MODEL INTEGRASI MASYARAKAT LOKAL DALAM PERENCANAAN DESTINASI PARIWISATA PERDESAAN Tahun ke 2 dari rencana 2 tahun.

(1)

LAPORAN AKHIR

HIBAH BERSAING

MODEL INTEGRASI MASYARAKAT LOKAL DALAM

PERENCANAAN DESTINASI PARIWISATA PERDESAAN

Tahun ke 2 dari rencana 2 tahun

Ketua/Anggota Tim

I Made Adikampana, S.T., M.T. (0024027704) Dra. Luh Putu Kerti Pujani, M.Si. (0029085708)

UNIVERSITAS UDAYANA

Oktober, 2015


(2)

(3)

RINGKASAN

Penetapan Desa Pakraman Pinge sebagai destinasi pariwisata perdesaan di Bali disambut eforia oleh masyarakat lokal. Akan tetapi kemudian, muncul kecenderungan elit mendominasi perencanaan serta implementasi, dan selanjutnya memonopoli pembagian manfaat pariwisata. Kecenderungan tersebut lebih disebabkan oleh minimnya keterlibatan masyarakat lokal dalam perencanaan dan pengembangan pariwisata perdesaan serta sentralisasi program pembangunan pariwisata oleh pemerintah daerah.

Penelitian ini bertujuan untuk membangun model integrasi masyarakat lokal dalam perencanaan destinasi pariwisata perdesaan. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dalam penelitian lanjutan pada tahun kedua ini disusun beberapa pertanyaan yang menjadi target penelitian, yaitu: apa jenis sumber daya atau modal yang dimiliki masyarakat lokal terkait dengan perencanaan dan pengembangan destinasi pariwisata perdesaan? dan bagaimana model integrasi masyarakat lokal dalam perencanaan destinasi pariwisata perdesaan?. Model yang terbangun dalam penelitian ini akan memberikan manfaat untuk mengoptimalkan partisipasi masyarakat lokal baik dalam pengambilan keputusan maupun pembagian manfaat pariwisata perdesaan.

Pendekatan pariwisata berbasis masyarakat digunakan untuk merumuskan model integrasi masyarakat lokal dalam perencanaan destinasi pariwisata perdesaan. Pendekatan ini lebih fokus terhadap partisipasi masyarakat lokal dalam proses perencanaan destinasi pariwisata perdesaan. Kebutuhan data guna menjawab pertanyaan penelitian dipenuhi melalui berbagai teknik, yaitu tinjauan pustaka, observasi, wawancara, dan diskusi kelompok terarah atau focus group discussion (FGD). Data yang terkumpul akan dikelompokkan dan dijabarkan sesuai target penelitian dan kemudian dianalisis dan disintesis secara deskriptif untuk mencapai tujuan penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa model integrasi masyarakat lokal dalam perencanaan destinasi pariwisata perdesaan dalam kasus di Desa Pakraman Pinge adalah pelembagaan pariwisata berbasis kultural. Disebut pelembagaan karena adanya proses untuk membangun suatu intitusi pariwisata yang merupakan ruang bagi titik temu dari berbagai aktivitas masyarakat yang memiliki kepentingan dan kepedulian terhadap pariwisata. Berbasis kultural karena merupakan lembaga yang bersifat historis, eksis, dan dikenali dalam bingkai intepretasi masyarakat lokal. Dengan kata lain, lembaga ini akan menaungi praktik pariwisata perdesaan yang menawarkan produk pariwisata berbasis rutinitas kehidupan masyarakat perdesaan Bali dengan bahasa dan ritme aktivitas yang dimengerti masyarakat lokal. Ini dimaksudkan agar masyarakat lokal dapat berpartisipasi dalam praktik pariwisata perdesaan. Keterlibatan mereka dalam pengambilan keputusan dan pembagian manfaat pariwisata, dimungkinkan jika kedua aktivitas tersebut terselenggara dalam payung lembaga yang menyediakan ruang negosiasi yang sehat bagi pemangku kepentingan pariwisata perdesaan. Lembaga tersebut menjadi strategis bagi ruang pembelajaran masyarakat lokal dan wadah bagi produksi kebijakan pariwisata yang diciptakan masyarakat lokal secara kolektif.


(4)

PRAKATA

Puji Syukur kehadapan Tuhan atas segala yang diberikan dan dengan limpahan perhatian, bantuan, dukungan serta dorongan yang sangat berarti kepada tim peneliti untuk menyelesaikan laporan akhir Penelitian Hibah Bersaing. Penelitian tahun terakhir ini fokus membahas jenis sumber daya atau modal yang dimiliki masyarakat lokal terkait dengan perencanaan dan pengembangan destinasi pariwisata perdesaan dan bagaimana model integrasi masyarakat lokal dalam perencanaan destinasi pariwisata perdesaan.

Untuk penyelesaian laporan akhir penelitian ini, tim peneliti mengucapkan terima kasih kepada: Direktur Riset dan Pengabdian Masyarakat Kemristekdikti, Rektor Universitas Udayana, Ketua LPPM Universitas Udayana, Dekan Fakultas Pariwisata Universitas Udayana, dan Ketua Program Studi S1 Destinasi Pariwisata Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan dan mendorong tim peneliti untuk melaksanakan fungsi penelitian terkait dengan pengamalan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Tidak lupa juga tim peneliti mengucapkan terima kasih kepada masyarakat Desa Pakraman Pinge atas segala bantuan dan kemudahan yang diberikan.

Tim peneliti menyadari masih banyak kekurangan dalam laporan akhir penelitian ini, untuk itu kritik dan saran sangat diharapkan. Semoga laporan akhir penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

Denpasar, Oktober 2015


(5)

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ... 1

HALAMAN PENGESAHAN ... 2

RINGKASAN ... 3

PRAKATA ... 4

DAFTAR ISI ... 5

DAFTAR TABEL ... 7

DAFTAR GAMBAR ... 8

DAFTAR LAMPIRAN ... 9

BAB 1. PENDAHULUAN ... 10

1.1. Latar Belakang ... 10

1.2. Urgensi Penelitian ... 11

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1. Pariwisata Perdesaan ... 13

2.2. Pariwisata Berbasis Masyarakat ... 14

2.3. Modal ... 18

2.4. Perencanaan Pariwisata Partisipatif ... 19

2.5. Peta Jalan Penelitian ... 22

BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ... 23

3.1. Tujuan Penelitian ... 23

3.2. Manfaat Penelitian ... 23

BAB 4. METODE PENELITIAN ... 24

4.1. Pendekatan Penelitian ... 24

4.2. Jenis dan Sumber Data ... 24

4.3. Teknik Pengumpulan Data ... 24

4.4. Analisis Data Deskriptif ... 25

4.5. Bagan Alir Penelitian ... 26

BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27

5.1. Temuan Penelitian sebelumnya ... 27


(6)

5.4. Pelembagaan Pariwisata Berbasis kultural ... 34

5.5. Model ... 37

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 43


(7)

DAFTAR TABEL


(8)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Peta Jalan Penelitian ... 22 Gambar 2. Bagan Alir Penelitian ... 26 Gambar 3. Model Integrasi Masyarakat Lokal dalam Pariwisata Perdesaan ... 37


(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Instrumen Penelitian ... 45 Lampiran 2. Personalia Tenaga Peneliti ... 47 Lampiran 3. Publikasi ... 54


(10)

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Destinasi pariwisata merupakan lokasi produksi, konsumsi dan pola-pola pergerakan wisata (Davidson dan Maitland, 1997). Selain itu destinasi pariwisata juga sebagai tempat hidup masyarakat untuk bekerja serta melakukan kegiatan sosial dan budaya. Hal tersebut juga secara tegas diatur dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yang menyatakan bahwa destinasi pariwisata adalah kawasan geografis yang berada dalam satu atau lebih wilayah administratif yang di dalamnya terdapat daya tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas, serta masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya kepariwisataan. Dengan demikian masyarakat merupakan bagian tidak terpisahkan dari suatu destinasi pariwisata, sehingga dalam pengembangan destinasi pariwisata wajib mempertimbangkan berbagai elemen masyarakat. Dogra dan Gupta (2012) menyebutkan bahwa masyarakat memiliki posisi strategis dalam suatu destinasi pariwisata. Maka dari itu, keberlanjutan destinasi pariwisata sangat tergantung dari tingkat partisipasi masyarakatnya.

Masyarakat dalam destinasi pariwisata yang kemudian disebut dengan masyarakat lokal mempunyai potensi berupa beragam aktivitas yang dapat dikreasikan menjadi produk pariwisata. Budaya lokal, tinggalan masyarakat, serta festival menyediakan keunikan dan sesuatu yang baru dari perspektif wisatawan. Masyarakat dengan pengetahuan dan kebijakan lokal akan lebih memahami produk pariwisata yang dikembangkan serta dampak yang ditimbulkan, dibandingkan dengan masyarakat dari luar destinasi pariwisata. Masyarakat lokal juga mempunyai kontribusi dalam upaya mempromosikan produk destinasi pariwisata, karena masyarakat lokal adalah komponen utama pembentuk citra atau

image destinasi pariwisata (Pike, 2004).

Begitu pentingnya peran masyarakat lokal dalam pengembangan destinasi pariwisata berkelanjutan telah mendorong munculnya tren baru pengembangan pariwisata yang berbasis masyarakat. Oleh Tosun dan Timothy (2003) ditegaskan bahwa aspek penting dalam pariwisata berkelanjutan adalah penekanan kepada pariwisata berbasis masyarakat. Pendekatan ini lebih fokus terhadap partisipasi


(11)

masyarakat lokal dalam perencanaan dan pengembangan pengembangan destinasi pariwisata. Melalui partisipasi masyarakat, pariwisata secara langsung dapat memberikan manfaat bagi masyarakat lokal. Dengan adanya manfaat inilah penerimaan, dukungan, dan toleransi masyarakat terhadap pariwisata akan tumbuh dengan optimal.

Walaupun secara konsepsual pariwisata berbasis masyarakat diyakini mampu mewujudkan destinasi pariwisata berkelanjutan, namun dalam prakteknya menemui berbagai permasalahan (Campbell, 1999; Shah dan Gupta, 2000; Scheyvens, 2002; Dogra dan Gupta, 2012). Adanya permasalahan dalam implementasi konsep pariwisata berbasis masyarakat juga tampak dalam pengembangan Desa Pakraman Pinge sebagai destinasi pariwisata perdesaan unggulan di Bali. Berdasarkan studi pendahuluan, terdapat dua permasalahan utama pelaksanaan pariwisata berbasis masyarakat di Desa Pakraman Pinge. Pertama, ketidakmampuan masyarakat lokal mengidentifikasi dampak pariwisata sebagai strategi pengembangan masyarakat perdesaan. Kedua, minimnya keterlibatan masyarakat lokal dalam perencanaan pariwisata akibat dominasi elit desa dan sentralisasi program pemerintah. Berdasarkan fenomena tersebut, sangat menarik untuk dilakukan penelitian tentang model integrasi masyarakat lokal dalam perencanaan destinasi pariwisata perdesaan. Model ini diharapkan dapat diterapkan untuk peningkatan partisipasi masyarakat lokal dalam pengembangan pariwisata perdesaan.

1.2. Urgensi Penelitian

Masyarakat merupakan bagian tidak terpisahkan dari destinasi pariwisata. Integrasi masyarakat lokal dalam perencanaan destinasi pariwisata dimaksudkan untuk memastikan masyarakat lokal mendapat ruang dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan pariwisata. Kerangka pemikiran integrasi dimulai dari pemahaman mendasar tentang destinasi pariwisata. Di dalam destinasi pariwisata, tidak hanya terdapat industri pariwisata dalam suatu sistem (produk, pasar, dan akses), melainkan juga ada keterkaitan atau koeksistensi


(12)

masyarakat lokal posisinya sangat strategis dan setara dengan pengambil keputusan lainnya (stakeholders) dalam pengembangan destinasi pariwisata berkelanjutan.

