Model HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Temuan Penelitian Sebelumnya

38 2. Fase embriotik Pariwisata di Desa Pakraman Pinge dapat dikatakan masih berada dalam tahap awal perkembangan atau fase embriotik. Penekanan pada fase ini karena meskipun telah ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Tabanan sebagai desa wisata pada tahun 2004, namun pengembangan pariwisatanya baru mendapatkan perhatian mulai tahun 2011. Adanya kevakuman selama kurang lebih tujuh tahun disebabkan oleh ketidaksiapan masyarakat lokal untuk menindaklanjuti penetapan tersebut dan ketergantungan masyarakat lokal terhadap program pemerintah. 3. Elit pariwisata Variabel elit ini sangat penting dalam fase embriotik pariwisata di Desa Pakraman Pinge karena perannya sebagai motor penggerak sekaligus juga sebagai penghambat perkembangan pariwisata. Ada dua tipologi elit pariwisata Pinge, yaitu elit eksklusif dan elit inklusif. Aktor jenis ini perlu dilibatkan dalam penyelenggaraan desa wisata karena perannya sebagai penggerak pariwisata dengan posisi sebagai penghubung antara masyarakat lokal dengan pihak eksternal pariwisata karena habitus pariwisata yang telah dimilikinya berdasarkan trayektori sebelumnya. Tetapi perlu memutus peran para aktor ini sebagai penghambat pariwisata Pinge untuk menuju tahapan pasca fase embriotik. Dapat disebutkan bahwa jika tidak ditemukan formulasi yang tepat dan juga terjadi pembiaran praktik pariwisata di Desa Pakraman Pinge yang elitis, akan terjadi quo vadis perkembangan pariwisata atau akan mandeg di tahapan embriotik. 4. Lembaga pariwisata berbasis kultural Dengan lembaga ini diharapkan terjadi apa yang disebut sebagai inklusivitas elit. Dalam perkembangannya, siasat personal pariwisata akan tidak memadai lagi dalam rangka optimalisasi modal pariwisata yang bisa diakumulasi. Diperlukan strategi kolektif masyarakat lokal dalam penyelenggaraan pariwisata di Desa Pakraman Pinge, sehingga dapat diperoleh manfaatnya dengan proses transaksi modal secara adil. Lembaga inilah yang akan menciptakan regulasitata aturan yang mengikat aktor dan kelompok aktor 39 pariwisata. Lembaga pariwisata yang direkomendasikan adalah berada dalam struktuk Desa Pakraman Pinge, dengan catatan pengurus desa adat berposisi sebagai komisaris dan pengawas, tidak terlibat langsung secara manajerial pada perkembangan pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Hal ini untuk menjaga sakralitas lembaga desa adat agar tidak mengurusi hal-hal sekuler, dan menjaga kehormatan para pengurusnya. Lembaga pariwisata dapat didorong untuk menjadi semacam sekehe, sejajar dengan sekehe lainnya dan bersifat koordinatif dengan sekehe lainnya. Dapat dikatakan bahwa lembaga pariwisata di Desa Pakraman Pinge yang berposisi sebagai sekehe telah dikenali dalam bingkai pemaknaan masyarakat lokal, guna memutus pelembagaan yang ahistoris dipaksakan dari luar. Hal ini akan mempercepat strukturasi pelembagaan pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Strukturasi yang dimaksud adalah proses membingkai desa wisata sebagai tata aturan ditingkatan pemaknaan dan lewat bingkai intepretasi tersebut akan memandu masyarakat lokal dalam menjalankan praktik sosial keseharian. Ketika dipraktikkan secara terus-menerus dengan pola yang ajeg akan menjadi habitus baru atau kesadaran praktis. Lewat terminologi sekehe, masyarakat lokal telah memiliki habitus yang mampu mengenali dan menjalankan interaksi sosial berbasis sekehe. Makna strategis lembaga pariwisata dengan karakter kultural juga ada dalam konteks mendorong inklusivitas elit. Institusi sekehe yang kental aroma kulturalnya akan mengurangi efek formalitas yang umumnya ada pada lembaga modern. Semua yang tergabung dalam lembaga berbasis sekehe akan lebih akrab dan saling bertukar ide serta