23
keseimbangan dirinya hilang, tenaga melemah, tetapi merasa paling kuat dan sakti. Orang mabuk serring membuat keonaran dan malapetaka, Hal ini
ditekankan Nyoman Manda bagi generasi sekarang. Intinya minuman beralkohol tidak layak diminum secara berlebihan karena dapat merongrong fisik dan psikis.
Dalam novel diceritakan Bantar akhirnya mati karena ulahnya.
3. Novel Nembangang Sayang karya I Nyoman Manda
Pengarang dan Transformasi Ide
Novel Nembangang Sayang selesai dikarang oleh Nyoman Manda pada saat bulan purnama tanggal 3 Maret 2007. Nyoman Manda termasuk salah satu
pengarang sastra Bali modern yang cukup aktif, kreatif, dan inovatif dalam kepengarangannya. Kali ini ia mencoba menyusun cerita berkisah tentang kasih
anak remaja di sekolah SMA. Anak-anak remaja seusia SMA merupakan anak-anak remaja dan persiapan
akan menuju ke dewasa. Labilitas jiwa dan bangkitnya emosi untuk mencari jati diri ada di usia remaja. Fenomena ini ditangkap oleh Nyoman Manda sehingga
lahir ide untuk mengolah dalam sebuah novel. Bagi seorang pengarang, solusi terhadap masalah sosial akan dituangkan dalam karyanya.
Remaja jika tidak dikendalikan dengan baik, mereka cenderung akan lebih banyak mengadopsi hal-hal dari luar, mereka bangga menggunakan, memiliki,
dan mempelajari hal-hal yang berbau modern. Mereka kurang memperhatikan apa yang diwariskan oleh para leluhurnya, bahkan mereka terasa kolot dan
ketinggalan zaman kalau masih berkutat dengan hal-hal yang bersifat tradisional.
24
Novel Nembangang Sayang memunculkan tokoh Wayan Landra dan Putu Arini sebagai tokoh utama. Mereka dan tokoh-tokoh yang lain merupakan siswa
SMA Klas II IPA 1. Antara Wayan Landra dan Putu Arini sama-sama tumbuh benih cinta di hatinya. Teman-temannya sering memainkan sehingga Putu Arini
sering jengkel di balik rasa cintanya dengan Wayan Landra. “....Dadine nyak adung mapasangan,” ada timpalne nyeletuk. Barak muan
Putu Arinine mara ningeh munyi buka keto, nanging Wayan Landra kalem duen, mula pangabane nengil tusing liu pesu munyi Nembangang
Sayang, 6.
“….Jadi cocok sekali berpasangan,” celetuk temannya. Merahlah muka Putu Arini setelah mendengar ocehan seperti itu, namun Wayan Landra
kalem saja, memang bawaannya selalu diam tidak banyak bicara.
Hadir sebagai tokoh sekunder atau antagonis adalah Gung Wirati. Gung Wirati sosok orang kaya tetapi sombong. Ia mencintai Wayan Landra, tetapi
cintanya ditolak. Penolakan ini dipakai senjata untuk membuat Wayan Landra dan Putu Arini tidak tenang. Bumbu kisah cinta antara Wayan Landra dan Putu
Arini semakin bersemi di acara kemah. Demikian pula rasa cemburu Gung Wirati semakin menjadi-jadi karena semakin mesra mereka berdua semakin cemburulah
Gung Wirati.
Kearifan Lokal sebagai Pengendali Labilitas Jiwa Remaja
Nyoman Manda seorang pengarang Bali beragama Hindu. Beliau jelas karena hidup dalam komunitas masyarakat Bali pasti banyak mengetahui budaya dan
agama di Bali. Umat Hindu percaya bahwa segala yang kita pikirkan, katakan, dan lakukan tanpa ada restu dari Hyang WidhiTuhan, maka tidak akan berhasil
dengan baik. Untuk itu, agama Hindu yang dibalut dengan budaya Bali
25
menampakkan aktivitas bhakti kepada Hyang Widhi melalui persembahyangan di pura dari tingkat pura keluarga sampai ke pura Kahyangan Jagat. Semakin sering
sembahyang di pura-pura atau Tirtha Yatra, berarti diyakini semakin dekat dengan Hyang Widhi dan implikasinya akan mengubah karakter seseorang
menjadi lebih baik. Aktivitas Tirtha Yatra perjalanan suci dengan sembahyang di tempat-
tempat suci merupakan kearifan local yang diselipkan Nyoman Manda dalam karyanya. Idiologi ini ditanamkan dalam tokoh utama Wayan Landra. Wayan
Landra sebagai remaja aktif di Banjar dan sering sembahyang di pura-pura. “….Dugas purnamane abulan tiang ajak sekaa teruna banjar tiange mabakti
ka Pura Kancing Gumi”. “…..Dija purane totonan Yan?” “Di desa
Batulantang paek ka Pelaga” Nembangang Sayang 46-47.
“….Sewaktu bulan purnama sebulan yang lalu kami bersama sekaa teruna
Banjarnya sembahyang di Pura Kancing Gumi”. “… Pura itu dimana Yan?” “Di desa Batulantang dekat dengan desa Pelaga”.
Pura yang lain yang sudah pernah didatangi untuk sembahyang oleh Wayan Landra adalah Pura Pulaki dan Pura Menjangan di wilayah Buleleng.
“Jalan ne tembus ke Seririt, yen lewat Gobleg bias teked di Banjar. Tiang suba taen maturan ke Pulaki terus ke Menjangan lewat mai,” Yan Landra
ngorahin timpal-timpalne Nembangang Sayang, 66-67. “Jalan ini tembus ke Seririt jika lewat Gobleg bias sampai ke desa Banjar.
Saya sudah pernah sembahyang ke Pura Pulaki terus ke Pura Menjangan lewat jalan ini”. Yan Landra menjelaskan pada teman-temannya.
26
Kedekatan Wayan Landra dengan Maha Pencipta Hyang Widhi melalui seringnya sembahyang manfaatnya telah dirasakannya. Ketika beberapa kali
mau dicelakai oleh Gung Wirati dengan menyerempet mobilnya, tetapi Wayan Landra tetap selamat dan tidak marah.
“Kaden aluh nyerempet anak beneh”, “Patute tugurin Yan,” Kalem Putu Arini ngomong. Yen suba patut, patute ento bakal nulungin
ragane” Gung Ratih makenyem, Putu Arini masi makenyem Nembangang Sayang, 60.
“Dikira gampang nyerempet orang tak bersalah,” “Patut kebenaran itu utamakan Yan”, kalem Putu Arini ngomong. Jika kita sudah benar,
kebenaran itu akan menolong dirinya. Gung Ratih tersenyum, Putu Arini tersenyum juga,
Kehidupan remaja penuh dengan aktivitas untuk mencari jatidiri, namun sayangnya kebanyakan arahnya ke negatif seperti merusak lingkungan.
Budaya corat-coret dan lain-lainnya identik dengan remaja. Nyoman Manda menangkap fenomena ini dengan memasukkan kearifan lokal. Masyarakat
Bali mengenal konsep Tri Hita Karana yang berarti hubungan harmonis manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam.
Kearifan lokal ini dibangkitkan sebagai penyadaran para remaja dengan menyelipkan cerita kemping di danau Tamblingan. Di situ para siswa diajak
berdialog dengan masyarakat, diajak mengenal keasrian hutan, dan menyayangi hutan.
4. Novel Gita Ning Nusa Alit ‘Nyanyian Hening di Pulau Kecil’ oleh