BAB IV _ SKRIPSI - Telaah Kitab Adab Al’Alim wa Al Muta’allim

BAB IV
ANALISIS
TENTANG RELEVANSI KONSEP ETIKA BELAJAR DAN MENGAJAR
MENURUT K.H. HASYIM ASY'ARI
DALAM KITAB ADAB AL 'ALIM WA AL MUTA'ALLIM

A. Biografi K.H. Hasyim Asy'ari
1. Latar Belakang Keluarga K.H. Hasyim Asy'ari
Beliau bernama lengkap Muhammad Hasyim bin Asy'ari bin Abdul
Wahid bin Abdul Halim yang bergelar Pangeran Benawa bin Abdurrahman
yang bergelar Jaka Tingkir Sultan Hadi Wijaya bin Abdullah bin Abdul Aziz
bin Abdul Fattah bin Maulana Ishaq, ayahanda Raden Paku Ainul Yaqin yang
dikenal dengan Sunan Giri.1
Berbeda dengan pendapat di atas, salah satu putra K.H. Hasyim Asy'ari
yang bernama Akarhanaf menelusuri garis silsilah dari garis ibu. Menurutnya,
garis silsilah K.H. Hasyim Asy'ari adalah Muhammad Hasyim bin Halimah
binti Layyinah binti Sihah bin Abdul Jabar bin Ahmad bin Pangeran Sambo
bin Pengeran Benawa bin Jaka Tingkir bin Prabu Brawijaya VI Raja
Majapahit terakhir.2 Dari kedua pendapat tersebut, tampak terjadi perbedaan
jalur silsilah setelah Jaka Tingkir yang bergelar Sultan Hadi Wijaya.
Fenomena semacam ini menunjukkan bahwa Kerajaan Islam Jawa berusaha

menampilkan diri sebagai kelanjutan dari Kerajaan Majapahit. Pendapat lain
menelusuri moyang K.H. Hasyim Asy'ari sampai kepada pemimpin Syi'ah,
Imam Ja'far Shadiq bin Imam Muhammad Baqir melalui keluarga Syaiban.3
Muhammad Hasyim lahir di Desa Gedang, sekitar dua kilometer
sebelah utara Kota Jombang pada tanggal 24 Dzulqa'dah 1287 H yang

1

Muhammad Hasyim Asy'ari, Adab Al 'Alim Wa Al Muta'allim, (Jombang : Maktabah Turots,
tt), hal. 3
2

Lathifatul Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama, Biografi K.H. Hasyim Asy'ari (Yogyakarta:
LKiS Yogyakarta, 2001) Cet.2, hal. 15
3

Ibid.

39


40

bertepatan pada tanggal 14 Februari 1871 M dari pasangan Asy'ari dan
Halimah.4
Ayahanda K.H. Hasyim Asy'ari sebelumnya merupakan santri terpandai
Kyai Utsman. Ilmu akhlak beliau sangat mengagumkan Kyai Utsman
sehingga dinikahkan dengan putri Sang Kyai yang bernama Halimah. Ibunda
K.H. Hasyim Asy'ari merupakan anak pertama dari tiga saudara laki-laki dan
dua perempuan. Adapun K.H. Hasyim Asy'ari adalah anak ketiga dari
sepuluh bersaudara yaitu Nafi'ah, Ahmad Saleh, Radiah, Hassan, Anis,
Fatanah, Maimunah, Maksum, Nahrawi dan Adnan. Sampai umur lima tahun,
Muhammad Hasyim dalam asuhan orangtua sekaligus kakeknya di Pesantren
Gedang. Suasana tersebut tidak diragukan lagi mempengaruhi Muhammad
Hasyim kecil yang sederhana dan rajin belajar.5
2. Latar Belakang Pendidikan K.H. Hasyim Asy'ari
Pendidikan K.H. Hasyim Asy'ari sama dengan yang dialami oleh
kebanyakan santri muslim seusianya. Pendidikan awal beliau diperoleh dari
bimbingan ayahanda sampai usian 15 tahun. Beliau mendapat pelajaran
dasar-dasar tauhid, fiqh, tafsir dan hadits. Kemudian meneruskan studi ke
beberapa pesantrem di Jawa dan Madura, yaitu Pesantren Wonokoyo di

Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis, Pesantren
Kademangan Bangkalan Madura dan Pesantren Siwalan Panji di Sidoarjo.6
K.H. Hasyim Asy'ari belajar tata bahasa dan sastra Arab, fiqh dan
sufisme dari Kyai Khalil dari Bangkalan selama 3 tahun, sebelum
memfokuskan diri dalam fiqh selama dua tahun di bawah bimbingan Kyai
Ya'qub di Pesantren Siwalan Panji.7
K.H. Hasyim Asy'ari kemudian pergi ke Hijaz untuk melanjutkan
pelajarannya. Di Mekah, K.H. Hasyim Asy'ari belajar di bawah bimbingan
4

Rohinah M Noor, K.H. Hasyim Asy'ari; Memodernisasi NU dan Pendidikan Islam, (Jakarta,
Penerbit Grafindo Khasanah Ilmu, 2010), Cet.1, hal.12
5

Ibid.

6

Ibid., hal. 23


7

Ibid.

41

Syaikh Mahfudz dari Termas, seorang ulama Indonesia pertama yang
mengajar Sahih Bukhari di Mekah. K.H. Hasyim Asy'ari juga mendapat
ijazah untuk mengajar Sahih Bukhari dari Syaikh Mahfudz. Di bawah
bimbingan beliau pula, K.H. Hasyim Asy'ari juga belajar Tariqah Qadiriyyah
dan Naqsyabandiyah. Syaikh Mahfudz dari Syaikh Nawawi Al Bantani dari
Syaikh Ahmad Khatib Sambas, seorang ulama sufi pertama yang
menggabungkan ajaran Tariqah Qadiriyyah dan Naqsyabandiyah.8
Guru-guru K.H. Hasyim Asy'ari yang lain adalah Syaikh Nawawi Al
Bantani, Syaikh Shata dan Syaikh Dagistani yang merupakan ulama-ulama
terkenal pada masa itu. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa
perkembangan keilmuan K.H. Hasyim Asy'ari juga didorong oleh kaum
intelektual Muslim internasional.9
3. Pemikiran dan Karya K.H. Hasyim Asy'ari
a.