Namun berbagai permasalahan akan ditemukan dalam mewujudkan destinasi pariwisata berkelanjutan. Minimnya keterlibatan masyarakat lokal dalam perencanaan ditengarai menjadi salah satu batu sandungan pengembangan destinasi pariwisata berkelanjutan. Permasalahan tersebut juga teramati di Desa Pakraman Pinge, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali. Desa Pakraman Pinge telah ditetapkan sebagai destinasi pariwisata unggulan di wilayah perdesaan. Penetapan ini bukan tanpa alasan, karena Desa Pakraman Pinge mempunyai sumber daya pariwisata yang sangat potensial. Morfologi desa tradisional, bentang alam (landscape), tinggalan budaya, dan kehidupan masyarakat agraris menjadi kekuatan utama pengembangannya. Selain itu, Desa Pakraman Pinge menjadi jalur perjalanan wisata. Selama ini sudah ada wisatawan mancanegara terutama yang berasal Eropa yang menikmati produk pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Umumnya, para wisatawan tersebut menikmati Desa Pakraman Pinge dengan bersepeda atau bersafari dengan mobil volkswagen (VW). Berdasarkan studi pendahuluan, adanya penetapan Desa Pakraman Pinge sebagai destinasi pariwisata perdesaan disambut eforia oleh masyarakat lokal. Akan tetapi kemudian, muncul kecenderungan elit masyarakat desa mendominasi perencanaan serta implementasi program (spontaneous program), dan selanjutnya memonopoli pembagian manfaat pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Kecenderungan ini lebih disebabkan oleh ketidakmampuan masyarakat lokal mengidentifikasi dampak pariwisata sebagai strategi pengembangan masyarakat perdesaan, masih minimnya keterlibatan masyarakat lokal dalam perencanaan pariwisata, serta sentralisasi program pengembangan pariwisata oleh pemerintah. Untuk itu sangat penting dilakukan penelitian yang merumuskan model integrasi masyarakat lokal dalam perencanaan destinasi pariwisata perdesaan. Diharapkan dengan adanya model ini dapat mengoptimalkan partisipasi masyarakat lokal baik dalam pengambilan keputusan maupun pembagian manfaat pengembangan pariwisata perdesaan.


(13)

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pariwisata Perdesaan

Pariwisata perdesaan dapat dilihat sebagai pariwisata yang tumbuh di wilayah perdesaan. Namun pada dasarnya pariwisata perdesaan tidak hanya dapat dipahami berdasarkan aspek geografis semata, melainkan juga menjadi bagian tidak terpisahkan dengan lingkungan dan kehidupan masyarakat lokal (Lane, 1994; Roberts dan Hall, 2004). Untuk itu kemudian pariwisata perdesaan secara ideal harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu:

1. berlokasi di wilayah perdesaan 2. menjalankan fungsi-fungsi perdesaan 3. berskala kecil

4. bersifat tradisional

5. tumbuh perlahan dan seimbang 6. dikelola oleh masyarakat lokal

Untuk memenuhi keriteria tersebut, maka isu penting yang perlu mendapatkan perhatian adalah dampak pengembangan pariwisata terhadap wilayah perdesaan. Beberapa literatur menunjukkan bahwa dampak pariwisata terhadap wilayah perdesaan akan berbeda-beda tergantung dari jumlah dan jenis wisatawan yang berkunjung, pengorganisasian produk pariwisata, integrasi pariwisata dalam pengembangan masyarakat perdesaan, dan tahapan dalam siklus hidup destinasi pariwisata (Briedenham and Wickens, 2004; Barke, 2004). Kajian-kajian tersebut juga menyatakan bahwa selain ketrampilan, koordinasi dan kontrol masyarakat lokal akan sangat menentukan dampak pariwisata perdesaan. Sebagai contoh Barke (2004) menyebutkan suatu kasus tentang kepemilikan usaha pariwisata perdesaan oleh individu atau pengusaha non lokal telah menjadikan masyarakat lokal tidak mendapatkan keuntungan berarti dari pengembangan pariwisata perdesaan. Page dan Getz (1997) berdasarkan beberapa hasil penelitian tentang sikap masyarakat lokal terhadap pariwisata menyimpulkan bahwa masyarakat lokal yang mendapatkan manfaat dan mempunyai kontrol terhadap pengembangan pariwisata cenderung bersikap positif. Simpulan tersebut juga


(14)

menyebutkan melalui partisipasi, masyarakat akan lebih mendapatkan manfaat pariwisata dalam bentuk pekerjaan dan pendapatan, menciptakan peluang berusaha serta keuntungan lainnya. Selanjutnya dengan mendapat berbagai manfaat tersebut, masyarakat akan mendukung pengembangan pariwisata.

Dampak positif pariwisata memerlukan pertimbangan matang dan memenuhi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Prinsip pembangunan berkelanjutan terkait erat dengan pengembangan pariwisata yang ramah lingkungan, layak secara ekonomi, dan dapat diterima oleh sosial budaya masyarakat lokal. Menurut WTO (1998), pariwisata berkelanjutan harus menjamin tiga hal penting yaitu :

1. memanfaatkan secara optimal (seimbang) sumberdaya lingkungan fisik 2. menghormati keaslian sosial budaya masyarakat lokal

3. memastikan kelayakan dan manfaat sosial ekonomi (pekerjaan, pendapatan, layanan sosial, dan pengentasan kemiskinan) bagi para pengambil keputusan.

Pengembangan pariwisata berkelanjutan membutuhkan keterlibatan dari segenap pengambil keputusan yang terkait serta kepemimpinan yang kuat untuk memastikan tumbuhnya ruang-ruang berpartisipasi terutama untuk masyarakat lokal. Pariwisata berkelanjutan juga harus mampu memberikan kepuasan dan kesadaran bagi wisatawan tentang isu-isu pembangunan berkelanjutan.

2.2. Pariwisata Berbasis Masyarakat

Pariwisata berbasis masyarakat merupakan salah satu jenis pariwisata yang memasukkan partisipasi masyarakat sebagai unsur utama dalam pariwisata guna mencapai tujuan pembangunan pariwisata berkelanjutan (Telfer dan Sharpley, 2008). Pemahaman ini sejalan dengan pemikiran Garrod et al., (2001); Timothy dan Boyd (2003) yang menyebutkan pariwisata berbasis masyarakat sebagai partisipasi masyarakat dalam pembangunan pariwisata. Dalam hal ini, partisipasi masyarakat dapat dilakukan dengan dua cara yaitu : ikut terlibat dalam proses pengambilan keputusan dan pembagian manfaat pariwisata.

Partisipasi dalam pengambilan keputusan berarti masyarakat mempunyai kesempatan untuk menyuarakan harapan, keinginan dan kekhawatirannya dari


(15)

pembangunan pariwisata, yang selanjutnya dapat dijadikan masukan dalam proses perencanaan. Sedangkan mengambil peran dalam pembagian manfaat pariwisata mengandung pengertian bahwa masyarakat semestinya mempunyai kesempatan untuk memperoleh keuntungan finansial dari pariwisata dan keterkaitan dengan sektor lainnya. Untuk itu pengembangan destinasi pariwisata seharusnya mampu menciptakan peluang pekerjaan, kesempatan berusaha dan mendapatkan pelatihan serta pendidikan bagi masyarakat agar mengetahui manfaat pariwisata (Timothy, 1999). Menurut Murphy (1985) pariwisata merupakan sebuah “community industry”, sehingga keberlanjutan pembangunan pariwisata sangat tergantung dan ditentukan oleh penerimaan dan dukungan masyarakat terhadap pariwisata. Implikasi pariwisata sebagai sebuah industri masyarakat adalah adanya kepastian bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengembangan pariwisata. Berhubungan dengan hal tersebut, Pretty (1995) dalam Mowforth dan Munt (1998) kemudian membagi partisipasi masyarakat dalam tujuh jenis.

1. partisipasi manipulatif; adanya keterwakilan masyarakat dalam kelembagaan pariwisata, namun wakil masyarakat ini tidak mempunyai kekuasaan

2. partisipasi pasif; masyarakat hanya diinformasikan hal yang sudah diputuskan atau kejadian yang sudah berlangsung

3. konsultasi; masyarakat berpartisipasi dengan menjawab pertanyaan yang diajukan oleh pihak eksternal

4. partisipasi material insentif; masyarakat berkontribusi dengan memberikan sumber daya yang dimilikinya dan kemudian mandapat kompensasi material berupa makanan dan minuman, pekerjaan, uang, dan insentif materi lainnya 5. partisipasi fungsional; pihak eksternal menginisiasi keterlibatan masyarakat

dengan membentuk kelompok untuk menentukan tujuan bersama dan terlibat dalam pengambilan keputusan. Akan tetapi partisipasi tersebut muncul setelah adanya program dari pihak eksternal dengan tujuan untuk efektifitas dan efisiensi program

6. partisipasi interaktif; masyarakat mengadakan analisis secara bersama-sama, merumuskan program untuk mencapai tujuan, dan penguatan institusi lokal


(16)

karena masyarakat mendapatkan pembelajaran tentang sistem dan struktur, sehingga mampu mengalokasikan sumber daya untuk mencapai tujuan.

7. mobilisasi sendiri; masyarakat mempunyai inisiatif sendiri dalam proses perencanaan pembangunan tanpa ada intervensi dari pihak eksternal. Peran pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat sangat dibutuhkan dalam menyediakan dukungan kerangka kerja.

Selain itu, pariwisata berbasis masyarakat sering dipahami sebagai sesuatu yang berseberangan dengan pariwisata skala besar (enclave), berbentuk paket (all inclusive), pariwisata masal, dan minim keterkaitannya dengan masyarakat lokal. Sehingga pariwisata berbasis masyarakat disebut juga sebagai pariwisata berskala kecil, dibangun oleh masyarakat lokal, serta melibatkan berbagai elemen lokal seperti pengusaha, organisasi, dan pemerintah lokal (Hatton, 1999 dalam Telfer dan Sharpley, 2008; Leslie, 2012). Terkait dengan pembangunan pariwisata berskala kecil, Jenkins (1982) telah melakukan perbandingan antara pariwisata skala kecil dengan skala besar untuk mengetahui dampak pembangunan pariwisata terhadap masyarakat lokal. Berdasarkan komparasi tersebut diketahui bahwa pembangunan pariwisata berskala kecil mempunyai karakteristik yang sangat berbeda dari pembangunan pariwisata berskala besar. Adanya perbedaan krakteristik tentunya akan menghasilkan perbedaan dampak pula terhadap masyarakat lokal.

Tabel 1. Karakteristik Pembangunan Pariwisata Skala Kecil dan Skala Besar

Skala kecil Skala besar

secara fisik menyatu dengan struktur ruang/kehidupan masyarakat lokal

secara fisik terpisah dari komunitas lokal, namun efektif membangun citra kuat udalam rangka promosi

perkembangan kawasan wisata bersifat spontan/tumbuh atas inisiatif masyarakat lokal (spontaneous)

pengembangan kawasan melalui

perencanaan yang cermat dan profesional (well planned)

partisipasi aktif masyarakat lokal dalam pembangunan pariwisata

investor dengan jaringan internasional sebagai pelaku utama usaha

kepariwisataan interaksi terbuka dan intensif antara

wisatawan dengan masyarakat lokal

interaksi sangat terbatas antara wisatawan dengan masyarakat lokal Sumber : Diolah dari Jenkins, 1982


(17)

Berdasarkan tabel di atas dapat dikatakan bahwa peluang terbesar partisipasi masyarakat lokal dalam pariwisata, akan muncul jika pariwisata dikembangkan dengan skala kecil dan terbuka melakukan interaksi dengan wisatawan.

