26
Kedekatan Wayan Landra dengan Maha Pencipta Hyang Widhi melalui seringnya sembahyang manfaatnya telah dirasakannya. Ketika beberapa kali
mau dicelakai oleh Gung Wirati dengan menyerempet mobilnya, tetapi Wayan Landra tetap selamat dan tidak marah.
“Kaden aluh nyerempet anak beneh”, “Patute tugurin Yan,” Kalem Putu Arini ngomong. Yen suba patut, patute ento bakal nulungin
ragane” Gung Ratih makenyem, Putu Arini masi makenyem Nembangang Sayang, 60.
“Dikira gampang nyerempet orang tak bersalah,” “Patut kebenaran itu utamakan Yan”, kalem Putu Arini ngomong. Jika kita sudah benar,
kebenaran itu akan menolong dirinya. Gung Ratih tersenyum, Putu Arini tersenyum juga,
Kehidupan remaja penuh dengan aktivitas untuk mencari jatidiri, namun sayangnya kebanyakan arahnya ke negatif seperti merusak lingkungan.
Budaya corat-coret dan lain-lainnya identik dengan remaja. Nyoman Manda menangkap fenomena ini dengan memasukkan kearifan lokal. Masyarakat
Bali mengenal konsep Tri Hita Karana yang berarti hubungan harmonis manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam.
Kearifan lokal ini dibangkitkan sebagai penyadaran para remaja dengan menyelipkan cerita kemping di danau Tamblingan. Di situ para siswa diajak
berdialog dengan masyarakat, diajak mengenal keasrian hutan, dan menyayangi hutan.
4. Novel Gita Ning Nusa Alit ‘Nyanyian Hening di Pulau Kecil’ oleh
Djelantik Santha 2003.
Novel ini merupakan lanjutan dari novel Sembalun Rinjani sebagaimana yang disampaikan oleh pengarang dalam atur pangaksama kata pengantarnya.
Kisahnya terbagi atas delapan episode. Bagian pertama diawali tentang jalinan asmara Gusti Ngurah Darsana seorang pegawai bank dengan seorang gadis Sasak
27
Lale Dumilah. Darsana adalah sosok idaman kaum perempuan, selain sudah bekerja Darsana adalah pemuda yang tampan, simpatik, dan sangat sopan.
Namun demikian, Darsana terlanjur jatuh cinta kepada Lale Dumilah yang berbeda agama Islam. Keadaan ini tentu membuat hati Lale Dumilah gundah,
takut kalau tidak direstui dan dianggap murtad dan memang demikian adanya. Kepindahan tugas Darsana ke Atambua dan cintanya yang tulus membuat Lale
Dumilah memutuskan untuk menikah dan ikut bersamanya. Setelah menikah, Lale Dumilah berganti nama menjadi Ratna Dumilah. Ratna Dumilah pun
berganti agama dari Islam menjadi Hindu sesuai dengan agama Darsana. Walaupun kedua orang tuanya kecewa, namun pada akhirnya mereka disadarkan
oleh anaknya Lalu Wiradana dan merestui perkawinan mereka. Pernikahan mereka dikarunia seorang putra dan diberi nama Gusti Ngurah
Anantha Bhuwana. Kelahiran Anantha Bhuwana membuat semua keluarga sangat bahagia. Hal ini terlihat ketika melakukan upacara untuk Anantha Buwana
semuanya hadir. Ngurah Darsana juga berhasil mempertemukan dua bersaudara yang terpisahkan dan bahkan tidak saling mengenali oleh keadaan darurat huru-
hara antara Wayan Galang dengan Meina Victoria. Kepindahan Darsana dari dari Atambua ke Rababima Kupang membuat keluarga Lale Dumilah senang
karena memudahkan mereka untuk bertemu.
Lika-liku cinta dan kehidupan rumah tangga Ngurah Darsana dengan Ratna Dumilah diselingi dengan berbagai daya estetis lainnya seperti rasa cemburu kepada
Darsana, penolakan dari keluarga besar Ratna Dumilah bahkan sebelumnya Ratna Dumilah sudah dipasangkan dengan sepupunya, Raden Nuna, seorang calon camat.
Bahkan, karena cinta tak terbalaskan, Raden Nuna menggunakan ilmu hitam untuk
28
menghancurkan Ngurah Darsana dan Ratna Dumilah. Oleh karena belum takdir untuk mati, Ngurah Darsana dan Ratna Dumilah berhasil ditolong.
Kearifan Lokal dalam Gita Ning Nusa Alit:
a Salunglung Sobayantaka:
Ungkapan ini merupakan ungkapan budaya lokal masyarakat Bali tersebar secara luas baik kalangan buruh, petani, nelayan, seniman, pegawai negeri,
dan sebainya. Ungkapan ini amatlah popular dapat diucapkan dimana saja, baik formal maupun informal, perseorangan maupun kelompok. Secara
morfologis, ungkapan ini berasal dari kata salung-lung „sama-sama patah.
Maksudnya, apa pun yang akan terjadi dalam mewujudkan cita-cita mereka, akibatnya akan ditanggung secara bersama. Kata sobayantaka berasal dari
kata sa-+ ubaya + antaka. Sa- „prefiks yang artinya se- dalam bahasa
Indonesia, ubaya „janji‟, antaka „matimeninggal‟. Dengan demikian
salunglung sobayantaka berarti hidup yang senasib dan sepenanggungan sehidup semati Tim Penulis, 1984: 142. Mirip dengan ungkapan ini, di
daerah Minangkabau ada ungkapan sejenis, yang maksudnya kurang lebih sama. Adapun ungkapan yang dimaksud adalah: Mati anak berkalang bapak,
dalam mati bapak berkalang anak”, artinya „anak dan bapak hendaklah tolong-menolong, sandar-menyandar dalam waktu kesusahan dan sebagainya
Pamuntjak, dkk., 2004: 341. Secara tekstual, dalam novel Gita Ning Nusa Alit di wujudkan ketika
Ratna Dumilah mengambil keputusan untuk menikah dengan Ngurah Darsana dengan konsekuensi Ratna Dumilah harus berhenti dari kuliahnya
dan tidak direstui oleh kedua orang tuanya. Namun, cinta mengalahkan
29
segalanya, Ratna Dumilah mengambil keputusan itu sebagaimana dalam kutipan berikut ini.