Teologi (Tauhid)
K.H. Hasyim Asy'ari menulis tentang Ahlusunnah Wal Jama'ah
dalam kitab beliau yang berjudul Al Risalah Al Atawhidiyyah (Kitab
tentang Teologi) dan Al Qala'id fi Bayan ma Yajib min Al 'Aqaid (Syaisyair dalam menjelaskan mengenai kewajiban menurut aqidah).
menurut K.H. Hasyim Asy'ari, merujuk pada kitab

Risalah AL

Qushairiyyah, ada tiga tingkatan dalam mengartikan keesaan Tuhan.
Tingkatan pertama adalah pujian terhadap keesaan Tuhan, tingkatan
kedua meliputi pengetahuan dan pengertian mengenai keesaan Tuhan,
dan tingkatan ketiga tumbuh dari perasaan terdalam mengenai Hakim
Agung (Al Haq).10
Menurut K.H. Hasyim Asy'ari, Ahlu Al Sunnah adalah ulama
dalam bidang tafsir Al Qur'an, sunah Rasul dan fiqh yang tunduk pada
tradisi Rasul dan Khulafa Al Rasyidin. Beliau menyatakan bahwa

8


Ibid., hal. 24

9

Lathiful Khuluq, Op. Cit., hal 27

10

Ibid., hal. 43

42

sampai sekarang ulama tersebut termasuk mereka yang mengikuti
madzhab Maliki, Hanafi, Syafi'i dan Hambali.11 Sedangkan istilah Ahlu
Sunnah Wal Jama'ah berasal dari sebuah hadits.

:
(

)


:

:

Rosululloh saw bersabda : demi Tuhan yang menguasai jiwa
Muhammad, sungguh umatku nanti akan pecah menjadi 73
golongan, satu golongan masuk surga dan yang 72 golongan akan
masuk neraka, seorang sahabat bertanya “ siapakah mereka yang
masuk surga itu, ya Rosulalloh ? “ Rosul menjawab “ Mereka itu
adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. ( H. R. Imam Thabrani ).
Muslim tradisionalis juga menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal
Jama’ah untuk membedakan dengan Muslim modernis, walaupun
mereka juga menerima formulasi Al Asy'ariyyah dan Al Maturidiyyah,
namun Muslim tradisionalis mengakui keabsahan sufi ortodoks
sebagaimana yang diajarkan oleh Junai Al Baghdadi dan AL Ghazali.12
Dalam kennyataannya, ada tiga kepercayaan Ahlus Sunnah wal
Jama’ah ketika itu.
1) Al Tawasut, yang berarti bahwa seorang muslim harus berbuat
secara moderat dalam berbagai bidang kehidupan. Hal ini

berdasarkan Al Qur'an.

(
11

Ibid., hal. 46

12

Ibid., hal. 47

:

)

43

Dan demikianlah , telah Kami jadikan kamu suatu ummat yang di
tengah, supaya kamu menjadi saksi-saksi atas manusia, dan
adalah Rasul menjadi saksi(pula) atas kamu. Dan tidaklah Kami

jadikan kiblat yang telah ada engkau atasnya, melainkan supaya
Kami ketahui siapa yang mengikut Rasul dari siapa yang
berpaling atas dua tumitnya. Dan memanglah berat itu kecuali
atas orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan tidaklah
Allah akan menyia-nyiakan iman kamu. Sesungguhnya Allah
terhadap manusia adalah Penyantun lagi Penyayang (Q.S. Al
Baqarah : 143)
2) Al I'tidal, yang berarti bahwa muslim harus menegakkan keadilan.

( :

)

Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang
yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi
dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap
sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

3) Al Tawazun, berarti seorang muslim harus menunjukkan
keseimbangan dalam semua perbuatan.

(

)

Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan
membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan
bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan/keseimbangan)
supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.13
b.

Sufisme (Tasawwuf)
K.H. Hasyim Asy'ari menulis pemikiran beliau tentang sufisme
dalam kitab Al Durar Al Munthathirah 'an Al Masail Al Tis'a Asyarah
(Mutiara Tercecer Tentang Sembilan Belas Masalah) dan kitab Al
Tibyan fi Al Nahy 'an Muqta'at Al Arham wa Al Aqarib wa Al Akhwan

13


Ibid., hal. 50

44

(Penjelasan mengenai Larangan Memutus Hubungan Kerabat dan
Teman).14
Pemikiran sufi K.H. Hasyim Asy'ari bertujuan memperbaiki
perilaku umat Islam secara umum dan dalam banyak hal merupakan
perulangan prinsip-prinsip sufisme Al Ghazali.15 Menurut K.H. Hasyim
Asy'ari, ada empat aturan yang harus dilakukan jika seseorang ingin
disebut sebagai pengikut suatu thariqah.
1) Menghindari penguasa yang tidak melaksanakan keadilan.
2) Menghormati yang bersungguh-sungguh meraih kebahagiaan di
akhirat.
3) Menolong orang miskin
4) Melaksanakan shalat berjamaah.16
c.

Fiqh
Sejalan dengan pemikiran muslim tradisionalis, K.H. Hasyim
Asy'ari menganggap bahwa mengikuti salah satu dari empat madzhab
adalah sangat penting. Beliau mengemukakan hal tersebut dalam
Muqadimah Al Qanun Al Asasi Al NAhdlah Al 'Ulama (Pengantar
terhadap Aturan Dasar Nahdlatul Ulama). Beliau juga menyatakan
bahwa mengikuti selain empat madzhab adalah salah dan sesat. Dalam
menjelaskan penolakan beliau terhadap madzhab-madzhab selain empat
madzhab, beliau berkata :
Ulama dari Madzhab Syafi'i menjelaskan mengapa dilarang
mengikuti madzhab selain empat madzhab sunni, ini karena
pendapat-pendapat pemimpin madzhab selain itu tidak bisa
dianggap benar yang disebabkan ajaran yang diwariskan dari para
pemimpin madzhab kepada mereka ke generasi berikutnya tidak
dapat dijaga keotentikan dan keasliannya.17

14

Ibid.

