Transformasi Elit Personal Menuju Elit Institusional

31 utama dalam konteks kemajuan pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Realitas historis perkembangan pariwisata di Desa Pakraman Pinge pasca ditetapkan sebagai desa wisata adalah realitas ”pertempuran” elit untuk menguatkan pengaruhnya dalam ranah pariwisata. Masing-masing elit berupaya mambangun kekuatan dan kelompok kekuatan dalam rangka membingkai desa wisata versi para elit tersebut. Dalam persaingan antar para elit ini, lembaga pariwisata formal yang ada seperti Kelompok Sadar Wisata Desa Pinge dan Badan Pengelola Desa Wisata Pinge dijadikan ajang unjuk kekuatan kelompok elit ini. Terjadi tata relasi kontra produktif dalam ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge, ketika elit terlalu mendominasi dan masyarakat lokal hanya terbawa arus dalam tarik-menarik kekuatan elit tersebut. Masyarakat lokal menjadi disorientasi dan menjadi tidak termotivasi dalam merencanakan dan mengembangkan destinasi pariwisata perdesaan. Perlawanan masyarakat lokal bukannya tidak ada, yang ditunjukkan dengan membangun kelompok sendiri terpisah dari pusaran elitis yang ada. Namun faktanya, perlawanan dalam bentuk penyediaan fasilitas akomodasi yang diupayakan relatif gagal, ketika sepi peminat. Wisatawan baik personal maupun yang difasilitasi biro perjalanan terbukti lebih memilih akomodasi yang disediakan elit, karena lebih baik dan memadai. 2. Desa Pakraman Pinge sebagai destinasi pariwisata perdesaan Desa Pakraman Pinge sebagai destinasi pariwisata perdesaan jika dikaji menggunakan konsepsi ranah mengandung arti sebagai sebuah domain tempat para aktor pariwisata berkumpul untuk memperjuangkan modal ekonomi, sosial, budaya, dan simbolik dalam pariwisata. Untuk memperolehnya, para aktor harus memiliki kepekaan khas tentang aturan main pariwisata. Kepekaan khas ini, pada akhirnya disebut sebagai habitus pariwisata. Berbekal habitus pariwisata inilah, para aktor akan mengakumulasi modal dalam ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Akan tetapi, tidak semua aktor memiliki kemampuan yang sama dalam perencanaan dan pengembangan pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Hanya 32 segelintir aktor yaitu elit yang memiliki kapasitas merencanakan dan mengembangkan desa wisata. Keadaan ini yang menyebabkan mulai dari tahap awal perkembangan Desa Wisata Pinge fase embriotik sampai saat ini telah terjadi dominasi elit. Hal ini bisa dimengerti karena para elit inilah yang memiliki habitus pariwisata berdasarkan trayektori sebelumnya, yang memiliki lintasan ranah beragam sebelum pulang kembali dan menetap di kampung halamannya kini. Ini berarti ketika Desa Pakraman Pinge ditetapkan sebagai desa wisata, para elit ini dapat dikatakan telah memiliki modal, yaitu modal budaya, sosial, serta simbolik. Dengan ketiga jenis modal yang dimilikinya tersebut, menjadikan mereka berada di posisi strategis dalam ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Fakta lain menunjukkan bahwa walaupun para elit ini berada pada posisi yang dominan dalam ranah Pariwisata di Desa Pakraman Pinge, namun para elit tersebut juga terbukti tidak mampu memaksimalkan modal yang dimilikinya untuk dapat dipertukarkan dengan modal ekonomi. Hal ini dikarenakan Desa Pakraman Pinge masih merupakan sebuah ruang sosial daripada dipandang sebagai ranah pariwisata. 