BAB II _ SKRIPSI - Telaah Kitab Adab Al’Alim wa Al Muta’allim

BAB II
ETIKA, BELAJAR DAN MENGAJAR

A. Etika
1.

Pengertian Etika
Istilah

etika

berasal

dari

bahasa

Yunani

ethos


yang berarti

kebiasaan.Yang dimaksud adalah kebiasaan baik maupun buruk. Dalam
kepustakaan, umumnya kata etika diartikan sebagai ilmu. Makna etika dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, misalnya, adalah ilmu tentang apa yang baik
dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral atau akhlak. Di
dalam ensiklopedi pendidikan tersebut, diterangkan bahwa etika adalah
filsafat tentang nilai, kesusilaan, tentang baik dan buruk. Kecuali mempelajari
nilai-nilai, etika merupakan pengetahuan tentang nilai-nilai itu sendiri.
Sebagai cabang filsafat yang mempelajari tentang tingakah laku manusia
untuk menentukan nilai perbuatan baik atau buruk, ukuran yang digunakan
adalah akal pikiran.1
Mengetahui keterangan etimologis tersebut, mungkin dapat dikaitkan
dengan istilah dalam bahasa Indonesia yang berupa “ethos” yang cukup
banyak digunakan dalam berbagai kombinasi seperti ethos kerja, ethos profesi
dan lain sebagainya. Tetapi kata tersebut merupakan kata tidak langsung yang
melalui bahasa Inggris, di mana kata tersebut termasuk kosa kata yang baku.2
Sehingga menelusuri arti etimologis saja belum cukup untuk mengerti
maksud dari kata etika.3
Kata yang cukup dekat dengan istilah etika adalah kata moral. Istilah

moral berasal dari bahasa Latin mores, bentuk jamak kata mos, yang berarti
adat kebiasaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, moral berarti ajaran
tentang baik-buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap,
1

Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta : Rajawali Press, 2011), Cet.10,
hal. 354
2

K. Bertens, Etika, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2007), Cet.10, hal. 4

3

Ibid.

15

16

kewajiban, budi pekerti, akhlak. Moral adalah istilah yang digunakan untuk

menentukan batas-batas suatu sifat, perangai, kehendak, pendapat atau
perbuatan yang layak dikatakan benar, salah, baik dan buruk. Dalam
ensiklopedi pendidikan menyebutkan, sesuai dengan makna aslinya dalam
bahasa Latin (mos), adat istiadat menjadi dasar untuk menentukan tolok ukur
dari moral.4
Dengan demikian, etimologi kata etika sama dengan etimologi kata
moral, karena keduanya berasal dari kata yang berarti adat kebiasaan. Hanya
bahasa asalnya yang berbeda; yang pertama berasal dari bahasa Yunani
sedangkan yang kedua berasal dari bahasa Latin.5
Namun demikian, etika perlu dibedakan dengan moral. Ajaran moral
merupakan rumusan sistematka terhadap anggapan tentang hal-hal yang
bernilai serta kewajiban manusia. Sedangkan etika merupakan ilmu tentang
norma, nilai dan ajaran moral, sehingga etika dapat diartikan sebagai filsafat
yang merefleksikan ajaran moral, di mana filsafat memiliki lima cirri khas,
yaitu bersifat rasional, kritis, mendasar, sistematik dan normatif. Sehingga
etika tidak hanya sekedar melaporkan pandangan moral melainkan
menyelidiki bagaimana pandangan moral yang sebenarnya.6
Selain kedua istilah etika dan moral, dikenal pula istilah akhlak. Adapun
perkataan akhlak dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa arab akhlaq,
yang bentuk jamaknya berupa khuluq atau al-khulq, yang secara etimologis

berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat.7 Pada hakikatnya,
akhlak adalah suatu kondisi atau sifat yang telah meresap dalam jiwa dan

4

Mohammad Daud Ali, Op. Cit., hal. 353

5

K. Bertens, Op. Cit.

6

Tedi Priatna, Etika Pendidikan; Panduan bagi Guru Profesional, (Bandung : CV PUSTAKA
SEIA, 2012), Cet.1, hal. 116
7

Mohammad Daud Ali, Op. Cit., hal. 346

17


menjadi kepribadian. Dari sinilah timbul berbagai macam perbuatan dengan
cara spontan tanpa dibuat-buat dan tanpa memerlukan pemikiran.8
Dengan demikian, Etika, Moral, dan Akhlaq secara konseptual memiliki
makna yang berbeda, namun pada ranah praktis, memiliki prinsip-prinsip
yang sama, yakni sama-sama berkaitan dengan nilai perbuatan manusia.
Seseorang yang sering kali berkelakuan baik kita sebut sebagai orang yang
berakhlaq, beretika, bermoral, dan sekaligus orang yang mengerti susila.
Sebaliknya, orang yang perilakunnya buruk di sebut orang yang tidak
berakhlaq, tidak bermoral, tidak tahu etika atau orang yang tidak berasusila.
Konotasi baik dan buruk dalam hal ini sangat bergantung pada sifat positif
atau negatif dari suatu perbuatan manusia sebagai makhluk individual dalam
komunitas sosialnya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah akhlak sering juga
disamakan dengan kesusilaan atau sopan santun. Bahkan, agar terdengar lebih
“modern” dan “mendunia”, istilah akhlak, budi pekerti dan lain sebagainya
sering diganti dengan kata moral dan etika. Pergantian tersebut sah-sah saja,
asal mengetahui dan memahami perbedaan arti kata-kata yang dimaksud.9
Perbedaan pengertian etika, moral dan akhlak harus difahami, walaupun di
masyarakat ketiga istilah tersebut disinonimkan dan dipakai silih berganti