15

Ibid., hal. 53

16

Ibid.

17

Ibid., hal 56

45

d.

Pendidikan
Pemikiran pendidikan K.H. Hasyim Asy'ari sejatinya lebih
menitikberatkan pada persoalan hati. Sehingga yang menjadi perhatian
dalam menuntut ilmu adalah niat yang tulus ikhas dan hanya mengharap
ridla Tuhan.18
Di

sisi

lain,

pemikiran

K.H.

Hasyim

Asy'ari

adalah

mengetengahkan nilai-nilai estetis yang bernafaskan sufistik. Hal ini
nampak dalam pandangan beliau bahwa keutamaan ilmu yang sangat
istimewa adalah bagi orang yang benar-benar lillahi ta'ala. Di samping
itu, ilmu dapat diraih bilamana jiwa orang yang mencari ilmu tersebut
suci dan bersih dari segala macam sifat yang tercela dan aspek-aspek
duniawi.19
K.H. Hasyim Asy'ari memandang bahwa keberhasilan pendidikan
tidak lepas dari pendidikan akhlak atau moralitas. Sehingga penekanan
terhadap moralitas adalah tujuan utama dalam kaitannya dengan
pendidikan, baik pendidikan secara formal maupun informal.20
Dengan demikian, terlihat jelas bahwa sosok K.H. Hasyim Asy'ari
mempunyai

perhatian

khusus

terhadap

penyebaran

ilmu

dan

pendidikan. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa pendidikan
merupakan sarana penting dalam mensosialisasikan keutamaan dan
kebersihan jiwa serta pikiran, termasuk sarana untuk mendekatkan diri
kepada Allah SWT.21

18

Rohinah M Noor, Op. Cit., hal. 78

19

Ibid., hal. 79

20

Ibid.,

21

Ibid., hal. 82

46

Adapun karya-karya K.H. Hasyim Asy'ari yang berhasil dipublikasikan
mencakup berbagai macam disiplin ilmu dan ditulis menggunakan bahasa
Arab dan bahasa Jawa.22 Di antara karya-karya beliau adalah sebagai berikut :
a.

Adab al-alim wal Muta'allim fi maa yahtaju Ilayh al-Muta'allim fi
Ahwali Ta'alumihi wa maa Ta'limihi (Etika Pengajar dan Pelajar dalam
Hal-hal yang Perlu Diperhatikan oleh Pelajar Selama Belajar)

b.

Al Tanbihat Al Wajibah Liman Yasna' Al Maulid bi Al Munkarat
(Peringatan bagi Orang yang Merayakan Maulid yang Munkar)

c.

Risalah Ahlis-Sunnah Wal Jama'ah: Fi Hadistil Mawta wa Asyrathissa'ah wa baya Mafhumis-Sunnah wal Bid'ah (Paradigma Ahlussunah
wal Jama'ah: Pembahasan tentang Orang-orang Mati, Tanda-tanda
Zaman, dan Penjelasan tentang Sunnah dan Bid'ah)

d.

Al-Nuurul Mubiin fi Mahabbati Sayyid al-Mursaliin (Cahaya yang
Terang tentang Kecintaan pada Utusan Tuhan, Muhammad SAW)

e.

Al Durrar Al Munqatirah fi Al Masail Tits'a 'Asyara (Mutiara berharga
tentang Masalah Sembilanbelas)

f.

Arba’ina Haditsan Tata’allaqu bi Mabadi’ Jam’iyyat Nahdlatul Ulama
(Empat Puluh Hadits yang Berhubungan dengan Dasar Jam'iyah
Nahdlatul Ulama)

g.

Muqadimah Al Qanun Al Asasi Al NAhdlah Al 'Ulama (Pengantar
terhadap Aturan Dasar Nahdlatul Ulama)

h.

Al Risalah Al Tawhidiyyah (Kitab tentang Teologi)

i.

Al Qala'id fi Bayan ma Yajib min Al 'Aqaid (Syai-syair dalam
menjelaskan mengenai kewajiban menurut aqidah)23

4. Wafat K.H. Hasyim Asy'ari
Pada suatu petang menjelang maghrib pada bulan Ramadhan, datang
utusan Jendral Soedirman dan Bung Tomo, sedangkan K.H. Hasyim Asy'ari

22

Muhammad Ilzam Syah Almutaqi, Konsep Pendidikan Akhlak menurut Hasyim Asy'ari
dalam Kitab Ada Al 'Alim wa Al Muta'llim, (Salatiga: STAIN SALATIGA, 2013), hal. 35
23

Ibid., hal. 36-38, Muhammad Hasyim Asy'ari, Adab Al 'Alim Wa Al Muta'allim, (Jombang :
Maktabah Turots, tt), hal. 6-7

47

telah bersiap-siap mengajar para santri beliau. Akhirnya beliau menemui
kedua utusan tersebut. Keduanya menyampaikan pesan yang bunyinya
meminta K.H. Hasyim Asy'ari memberikan perlawanan total terhadap
Belanda. Mendengar pesan tersebut, K.H. Hasyim Asy'ari sekonyongkonyong menyebut Masya Allah berulang-ulang sembari memegangi kelapa
dan beliau pun pingsan.24 Menyadari kondisi K.H. Hasyim Asy'ari, pihak
keluarga segera memanggil dokter Angka Nitisastro. Dan pada tanggal 7
September 1947 dini hari pukul 03.45 waktu setempat K.H. Hasyim Asy'ari
wafat dalam usia 76 tahun.25 dan dimakamkan di Komplek Pondok Pesantren
Tebuireng, Jombang Jawa Timur, pesantren yang didirikan oleh beliau pada
tahun 1899.26
B. Konsep Etika Belajar dan Mengajar K.H. Hasyim Asy'ari dalam Kitab Adab Al
‘Alim Wa Al Muta’allim.
1. Etika Peserta Didik terhadap dirinya
a. Membersihkan hati dari setiap sesuatu yang memiliki unsur menipu,
kotor, rasa dendam, iri hati, keyakinan buruk dan perilaku buruk.
b. Memperbaiki niat dalam mencari ilmu dengan tujuan mencari ridla
Allah, mengamalkan ilmu, menghidupkan ajaran-Nya, menerangi hati,
menghiasi batinnya dan mendekatkan diri kepada Allah.
c. Sesegera mungkin memperoleh ilmu di waktu belia dan memanfaatkan
setiap waktu dalam sisa umurya.
d. Menerima apa adanya (qana'ah) dalam hal makanan dan pakaian.
e. Membagi waktu, baik malam maupun siang dalam menggunakan
kesempatan untuk belajar.
f. Mengurangi makan dan minum.