Seringkali partisipasi masyarakat dalam pariwisata disebut sebagai strategi pembangunan alternatif yang terdengar sangat ideal namun dalam implementasinya banyak terdapat tantangan dan hambatan. Scheyvens (2002) menyebutkan ada dua tantangan terbesar dalam pariwisata berbasis masyarakat. Pertama, pada kenyataannya masyarakat lokal dalam suatu destinasi pariwisata terbagi ke dalam berbagai faksi atau golongan yang saling mempengaruhi berdasarkan kelas masyarakat (kasta), gender, dan kesukuan. Antar faksi biasanya saling menyatakan paling memiliki atau mempunyai hak istimewa (privilege) keberadaan sumberdaya pariwisata. Golongan elit masyarakat tertentu sering berada dalam posisi mendominasi pelaksanaan pariwisata berbasis masyarakat, lalu memonopoli pembagian atau penerimaan manfaat pariwisata (Mowforth dan Munt, 1998). Berdasarkan hal tersebut, partisipasi secara adil (equitable) menjadi pertimbangan penting dalam mendorong pembangunan pariwisata berbasis masyarakat. Selain itu juga isu-isu tentang kelas masyarakat, gender, dan kesukuan penting dipertimbangkan terutama dalam perencanaan pengembangan pariwisata. Tantangan kedua adalah permasalahan dalam masyarakat untuk mengidentifikasi pariwisata sebagai strategi pengembangan masyarakat lokal. Masyarakat pada umumnya tidak cukup punya informasi, sumberdaya, dan kekuatan dalam hubungannya dengan berbagai pengambil keputusan lainnya dalam pembangunan pariwisata, sehingga masyarakat lokal rentan terhadap eksploitasi. Campbell (1999) juga menyatakan hal yang sama bahwa minimnya kesempatan berpartisipasi dalam pariwisata dan sektor lain yang terkait, akibat dari kesulitan yang dialami masyarakat dalam mengidentifikasi manfaat pariwisata.

Selain tantangan yang sudah dijelaskan sebelumnya, dalam pembangunan pariwisata berbasis masyarakat juga akan berhadapan dengan berbagai hambatan.


(18)

pembangunan pariwisata berbasis masyarakat terutama di negara berkembang. Adapun hambatan-hambatan tersebut berupa :

1. keterbatasan operasional; termasuk dalam hambatan ini adalah sentralisasi administrasi publik, lemahnya koordinasi, dan minimalnya informasi pariwisata.

2. keterbatasan struktural; berupa sikap pelaku pariwisata, terbatasnya tenaga ahli, dominasi elit masyarakat, aturan hukum yang belum tepat, sedikitnya jumlah sumberdaya manusia (SDM) terlatih, dan minim akses ke modal/finansial.

3. keterbatasan kultural; yaitu terbatasnya kapasitas terutama pada masyarakat miskin dan apatis atau rendahnya kesadaran pariwisata masyarakat lokal Semua jenis keterbatasan tersebut, dapat menciptakan masalah serius dalam partisipasi masyarakat, baik untuk pengambilan keputusan atau perencanaan yang tepat maupun secara bersama-sama membagi manfaat pariwisata.

2.3. Modal

Berdasarkan pemikiran Bourdieu dalam Fashri, 2014, habitus merupakan sistem disposisi yang berlangsung lama dan berubah-ubah, yang berfungsi sebagai basis generatif bagi praktek-praktek yang terstruktur dan terpadu secara objektif. Modal dapat dikatakan sebagai suatu kekuatan yang spesifik yang beroperasi di dalam ranah. Ranah adalah hubungan yang terstruktur dan mengatur posisi individu maupun kelompok dalam ruang sosial. Setiap ranah menuntut individu maupun kelompok untuk memiliki modal atau sumber daya agar dapat bertahan dalam hidup bermasyarakat atau relasi sosial. Dengan kata lain, modal dapat menentukan posisi dan status individu atau kelompok dalam masyarakat. Representasi individu maupun kelompok dalam relasi sosial terbangun dari adanya praktek pertukaran antar modal.

Selanjutnya modal dapat digolongkan menjadi empat jenis, yaitu: pertama; modal ekonomi mencakup alat-alat produksi, materi, dan uang yang dengan mudah digunakan dengan segala tujuan serta diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kedua; modal budaya adalah keseluruhan kualifikasi


(19)

intelektual yang bisa diproduksi, baik melalui pendidikan formal maupun warisan keluarga. Termasuk modal budaya antara lain, kemampuan menampilkan diri di depan publik, pemilikan benda budaya bernilai tinggi, pengetahuan dan keahlian tertentu dari hasil pendidikan, dan sertifikat. Ketiga; modal sosial menunjuk pada jaringan sosial yang dimiliki pelaku (baik individu maupun kelompok) dalam hubungannya dengan pihak lain yang memiliki kuasa. Dan keempat; segala bentuk prestise, status, otoritas, dan legitimasi yang terakumulasi sebagai bentuk modal sosial.

Berbagai jenis modal tersebut dapat dipertukarkan satu dengan yang lainnya. Semakin besar individu atau kelompok mengakumulasi modal tertentu, maka semakin besar pula peluang untuk mengkonversi antar modal. Dari kesemua jenis modal yang ada, modal ekonomi dan budayalah yang memiliki daya kuat untuk menentukan jenjang hirarkis dalam masyarakat. Prinsip hirarki dan diferensiasi masyarakat tergantung pada jumlah modal yang diakumulasi. Makin besar jumlah modal yang dikuasai dapat menunjukkan dominasi (kekuasaan dan hirarki tertinggi) dalam masyarakat.

2.4. Perencanaan Pariwisata Partisipatif

Sebagian besar karakteristik atau pendekatan perencanan destinasi pariwisata berbasis masyarakat berasal dari tradisi perencanaan transaksi dan advokasi. Tradisi ini mengutamakan pembelaan terhadap kelompok masyarakat minoritas dan pemberian kontrol yang lebih besar kepada masyarakat lokal dalam proses pembangunan sosial guna mencapai kesejahteraan (Timothy, 1999). Hal tersebut semakin terlihat nyata akibat adanya perubahan paradigma pembangunan pariwisata dari yang bersifat masal menuju pariwisata alternatif. Seperti ulasan sebelumnya, pariwisata alternatif merupakan pariwisata berskala kecil dan melibatkan berbagai elemen lokal terutama masyarakat lokal. Pembangunan pariwisata berskala kecil dapat memberikan ruang partisipasi sebesar-besarnya bagi masyarakat lokal (Telfer dan Sharpley, 2008). Pemberian ruang-ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi aktif, menunjukkan adanya persamaan posisi


(20)

dalam pembangunan pariwisata. Berdasarkan pemikiran Derrida dalam Barker (2004), persamaan posisi tersebut menandakan pelucutan atas oposisi biner atau dikenal dengan dekonstruksi. Dekonstruksi berfungsi menjamin kebenaran dengan cara mengesampingkan dan mendevaluasi bagian inferior oposisi biner yaitu masyarakat lokal dalam pengembangan pariwisata. Dengan kata lain pendekatan dekonstruktif memastikan dipanggilnya kelompok minoritas untuk masuk ke ranah pariwisata. Kelompok minoritas tersebut tidak lain adalah masyarakat lokal yang pada dasarnya pemilik sumber daya atau modal pariwisata. Pada saat pariwisata masal digulirkan oleh elit atau pemerintah yang berkolaborasi dengan investor, masyarakat lokal hanya berperan sebagai objek pariwisata dan akhirnya dengan segala keterbatasan malah terlempar dari pembagian manfaat pariwisata. Kondisi ini melahirkan sebuah konsepsi dekonstruktif tentang integrasi masyarakat lokal dalam proses perencanaan pariwisata.

Lebih lanjut Murphy (1985) menekankan dekonstruksi berupa suatu strategi yang terfokus pada pencapaian tujuan pembangunan pariwisata dalam perspektif wisatawan dan masyarakat lokal. Masyarakat lokal seharusnya mampu mengidentifikasi berbagai manfaat pariwisata untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pendekatan perencanaan ini mengakui adanya perhatian dan pemikiran yang memasukkan kepentingan masyarakat dalam perencanaan pariwisata atau dengan kata lain semestinya pariwisata tidak hanya memberikan kepuasan bagi wisatawan, namun juga memperhatikan kebutuhan masyarakat lokal dan kualitas lingkungan. Sejalan dengan Murphy, Gunn (1994) juga berpendapat bahwa jika masyarakat lokal tidak dilibatkan dalam proses perencanaan, maka akan terjadi malfungsi dan inefisiensi dalam pengembangan pariwisata. Kembali menurut Murphy (1985), pariwisata tidak seperti industri lainnya, karena sangat bergantung pada kemauan baik (goodwill) dan kerjasama pengambil keputusan pariwisata termasuk masyarakat lokal, karena masyarakat merupakan bagian tidak terpisahkan dari destinasi pariwisata. Ketika perencanaan pengembangan destinasi pariwisata tidak sesuai dengan aspirasi dan kapasitas masyarakat, maka yang akan terjadi adalah permusuhan dan resistensi masyarakat lokal terhadap pengembangan pariwisata.


(21)

Korten (1981) dalam Timothy (1999) dalam anjurannya menyebutkan semakin kompleks permasalahan pembangunan yang dihadapi, semakin besar pula kebutuhan terhadap pengetahuan dan nilai-nilai/kebijakan lokal (local wisdom) dalam pemecahannya. Penggunaan pengetahuan dan kebijakan lokal untuk merumuskan pemecahan permasalahan pembangunan dikenal dengan sebutan perencanaan berbasis masyarakat lokal. Dengan kata lain, pendekatan perencanaan ini membutuhkan partisipasi dari berbagai pengambil keputusan dalam proses perencanaan pariwisata. Dengan adanya partisipasi masyarakat lokal dalam proses perencanaan, diharapkan masyarakat mampu mengidentifikasi berbagai dampak pariwisata dan kemudian dapat merumuskan strategi dan program guna mengoptimalkan dampak positif dan meminimalkan dampak negatif yang ditimbulkan oleh pengembangan destinasi pariwisata. Inskeep (1991) menegaskan pentingnya keterlibatan setiap para pengambil keputusan dalam berbagai tahapan atau proses perencanaan pariwisata. Proses perencanaan merupakan tahapan yang dilakukan untuk mencapai tujuan pengembangan pariwisata. Proses perencanaan pariwisata meliputi :

1. persiapan studi; pengenalan karakteristik, potensi dan isu strategis, penganggaran, pemilihan anggota tim, kerangka acuan kerja (TOR), dan administrasi

2. penetapan tujuan dan sasaran pembangunan; perumusan tujuan dan sasaran yang dapat menjawab isu-isu strategis

3. survei; inventarisasi situasi eksisting dan karakteristik area perencanaan pariwisata

4. analisis dan sintesis; analisis hasil survei dan sintesis untuk merumuskan rencana dan rekomendasi

5. perumusan kebijakan dan rencana; merumuskan alternatif perencanaan 6. rekomendasi; pilihan rencana yang tepat dengan tujuan dan sasaran 7. implementasi; pelaksanaan rencana terpilih

8. pengawasan dan evaluasi; pengawasan yang terus menerus dan memberikan umpan balik guna penyesuaian dan penyempurnaan perencanaan.


