UPAYA PENANGGULANGAN PENGEMUDI YANG MENYALAHGUNAKAN TELEPON GENGGAM SAAT BERKENDARAAN (Studi Kasus di Polresta Bandar Lampung)

(1)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu persoalan yang selalu dihadapi di kota-kota besar adalah masalah lalu lintas. Hal ini terbukti dari adanya indikasi angka-angka kecelakaan lalu lintas yang selalu meningkat. Data Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya menyebutkan sepanjang tahun 2010 terdapat 6.000 kasus kecelakaan, dimana 135 kasus akibat sedang menggunakan ponsel. "Akibat sedang bertelepon, SMS, BBM atau yang lainnya, konsentrasi pengemudi berkurang," ujar Dirlantas Polda Metro, Kombes Pol Royke Lumowa1. Perkembangan lalu-lintas itu sendiri dapat memberi pengaruh, baik yang bersifat negatif maupun yang bersifat positif bagi kehidupan masyarakat.

Lalu lintas dan pemakai jalan memiliki peranan yang sangat penting dan strategis sehingga penyelenggaraannya dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mewujudkan lalu lintas dan pengguna jalan yang selamat, aman, cepat, lancar, tertib, dan teratur. Pembinaan di bidang lalu lintas jalan yang meliputi aspek pengaturan pengendalian, dan pengawasan lalu lintas harus ditujukan untuk keselamatan, keamanan, ketertiban, kelancaran lalu lintas jalan. Sebagaimana diketahui sejumlah kendaraan yang beredar dari tahun ketahun semakin meningkat. Hal ini nampak juga membawa pengaruh terhadap keamanan lalu lintas yang semakin sering terjadi, pelanggaran lalu lintas yang menimbulkan

1

http://www.sby.dnet.net.id/dnews/maret-2011/article-kecelakaan-di-jalan-akibat-ponsel-makin-meningkat-20.html, diakses pada 17 oktober 2012


(2)

kecelakaan lalu lintas dan kemacetan lalu lintas. Kecelakaan lalu lintas disebabkan oleh banyak faktor tidak sekedar oleh pengemudi kendaraan yang buruk, pejalan kaki yang kurang hati-hati, kerusakan kendaraan, rancangan kendaraan cacat pengemudi, rancangan jalan, dan kurang mematuhinya rambu-rambu lalu lintas.

Sebagaimana kita ketahui bahwa penggunaan handphone di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir mengalami peningkatan yang sangat luar biasa. Salah satu provider GSM terbesar di Indonesia mengklaim memiliki pelanggan mencapai 65 juta orang pada akhir tahun 2008 (sekitar 30% jumlah penduduk Indonesia) meningkat hampir 400% dibandingkan jumlah tahun 2004 (16,3juta) dan ini meningkat lebih dari 1500% dibandingkan data tahun 1999 (1 juta pelanggan)

2

. Keadaan ini merupakan salah satu perwujudan dari perkembangan teknologi modern dan hal ini menunjukan bahwa masyarakat indonesia yang konsumtif juga mempengaruhi jumlah kecelakaan yang disebabkan oleh penggunaan telepon genggam saat berkendara.

Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Tifatul Sembiring memimpin apel siaga bersama sejumlah operator dan media massa di halaman kantor Kemenkominfo.

Dalam apel, Menkominfo mensosialisasikan larangan penggunaan telepon seluler saat berkendara3.

Pada saat ini banyak kita jumpai di jalan orang yang menggunakan telepon genggam sambil mengemudi baik berbicara ataupun mengirim pesan singkat. Tidak hanya pengemudi kendaraan roda empat tapi roda dua juga banyak kita lihat melakukan hal yang sama di jalan. Jika melihat dari peraturan perundang-undangan yang berlaku maka hal tersebut telah melanggar

Undang-2

http://ml.scribd.com/doc/46582979/Handphone-dan-Mengemudi diakses 04 september 2012 3

http://www.metrotvnews.com/read/ newsvideo/2012/08/06/156778/Kominfo-Sosialisasikan-Larangan-PenggunaanHP -Saat-Berkendara/6 diakses 04 september 2012


(3)

Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 283 yang menentukan “setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di Jalan secara tidak wajar dan melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah)”.

Selain itu, data yang diperoleh dari Polresta Bandar Lampung terdapat 2 kasus kecelakaan selama bulan september 2012 yang terjadi akibat pengemudi yang menggunakan telepon genggam saat berkendaraan di jalan raya4.

Melihat fakta yang terjadi di Indonesia banyak pengendara kendaraan baik roda dua maupun roda empat mengemudikan kendaraan sambil menelpon maupun mengirimkan pesan singkat. Hampir semua kalangan melakukannya dari orang tua hingga anak muda. Sehingga dalam hal ini peran serta pihak aparat penegak hukum untuk mensosialisasikan dan melakukan penindakan terhadap pengemudi yang menggunakan telepon genggam saat berkendaraan sangat penting, agar masyarakat luas dapat mengetahui secara pasti peraturan tersebut telah berlaku dan memiliki sangsi yang tegas bagi yang melanggarnya. Menurut data dari kepolisian pada mudik tahun 2011 penggunaan telepon genggam saat berkendara menyumbang 2% dari total kecelakaan lalu lintas.

Berdasarkan data diatas, angka kecelakaan lalu lintas cukup tinggi yang dikarenakan pengemudi menggunakan telepon genggam saat mengemudi baik pengemudi roda 2 maupun roda 4. Sehingga perlu dikaji bagaimana penegakan hukum terhadap pengemudi yang menyalahgunakan

4


(4)

telepon genggam saat berkendaraan berdasarkan peraturan yang berlaku yaitu Pasal 283 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang menentukan “setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan secara tidak wajar dan melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah)”.

Berdasarkan ketentuan dan uraian di atas, maka dapat diketahui bahwa mengenai penggunaan telepon genggam saat berkendara sangat berbahaya bagi pengemudi. Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : “Upaya Penanggulangan Pengemudi yang Menyalahgunakan Telepon Genggam saat Berkendaraan”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

1) Bagaimanakah upaya penanggulangan pengemudi yang menggunakan telepon genggam saat berkendaraan?

2) Apakah yang menjadi faktor penghambat upaya penanggulangan terhadap pengemudi yang menyalahgunakan telepon genggam saat berkendaraan?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Agar penelitian dapat lebih terfokus dan terarah sesuai dengan yang penulis maksud, maka sangat penting dijelaskan terlebih dahulu batasan-batasan atau ruang lingkup penelitian. Ruang lingkup penelitian ini adalah ilmu hukum pidana khususnya pada upaya penanggulangan


(5)

pengemudi yang menyalahgunakan telepon genggam saat berkendaraan di Polresta Bandar Lampung.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan pertanyaan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui upaya penanggulangan pengemudi yang menyalahgunakan telepon genggam saat mengemudi kendaraan.

b. Untuk mengetahui faktor penghambat penegakan hukum terhadap pengemudi yang menyalahgunakan telepon genggam saat berkendaraan.