untuk menunjukkan sesuatu yang baik dan buruk.10
Setelah mengkaji penjelasan di atas, serta membandingkan dengan
beberapa kata yang memiliki arti yang cukup dekat dengan istilah etika, maka
istilah etika memiliki pengertian yang berbeda-beda. Pertama, kata etika
dapat dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi
pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah laku.
Misalnya, etika Islam, etika Budha, etika Protestan, etika suku-suku Indian.

8

M Yatimin Abdullah, Studi Akhlak Dalam Perspektif AL Qur’an, (Jakarta : AMZAH, 2008),
Cet.2, hal.4
9

Mohammad Daud Ali, Op. Cit., hal.353

10

Ibid., hal.356


18

Kedua, etika berarti juga kumpulan asas atau nilai moral, atau lebih dikenal
dengan kode etik, seperti dalam istilah ERSI (Etika Rumah Sakit Indonesia).
Ketiga, etika yang memiliki arti ilmu tentang yang baik dan buruk. Etika
dapat menjadi ilmu apabila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan
nilai tentang yang baik dan buruk) diterima dalam suatu masyarakat menjadi
refleksi bagi penelitian sistematis dan metodis. Etika di sini sama artinya
dengan filsafat moral.11
Etika tidak mempersoalkan keadaan manusia, tetapi mempersoalkan
bagaimana manusia harus bertindak, di mana tindakan manusia tersebut
ditentukan oleh bermacam-macam norma.12
2. Macam-macam Etika
Etika dapat dibagi menjadi tiga pendekatan yang dalam konteks ini
sering diberikan, yaitu etika deskriptif, etika normative dan metaetika. 13
a.

Etika Deskriptif
Etika deskriptif melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas,
misalnya, adat kebiasaan, anggapan-anggapan tentang baik dan buruk,

tindakan yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan. Etika deskriptif
mempelajari moralitas yang terdapat pada individu-individu tertentu,
dalam kebudayaan-kebudayaan atau subkultur tertentu, dalam suatu
periode sejarah dan sebagainya. Karena etika deskriptif hanya
melukiskan, maka fungsinya tidak memberikan penilaian.14

b.

Etika Normatif
Dalam etika normative, seseorang tidak bertindak sebagai penonton
netral, tapi melibatkan diri dengan mengemukakan penilaian tentang
perilaku manusia. Penilaian tersebut dibentuk atas dasar norma-norma

11

K. Bertens, Op. Cit., hal. 6

12

Tedi Priatna, Op. Cit., hal. 104


13

K. Bertens, Op. Cit., hal. 15

14

Ibid.

19

yang berlaku.15 Bahkan, dapat menyikapi norma-norma yang diterima
oleh masyarakat atau diterima oleh seorang ahli lain, dengan
mempertanyakan apakah norma-norma tersebut benar atau tidak.16
Etika normatif dapat dibagi menjadi etika umum dan etika khusus;
1)

Etika Umum.
Etika umum berbicara mengenai kondisi dasar cara manusia
bertindak secara etis, teori-teori etika dan prinsip-prinsip moral

dasar yang menjadi pegangan bagi manusia dalam bertindak serta
tolak ukur dalam menilai baik dan buruknya suatu tindakan. Etika
umum dapat dianalogkan dengan ilmu pengetahuan yang
membahas pengertian umum dan teori-teori.17

2)

Etika Khusus.
Etika khusus merupakan penerapan prinsip-prinsip moral dasar
dalam bidang kehidupan yang khusus.18
Etika khusus dapat dibagi menjadi dua bagian :
a)

Etika Individual, yang menyangkut kewajiban dan sikap
manusia terhadap dirinya sendiri.

b)

Etika Sosial, yang berbicara mengenai kewajiban, sikap dan
pola perilaku manusia sebagai anggota umat manusia.19

Demikian luasnya ruang lingkup dari etika social, sehingga
etika social terpecah menjadi banyak bagian atau bidang.
Pembahasan bidang yang paling actual saat ini adalah
sebagai berikut :
1)

Sikap terhadap sesama.

2)

Etika keluarga

15

Ibid., hal. 17

16

Ibid., hal. 18

17

Tedi Priatna, Op. Cit., hal. 109

18

Ibid.

19

Ibid.