(22)

2.5. Peta Jalan Penelitian

Tahun I:

Kontribusi pengembangan pariwisata perdesaan bagi masyarakat lokal

Tahun II:

Model integrasi masyarakat lokal dalam perencanaan destinasi pariwisata perdesaan

Gambar 1. Peta Jalan Penelitian

Pariwisata berbasis masyarakat

lokal dampak pengembangan

pariwisata perdesaan bagi masyarakat lokal

jenis partisipasi masyarakat lokal dalam pengembangan pariwisata perdesaan

jenis modal atau sumber daya yang dimiliki oleh masyarakat lokal


(23)

BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 3.1.Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian tahun kedua ini adalah untuk merumuskan model integrasi masyarakat lokal dalam perencanaan destinasi pariwisata di wilayah perdesaan. Untuk mencapai tujuan tersebut, terlebih dahulu akan dibahas jenis sumber daya pariwisata atau modal yang dimiliki masyarakat lokal terkait dengan perencanaan dan pengembangan destinasi pariwisata perdesaan.

3.2.Manfaat Penelitian

Tercapainya tujuan penelitian ini akan memberikan manfaat untuk mengoptimalkan partisipasi masyarakat lokal dalam perencanaan dan pengembangan destinasi pariwisata perdesaan.


(24)

BAB 4. METODE PENELITIAN 4.1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian menggunakan metode yang memverifikasi hubungan konsepsual pariwisata terhadap kondisi empiris (Veal, 2006). Konstruksi konsep pariwisata didasarkan pada tinjauan pustaka. Kondisi empiris dikumpulkan dan diketahui dengan berbagai teknik, disesuaikan dengan variabel penelitian. Sedangkan dalam tahap analisis, jenis modal yang dimiliki masyarakat lokal dan rumusan model integrasi masyarakat lokal dalam perencanaan destinasi pariwisata perdesaan menggunakan metode deskriptif, yang kemudian disintesis guna menjelaskan kaitan atau hubungan sebab akibat antar variabel.

4.2. Jenis dan Sumber Data

Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Data kuantitatif, adalah data yang berupa bilangan yang akan disusun serta diinterprestasikan.

2. Data kualitatif, data berupa deskripsi atau uraian berdasarkan hasil tinjauan pustaka, observasi, wawancara, dan diskusi kelompok terarah atau dikenal luas dengan focus group discussion (FGD).

Data dalam penelitian ini bersumber dari data primer dan data sekunder. Data primer akan digali melalui observasi, wawancara dengan masyarakat dan pakar/praktisi pariwisata berbasis masyarakat, serta FGD dengan kelompok masyarakat. Sedangkan data sekunder melalui tinjauan pustaka yang relevan.

4.3. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini akan menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu tinjauan pustaka, observasi, wawancara, dan FGD. Untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan, berikut langkah-langkah yang akan dilakukan :

1. Tinjauan pustaka. Dimaksudkan untuk mendapatkan pemahaman tentang beberapa konsep pokok dalam penelitian ini : pariwisata perdesaan, pariwisata berbasis masyarakat, perencanaan partisipatif, dan modal.


(25)

2. Observasi, yaitu usaha pengumpulan data dengan pengamatan langsung di lapangan untuk menguji dan melengkapi data dan informasi yang sudah didapatkan sebelumnya.

3. Wawancara. Wawancara akan dilakukan dengan beberapa informan yang memiliki informasi penting untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian. Adapun informan tersebut yaitu :

- tokoh masyarakat, baik dinas maupun adat - pengelola pariwisata perdesaan

- pakar dan praktisi pariwisata berbasis masyarakat

Mereka dipilih karena pengetahuan dan ketokohannya (purposive) yang diharapkan dapat memberikan informasi komprehensif tentang jenis sumber daya atau modal pariwisata dan model perencanaan destinasi pariwisata perdesaan berbasis masyarakat lokal.

4. FGD. Mendalami data dan informasi terfokus dalam kelompok diskusi kecil. Teknik pengumpulan data ini dilakukan untuk :

- lebih mendalami data dan informasi.

- memahami keragaman perspektif masyarakat lokal tentang perencanaan dan pengembangan pariwisata perdesaan.

- mendapatkan informasi tambahan tentang jenis sumber daya atau modal terkait dengan perencanaan dan pengembangan pariwisata perdesaan. - memperoleh nilai dengan akurasi tinggi untuk rumusan model integrasi

masyarakat lokal dalam perencanaan destinasi pariwisata perdesaan.

4.4. Analisis Data Deskriptif

Analisis deskriptif menafsirkan data dan informasi yang terkait dengan variabel dan fenomena yang terjadi pada saat penelitian dilakukan dan kemudian menyajikannya sesuai dengan yang sebenarnya (apa adanya). Dalam penelitian ini, yang ditafsirkan berupa jenis sumber daya atau modal yang dimiliki masyarakat lokal dan hubungan antara variabel guna merumuskan model integrasi masyarakat lokal dalam perencanaan destinasi pariwisata perdesaan.


(26)

4.5. Bagan Alir Penelitian

Gambar 2. Bagan Alir Penelitian Persiapan :

- Tinjauan pustaka - Studi pendahuluan - Proposal penelitian

Identifikasi jenis partisipasi masyarakat lokal dalam perencanaan destinasi pariwisata perdesaan

Analisis dan sintesis

Jenis sumber daya atau modal Model integrasi masyarakat lokal dalam perencanaan destinasi pariwisata perdesaan Kontribusi pengembangan pariwisata perdesaan bagi masyarakat lokal

- Temu tim

- Seminar proposal - Pengumpulan

proposal

Penelitian tahun I

- Observasi

- Wawancara kepada masyarakat

- FGD

- Tinjauan pustaka

- Laporan penelitian - Seminar nasional - Bagian buku

Penelitian tahun II

- Observasi

- Wawancara kepada masyarakat, pakar atau praktisi

- FGD

- Tinjauan Pustaka

- Laporan penelitian - Seminar nasional - Tulisan ke Asia

Pacific Journal of Tourism Research Identifikasi dampak pengembangan pariwisata perdesaan


(27)

BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Temuan Penelitian Sebelumnya

Penelitian pada tahun sebelumnya bertujuan untuk mengetahui kontribusi pengembangan destinasi pariwisata perdesaan terhadap masyarakat lokal. Penelitian ini telah menghasilkan beberapa temuan yaitu tentang dampak destinasi pariwisata perdesaan terhadap masyarakat lokal dan peran sentral elit desa dalam pengembangan desa wisata di Desa Pakraman Pinge. Dampak yang ditimbulkan dari pengembangan Desa Wisata Pinge cukup beragam yang meliputi aspek ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan. Namun berbagai dampak tersebut sampai saat belum sepenuhnya dinikmati oleh sebagian besar masyarakat lokal akibat jenis partisipasi masyarakat selama ini masih manipulatif dan pasif serta adanya dominasi elit dalam pengembangan Desa Wisata Pinge. Dominasi elit ini muncul lebih disebabkan oleh kevakuman aktivitas pariwisata selama tujuh tahun, karena masyarakat lokal tidak berdaya mengembangkan Desa Wisata Pinge yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Tabanan pada tahun 2004. Kemudian setelah beberapa elit yang merupakan pensiunan pegawai pemerintah dan swasta pariwisata mengisi kekosongan tersebut dengan berinisiatif mengembangkan produk desa wisata, aktivitas pariwisata di Desa Pakraman Pinge kembali berkembang. Munculnya sejumlah elit yang mempunyai peran sentral dalam pengembangan Desa Wisata Pinge menyebabkan dampak yang ditimbulkan akhirnya mengarah kepada kutub-kutub kekuatan para elit tersebut.

Menarik untuk dibahas kemudian berdasarkan temuan tersebut adalah terdapatnya dua tipologi elit dalam ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Kedua jenis elit tersebut adalah elit inklusif dan elit eksklusif yang mempunyai karakteristik yang tidak sama dan dapat memberikan pengaruh berbeda dalam konteks pengembangan Desa Wisata Pinge. Dualisme elit dalam kepariwisataan Desa Pakraman Pinge dapat menciptakan renggangnya kohesivitas sosial dan menyimpan potensi konflik. Terkait dengan kemungkinan resiko yang terjadi, kata kunci dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan di Desa Pakraman Pinge adalah inklusivitas elit-elit tersebut. Inklusivitas elit dalam penelitian ini


(28)

Dualitas elit yang dibangun harus mengakomodasi berbagai kepentingan terutama masyarakat lokal dalam pengembangan destinasi pariwisata perdesaan.

5.2. Posisi Strategis Elit dalam Ranah Desa Wisata Pinge

Secara garis besar, elit merupakan pusat kekuatan dalam ranah Desa Wisata Pinge yang mengakumulasi beragam modal. Akumulasi modal tersebut berimplikasi pada posisi sosial elit yang strategis. Karakter elit pariwisata di Desa Pakraman Pinge menjadi unik karena ketokohannya berasal dari kalangan pensiunan yang pulang kampung, sehingga dianggap memiliki pengalaman berdasarkan karir yang ditempuh sebelumnya. Dengan pengalamannya tersebut, elit ini memiliki kapasitas dalam menyelenggarakan pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Terlebih lagi dari elit ini terdapat pensiunan birokrasi pemerintahan dan manajer hotel bintang lima di Kawasan Pariwisata Sanur. Dapat dikatakan para elit inilah apa yang disebut sebagai cross cutting person, sebagai aktor penghubung antara kepentingan eksternal pariwisata (seperti : wisatawan, biro perjalanan pariwisata, pemandu wisata, organisasi pariwisata, pemerintah, perguruan tinggi) dengan pihak internal yaitu masyarakat lokal.

Dari dua tipologi elit pariwisata yang teridentifikasi di Desa Pakraman Pinge yaitu elit eksklusif dan elit inklusif, diketahui masing-masing memiliki karakter yang spesifik. Elit ekslusif merupakan aktor/kelompok aktor yang mengakumulasi modal dalam Desa Wisata Pinge atau dapat disebut dengan ranah pariwisata dan memilikinyanya secara ekslusif. Elit ini tidak berkeinginan untuk berbagi modal dengan aktor/kelompok aktor lainnya dalam ranah pariwisata Pinge. Hal ini dapat dimengerti karena elit eksklusif berasal dari pensiunan pejabat birokrasi pemerintah, sehingga dengan trayektorinya tersebut menghasilkan habitus khas. Terbiasa memerintah kelompok yang dianggap bawahan dan hanya patuh kepada kelompok yang dianggap atasan. Kelompok elit eksklusif ini relatif memandang masyarakat lokal sebagai pihak bawahan, sehingga relasi sosial yang dikonstruksi berbasis interaksi ”memerintah-diperintah”. Dengan kata lain konstruksi relasi yang terbangun berbasis patron-client, dengan mengidentifikasi dirinya sebagai patron lewat pengetahuan dan


(29)

pengalaman yang dimilikinya dalam birokrasi pemerintahan. Sedangkan elit inklusif merupakan katagori elit yang relatif mau berbagi pengetahuan dan pengalaman. Kalangan ini berasal dari pensiunan kaum profesional swasta terutama dalam bidang pariwisata, sehingga memiliki habitus khas pula yaitu bekerja dalam tim dan berorientasi kerja secara terukur. Karakter tersebut mendorong terjalinnya tata relasi sosial yang padu dan akrab dengan menghargai kapasitas masing-masing. Kelompok elit ini percaya tidaklah mungkin bekerja dan sukses sendirian karena telah terbiasa melakukan kerja sama, sehingga menghargai kemampuan para anggota dalam tim. Relasi yang dibangun relatif cair dan hangat, bingkai kesadaran posisional dalam tim bukanlah atasan-bawahan versi birokrat tetapi pertemanan (partner).

