Pelembagaan Pariwisata Berbasis Kultural

35 bersama pariwisata. Lembaga yang diciptakan ini tidak bersifat ahistoris dan bersumber dari pihak eksternal sehingga masyarakat lokal sulit menerimanya. Dalam istilah Bourdieu akan terjadi apa yang disebut sebagai hysteresis, ketidakmampuan aktor dalam menjalankan praktik sosial karena habitus yang dimiliki selama ini tidak mampu memfasilitasi kesesuaian antara kesadaran para aktor dan realitas sosialnya. Lewat proses pelembagaan inilah diharapkan terjadi penyesuaian habitus para aktor dengan realitas pariwisata yang berlangsung di wilayahnya. Dalam konteks pariwisata di Desa Pakraman Pinge, masih diperlukan pelembagaan karena terbukti lembaga pariwisata yang telah ada selama ini bersifat ahistoris dan elitis. Ahistoris karena lembaga pariwisata tersebut hanyalah formalitas dan ada karena tuntutan pihak eksternal terutama pemerintah guna memudahkan dalam pencapaian tujuan. Sehingga dibutuhkan lembaga yang bersifat historis, ada dan dikenali dalam bingkai intepretasi masyarakat lokal. Dengan demikian lembaga ini akan mengakar kuat dalam konteks pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Lembaga yang akan dikonstruksi diharapkan mampu mereposisi para aktor pariwisata di Desa Pakraman Pinge, terutama dalam menciptakan transformasi dari elit personal menjadi elit institusional inklusivitas elit. Transformasi ini merupakan kata kunci dari perencanaan dan pengembangan destinasi pariwisata perdesaan di Desa Pakraman Pinge. Penelitian ini menunjukkan bahwa pada tahap embriotik peran elit sangatlah dominan dalam perencanaan dan pengembangan destinasi pariwisata perdesaan. Dalam perspektif strukturalisme, hal ini terjadi karena para elitlah yang memiliki modal relatif lengkap. Dengan kelengkapan jenis modal ini, elit dapat menjadi aktor penting sebagai penghubung dengan pihak eksternal pariwisata. Pihak eksternal sendiri akan lebih nyaman ketika berhubugan dengan para elit ini. Ini disebabkan karena para elit relatif memiliki habitus yang sama dan trayektorinya relatif berada atau pernah pada domain yang terkait dengan pariwisata. Pihak eksternal dengan habitus pariwisatanya tidak akan dapat langsung ”tune-in” dengan ruang sosial Desa Pakraman Pinge, sehingga peran elit dalam memfasilitasi menjadi sangatlah penting. Namun, seperti yang telah 36 dideskripsikan sebelumnya, peran elit selain sebagai motor penggerak pariwisata, juga sebagai penghambat bagi keberlanjutan pariwisata karena membatasi partisipasi masyarakat lokal. Masyarakat lokal dapat dikatakan tersingkir dalam ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge karena relatif tidak memiliki bekal modal untuk dipertukarkan dengan modal yang ada dalam pariwisata. Hal inilah yang menjadikan pentingnya arti lembaga pariwisata yang mampu menguatkan kapasitas masyarakat lokal dan menjadikan dominasi elit personal dapat diminimalisasi. Kelembagaan pariwisata menjadi penting karena dua hal : 1. Ruang para aktor memperjuangkan kesejahteraan Ruang di sini dimaknai sebagai kontainer yang mewadahi pertemuan baik fisik maupun pemikiran wacana. Semacam forum yang akan mengatasi hambatan-hambatan komunikasi di antara para aktor dan tempat bagi permikiran yang konstruktif dalam memproduksi kesepakatan mengenai pariwisata yang dikembangkan di Desa Pakraman Pinge. Di ruang inilah para elit akan berbagai pengetahuan dan jaringan pariwisata yang telah dimilikinya dengan tujuan untuk lebih memperkuat posisi Desa Wisata Pinge, yang pada akhirnya akan terbentuk kekuatan kolektif pada level strategis. Terciptanya lembaga pariwisata ini akan memutus mata rantai siasat karena praktik pariwisata secara personal akan tidak memadai lagi. Pada akhirnya akan tercapai berbagai manfaat pariwisata berupa kesejahteraan masyarakat lokal dengan mengoptimalkan modal kolektif yang dimiliki guna ditukarkan dengan modal pihak eksternal. 2. Fasilitator bagi pertukaran modal pariwisata secara fair Lembaga ini akan merancang seperangkat aturan yang akan menjadi pemandu para aktor dalam penyelenggaraan Desa Wisata Pinge. Para aktor pariwisata di Desa Pakraman Pinge akan saling berbagi modal yang dimiliki dan secara kolektif akan mengoptimalisasi sumber daya atau modal pariwisata untuk dipertukarkan secara maksimal dengan modal ekonomi yang dibawa pihak eksternal. Dalam konteks ini, lembaga pariwisata akan menjadi fasilitator bagi pertukaran modal pariwisata yang adil. 37

