PERILAKU PEDAGANG PASAR UNIT II KECAMATAN BANJAR AGUNG KABUPATEN TULANG BAWANG DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN RELOKASI

(1)

ABSTRACT

THE TRADERS BEHAVIOR OF UNIT II MARKET BANJAR AGUNG AGUNG SUB DISTRICT TULANG BAWANG REGENCY IN THE

IMPLEMENTATION OF RELOCATION POLICY By

Yunita Ardah Ritonga

This research was conducted in unit II market Banjar Agung Sub District Tulang Bawang Regency. In the effort to build the clean regency, orderly and beautiful, the Tulang Bawang Government wants to build a modern market aims to enhance the regional development by locating the existing traders. But the desire of Tulang Bawang Government reap the constraints, it is the refusal which done by the traders of Unit II Market.

The purpose of this research is to find out the traders behavior of Unit II Market Banjar Agung Sub District Tulang Bawang Regency in the implementation of relocation policy. The research type used is a descriptive based on the quantitative data. The samples in this study are 92 respondents, while the sampling method used is a sample calculation formula according to Burhan Bungin.

The result of this research indicates that the traders behavior of Unit II Market Banjar Agung Sub District Tulang Bawang Regency in the implementation of relocation policy have a negative behavior, which rejected the plan of Tulang Bawang Regency Government who wants to change the traditional market into a


(2)

modern market. it is based on the factors that affect the behavior, such as education, age and economic. traders feel income will be reduced if the construction of a modern marker is still under contruction. than the temporary shelter provided is appropriate and the treder feel the support of the Governor of Lampung. The description of traders categories who accept are 34.78% of the respondents, the categories of traders who rejected are 61.59% of respondents, and 3.26% of respondents who do not accept and do not reject the policiy or neutral towards the relocation policy. Education was able to influence a person's behavior. When the higher education level of opposition to the relocation policy will be higher as well. The traders rejected to be relocated due to a sudden plan, investors are not transparent appointment, bad record on investors, the price is too expensive, the development of capital from money traders and the existence of the right to use the building which is valid until 2014, 2019 and 2024.


(3)

ABSTRAK

PERILAKU PEDAGANG PASAR UNIT II KECAMATAN BANJAR AGUNG KABUPATEN TULANG BAWANG DALAM IMPLEMENTASI

KEBIJAKAN RELOKASI Oleh

Yunita Ardah Ritonga

Penelitian ini dilakukan di Pasar Unit II Kecamatan Banjar Agung Kabupaten Tulang Bawang. Dalam upaya membangun kabupaten yang bersih, tertib dan indah, Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang ingin membangun pasar modern dengan tujuan untuk meningkatkan pembangunan daerah dengan merelokasi pedagang yang sudah ada sebelumnya. Namun keinginan Pemerintah Tulang Bawang menuai kendala, yaitu penolakan yang dilakukan oleh pedagang Pasar Unit II.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perilaku pedagang Pasar Unit II Kecamatan Banjar Agung Kabupaten Tulang Bawang dalam Implementasi Kebijakan Relokasi. Tipe penelitian yang digunakan adalah deskriptif yang didasarkan pada data kuantitatif. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 92 responden, sedangkan metode penentuan sampel yang digunakan adalah rumus perhitungan sampel menurut Burhan Bungin.


(4)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku pedagang Pasar Unit II Kecamatan Banjar Agung Kabupaten Tulang Bawang dalam implementasi kebijakan relokasi memiliki perilaku yang negatif, yaitu menolak rencana Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang yang ingin merubah pasar tradisional menjadi pasar modern. Hal ini didasarkan pada faktor yang mempengaruhi perilaku yaitu seperti pendidikan, umur, dan status ekonomi. Pedagang merasa pendapatannya akan berkurang jika pembangunan pasar modern tersebut tetap dibangun. Kemudian tempat penampungan sementara yang disediakan tidak sesuai dan pihak pedagang mendapat dukungan dari Gubernur Lampung. Uraian kategori pedagang yang menerima adalah sebanyak 34,78% responden, kategori pedagang yang menolak sebanyak 61,59% responden dan sebanyak 3,26% responden yang netral (tidak menerima dan menolak kebijakan) terhadap kebijakan relokasi tersebut. Ternyata pendidikan dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Ketika pendidikan tinggi maka tingkat penolakan terhadap kebijakan relokasi ini akan semakin tinggi pula. Pedagang menolak untuk direlokasikan disebabkan rencana yang mendadak, penunjukan investor yang tidak transparan, catatan buruk tentang investor, harga yang terlalu mahal, modal pembangunan berasal dari uang pedagang dan adanya bukti hak guna pakai (HGB) yang masih berlaku hingga tahun 2014, 2019 dan 2024.