Kedua elit pariwisata Pinge memiliki persamaan dalam konteks kepemilikan modal :

1. Modal Budaya

Merupakan gelar yang disematkan secara sosial baik formal (melalui institusi pendidikan berupa ijazah atau penghargaan-penghargaan dalam bidang tertentu), maupun kultural (sebagai tokoh masyarakat).

2. Modal Sosial

Merupakan jaringan sosial yang mampu dikonstruksi. Untuk konteks Desa Wisata Pinge adalah kapasitasnya dalam bekerjasama dengan pihak eksternal pariwisata dan juga dalam melayani wisatawan.

3. Modal Simbolik

Merupakan kemampuan/kuasa untuk memberi nama atau mengkatagorisasi khususnya dalam pengembangan destinasi pariwisata perdesaan di Desa Pakraman Pinge. Dengan memiliki modal ini, akan membawa aktor/kelompok aktor pada posisi paling strategis dalam ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge.

Sedangkan perbedaan kedua kelompok elit ini adalah elit eksklusif memandang dirinya sebagai pusat kekuatan dengan membangun relasi memerintah-diperintah. Di sisi lain, elit inklusif memandang dirinya sebagai


(30)

untuk bekerjasama mengakumulasi salah satu jenis modal penting yang disediakan oleh pariwisata, yaitu modal ekonomi. Elit ekslusif berposisi sebagai ”kepala” dengan memandang lainnya sebagai ”anak buah”, khas konstruksi berpikir birokrat. Terlihat berbeda, elit inklusif memandang dirinya sebagai ”ketua” dalam kelompok yang dibangunnya, dengan menganggap yang lainnya sebagai partner. Dengan ketiga modal yang dimilikinya tersebut, elit pariwisata di Desa Pakraman Pinge merupakan kelompok yang tidak dapat dipandang sebelah mata dalam melakukan social engineering dalam pengembangan Desa Wisata Pinge.

Walaupun keberadaan para elit ini sangat strategis dalam ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge, akan tetapi dalam pengembangan destinasi pariwisata perdesaan, tidaklah tepat jika mengikutsertakan elit tersebut secara personal. Terlalu bertumpu pada kekuatan elit secara personal akan beresiko kepada memusatnya akumulasi modal, terpolarisasinya manfaat pariwisata, dan memunculkan permasalahan regenerasi. Untuk itu diperlukan tranformasi elit pariwisata di Desa Pakraman Pinge, yaitu dari elit personal menuju elit institusional.

5.3. Transformasi Elit Personal Menuju Elit Institusional

Pengembangan Desa Wisata Pinge bertumpu pada dikonstruksinya sebuah lembaga yang mampu mewadahi kepentingan berbagai stakeholder pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Untuk itu, diperlukan identifikasi para aktor, ranah pariwisata dalam bentuk desa wisata yang dikembangkan, aspirasi para aktornya, dan strategi bersama dalam transaksional modal yang adil.

1. Elit sebagai penggerak sekaligus penghambat

Untuk identifikasi aktor diperoleh data bahwa elit merupakan pendorong utama sekaligus penghambat utama dalam penyelenggaraan pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Dikatakan penggerak utama karena elit mampu menyediakan produk pariwisata perdesaan dan berhubungan dengan pihak eksternal dalam rangka perencanaan dan pengembangan pariwisata Desa Pakraman Pinge. Akan tetapi elit pulalah yang dikatakan sebagai penghambat


(31)

utama dalam konteks kemajuan pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Realitas historis perkembangan pariwisata di Desa Pakraman Pinge pasca ditetapkan sebagai desa wisata adalah realitas ”pertempuran” elit untuk menguatkan pengaruhnya dalam ranah pariwisata. Masing-masing elit berupaya mambangun kekuatan dan kelompok kekuatan dalam rangka membingkai desa wisata versi para elit tersebut.

Dalam persaingan antar para elit ini, lembaga pariwisata formal yang ada seperti Kelompok Sadar Wisata Desa Pinge dan Badan Pengelola Desa Wisata Pinge dijadikan ajang unjuk kekuatan kelompok elit ini. Terjadi tata relasi kontra produktif dalam ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge, ketika elit terlalu mendominasi dan masyarakat lokal hanya terbawa arus dalam tarik-menarik kekuatan elit tersebut. Masyarakat lokal menjadi disorientasi dan menjadi tidak termotivasi dalam merencanakan dan mengembangkan destinasi pariwisata perdesaan. Perlawanan masyarakat lokal bukannya tidak ada, yang ditunjukkan dengan membangun kelompok sendiri terpisah dari pusaran elitis yang ada. Namun faktanya, perlawanan dalam bentuk penyediaan fasilitas akomodasi yang diupayakan relatif gagal, ketika sepi peminat. Wisatawan baik personal maupun yang difasilitasi biro perjalanan terbukti lebih memilih akomodasi yang disediakan elit, karena lebih baik dan memadai.

2. Desa Pakraman Pinge sebagai destinasi pariwisata perdesaan

Desa Pakraman Pinge sebagai destinasi pariwisata perdesaan jika dikaji menggunakan konsepsi ranah mengandung arti sebagai sebuah domain tempat para aktor pariwisata berkumpul untuk memperjuangkan modal (ekonomi, sosial, budaya, dan simbolik) dalam pariwisata. Untuk memperolehnya, para aktor harus memiliki kepekaan khas tentang aturan main pariwisata. Kepekaan khas ini, pada akhirnya disebut sebagai habitus pariwisata. Berbekal habitus pariwisata inilah, para aktor akan mengakumulasi modal dalam ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Akan tetapi, tidak semua aktor memiliki kemampuan yang sama dalam


(32)

segelintir aktor yaitu elit yang memiliki kapasitas merencanakan dan mengembangkan desa wisata. Keadaan ini yang menyebabkan mulai dari tahap awal perkembangan Desa Wisata Pinge (fase embriotik) sampai saat ini telah terjadi dominasi elit. Hal ini bisa dimengerti karena para elit inilah yang memiliki habitus pariwisata berdasarkan trayektori sebelumnya, yang memiliki lintasan ranah beragam sebelum pulang kembali dan menetap di kampung halamannya kini. Ini berarti ketika Desa Pakraman Pinge ditetapkan sebagai desa wisata, para elit ini dapat dikatakan telah memiliki modal, yaitu modal budaya, sosial, serta simbolik. Dengan ketiga jenis modal yang dimilikinya tersebut, menjadikan mereka berada di posisi strategis dalam ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge.

Fakta lain menunjukkan bahwa walaupun para elit ini berada pada posisi yang dominan dalam ranah Pariwisata di Desa Pakraman Pinge, namun para elit tersebut juga terbukti tidak mampu memaksimalkan modal yang dimilikinya untuk dapat dipertukarkan dengan modal ekonomi. Hal ini dikarenakan Desa Pakraman Pinge masih merupakan sebuah ruang sosial daripada dipandang sebagai ranah pariwisata.

3. Aspirasi para aktor

Aktor dan kelompok aktor dalam ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge, selain para elit (eksklusif dan inklusif), juga teridentifikasi adanya pengurus desa adat, krama subak, dan kelompok-kelompok sosial berbasis ketrampilan dan hobi lainnya (sekehe). Dapat dikatakan para aktor dan kelompok aktor di luar elit ini masih beraktivitas dalam ruang sosial Desa Pakraman Pinge, belum melakukan interaksi sosial berbasis ranah pariwisata.

Belum terintegrasinya para aktor potensial sebagai stakeholders pariwisata Pinge ini menjadikan belum terselenggaranya Desa Wisata Pinge secara produktif. Para aktor lainnya masih dengan urusannya masing-masing dan memandang pariwisata sebagai urusannya para elit. Hanya segelintir kelompok non-elit yang mencoba mencari peruntungan di bidang pariwisata dengan menyediakan akomodasi pariwisata dengan memanfaatkan beberapa


(33)

kamar di rumahnya sebagai homestay. Akan tetapi kemudian kalah bersaing dengan akomodasi yang disediakan para elit.

Dapat dikatakan bahwa para aktor Pinge masih menjalankan siasatnya masing-masing. Belum berhimpun secara sinergis untuk menyelenggarakan Desa Wisata Pinge. Di level siasat, aktivitas yang dilakukan adalah untuk kepentingan diri dan kelompoknya saja. Sehingga para aktor menjalankan rutinitas keseharian mereka dalam ruang sosial Desa Pakraman Pinge. Tidak ada upaya untuk mengintegrasikan aktivitas sosial lainnya ke dalam ranah pariwisata dalam bentuk desa wisata.

Sedangkan para elit sendiri karena terpolarisasi menjadi dua kutub kekuatan antara elit eksklusif dan inklusif, juga menjalankan siasatnya masing-masing. Walaupun untuk tipologi elit inklusif lebih memiliki keinginan untuk berbagi, baik pengetahuan maupun keuntungan pariwisata dengan masyarakat lokal, tetapi juga tidak bisa lepas dari perangkap logika siasat. Siasat yang dilakukan elit inklusif terutama dalam menghadapi ”serangan” elit eksklusif di beberapa momentum ketika harus berhadapan di forum-forum baik formal maupun informal di Desa Pakraman Pinge. Sementara elit eksklusif menjalankan siasat dalam rangka mempertahankan relasi dominatifnya dengan masyarakat lokal.

4. Strategi kolektif para aktor

Dengan kondisi seperti yang telah dideskripsikan tersebut, dapat dipahami mengapa Desa Wisata Pinge seperti jalan ditempat, tidak ada kemajuan yang berarti dalam konteks memberi kesejahteraan bagi masyarakatnya. Keadaan

Quo vadis (mandeg) penyelenggaraan pariwisata di Desa Pakraman Pinge dikarenakan belum terciptanya habitus pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Untuk itu diperlukan upaya agar tercipta ranah pariwisata berbasis desa wisata di Desa Pakraman Pinge.

a. Pemaknaan Desa Wisata Pinge sebagai sebuah ranah pariwisata

Desa Wisata Pinge harus dipandang sebagai ranah yang memberikan kesempatan bagi semua aktor terutama masyarakat lokal agar


(34)

mampu memperoleh modal ekonomi yang dibawa wisatawan, mendapatkan modal sosial dengan terbukanya jaringan sosial dengan pihak eksternal, modal budaya berupa perbaikan status sosial dan kesempatan berprestasi, dan modal simbolik yang berkaitan dengan kapasitas sebagai penafsir budaya lokal yang legitimit.

b. Dari siasat personal menjadi strategi kolektif

Ketika Desa Wisata Pinge dimaknai sebagai ranah pariwisata dan para aktor bersepakat untuk bersinergi untuk menyelenggarakan pariwisata berbasis budaya, yang diperlukan adalah memutus mata rantai saling siasat menjadi saling manfaat. Memutus mata rantai tersebut dapat dilakukan dengan cara membangun strategi bersama dalam rangka memperoleh manfaat pariwisata secara adil.

c. Pelembagaan pariwisata berbasis kultural

Guna menjamin terselenggaranya Desa Wisata Pinge yang dapat memberikan berbagai kontribusi atau manfaat terutama bagi masyarakat lokal, dibutuhkan kelembagaan pariwisata. Lembaga tersebut merupakan wadah kegiatan bersama bagi masyarakat lokal. Idealnya wadah yang dibangun merupakan lembaga berbasis kultural yang ada di Desa Pakraman Pinge.

5.4. Pelembagaan Pariwisata Berbasis Kultural

Setelah mengetahui peran dan posisi elit dalam ranah pariwisata, hal penting berikutnya adalah merekonstruksi kelembagaan pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Dikatakan rekonstruksi (konstruksi kembali) karena saat ini telah ada lembaga pariwisata. Akan tetapi lembaga ini lebih bersifat formalitas belaka karena hanya sekedar pelengkap sebagai konsekuensi dari penetapan Desa Pakraman Pinge sebagai desa wisata. Di lembaga formalitas ini terlihat dominasi elit dan mengikis potensi mayoritas masyarakat lokal untuk terlibat dalam perencanaan dan pengembangan destinasi pariwisata perdesaan.