24

Rohinah M Noor, Op. Cit., hal. 16

25

http://id.wikipedia.org/wiki/Hasjim_Asy'ari, diunggah pada tanggal 11 Mei 2015 pada
pukul 10.15 WIB
26

http://id.wikipedia.org/wiki/Pondok_Pesantren_Tebuireng, diunggah pada tanggal 11 Mei
2015 pada pukul 10.15 WIB

48

g. Berperilaku wira'i (menjaga diri dari perbuatan makruh dan syubhat),
berhati-hati dalam setiap perilaku serta mengutamakan hal-hal yang halal
dalam makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan kebutuhannya
demi menerangi hati serta kelayakan menerima ilmu dan manfaat ilmu.
h. Mengurangi

menggunakan

bahan

makanan

yang

menyebabkan

tumpulnya pikiran dan panca indra.
i. Mengurangi tidur selama tidak menimbulkan bahaya pada tubuh dan
pikirannya.
j. Meninggalkan pergaulan, demi sesuatu yang lebih penting bagi penuntut
ilmu terlebih dengan lawan jenis, khususnya jika terlalu banyak bermain
serta sedikit menggunakan akal pikirannya.27
2. Etika Peserta Didik terhadap Pendidik
a. Terlebih dahulu berfikir dan meminta dipilihkan Allah (istikharah)
kepada siapa akan mengambil ilmu (belajar) serta mempelajari budi
pekerti darinya dan diutamakan seseorang yang ahli dibidangnya.
b. Bersungguh-sungguh mencari guru yang memiliki perhatian khusus
terhadap ilmu syari'at serta dipercaya oleh para guru pada zamannya.
c. Taat kepada guru dalam semua masalah serta tidak keluar dari nasehat
dan aturannya.
d. Mamandang guru dengan pandangan memuliakan serta berkayakinan
guru memiliki derajat yang sempurna.
e. Mengetahui hak guru serta tidak melupakan jasa-jasanya dan mendoakan
guru, baik ketika masih hidup maupun ketika sudah wafat.
f. Bersabar

terhadap

kerasnya

guru

serta

perilaku

yang

kurang

menyenangkan.
g. Tidak menghadap guru di selain majelis ilmu (ruang belajar), kecuali
meminta ijin terlebih dahulu, baik guru sedang sendiri ataupun dengan
orang lain.

27

Muhammad Hasyim Asy'ari, Adab Al 'Alim Wa Al Muta'allim, (Jombang : Maktabah
Turots, tt), hal.24-28

49

h. Duduk di hadapan guru dengan penuh tata krama, seperti duduk
bersimpuh di atas kedua lututnya, atau duduk layaknya tasyahud akhir
tanpa meletakkan kedua tangan di atas pahanya, atau duduk bersila
dengan penuh rendah hati dan tenang.
i. Memperbaiki cara bertutur kata kepada guru.
j. Ketika mendengar guru menyebutkan hukum suatu masalah atau hikmah
dari cerita atau melantunkan syair, sedangkan murid telah hafal dengan
itu ssemua, hendaknya memperhatikan dan seketika menampakkan
kegembiraan seakan-akan belum pernah mendengarnya sama sekali.
k. Tidak mendahului guru dalam menjelaskan masalah atau menjawab
persoalan.
l. Ketika guru memberikan sesuatu, hendaknya murid mengambilnya
dengan tangan kanan.28
3. Etika Peserta Didik terhadap Pelajaran
a. Memulai pelajaran dengan pelajaran yang sifatnya fardlu 'ain. Dan
hendaknya memulai dengan empat cabang ilmu; yaitu ilmu (tauhid)
tentang dzat Allah, ilmu tentang shifat Allah, ilmu fiqh, dan ilmu
(tasawuf) tentang ahwal, maqamat, godaan dan tipu daya nafsu.
b. Selanjutnya mempelajari ilmu tentang kitab Allah.
c. Sejak awal menahan diri serta tidak terjebak dalam masalah yang masih
terdapat perbedaan pandangan dan persepsi di antara para ulama.
d. Mengoreksi bacaannya sebelum menghafalkan, baik kepada guru atau
kepada seseorang yang lebih mumpuni.
e. Berangkat lebih awal demi mempelajari ilmu, terlebih ilmu hadits.
f. Ketika dirasa mampu menjelaskan apa yang telah dihafalkannya dan
mampu mengurai kejanggalan-kejanggalannya, maka diperkenankan
untuk beralih kepada pembahasan yang lebih luas dengan serta terus
menerus menelaah.
g. Mengikuti diskusi bersama guru dalam setiap pelajaran dan pembacaan
ilmu, apabila memungkinkan.
28