3. Aspirasi para aktor Aktor dan kelompok aktor dalam ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge, selain para elit eksklusif dan inklusif, juga teridentifikasi adanya pengurus desa adat, krama subak, dan kelompok-kelompok sosial berbasis ketrampilan dan hobi lainnya sekehe. Dapat dikatakan para aktor dan kelompok aktor di luar elit ini masih beraktivitas dalam ruang sosial Desa Pakraman Pinge, belum melakukan interaksi sosial berbasis ranah pariwisata. Belum terintegrasinya para aktor potensial sebagai stakeholders pariwisata Pinge ini menjadikan belum terselenggaranya Desa Wisata Pinge secara produktif. Para aktor lainnya masih dengan urusannya masing-masing dan memandang pariwisata sebagai urusannya para elit. Hanya segelintir kelompok non-elit yang mencoba mencari peruntungan di bidang pariwisata dengan menyediakan akomodasi pariwisata dengan memanfaatkan beberapa 33 kamar di rumahnya sebagai homestay. Akan tetapi kemudian kalah bersaing dengan akomodasi yang disediakan para elit. Dapat dikatakan bahwa para aktor Pinge masih menjalankan siasatnya masing-masing. Belum berhimpun secara sinergis untuk menyelenggarakan Desa Wisata Pinge. Di level siasat, aktivitas yang dilakukan adalah untuk kepentingan diri dan kelompoknya saja. Sehingga para aktor menjalankan rutinitas keseharian mereka dalam ruang sosial Desa Pakraman Pinge. Tidak ada upaya untuk mengintegrasikan aktivitas sosial lainnya ke dalam ranah pariwisata dalam bentuk desa wisata. Sedangkan para elit sendiri karena terpolarisasi menjadi dua kutub kekuatan antara elit eksklusif dan inklusif, juga menjalankan siasatnya masing-masing. Walaupun untuk tipologi elit inklusif lebih memiliki keinginan untuk berbagi, baik pengetahuan maupun keuntungan pariwisata dengan masyarakat lokal, tetapi juga tidak bisa lepas dari perangkap logika siasat. Siasat yang dilakukan elit inklusif terutama dalam menghadapi ”serangan” elit eksklusif di beberapa momentum ketika harus berhadapan di forum-forum baik formal maupun informal di Desa Pakraman Pinge. Sementara elit eksklusif menjalankan siasat dalam rangka mempertahankan relasi dominatifnya dengan masyarakat lokal. 4. Strategi kolektif para aktor Dengan kondisi seperti yang telah dideskripsikan tersebut, dapat dipahami mengapa Desa Wisata Pinge seperti jalan ditempat, tidak ada kemajuan yang berarti dalam konteks memberi kesejahteraan bagi masyarakatnya. Keadaan Quo vadis mandeg penyelenggaraan pariwisata di Desa Pakraman Pinge dikarenakan belum terciptanya habitus pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Untuk itu diperlukan upaya agar tercipta ranah pariwisata berbasis desa wisata di Desa Pakraman Pinge. a. Pemaknaan Desa Wisata Pinge sebagai sebuah ranah pariwisata Desa Wisata Pinge harus dipandang sebagai ranah yang memberikan kesempatan bagi semua aktor terutama masyarakat lokal agar mendapatkan manfaat pariwisata. Dalam konteks ini, masyarakat lokal 34 mampu memperoleh modal ekonomi yang dibawa wisatawan, mendapatkan modal sosial dengan terbukanya jaringan sosial dengan pihak eksternal, modal budaya berupa perbaikan status sosial dan kesempatan berprestasi, dan modal simbolik yang berkaitan dengan kapasitas sebagai penafsir budaya lokal yang legitimit. b. Dari siasat personal menjadi strategi kolektif Ketika Desa Wisata Pinge dimaknai sebagai ranah pariwisata dan para aktor bersepakat untuk bersinergi untuk menyelenggarakan pariwisata berbasis budaya, yang diperlukan adalah memutus mata rantai saling siasat menjadi saling manfaat. Memutus mata rantai tersebut dapat dilakukan dengan cara membangun strategi bersama dalam rangka memperoleh manfaat pariwisata secara adil. c. Pelembagaan pariwisata berbasis kultural Guna menjamin terselenggaranya Desa Wisata Pinge yang dapat memberikan berbagai kontribusi atau manfaat terutama bagi masyarakat lokal, dibutuhkan kelembagaan pariwisata. Lembaga tersebut merupakan wadah kegiatan bersama bagi masyarakat lokal. Idealnya wadah yang dibangun merupakan lembaga berbasis kultural yang ada di Desa Pakraman Pinge.

