waktu yang cukup lama akan
menyebabkan peluruhan dinding trakeid dalam jumlah banyak sehingga batang pohon menjadi rapuh. Kondisi ini akan memberikan kontribusi negatif
terhadap robohnya pohon lebih-lebih karena luka sadapan yang sudah terlalu dalam dan terpaan angin yang menerpanya. Bahkan diduga ada kandungan
bahan kimia didalam getah hasil sadapan yang berasal dari stimulansia an- organik yang digunakan sehingga dapat mengganggu penggunaan atau
pengolahan getah lebih lanjut. Berdasarkan beberapa literatur juga menyebutkan bahwa penggunaan stimulansia berbahan dasar asam kuat seperti
H
2
SO
4
juga menyebabkan pencemaran tanah dan air. Penggunaan stimulansia ramah lingkungan di sini dimaksudkan sebagai stimulansia yang berbahan
dasar alami hayati, dari tumbuh-tumbuhan. Perum Perhutani sudah memakai stimulansia ETRAT dalam penyadapan pinus meskipun masih digunakan
secara parsial tidak menyeluruh pada kondisi tertentu sadapan buka dan pada lokasi dengan ketinggian tempat di bawah 500 mdplrendah. Stimulansia
ETRAT berasal dari zat etilen yang berguna dalam pembentukan getah di dalam tanaman. Penyadap yang menggunakan stimulansia ETRAT tidak
merasakan keluhan-keluhan seperti jika mereka menggunakanstimulansia an- organik . Perum Perhutani sendiri sudah mengetahui bahwa penggunaan
ETRAT lebih aman bagi kesehatan penyadap maupun pohon yang disadap. Namun karena pertimbangan harga beli stimulansia ETRAT lebih mahal
dibanding stimulansia an-organik sehingga penggunaan ETRAT dibatasi. Stimulansia organik lainnya berbahan dasar cuka kayu juga sudah diujicobakan
dalam penelitian ini dan dapat meningkatkan produksi getah pinus. Kelebihan stimulansia cuka kayu ini adalah dapat diproduksi sendiri secara mudah dan
83 murah serta bahan bakunya berasal dari limbah kayu atau pohon atau bahan
apa saja yang mengandung lignoselulosa. Penggunaan stimulansia cuka kayu di lapangan juga tidak dikeluhkan oleh penyadap baik terhadap kesehatan
penyadapn maupun pohon yang disadap. Perum Perhutani sudah menyadari bahwa penggunaan stimulansia ramah lingkungan lebih aman baik terhadap
kesehatan penyadap maupun pohon yang disadap.
2. Keberlanjutan pengelolaan hutan pinus lebih terjamin
Penggunaan stimulansia ramah lingkungan seperti yang sudah diuraikan pada point 1 memberikan dampak positif terhadap keberlanjutan pengelolaan hutan
pinus. Keberlanjutan di sini meliputi sustainabilitas tegakan pinus yang didukung oleh kesehatan pohon yang memadai dan juga penyadap sebagai
pekerjanya. Kesehatan pohon di sini berhubungan dengan ekploitasi pemanenan getah yang berlebihan karena hanya berorientasi ekonomi semata
sehingga pohon dipaksa untuk menghasilkan getah yang lebih banyak untuk mengejar target, salah satunya dengan menggunakan stimulansia berbahan
dasar asam kuat tersebut. Bagi tenaga penyadap yang bekerja di sebagai tenaga lepas di Perum Perhutani, sebenarnya juga mempunyai pilihan pekerjaan lain
selain sebagai petani yaitu sebagai buruh pabrik ataupun bekerja di sektor perkebunan atau pertambangan. Bila penghasilan dari tenaga penyadap pinus
tidak kompetitif ditambah lagi bahaya kesehatan yang terus membayangi, maka dikhawatirkan suatu saat tenaga penyadap akan berpaling ke pekerjaan
lain. Kondisi ini akan menyulitkan Perum Perhutani dalam memperoleh tenaga kerja masyarakat sekitar hutan, sehingga jika kekurangan tenaga penyadap
akan menurunkan produksi getah yang dihasilkan. Dengan demikian keberlanjutan pengelolaan hutan pinus sebagai penghasil getah akan terancam
terhenti di tengah jalan.