Ibid., 29-42

50

h. Apabila menghadiri majelis guru, hendaknya mengucapkan salam kepada
yang hadir serta mengkhususkan penghormatan kepada guru.
i. Tidak segan-segan menanyakan persoalan yang dianggap sulit atau
sesuatu yang sulit difahami dengan menggunakan tutur kata yang baik
dan penuh sopan santun.
j. Menunggu gilirannya (antrian) dan hendaknya tidak menyerobot giliran
yang lain tanpa kerelaan darinya.
k. Duduk dihadapan guru dengan menjaga kesopanan.
l. Menekuni satu pelajaran dan tidak beralih kepada pelajaran yang lain
sampai benar-benar telah menuntaskannya.29
4. Etika Pendidik terhadap dirinya
a. Selalu muraqabah (merasa di awasi) Allah, baik dalam keadaan
kesendirian ataupun tidak
b. Selalu berlaku khauf (takut akan siksa Allah) dalam setiap perilaku,
perkataan dan perbuatan.
c. Senantiasa bersikap tenang
d. Selalu berperilaku wira'i
e. Berperilaku rendah hati
f. Bersikap khusu' (merendahkan diri) kepada Allah
g. Menjadikan Allah sebagai tempat meminta pertolongan dalam segala
keadaan.
h. Tidak menjadikan ilmunya sebagai perantara untuk mencapai keuntungan
duniawi.
i. Tidak memuliakan putra penguasa dunia.
j. Berakhlak dengan zuhud dunia serta mengambil sedikit dari dunia hanya
sekedar memenuhi kebutuhan.
k. Menjauhkan diri dari pekerjaan yang hina dan merendahkan diri.
l. Menjauhkan diri dari tempat yang hina meskipun jauh dari keramaian.
m. Menjaga diri dengan melaksanakan syi'ar islam dan menunaikan hukum
Islam seperti menunaikan ibadah shalat di masjid.
29

Ibid., hal 43-54

51

n. Bertindak dengan menampakkan sunah serta menjauhi bid'ah dan hal-hal
yang mengandung kemaslahatan orang Islam dengan jalan yang baik
dalam segi ajaran, kebiasaan dan watak.
o. Menjaga kesunahan-kesunahan agama, baik yang berupa ucapan maupun
perbuatan.
p. Bergaul dengan etika yang mulia.
q. Membersihkan lahir dan batinya dari perilaku buruk
r. Senantiasa semangat dalam mencapai perkembangan keilmuan dan
bersungguh-sungguh dalam setiap aktifitas ibadahnya.
s. Mengambil pelajaran dan hikmah apapun dari setiap orang tanpa
membeda-bedakan status.
t. Menyibukkan diri dengan penyusun pelajaran dan mengumpulkannya 30
5. Etika Pendidik terhadap Pelajaran.
a. Datang ke tempat mengajar dalam keadaan suci dari hadats dan bersih
dari kotoran serta memakai pakaian yang terbaik sesuai dengan keadaan.
b. Ketika hendak keluar dari rumah (menuju tempat mengajar), hendaknya
berdoa dengan doa yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad.
c. Ketika sampai di tempat mengajar, hendaknya memberikan salam kepada
yang

telah

hadir

kemudian

duduk

menghadap

kiblat

apabila

memungkinkan serta pada tempat yang tampak oleh seluruh yang hadir.
d. Memulai pelajaran dengan membaca ayat Al Qur'an dengan mengharap
keberkahan.
e. Jika mata pelajarannya banyak, hendaknya mendahulukan pelajaran yang
lebih mulia dan lebih penting.
f. Tidak mengeraskan suara melebihi kebutuhan.
g. Menjaga kondisi kelas dari kegaduhan.
h. Ketika di tanya tentang sesuatu yang tidak diketahui, maka dijawab
dengan tidak tahu atau tidak mengerti.31

30

Ibid., hal 55-70

31

Ibid., hal. 71-80

52

6. Etika Pendidik terhadap Peserta Didik
a. Mengajar dan mendidik dengan maksud mencari ridla Allah SWT,
menyebarkan ilmu, menghidupkan syariat, serta melestarikan kebaikan
umat dengan meperbanyak ilmuwan.
b. Tidak tercegah untuk melakukan pengajaran hanya karena ketiadaan niat
yang ikhlas dari murid.
c. Menyukai berperilaku kepada peserta didik layaknya menyukai hal
tersebut pada diri sendiri.
d. Mempermudah menyampaikan pengajaran dengan ungkapan yang baik
dalam pemahaman peserta didik.
e. Bersungguh-sungguh dalam pengajaran dan memberi kepahaman pada
peserta dengan mencurahkan daya upaya serta menjelaskan materi tanpa
berlebihan, panjang lebar, memberatkan hati dan yang melampaui batasbatas hafalan
f. Meminta peserta didik mengulangi hafalan pada sebagian wakttunya.
g. Ketika peserta didik mempelajari materi di atas ketentuan atau di luar
kemampuannya, maka pendidik menasehati dengan lemah lembut.
h. Tidak menonjolkan salah satu peserta didik dalam hal perhatian dan
kasih sayang.
i. Mengabsen kehadiran peserta didik dan memanggil yang tidak hadir
dengan panggilan yang baik serta mengetahui latar belakang peserta
didik dan mendoakan mereka.
j. Membiasakan diri dalam berperilaku, seperti mengucapkan salam,
bertutur kata yang baik, tolong menolong dalam kebaikan dan
ketakwaan.
k. Senantiasa memperbaiki hati dan perilaku peserta didik dengan sesuatu
yang tidak memberatkan, baik dalam orientasi belajar ataupun yang
berkaitan dengan harta bendanya.
l. Jika menemukan ada peserta didik yang tidak hadir atau perilaku di luar
kebiasaan, maka ditanyakan keadaannya atau hal-hal yang berkaitan
dengannya.

53

m. Rendah hati kepada peserta didik selama menjalankan kewajibankewajibanya kepada Allah.
n. Memanggil setiap peserta didik dengan panggilan yang disenangi dan
menghormati terlebih kepada yang lebih senior.32
C. Analisis terhadap Relevansi Konsep Etika Belajar dan Mengajar K.H. Hasyim
Asy'ari dalam Kitab Adab Al ‘Alim Wa Al Muta’allim
Pandangan K.H. Hasyim Asy'ari tentang kehidupan selalu berorientasi pada
landasan Islam yang bersumber pada wahyu di samping dalil-dalil naqliyah dan
pendekatan diri melalui cara sufi.33 Selain itu, K.H. Hasyim Asy'ari memandang
bahwa keberhasilan proses belajar-mengajar tidak lepas dari pendidikan akhlak
atau moralitas.34 Dan ini terbukti dengan karya beliau yang berupa risalah khusus
yang membahas mengenai konsep kependidikan disusun secara khusus dalam
kitab Adab Al 'Alim wa Al Muta'allim.35
Sedangkan belajar dan mengajar pada hakikatnya adalah suatu proses yang
akan selalu berlangsung dengan melibatkan unsur subyek atau pihak-pihak
sebagai aktor penting. Aktor penting tersebut dinamakan pula sebagai subyek
penerima di satu pihak dan subyek pemberi di pihak yang lain. Dalam prakteknya,
subyek penerima adalah peserta didik, sedangkan subyek pemberi adalah
pendidik.36
Atas pertimbangan hal tersebut, analisis terhadap relevansi konsep etika
belajar dan mengajar K.H. Hasyim Asy'ari dalam kitab Adab Al ‘Alim Wa Al
Muta’allim peneliti coba untuk mengelompokkan substansi dari etika bagi subyek
pendidikan, baik subyek pemberi atau subyek penerima, dan tidak secara terpisah,
dengan harapan akan lebih mudah mendapatkan gambaran relevansinya dengan
dunia pendidikan, khususnya di Indonesia.
32