5.5. Model

Setelah dua aspek penting dalam menggerakkan Desa Wisata Pinge teridentifikasi yaitu elit pariwisata dan pelembagaan pariwisata, selanjutnya perlu dianalisis mengenai jenis kelembagaan yang ideal. Lembaga pariwisata berbasis kultural menjadi penting karena merupakan proses negosiasi masyarakat lokal secara historis dirasakan dan dihayati secara langsung terhadap pariwisata yang berlangsung selama ini di Desa Pakraman Pinge. Rumusan model dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Desa wisata sebagai ranah pariwisata Desa Pakraman Pinge sebagai desa wisata jika dikaji menggunakan konsepsi ranah mengandung arti sebagai sebuah domain tempat para aktor pariwisata berkumpul untuk memperjuangkan modal yang diberikan oleh pariwisata Modal yang dimaksudkan adalah modal ekonomi, sosial, budaya, dan simbolik. Fase embriotik perkembangan destinasi pariwisata perdesaan Elit pariwisata Inklusifitas elit Pelembagaan pariwisata berbasis kultural Masyarakat lokal Integrasi masyarakat lokal dalam perencanaan destinasi pariwisata perdesaan Pihak eksternal: biro perjalanan wisata, asosiasi pariwisata, perguruan tinggi, dan wisatawan DESA WISATA Gambar 3. Model Integrasi Masyarakat Lokal dalam Pariwisata Perdesaan 38 2. Fase embriotik Pariwisata di Desa Pakraman Pinge dapat dikatakan masih berada dalam tahap awal perkembangan atau fase embriotik. Penekanan pada fase ini karena meskipun telah ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Tabanan sebagai desa wisata pada tahun 2004, namun pengembangan pariwisatanya baru mendapatkan perhatian mulai tahun 2011. Adanya kevakuman selama kurang lebih tujuh tahun disebabkan oleh ketidaksiapan masyarakat lokal untuk menindaklanjuti penetapan tersebut dan ketergantungan masyarakat lokal terhadap program pemerintah. 3. Elit pariwisata Variabel elit ini sangat penting dalam fase embriotik pariwisata di Desa Pakraman Pinge karena perannya sebagai motor penggerak sekaligus juga sebagai penghambat perkembangan pariwisata. Ada dua tipologi elit pariwisata Pinge, yaitu elit eksklusif dan elit inklusif. Aktor jenis ini perlu dilibatkan dalam penyelenggaraan desa wisata karena perannya sebagai penggerak pariwisata dengan posisi sebagai penghubung antara masyarakat lokal dengan pihak eksternal pariwisata karena habitus pariwisata yang telah dimilikinya berdasarkan trayektori sebelumnya. Tetapi perlu memutus peran para aktor ini sebagai penghambat pariwisata Pinge untuk menuju tahapan pasca fase embriotik. Dapat disebutkan bahwa jika tidak ditemukan formulasi yang tepat dan juga terjadi pembiaran praktik pariwisata di Desa Pakraman Pinge yang elitis, akan terjadi quo vadis perkembangan pariwisata atau akan mandeg di tahapan embriotik. 4. Lembaga pariwisata berbasis kultural Dengan lembaga ini diharapkan terjadi apa yang disebut sebagai inklusivitas elit. Dalam perkembangannya, siasat personal pariwisata akan tidak memadai lagi dalam rangka optimalisasi modal pariwisata yang bisa diakumulasi. Diperlukan strategi kolektif masyarakat lokal dalam penyelenggaraan pariwisata di Desa Pakraman Pinge, sehingga dapat diperoleh manfaatnya dengan proses transaksi modal secara adil. Lembaga inilah yang akan menciptakan regulasitata aturan yang mengikat aktor dan kelompok aktor