(5)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kabupaten Tulang Bawang merupakan salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Lampung. Awalnya Kabupaten Tulang Bawang merupakan kabupaten terbesar di Provinsi Lampung, namun pada tahun 2007 Bupati Tulang Bawang mengambil sebuah terobosan besar yaitu memekarkan kabupaten ini menjadi tiga kabupaten, yaitu kabupaten induk Kabupaten Tulang Bawang, dan dua kabupaten baru, Kabupaten Tulang Bawang Barat dan Mesuji.

“pertimbangan yang dilakukan oleh Bupati Tulang Bawang pada pemekaran dua daerah otonomi baru itu, diantaranya adalah untuk menciptakan percepatan pembangunan daerah, mengefektifkan pelayanan publik, memperpendek rentang kendali pemerintahan, sekaligus dapat mempercepat kesejahteraan masyarakat, baik di dua kabupaten baru hasil pemekaran, maupun di kabupaten induk” (http://tulangbawangkab.go.id/).

Semenjak adanya otonomi daerah, Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang yang menjabat saat ini yaitu Abdurrachman Sarbini sebagai Bupati Kabupaten Tulang Bawang ingin melakukan percepatan pembangunan daerah dengan tujuan meningkatkan dan memajukan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah menginginkan adanya pembangunan daerah


(6)

sesegera mungkin agar daerah tersebut berkembang yang kemudian nantinya akan disusul dengan kesejahteraan masyarakat.

Kabupaten Tulang Bawang merupakan daerah yang berkembang dan memiliki potensi yang cukup tinggi untuk sektor ekonomi. sehingga peluang investasi cukup menjanjikan khususnya di bidang perdagangan. Misalnya saja Pasar Unit II yang ada di Kecamatan Banjar Agung. Pasar ini merupakan pusat perdagangan yang menjual berbagai macam jenis dagangan dan Pasar Unit II ini merupakan salah satu sentral prekonomian yang ada di Kabupaten Tulang Bawang (http://tulangbawangkab.go.id/).

Berdasarkan hal tersebutlah Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang berniat untuk memajukan perekonomian masyarakat, khususnya perekonomian Tulang Bawang dengan cara merubah pasar tradisional menjadi pasar modern. Keinginan pemerintah untuk merubah pasar tradisional ini menjadi pasar modern adalah agar pembangunan daerah dapat terwujud, kemudian perluasan kota, penciptaan lapangan kerja serta meningkatkan pendapatan masyarakat.

Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang juga menginginkan keadaan kota yang bersih, nyaman, dan tertib. Pasar unit II sudah dianggap tidak layak lagi untuk dijadikan sebagai pasar tradisional, sebab tempatnya sudah kumuh, tidak tertata dan tidak layak lagi ditempati untuk berdagang. Keadaan yang kumuh dan kurang terawat ini akan menjadikan pemandangan yang kurang enak dipandang mata, sehingga keadaan kota terlihat tidak tertata dengan baik.


(7)

Berangkat dari keinginan tersebut Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang kemudian mengeluarkan SK Bupati tentang Penunjukan Investor Pembangunan Pasar Unit II Kabupaten Tulang Bawang yang isinya pemerintah memberikan surat pemberitahuan kepada para pedagang perihal “Pemindahan Pedagang ke Tempat Penampungan Sementara”. Surat pemberitahuan ini bertujuan agar para pedangang yang berada di Pasar Unit II untuk segera meninggalkan lokasi Pasar Unit II ke tempat yang sudah disediakan oleh PT. Prabu Artha.

Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang mengharapkan adanya kepatuhan dari pedagang Pasar Unit II agar kebijakan relokasi tersebut dapat berjalan dengan baik. Berjalannya pembangunan pasar modern ini diharapkan dapat meningkatkan prekonomian masyarakat Tulang Bawang yang kemudian disusul dengan perkembangan daerah di Kabupaten Tulang Bawang. Namun kenyataan dilapangan bahwa pedagang yang ada di Pasar Unit II Kabupaten Tulang Bawang menolak untuk direlokasikan.