20

c.

3)

Etika profesi.

4)

Etika politik.

5)

Etika lingkungan.

6)

Etika ideologi.20

Metaetika
Istilah ini diciptakan untuk menunjukkan bahwa yang dibahas bukanlah
moralitas secara langsung, melainkan ucapan-ucapan di badang
moralitas.21 Salah satu masalah yang ramai dibicarakan dalam metaetika
adalah apakah ucapan normatif dapat diturunkan dari ucapan factual.
Kalau sesuatu ada atau merupakan kenyataan (factual), apakah dari hal
tersebut dapat disimpulkan bahwa sesuatu harus atau boleh dilakukan
(ought : normatif).22

3. Aliran-aliran Etika
Dari beberapa pengertian diatas, tampak jelas bahwa etika merupakan
sistem moral dan prinsip-prinsip dari suatu perilaku manusia yang kemudian
dijadikan standarisasi baik-buruk, salah-benar, serta sesuatu yang bermoral
atau tidak bermoral. Ada beberapa madzhab dalam etika, diantaranya adalah
sebagai berikut:
a. Egoisme
Egoisme adalah tindakan atau perbuatan memberi hasil atau menfaat bagi
diri sendiri untuk jangka waktu selama diperlukan atau dalam waktu
yang lama.23
1) Hedonisme
Para hedonis berpendapat bahwa ukuran makmur atau tidaknya suatu
kehidupan, bahagia atau tidaknya suatu kehidupan hanya dapat
diidentifikasi dengan kesenangan meteri.24
20

Ibid., hal. 110

21

K. Bertens, Op. Cit., hal. 19

22

Ibid., hal. 21

23

Tedi Priatna, Op. Cit., hal. 106

21

2) Eudaemonisme
Eudaemonisme berasal dari bahasa Yunani eudemonia yang berarti
bahagia atau kebahagiaan yang lebih tertuju pada rasa bahagia.25
b. Deontologisme
Deontologisme berpendapat bahwa baik-buruknya atau benar-salahnya
suatu tindakan diukur berdasarkan sifat-sifat tertentu dari perbuatan yang
dilakukan bukan diukur berdasarkan akibat yang ditimbulkan.
1)

Deontologisme tindakan
Baik-buruknya suatu tindakan dapat dirumuskan untuk situasi
tertentu tanpa ada peraturan umum.26

2)

Deontologisme peraturan
Baik-buruknya suatu tindakan diukur pada satu atau beberapa
peraturan yang berlaku umum dan bersifat mutlak.27

c. Utilitarianisme
Utilitarianisme berpendapat bahwa baik-buruknya tindakan diukur dari
akibat yang ditimbulkan.28
1)

Utilitarianisme tindakan
Segala tindakan mengakibatkan kelebihan sedemikian rupa sehingga
menghasilkan akibat baik sebesar mungkin.29

2)

Utilitarianisme peraturan
Memiliki semboyan untuk bertindak sesuai dengan kaidah yang
penetapannya menghasilkan lebih banyak kebaikan.30

24

Ibid.

25

Ibid.

26

Ibid., hal. 107

27

Ibid.

28

Ibid.

29

Ibid., hal 108

30

Ibid.

22

d. Theonom
Kehendak Allah merupakan ukuran baik dan buruk suatu tindakan.31
1)

Teori theonom murni
Suatu perbuatan dianggap benar apabila sesuai dengan kewajiban
yang diperintahkan Allah.32

2)

Teori theonom kodrat
Kebaikan dari suatu perbuatan bergantung pada apakah perbuatan
tersebut dapat mewujudkan nilai-nilai manusiawi atau tidak.

4. Pendidikan Etika
Proses internalisasi etika dalam diri peserta didik tidak dapat dilakukan
secara instan, namun melalui proses yang sejalan dengan perkembangan
jasmani dan rohani peserta didik.33 Salah satu teori yang terkenal adalah apa
yang

dikemukakan

oleh

Lawrence

Kohlberg

yang

mengurutkan

perkembangan menjadi tiga tahap, dan setiap tahap terdapat dua perngkat.
Tahap pertama, prekonvensional. Dalam tahap ini, ada dua peringkat
yang dilalui, yaitu orientasi ketaatan dan sanksi pada peringkat pertama, di
mana pendidik mengajarkan mana perbuatan baik dan tidak baik. Jika anak
didik berbuat baik, pendidik memberikan ganjaran, penghargaan atau hadiah,
tetapi jika melakukan perbuatan tidak baik, pendidik akan memberikan sanksi
hukuman sehingga anak didik akan belajar melakukan perbuatan baik dan
tidak lagi mengulangi perbuatan yang tidak baik .Dan pada peringkat kedua
berorientasi pada asas dan alat atau instrumen. Pada peringkat ini anak didik
belajar memahami asas nilai baik dan asas tersebut merupakan instrumen
untuk melakukan perbuatan yang dapat diterima oleh lingkungan.34
Tahap kedua, peringkat konvensional. anak didik belajar terhadap nilainilai yang menjadi alasan untuk berbuat baik untuk memenuhi kehendak
31

Ibid.