Ibid., hal. 81-95

33

Rohinah M Noor, Op. Cit., hal. 19

34

Ibid., hal. 79

35

Ibid.

36

Dwi Siswoyo, Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta : UNY Press, 2008), hal. 86

54

1.

Niat Ikhlas
Ketulusan niat diberlakukan bukan hanya untuk subyek pemberi
namun juga subyek penerima dalam suatu proses belajar mengajar. Dalam
kitab Adab Al 'Alim wa Al Muta'allim karya K.H. Hasyim Asy'ari, proses
etika bagi peserta didik sebagai subyek penerima didahului dengan
membersihkan hati dari berbagai macam keburukan seperti dengki hati,
akidah yang buruk dan pikiran kotor. Hal ini bertujuan agar mudah
menerima ilmu dan menjaganya.37
Selanjutnya peserta didik memperbaiki maksud dan tujuannya dalam
mencari ilmu seperti mengharap ridla Allah, menghidupkan ajaran syari'at
dan mendekatkan diri kepda Allah SWT serta tidak bermaksud untuk tujuan
duniawi seperti memperoleh jebatan, harta, atau agar dimuliakan orang lain.
Sedangkan bagi pengajar sebagai subyek pemberi, tahapan dalam
memperoleh nilai ketulusan niat juga dapat dengan jelas dilihat pada kitab
Adab Al 'Alim wa Al Muta'allim karya K.H. Hasyim Asy'ari. Didahului
dengan selalu muraqabah (merasa diawasi Allah SWT) dan khauf (takut
akan siksa Allah SWT), baik dalam keadaan kesendirian atau tidak, baik
dalam perkataan maupun perbuatan.
Selanjutnya selalu menjadikan Allah SWT sebagai tempat mengadu
dan tidak menjadikan ilmu yang dimiliki sebagai sarana memperoleh
keuntungan duniawi seperti jabatan, harta, pengikut, atau terkenal dan
keutamakan di antara yang lain. 38
Selain itu, pengajar hendaknya berniat mencari ridla Allah,
mengebarkan ilmu, menghidupkan syariat, serta melestarikan kebaikan umat
dengan memperbanyak ilmuwan.39

37

Muhammad Hasyim Asy'ari, Loc.Cit.

38

Ibid., hal. 56

39

Ibid., hal. 81

55

Pentingnya peran niat didasari oleh ketergantungan suatu amal
perbuatan terhadap niat dari amal perbuatan tersebut, seperti dalam sebuah
hadits Nabi Muhammad SAW.40

:
.

:
.

Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh, Umar bin Al-Khathab
radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata : “Aku mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Segala amal itu tergantung
niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Maka
barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka
hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang
hijrahnya itu Karena kesenangan dunia atau karena seorang wanita
yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu kepada apa yang
ditujunya” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Bahkan Al Zarnuji berpendapat bahwa buruknya niat dapat
menjadikan amal ibadah hanya menjadi perbuatan duniawi tanpa imbalan
pahala. Begitu pula sebaliknya, niat yang baik akan menjadikan suatu
pekerjaan yang tampaknya biasa dapat mengandung muatan ibadah jika
didasari oleh niat yang benar. 41

:
.
Dari Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam: Banyak perbuatan yang
tampaknya perbuatan dunia menjadi amal akhirat disebabkan baiknya
niat, dan banyak amal yang tampaknya amal akhirat menjadi
perbuatan dunia disebabkan buruknya niat.
40

Abu Zakaria Muhyiddin Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Al Arba'in Al Nawawi, (Semarang :
Maktabah Al 'Alwiyyah, tt), hal. 5
41

Ibrahim ibn Isma'il Az Zarnuji, Ta'lim Al Muta'allim fi Thariq Al Ta'lim, (Semarang : Karya
Thoha Pura, tt), hal. 8

56

Tawadlu (Rendah Hati)

2.

Konsep rendah diri yang dirumuskan K.H. Hasyim Asy'ari bagi
peserta didik sebagai subyek penerima diungkapkan dengan kewajiban
untuk

memandang

seorang

pendidik

dengan

pandangan

yang

mengagungkan atau memuliakan dan berkeyakinan bahwa pendidik
memiliki derajat yang sempurna, karena dengan demikian lebih memberikan
dampak kemanfaatan pada ilmu yang diperoleh. Dan secara teknis
praktisnya, peserta didik tidak boleh memanggil nama, tetapi memanggil
dengan sebutan bapak guru. Bahkan penyebutan pendidik ketika
ketiadaannya tidak diperbolehkan kecuali disertai dengan hal-hal yang
mengindikasikan untuk memuliakan42
Di satu sisi, pendidik yang berperan sebagai subyek pemberi harus
memiliki rasa rendah hati pula, dibarengi dengan khusyu', bersikap tenang.43

( :

)

"Dan berendah hatilah kamu terhadap orang yang beriman"(Q.S. Al
Hijr : 88)
Hal ini senada dengan pendapat Al Ghazali yang mengatakan bahwa
ilmu

hanya

dapat

diperoleh

dengan

rendah

hati

(tawadlu)

dan

mendengarkan guru.44
Lebih lanjut, Al Ghazali memberikan contoh tentang apa yang terjadi
di antara para Sahabt Radlia Allah 'anhu. Seperti halnya apa yang dilakukan
oleh Ibnu Abbas yang menata kuda dan pelana demi Zaid ibn Tsabit karena
mamandang Zaid ibn Tsabit sebagai orang yang berilmu, sementara Zaid
ibn Tsabit mencium tangan Ibnu Abbas karena Ibn 'Abbas adalah ahl bait
(keluarga Nabi Muhammad SAW).45
42

Muhammad Hasyim Asy'ari, Op.Cit., hal. 30

43

Ibid., hal. 56

44

Abu Hamid Ahmad ibn Muhammad Al Ghazali, Ihya 'Ulum Al Din, (Beirut : Dar Al Kotob
Al 'Ilmiyah, 2004),Juz 1, hal. 53
45

Ibid.