2. Kegunaan penelitian

Adapun yang menjadi kegunaan dalam penelitian penulisan ini adalah : a. Secara Teoretis

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan pengetahuan kepada kalangan akademisi, kalangan yang menggeluti bidang hukum serta masyarakat luas bahwa dalam pelaksanaan atau penerapan suatu peraturan perlu adanya koordinasi dari semua pihak tidak hanya dari kepolisian saja tetapi juga dari seluruh masyarakat guna terpenuhinya masyarakat yang sejahtera.

b. Secara Praktis

Diharapkan hasil penulisan ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak terkait dalam penerapan atau penegakan hukum terhadap peraturan yang berlaku di masyarakat. Sehingga pihak terkait dapat secara penuh melakukan penerapan peraturan tersebut di masyarakat.


(6)

D. Kerangka Teoretis dan Konseptual 1. Kerangka Teoretis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya berguna untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi social yang dianggap relevan oleh peneliti5.

Mengingat penting dan strategisnya peranan lalu-lintas dan angkutan jalan yang menguasai hajat hidup orang banyak, maka lalu-lintas dan angkutan jalan dikuasai oleh negara yang pembinaannya dilakukan oleh pemerintah. Disamping itu dalam rangka pembangunan hukum nasional serta untuk lebih memantapkan perwujudan kepastian hukum, maka lalu-lintas dan angkutan jalan di tanah air diatur dalam suatu undang-undang, yakni Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 pengganti Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU Lalu Lintas).

Upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi menjadi 2 yaitu melalui jalur penal dan melalui jalur non penal6.

a. Sarana Penal

Upaya penal adalah upaya penanggulangan kejahatan yang bersifat represif bagi pelanggar hukum atau pelaku kejahatan. Jadi upaya ini dilakukan setelah kejahatan terjadi.

b. Sarana Non Penal

Upaya non penal adalah upaya penanggulangan kejahatan yang bersifat preventif, yaitu upaya-upaya pencegahan terhadap kemungkinan kejahatan yang dilaksanakan sebelum terjadi kejahatan. Meskipun demikian apabila pencegahan diartikan secara luas maka 5

Soerjono Soekanto. 1986.Pengantar Penelitian Hukum. UI Pers. Jakarta. Hal. 124

6


(7)

tindakan represif yang berupa pemberian pidana terhadap pelaku kejahatan dapatlah dimaksukkan kedalamnya, sebab pemberian pidana juga dimaksudkan agar orang yang bersangkutan dan masyarakat pada umumnya tidak melakukan tindak pidana.

Menurut Soerjono Soekanto ada lima faktor yang mempengaruhi upaya penegakan hukum, lima faktor tersebut adalah7:

1. Faktor Undang-Undang

Undang-undang dalam arti material adalah peraturan tertulis yang berlaku umum

dan dibuat oleh Penguasa Pusat maupun Daerah yang sah. Mengenai berlakunya Undang-undang tersebut, terdapat beberapa asas yang tujuannya adalah agar Undang-Undang-undang tersebut mempunyai dampak yang positif. Asas-asas tersebut antara lain :

a. Undang-undang tidak berlaku surut.

b. Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.

c. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan Undang-undang yang bersifat umum, apabila pembuatannya sama.

d. Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan Undang-undang yang berlaku terdahulu.

e. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat.

2. Faktor Penegak Hukum

Negara hukum yang hanya dikonstruksikan sebagai bangunan hukum perlu dijadikan lebih lengkap dan utuh, dalam hal perlu dijadikannya memiliki struktur politik pula. Hukum hanya merupakan sebuah teks mati jika tidak ada lembaga yang menegakkannya. Oleh karena itu, 7


(8)

dibentuklah penegak hukum yang bertugaskan untuk menerapkan hukum. Dalam pelaksanaannya, hukum dapat dipaksakan daya berlakunya oleh aparatur negara untuk menciptakan masyarakat yang damai, tertib dan adil. Terhadap perilaku manusia, hukum menuntut manusia supaya melakukan perbuatan yang lahir, sehingga manusia terikat pada norma-norma hukum yang berlaku dalam masyarakat negara.

3. Faktor Sarana dan Fasilitas Dalam Penegakkan Hukum

Tindak pidana pencurian kendaraan bermotor tidak lagi dilakukan perseorangan, melainkan melibatkan orang yang secara bersama-sama, bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional maupun internasional. Ada bebrapa kendala dalam menanggulangi tindak pidana pencurian kendaraan bermotor, salah satunya adalah keterbatasan dan operasional dalam melaksanakan penyidikan.

4. Faktor Masyarakat

Upaya pembangunan tatanan hukum paling tidak didasarkan atas tiga alasan, pertama sebagai pelayan bagi masyarakat, karena hukum itu tidak berada pada kevakuman, maka hukum harus senantiasa disesuaikan dengan perkembangan masyarakat yang dilayaninya juga senantiasa berkembang. Kedua, sebagai alat pendorong kemajuan masyarakat. Ketiga, karena secara realistis di Indonesia saat ini fungsi hukum tidak bekerja efektif, sering dimanipulasi, bahkan jadi alat bagi penimbunan kekuasaan. Masyarakat merupakan poin penting dari penanggulangan pencurian kendaraan bermotor. Hukum mengikat bukan karena negara menghendakinya, melainkan karena merupakan perumusan dari kesadaran hukum masyarakat.


(9)

Selanjutnya beliau berpendapat bahwa kesadaran hukum yang dimaksud berpangkal pada perasaan hukum setiap individu yaitu perasaan bagaimana seharusnya hukum itu, hal ini sesuai dengan pendapat Stammler yang menyatakan bahwa law clearly is volition sehingga penerapan hukum terindikasi dari kemauan masyarakat untuk melaksanakannya. Dapat dikatakan budaya hukum akan mempengaruhi penolakan dan penerimaan masyarakat terhadap suatu peraturan hukum. Hal ini penting diperhatikan karena suatu peraturan hukum tanpa dukungan dari masyarakat, dapat berakibat tidak berwibawanya peraturan hukum tersebut.

5. Faktor Kebudayaan

Kebudayaan/sistem hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik sehingga dianut dan apa yang dianggap buruk sehingga dihindari. Pasangan nilai yang berperan dalam hukum adalah :

a. Nilai ketertiban dan nilai ketentraman.

b. Nilai jasmani/kebendaan dari nilai rohani/keakhlakan.

c. Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebauran/inovatisme.

2. Konseptual

Kerangka konseptual merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antar konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang diinginkan atau diteliti8.

a. Penegakan hukum ialah suatu rangkaian kegiatan dalam rangka usaha pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku, baik yang bersifat penindakan secara teknis maupun administratif yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum, sehingga dapat tercipta 8


(10)

suasana aman, damai dan tertib demi untuk pemantapan kepastian hukum dalam masyarakat9.

b. Sanksi Pidana adalah Suatu penghukuman dalam perkara pidana yang biasanya berupa nestapa atau penderitaan karena seseorang telah melakukan suatu perbuatan yang sesuai dengan rumusan delik10.

c. Kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Kepolisian Negara merupakan alat negara yang terutama bertugas memelihara keamanan dalam negeri atau kepolisian adalah segala hal ikhwa yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan (UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 1 butir 1).

d. Pengemudi adalah orang yang mengemudikan kendaraan bermotor atau orang yang secara langsung mengawasi calon pengemudi yang sedang belajar mengemudikan kendaraan bermotor (Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi Pasal 1 butir 12).

e. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang disertai sanksi (ancaman) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut11.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika ini memuat uraian keseluruhan yang akan disajikan dengan tujuan

9

Suharto Hari. 2002.Menata Materi UU Kepolisian. Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian. Jakarta. Hal. 49

10

Sudarto, 1981.Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung. Hal. 72

11


(11)

untuk mempermudah pemahaman terhadap skripsi ini secara keseluruhan, maka disajikan sistematika sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Merupakan bab yang menguraikan latar belakang, masalah dan ruang lingkup tujuan dan kegunaan, kerangka teoretis dan konseptual, serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Merupakan bab pengantar yang menguraikan tentang pengertian-pengertian umum dari pokok bahasan yang memuat tinjauan mengenai penegakan hukum, faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, pengertian dan peranan polri dalam penegakan hukum.

III. METODE PENELITIAN

Merupakan bab yang membahas tentang metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini yang meliputi pendekatan masalah, sumber dan jenis data, prosedur pengumpulan dan pengolahan data serta analisis data yang di dapat.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Merupakan penjelasan dan pembahasan yang mengemukakan hasil penelitian mengenai penegakan hukum terhadap pengemudi yang menggunakan telepon genggam saat berkendaraan.

V. PENUTUP

Merupakan bab terakhir yang berisikan kesimpulan dari penelitian yang telah

dilakukan dan kemudian memberikan beberapa saran yang dapat membantu pihak-pihak yang membutuhkan.


(12)

(13)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Penegakan Hukum

Penegakan hukum ialah suatu rangkaian kegiatan dalam rangka usaha pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku, baik yang bersifat penindakan secara teknis maupun administratif yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum, sehingga dapat tercipta suasana aman, damai dan tertib demi untuk pemantapan kepastian hukum dalam masyarakat1.

Penegakan hukum adalah sebuah tugas. Tugas yang diemban oleh aparat penegak hukum dan karena tugas, seperti dikatakan Kant, merupakan “kewajiban kategoris”, ”kewajiban mutlak”. Disini tidak mengenal istilah “dengan syarat”. Tugas adalah tugas, wajib dilaksanakan2.

Penegakan hukum adalah suatu proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai dengan pedoman prilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara3. Penegakan hukum itu sendiri adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan, yang disebut sebagai keinginan-keinginan hukum disini adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan hukum itu4.

Satjpto Raharjo dalam bukunya “masalah penegak hukum” menyatakan bahwa penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide tentang kepastian hukum,

1

Suharto Hari,Op.Cit., hal 49

2

Bernard L. Tanya. 2001.Penagakan Hukum dalam Terang Etika. Genta Publising. Yogyakarta. Hal. 35

3

Satjipto Raharjo. 2005.Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis. Sinar Baru. Bandung. Hal. 24


(14)

kemanfaatan sosial dan keadilan menjadi kenyataan. Proses perwujudan ide-ide itulah yang merupakan hakikat dari penegakan hukum5.

Pelaksanaan penegakan hukum bertujuan untuk kepastian hukum, kemanfaatan atau kegunaan hukum itu sendiri serta keadilan bagi masyarakat. Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti seseorang akan memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu, dengan adana kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib.

Pelaksanaan hukum atau penegakan hukum memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat, ketika hukum dilaksanakan atau di tegakan jangan sampai dapat menimbulkan keresahan dalam masyarakat, dalam unsur yg ketiga yaitu keadilan karena masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum, keadilan harus benar-benar diperhatikan. Selain daripada itu perlu juga diperhatikan disini, bahwa hukum yang dilaksanakan dan ditegakkan haruslah hukum yang mengandung nilai-nilai keadilan. Hakikat penegakan hukum yang sebenarnya, terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabar nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.

Ketiga unsur tersebut harus mendapatkan perhatian secara proporsional seimbang, dalam praktek tidak selalu mudah mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang antara ketiga unsur tersebut tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan akhirnya timbul keresahan, tetapi terlalu menitikberatkan pada kepastian hukum jadinya terlalu ketat

5


(15)

menaati peraturan hukum akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil. Sehingga apapun yang menjadi peraturannya harus ditaati atau dilaksanakan dan di tegakkan6.

Menurut M. Friedman dalam prosesn bekerjanya aparatur penegak hukum itu, terdapat 3 elemen penting yang mempengaruhi :

a. Institusi penegak hukum beserta perangkat sarana dan prasarana pendukum dan mekanisme kerja kelambagaannya;

b. Budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya; c. Perangkat peraturan yang mengandung baik kinerja kelembagaan maupun yang mengatur

materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum meterilnya maupun hukum acaranya. Upaya penegakan hukum secara sistematik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum daan keadilan itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata.

Keluhan berkenaan dengan kinerja penegakan hukum di negara kita selama ini selain ketiga faktor diatas, sebenarnya memerlukan analisis yang lebih menyeluruh lagi. Upaya penegakan hukum hanya satu elemen saja dari keseluruhan persoalan kita sebagai negara hukum yang mencita-citakan upaya menegakkan dan mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Hukum tidak mungkin akan tegak, jika hukum itu sendiri atau belum mencerminkan perasaan atau nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakatnya. Hukum tidak mungkin menjamin keadilan jika materinya sebagian besar merupakan wariasan masa lalu yang tidak sesuai dengan tuntutan zaman, artinya persoalan yang kita hadapi bukan saja berkenaan dengan upaya penegakan hukum tetapi juga pembaharuan hukum atau pembuatan hukum baru. Oleh karena itu,

6


(16)

ada empat (4) fungsi penting yang memerlukan perhatian yang seksama, yaitu : pembuatan hukum, sosialisasi, penyebarluasan, bahkan pembudayaan hukum dan penegakan hukum7.

Peranan penegak hukum dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur sebagai berikut :

1. Peranan yang ideal, adalah peranan yang seharusnya datang dari pihak (atau pihak-pihak lain) yang merupakan awal terhadap terlaksananya suatu aktivitas atau kegiatan sehingga yang lain tinggal mengikuti apa yang telah dilakukan oleh pihak pertama.

2. Peranan yang seharusnya, adalah peranan yang dianggap oleh diri sendiri yang sebenarnya dilakukan atau berasal dari diri pribadi yaitu seseorang yang semestinya melakukan sesuatu aktivitas atau kegiatan dia akan melakukannya sebelum orang lain melakukan terlebih dahulu. 3. Peranan yang dianggap oleh diri sendiri yaitu peranan-peranan yang mulai berfungsi apabila

berhubungan dengan pihak lain atau peranan tersebut akan mulai dilaksanakan apabila sudah ada pihak-pihak tertentu yang melakukan aktivitas atau kegiatan.

