13
Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu 1988: 34 bahwa perkawinan adalah ikatan sekala niskala lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal satya alaki rabi. Bila sudah dipahami dan dihayati sebagaimana tersebut di atas,
maka itulah nemu karma ketemu jodoh yang hakiki.
2. Novel Gending Pengalu Karya Nyoman Manda
a Tentang Pengarang
Nyoman Manda termasuk pengarang sastra Bali Modern yang cukup produktif. Banyak buah karyanya berupa novel berbahasa Bali telah diciptakan
dan setiap buah karyanya selalu mendapat sambutan positif dari masyarakat Bali. Demikian pula banyak buah karyanya telah dikaji dalam bentuk skripsi.
Adalah novel berjudul “Gending Pengalu” diciptakan oleh Nyoman Manda di Pondok Tebawutu pada tanggal 28 Februari 2010. Novel ini pun tidak
terlepas dari incaran para mahasiswa yang ingin meneliti dan mendalami ide Nyoman Manda dalam melahirkan karya novel tersebut. Begitu novel ini selesai
ditulis, pada saat itu pula Cokorda Istri Anik Parasari mahasiswa Program Studi Sastra Bali Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana menjatuhkan
pilihannya pada novel tersebut untuk bahan skripsi. Penelitian Cokorda Istri ini mengkaji novel Gending Pengalu dari sudut struktur intrinsik dan ekstrinsik.
Untuk memudahkan pemahaman cerita yang diramu dalam novel Gending Pengalu, berikut gambaran singkat isi cerita yang ditampilkan dalam bentuk
sinopsis.
14
Diceritakan ada seorang pemuda tampan bernama Nyoman Sadia berasal dari Pedukuhan Bengkel. Ia memiliki pekerjaan sebagai seorang pengalu pedagang
menggunakan kuda sebagai sarana transportasi. Bersama teman-temannya membeli garam di Kusamba kemudian diangkut dengan kuda dan dengan
berjalan kaki ppuluhan kilometer ke desa lain untuk menjualnya. Di desa tempat menjual garam tersebut, ia membeli barang-barang yang ada di sana dan dijual
kembali ke daerah Kusamba atau di sepanjang perjalanan balik. Demikian pekerjannya sehari-hari.
Sebagai sosok yang tampan dan rajin bekerja, tentu ia menjadi idaman para gadis. Tersebutlah ia telah berpacaran dengan Luh Widi. Luh Widi pun
menjadi incaran para jejaka karena polos, cantik, dan rajin bekerja. Keduanya sering terlihat memadu kasih menyebabkan pemuda yang lain semakin iri
melihatnya. Nyoman Sadia dan juga teman-temannya seperti Wayan Arta dan Made Sulastra, seperti kebiasaan di desa, mereka aktif di dalam kegiatan di desa.
Mereka sebagai sekaa tabuh gamelan. Nyoman Sadia terkejut ketika Luh Widi memberitahu aka nada upacara
pembacaan prasasti Ida Sang Hyang Sesuhunan di Puri. Mereka berdua berjanji akan datang pada saat upacara. Selesai menjual dagangannya, Nyoman Sadia
bersama Luh Widi ke Puri tempat upacara dilaksanakan. Saat itu suara gamelan gong telah ramai dan indah terdengar mengiringi jalannya upacara. Demikian
juga suara alunan tembang atau kidung Wargasari sayup-sayup terdengar di tempat upacara. Kehadiran tari Rejang di sana menambah kekhusukan jalannya
upacara yang dipimpin oleh Ida Pedanda.
15
Tibalah puncak upacara, yaitu penyampaian rangkuman isi prasasti yang telah selesai dibaca oleh Ida Bagus Aji Putra. Saat itu diumumkan kepada
karma warga bahwa rangkuman selengkapnya akan dibacakan nanti pada saat upacara Melaspas Puri Agung. Para karma dengan khidmat dan konsenterasi
menyimak paparan rangkuman isi prasasti yang sempat dibacakan saat itu. Setelah selesai upacara, para karma segera pulang ke rumahnya masing-masing
untuk beristirahat setelah seharian ngayah bekerja di Puri. Keesokan harinya para pengayah kembali mempersiapkan peralatan untuk
mendak toya ening air suci ke mata air Sudamala di Tugu. Iringan gong gamelan dan Selunding menambah khusuk upacara tersebut. Pada saat itu Wayan
Arta sahabat dari Nyoman Sadia saling curi pandang dengan Nyoman Landri teman dekatnya Luh Widi. Momen itu menjadi awal kisah cinta mereka sampai
tertinggal dari rombongan pemendak Toya Ening dan menjadi tertawaan serta olok-olok teman-temannya.