“Badah, ene mara ya tusing nawang unduk. Sing bisa dadi pengacara utawi pukrul. Ene Denda ane dadi pesakitan sawireh suba ngamaling isin
jejeroan cange, hati, jantung, paru-paru kayang tresnan cange palinga. Jani pamidandane kaputus dadi kurenanrabin cang Saumur hidup. Sing dadi
belas yadiapin suka, duka, lara, pati yen dadi tunas apang mabarengan ane madan salunglung subayantaka”, kenten Gusti Ngurah saha nundikin
gelanne ane milu bengong mirengang hukumane ane katiba teken dewekne. Mara raganne ngerti teken ujud pandikane Gusti Ngurah, lantas mabading
ngelut, ngecup gelanne mawanti- wanti” hal 22.
„Wah, ini tidak tahu masalah. Tidak bisa menjadi pengacara. Ini adinda yang menjadi pesakitanterdakwa karena telah mencuri jantung hatiku dan juga
cintaku. Sekarang hukumannya adalah menjadi istriku seumur hidup. Tidak boleh berpisah baik dalam keadaan suka dan duka, hidup maupun mati agar
selalu bersama seperti dalam ungkapan salunglung subayantaka sehidup semati baik suka dan duka, demikian Gusti Ngurah sembari mencolek
pacarnya yang terbengong-bengong mendengar hukumannya. Ketika tahu akan maksud perkataan Gusti Ngurah lalu berbalik memeluk, mencium
pacarnya berulang- ulang”.
Perkataan Ngurah Darsana lalu dibalas oleh Ratna Dumilah seperti kutipan berikut ini.
“Nggih, hukuman katerima. Nanging tiang masih patuh ngukum Tu Ngurah dadi rabin tiange salawase, tusing megatang tresnane kayang kawekas,
swarga nunut neraka katut” kenten Lale Dumilah matadah gugup sawireh Gusti Ngurah sahasa meluk raganne nganti keweh mangkihan” hal 22.
30
„Ya, hukuman diterima, tetapi saya juga akan menghuku Tu Ngurah Darsana menjadi suami saya selamanya, tidak memutuskan tali cinta
selamanya, baik di sorga maupun di neraka harus bersama ” demikian Ratna
Dumilah seperti gugup karena Gusti Ngurah Darsana segera memeluknya sampai susah bernafas
”.
Demikianlah ungkapan romantisme antara Ngurah Darsana dengan Ratna Dumilah. Semuanya diungkapkan dengan bahasa wajar dan lancar
dengan pengandaian atau pemakaian bahasa hokum yang menandakan bahwa Ngurah Darsana adalah seorang yang terpelajar. Ungkapan cinta Ngurah
Darsana sebaliknya dibalas dengan peluk cium sebagai tanda akan ketulusan cintanya. Pengungkapan salunglung sobayantaka dalam konteks kisah
romantisme ini sangat tepat karena dalam ikatan perkawinan diibaratkan sebuah perahu yang akan berlayar mengarungi samudra luas kehidupan.
Berbagai rintangan dihadapi bersama sehingga mencapai tujuan bersama dan kebahagiaan menjadi milik bersama. Hal ini ditegaskan dalam kutipan teks
berikut. “… Cirin anak pinter kabisane ane bakat di sekolahan sinah patut ingetang
kayang kawekas. Nanging tresnane ane matemuang iraga nganti makurenan patut belanin kayang mati. Apa buin cara Denda ngajak tiang jani suba dadi
aperahu, jalan layarin tuut tukade yadiapin mabias, mabatu-batu, nganti teked ka telenging samudrane tan patepi, ane dadi uleng tetujon saluiring
tukade ane ada di gumine….” hal. 63. „… Ciri orang cerdas adalah mampu menerapkan pengetahuan yang
didapatkan di bangku sekolah dijadikan pedoman selamanya. Namun, cinta yang mempertemukan kita sampai kita menikah patut dibela sampai mati.
Apalagi adinda dan saya sudah berada dalam satu perahu, marilah kita berlayar mengikuti arus sungai walaupun berpasir, berbatu-batu, sampai ke
tengah samudra luas tiada tepi, yang menjadi tujuan dari semua tujuan
aliran yang ada di dunia ini….‟ Mengenai pelafalan istilah sobayantaka, ada juga yang mengucapkan
sabayantaka atau pun subayantaka. Perbedaan pelafalan itu tidak membawa perbedaan arti. Istilah salunglung sobayantaka adalah ikrarjanji untuk saling
mempertahankan prinsip yang telah ditetapkan, prinsip yang harus terus
31
dipupuk, dibela, dan dipertahakan demi tegaknya kesatuan bersama yang telah dibentuk bersama. Dengan demikian, dibutuhkan loyalitas yang kuat
dan pengorbanan yang ikhlas sehingga seringkali memunculkan fanatisme dalam tindakan itu. Kesetikawanan antarindividu dalam kelompok benar-
benar diuji. Semangat salunglung sobayantakan diharapkan menjadi modal pemersatuperekat masyarakat sehingga mampu bertahan dari anasir-anasir
asing yang bersifat negatif.
5. Novel Suryak Suung Mangmung oleh Djelantik Santha 2007.