4. Peranan yang sebenarnya dilakukan yaitu berhubungan erat dengan kewajiban seseorang dalam melakukan suatu aktivitas atau kegiatan tanpa ada perintah dia akan melakukan apa yang seharusnya dilakukan.

Penegakan hukum berkaitan erat dengan ketaatan bagi pemakai dan pelaksana peraturan perundang-undangan, dalam hal ini baik masyarakat maupun penyelenggara negara yaitu penegak hukum8.

Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi (kebijakan) yang membuat keputusan hukum tidak secara ketat diatur undang-undang melainkan juga berdasarkan kebijaksanaan antara hukum dan etika9.

7

Ibid.

8


(17)

Fungsi dari penegakan hukum adalah untuk mengaktualisasi aturan-aturan hukum agar sesuai dengan cita-cita hukum sendiri, yakni mewujudkan sikap atau tingkah laku manusia sesuai dengan bingkai yang telah ditetapkan oleh undang-undang atau hukum. Sistem penegakan hukum yang mempunyai nilai-nilai yang baik adalah menyangkut penyerasian antara nilai dengan kaidah serta prilaku nyata manusia10.

Pengertian sistem penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah atau pandangan-pandangan menilai yang mantap, dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan (social enginering), memelihara dan mempertahankan (sebagai social control)kedamaian pergaulan hidup11.

Penegakan hukum diperlukan pula adanya unsur moral, adanya hubungan moral dengan penegakan hukum ini yang menentukan suatu keberhasilan atau ketidakberhasilan dalam penegakan hukum sebagaimana yang diharapkan oleh tujuan hukum. Aspek moral dan etika dalam penegakan hukum pidana menurut Muladi merupakan sutau hal yang berkaitan dengan penegakan hukum pidana seharusnya merupakan proses penemuan fakta, yang tidak memihak (impartial) dan penuh dengan resolusi atau pemecahan masalah yang harus dilakukan secara adil dan patut12.

Penegakan hukum pidana selalu bersentuhan dengan moral dan etika, hal ini didasarkan empat alasan yaitu :

9

Muladi, 2009.Hak Asasi Manusia. PT. Refika Aditama. Bandung. Hal. 25

10

Siswanto Sunaryo. 2004.Penegakkan Hukum Psikotropika (Dalam Kajian Sosiologi Hukum). PT. Grafindo Persada. Jakarta. Hal. 70-71

11

Soejono Soekanto.Op.Cit., hal. 13

12

Muladi, 2001.Menjamin Kepastian Ketertiban Penegakan dan Perlindungan Hukum Dalam Era Globalisasi. Jurnal Keadilan. hal 4


(18)

a. Sistem peradilan pidana secara khas melibatkan penggunaan paksaan atau kekerasan

(coercion) dengan kemungkinan terjadinya kesempatan untuk menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power)

b. Hampir semua professional dalam penegakkan hukum pidana merupakan pegawai pemerintah (public servan) yang memiliki kewajiban khusus terhadap publik yang dilayani c. Bagi setiap orang, etika dapat digunakan sebagai alat untuk membantu memecahkan dilema

etis yang hadapi seseorang didalam kehidupan profesionalnya (enlightened moral judgement) d. Dalam kehidupan profesi sering dikatakan bahwa a set ethical requiredments are as part of

its meaning13.

Menurut Andi Hamzah, untuk menegakan hukum pidana harus melalui beberapa tahap yang dilihat sebagai usaha atau proses rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang merupakan suatu jalinan mata rantai aktivitas yang tidak termasuk bersumber dari nilai-nilai dan bermuara pada pidana dan pemidanaan. Tahap-tahap tersebut adalah14:

a. Tahap Formulasi

Adalah tahap penegakan hukum pidana in abstracto oleh badan pembuat undang-undang yang melakukan kegiatan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan masa datang, kemudian merumuskannya dalam bentuk peraturan perundang-undangaan yang paling baik, dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Tahap ini disebut dengan tahap legislatif.

13

Muladi,Op.Cit., hal 12

14


(19)

b. Tahap Aplikasi

Adalah tahap penegakan hukum pidana (tahap penerapan) yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian sampai pengadilan atau pemeriksaan di hadapan persidangan. Dengan demikian, aparat penegak hukum bertugas menegakan serta menerapkan peraturan perundangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang. Dalam melaksanakan tugas ini, aparat penegak hukum terus berpegang teguh pada nilai-nilai keadilan dan daya guna. Tahap ini disebut yudikatif.

c. Tahap Eksekusi

Adalah tahap pelaksanaan hukum secara kongkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Pada tahap ini aparat penegak hukum pelaksana pidana bertugas menegakan peraturan perundang-undangan yang telah dibuat oleh badan pembentuk undang-undang melalui penerapan pidana yang ditetapkan oleh pengadilan, aparat-aparat pelaksana pidana itu dalam melaksanakan tugasnya harus berpedoman pada peraturan perundang-undangan pidan yang telah di buat oleh pembuat undang-undang dan nilai guna dan keadilan.

Teori kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan diterangkan bahwa kebijakan kriminal ataucriminal policyterdapat tiga arti kebijakan krirninal, yaitu:

a. Kebijakan kriminal dalam arti sempit ialah keseluruhan asas-asas atau metode yang menjadi dasar dan reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana.

b. Kebijakan kriminal dalam arti luas ialah keseluruhan fungsi dan aparatur penegakan hukum, termasuk di dalamnya cara kerja Pengadilan dan Polisi.


(20)

c. Kebijakan kriminal dalam arti yang paling luas adalah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dan dominan dalam masyarakat15.

B. Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Secara konsepsional, inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup16.

Manusia didalam pergaulan hidup, pada dasarnya mempunyai pandangan-pandangan tertentu mengenai apa yang baik dan apa yang buruk. Pandangan-pandangan tersebut senantiasa terwujud didalam pasangan-pasangan tertentu, sehingga misalnya, ada pasangan nilai ketertiban dengan nilai ketenteraman, pasangan nilai kepentingan umum dengan nilai kepentingan pribadi, pasangan kelestarian dengan nilai inovatisme, dan seterusnya. Penegakan hukum dalam hal ini pasangan nilai-nilai tersebut perlu diserasikan; misalnya, perlu penyerasian antara nilai ketertiban dengan nilai ketenteraman. Sebab, nilai ketertiban bertitik tolak pada keterikatan, sedangkan nilai ketenteraman titik tolaknya adalah kebebanan. Di dalam kehidupannya, maka manusia memerlukan keterikatan maupun kebebasan di dalam wujud yang serasi.

Pasangan nilai-nilai yang telah diserasikan tersebut, memerlukan penjabaran secara lebih konkrit lagi. Oleh karena nilai-nilai selazimnya bersifat abstrak. Penjabaran secara lebih konkrit terjadi di dalam bentuk kaidah-kaidah, dalam hal ini kaidah-kaidah hukum, yang berisikan suruhan, 15

Barda Nawawi Arief. 1996.Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara.