32

Ibid.

33

FX, Sudarsono, "Pendidikan Etika yang Terpinggirkan dan Terlupakan", Dinamika
Pendidikan Majalah Ilmu Pendidikan, Th. XIV, No. 1, Mei, 2007, hal. 18
34

Ibid., hal. 19

23

pendidik serta lingkungannya. Pada tahap ini terdapat dua peringkat, yaitu
peringkat yang berorientasi pada interpersonal, di mana anak didik dilatih
untuk menempatkan diri yang didasari pada nilai-nilai dan tata aturan yang
ditetapkan dalam lingkungan sosial budaya tertentu. Dan peringkat yang
berorientasai pada undang-undang dan peraturan hukum negara dan
pemerintah.35
Tahap ketiga, Post-Konvensional. Pada tahap ini anak didik tidak lagi
hanya menerima dan melakukan, tetapi juga mencoba untuk mengkaji dan
mengkritisi dari sudut pandang tertentu yang dikembangkan sendiri. Oleh
karena itu, peringkat selanjutnya berorientasi pada kontrak sosial, baik tertulis
maupun tidak tertulis dan peringkat terakhir berorientasi pada prinsip nilai
etika yang berlaku universal.36
Sedangkan dalam Islam, pendidikan etika Islam diartikan sebagai
latihan mental dan fisik yang mengahasilkan manusia berbudaya tinggi untuk
melaksanakan tugas kewajiban dan tanggung jawab dalam masyarakat selaku
hamba Allah. Pendidikan etika Islam juga berarti menumbuhkan personalitas
(kepribadian) dan menanamkan tanggung jawab.37 Sebagaimana firman Allah
SWT dalam Surat Ali 'Imran ayat 19 yang berbunyi :

(

:

)

Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang
berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan
orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak
ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana. (QS: Ali Imran Ayat: 18)

35

Ibid., hal. 20

36

Ibid., hal. 21

37

M Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al Qur'an, (Jakarta : AMZAH, 2008),
Cet. 2, hal. 22

24

Oleh karena itu, jika berpredikat muslim yang benar-benar menjadi
penganut agama yang baik dan harus menaati ajaran Islam dan menjaga agar
rahmat Allah tetap berada pada dirinya, maka harus mampu memahami,
menghayati dan mengamalkan ajarannya yang didorong oleh iman sesuai
dengan akidah Islamiah.38
Dengan demikian, pendidikan etika Islam merupakan suatu proses
mendidik, memelihara, membentuk dan memberikan latihan mengenai akhlak
dan kecerdasan berfikir baik yang bersifat formal dan informal yang
didasarkan pada ajaran-ajaran Islam.39
B. Belajar dan Mengajar
1. Pengertian Belajar dan Mengajar
Belajar dan mengajar merupakan dua konsep yang tidak bisa dipisahkan
satu sama lain. Belajar menunjuk pada apa yang harus dilakukan seseorang
sebagai subjek yang menerima pelajaran (sasaran didik), sedangkan mengajar
menunjuk pada apa yang harus dilakukan oleh guru sebagai pengajar.40
Dua konsep tersebut menjadi terpadu dalam satu kegiatan manakala
terjadi interaksi guru-siswa, siswa-guru pada saat pengajaran berlangsung.
Inilah makna belajar dan mengajar sebagai suatu proses.41
Pengertian belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses usaha yang
dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang
baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi
dengan lingkungannya.42

38

Ibid.

39

Ibid., hal. 23

40

Nana Sudjana, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, (Bandung : Sinar Baru Algensindo,
2011), Cet.12, hal. 28
41

Ibid.

42

Slameto, Belajar & Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, (Jakarta : Rineka Cipta, 2010),
Cet.5, hal.2

25

Tidak semua perubahan perilaku sebagaimana digambarkan di atas
merupakan hasil belajar. Ada diantaranya terjadi dengan sendirinya karena
proses perkembangan. Seperti halnya bayi dapat memegang sesuatu setelah
mencapai usia tertentu. Perubahan perilaku dalam proses belajar adalah akibat
dari interaksi dengan lingkungan yang biasanya berlangsung secara sengaja.
Kesengajaan tersebut tercermin dari adanya beberapa faktor, diantaranya
kesiapan, motivasi dan tujuan yang ingin dicapai.43
Di samping itu, perubahan tidak selalu harus menghasilkan perbaikan
ditinjau dari nilai-nilai sosial. Seorang penjahat mungkin sekali menjadi
seorang yang sangat ahli, tetapi dari segi pandangan sosial hal itu bukanlah
berarti perbaikan.44
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang dikemukakan di atas,
Hilgard dan Brower mendefinisikan belajar dengan perubahan dalam
perbuatan melalui aktivitas, praktek dan pengalaman.45
Sama halnya dengan belajar, mengajar pun pada hakikatnya adalah suatu
proses, yaitu proses mengatur, mengorganisasi lingkungan yang ada di sekitar
peserta didik sehingga dapat menumbuhkan dan mendorong peserta didik
melakukan proses belajar. Pada tahap berikutnya, mengajar adalah proses
memberikan bimbingan atau bantuan kepada siswa dalam melakukan proses
belajar.46
Dalam konsep tersebut, tersirat bahwa peran pendidik adalah memimpin
belajar (learning manager) dan fasilitator belajar. Mengajar bukanlah
menyampaikan pelajaran, melainkan suatu proses membelajarkan pesera
didik.47
43