“Keinginan Pemkab Tulang Bawang untuk merubah Pasar Unit II Kecamatan Banjar Agung menjadi pasar modern semakin kuat seiring dengan dikeluarkannya surat yang berisi pemberitahuan terkait kutipan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Medan atas gugatan pedagang terhadap rencana pembongkaran Pasar Unit II yang dimenangkan oleh Pemeritah Kabupaten Tulang Bawang”

(http:// lampung.tribunnews.com/2011/12/02).

Selain itu media lain seperti Lampung Post juga menyampaikan bahwa:

“Pihak Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang menuai kendala dalam melaksanakan kebijakan relokasi Pasar Unit II tersebut. Sebab kebijakan relokasi pasar tersebut ditentang keras oleh para


(8)

pedagang. Pedagang tetap bertahan dan menolak pembongkaran sebelum masa berlaku hak guna usaha (HGU) yang akan berakhir pada tahun 2024” (http://lampungpost.com/2012/02/22).

Berhubungan dengan dikeluarkannya SK bupati tersebut dikhawatirkan adanya pengaruh kapitalisme dari pihak pemerintah itu sendiri maupun dari pemilik modal tersebut, sehingga pedagang yang ada di Pasar Unit II menjadi tergusur. Kapitalisme adalah sistem perekonomian yang menekankan peran kapital atau modal (Bagus:1996).

Indikasi adanya kapitalisme dalam kebijakan relokasi tersebut diperkuat dengan ditunjuknya PT Prabu Artha sebagai investor. PT Prabu Artha ini adalah kepunyaan Fery Sulistyo alias Alay. Sebelum menangani pembagunan di Pasar Unit II, Alay juga pernah menjalankan pembangunan pasar di daerah lain dengan perusahaannya PT Prabu Makmur.

Misalnya saja pada pembangunan Pasar 6 Ilir di Palembang Alay bermasalah dengan pihak yang bersangkutan karena tidak melaksanakan pembangunan seperti yang direncanakan. Oleh karena itu, kontrak antar Pemerintah Kota Palembang dengan PT Prabu Makmur diputus karena Alay yang dianggap tidak memiliki i’tikat baik. (https://www.facebook.com/media/).

Berdasarkan Pra-Riset yang peneliti lakukan pada tanggal 3 April 2012 yang mewawancarai seorang pedagang berinisial R (anonim) bahwa pedagang khususnya pedagang yang menempati ruko, los dan kios yang ada di Pasar Unit II menolak untuk direlokasikan ke tempat yang telah


(9)

disediakan oleh pihak pemerintah. Alasan pedagang menolak kebijakan tersebut adalah bahwa tempat yang disediakan oleh pihak pemerintah tidak sesuai dalam artian pedagang mengatakan bahwa tempat penampungan sementara yang disediakan oleh pemerintah tidak layak, selain tempat dan ukuran luasnya terlalu sempit yaitu 3x3meter, pedagang juga mengatakan bahwa harga kios yang ditawarkan pemerintah kepada para pedagang cukup tinggi.

Pedagang membandingkan harga kios untuk ukuran 3x3meter yang ada di Kota Bandar Lampung yang harganya hanya mencapai Rp 14.000.000,00. Sedangkan yang ditawarkan Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang untuk ukuran luas yang sama adalah sebesar Rp 18.000.000,00. Perbedaan harga yang cukup besar inilah yang menjadi pertanyaan besar bagi para pedagang.

Harga kios yang tinggi ditawarkan pemerintah sama saja menekan para pedagang, mereka dipaksa untuk menempati kios-kios yang sudah disediakan oleh pemerintah, Sementara itu para pedagang masih banyak tersangkut hutang di bank-bank yang harus mereka cicil tiap bulannya.

Selain itu pedagang masih memiliki hak guna bangunan yang diberikan oleh pihak pemerintah sebelumnya dimana izin mereka untuk menempati kios, ruko dan los akan berakhir pada tahun 2014. Izin inilah yang membuat para pedagang menolak untuk meninggalkan lokasi yang sudah lama mereka tempati.


(10)

Penolakan yang dilakukan pedagang tidak hanya disitu, mereka juga mengatakan bahwa lokasi tempat dimana kios yang disediakan oleh pemerintah tidak strategis. Maksudnya lokasi yang baru dapat mengurangi pendapatan mereka, sebab para konsumen/pembeli kurang berminat karena lokasinya yang sedikit terpojok dan sempit.