Undip Semarang. Indonesia. Hal. 1

16


(21)

larangan atau kebolehan. Bidang hukum tata negara Indonesia, misalnya terdapat kaidah-kaidah tersebut yang berisikan suruhan atau perintah untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu, atau tidak melakukannya. Kebanyakan kaidah hukum pidana tercantum larangan-larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu, sedangkan didalam bidang hukum perdata ada kaidah-kaidah yang berisikan kebolehan-kebolehan.

Kaidah-kaidah tersebut kemudian menjadi pedoman atau patokan bagi perilaku atau sikap tindak yang dianggap pantas, atau yang seharusnya. Perilaku atau sikap tindak tersebut bertujuan untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian.

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapatlah dikatakan, bahwa gangguan terhadap penegakan hukum mungkin terjadi, apabila ada ketidakserasian antara “tritunggal” nilai, kaidah dan pola perilaku. Gangguan tersebut terjadi, apabila terjadi ketidakserasian antara nilai-nilai yang berpasangan, yang menjelma di dalam kaidah-kaidah yang bersimpang siur, dan pola perilaku tidak terarah yang mengganggu kedamaian pergaulan hidup. Oleh karena itu dapatlah dikatakan, bahwa penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan, walaupun di dalam kenyataan di Indonesia kecenderungannya adalah demikian, sehingga pengertian “law enforcement” begitu populer. Selain dari itu, maka ada kecenderungan yang kuat untuk mengartikan penegakan hukum sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan hakim. Perlu dicatat, bahwa pendapat-pendapat yang agak sempit tersebut mempunyai kelemahan-kelemahan, apabila pelaksanaan daripada perundang-undangan atau keputusan-keputusan hakim tersebut malahan mengganggu kedamaian di dalam pergaulan hidup.

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas dapatlah ditarik suatu kesimpulan sementara, bahwa masalah pokok dari penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin


(22)

mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif dan negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Menurut Soerjono Soekanto, faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:

1. Faktor Undang-Undang

Undang-undang dalam arti material adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh Penguasa Pusat maupun Daerah yang sah. Mengenai berlakunya Undang-undang tersebut, terdapat beberapa asas yang tujuannya adalah agar Undang-undang tersebut mempunyai dampak yang positif. Asas-asas tersebut antara lain :

a. Undang-undang tidak berlaku surut.

b. Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.

c. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan Undang-undang yang bersifat umum, apabila pembuatannya sama.

d. Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan Undang-undang yang berlaku terdahulu.

e. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat.

2. Faktor Penegak Hukum

Hukum hanya merupakan sebuah teks mati jika tidak ada lembaga yang menegakkannya. Oleh karena itu, dibentuklah penegak hukum yang bertugaskan untuk menerapkan hukum. Dalam pelaksanaannya, hukum dapat dipaksakan daya berlakunya oleh aparatur negara untuk menciptakan masyarakat yang damai, tertib dan adil. Terhadap perilaku manusia, hukum menuntut manusia supaya melakukan perbuatan yang lahir, sehingga manusia terikat pada norma-norma hukum yang berlaku dalam masyarakat negara.


(23)

Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu sesuai dengan aspirasi masyarakat. Mereka harus dapat berkomonikasi dan mendapat pengertian dari golongan sasaran, di samping mampu menjalankan atau membawakan peranan yang daapat diterima oleh mereka.

Ada beberapa halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peranan yang seharusnya dari golongan sasaran atau penegak hukum, halangan-halangan tersebut adalah :

a. Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalm peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi,

b. Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi.

c. Belum ada kemampuan untuk menunnda pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama material.

d. Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme.

Halangan-halangan tersebut dapat diatasi dengan membiasakan diri dengan sikap-sikap sebagai berikut :

1. Sikap yang terbuka terhadap pengalaman maupun penemuan baru.

2. Senantiasa siap untuk menerima perubahan setelah menilai kekurangan yang ada pada saat itu.

3. Senantiasa mempunyai informasi yang selengkap mungkin mengenai pendiriannya. 4. Peka terhadap masalah-masalah yang terjadi disekitarnya.

5. Orientasi ke masa kini dan masa depan yang sebenarnya merupkan suatu rutan. 6. Menyadari potensi yang ada pada dirinya.


(24)

8. Percaya pada kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia.

9. Mennyadari dan menghormati hak,kewajian, maupun kehormatan diri sendiri dan pihak lain. 10. Berpegang teguh pada keputusan-keputusan yang diambil atas dasar penalaran dan

perhitungan yang mantap.

3. Faktor Sarana dan Fasilitas Dalam Penegakkan Hukum

Tindak pidana pencurian kendaraan bermotor tidak lagi dilakukan perseorangan, melainkan melibatkan orang yang secara bersama-sama, bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional maupun internasional. Ada bebrapa kendala dalam menanggulangi tindak pidana pencurian kendaraan bermotor, salah satunya adalah keterbatasan dan operasional dalam melaksanakan penyidikan.

4. Faktor Masyarakat

Upaya pembangunan tatanan hukum paling tidak didasarkan atas tiga alasan, pertama sebagai pelayan bagi masyarakat, karena hukum itu tidak berada pada kevakuman, maka hukum harus senantiasa disesuaikan dengan perkembangan masyarakat yang dilayaninya juga senantiasa berkembang. Kedua, sebagai alat pendorong kemajuan masyarakat. Ketiga, karena secara realistis di Indonesia saat ini fungsi hukum tidak bekerja efektif, sering dimanipulasi, bahkan jadi alat bagi penimbunan kekuasaan. Masyarakat merupakan poin penting dari penanggulangan pencurian kendaraan bermotor. Hukum mengikat bukan karena negara menghendakinya, melainkan karena merupakan perumusan dari kesadaran hukum masyarakat.


(25)

Selanjutnya beliau berpendapat bahwa kesadaran hukum yang dimaksud berpangkal pada perasaan hukum setiap individu yaitu perasaan bagaimana seharusnya hukum itu, hal ini sesuai dengan pendapat Stammler yang menyatakan bahwa law clearly is volition sehingga penerapan hukum terindikasi dari kemauan masyarakat untuk melaksanakannya. Dapat dikatakan budaya hukum akan mempengaruhi penolakan dan penerimaan masyarakat terhadap suatu peraturan hukum. Hal ini penting diperhatikan karena suatu peraturan hukum tanpa dukungan dari masyarakat, dapat berakibat tidak berwibawanya peraturan hukum tersebut.

5. Faktor Kebudayaan

Kebudayaan/sistem hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik sehingga dianut dan apa yang dianggap buruk sehingga dihindari. Pasangan nilai yang berperan dalam hukum adalah :

a. Nilai ketertiban dan nilai ketentraman.

b. Nilai jasmani/kebendaan dari nilai rohani/keakhlakan.

c. Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebauran/inovatisme.