3. Tersedianya stimulansia ramah lingkungan
Stimulansia ramah lingkungan seperti ETRAT sudah tersedia di pasaran dan diproduksi oleh CV Permata Hijau lestari di Bogor Jawa Barat. Sementara itu
dengan pertimbangan kemudahan dalam pembuatan stimulansia organik berbahan dasar cuka kayu, cuka kayu dapat diproduksi sendiri oleh Perum
Perhutani bahkan oleh masyarakat penyadap. Hanya tinggal komitmen untuk mengaplikasikannya di lapangan.
Faktor Kelemahan
1. Produktivitas getah lebih rendah
Penggunaan stimulansia ramah lingkungan yang berbahan dasar organik dan digunakan dalam penyadapan getah pinus dapat meningkatkan dan
memperpanjang waktu aliran getah sehingga getah yang diperoleh per pengunduhan. Namun demikian penggunaan stimulansia organik menghasilkan
produk getah yang lebih rendah dibandingkan dengan stimulansia an-organik .
Pada ketinggian rendah 500 mdpl, peningkatan hasil getah pinus dengan menggunakan stimulansia an-organik, ETRAT dan cuka kayu masing-masing
sebesar 49,15; 33,57 dan 15,5. Demikian juga pada ketinggian tempat 500 mdpl, kenaikan hasil getah pinus karena penggunaan stimulansia an-
organik, ETRAT dan cuka kayu masing-masing sebesar 51,7; 28,1 dan 17,8.
2. Belum ada harga pembeda getah yang dihasilkan dari penggunaan stimulansia
ramah lingkungan dan stimulansia an-organik. Sistem pengupahan yang diberlakukan di Perum Perhutani adalah sistem upah
berdasarkan prestasi, maksudnya penyadap menerima upah tergantung pada prestasi yang telah dilakukan dalam waktu yang disediakan. Dengan demikian
upah tiap bulan yang diterima penyadap akan bervariasi tergantung kemauan dan kemampuan penyadap dalam melakukan penyadapan pinus. Tarif upah
dikenal dengan nama tarif pikul yang ditetapkan Perum Perhutani didasarkan pada jarak tempuh dari lokasi sadapan anak petak ke Tempat Pengumpulan
Getah TPG. Tarif upah ini juga dibedakan berdasarkan kualitas getah, yaitu kualitas A dan B dimana kualitas A lebih tinggi tarif upahnya dibanding
kualitas B pada jarak pikul yang sama. Kualitas getah tersebut berdasarkan kebersihan getah dari pengotor yang ikut masuk tercampur getah seperti sisa
dedaunan, ranting, tanah, dan pengotor lainnya. Di sisi lain, seiring perkembangan jaman dan kesadaran manusia akan pentingnya kesehatan,
semua produk yang berhubungan langsung dengan manusia harus aman bagi kesehatan manusia. Tak terkecuali produk getah pinus yang diolah menjadi
berbagai produk dan derivatnya seperti gondorukem, terpentin, alphapinene, bethapinene, dan lain sebagainya. Bagi pangsa pasar produk tersebut dipilah
menjadi 2 yaitu produk foodgrade yang berarti produk ini aman untuk kesehatan manusia dan non-foodgrade produk ini mengandung zat yang tidak
amanmembahayakan bagi kesehatan manusia. Produk derivat gondorukem yang termasuk kategori foodgrade dimanfaatkan sebagai perban tambal gigi,
pengawet makanan, campuran sabun mandi, kosmetika, dan lain-lainnya. Produk non-foodgrade digunakan sebagai bahan sizing kertas, campuran
terpentin, tinta, dan lain sebagainya. Terlepas dari pemilahan kedua produk tersebut seharusnya memang semua produk memenuhi standar aman bagi
kesehatan manusia. Oleh karena itu salah satu syarat produk yang aman adalah yang bebas dari B3 Bahan Berbahaya dan Beracun termasuk zat kimiawi
asam kuat yang digunakan dalam penyadapan pinus. Mengingat bahaya dan sifat korosif yang dimiliki asam kuat tersebut, maka getah pinus yang
dihasilkan diduga mengandung zat berbahaya bagi kesehatan manusia. Sementara itu harga produk getah pinus di pasaran dunia tidak melihat hal itu
dan tidak membedakan harga berdasarkan stimulansia yang digunakan. Padahal melihat efek negatif yang ditimbulkannya seharusnya ada harga
85 pembeda antara getah yang diproduksi dengan menggunakan stimulansia an-
organik dan yang organik. Walaupun posisi Indonesia sebagai salah satu produsen getah pinus terbesar ke 3 di dunia, namun tidak berperan sebagai
price taker
atau penentu harga. Posisi ini yang menyulitkan dan merugikan produsen getah pinus.
