31
dipupuk, dibela, dan dipertahakan demi tegaknya kesatuan bersama yang telah dibentuk bersama. Dengan demikian, dibutuhkan loyalitas yang kuat
dan pengorbanan yang ikhlas sehingga seringkali memunculkan fanatisme dalam tindakan itu. Kesetikawanan antarindividu dalam kelompok benar-
benar diuji. Semangat salunglung sobayantakan diharapkan menjadi modal pemersatuperekat masyarakat sehingga mampu bertahan dari anasir-anasir
asing yang bersifat negatif.
5. Novel Suryak Suung Mangmung oleh Djelantik Santha 2007.
Novel ini merupakan salah satu dari trilogi novel Djelantik Santha. Novel ini terbagi atas tujuh episode. Namun demikian, ketujuh episode itu merupakan satu
rangkaian yang utuh mulai dari episode satu sampai selesai bagian tujuh. Secara garis besarnya ceritanya sebagai berikut.
Episode satu dikisahkan seorang pegawai bank Gusti Ngurah Darsana yang akan memasuki masa pensiun. Sebelumnya telah melaksanakan tugas di berbagai
daerah seperti BRI Cabang Mataram, terus Raba Bima, Ambon, Kendari, Makassar, Samarinda, Padang, Medan, dan terakhir Jakarta. Ketika mengawali
karirnya bekerja di Mataram, Darsana ketemu dengan gadis Sasak namanya Lale Dumilah dan setelah menikah diberi nama Ratna Dumilah. Oleh karena
memasuki masa pensiun, Darsana diizinkan oleh atasannya kembali pulang kembali dan bertugas di Denpasar. Dari perkawinannya itu mereka mempunyai
tiga orang anak dan seorang cucu. Oleh karena sudah bekerja di Bali, maka Darsana mulai menata rumahnya yang ada di Baledan Kecamatan Selat
Karangasem yang memang sudah mulai rusak sekalian sebagai persiapan untuk upacara cucunya Gung Widya Karana dan juga pernikahan anak perempuannya
32
Gusti Ayu Kendariyani. Kembali Darsana ke kampung halamannya diibaratkan memasuki kungkungan puyung sangkar kosong.
Bagian kedua disajikan romantika perkawinan yang sudah memasuki masa kritis, yakni masa ketika kedua belah pihak sudah merasa tidak kuat secara fisik
lebih-lebih bagi perempuan yang memasuki masa menopause. Pada masa ini disajikan berbagai macam tantangan dan godaan yang dihadapi serta bagaimana
cara menyikapinya. Selain itu disajikan juga tentang tanggung jawab hidup dalam harmonisasi budaya Bali yang sangat kental dengan agama Hindu,
menyeimbangkan mulat sarira introspeksi diri dengan toleransi. Episode ketiga disajikan mengenai cara mencari pasangan hidup yang baik.
Mencari pasangan memang harus memilih tetapi memilih yang tepat agar tidak seperti pepatah orang Bali
“pilih-pilih bekul bakat buah bangiang” „memilih yang terbaik tetapi akhirnya yang paling jelek didapatkan‟. Tidaklah baik juga
jika menginginkan seorang gadis memakai guna-guna dan itu adalah dosa besar dan dilarang oleh agama.
Episode empat mengisahkan tentang hutan yang angker. Dikisahkan bahwa di dalam hutan menuju Pasar Agung adalah hutan yang angker yang ada penghuni
gaibnya. Memang hutan sekitar Pura Pasar Agung memiliki panorama yang luar biasa, ke utara terlihat puncak Gunung Agung dan ke selatan hamparan hijau dan
laut yang sesekali pandangan diselimuti kabut. Episode ini juga mengisahkan terjadi peristiwa gaib, sesaat setelah selesai persembahyangan, anak Darsana
Gung Kendariyani hilang secara gaib ketika terjadi angin ribut dan kabut tebal secara tiba-tiba. Namun berkat ketulusan dan kekhusukan persembahyangan
Darsana sekeluarga dan pertolongan masyarakat sekitar akhirnya Kendariyani pulang tanpa cacat sedikit pun. Di sinilah letak keyakinan keluarga Darsana
33
bahwa memang dari dulu ada salah seorang kerabatnya yang menjadi juru sapuh tukang sapu secara gaib di Pura Pasar Agung.