Pelembagaan pariwisata dalam konteks ini dimaksudkan sebagai proses kreasi para aktor pariwisata di Desa Pakraman Pinge dalam mengkonstruksi ruang


(35)

bersama pariwisata. Lembaga yang diciptakan ini tidak bersifat ahistoris dan bersumber dari pihak eksternal sehingga masyarakat lokal sulit menerimanya. Dalam istilah Bourdieu akan terjadi apa yang disebut sebagai hysteresis, ketidakmampuan aktor dalam menjalankan praktik sosial karena habitus yang dimiliki selama ini tidak mampu memfasilitasi kesesuaian antara kesadaran para aktor dan realitas sosialnya. Lewat proses pelembagaan inilah diharapkan terjadi penyesuaian habitus para aktor dengan realitas pariwisata yang berlangsung di wilayahnya. Dalam konteks pariwisata di Desa Pakraman Pinge, masih diperlukan pelembagaan karena terbukti lembaga pariwisata yang telah ada selama ini bersifat ahistoris dan elitis. Ahistoris karena lembaga pariwisata tersebut hanyalah formalitas dan ada karena tuntutan pihak eksternal terutama pemerintah guna memudahkan dalam pencapaian tujuan. Sehingga dibutuhkan lembaga yang bersifat historis, ada dan dikenali dalam bingkai intepretasi masyarakat lokal. Dengan demikian lembaga ini akan mengakar kuat dalam konteks pariwisata di Desa Pakraman Pinge.

Lembaga yang akan dikonstruksi diharapkan mampu mereposisi para aktor pariwisata di Desa Pakraman Pinge, terutama dalam menciptakan transformasi dari elit personal menjadi elit institusional (inklusivitas elit). Transformasi ini merupakan kata kunci dari perencanaan dan pengembangan destinasi pariwisata perdesaan di Desa Pakraman Pinge. Penelitian ini menunjukkan bahwa pada tahap embriotik peran elit sangatlah dominan dalam perencanaan dan pengembangan destinasi pariwisata perdesaan.

Dalam perspektif strukturalisme, hal ini terjadi karena para elitlah yang memiliki modal relatif lengkap. Dengan kelengkapan jenis modal ini, elit dapat menjadi aktor penting sebagai penghubung dengan pihak eksternal pariwisata. Pihak eksternal sendiri akan lebih nyaman ketika berhubugan dengan para elit ini. Ini disebabkan karena para elit relatif memiliki habitus yang sama dan trayektorinya relatif berada atau pernah pada domain yang terkait dengan pariwisata. Pihak eksternal dengan habitus pariwisatanya tidak akan dapat langsung ”tune-in” dengan ruang sosial Desa Pakraman Pinge, sehingga peran elit


(36)

dideskripsikan sebelumnya, peran elit selain sebagai motor penggerak pariwisata, juga sebagai penghambat bagi keberlanjutan pariwisata karena membatasi partisipasi masyarakat lokal. Masyarakat lokal dapat dikatakan tersingkir dalam ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge karena relatif tidak memiliki bekal modal untuk dipertukarkan dengan modal yang ada dalam pariwisata. Hal inilah yang menjadikan pentingnya arti lembaga pariwisata yang mampu menguatkan kapasitas masyarakat lokal dan menjadikan dominasi elit personal dapat diminimalisasi.

Kelembagaan pariwisata menjadi penting karena dua hal : 1. Ruang para aktor memperjuangkan kesejahteraan

Ruang di sini dimaknai sebagai kontainer yang mewadahi pertemuan baik fisik maupun pemikiran (wacana). Semacam forum yang akan mengatasi hambatan-hambatan komunikasi di antara para aktor dan tempat bagi permikiran yang konstruktif dalam memproduksi kesepakatan mengenai pariwisata yang dikembangkan di Desa Pakraman Pinge. Di ruang inilah para elit akan berbagai pengetahuan dan jaringan pariwisata yang telah dimilikinya dengan tujuan untuk lebih memperkuat posisi Desa Wisata Pinge, yang pada akhirnya akan terbentuk kekuatan kolektif pada level strategis. Terciptanya lembaga pariwisata ini akan memutus mata rantai siasat karena praktik pariwisata secara personal akan tidak memadai lagi. Pada akhirnya akan tercapai berbagai manfaat pariwisata berupa kesejahteraan masyarakat lokal dengan mengoptimalkan modal kolektif yang dimiliki guna ditukarkan dengan modal pihak eksternal.

2. Fasilitator bagi pertukaran modal pariwisata secara fair

Lembaga ini akan merancang seperangkat aturan yang akan menjadi pemandu para aktor dalam penyelenggaraan Desa Wisata Pinge. Para aktor pariwisata di Desa Pakraman Pinge akan saling berbagi modal yang dimiliki dan secara kolektif akan mengoptimalisasi sumber daya atau modal pariwisata untuk dipertukarkan secara maksimal dengan modal ekonomi yang dibawa pihak eksternal. Dalam konteks ini, lembaga pariwisata akan menjadi fasilitator bagi pertukaran modal pariwisata yang adil.


(37)

5.5. Model

Setelah dua aspek penting dalam menggerakkan Desa Wisata Pinge teridentifikasi yaitu elit pariwisata dan pelembagaan pariwisata, selanjutnya perlu dianalisis mengenai jenis kelembagaan yang ideal. Lembaga pariwisata berbasis kultural menjadi penting karena merupakan proses negosiasi masyarakat lokal secara historis (dirasakan dan dihayati secara langsung) terhadap pariwisata yang berlangsung selama ini di Desa Pakraman Pinge.

Rumusan model dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Desa wisata sebagai ranah pariwisata

Desa Pakraman Pinge sebagai desa wisata jika dikaji menggunakan konsepsi ranah mengandung arti sebagai sebuah domain tempat para aktor pariwisata berkumpul untuk memperjuangkan modal yang diberikan oleh pariwisata Modal yang dimaksudkan adalah modal ekonomi, sosial, budaya, dan

Fase embriotik perkembangan destinasi

pariwisata perdesaan

Elit pariwisata

Inklusifitas elit

Pelembagaan pariwisata berbasis

kultural

Masyarakat lokal

Integrasi masyarakat lokal dalam perencanaan

destinasi pariwisata perdesaan Pihak eksternal:

biro perjalanan wisata, asosiasi pariwisata, perguruan tinggi, dan

wisatawan

DESA WISATA


(38)

2. Fase embriotik

Pariwisata di Desa Pakraman Pinge dapat dikatakan masih berada dalam tahap awal perkembangan atau fase embriotik. Penekanan pada fase ini karena meskipun telah ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Tabanan sebagai desa wisata pada tahun 2004, namun pengembangan pariwisatanya baru mendapatkan perhatian mulai tahun 2011. Adanya kevakuman selama kurang lebih tujuh tahun disebabkan oleh ketidaksiapan masyarakat lokal untuk menindaklanjuti penetapan tersebut dan ketergantungan masyarakat lokal terhadap program pemerintah.

3. Elit pariwisata

Variabel elit ini sangat penting dalam fase embriotik pariwisata di Desa Pakraman Pinge karena perannya sebagai motor penggerak sekaligus juga sebagai penghambat perkembangan pariwisata. Ada dua tipologi elit pariwisata Pinge, yaitu elit eksklusif dan elit inklusif. Aktor jenis ini perlu dilibatkan dalam penyelenggaraan desa wisata karena perannya sebagai penggerak pariwisata dengan posisi sebagai penghubung antara masyarakat lokal dengan pihak eksternal pariwisata karena habitus pariwisata yang telah dimilikinya berdasarkan trayektori sebelumnya. Tetapi perlu memutus peran para aktor ini sebagai penghambat pariwisata Pinge untuk menuju tahapan pasca fase embriotik. Dapat disebutkan bahwa jika tidak ditemukan formulasi yang tepat dan juga terjadi pembiaran praktik pariwisata di Desa Pakraman Pinge yang elitis, akan terjadi quo vadis perkembangan pariwisata atau akan mandeg di tahapan embriotik.

4. Lembaga pariwisata berbasis kultural

Dengan lembaga ini diharapkan terjadi apa yang disebut sebagai inklusivitas elit. Dalam perkembangannya, siasat personal pariwisata akan tidak memadai lagi dalam rangka optimalisasi modal pariwisata yang bisa diakumulasi. Diperlukan strategi kolektif masyarakat lokal dalam penyelenggaraan pariwisata di Desa Pakraman Pinge, sehingga dapat diperoleh manfaatnya dengan proses transaksi modal secara adil. Lembaga inilah yang akan menciptakan regulasi/tata aturan yang mengikat aktor dan kelompok aktor


(39)

pariwisata. Lembaga pariwisata yang direkomendasikan adalah berada dalam struktuk Desa Pakraman Pinge, dengan catatan pengurus desa adat berposisi sebagai komisaris dan pengawas, tidak terlibat langsung secara manajerial pada perkembangan pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Hal ini untuk menjaga sakralitas lembaga desa adat agar tidak mengurusi hal-hal sekuler, dan menjaga kehormatan para pengurusnya. Lembaga pariwisata dapat didorong untuk menjadi semacam sekehe, sejajar dengan sekehe lainnya dan bersifat koordinatif dengan sekehe lainnya. Dapat dikatakan bahwa lembaga pariwisata di Desa Pakraman Pinge yang berposisi sebagai sekehe telah dikenali dalam bingkai pemaknaan masyarakat lokal, guna memutus pelembagaan yang ahistoris (dipaksakan dari luar). Hal ini akan mempercepat strukturasi pelembagaan pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Strukturasi yang dimaksud adalah proses membingkai desa wisata sebagai tata aturan ditingkatan pemaknaan dan lewat bingkai intepretasi tersebut akan memandu masyarakat lokal dalam menjalankan praktik sosial keseharian. Ketika dipraktikkan secara terus-menerus dengan pola yang ajeg akan menjadi habitus baru atau kesadaran praktis. Lewat terminologi sekehe, masyarakat lokal telah memiliki habitus yang mampu mengenali dan menjalankan interaksi sosial berbasis sekehe. Makna strategis lembaga pariwisata dengan karakter kultural juga ada dalam konteks mendorong inklusivitas elit. Institusi

sekehe yang kental aroma kulturalnya akan mengurangi efek formalitas yang umumnya ada pada lembaga modern. Semua yang tergabung dalam lembaga berbasis sekehe akan lebih akrab dan saling bertukar ide serta gagasan dalam suasana yang cair dengan tetap saling menghormati tetapi bukan dalam tata relasi atasan-bawahan melainkan pertemanan. Di titik inilah para elit akan berada dalam bingkai relasi kultural dan kapasitas serta pengalaman tentang pariwisata dapat di-share kepada masyarakat lokal yang memilih bergabung dalam mengelola desa wisata. Tipologi elit akan mencair dari dualisme ekslusif-inklusif menjadi dualitas inklusif. Tata relasi interaksi sosial berbasis elitis eksklusif akan ditinggalkan, karena tidak ada tempat dalam bingkai


(40)

sebagai inklusivitas elit pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Elit tetap penting dalam praktik Desa Wisata Pinge dan lewat inklusivitas elit akan dimaksimalkan peran elit sebagai motor penggerak pariwisata dan menghilangkan peran sebagai penghambat pariwisata seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

5. Partisipasi masyarakat lokal

Dengan terlibatnya masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan dan pembagian manfaat pariwisata, menjadikan masyarakat merasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Desa Wisata Pinge. Dengan adanya partisipasi ini, masyarakat lokal akan menganggap pariwisata sebagai sarana memperoleh tambahan penghasilan, dengan tidak meninggalkan basis pekerjaan sebelumnya. Masyarakat lokal yang ingin terlibat dalam penyelenggaraan pariwisata dapat bergabung dengan lembaga pariwisata seperti dideskripsikan pada model di atas. Dengan adanya lembaga pariwisata berbasis kultural, masyarakat lokal tidak akan merasa canggung karena karakter kelembagaannya yang terbuka dan cair. Di lembaga ini, masyarakat lokal akan berlajar menyesuaikan habitusnya dengan habitus pariwisata. Dengan masifnya masyarakat lokal untuk terlibat dalam pariwisata akan menjadikan ranah pariwisata menjadi salah satu ranah utama dalam ruang sosial Desa Pakraman Pinge.