3. Harga stimulansia ramah lingkungan mahal
Selama ini stimulansia yang digunakan dalam penyadapan pinus di areal Perum Perhutani diadakan dengan cara membeli ke pihak perusahaan penyedia
stimulansia. Stimulansia an-organik dibeli dari CV Tusam di Jember Jawa Timur sedang stimulansia ETRAT dibeli dari CV Permata Hijau lestari di
Bogor Jawa Barat. Berdasarkan wawancara dengan pihak Perum Perhutani, pengadaan stimulansia diserahkan ke masing-masing Unit I, II dan III dan
masing-masing Unit punya kewenangan dalam pengadaan tersebut sehingga kebijakan yang ditempuh oleh masing-masing Unit mungkin berbeda-beda.
Harga stimulansia an-organik berkisar antara Rp6000
–11.000liter tergantung jarak dari tempat produksinya sedang stimulansia ETRAT berkisar antara
Rp10.000 –12.000liter berdasarkan wawancara dengan Perum Perhutani tahun
2013. Berdasarkan harga per liter tersebut, harga stimulansia ETRAT atau stimulansia organik lebih mahal dibandingkan stimulansia an-organik .
Faktor Peluang 1.
Stimulansia ramah lingkungan organik dapat diproduksi sendiri oleh Perum Perhutani.
Stimulansia organik antara lain yang berbahan dasar cuka kayu dapat diproduksi sendiri oleh Perum Perhutani dengan cara yang mudah dan murah.
Cara membuat cuka kayu dapat dilakukan dengan metode tungku tanah dan metode drum Haris dan Kresno 2005; Nurhayati et al. 1997, dimana
pembuatan cuka kayu dapat dilakukan berbarengan dengan pembuatan arang. Asap hasil pembakaran pada proses pembuatan arang kayu dapat dimanfaatkan
sebagai bahan baku pembuatan cuka kayu wood vinegar. Dengan menggunakan bambu segar sebagai bahan kondensor pada proses pendinginan
bambu dilubangi dan dipotong dipasangkan pada bagian atas cerobong pada proses pembuatan arang kemudian diusahakan agar sebagian asap masuk
melewati bambu sehingga diperoleh hasil akhir proses pendinginan asap pembakaran kayu berupa cuka kayu wood vinegar. Bahan-bahan yang
digunakan dalam pembuatan cuka kayu mudah ditemukan dan murah harganya. Bahan baku berupa limbah batang, ranting dahan atau bagian lain
dari pohon yang sudah tidak dipakai dipersiapkan dengan cara memotong- motong hingga ukuran diameter sekitar 5
–10 cm dan panjang 15–20 cm. Metode tungku tanah dibuat dengan cara menggali tanah dan memasukkan
bahan baku seperti tersebut di atas, dibakar sedemikian rupa sehingga
mengeluarkan asap. Sementara itu dengan metode drum, bahan baku disusun di dalam drum dan dilakukan pembakaran sedemikian rupa sehingga
mengeluarkan asam. Asam inilah yang ditangkap dan dikondensasi dengan batang bambu sehingga berbentuk cair dan dinamakan asam cair. Asam cair ini
banyak mengandung asam cukaasam asetat CH
3
COOH sehingga dikenal dengan nama cuka kayu. Litbang Perum Perhutani di Cepu Jawa Tengah juga
sudah pernah membangun alat pembuat cuka kayu dengan metode kubah dan bahkan sudah pernah diujicoba untuk memproduksi cuka kayu hanya saja
sekarang sedang berhenti berproduksi.