Ketika sore harinya mereka pada pulang dari Puri, tiba-tiba Bantar telah berada di belakang Luh Widi sambil mengganggunya serta merayunya. Cinta
Bantar terhadap Luh Widi bertepuk sebelah tangan. Bantar menjadi emosi dan akan membuat perhitungan dengan Nyoman Sadia yang dirasakan telah
mengalahkannya dalam perebutan Luh Widi. Pertengkaran tidak terhindarkan antara kelompok Bantar dan kelompok
Nyoman Sadia. Pertengkaran pertama, Bantar cepat berlalu karena dapat dikalahkan oleh kelompok Nyoman Sadia. Bantar sambil berlalu menantang duel
di setra kuburan. Tantangan itu diterima oleh Nyoman Sadia demi harga diri dan kasih tercintanya Luh Widi.
16
Perkelahian sengit terjadi di setra, keduanya menghunus senjata keris pusaka. Saling pukul, saling tending, dan saling tusuk. Setiap serangan Bantar
dapat dihalau oleh Nyoman Sadia. Sebagai bekal seorang pengalu tentu Nyoman Sadia telah memiliki ilmu silat untuk jaga diri di perjalanan atau di desa-desa
yang dilalui berjualan ketika ada gangguan keamanan. Ilumu inilah yang digunakan menepis segala serangan Bantar, apalagi Bantar seorang pemabuk
tentu kekutan serangannya tidak bertenaga lagi. Ketika Bantar sekarat, Nyoman Sadia sujud ke Ibu Pertiwi mengucapkan terimakasih, tiba-tiba ada tombak
melesat dari semak kea rah Nyoman Sadia. Untung tombak yang dilesakkan ayah Bantar dapat dihindari, namun akhirnya tombak itu pula yang menusuk Bantar
hingga semula sekarat menjadi tewas saat itu. Ayah Bantar muncul ke permukaan sambil memohon maaf atas kesalahannya dan anaknya. Karena sayang pada anak
yang saat itu telah menjadi mayat, ayahnya pun menyusul kepergian putranya dengan menusukkan keris ke dadanya sendiri.
Refleksi Budaya dalam Novel Gending Pengalu
Karya sastra adalah merupakan cermin kehidupan manusia atau masyarakat. Oleh karena sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek
kehidupanyang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat Ratna, 2006:332-333. Pengertian masyarakat mengacu kepada
komunitas yang terdiri dari individu-individu. Mereka beraktivitas dengan ide, imajinasi, dan akal, yang bermuara pada suatu budaya baik budaya kolektif
maupun budaya individu di dalam sebuah komunitas. Suatu budaya yang telah dihasilkan dan dipakai secara kolektif akan
berubah menjadi kebudayaan. Kata kebudayaan berasal dari buddhayah
17
Sanskerta, sebagai bentuk jamak dari
buddhi yang berarti akal Koentjaraningrat, 1974: 80. E.B. Tylor dalam Sardar dan Loon, 1977:4
memperjelas pengertian kebudayaan, yaitu keseluruhan aktivitas manusia, termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, dan
kebiasaan-kebiasaan lain. Pengertian kebudayaan ini masih dirasakan kurang komprehensif karena tidak menjelaskan bagaimana kebudayaan itu bisa
diperoleh. Untuk itu Marvin Harris 1999: 19 menambahkan bahwa kebudayaan itu seluruh aspek kehidupan manusia dalam masyarakat, yang diperoleh dengan
cara belajar, termasuk pikiran dan tingkah laku. Apapun pengertian budaya dan kebudayaan tersebut, jika dihubungkan
dengan novel Gending Pengalu akan dapat terungkap budaya apa yang direfleksikan oleh pengarangnya. Sudah menjadi jamak diketahui bahwa
pengarang memiliki ide dan gagasan dituangkan dalam karya sastra melalui tokoh cerita. Tokoh cerita lah dianggap mewakili ide dan gagasan pengarang
tersebut. Sejauh mana kita mampu mengkajinya, semakin dalam kita menelitinya, tentu semakin dekatlah ide dan gagasan pengarang tersebut dapat terungkap.
Pengarang Novel Gending Pengalu menampilkan tokoh cerita Nyoman Sadia sebagai tokoh protagonis sekaligus tokoh utama. Luh Widi sebagai tokoh
sekunder. Di samping itu ada beberapa nama sebagai tokoh komplementer, diantaranya: Landri, Nerti, Arta, Sulastra. Sebagai tokoh antagonis, pengarang
menampilkan Bantar dan beberapa temannya. Pada tahun 1970-an masa-masa berakhirnya budaya pengalu di Bali.
Kata pengalu dari kata ngalu yang artinya pergi mencari dagangan. Pengalu berarti pedagang yang mencari dagangan dengan pergi jauh Anom, dkk:13.
18
Pengertian kata pengalu ini jika dikaitkan dengan novel Gending Pengalu dan arti pengalu sesungguhnya, belum komprehensif. Secara komprehensif pengalu
itu berarti sebuah profesi pedagang yang membeli barang dagangan baik di desanya sendiri atau di desa orang lain, barang tersebut diangkut dengan kuda
untuk pengalu yang pergi jauh atau di jinjing suun, tegen untuk berjualan dekat. Di samping itu juga para pengalu akan membeli barang yang ada di tempat
menjual dagangannya dan dijual kembali ke desa-desa yang dilalui ketika pulang keasalnya.
Untuk memberikan gambaran pengalu yang merupakan budaya masyarakat jaman dulu di Bali, pengarang menghadirkan tokoh Nyoman Sadia
yang diceritakan langsung dengan profesi sebagai pengalu. Nyoman Sadia anak truna sane tuah seken saking Bengkel. Ipun sedina-dina
numbas uyah ring Kusamba tur keadol ring Petak, Mantring taler rauh ring desa Sebatu NGP,4
„Nyoman Sadia seorang pemuda memang benar dari Bengkel. Ia sehari-hari membeli garam di Kusamba dan dijual ke desa Petak, Mantring, sertai sampai
ke desa Sebatu‟.
Ia membeli garam di desa Kusamba Kabupaten Klungkung sebagai desa penghasil garam, kemudian dengan kuda kesayangannya membawa mondong
garam tersebut ke desa-desa di tengah atau jauh dari laut seperti Sebatu Kabupaten Gianyar dan sekitarnya. Sebatu sebagai daerah sejuk pasti tanaman
sirih bisa hidup subur. Kondisi ini dimanfaatkan oleh Nyoman Sadia sebagai barang komoditi untuk dibawa pulang dan dijual di desanya. Dengan demikian
19
sosok Nyoman Sadia ini dihadirkan pengarang sebagai pelaku ekonomi yang kini dikenal dengan ekonomi kerakyatan.
Masyarakat Bali mayoritas memeluk agama Hindu. Pelaksanaan keagamaan sering memunculkan budaya dan sebaliknya agama Hindu bisa eksis
karena dilandasi budaya yang kuat. Gamelan gong, tari dan kidung merupakan budaya Bali yang sangat terkait dengan aktivitas keagamaan. Budaya ini oleh
Nyoman Manda selaku pengarang direfleksikan pada tokoh cerita. Nyoman Sadia dan teman-temannya ikut sebagai penabuh gamelan. Nyoman Sadia hamper saja
lupa akan megambel di puri saat ada upacara karena sering menginap di desa lain tempat berjualannya.
“Upacara? Ipun tengkejut sawireh dados sekaa penabuh gamelan yening wenten upacara ring puri Bengkel ipun stata nyarengin
” NGP, 7. „Upacara? Ia terkejut karena ikut menjadi sekaa kelompok penabuh
gamelan jika ada upacara di puri Bengkel ia selalu ikut.
Demikian pula para gadis di desa pada bisa menari yang sering dipakai mengiringi ngayah ketika ada upacara. Hal ini pengarang merefleksikannya
pada tokoh Luh Widi dan kawan-kawan secara langsung. “Wenten sekaa gong sane pinih ajeng kelangen nyaksiang bajang-bajange
punika ngigel lemuh magoleran taler Luh Widi sane adage nyempaka ”
NGP, 24. „Ada anggota sekaa gong yang paling depan terpesona melihat para gadis
yang menari dengan lemah gemulai juga Luh Widi yang tubuhnya semampai
‟.
Bantar sebagai sosok pemuda desa dikenal sebagai pemabuk dan sering membikin ulah. Kelakuan Bantar sesuai dengan peran yang dihidupkan
pengarang sebagai tokoh antagonis. Peran dan prilaku Bantar sesungguhnya
20
bagian dari budaya di desa yakni sering mabuk karena minuman arak alkohol. Minuman arak dan tuak diproduksi oleh masyarakat dan dikosumsi oleh
masyarakat pula. Fungsi arak atau tuak dalam tatanan upacara keagamaan sebagai sarana metabuh persembahan untuk Bhutakala. Bantar dan kawan-
kawan sering minum berlebihan sehingga sering mabuk Agama sebagai pedoman kehidupan yang dapat berfungsi mengasah akal
dan budi yang bermuara pada kedamaian. Bantar sering kehilangan kendali yang berakibat kematian. Sifat Bantar memunculkan konflik dalam novel ini, yaitu
memaksakan kehendak untuk mendapatkan Luh Widi sebagai pendamping hidupnya, Luh Widi sendiri sama sekali tidak mencintai karena telah bertunangan
dengan Nyoman Sadia.