C. Kepolisian Negara Republik Indonesia

Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) adalah Kepolisian Nasional di Indonesia, yang diberi wewenang oleh undang-undang menegakan hukum yang tercantum dalam Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang bertanggung jawab langsung di bawah Presiden. Polri mengemban tugas-tugas kepolisian di seluruh wilayah Indonesia. Polri dipimpin oleh seorang Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri).


(26)

Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah (Polda) merupakan satuan pelaksana kewilayahan yang berada dibawah Kapolri. Polda bertugas menyelenggarakan tugas Polri pada tingkat kewilayahan. Polda dipimpin oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah (Kapolda), yang bertanggung jawab kepada Kapolri. Kapolda dibantu oleh wakil Kapolda.

Polda membawahi Kepolisian Negara Republik Indonesia Wilayah (Poltabes). Ada tiga tipe Polda, yakni Tipe A, Tipe B, Tipe C. Tipe A dipimpin oleh seorang perwira tinggi berpangkat Inspektur Jendral (Irjen), sedangkan Tipe B dipimpin perwira tinggi berpangkat Brigadir Jendral (Brigjen) dan Tipe C dipimpin oleh Perwira menengah berpangkat Komisaris Besar (Kombes) yang senior.

Poltabes membawahi Kepolisian Negara Republik Indonesia Resort (Polres) atau Kepolisian Negara Republik Indonesia Resort Kota (Polresta). Poltabes dipimpin oleh seorang perwira menengah berpangkat Komisaris Besar atau Kombes. Polres dipimpin oleh seorang Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) lebih lanjut lagi, Polres membawahi Polsek, sedangkan Polresta mambawahi Polsekta. Polsek maupun Polsekta dipimpin oleh seorang Komisaris Polisi (Kompol) sedangkan di Polda lainnya, Polsek atau Polsekta dipimpin oleh perwira berpangkat Ajun Komisaris Polisi.

D. Peranan Polri dalam Penegakan Hukum

Dalam kedudukannya yang tidak begitu mudah berhadapan dengan masyarakat, polisi dihadapkan pada pertanggungjawaban secara umum dan khusus. Polisi merasakan adanya hubungan yang kurang baik dengan masyarkat yang dilayaninya. Kepercayaan oleh masyarakat merupakan hal yang sulit didapat karena memerlukan proses terutama adanya komunikasi dan kontak sosial, waktu serta kemauan masing-masing anggota polisi. Komunikasi merupakan


(27)

sarana paling dasar dan penting saat kita bicara tentang pencitraan suatu institusi yaitu kepolisian. Bagaimana dengan citra polisi, terkait tentang kemampuan komunikasi polisi itu sendiri. Apalagi dengan adanya paradigma baru kepolisian sekarang sudah menjadi polisi sipil, dimana tidak ada lagi sikap arogan. Yang hasilnya dapat kita lihat peranan kepolisian masyarakat sesuai dengan Undang-Undang Kepolisian No. 2 tahun 2002.

Kedudukan merupakan suatu wadah yang isinya hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu. Hak dan kewajiban tertentu adalah merupakan peranan (role). Suatu peranan dapat dijabakan kedalam unsur-unsur sebagai berikut17:

a. Peranan yang ideal (ideal role)

b. Peranan yang seharusnya (expected role)

c. Peranan yang dianggap oleh diri sendiri (perceived role) d. Peranan yang sebenarnya dilakukan (actual role)

Kepolisian mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role) sebagai salah satu lembaga penegak hukum. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Kepolisian). UU Kepolisian menyatakan dalam Pasal 13, tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah :

1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; 2. Menegakan hukum; dan

3. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Ketentuan lebih lanjut tentang tugas Polri dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah sebagai berikut :

17


(28)

Pasal 14, yang menentukan bahwa;

a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;

b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan;

c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;

d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional;

e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;

f. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;

g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;

h. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;

i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;

j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangan oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;

k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 15, yang menentukan bahwa;

(1) Dalam rangka penyelenggaraan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang:

a. Menerima laporan dan/atau pengaduan;

b. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum;

c. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;

d. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;

e. Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian; f. Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka

pencegahan;

g. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;

h. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; i. Mencari keterangan dan barang bukti;

j. Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;

k. Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;

l. Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat;


(29)

m. Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.

(2) Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang undangan lainnya berwenang :

a. Memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya;

b. Menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor; c. Memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor;

d. Menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;

e. Memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam;

f. Memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan;

g. Memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian;

h. Melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional;

i. Melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait;

j. Mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional; k. Melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.

Pasal 16, yang menentukan bahwa;

(1) Dalam rangka penyelenggaraan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara republik Indonesia berwenang untuk untuk : a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;

b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;

c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;

d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;

e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;

h. Mengadakan penghentian penyidikan;

i. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;

j. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;

k. Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan


(30)

(2) Tindakan lain sebagimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut :

a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;

b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan; c. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;

d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan menghormati hak asasi manusia.

Menurut Johanu Stephan Puttur berpendaat bahwa tugas polisi adalah usaha mengelakkan bahaya yang mengancam sedangkan kesejahteraan bukan tugas sebenarnya daripada polisi18.

18


(31)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah secara yuridis normatif dan yuridis empiris

Pendekatan yuridis Normatif dilakukan dengan cara mempelajari buku-buku, bahan bacaan literatur perundang-undangan yang menunjang dan berhubungan sebagai penelaah hukum terhadap kaedah yang dianggap sesuai dengan penelitian hukum tertulis. Penelitian normatif dilakukan terhadap hal-hal yang bersifat teoritis asas-asas hukum, dasar hukum dan konsep hukum.

Pendekatan yuridis empiris adalah menelaah hukum terhadap objek penelitian sebagai pola prilaku yang nyata dalam masyarakat yang di tunjukan kepada penerapan hukum yang berkaitan penegakan hukum terhadap pengemudi yang menggunakan telepon genggam saat berkendaraan.

B. Sumber dan Jenis Data

Setiap penelitian yang dilakukan adalah merupakan gejala-gejala tertentu sebagai hasil dan gejala itu, kemudian disebut data. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Data Primer

Data Primer adalah data yang diperoleh langsung dan responden dilapangan melalui wawancara mengenal pokok pemersalahan yang diteliti, dengan demikian akan diperoleh informasi dan data yang akan menjawab persoalandalam penelitian, dalam hal ini akan didapat penjelasan tentang


(32)

bagaimana upaya penanggulangan pengemudi yang menggunakan telepon genggam saat berkendaraan. Teknik pengambilan data oleh peneliti adalah teknik wawancara terpimpin bebas. 2. Data Sekunder

Data Sekunder, adalah data yang diperoleh dan bahan kepustakaan yang terdiri dan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder serta bahan hukum tersier1.

a. Bahan hukum primer yaitu antara lain meliputi bahan hukum primer yaitu meliputi : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan 4. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. b. Sedangkan data sekunder yang diperoleh dan obyek-obyek penelitian berupa data

peraturan, literatur-literatur yang didapat dari obyek penelitian maupun instansi terkait. Data tersebut setelah terkumpul dianalisa guna memperoleh jawaban yang akurat serta relevan dengan masalah yang diteliti.