2. Penyadap getah pinus sangat membutuhkan stimulansi yang aman dan ramah
lingkungan. Berdasarkan fakta di lapangan, penggunaan stimulansia berbahan dasar asam
kuat H
2
SO
4
atau stimulansia an-organik dikeluhkan oleh penyadap karena efek negatif terhadap kesehatan seperti tangan menjadi gatal dan kasar, pedih
bila kena mata dan menimbulkan batuk. Bagi penyadap sebenarnya menginginkan stimulansia yang tidak menimbulkan efek demikian. Hanya saja
karena produksi getah yang dihasilkan tidak setinggi jika menggunakan stimulansia an-organik, mereka bertahan menggunakan stimulansia an-organik
dengan resiko yang membahayakan kesehatan. Namun jika ada stimulansia lain yang lebih aman dan dapat meningkatkan produksi getah, mereka lebih
memilih menggunakan stimulansia tersebut. Selain itu penggunaan stimulansia an-organik juga juga berefek kurang bagus terhadap tegakan pinus. Jika
keadaan ini dibiarkan terus menerus, tidak menutup kemungkinan para penyadap akan berpaling memilih bekerja di tempat lain yang dirasa lebih
aman bagi mereka. Terlebih lagi bila dihubungkan dengan kondisi di pulau Jawa dimana jumlah penduduk yang bekerja di bidang pertanian termasuk
kehutnanan semakin berkurang seiring dengan bertambahnya lapangan kerja di perkotaan dalam berbagai sektor, sehingga pada beberapa tempat telah
terjadi kelangkaan tenaga kerja pertanian Hardjanto 2006.
3. Inovasi stimulansia ramah lingkungan yang digunakan untuk meningkatkan
produksi getah pinus sudah dikembangkan. Stimulansia yang aman dan tidak menimbulkan gangguan lingkungan yang
berarti atau ramah lingkungan sudah dikembangkan dan diujicobakan di areal Perum Perum Perhutani. Berdasarkan wawancara, selain ETRAT ada beberapa
jenis stimulansia yang dikenalkan dan diujicoba oleh Litbang Perhutani dengan merk dagang SUPERFARM, GREEN ONE GO 1, GO 3, GO 5 dan
BIOCAS. Stimulansia merk dagang SUPERFARM dan GO hasil penelitian UGM hanya sebatas diujicobakan di lapangan oleh Litbang Perhutani dan
tidak diterapkan lebih lanjut. Produk BIOCAS baru diperkenalkan dan diujicoba pada tahun 2014 di wilayah Perum Perhutani Unit III Jawa Timur.
87 Beberapa penyadap hingga sekarang masih ada yang melanjutkan
menggunakan stimulansia BIOCAS tersebut meskipun belum ada Surat Kpeutusan resmi dari Perum Perhutani. Stimulansia BIOCAS diproduksi oleh
pabrik yang sama dengan stimulansia an-organik. Semua jenis stimulansia yang diujicobakan di Perum Perhutani tersebut diklaim produsennya sebagai
stimulansia organik dan ramah lingkungan. Namun dengan pertimbangan tertentu, stimulansia ramah lingkungan yang digunakan di wilayah Perum
Perhutani meskipun belum semua areal tegakan pinus, dipilihlah stimulansia ETRAT sudah ada Surat Keputusan dari Direksi tentang penggunaan
stimulansia ETRAT. Dengan melihat banyaknya stimulansia yang ditawarkan di Perum Perhutani menunjukkan bahwa sampai saat ini penggunaan
stimulansia yang ramah lingkungan sudah menjadi suatu kebutuhan dalam penyadapan pinus. Semua lapisan masyarakat sudah lebih menyadari
pentingnya penggunaan stimulansia ramah lingkungan.