gagasan dalam suasana yang cair dengan tetap saling menghormati tetapi bukan dalam tata relasi atasan-bawahan melainkan pertemanan. Di titik inilah para elit akan berada dalam bingkai relasi kultural dan kapasitas serta pengalaman tentang pariwisata dapat di-share kepada masyarakat lokal yang memilih bergabung dalam mengelola desa wisata. Tipologi elit akan mencair dari dualisme ekslusif-inklusif menjadi dualitas inklusif. Tata relasi interaksi sosial berbasis elitis eksklusif akan ditinggalkan, karena tidak ada tempat dalam bingkai kelembagaan kultural pariwisata berbasis sekehe. Inilah yang dimaksud 40 sebagai inklusivitas elit pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Elit tetap penting dalam praktik Desa Wisata Pinge dan lewat inklusivitas elit akan dimaksimalkan peran elit sebagai motor penggerak pariwisata dan menghilangkan peran sebagai penghambat pariwisata seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. 5. Partisipasi masyarakat lokal Dengan terlibatnya masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan dan pembagian manfaat pariwisata, menjadikan masyarakat merasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Desa Wisata Pinge. Dengan adanya partisipasi ini, masyarakat lokal akan menganggap pariwisata sebagai sarana memperoleh tambahan penghasilan, dengan tidak meninggalkan basis pekerjaan sebelumnya. Masyarakat lokal yang ingin terlibat dalam penyelenggaraan pariwisata dapat bergabung dengan lembaga pariwisata seperti dideskripsikan pada model di atas. Dengan adanya lembaga pariwisata berbasis kultural, masyarakat lokal tidak akan merasa canggung karena karakter kelembagaannya yang terbuka dan cair. Di lembaga ini, masyarakat lokal akan berlajar menyesuaikan habitusnya dengan habitus pariwisata. Dengan masifnya masyarakat lokal untuk terlibat dalam pariwisata akan menjadikan ranah pariwisata menjadi salah satu ranah utama dalam ruang sosial Desa Pakraman Pinge. 6. Pihak eksternal Peran agen ini juga tidak bisa dinafikkan, karena dengan adanya pihak eksternal masuk dalam ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge menjadikan fenomena pariwisata terjadi. Dalam konteks kajian tentang modal, aspirasi pihak eksternal ini menjadi penting karena membawa modal dalam pariwisata, yaitu modal ekonomi. Jenis modal inilah yang selama ini menjadi target para aktor untuk diakumulasi dan diperjuangkan dalam ranah. Dalam kasus pariwisata di Desa Pakraman Pinge, dengan adanya inklusivitas elit dan pelembagaan pariwisata berbasis kultural, diharapkan masyarakat lokal sebagai penyelenggara pariwisata mampu melakukan pertukaran modal yang dimilikinya sosial, budaya, simbolik dengan modal ekonomi yang dimiliki 41 pihak eksternal. Dalam konteks desa wisata sebagai praktik sosial, akan terjadi proses pertukaran modal. Wisatawan yang difasilitasi biro perjalanan atau pihak lain akan menukar modal ekonomi melalui pembelanjaannya untuk mendapat modal sosial, budaya, dan simbolik yang terdapat dalam produk pariwisata yang ditawarkan masyarakat lokal. Selain wisatawan, biro perjalanan, dan pemandu wisata, pihak eksternal lainnya yang cukup penting dalam model penyelenggaraan Desa Wisata Pinge adalah birokrasi pemerintah, perguruan tinggi, dan media massa. Pihak-pihak eksternal ini bersifat supporting dan memiliki jenis modal spesifik yaitu modal budaya dan sosial. Modal budaya dimiliki institusi perguruan tinggi karena reputasi keilmuan yang dimilikinya dan memiliki gelar akademis formal. Sedangkan modal sosial yang berupa jaringan-jaringan sosial yang luas, dimiliki oleh birokrasi pemerintah dan media massa. Para agen eksternal yang memiliki pengetahuan dan jaringan ini penting untuk dimasukkan ke dalam model yang dirancang ini, sebagai tambahan amunisi modal pariwisata bagi masyarakat lokal. Para pihak eksternal selama ini difasilitasi dalam berhubungan dengan masyarakat lokal oleh para elit. Ketika inklusivitas elit pariwisata di Desa Pakraman Pinge dapat dikreasi dengan munculnya lembaga pariwisata berbasis kultural, diharapkan lembaga inilah yang menjadi fasilitator interaksi masyarakat lokal dengan pihak eksternal tersebut. 42