Episode kelima tentang tutur kadiatmikan, yakni pengetahuan yang didasari oleh agama Hindu di Bali yang terdiri atas tatwa, susila dan upacara.
Sesungguhnya Sanghyang Widhi Tuhan hanyalah satu. Untuk mencapai tujuan ke-Tuhan-nan itu ada bermacam-macam.
Episode keenam menyajikan pernikahan Kendariyani dengan Gusti Ngurah Wiweka yang didasari atas cinta yang tulus, cinta sejati. Upacara pernikahan
dilaksanakan dengan meriah. Cinta kasih orang tua kepada anak juga diselipkan, yakni dengan memberikan nasihat-nasihat dan contoh yang baik.
Episode ketujuh terakhir adalah tentang situasi gaib yang dialami oleh Ngurah Darsana ketika melakukan persembahyangan di Pura Dalem. Upacara itu
hanya dilakukan hanya satu hari, bukan dua atau tiga hari sebagai di tempat lainnya dan itu pun hanya dilakukan oleh laki-laki, tidak ada perempuan karena
takut. Konon menurut cerita para penghuni alam gaib sering memperlihatkan dirinya dalam bentuk sosok mahluk yang aneh-aneh. Pada malam itu, hanya tiga
orang yang berhasil melewati malam angker itu, yakni Ngurah Darsana, Jero Mangku Dalem, dan Jero Bandesa. Mereka bertiga melihat sosok-sosok angker
itu dalam perujudannya yang bermacam-macam. Mereka bertiga sebagai perwakilan masyarakat bahwa sesungguhnya penghuni gaib itu ada. Kekuatan
gaib juga ditunjukkan ketika hari suci Saraswati ketika menantu Ngurah Darsana, Gusti Agung Wiweka beserta keluarga besarnya mohon keris pusaka miliki
leluhurnya. Suatu hari Ngurah Darsana beserta keluarganya mengalami hal gaib lainnya ketika sembahyang di Puseh Sogra. Terdengar suara keramaian namun
tidak terlihat sesuatu, selang beberapa saat mereka melihat pasukan gaib lengkap
34
dengan senjatanya yang membuat mereka merasa takut. Sampai tiba di rumah pun masih terngiang suara-suara gaib itu. Bahwa sesungguhnya memang betul
ada dunia lain dan harus dipercaya semua itu memiliki kekuatan.
Kearifan Lokal dalam Novel Suryak Suung Mangmung
a Mulat Sariraeling. Mulat Sarira introspeksi diri adalah konsep dalam
budaya Bali agar selalu ingat dengan diri sendiri, sadar, selalu menjauhkan diri dari angkara murka. Selain itu, jangan pula terlalu menuruti hawa nafsu
lebih-lebih birahi yang dapat menghancurkan keluarga. Dalam novel dikutip sebagai berikut.
“Saja Ning, tegarang baca tutur Sarasamuscayane. Mula tuara ada kewehan teken ngeretin momo angkarane utamanne ane madan kama. Ane tonden taen
ngrasayang Makita apang nawang rasanne. Apa buin ane suba biasa ngrasayang jaenne Makita apang tusing kapegatan rasa cara ngisep
candune. Yan maraga luh mula saking nunain, sawireh sasubane baki yen masanggama liunan rasa sakitne timbangan teke
n klebete kasmaran” hal 37.