57

Qana'ah dan Zuhud (Hidup Sederhana)

3.

K.H. Hasyim Asy'ari menyebutkan bahwa Peserta didik hendaknya
berperilaku qana'ah dengan tujuan untuk menjaga hati dari banyak
berangan-angan dan memperoleh kandungan hikmah dalam mencari ilmu.
Hal ini berdasarkan pada ungkapan Imam Syafi'i.46

:

Imam Al Syafi’i telah berkata: “Orang yang mencari ilmu tidak akan
bisa merasa bahagia, apabila ketika mencari ilmu disertai dengan
ketinggian hati dan kehidupan yang serba cukup, akan tetapi orangorang yang mencari ilmu dengan perasaan hina, rendah hati,
kehidupan yang serba sulit dan menjadi pelayan para ulama’, dialah
orang yang bisa merasakan kebahagiaan"
Di antara contoh berprilaku qana'ah adalah dengan mengurangi
makan dan minum, di mana K.H Hasyim Asy'ari menjadikan hal tersebut
sebagai etika tersendiri bagi peserta didik dalam belajar. Beliau berpendapat
bahwa makanan berlebih dapat menyebabkan berat untuk melakukan
ibadah.47
Sikap qana'ah yang menjadi etika seorang peserta didik sebagai
subyek penerima diimbangi oleh sikap zuhud yang menjadi etika pendidik
sebagai subyek pemberi. K.H Hasyim Asy'ari mengungkapkan bahwa
seorang pendidik harus berperilaku zuhud, dan hanya mengambil
sekedarnya saja.48
Mengenai qana'ah dan zuhud, K.H. Hasyim Asy'ari berlandaskan
pada sabda Nabi Muhammad SAW.

(
46

Muhammad Hasyim Asy'ari, Op.Cit., hal. 26

47

Ibid.

48

Ibid., hal. 58

)

58

"Kemuliaan bagi orang yang qana'ah dan kehinaan bagi orang yang
tamak" (H.R. At Thabrabi)
Wira'i

4.

Berperilaku wira'i di sini merupakan sikap kehati-hatian terhadap
perkara yang bersifat syubhat (tidak jelas kehalalanya), bahkan haram dalam
segala aspek perilaku kehidupan49
Peserta didik harus berperilaku wira'i dan berhati-hati dalam setiap
perilaku serta mengutamakan hal-hal yang halal dalam makanan, minuman,
pakaian, tempat tinggal dan kebutuhannya demi menerangi hati serta
kelayakan menerima ilmu dan manfaat ilmu.50
Disamping perilaku wira'i harus dimiliki oleh peserta didik, K.H.
Hasyim Asy'ari juga mengungkapkan akan kewajiban pendidik untuk
bersikap wira'i.51 Dengan demikian, perilaku menjaga diri dari perbuatan
yang tidak baik bukan hanya sekedar materi pelajaran, namun juga sebagai
percontohan langsung dari seorang pendidik. Sehingga keteladanan dalam
dunia pendidikan akan tetap terjaga dan berkembang dari generasi ke
generasi berikutnya. Hal ini tercermin dalam sabda Nabi Muhammad SAW
dan Surat Al Ahzab ayat 21.

(

)

"Ulama adalah pewaris para Nabi. Dan sesungguhnya para Nabi SAW
tidak mewariskan dinar ataupun dirham (kekayaan), sebaliknya
mereka mewariskan ilmu." (H.R. Abu Dawud)

(

:

)

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu uswatun hasanah
(suri teladan yang baik) bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
49

Muhammad Ilzam Syah Almutaqi, Op. Cit., hal. 60

50

Muhammad Hasyim Asy'ari, Op.Cit., hal. 27

51

Ibid., hal. 55

59

(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut
Allah.”(QS. Al-Ahzaab: 21)
Al Zarnuji berpendapat bahwa peserta didik yang berperilaku wira'i
ilmunya akan lebih bermanfaat, dan belajarnya lebih mudah. Dan di antara
perilaku wira'i adalah menghindari kenyang, makan berlebih, banyak tidur
dan banyak bicara.52
5.

Keseriusan dalam belajar mengajar
Dalam konsep keseriusan dalam belajar mengajar yang dirumuskan
K.H. Hasyim Asy'ari bagi peserta didik terlihat dalam kitab Adab Al 'Alim
wa Al Muta'allim yang menjadikannya permulaan etika yang berkaitan
dengan pemilihan seorang pengajar.
Diawali dengan keseriusan dalam memilih pendidik yang sesuai
dalam bidangnya, memiliki sifat kasih sayang, menjaga kehormatan, dan
baik

metode

pengajaran

dan

pemahamannya.53

Dan

beliau

juga

mengungkapkan dalam kitab Adab Al 'Alim wa Al Muta'allim sebagai
berikut :

:
"Diriwayatkan dari sebagian ulama’ salaf: 'Ilmu iniadlah agama, maka
perhatikanlah dari siapa kalian mengambil atau belajar agama kalian'”.
Selanjutnya, diikuti dengan kepatuhan terhadap peraturan dan tidak
keluar dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam belajar
mengajar.54
Sedangkan bagi pengajar, konsep keseriusan mengajar terlihat dalam
bab ke-tujuh di mana disebutkan bahwa seorang pendidik harus bersungguhsungguh dalam pengajaran dan memberi kepahaman dengan mencurahkan

52

Ibrahim ibn Isma'il Az Zarnuji, Op. Cit., hal. 50

53

Muhammad Hasyim Asy'ari, Op.Cit., hal. 30

54

Ibid., hal. 31

60

daya upaya serta tidak berlebihan dan memberatkan hingga melampaui
batas-batas hafalan/materi.55
Sementara Al Zarnuji berpendapat dengan mengutip ungkapan ulama
bahwa barang siapa yang mencari sesuatu hal kemudian bersungguhsungguh maka akan mendapatkannya.56 Hal ini bersdasarkan firman Allah
SWT

)
(

:

"Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami,
Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh,
Allah beserta orang-orang yang berbuat" (Q.S. Al Ankabut : 69)
6.