6. Pihak eksternal

Peran agen ini juga tidak bisa dinafikkan, karena dengan adanya pihak eksternal masuk dalam ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge menjadikan fenomena pariwisata terjadi. Dalam konteks kajian tentang modal, aspirasi pihak eksternal ini menjadi penting karena membawa modal dalam pariwisata, yaitu modal ekonomi. Jenis modal inilah yang selama ini menjadi target para aktor untuk diakumulasi dan diperjuangkan dalam ranah. Dalam kasus pariwisata di Desa Pakraman Pinge, dengan adanya inklusivitas elit dan pelembagaan pariwisata berbasis kultural, diharapkan masyarakat lokal sebagai penyelenggara pariwisata mampu melakukan pertukaran modal yang dimilikinya (sosial, budaya, simbolik) dengan modal ekonomi yang dimiliki


(41)

pihak eksternal. Dalam konteks desa wisata sebagai praktik sosial, akan terjadi proses pertukaran modal. Wisatawan yang difasilitasi biro perjalanan atau pihak lain akan menukar modal ekonomi melalui pembelanjaannya untuk mendapat modal sosial, budaya, dan simbolik yang terdapat dalam produk pariwisata yang ditawarkan masyarakat lokal. Selain wisatawan, biro perjalanan, dan pemandu wisata, pihak eksternal lainnya yang cukup penting dalam model penyelenggaraan Desa Wisata Pinge adalah birokrasi pemerintah, perguruan tinggi, dan media massa. Pihak-pihak eksternal ini bersifat supporting dan memiliki jenis modal spesifik yaitu modal budaya dan sosial. Modal budaya dimiliki institusi perguruan tinggi karena reputasi keilmuan yang dimilikinya dan memiliki gelar akademis formal. Sedangkan modal sosial yang berupa jaringan-jaringan sosial yang luas, dimiliki oleh birokrasi pemerintah dan media massa. Para agen eksternal yang memiliki pengetahuan dan jaringan ini penting untuk dimasukkan ke dalam model yang dirancang ini, sebagai tambahan amunisi modal pariwisata bagi masyarakat lokal. Para pihak eksternal selama ini difasilitasi dalam berhubungan dengan masyarakat lokal oleh para elit. Ketika inklusivitas elit pariwisata di Desa Pakraman Pinge dapat dikreasi dengan munculnya lembaga pariwisata berbasis kultural, diharapkan lembaga inilah yang menjadi fasilitator interaksi masyarakat lokal dengan pihak eksternal tersebut.


(42)

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN

Dapat disimpulkan bahwa model integrasi masyarakat lokal dalam perencanaan destinasi pariwisata perdesaan dalam kasus di Desa Pakraman Pinge adalah pelembagaan pariwisata berbasis kultural. Disebut pelembagaan karena adanya proses untuk membangun suatu intitusi pariwisata yang merupakan ruang bagi titik temu dari aktivitas masyarakat yang memiliki kepentingan dan kepedulian terhadap pariwisata. Berbasis kultural, karena lembaga tersebut diupayakan untuk tidak bersifat eksternal dan eksklusif. Bersifat eksternal berarti lembaga tersebut seolah berasal dari luar dan terlepas dari kerangka pemahaman serta pemaknaan budaya masyarakat lokal. Sedangkan eksklusif mengandung makna, ketika lembaga tersebut hanya dimiliki dan dimengerti oleh sebagian kecil masyarakat yaitu elit (inklusif dan eksklusif). Dengan kata lain, lembaga ini akan menaungi praktik pariwisata perdesaan yang menawarkan produk pariwisata berbasis rutinitas kehidupan masyarakat perdesaan Bali dengan bahasa dan ritme aktivitas yang dimengerti masyarakat lokal.

Dengan demikian dibutuhkan lembaga pariwisata yang bersifat internal dan inklusif sesuai dengan kultur masyarakat lokal. Ini dimaksudkan agar masyarakat lokal dapat berpartisipasi dalam praktik pariwisata perdesaan. Keterlibatan mereka dalam pengambilan keputusan dan pembagian manfaat pariwisata, dimungkinkan jika kedua aktivitas tersebut terselenggara dalam payung lembaga yang menyediakan ruang negosiasi yang sehat bagi pemangku kepentingan pariwisata perdesaan. Lembaga tersebut menjadi strategis bagi ruang pembelajaran masyarakat dan dapur bagi produksi kebijakan pariwisata yang diciptakan masyarakat lokal secara kolektif.


(43)

DAFTAR PUSTAKA

Barker, Chris, 2004, Cultural Studies; Teori & Praktek, Kreasi Wacana, DIY Briedenhann, J. & Wickens, E., 2004, Rural Tourism-Meeting the Challenges of

the New South Africa, International Journal of Tourism Research, 6: 189-203.

Campbell, 1999, Ecotourism in Rural Developing Communities, Annals of Tourism Research, 26: 534-553

Davidson, Rob and Maitland, Robert, 1997, Tourism Destinations, Hodder & Stoughton, London

Dogra, Ravinder and Gupta, Anil, 2012, Barriers to Community Participation in Tourism Development: Empirical Evidence from a Rural Destination, South Asian Journal of Tourism and Heritage, 5: 131-142

Fashri, Fauzi. 2104. Pierre Bourdieu; Menyingkap Kuasa Simbol. Yogyakarta: Jalasutra.

Garrod, B., Wilson, J.C., and Bruce, D.B., 2001, Planning for Marine Ecotourism in the EU Atlantic Area: Good Practice Guidelines, Project Report, University of the West of England, Bristol

Gunn, Clare A., 1994, Tourism Planning; Basics, Concepts, Cases, Taylor & Francis, USA

Inskeep, E., 1991, Tourism Planning: An Integrated and Sustainable Development Approach, Van Nostrand Reinhold, USA

Jenkins, C. L., 1982, The Effects Of Scale In Tourism Projects In Developing Countries, Annals of Tourism Research, 9: 229-249

Lane, B., 1994. What is rural tourism?, Journal of Sustainable Tourism, 2: 7-21. Leslie, David, 2012, Responsible Tourism; Concepts, Theory and Practice, CABI,

UK

Mowforth, Martin and Munt, Ian, 1998, Tourism and Sustainability; New Tourism in the Third World, Routledge, New York

Murphy, Peter E., 1985, Tourism A Community Approach, Methuen, New York Page, S. J. & Getz, D. (Eds.), 1997, The business of rural tourism: international


(44)

Pike, Steven, 2004, Destination Marketing Organisations, Elsevier, UK

Roberts, L. and Hall, D., 2004, Consuming the countryside: Marketing for rural tourism, Journal of Vacating Marketing, 10: 253-263

Scheyvens, Regina, 2002, Tourism for Development; empowering communities, Prentice Hall, England

Shah, Kishore and Gupta, Vasanti, 2000, Tourism, the Poor and Other Stakeholders: Experience in Asia, The Russell Press, Nottingham

Telfer, Richard and Sharpley, David J., 2008, Tourism and Development in the Developing World, Routledge, New York

Timothy, Dallen J., 1999, Participatory Planning; A View of Tourism in Indonesia, Annals of Tourism Research, 26: 371-391

Timothy, Dallen J. and Boyd, Stephen W., 2003, Heritage Tourism, Pearson Education, England

Tosun, Cevat, 2000, Limits to Community participation in the tourism development process in developing countries. Tourism Management, 21: 613-633.

Tosun, Cevat and Timothy, Dallen J., 2003, Arguments for Community Participation in the Tourism Development Process, The Journal Of Tourism Studies, 14: 1-15

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan

Veal, A. J., 2006, Research Methods for Leisure and Tourism; A Practical Guide, Pearson Education, England

WTO, 1998, Guide for Local Authorities on Developing Sustainable Tourism, World Tourism Organization.


(45)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Instrumen Penelitian 1. Ceklis kelengkapan instrumen

No. Kelengkapan Keterangan

A. Panduan wawancara

B. Panduan pengambilan gambar C. Alat rekam suara

D. Kamera E. Laptop F. Charger

G. Flashdisk H. Buku catatan I. Pulpen J. Map

K. Buku harian

2. Panduan wawancara

Target: menggali informasi kondisi ruang dan ranah pariwisata, modal, ekspektasi mengenai pariwisata, permasalahan yang dihadapi, kearifan lokal, kelembagaan, dan jenis partisipasi masyarakat dalam pengembangan pariwisata

A.Ranah atau ruang

- Kegiatan pariwisata yang sedang berlangsung

- Lembaga yang terlibat (masyarakat, pemerintah, swasta) B.Komposisi modal

- Ekonomi (individu/kelompok dan trajektori) - Budaya (individu/kelompok dan trajektori) - Sosial (individu/kelompok dan trajektori) - Simbolik (individu/kelompok dan trajektori) C.Permasalahan yang dihadapi

- Etos (need for achievement, need for power, need for affiliation) - Struktural (adat, kebijakan dinas, dan lain-lain)


(46)

- Laten - Romantisme - Futuristik E. Kearifan lokal F. Kelembagaan

- Ruang-ruang diskursif (formal dan informal) - Mekanisme pengambilan keputusan

- Manajemen konflik

3. Catatan penelitian

Sumber Aspek

Penekanan

Temuan/ Informasi

Kekurangan

informasi Keterangan

4. Panduan pengambilan gambar A.Narasumber

B.Infrastruktur C.Suprastruktur D.Lembaga/institusi E. Kegiatan pariwisata F. Kegiatan masyarakat G.Lansekap


(1)

Dalam perspektif strukturalisme, hal ini terjadi karena para elitlah yang memiliki modal relatif lengkap. Dengan kelengkapan jenis modal ini, elit dapat menjadi aktor penting sebagai penghubung dengan pihak eksternal pariwisata. Pihak eksternal sendiri akan lebih nyaman ketika berhubugan dengan para elit ini. Ini disebabkan karena para elit relatif memiliki habitus yang sama dan trayektorinya relatif berada atau pernah pada domain yang terkait dengan pariwisata. Pihak eksternal dengan habitus pariwisatanya tidak akan dapat langsung ”tune-in” dengan ruang sosial Desa Pakraman Pinge, sehingga peran elit dalam memfasilitasi menjadi sangatlah penting. Namun, seperti yang telah dideskripsikan sebelumnya, peran elit selain sebagai motor penggerak pariwisata, juga sebagai penghambat bagi keberlanjutan pariwisata karena membatasi partisipasi masyarakat lokal. Masyarakat lokal dapat dikatakan tersingkir dalam ranah pariwisata karena relatif tidak memiliki bekal modal untuk dipertukarkan dengan modal yang ada dalam pariwisata. Hal inilah yang menjadikan pentingnya arti lembaga pariwisata yang mampu menguatkan kapasitas masyarakat lokal dan menjadikan dominasi elit personal dapat diminimalisasi.