c. Bahan hukum tersier yaitu antara lain meliputi surat kabar, kamus bahasa Indonesia dan.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Populasi adalah keseluruhan objek sebagai keseluruhan sumber data yang memiliki karateristik tertentu didalam suatu penelitian. Dalam penelitian ini yang akan menjadi populasi adalah Kepolisian Resor Kota (Polresta) Bandar Lampung dan akademisi. Sampel adalah sebagian data yang diambil dari populasi dengan cara-cara tertentu yang mewakili populasi. Sampel ditentukan secara “Purposive Sampling” yang berarti sampel yang disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai dan telah dianggap mewakili populasi dan mencapai tujuan penelitian ini adalah :

1


(33)

1. Penyidik Lantas Polresta Bandar Lampung : 3 orang 2. Akademisi (Dosen Hukum Pidana Universitas Lampung) : 1 orang

Jumlah : 4 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

a. Studi Kepustakaan(Library Research)

Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder melalui serangkaian kegiatan membaca, mencatat, mengutip dan menganalisis buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan yang akan di bahas pada literatur, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan tertulis lainnya.

b. Studi Lapangan(Field Research)

Studi lapangan ini dilakukan untuk memperoleh data primer dengan menggunakan teknik wawancara bebas terpimpin yaitu pewawancara mengombinasikan wawancara bebas dengan wawancara terpimpin, yang dalam pelaksanaannya pewawancara sudah membawa pedoman tentang apa-apa yang ditanyakan secara garis besar .yang telah dipersiapkan sebagai panduan. Melalui studi wawancara ini diharapkan dapat diperoleh data primer yang mampu menjawab permasalahan.

2. Prosedur Pengolahan Data

Setelah data terkumpul maka kemudian diproses melalui pengolahan dan peninjauan data dengan melakukan:

a. Editing, yaitu memeriksa kembali mengenai kelengkapan, kejelasan dan kebenaran data dengan permasalahan yang akan dibahas.


(34)

b. Melakukan klasifikasi data sesuai dengan bidang telaah atau pokok bahasan dengan makna untuk memudahkan daalam menganalisis data.

c. Sistematisasi data yaitu data yang telah di klasifikasi kemudian di tempatkan sesuai dengan posisi pokok permasalahan secara sistematis.

E. Analisis Data

Analisa data dilakukan dengan cara kualitatif yaitu dilakukan dengan menggambarkan data yang dihasilkan dalam bentuk uraian kalimat atau penjelasan. Dari analisis tersebut data di lanjutkan dengan menarik kesimpulan secara induktif yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan pada fakta-fakta yang bersifat khusus, kemudian dilanjutkan dengan pengambilan kesimpulan yang bersifat umum yang merupakan jawaban dari permasalahan berdasarkan hasil penelitian dan selanjutnya diberikan beberapa saran.


(35)

III.PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan uraian-uraian yang telah disajikan pada bab-bab sebelumnya, maka pada bab ini dikemukakan beberapa kesimpulan dari hasil pembahasan tentang upaya penanggulangan pengemudi yang menggunakan telepon genggam saat berkendaraan yaitu :

1. Penanggulangan terhadap pengemudi yang menggunakan telepon genggam saat berkendaraan yang dilakukan oleh Polresta Bandar lampung baru pada upaya preventif yaitu sosialisasi kepada masyarakat dengan cara sosialisasi melalui media massa, ke sekolah-sekolah, dan membagikan stiker kepada para pengemudi. Dalam pelaksanaannya aparat penegak hukum belum melakukan upaya represif terhadap pengemudi yang menggunakan telepon genggam saat berkendaraan upaya ini dapat berupa penilangan ataupun pemberian sangsi lain.

2. Adapun faktor penghambat dalam upaya penanggulangan yang menggunakan telepon genggam saat berkendara adalah :

a. Faktor Sumber Daya Aparat Penegak Hukum

Persoalan mendasar dan tidak bekerjanya hukum yaitu kurangnya keahlian atau sumber daya manusia yang dimiliki oleh Polri sebagai penegak hukum. Dalam hal ini peran serta aparat penegak hukum dalam menanggulangi pengemudi yang menyalahgunakan telepon genggam saat berkendaraan sangat diperlukan baik dalam hal sosialisasi maupun


(36)

2

penindakan di lapangan. Dengan optimalnya sumber daya penegak hukum maka akan menciptakan masyarakat yang taat pada hukum.

b. Sarana dan Prasarana

Sarana atau fasilitas yang dimiliki Polresta Bandar Lampung juga menjadi kendala untuk mengetahui peristiwa kecelakaan lalu lintas seperti maupun keberadaan sesorang saat mengemudi sambil menggunakan telepon genggam, terutama mereka yang mengendarai kendaraan roda dua maupun roda empat seperti CCTV, sensor-sensor, jadi berdasarkan sinyal aparat dapat merekam atau memotret untuk mengetahui pengendara yang melakukan pelanggaran ini pada setiap wilayah, minimal memperkecil ruang gerak patroli dan pendukung penyelenggaraan lalu lintas.

c. Faktor Masyarakat

Sikap masyarakat yang acuh sehingga menimbulkan ketidakpedulian masyarakat akan peraturan perundang-undangan yang berlaku, hal ini berdampak pada banyaknya pengemudi yang melanggar peraturan tersebut baik roda dua maupun roda empat dan lebih buruknya lagi akibat pelanggran tersebut dapat mengakibatkan kecelakaan. Kesadaran hukum masyarakat merupakan satu faktor penghambat, karena menyebabkan ketidakpahaman dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan di lapangan.


(37)

3

Kebiasaan masyarakat indonesia yang cenderung konsumtif terhadap perkembangan teknologi seperti telepon genggam mengakibatkan pengguna telepon genggam semakin banyak dan pelaksanaan peraturan mengenai dilarangnya pengemudi menggunakan telepon genggam saat berkendaraan semakin sulit.

B. Saran

Berdasarkan uraiaan-uraian di atas dan hasil pembahasan maka dapat diambil saran sebagai berikut :

1. Untuk menanggulangi pengemudi yang menggunakan telepon genggam saat berkendaraan diharapkan aparat penegak hukum dalam melakukan upaya preventif berupa sosialisasi seperti pembuatan benner atau spanduk-spanduk yang ditujukan kepada para pengemudi baik roda dua maupun roda empat diupayakan agar lebih optimal dan menyeluruh ke semual lapisan masyarakat. Dengan cara seperti ini diharapkan pesan positif aparat penegak hukum tersampaikan kepada masyarakat luas di Bandar Lampung sehingga masyarakat secara luas dapat mengetahui peraturan tersebut.

2. Setelah upaya sosialisasi sudah dilakukan secara optimal maka aparat penegak hukum dapat melakukan upaya penal yaitu berupa pemberian sangsi tegas kepada pengemudi yang terdapat tangan sedang menggunakan telepon genggam saat berkandaraan. Selain itu upaya penindakan juga guna meminimalisir angka kecelakaan lalu lintas yang terjadi akibat pengemudi yang menggunakan telepon genggam saat berkendaraan.