Muhammad Ali, Guru Dalam Proses Belajar Mengajar, (Bandung : Sinar Baru Algensindo,
2010), Cet.14, hal. 15
44

Oemar Hamalik, Psikologi Belajar dan Mengajar, (Bandung : Sinar Baru Algensindo,
2012), Cet.8, hal. 45
45

Ibid.

46

Nana Sudjana, Op. Cit, hal. 29

47

Ibid.

26

Sedangkan dalam Islam, konsep belajar lebih identik dengan pencarian
ilmu. Meskipun tidak sesederhara pemaknaan istilah mancari ilmu. Misalnya
Az Zarnuji dalam kitab Ta'lim Al Muta'allim Thariq Al Ta'allum
menggunakan istilah "ta'allum" dalam diskursus belajar, yang memiliki
makna lebih dari makna belajar secara denotatif.48
Berdasarkan atas kandungan kitab Ta'lim Al Muta'allim Thariq Al
Ta'allum dapat dipahami bahwa belajar adalah mengembangkan semua
potensi diri seefektif mungkin, baik jasmani maupun rohani untuk
mempelajari, menguasai secara baik, menghayati serta mengamalkan ilmuilmu yang dituntut.49
Disamping itu, belajar harus memiliki nilai transedental ilahiah sebagai
suatu yang bernilai ibadah. Oleh karena itu, belajar menuntut kesungguhan,
keikhlasan dan pengamalan dalam kehidupan, untuk semata-mata mengharap
ridha Allah dan memperoleh kebahagian dunia akhirat.50 Dengan demikian,
belajar memiliki prasyarat yang harus dimiliki setiap pencari ilmu.

"Ingatlah, engkau tak akan dapat ilmu, kecuali dengan enam hal #
Aku akan jelaskan padamu secara global dengan gamblang.
Kecerdasan, minat besar, kesabaran, bekal yang cukup#
petunjuk guru, dan waktu yang lama."
Dari bait tersebut, dapat dimengerti bahwa ada beberapa prasyarat di
dalam pencarian ilmu atau proses belajar, yaitu cerdas, minat besar
(semangat), kesabaran, bekal yang cukup, petunjuk guru dan membutuhkan
waktu yang lama. 51

48

Siswadi, "Konsep Belajar Menurut Az Zarnuji", Insania, Vol.11, No.1, JanuariApril, 2006, hal. 76-86
49

Ibid.

50

Ibid.

51

Ibrahim ibn Isma'il Az Zarnuji, Ta'lim Al Muta'allim fi Thariq Al Ta'lim, (Semarang : Karya
Thoha Pura, tt), hal. 14

27

2. Teori Belajar
Pada mulanya, teori belajar dikembangkan oleh para ahli psikologi dan
dicobakan tidak langsung kepada manusia di sekolah, tetapi menggunakan
percobaan dengan binatang dan berharap bahwa hasil percobaan tersebut akan
dapat diterapkan pada proses belajar mengajar untuk manusia.52
Pada tingkat perkembangan berikutnya, baru para ahli mencurahkan
perhatian pada proses belajar mengajar untuk manusia di sekolah. Karena
prosesnya begitu kompleks, maka timbul beberapa teori tentang belajar.
dalam hal ini secara global ada tida teori, yaitu teori Ilmu Jiwa Daya, Ilmu
Jiwa Gestalt dan Ilmu Jiwa Asosiasi.53
a.

Teori Belajar Menurut Ilmu Jiwa Daya
Menurut teori ini, jiwa manusia terdiri dari bermacam-macam daya.
Masing-masing daya dapat dilatih dalam rangka untuk memenuhi
fungsinya.54 Seseorang hanya memanfaatkan semua daya yang sudah
tersedia dengan cara melatihnya sehingga ketajamannya dirasakan
ketika dipergunakan untuk suatu hal. Daya-daya tersebut seperti daya
mengenal,

daya

mengingat,

daya

berfikir,

daya

fantasi

dan

sebagainya.55
Akibat dari teori ini, maka belajar hanyalah melatih semua daya
yang telah dimiliki. Sedangkan pengaruh teori ini dalam belajar adalah
ilmu pengetahuan yang dipadat hanyalah bersifat hafalan belaka. Dan
penguasaan bahan yang bersifat hafalan biasanya jauh dari pengertian.
Oleh karena itu, menurut para ahli jiwa daya, bila ingin berhasil dalam
belajar, latihlah semua daya yang ada dalam diri.56

52

Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta : Rajawali Press, 2011),
Cet.19, hal. 29
53

Ibid., hal. 30

54

Ibid.