„Benar Nak, cobala baca ada nasihat dalam Saramuscaya. Memang sangat sulit untuk menahan perilaku jahat utamanya apa yang disebut nafsu. Yang
belum pernah merasakan ingin tahu seperti apa nikmatnya. Lebih-lebih yang sudah biasa merasakan nikmatnya ingin agar tidak pernah terputus merasakan
nikmatnya seperti halnya mengisap candu. Jika perempuan memang bias mengurangi karena jika sudah menopause jika dipaksakan bersenggama lebih
banyak terasa sakitnya dibandingkan dengan keinginan akan nikmatnya
asmara‟. Demikianlah satu satu romantika perkawinan yang memasuki usia senja
ketika terjadi perubahan fisik terutama bagi perempuan. Namun, tidak demikian halnya bagi laki-laki seringkali keadaan yang demikian sering kali
dimanfaatkan untuk mencari kesenangan sendiri di luar rumah. Hal inilah yang harus selalu diingat bahwa semakin tua sudah harus mulai mengurangi
nafsu keduniawian, semakin tua sudah seharusnya semakin banyak mencari jalan kemuliaan.
35
Kesungguhan hati Ratna Dumilah untuk mempelajari agama Hindu adalah contoh yang baik untuk diteladani. Karena sudah terlanjur menikah dengan
Ngurah Darsana, mau tidak mau Ratna Dumilah harus mengikuti suaminya. Baginya tentu tidak baik jika terjadi disharmonisasi kepercayaan antara suami
dengan istri. Ratna Dumilah mengambil peran yang sangat baik dalam pendidikan anaknya, memberikan nasihat-nasihat kebaikan sesuai dengan
dasar agama Hindu, agama yang dianut suaminya. Hal ini ditegaskan dalam kutipan berikut.
“Beh, ibu sampun nyidayang ngerti yadiapin ke dasar kelahiran ibune malianan agama. Yen tiang yadiapin kocap madasar agama Hindu sane
kuna, nanging saking kirangan buku sastra agama Hindu lan uratian para panglingsir adat lan agamane, ngawinang pauninge among ngadu
rarekon….” hal 51. „Wah, ibu sudah sangat mengerti walaupun ketika ibu lahir beda agama.
Kalau saya walaupun menganut agama Hindu yang tradisi lama, oleh karena kekurangan buku-buku agama dan juga para tetua agama menyebabkan
pengetahuan saya hanya mengandalkan konon katanya, …..‟. Demikianlah kesadaran diri seorang Ratna Dumilah yang waktu kecil
bernama Lale Dumilah beragama Islam telah mampu menunjukkan perannya sebagai ibu yang sejati, menghayati dan melaksanakan ajaran agama Hindu
yang sesungguhnya. Kedalaman pemahaman ajaran agama Hindu ditunjukkan pada bagian akhir kisah ketika dia memberi nasihat kepada
anaknya. “Sayuwakti Gung Antha, soang-soang agama pada ngelah aturan
kapercayaanne ane madan Srada. Yen Hindu kadanin Panca Sradha luire percaya teken Ida Sanghyang Widhi, ada Atma, ada Karma Pala, ada
Punarbawa, lan ada Moksa. Ibu ane kawitne uli agama len, sasukate nutug Tu Ajine magama Hindu, bisa ngrasayang ada ane mabinayan. Nanging yen
runut selehin, akehan sane pateh, yadiapin mabinayan basa lan tata caranne. Sekad
i pitutur Tu Ajine, „len tukad len aliran yehne, nanging makejang tetujonne patuh, ka segara agung tan patepi”. Eling ibu dugase bajang
matirta yatra ngiring Tu Ajine ka pucak Gunung Rinjanine. Yeh ujane saking pucak malembah di makudang-kudang tukad. Ada ane ngajanang,
nganginang, ngalodang, nanging makejang tetujonne tuah ka segara”
36
„Benar Gung Antha, tiap-tiap agam memiliki aturan kepercayaan yang disebut dengan Sradha, percaya dengan keberadaan Sanghyang Widhi, ada
Atma roh, ada Karmapala, Punarbawa reinkarnasi, dan Moksa. Ibu yang berasal dari agama yang berbeda setelah mengikuti ayahmu yang beragama
Hindu bias merasakan perbedaannya. Tetapi jika diselidiki lebih mendalam banyak kesamaannya walaupun berbeda bahasa dan penyebutannya.