(38)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 4

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 5

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 6

E. Sistematika Penulisan ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Penegakan Hukum ... 13

B. Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum ... 21

C. Kepolisian Negara Republik Indonesia ... 27

D. Peranan Polri dalam Penegakan Hukum ... 28

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 33

B. Sumber dan Jenis Data ... 33

C. Penentuan Populasi dan Sampel ... 35

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan data ... 35


(39)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden ... 37 B. Upaya Penanggulangan Pengemudi yang Menyalahgunakan Telepon Genggam saat Berkendaraan... 38 C. Faktor Penghambat dalam Upaya Penanggulangan Terhadap Pengemudi yang Menyalahgunakan Telepon Genggam saat Berkendaraan... 44

V. PENUTUP

A. Kesimpulan ... 49 B. Saran ... 51

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(1)

b. Melakukan klasifikasi data sesuai dengan bidang telaah atau pokok bahasan dengan makna untuk memudahkan daalam menganalisis data.

c. Sistematisasi data yaitu data yang telah di klasifikasi kemudian di tempatkan sesuai dengan posisi pokok permasalahan secara sistematis.

E. Analisis Data

Analisa data dilakukan dengan cara kualitatif yaitu dilakukan dengan menggambarkan data yang dihasilkan dalam bentuk uraian kalimat atau penjelasan. Dari analisis tersebut data di lanjutkan dengan menarik kesimpulan secara induktif yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan pada fakta-fakta yang bersifat khusus, kemudian dilanjutkan dengan pengambilan kesimpulan yang bersifat umum yang merupakan jawaban dari permasalahan berdasarkan hasil penelitian dan selanjutnya diberikan beberapa saran.


(2)

III.PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan uraian-uraian yang telah disajikan pada bab-bab sebelumnya, maka pada bab ini dikemukakan beberapa kesimpulan dari hasil pembahasan tentang upaya penanggulangan pengemudi yang menggunakan telepon genggam saat berkendaraan yaitu :

1. Penanggulangan terhadap pengemudi yang menggunakan telepon genggam saat berkendaraan yang dilakukan oleh Polresta Bandar lampung baru pada upaya preventif yaitu sosialisasi kepada masyarakat dengan cara sosialisasi melalui media massa, ke sekolah-sekolah, dan membagikan stiker kepada para pengemudi. Dalam pelaksanaannya aparat penegak hukum belum melakukan upaya represif terhadap pengemudi yang menggunakan telepon genggam saat berkendaraan upaya ini dapat berupa penilangan ataupun pemberian sangsi lain.

2. Adapun faktor penghambat dalam upaya penanggulangan yang menggunakan telepon genggam saat berkendara adalah :

a. Faktor Sumber Daya Aparat Penegak Hukum

Persoalan mendasar dan tidak bekerjanya hukum yaitu kurangnya keahlian atau sumber daya manusia yang dimiliki oleh Polri sebagai penegak hukum. Dalam hal ini peran serta aparat penegak hukum dalam menanggulangi pengemudi yang menyalahgunakan telepon genggam saat berkendaraan sangat diperlukan baik dalam hal sosialisasi maupun


(3)

2

penindakan di lapangan. Dengan optimalnya sumber daya penegak hukum maka akan menciptakan masyarakat yang taat pada hukum.

b. Sarana dan Prasarana

Sarana atau fasilitas yang dimiliki Polresta Bandar Lampung juga menjadi kendala untuk mengetahui peristiwa kecelakaan lalu lintas seperti maupun keberadaan sesorang saat mengemudi sambil menggunakan telepon genggam, terutama mereka yang mengendarai kendaraan roda dua maupun roda empat seperti CCTV, sensor-sensor, jadi berdasarkan sinyal aparat dapat merekam atau memotret untuk mengetahui pengendara yang melakukan pelanggaran ini pada setiap wilayah, minimal memperkecil ruang gerak patroli dan pendukung penyelenggaraan lalu lintas.

c. Faktor Masyarakat

Sikap masyarakat yang acuh sehingga menimbulkan ketidakpedulian masyarakat akan peraturan perundang-undangan yang berlaku, hal ini berdampak pada banyaknya pengemudi yang melanggar peraturan tersebut baik roda dua maupun roda empat dan lebih buruknya lagi akibat pelanggran tersebut dapat mengakibatkan kecelakaan. Kesadaran hukum masyarakat merupakan satu faktor penghambat, karena menyebabkan ketidakpahaman dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan di lapangan.


(4)

3

Kebiasaan masyarakat indonesia yang cenderung konsumtif terhadap perkembangan teknologi seperti telepon genggam mengakibatkan pengguna telepon genggam semakin banyak dan pelaksanaan peraturan mengenai dilarangnya pengemudi menggunakan telepon genggam saat berkendaraan semakin sulit.

B. Saran

Berdasarkan uraiaan-uraian di atas dan hasil pembahasan maka dapat diambil saran sebagai berikut :

1. Untuk menanggulangi pengemudi yang menggunakan telepon genggam saat berkendaraan diharapkan aparat penegak hukum dalam melakukan upaya preventif berupa sosialisasi seperti pembuatan benner atau spanduk-spanduk yang ditujukan kepada para pengemudi baik roda dua maupun roda empat diupayakan agar lebih optimal dan menyeluruh ke semual lapisan masyarakat. Dengan cara seperti ini diharapkan pesan positif aparat penegak hukum tersampaikan kepada masyarakat luas di Bandar Lampung sehingga masyarakat secara luas dapat mengetahui peraturan tersebut.

2. Setelah upaya sosialisasi sudah dilakukan secara optimal maka aparat penegak hukum dapat melakukan upaya penal yaitu berupa pemberian sangsi tegas kepada pengemudi yang terdapat tangan sedang menggunakan telepon genggam saat berkandaraan. Selain itu upaya penindakan juga guna meminimalisir angka kecelakaan lalu lintas yang terjadi akibat pengemudi yang menggunakan telepon genggam saat berkendaraan.


(5)

DAFTAR ISI

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 4

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 5

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 6

E. Sistematika Penulisan ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Penegakan Hukum ... 13

B. Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum ... 21

C. Kepolisian Negara Republik Indonesia ... 27

D. Peranan Polri dalam Penegakan Hukum ... 28

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 33

B. Sumber dan Jenis Data ... 33

C. Penentuan Populasi dan Sampel ... 35

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan data ... 35


(6)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden ... 37 B. Upaya Penanggulangan Pengemudi yang Menyalahgunakan Telepon Genggam saat Berkendaraan... 38 C. Faktor Penghambat dalam Upaya Penanggulangan Terhadap Pengemudi yang Menyalahgunakan Telepon Genggam saat Berkendaraan... 44 V. PENUTUP

A. Kesimpulan ... 49 B. Saran ... 51 DAFTAR PUSTAKA