Faktor Ancaman 1.
Penggunaan stimulansia berbahan dasar asam kuat an-organik adalah suatu keniscayaan dalam kegiatan penyadapan getah pinus di Perum Perhutani.
Selama ini sebagian besar wilayah Perum Perhutani menggunakan stimulansia an-organik dalam penyadapan pinus. Berdasarkan wawancara, perbandingan
penggunaan stimulansia an-organik dan ETRAT masing-masing sebesar 80 dan 20. Hal ini dengan pertimbangan harga pembelian stimulansia dimana
stimulansia an-organik lebih murah dibandingkan ETRAT dan juga karena faktor kebiasaan masyarakat penyadap yang sudah “nyandu” harus memakai
stimulansia dalam setiap kegiatan penyadapannya terutama stimulansia yang dapat lebih banyak menghasilkan getah an-organik. Penggunaan stimulansia
an-organik didasarkan pada Surat Keputusan Direksi No 527045.1PRODDir tanggal 5 September 2007 tentang anjuran penggunaan stimulansia an-organik,
sedangkan dasar penggunaan ETRAT tertuang pada Surat Keputusan Direksi No 220045.9PROSARDIR tanggal 25 April 2011 tentang penggunaan
stimulansia ETRAT dalam penyadapan pinus.
2. Inovasi stimulansia yang aman dan ramah lingkungan belum diterima
penggunaannya di Perum Perhutani secara menyeluruh. Inovasi stimulansia terus dikembangkan sesuai dengan tuntutan masa kini yaitu
harus aman dan ramah lingkungan. Perum Perhutani sendiri mempunyai sikap terbuka terhadap segala inovasi yang berhubungan dengan kegiatan
penyadapan pinus. Hanya saja Perum Perhutani mengajukan syarat tertentu terhadap diadopsinya suatu inovasi stimulansi, yaitu syarat produksi dan harga.
Syarat produksi berhubungan dengan kemampuan stimulansia dalam menghasilkan getah pinus, yaitu harus dapat meningkatkan hasil getah pinus
paling tidak sama dengan jika menggunakan stimulansia an-organik. Syarat
harga berhubungan dengan harga stimulansia yang lebih murah atau paling tidak sama dengan harga stimulansia an-organik per liternya. Di sisi lain
Perum Perhutani juga sadar akan pentingnya penggunaan stimulansia yang aman dan ramah lingkungan. Apalagi ke depan nanti semua produk yang
dihasilkan dari getah pinus dituntut harus aman bagi kesehatan manusia. Dengan pertimbangan tersebut, Perum Perhutani mengambil langkah
penggunaan inovasi stimulansia ramah lingkungan dalam penyadapan pinus meskipun belum digunakan di seluruh arela Perum Perhutani.