Sebagaimana ya
ng dikatakan ayahmu, “beda sungai beda aliran airnya, tetapi tujuannya sama, yakni ke samudra luas. Ibu ingat ketika masih muda bersama
ayahmu dalam perjalan suci ke Gunung Rinjani. Air hujan yang jatuh dari puncak gunung mengalir ke berbagai sungai. Ada yang ke utara, ke tikur, ke
selatan, tetapi tujuannya semuanya ke laut‟.
b Pilih-Pilih Bekul Bakat Buah Bangiang
Merupakan sesonggan pepatah dalam budaya Bali. Pepatah ini sangat lazim digunakan dalam berkehidupan social masyarakat Bali. Menurut Tinggen
1995: 19 sesonggan berfungsi untuk mematahkan pembicaraan orang. Secara terminologis, istilah sesonggan berasal dari kata {ungguh}
„duduk, tempat, tinggal‟ kemudian mendapat proses morfologis dengan konfiks {sa-}
+ {-an}. Selanjutnya, menjadi saungguhan lalu direduplikasi suku depan dwipurwa dan terjadi harmonisasi vokal menjadi sesonggan
„bersekeadaan, bersekedudukan, bersepadanan, sepantun, seirama, senasib, seajal‟. Selain itu,
sesonggan juga berfungsi untuk menyindir terhadap seseorang. Dalam mengartikan sebuah sesonggan memerlukan tiga tahapan, yaitu arti sejati, arti
peribahasa, arti perumpamaan. Oleh karena itu, sesonggan dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pilih-pilih bekul bakat buah bangiang Arti sejati: memilih buah bekul akhirnya mendapatkan buah bangiang. Kedua
jenis buah oleh sebagian orang sudah jarang diketahui, lebih-lebih buah bangiang jarang sekali orang yang tahu. Buah bekul adalah sejenis buah yang
rasanya kecut ukurannya sebesar ibu jari dewasa, pohonnya berduri, daunnya kecil-kecil. Buah ini cocok untuk asinan. Pohon ini banyak tumbuh di daerah
37
tandus seperti Bukit Jimbaran Badung. Buah bangiang adalah buah dari tanaman ilak-ilak, sejenis perdu satu kelompok dengan jahe dan bentuknya
mirip dengan jahe. Buah ini tidak dapat dimakan bukan karena beracun tetapi rasanya yang sangat tidak enak. Antara buah bekul dengan buah bangiang
tidak memiliki ukuran yang begitu berbeda. Arti peribahasa: seperti orang yang terlalu memilih-milih namun pada
akhirnya yang didapatkan justru yang lebih jelek. Arti perumpamaan seperti berikut ini.