Kelembagaan pariwisata menjadi penting karena dua hal : 1. Ruang para aktor memperjuangkan kesejahteraan

Ruang di sini dimaknai sebagai kontainer yang mewadahi pertemuan baik fisik maupun pemikiran (wacana). Semacam forum yang akan mengatasi hambatan-hambatan komunikasi di antara para aktor dan tempat bagi permikiran yang konstruktif dalam memproduksi kesepakatan mengenai pariwisata yang dikembangkan di Desa Pakraman Pinge. Di ruang inilah para elit akan berbagai pengetahuan dan jaringan pariwisata yang telah dimilikinya dengan tujuan untuk lebih memperkuat posisi Desa Wisata Pinge, yang pada akhirnya akan terbentuk kekuatan kolektif pada level strategis. Terciptanya lembaga pariwisata ini akan memutus mata rantai siasat karena praktik pariwisata secara personal akan tidak memadai lagi. Pada akhirnya akan tercapai berbagai manfaat pariwisata berupa kesejahteraan masyarakat lokal dengan mengoptimalkan modal kolektif yang dimiliki guna ditukarkan dengan modal pihak eksternal.


(2)

2. Fasilitator bagi pertukaran modal pariwisata secara fair

Lembaga ini akan merancang seperangkat aturan yang akan menjadi pemandu para aktor dalam penyelenggaraan Desa Wisata Pinge. Para aktor pariwisata di Desa Pakraman Pinge akan saling berbagi modal yang dimiliki dan secara kolektif akan mengoptimalisasi sumber daya atau modal pariwisata untuk dipertukarkan secara maksimal dengan modal ekonomi yang dibawa pihak eksternal. Dalam konteks ini, lembaga pariwisata akan menjadi fasilitator bagi pertukaran modal pariwisata yang adil.

KESIMPULAN; Model Integrasi Masyarakat Lokal dalam Pariwisata Perdesaan Setelah dua aspek penting dalam menggerakkan Desa Wisata Pinge teridentifikasi yaitu elit pariwisata dan pelembagaan pariwisata, selanjutnya perlu dianalisis mengenai jenis kelembagaan yang ideal. Lembaga pariwisata berbasis kultural menjadi penting karena merupakan proses negosiasi masyarakat lokal secara historis (dirasakan dan dihayati secara langsung) terhadap pariwisata yang berlangsung selama ini di Desa Pakraman Pinge.

Fase embriotik perkembangan destinasi

pariwisata perdesaan

Elit pariwisata

Inklusifitas elit

Pelembagaan pariwisata berbasis

kultural

Masyarakat lokal

Integrasi masyarakat lokal dalam perencanaan

destinasi pariwisata perdesaan Pihak eksternal:

biro perjalanan wisata, asosiasi pariwisata, perguruan tinggi, dan

wisatawan

DESA WISATA


(3)

Rumusan model dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Desa wisata sebagai ranah pariwisata

Desa Pakraman Pinge sebagai desa wisata jika dikaji menggunakan konsepsi ranah mengandung arti sebagai sebuah domain tempat para aktor pariwisata berkumpul untuk memperjuangkan modal yang diberikan oleh pariwisata Modal yang dimaksudkan adalah modal ekonomi, sosial, budaya, dan simbolik.

2. Fase embriotik

Pariwisata di Desa Pakraman Pinge dapat dikatakan masih berada dalam tahap awal perkembangan atau fase embriotik. Penekanan pada fase ini karena meskipun telah ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Tabanan sebagai desa wisata pada tahun 2004, namun pengembangan pariwisatanya baru mendapatkan perhatian mulai tahun 2011. Adanya kevakuman selama kurang lebih tujuh tahun disebabkan oleh ketidaksiapan masyarakat lokal untuk menindaklanjuti penetapan tersebut dan ketergantungan masyarakat lokal terhadap program pemerintah.

3. Elit pariwisata

Variabel elit ini sangat penting dalam fase embriotik pariwisata di Desa Pakraman Pinge karena perannya sebagai motor penggerak sekaligus juga sebagai penghambat perkembangan pariwisata. Ada dua tipologi elit pariwisata Pinge, yaitu elit eksklusif dan elit inklusif. Aktor jenis ini perlu dilibatkan dalam penyelenggaraan desa wisata karena perannya sebagai penggerak pariwisata dengan posisi sebagai penghubung antara masyarakat lokal dengan pihak eksternal pariwisata karena habitus pariwisata yang telah dimilikinya berdasarkan trayektori sebelumnya. Tetapi perlu memutus peran para aktor ini sebagai penghambat pariwisata Pinge untuk menuju tahapan pasca fase embriotik. Dapat disebutkan bahwa jika tidak ditemukan formulasi yang tepat dan juga terjadi pembiaran praktik pariwisata di Desa Pakraman Pinge yang elitis, akan terjadi quo vadis perkembangan pariwisata atau akan mandeg di tahapan embriotik.


(4)

4. Lembaga pariwisata berbasis kultural

Dengan lembaga ini diharapkan terjadi apa yang disebut sebagai inklusivitas elit. Dalam perkembangannya, siasat personal pariwisata akan tidak memadai lagi dalam rangka optimalisasi modal pariwisata yang bisa diakumulasi. Diperlukan strategi kolektif masyarakat lokal dalam penyelenggaraan pariwisata di Desa Pakraman Pinge, sehingga dapat diperoleh manfaatnya dengan proses transaksi modal secara adil. Lembaga inilah yang akan menciptakan regulasi/tata aturan yang mengikat aktor dan kelompok aktor pariwisata. Lembaga pariwisata yang direkomendasikan adalah berada dalam struktuk Desa Pakraman Pinge, dengan catatan pengurus desa adat berposisi sebagai komisaris dan pengawas, tidak terlibat langsung secara manajerial pada perkembangan pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Hal ini untuk menjaga sakralitas lembaga desa adat agar tidak mengurusi hal-hal sekuler, dan menjaga kehormatan para pengurusnya. Lembaga pariwisata dapat didorong untuk menjadi semacam sekehe, sejajar dengan sekehe lainnya dan bersifat koordinatif dengan sekehe lainnya. Dapat dikatakan bahwa lembaga pariwisata di Desa Pakraman Pinge yang berposisi sebagai sekehe telah dikenali dalam bingkai pemaknaan masyarakat lokal, guna memutus pelembagaan yang ahistoris (dipaksakan dari luar). Hal ini akan mempercepat strukturasi pelembagaan pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Strukturasi yang dimaksud adalah proses membingkai desa wisata sebagai tata aturan ditingkatan pemaknaan dan lewat bingkai intepretasi tersebut akan memandu masyarakat lokal dalam menjalankan praktik sosial keseharian. Ketika dipraktikkan secara terus-menerus dengan pola yang ajeg akan menjadi habitus baru atau kesadaran praktis. Lewat terminologi sekehe, masyarakat lokal telah memiliki habitus yang mampu mengenali dan menjalankan interaksi sosial berbasis sekehe. Makna strategis lembaga pariwisata dengan karakter kultural juga ada dalam konteks mendorong inklusivitas elit. Institusi sekehe yang kental aroma kulturalnya akan mengurangi efek formalitas yang umumnya ada pada lembaga modern. Semua yang tergabung dalam lembaga berbasis sekehe akan lebih akrab dan saling bertukar ide serta gagasan dalam


(5)

suasana yang cair dengan tetap saling menghormati tetapi bukan dalam tata relasi atasan-bawahan melainkan pertemanan. Di titik inilah para elit akan berada dalam bingkai relasi kultural dan kapasitas serta pengalaman tentang pariwisata dapat di-share kepada masyarakat lokal yang memilih bergabung dalam mengelola desa wisata. Tipologi elit akan mencair dari dualisme ekslusif-inklusif menjadi dualitas inklusif. Tata relasi interaksi sosial berbasis elitis eksklusif akan ditinggalkan, karena tidak ada tempat dalam bingkai kelembagaan kultural pariwisata berbasis sekehe. Inilah yang dimaksud sebagai inklusivitas elit pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Elit tetap penting dalam praktik Desa Wisata Pinge dan lewat inklusivitas elit akan dimaksimalkan peran elit sebagai motor penggerak pariwisata dan menghilangkan peran sebagai penghambat pariwisata seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

5. Partisipasi masyarakat lokal

Dengan terlibatnya masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan dan pembagian manfaat pariwisata, menjadikan masyarakat merasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Desa Wisata Pinge. Dengan adanya partisipasi ini, masyarakat lokal akan menganggap pariwisata sebagai sarana memperoleh tambahan penghasilan, dengan tidak meninggalkan basis pekerjaan sebelumnya. Masyarakat lokal yang ingin terlibat dalam penyelenggaraan pariwisata dapat bergabung dengan lembaga pariwisata seperti dideskripsikan pada model di atas. Dengan adanya lembaga pariwisata berbasis kultural, masyarakat lokal tidak akan merasa canggung karena karakter kelembagaannya yang terbuka dan cair. Di lembaga ini, masyarakat lokal akan berlajar menyesuaikan habitusnya dengan habitus pariwisata. Dengan masifnya masyarakat lokal untuk terlibat dalam pariwisata akan menjadikan ranah pariwisata menjadi salah satu ranah utama dalam ruang sosial Desa Pakraman Pinge.

6. Pihak eksternal

Peran agen ini juga tidak bisa dinafikkan, karena dengan adanya pihak eksternal masuk dalam ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge menjadikan


(6)

fenomena pariwisata terjadi. Dalam konteks kajian tentang modal, aspirasi pihak eksternal ini menjadi penting karena membawa modal dalam pariwisata, yaitu modal ekonomi. Jenis modal inilah yang selama ini menjadi target para aktor untuk diakumulasi dan diperjuangkan dalam ranah. Dalam kasus pariwisata di Desa Pakraman Pinge, dengan adanya inklusivitas elit dan pelembagaan pariwisata berbasis kultural, diharapkan masyarakat lokal sebagai penyelenggara pariwisata mampu melakukan pertukaran modal yang dimilikinya (sosial, budaya, simbolik) dengan modal ekonomi yang dimiliki pihak eksternal. Dalam konteks desa wisata sebagai praktik sosial, akan terjadi proses pertukaran modal. Wisatawan yang difasilitasi biro perjalanan atau pihak lain akan menukar modal ekonomi melalui pembelanjaannya untuk mendapat modal sosial, budaya, dan simbolik yang terdapat dalam produk pariwisata yang ditawarkan masyarakat lokal. Selain wisatawan, biro perjalanan, dan pemandu wisata, pihak eksternal lainnya yang cukup penting dalam model penyelenggaraan Desa Wisata Pinge adalah birokrasi pemerintah, perguruan tinggi, dan media massa. Pihak-pihak eksternal ini bersifat supporting dan memiliki jenis modal spesifik yaitu modal budaya dan sosial. Modal budaya dimiliki institusi perguruan tinggi karena reputasi keilmuan yang dimilikinya dan memiliki gelar akademis formal. Sedangkan modal sosial yang berupa jaringan-jaringan sosial yang luas, dimiliki oleh birokrasi pemerintah dan media massa. Para agen eksternal yang memiliki pengetahuan dan jaringan ini penting untuk dimasukkan ke dalam model yang dirancang ini, sebagai tambahan amunisi modal pariwisata bagi masyarakat lokal. Para pihak eksternal selama ini difasilitasi dalam berhubungan dengan masyarakat lokal oleh para elit. Ketika inklusivitas elit pariwisata di Desa Pakraman Pinge dapat dikreasi dengan munculnya lembaga pariwisata berbasis kultural, diharapkan lembaga inilah yang menjadi fasilitator interaksi masyarakat lokal dengan pihak eksternal tersebut.