Puncak dari penolakan para pedagang itu terjadi pada Senin 20 Februari 2012, dimana sempat terjadi kericuhan dalam upaya pembongkaran Pasar. Warga pedagang Pasar Unit II dengan kelompok lain yang mendukung penggusuran itu bentrok dan saling melempari batu. Sebanyak 12 orang luka (http://regional.kompas.com/read/2012/02/21).

Berdasarkan alasan-alasan penolakan pedagang di atas terhadap kebijakan pemerintah tentang relokasi maka terdapat indikasi ketidakefektifan pelaksanaan kebijakan relokasi Pasar Unit II Kabupaten Tulang Bawang. Implementasi kebijakan relokasi Pasar Unit II tidak dapat berjalan dengan semestinya. Penolakan yang dilakukan para pedagang setempat menghambat jalannya pembangunan daerah di Tulang Bawang. Padahal pemerintah telah melakukan sosialisasi jauh hari sebelumnya yaitu dengan memanggil para pedagang dan dinas pasar yang ada di Pasar Unit II untuk menyampaikan keinginan pemerintah yang ingin merelokasikan pasar tradisional ini ke tempat yang sudah tersedia.

Implementasi merupakan aspek terpenting dari keseluruhan proses kebijakan yang telah ditetapkan. Bahkan Udoji dalam Abdul Wahab ( 2005:59 ) “mengatakan bahwa pelaksanaan kebijakan itu adalah


(11)

merupakan sesuatu yang sangat penting, dan bahkan lebih penting daripada pembuatan kebijakan tersebut. Jika kebijakan-kebijakan yang telah ada tidak dijalankan secara terencana secara baik maka kebijakan itu akan tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan.

Menurut Solichin Abdul Wahab (2005:16) “kegagalan di dalam implementasi kebijakan itu ada dua katagori, yaitu kebijakan yang tidak terimplementasikan dan kebijakan yang implementasinya tidak berhasil”.

Dikatakan tidak terimplementasikannya kebijakan yang ada adalah kebijakan itu tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana. Misalnya saja karena pihak-pihak yang terlibat di dalam pelaksanaannya tidak ingin bekerjasama atau mereka tidak bekerja secara efesien. Sehingga apapun hambatan-hambatan yang mereka hadapi dalam menerapkan suatu kebijakan tidak bisa ditanggulangi. Akibatnya, implementasi yang efektif sukar untuk didapat.

Implementasi yang tidak berhasil biasanya terjadi pada saat kebijakan tertentu telah dilaksanakan sesuai dengan rencana, namun mengingat kondisi eksternal ternyata tidak menguntungkan. Misalnya saja tiba-tiba terjadi pristiwa pergantian kekuasaan ataupun ada kendala-kendala lain yang sifatnya menghambat pelaksanaan kebijakan tersebut.

Suatu kebijakan itu bisa saja tidak dapat diimplementasikan secara efektif sehingga bisa dinilai bahwa pelaksanaannya jelek. Atau juga para pembuat kebijakan dan orang yang bertugas untuk melaksanakan kebijakan tersebut


(12)

sama-sama setuju kalau kondisi eksternal benar-benar tidak mendukung efektivitas implementasi dari kebijakan tersebut.

Implementasi kebijakan sebagian besar program pemerintah yang sudah pasti melibatkan sejumlah pembuat kebijakan yang berusaha untuk mempengaruhi perilaku birokrat-birokrat/pejabat-pejabat lapangan dalam rangka memberikan pelayanan atau jasa tertentu kepada masyarakat atau mengatur prilaku dari satu atau lebih kelompok sasaran.

Persoalan yang terjadi pada kebijakan relokasi Pasar Unit II Kabupaten Tulang Bawang yang merupakan analisis implementasi kebijakan ini mencakup usaha-usaha pemerintah untuk mendapatkan kepatuhan para pedagang dalam upaya mereka untuk memberikan pelayanan atau untuk mengubah perilaku masyarakat atau kelompok sasaran dari program yang bersangkutan.

Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang berharap pedagang dapat menerima kebijakan relokasi pasar tersebut, sehingga kebijakan ini dapat berjalan dengan baik sesuai prosedur tanpa ada aksi penolakan baik itu dari pedagang maupun masyarakat. Dengan harapan bahwa pembangunan pasar modern dapat meningkatkan perekonomian di Kabupaten Tulang Bawang.

Penolakan para pedagang terhadap pembangunan pasar modern mengakibatkan pelaksanaan kebijakan relokasi Pasar Unit II tidak terwujud. Padahal tidak semua orang yang berada di lingkungan Pasar Unit II menolak pembangunan pasar modern ini.


(13)

Misalnya saja masyarakat setempat, pegawai dinas pasar dan bahkan ada sebagian pedagang pasar unit II itu sendiri yang setuju dengan kebijakan relokasi tersebut. Alasan mereka setuju dengan kebijakan tersebut adalah bahwa pembangunan pasar modern ini dianggap akan memajukan daerah tersebut.

Seorang warga yang berinisial A ketika diwawancarai mengatakan bahwa pembangunan pasar modern ini sudah seharusnya dilaksanakan sebab yang namanya kota berkembang pasti tidak terlepas dari yang namanya modernisasi.

Pusat perdagangan seperti pasar tradisional yang ada di setiap daerah biasanya membentuk ciri khas gaya hidup tersendiri dan juga berengaruh pada pola perilaku masyarakat. Gaya hidup pada pasar tradisional sangat kental seperti gaya hidup sederhana dan suka dalam sosialisasi dengan masyarakat yang lain. Hubungan antara sesama pedagang pasar tradisional mengutamakan rasa toleransi, tolong menolong untuk membina hubungan baik antara pedagang, akan tetapi tidak mau kalau itu merugikan mereka sendiri.

Mental pedagang yang tidak mau rugi inilah yang penyebab utama terhambatnya pelaksanaan kebijakan relokasi pasar tersebut. Dengan terhalangnya pelaksanaan kebijakan relokasi Pasar Unit II Kabupaten Tulang Bawang maka pembangunan daerah yang tadinya diharapkan akan meningkatkan perekonomian masyarakat menjadi tidak efektif.


(14)

Peneliti fokus pada perilaku pedagang disebabkan karena adanya sikap penolakan yang diperlihatkan oleh pedagang yang ada di Pasar Unit II tersebut yang menganggap bahwa kebijakan relokasi tersebut dapat merugikan mereka.

Pihak pedagang ini sangat berperan besar terhadap efektivitas pelaksanaan kebijakan relokasi Pasar Unit II. Dengan penolakan yang dilakukan oleh pihak pedagang maka tujuan Pemerintah itu terhambat dan terhalang. Implementasi kebijakan biasanya terhambat dikarenakan komunikasi yang tidak terbangun secara harmonis.

Menurut George C. Edward III dalam Indiahono (2009:31) komunikasi salah satu variabel yang berperan penting dalam implementasi kebijakan. Salah satu komunikasi yang paling utama dalam kebijakan relokasi di Pasar Unit II Kabupaten Tulang Bawang adalah informasi dari pihak Pemerintah Tulang Bawang kepada pedagang tentang sosialisasi kebijakan relokasi tersebut. Sosialisasi ini diharapkan dapat menyatukan visi dan misi antara keinginan Pemerintah Tulang Bawang dengan keinginan pedagang di Pasar Unit II.

Ketika komunikasi yang terjalin antara pemerintah dengan pedagang Pasar Unit II berjalan baik, maka tingkat penolakan terhadap kebijakan relokasi tersebut akan dapat diperkecil. Walaupun masih ada yang menolak itu merupakan hal yang wajar, terutama dalam kebijakan relokasi di Pasar Unit II. Dalam suatu perubahan yang terjadi di lingkungan sekitar pasti


(15)

ada pro dan kontra. Karena ini menyangkut keuntungan dan kerugian yang akan dirasakan oleh individu atau kelempok tertentu.

Kenyataan di lapangan pedagang Pasar Unit II tidak mendapatkan informasi yang cukup tentang relokasi pasar tersebut. Misalnya saja tentang penunjukan inverstor. Seharusnya pihak Pemerintah Tulang Bawang memberikan informasi serta menjelaskan secara rinci bagaimana proses seleksi yang dilakukan Pemerintah Tulang Bawang ketika menunjuk PT. Prabu Artha sebagai investor dalam pembangunan pasar modern di Tulang Bawang.

Penunjukan investor yang dilakukan Pemerintah Tulang Bawang dianggap tertutup. Hal ini menimbulkan banyak pertanyaan bagi pedagang Pasar unit II. salah satunya pedagang menganggap bahwa penunjukan investor tersebut tidak melalui prosedur yang jelas serta tidak melalui proses lelang. Jika Pemerintah mampu menjelaskan secara terbuka tentang penunjukan invertor maka dugaan kecurangan yang terjadi antara pihak Pemerintah Tulang Bawang dengan PT. