Posisi Strategis Elit dalam Ranah Desa Wisata Pinge
29
pengalaman yang dimilikinya dalam birokrasi pemerintahan. Sedangkan elit inklusif merupakan katagori elit yang relatif mau berbagi pengetahuan dan
pengalaman. Kalangan ini berasal dari pensiunan kaum profesional swasta terutama dalam bidang pariwisata, sehingga memiliki habitus khas pula yaitu
bekerja dalam tim dan berorientasi kerja secara terukur. Karakter tersebut mendorong terjalinnya tata relasi sosial yang padu dan akrab dengan menghargai
kapasitas masing-masing. Kelompok elit ini percaya tidaklah mungkin bekerja dan sukses sendirian karena telah terbiasa melakukan kerja sama, sehingga
menghargai kemampuan para anggota dalam tim. Relasi yang dibangun relatif cair dan hangat, bingkai kesadaran posisional dalam tim bukanlah atasan-bawahan
versi birokrat tetapi pertemanan partner. Kedua elit pariwisata Pinge memiliki persamaan dalam konteks
kepemilikan modal : 1. Modal Budaya
Merupakan gelar yang disematkan secara sosial baik formal melalui institusi pendidikan berupa ijazah atau penghargaan-penghargaan dalam bidang
tertentu, maupun kultural sebagai tokoh masyarakat. 2. Modal Sosial
Merupakan jaringan sosial yang mampu dikonstruksi. Untuk konteks Desa Wisata Pinge adalah kapasitasnya dalam bekerjasama dengan pihak eksternal
pariwisata dan juga dalam melayani wisatawan. 3. Modal Simbolik
Merupakan kemampuankuasa untuk memberi nama atau mengkatagorisasi khususnya dalam pengembangan destinasi pariwisata perdesaan di Desa
Pakraman Pinge.
Dengan memiliki
modal ini,
akan membawa
aktorkelompok aktor pada posisi paling strategis dalam ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge.
Sedangkan perbedaan kedua kelompok elit ini adalah elit eksklusif memandang dirinya sebagai pusat kekuatan dengan membangun relasi
memerintah-diperintah. Di sisi lain, elit inklusif memandang dirinya sebagai motivator dan fasilitator, memerlukan aktorkelompok aktor lainnya dalam ranah
30
untuk bekerjasama mengakumulasi salah satu jenis modal penting yang disediakan oleh pariwisata, yaitu modal ekonomi. Elit ekslusif berposisi sebagai
”kepala” dengan memandang lainnya sebagai ”anak buah”, khas konstruksi berpikir birokrat. Terlihat berbeda, elit inklusif memandang dirinya sebagai
”ketua” dalam kelompok yang dibangunnya, dengan menganggap yang lainnya sebagai partner. Dengan ketiga modal yang dimilikinya tersebut, elit pariwisata di
Desa Pakraman Pinge merupakan kelompok yang tidak dapat dipandang sebelah mata dalam melakukan social engineering dalam pengembangan Desa Wisata
Pinge. Walaupun keberadaan para elit ini sangat strategis dalam ranah pariwisata
di Desa Pakraman Pinge, akan tetapi dalam pengembangan destinasi pariwisata perdesaan, tidaklah tepat jika mengikutsertakan elit tersebut secara personal.
Terlalu bertumpu pada kekuatan elit secara personal akan beresiko kepada memusatnya akumulasi modal, terpolarisasinya manfaat pariwisata, dan
memunculkan permasalahan regenerasi. Untuk itu diperlukan tranformasi elit pariwisata di Desa Pakraman Pinge, yaitu dari elit personal menuju elit
institusional.