55

Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar, ( Jakarta : Rineka Cipta, 2011), Cet 3, hal.18

56

Ibid.

28

b.

Teori Belajar Menurut Ilmu Jiwa Gestalt
Psikologi Gestalt memandang bahwa belajar terjadi bila diperoleh
insight (pemahaman). Insight timbul secara tiba-tiba, bila individu telah
dapat melihat hubungan antara unsur-unsur dalam situasi problematis.
Dengan kata lain, insight adalah semacam reorganisasi pengalaman
yang terjadi secara tiba-tiba, seperti ketika menemukan ide baru atau
menemukan pemecahan masalah.57
Selain itu, teori ini berpandangan bahwa keseluruhan lebih penting
dari bagian-bagian. Sebab keberadaan bagian-bagian didahului oleh
keseluruhan. Belajar yang terpenting bukan mengulangi hal-hal yang
harus dipelajari, tetapi mengerti atau memperoleh insight. Belajar
dengan pengertian lebih dipentingkan daripada hanya memasukkan
sejumlah kesan.58
Dari aliran ilmu jiwa Gestalt tersebut memberikan beberapa prinsip
belajar. antara lain :
1) Manusia bereaksi dengan lingkungan secara keseluruhan, tidak
hanya secara intelektual, tetapi juga secara fisik, emosional, sosial
dan sebagainya.
2) Belajar adalah penyesuaian diri dengan lingkungan.
3) Manusia berkembang sebagai keseluruhan sejak kecil sampai
dewasa, lengkap dengan segala aspek-aspeknya.
4) Belajar adalah perkembangan ke arah diferensiasi yang lebih luas.
5) Belajar hanya berhasil, apabila tercapai kematangan untuk
memperoleh insight
6) Tidak ada belajar tanpa kemauan
7) Belajar akan berhasil jika ada tujuan.
8) Belajar merupakan proses jika seseorang terus aktif.59

57

Muhammad Ali, Guru dalam Proses Belajar Mengajar, (Bandung : Penerbit Sinar Baru
Algensindo, 2010), Cet. 14, hal. 19
58

Syaiful Bahri Djamarah, Op. Cit., hal. 19

59

Sardiman, Op. Cit., hal. 31-32

29

c.

Teori Belajar Menurut Ilmu Jiwa Asosiasi
Teori asosiasi berprinsip bahwa keseluruhan itu sebenarnya terdiri
dari penjumlahan bagian-bagian atau unsur-unsurnya. Penyatupaduan
bagian-bagian melahirkan konsep keseluruhan. Teori asosiasi disebut
juga dengan teori sarbond yang merupakan singkatan dari stimulus,
respons,dan bond. Stimulus berarti rangsangan, respons berarti
tanggapan, dan bond berarti dihubungkan. Rangsangan diciptakan
untuk

memunculkan

tanggapan

kemudian

dihubungkan

antara

keduanya dan terjadilah asosiasi.60
Dari aliran ilmu jiwa asosiasi ada dua teori yang sangat terkenal,
yaitu Teori Konektionisme dari Thorndike dan Teori Conditioning dari
Ivan Pavlov.
1) Teori Konektionisme
Dasar dari belajar adalah asosiasi antara kesan panca indra
(sense impresion) dengan impuls untuk bertindak (impuls to action)
Dengan kata lain, belajar adalah pembentukan hubungan antara
stimulus dan respon, antara aksi dan reaksi. 61 Ada beberapa prinsip
dasar dalam teori ini, diantaranya sebagai berikut :
a)

Law of effect
Hubungan stimulus dan respons akan bertambah erat, kalau
disertai dengan perasaan senang atau puas, dan kurang erat
atau bahkan lenyap jika disertai perasaan tidak senang.62

b)

Law of multiple response
Belajar dilakukan berulang-ulang sehingga muncul respons
dengan tepat.63

60

Syaiful Bahri Djamarah, Op. Cit., hal. 23

61

Sardiman, Op. Cit., hal. 33

62

Ibid.

63

Ibid.

30

c)

Law of exercise / Law of use and disuse
Hubungan stimulus dan respons akan bertambah erat apabila
sering digunakan dan berkurang bahkan lenyap apabila jarang
atau tidak pernah digunakan.64

d)

Law of assimilation / Law of analogy
Seseorang dapat menyesuaikan diri atau memberi respons
yang sesuai dengan situasi sebelumnya.