Kearifan Lokal dalam Novel Gending Pengalu
Istilah kearifan lokal merupakan padanan istilah local genius, yaitu keseluruhan ciri-ciri kebudayaan yang dimiliki masyarakatbangsa sebagai hasil
pengalaman mereka pada masa lampau Wales dalam Semadi Astra, 2004:110. Jika demikian halnya, maka dapat dikatakan bahwa kearifan lokal bisa tercermin
dalam berbagai unsur kebudayaan seperti sistem peralatan, sistem mata pencahariansistem organisasi sosial, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, dan
sistem religi. Sifat-sifat hakiki kearifan lokal tersebut meliputi: mampu bertahan
terhadap budaya luar; 2 memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar; 3 mempunyai kemampuan mengintegerasi unsur-unsur budaya
21
luar ke dalam kebudayaan asli; 4 mampu mengendalikan; dan 5 mampu memberikan arah pada perkembangan budaya Poespowardoyo, 1986:30.
Etos Kerja: perantau
Masyarakat Bali tercermin dalam tokoh Nyoman Sadia sebagai seorang pengalu. Dahulu di Bali memiliki budaya ngalu. Para pengalu berjasa memutar
perekonomian tradisional. Bagi pengalu yang memiliki modal lebih, mereka memakai alat transportasi kuda. Barang-barang dagangannya diangkut dengan
kuda dan pengalunya berjalan kaki mengikuti derap langkah kuda berjalan. Bagi mereka yang modalnya pas-pasan, memikul negen dagangannya dengan
berjalan kaki. Tentu saja barang yang dibawa dengan sarana kuda lebih banyak dan para pemiliknya tidak lagi membawa atau memikul barang.
Spirit para pengalu dulu luar biasa demi sesuap nasi dan demi menopang kebutuhan rumah tangga. Para pengalu dari kecamatan Tejakula sudah
biasa pukul satu dinihari berangkat dengan berjalan kaki sambil memikul garam dengan berat sekitar 50 Kg. Mereka beramai-ramai dengan garam di pundak
menaiki pegunungan Kintamani menuju pasar Kintamani. Jarak yang ditempuh kurang lebih 30 Km. Ketika pulang dari Kintamani juga membawa beras untuk
komoditi barang dagangan. Spirit kerja seperti ini oleh Nyoman Manda direfleksikan pada tokoh
Nyoman Sadia dalam novel Gending Pengalu. Pengarang melihat fenomena di zaman sekarang telah ada degradasi spirit terutama di kalangan anak muda untuk
bekerja. Pengarang juga melihat kearifan lokal berupa spirit kerja sudah mulai memudar dilanda kemanjaan.
22
Peranan para pengalu dulu memutar roda perekonomian tingkat bawah. Kalau ingin setiap saat memiliki atau memegang uang, terjunlah di bidang
perdagangan walaupun dagang kecil-kecilan. Tidak perlu ada rasa malu, gengsi, dan sejenisnya. Apa lagi sarana berdagang zaman sekarang sudah tersedia sepeda
motor dan bukan kuda lagi. Spirit para pengalu zaman dulu tersebut dapat dijadikan materi untuk menasehati atau memberikan arahan pada anak-anak dan
para pemuda di zaman sekarang. Dengan demikian kearifan lokal ini akan tetap mampu menahan lajunya pengangguran.
Sekaa :
Budaya masuk kelompok sekaa tari di desa seperti yang dilakoni Luh Widi dan kawan-kawan merukan kearifan local. Sebagai organisasi social dapat
berfungsi ke ranah adat atau agama dan bahkan bersifat sacral. Di samping itu juga berfungsi secara profane. Substansi makna yang lebih penting dalam hal ini
adalah memupuk rasa kebersamaan dan pelestarian budaya. Nyoman Manda dalam novelnya ini mereduksi kearifan local tersebut untuk
mengkanter fenomena melemahnya spirit para pemudi belajar menari untuk kepentingan ranah sacral maupun profane. Watak individu semakin tumbuh
seiring dengan perkembangan zaman, seperti sibuk belajar di sekolah dan ada pula karena kesibukan bekerja. Pembentuk watak individu yang paling fatal di
era sekarang adalah kehadiran teknologi informasi. Anak-anak sibuk sendiri di depan komputer, laptop, dan hand phone.
Kearifan lokal yang lain dititipkan pada Bantar sebagai tokoh antagonis. Kebiasaan Bantar dan teman-temannya minum tuak dan arak secara berlebihan
sering membuat dirinya mabuk. Ketika orang sedang mabuk, sudah pasti
23
keseimbangan dirinya hilang, tenaga melemah, tetapi merasa paling kuat dan sakti. Orang mabuk serring membuat keonaran dan malapetaka, Hal ini
ditekankan Nyoman Manda bagi generasi sekarang. Intinya minuman beralkohol tidak layak diminum secara berlebihan karena dapat merongrong fisik dan psikis.
Dalam novel diceritakan Bantar akhirnya mati karena ulahnya.
3. Novel Nembangang Sayang karya I Nyoman Manda