Membagi waktu.
K.H. Hasyim Asy'ari dalam kitab Adab Al 'Alim wa Al Muta'allim
juga memperhatikan bagaimana subyek pendidikan memanfaatkan waktu
belajar mengajar. Meskipun secara teknis masih bersifat global, namun lebih
terperinci dibandingkan dengan Al Zarnuji yang membahas tentang motivasi
dan kesungguhan belajar dalam satu bab khusus tanpa memberi contoh
secara praktis.57
Tahap awal yang dirumuskan oleh K.H. Hasyim Asy'ari adalah
peserta didik harus berusaha sesegera mungkin memperoleh ilmu diwaktu
masih belia dan memanfaatkan umurnya. Jangan sampai tertipu dengan
menunda-nunda belajar dan terlalu banyak berangan-angan, karena setiap
waktu yang terlewati tidak mungkin diganti ataupun ditukar. Seorang
pelajar harus meninggalkankan urusan-urusan yang merepotkan yang
mampu dilakukan, juga hal-hal yang bisa menghalangi kesempurnaan
mencari ilmu, serta mengerahkan segenap kemampuan dan bersungguh-

55

Ibid., hal. 85

56

Ibrahim ibn Isma'il Az Zarnuji, Op. Cit., hal. 22

57

Ibid., hal. 22-31

61

sungguh dalam menggapai keberhasilan agar tidak menjadi pemutus jalan
proses belajar.58
Selanjutnya, peserta didik harus bisa membagi seluruh waktu dan
menggunakannya setiap kesempatan dari umurnya, sebab umur yang tersisa
itu tidak ada nilainya.59
Selain itu, K.H. Hasyim Asy'ari juga memberikan pedoman
pembagian waktu. Waktu sahur digunakan untuk menghafalkan. Waktu pagi
digunakan untuk membahas pelajaran. Waktu tengah hari (siang) digunakan
untuk menulis. Waktu malam digunakan untuk meninjau ulang dan
mengingat pelajaran.60
Selain membagi waktu untuk belajar, K.H. Hasyim Asy'ari juga
menginggung waktu tidur. Seorang pelajar hedaknya mengurangi waktu
tidurnya selama tidak berbahaya bagi jiwa dan raganya. Dan tidurnya tidak
lebih dari delapan jam dalam sehari semalam.61
Sedangkan Al Zarnuji dalam Ta'lim Al Muta'allim fi Thariq Al Ta'lim
mengategorikan bangun malam sebagai etika seorang peserta didik. Hal ini
dikarenakan beliau berpendapat bahwa di waktu malam tedapat suatu
keberkahan bagi para pencari ilmu.62
7.

Belajar Mengajar secara Bertahap.
Seorang peserta didik memulai belajar dengan ilmu fardlu 'ain.
Dengan demikian, setidaknya ada empat cabang ilmu yang harus dipelajari
oleh peserta didik, yaitu ilmu tauhid tentang dzat Allah, ilmu tentang shifat
Allah, ilmu fiqh dan ilmu tasawuf.63

58

Muhammad Hasyim Asy'ari, Op.Cit., hal.25

59

Ibid., hal. 26

60

Ibid.

61

Ibid., hal. 27

62

Ibrahim ibn Isma'il Az Zarnuji, Op. Cit., hal. 24

63

Muhammad Hasyim Asy'ari, Op.Cit., hal. 44

62

Selanjutnya, mempelajari ilmu tentang kitab Allah, seperti tafsir dan
kemudian mempelajari mata pelajaran yang lain seperti hadits, ushul, nahwu
dan sharaf. meskipun demikian, hendaknya pelajaran tersebut tidak
membuat meninggalkan untuk menjaga membaca Al Qur'an.64
Meskipun demikian, tahapan belajar mengajar bukan hanya tentang
materi saja yang menjadi perhatian K.H. Hasyim Asy'ari. Beliau juga
memperhatikan keampuan peserta didik dalam belajar. Hal tersebut terlihat
dalam nungkapan beliau bahwa peserta tidak boleh disibukkan dengan halhal yang masih dalam perselisihan di antara para ulama.65
Sebelum berpindah atau melanjutkan pelajarannya, peserta didik
hendaknya menguji kebenaran hafalannya (tashhih).66 Selanjutnya, apabila
dirasa telah mampu menguasai satu materi dan bisa menjelaskan
sertamemahami kesulitan-kesulitannya, peserta didik baru diperkenankan
untuk beralih ke pelajaran berikutnya.67
Di pihak lain, pendidik yang berperan sebagai subyek pemberi pun
harus memberikan pengajaran secara bertahap. Seperti apabila dalam
pengajaran memiliki muatan mata pelajaran yang banyak, pendidik harus
mendahulukan mata pelajaran yang lebih mulia dan lebih penting. Dalam
Adab Al 'Alim wa Al Muta'allim, K.H. Hasyim Asy'ari memberikan
permisalan yang hendaknya diajarkan terlebih dulu oleh pendidik, yaitu
Ilmu Tafsir, kemudian Hadits, kemudian Ushul Al Din, kemudian Ushul Al
Fiqh, kemudian Kitab Madzhab (fiqh), kemudian Al Nahw dan yang terakhir
ilmu-ilmu yang dapat digunakan untuk membersihkan jiwa.68

64

Ibid.

65

Ibid., hal. 46

66

Ibid.

67

Ibid., hla. 47

68

Ibid., hal . 74