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN

Dapat disimpulkan bahwa model integrasi masyarakat lokal dalam perencanaan destinasi pariwisata perdesaan dalam kasus di Desa Pakraman Pinge adalah pelembagaan pariwisata berbasis kultural. Disebut pelembagaan karena adanya proses untuk membangun suatu intitusi pariwisata yang merupakan ruang bagi titik temu dari aktivitas masyarakat yang memiliki kepentingan dan kepedulian terhadap pariwisata. Berbasis kultural, karena lembaga tersebut diupayakan untuk tidak bersifat eksternal dan eksklusif. Bersifat eksternal berarti lembaga tersebut seolah berasal dari luar dan terlepas dari kerangka pemahaman serta pemaknaan budaya masyarakat lokal. Sedangkan eksklusif mengandung makna, ketika lembaga tersebut hanya dimiliki dan dimengerti oleh sebagian kecil masyarakat yaitu elit inklusif dan eksklusif. Dengan kata lain, lembaga ini akan menaungi praktik pariwisata perdesaan yang menawarkan produk pariwisata berbasis rutinitas kehidupan masyarakat perdesaan Bali dengan bahasa dan ritme aktivitas yang dimengerti masyarakat lokal. Dengan demikian dibutuhkan lembaga pariwisata yang bersifat internal dan inklusif sesuai dengan kultur masyarakat lokal. Ini dimaksudkan agar masyarakat lokal dapat berpartisipasi dalam praktik pariwisata perdesaan. Keterlibatan mereka dalam pengambilan keputusan dan pembagian manfaat pariwisata, dimungkinkan jika kedua aktivitas tersebut terselenggara dalam payung lembaga yang menyediakan ruang negosiasi yang sehat bagi pemangku kepentingan pariwisata perdesaan. Lembaga tersebut menjadi strategis bagi ruang pembelajaran masyarakat dan dapur bagi produksi kebijakan pariwisata yang diciptakan masyarakat lokal secara kolektif. 43 DAFTAR PUSTAKA Barker, Chris, 2004, Cultural Studies; Teori Praktek, Kreasi Wacana, DIY Briedenhann, J. Wickens, E., 2004, Rural Tourism-Meeting the Challenges of the New South Africa, International Journal of Tourism Research, 6: 189- 203. Campbell, 1999, Ecotourism in Rural Developing Communities, Annals of Tourism Research, 26: 534-553 Davidson, Rob and Maitland, Robert, 1997, Tourism Destinations, Hodder Stoughton, London Dogra, Ravinder and Gupta, Anil, 2012, Barriers to Community Participation in Tourism Development: Empirical Evidence from a Rural Destination, South Asian Journal of Tourism and Heritage, 5: 131-142 Fashri, Fauzi. 2104. Pierre Bourdieu; Menyingkap Kuasa Simbol. Yogyakarta: Jalasutra. Garrod, B., Wilson, J.C., and Bruce, D.B., 2001, Planning for Marine Ecotourism in the EU Atlantic Area: Good Practice Guidelines, Project Report, University of the West of England, Bristol Gunn, Clare A., 1994, Tourism Planning; Basics, Concepts, Cases, Taylor Francis, USA Inskeep, E., 1991, Tourism Planning: An Integrated and Sustainable Development Approach, Van Nostrand Reinhold, USA Jenkins, C. L., 1982, The Effects Of Scale In Tourism Projects In Developing Countries, Annals of Tourism Research, 9: 229-249 Lane, B., 1994. What is rural tourism?, Journal of Sustainable Tourism, 2: 7-21. Leslie, David, 2012, Responsible Tourism; Concepts, Theory and Practice, CABI, UK Mowforth, Martin and Munt, Ian, 1998, Tourism and Sustainability; New Tourism in the Third World, Routledge, New York Murphy, Peter E., 1985, Tourism A Community Approach, Methuen, New York Page, S. J. Getz, D. Eds., 1997, The business of rural tourism: international perspectives, International Thomson Business Press, London, Boston.