3. Sulitnya merubah kebiasaan penggunaan stimulansia berbahan dasar
stimulansia an-organik yang sudah dilakukan secara turun-temurun. Penggunaan stimulansia dalam penyadapan getah pinus sudah dilakukan sejak
tahun 1933 di Jerman dan Rusia dan diikuti Amerika pada tahun 1936 Soetjipto 1975, Koch 1972. Penggunaan stimulansia ini kemudian juga
diadopsi di Indonesia meskipun belum serentak penggunaannya dan belum adan dasar hukum penggunaanya hingga ditetapkannya SK Direksi tentang
anjuran penggunaan stimulansia an-organik No 527045.1PRODDir pada tahun 2007. Penggunaan stimulansia an-organik pada awalnya hanya berupa
anjuran karena memang kondisi penyadapan pinus pada waktu itu masih banyak yang tidak mau atau belum menggunakan stimulansia. Hal ini
berhubungan dengan orientasi utama terhadap tegakan pinus pada waktu itu diambil kayunya bukan getahnya. Apalagi jika dihubungkan dengan fokus
utama Perum Perhutani yang lebih menitikberatkan hasil kayu terutama kayu jati. Namun seiring perkembangan jaman, produk hasil hutan bukan kayu yaitu
getah pinus mulai dilirik karena prospeknya yang menjanjikan. Terlebih semakin tahun jumlah permintaan getah semakin meningkat sehingga
mendorong penggunaan stimulansia untuk meningkatkan hasil getah. Bagi penyadap, semakin banyak getah yang diperoleh akan semakin banyak juga
pendapatannya. Dari awal setahu mereka hanya stimulansia an-organik yang cocok digunakan untuk meningkatkan produksi. Pengetahuan tentang
stimulansia an-organik inilah yang mereka tularkan ke anak cucu dan saudara- saudaranya. Oleh karena itu jika ada inovasi stimulansia yang baru, mereka
merasa ragu untuk mencobanya. Mereka khawatir hasil getah yang mereka peroleh tidak sebanyak jika menggunakanstimulansia an-organik .
Komparasi terhadap faktor-faktor internal dan eksternal untuk mengetahui
nilai NF dan BF di sajikan pada Tabel 22.
89
Tabel 22 Matrik Komparasi Urgensi Faktor Internal dan Faktor Eksternal No
FAKTOR INTERNAL DAN EKTERNAL FAKTOR YANG LEBIH URGEN
TOTAL NF
BF
a b
c d
e f
I INTERNAL
A KekuatanStrengths S
A Penggunaan stimulansia ramah lingkungan lebih aman
a a
a a
a 5
33 B
Keberlanjutan pengelolaan hutan pinus lebih terjamin a
c b
b f
2 13
C Tersedianya stimulansia ramah lingkungan
a c
c c
f 3
20 B
KelemahanWeaknesses W D
Produktivitas getah lebih rendah a
b c
d f
1 7
E Belum ada harga pembeda getah yang dihasilkan dari penggunaan stimulansia ramah lingkungan dan stimulansia an-
organik a
b c
d e
1 7
F Harga stimulansia ramah lingkungan mahal
a f
f f
e 3
20 Jumlah
15 100
II EKSTERNAL
A PeluangOpportunities O
A Stimulansia ramah lingkungan organik dapat diproduksi sendiri oleh Perum Perhutani
a a
a a
a 5
33 B
Penyadap getah pinus sangat membutuhkan stimulansi yang aman dan ramah lingkungan a
c b
e f
1 7
C Inovasi stimulansia ramah lingkungan yang digunakan untuk meningkatkan produksi getah pinus sudah dikembangkan
a c
c e
f 2
13 B
AncamanThreats T D
Penggunaan stimulansia berbahan dasar asam kuat Stimulansia an-organik sudah menjadi harga mati untuk kegiatan penyadapan getah pinus di Perum Perhutani
a b
c e
d 1
7 E
Inovasi stimulansia yang aman dan ramah lingkungan belum bisa diterima penggunaannya di Perum Perhutani secara menyeluruh
a e
e e
e 4
27 F
Sulitnya merubah kebiasaan penggunaan stimulansia berbahan dasar stimulansia an-organik yang sudah dilakukan secara turun temurun
a f
f d
e 2
13 Jumlah
15 100
89
Tabel 23 Evaluasi Faktor Internal Dan Ekternal
No. FAKTOR INTERNAL EKSTERNAL
BF ND
NBD NILAI KETERKAITAN
NRK NBK
TNB PERINGKAT
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
11 12