2) Teori Conditioning
Dalam praktik kehidupan sehari-hari terdapat suatu pola yang
menjadi kebiasaan karena adanya suatu tanda. Misalnya, anak
sekolah mendengar lonceng, kemudian berkumpul, pengendara
motor akan berhenti jika melihat lampu merah dan kembali
berkendara apabila lampu menyala hijau.65
Beberapa contoh di atas merupakan bentuk nyata yang
terlihat di kehidupan sehari-hari. Bentuk-bentuk kelakuan seperti
itu terjadi karena adanya conditioning. Karena kondisinya
diciptakan, maka sudah menjadi kebiasaan. Kondisi yang
diciptakan tersebut merupakan syarat, memunculkan reflek
bersyarat.66
3. Prinsip Belajar dan Mengajar
Berdasarkan konsep dan teori-teori belajar tersebut di atas, dapat ditarik
sejumlah prinsip belajar dan mengajar sebagai berikut :
a.

Belajar senantiasa bertujuan yang berkenaan dengan pengembangan
perilaku siswa

b.

Belajar didasarkan atas kebutuhan dan motivasi tertentu.

c.

Belajar dilaksanakan dengan latihan daya-daya, membentuk hubungan
asosiasi dan melalui penguatan.

64

Ibid.

65

Ibid.

66

Syaiful Bahri Djamarah, Op. Cit., hal. 27

31

d.

Belajar bersifat keseluruhan yang menitikberatkan pemahaman berfikir
kritis, dan reorganisasi pengalaman.

e.

Belajar membutuhkan bimbingan.

f.

Belajar dipengaruhi oleh faktor dari dalam diri individu dan faktor dari
luar individu.

g.

Belajar sering dihadapkan pada masalah dan kesulitan yang perlu
dipecahkan.

h.

Hasil belajar dapat ditransfer ke dalam situasi lain.67

C. Etika dalam Belajar dan Mengajar.
Pada dasarnya, etika tidak mempersoalkan keadaan manusia, tetapi
mempersoalkan bagaimana manusia harus bertindak.68 Baik dalam pengertian
etika sebagai norma moral yang menjadi pegangan suatu kelompok, kode etik
maupun ilmu tentang baik dan buruk.69
Sedangkan belajar dan mengajar pada hakikatnya adalah suatu proses. Dan
dalam konsep tersebut akan selalu berlangsung dengan melibatkan unsur subyek
atau pihak-pihak sebagai aktor penting. Aktor penting tersebut dinamakan pula
sebagai subyek penerima di satu pihak dan subyek pemberi di pihak yang lain.
Bahkan karena begitu pentingnya kedudukan kedua subyek tersebut dalam
aktivitas pendidikan, keduanya menjadi unsur dasar yang membentuk aktivitas
pendidikan. Dengan demikian, ketiadaan kedua subyek tersebut berarti juga
ketiadaan aktivitas pendidikan. Dalam prakteknya, subyek penerima adalah
peserta didik, sedangkan subyek pemberi adalah pendidik.70
Dengan demikian, etika dalam belajar dan mengajar dapat diartikan sebagai
konsep bagaimana peserta didik bertindak yang benar dalam proses belajar dan

67

Oemar Hamalik, Psikologi Belajar dan Mengajar, (Bandung : Penerbit Sinar Baru
Algensindo, 2012), Cet.8, hal.54-55
68

Tedi Priatna, Op. Cit., hal. 104

69

K. Bertens, Op. Cit., hal. 6

70

Dwi Siswoyo, Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta : UNY Press, 2008), hal. 86

32

bagaimana pendidik bertindak yang benar dalam proses mengajar sesuai dengan
norma-norma yang berlaku.
1. Etika Pesera Didik (Etika Belajar)
Etika peserta didik merupakan sesuatu yang harus dilaksanakan dalam
proses belajar baik secara langsung maupun tidak langsung. 71 Al Ghazali
merumuskan ada sebelas kewajiban peserta didik :
a) Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqatub kepada Allah SWT,
sehingga dalam kehidupan sehari-hari anak didik dituntut untuk
mensucikan jiwanya dari akhlak yang rendah dan watak yang tercela.
b) Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan ukhrawi.
c) Bersikap tawadhu' (rendah hati) dengan cara meninggalkan kepentingan
pribadi untuk kepentingan pendidiknya.
d) Menjaga pikiran dan pertentangan yang timbul dari berbagai aliran.
e) Mempelajari ilmu yang terpuji, baik untuk ukhrawi maupun duniawi.
f)

Belajar dengan bertahap dengan cara memulai pelajaran yang mudah
menuju pelajaran yang sulit.

g) Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian hari beralih pada ilmu
lainnya, sehingga anak didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan
secara mendalam.
h) Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari.
i)

Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum ilmu duniawi.

j)

Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu
yang dapat bermanfaat dalam kehidupan dunia dan akhirat.

k) Anak didik harus tunduk pada nasehat pendidik.72
Etika peserta didik seperti apa yang dirumuskan oleh para pakar
pendidikan perlu disempurnakan dengan empat akhlak peserta didik dalam
menuntut ilmu :

71

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Penerbit KALAM MULIA, 2008), Cet.7,
hal.118-119
72

Ibid.