“Saja Geg Yani, kakiang among maguyonan. Mula patut waspada yen ngalih rabi, apang madasar ben tresna sujati, boya ja kamendriane. Cara Janine
liu anake luh, muani gumanti nguluk-nguluk cara raos jegege, ngulah alih aluh. Ane perluanga tuah arta branan anake dogen. Pitui suba baluan,
tuanan, bocokan sing kenken.. Pokokne sugih, liu ngelah brana lakar anggon 5 M
, momone ane lelima.” Pandikan Ida Pedanda sada alon. “Suyakti Ratu Pedanda. Mangkin akeh trunane sane demen dados dados
gigolo, gumanti mamitra sareng baluan, istri-istrine sane tua kasepian. Yening perlu, nganten taler nyak. Asal sugih. Yen anak luh bajang ngenyakin
anak tua, saking dumun sampun ketah. Sane perluanga jinah lan kemewahan. Mawinan para bangsa
wane akeh madue rabi.” hal 40-41. „Benar Geg Yani, kakek hanya berseloroh. Mencari pasangan memang harus
berhati-hati, harus didasari oleh cinta sejati, bukan sekadar nafsu. Zaman sekarang banyak perempuan, laki-laki suka menipu seperti katamu, cari jalan
pintas. Yang dipentingkan hanyalah kekayaan saja. Walaupun sudah jandaduda, lebih tua, tidak tampancantik tidak apa-apa. Yang penting kaya
raya, banyak punya harta untuk 5 M, ketamakan. Demikian kata Ida Pedanda
perlahan.‟ “Benar Ratu Peranda. Sekarang banyak anak muda yang menjadi gigolo,
yakni berselingkuh dengan janda tua yang kesepian. Bila perlu, menikah pun rela. Yang penting kaya. Kalau perempuan banyak yang menyukai lelaki tua
dan itu sudah berlaku dari dulu. Yang diperlukan hanyalah uang dan k
emewahan. Itulah sebabnya banyak kaum bangsawan memiliki istri‟. Demikianlah hendaknya jangan terlalu memilih sebab salah sedikit saja bisa
menjadi salah pilih, yang lebih buruk lagi justru mendapatkan yang lebih jelek. Perlu diingat bahwa di era yang serba hedonis ini banyak orang yang
munafik, berpura-pura, semua diukur dengan uang tanpa peduli tua atau muda, janda atau pun duda, tampan atau pun jelek. Mencari pasangan
38
memang haruslah memilih tetapi pilihan itu rasional, tidak muluk-muluk baik dari segi pendidikan, pekerjaan, yang terpenting bisa mengayomi keluarga.
Adalah nasihat yang baik dari seorang pendeta kepada Ngurah Darsana. “Nah, Ngurah Darsana, Bapa among matuinget. Ngurah ngelah oka istri
buin jegeg, ngelah gegaen melah, sinah liu anake demen, mabudi nganggon rabi. Nanging, Geg Yani saja pageh ngaba raganne, enu mapilih ngalih rabi
apang maanane paling melaha tur kacumpuin teken anak lingsir. Nah, cara Janine ento mula sukil. Tusing ada anak ane bagus manerus. Yen matuuh
amun Geg Yanine suba antes nganten. Asal tusing ilang pasidikarane, jag rahayuang. Keto masih Geg Yani, sampunang ja bas mapilih. Yening suba
cocok geginane, pendidikane jag kanggoang. Apang sing enggalan wayah. Yen wayah-
wayahan tebu sayan manis. Nanging cara sesonggane “Pilih- pilih bekul bakat buak bangiang”. Sapunika pandikan Ida Pedanda satmaka
ica nguyonin Geg Yani”. hal 40. „Ya, Ngurah Darsana, ayah hanya mengingatkan saja. Kamu punya anak
perempuan lagi pula cantik, pekerjaannya juga bagus, pantaslah banyak orang yang suka padanya untuk dijadikan istri. Namu, Geg Yani terlalu menahan
diri masih memilih-milih supaya dapat suami yang sempurna dan disetuji oleh orang tuanya. Yang demikian itu di zaman sekarang amatlah sulit. Tidak
ada orang yang tampan sempurna. Jika seumur Geg Yani sudah sepantasnya menikah. Asalkan jangan sampai meninggalkan persaudaraan, segera ambil
keputusan. Jika suda sesui dengan pekerjaannya, pendidikannya ambil keputusannya. Andaikan tebu semakin tua semakin enak manis tetapi
jangan seperti pepa
tah “Pilih-pilih bekul bakat buah bangiang” Demikian kata pendeta sambil tertawa ringan menggoda Geg Yani.
5.2 Strategi Pengarang