5.4. Pelembagaan Pariwisata Berbasis Kultural

Setelah mengetahui peran dan posisi elit dalam ranah pariwisata, hal penting berikutnya adalah merekonstruksi kelembagaan pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Dikatakan rekonstruksi konstruksi kembali karena saat ini telah ada lembaga pariwisata. Akan tetapi lembaga ini lebih bersifat formalitas belaka karena hanya sekedar pelengkap sebagai konsekuensi dari penetapan Desa Pakraman Pinge sebagai desa wisata. Di lembaga formalitas ini terlihat dominasi elit dan mengikis potensi mayoritas masyarakat lokal untuk terlibat dalam perencanaan dan pengembangan destinasi pariwisata perdesaan. Pelembagaan pariwisata dalam konteks ini dimaksudkan sebagai proses kreasi para aktor pariwisata di Desa Pakraman Pinge dalam mengkonstruksi ruang 35 bersama pariwisata. Lembaga yang diciptakan ini tidak bersifat ahistoris dan bersumber dari pihak eksternal sehingga masyarakat lokal sulit menerimanya. Dalam istilah Bourdieu akan terjadi apa yang disebut sebagai hysteresis, ketidakmampuan aktor dalam menjalankan praktik sosial karena habitus yang dimiliki selama ini tidak mampu memfasilitasi kesesuaian antara kesadaran para aktor dan realitas sosialnya. Lewat proses pelembagaan inilah diharapkan terjadi penyesuaian habitus para aktor dengan realitas pariwisata yang berlangsung di wilayahnya. Dalam konteks pariwisata di Desa Pakraman Pinge, masih diperlukan pelembagaan karena terbukti lembaga pariwisata yang telah ada selama ini bersifat ahistoris dan elitis. Ahistoris karena lembaga pariwisata tersebut hanyalah formalitas dan ada karena tuntutan pihak eksternal terutama pemerintah guna memudahkan dalam pencapaian tujuan. Sehingga dibutuhkan lembaga yang bersifat historis, ada dan dikenali dalam bingkai intepretasi masyarakat lokal. Dengan demikian lembaga ini akan mengakar kuat dalam konteks pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Lembaga yang akan dikonstruksi diharapkan mampu mereposisi para aktor pariwisata di Desa Pakraman Pinge, terutama dalam menciptakan transformasi dari elit personal menjadi elit institusional inklusivitas elit. Transformasi ini merupakan kata kunci dari perencanaan dan pengembangan destinasi pariwisata perdesaan di Desa Pakraman Pinge. Penelitian ini menunjukkan bahwa pada tahap embriotik peran elit sangatlah dominan dalam perencanaan dan pengembangan destinasi pariwisata perdesaan. Dalam perspektif strukturalisme, hal ini terjadi karena para elitlah yang memiliki modal relatif lengkap. Dengan kelengkapan jenis modal ini, elit dapat menjadi aktor penting sebagai penghubung dengan pihak eksternal pariwisata. Pihak eksternal sendiri akan lebih nyaman ketika berhubugan dengan para elit ini. Ini disebabkan karena para elit relatif memiliki habitus yang sama dan trayektorinya relatif berada atau pernah pada domain yang terkait dengan pariwisata. Pihak eksternal dengan habitus pariwisatanya tidak akan dapat langsung ”tune-in” dengan ruang sosial Desa Pakraman Pinge, sehingga peran elit dalam memfasilitasi menjadi sangatlah penting. Namun, seperti yang telah