33

a) Peserta didik harus membersihkan hatinya dari kotoran dan penyakit jiwa
sebelum menuntut ilmu, sebab belajar merupakan ibadah yang harus
dikerjakan dengan hati yang bersih.
b) Peserta didik harus mempunyai tujuan menuntut ilmu dalam rangka
menghiasi jiwa dengan sifat keimanan, mendekatkan diri kepada Allah
SWT.
c) Peserta didik harus tabah dalam memperoleh ilmu pengetahuan dan sabar
dalam menghadapi tantangan dan cobaan yang datang.
d) Peserta didik harus ikhlas dalam menuntut ilmu dan menghormati
pendidik, berusaha memperoleh kerelaan dari pendidik dengan
mempergunakan beberapa cara yang baik.73
2. Kode Etik Guru (Etika Mengajar)
Konsep etika mengajar tercermin dalam kode etik guru sebagai normanorma yang harus diindahkan guru dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini
seseuai dengan pengertian Kode Etik menurut Undang-Undang Nomor 8
tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian.74 Kode etik guru tersebut ada
dua macam, yaitu Kode Etik Guru Indonesia dan Kode Etik Jabatan Guru.
a) Kode Etik Guru Indonesia.
1) Guru berbakti membimbing anak didik seutuhnya untuk membentuk
manusia pembangunan yang ber-Pancasila.
2) Guru

mempunyai

kejujuran

profesional

dalam

menerapkan

kurikulum sesuai dengan kebutuhan anak didik masing-masing.
3) Guru

mengadakan

komunikasi

terutama

dalam

memperoleh

informasi tentang peserta didik, tetapi menghindarkan diri dari
segala bentuk penyalahgunaan.
4) Guru menciptakan suasana kehidupan sekolah dan memelihara
hubungan dengan orang tua murid sebaik-baiknya demi kepentingan
peserta didik.
73

Ibid., hal 120

74

Ibid., hal 66

34

5) Guru memelihara hubungan baik dengan masyarakat di sekitar
sekolah maupun masyarakat yang lebih luas untuk kepentingan
pendidikan.
6) Guru secara mandiri atau bersama-sama berusaha mengembangkan
dan meningkatkan profesinya.
7) Guru menciptakan dan memelihara hubungan antara sesama guru
baik berdasarkan hubungan kerja maupun di dalam hubungan
keseluruhan.
8) Guru secara bersama-sama memelihara, membina dan meningkatkan
mutu organisasi guru profesional sebagai sarana pengabdiannya.
9) Guru melaksanakan segala ketentuan yang merupakan kebijakan
Pemerintah dalam bidang pendidikan.75
b) Kode Etik Jabatan Guru.
1) Guru sebagai manusia Pancasilais hendaknya menjunjung tinggi dan
mewujudkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
2) Guru selaku pendidik hendaknya berekad untuk mencintai anak-anak
dan jabatannya, serta selalu menjadikan dirinya suri teladan bagi
peserta didik.
3) Setiap guru berkewajiban selalu menyelaraskan pengetahuan dan
meningkatkan kecakapan profesi dengan perkembangan ilmu
pengetahuan.
4) Setiap guru diharapkan selalu memperhitungkan masyarakat
sekitarnya, sebab pada hakekatnya pendidikan merupakan tugas
pembangunan dan tugas kemanusiaan.
5) Setiap guru berkewajiban meningkatkan kesehatan dan keselaranan
jasmaniahnya, sehingga berwujud penampilan pribadi yang sebaikbaiknya, agar dapat melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya pula.
6) Di dalam hal berpakaian dan berhias, seorang guru hendaknya
memperhatikan norma-norma estetika dan sopan santun.

75

Ibid., hal. 67

35

7) Guru hendaknya bersikap terbuka dan demokratis dalam hubungan
dengan atasannya dan sanggup menempatkan diri sesuai dengan
hierarki kepegawaian.
8) Jalinan hubungan antara seorang guru dangan atasannya hendaknya
selalu diarahkan untuk meningkatkan mutu

dan pelayanan

pendidikan yang menjadi tanggung jawab bersama.
9) Setiap guru berkewajiban untuk selalu memelihara semangat korps
dan meningkatkan rasa kekeluargaan dengan sesama guru dan
pegawai lainnya.
10) Setiap guru hendaknya bersikap toleran dalam menyelesaikan setiap
persoalan yang timbul, atas dasar musyawarah dan mufakat demi
kepentingan bersama.
11) Setiap guru dalam pergaulan dengan murid-murid, tidak dibenarkan
mengaitkan persoalan politik dan ideologi yang dianutnya, baik
secara langsung maupun tidak langsung.
12) Setiap guru hendaknya mengadakan hubungan yang baik dengan
intansi, organisasi atau perorangan dalam melaksanakan kerjanya.
13) Setiap guru berkewajiban berpartisipasi secara aktif dalam
melaksanakan program dan kegiatan sekolah.
14) Setiap

guru

diwajibkan

mematuhi

peraturan-peraturan

dan

menekankan self dicipline serta menyesuaikan diri dengan adat
istiadat setempat secara fleksibel.76

76

Ibid.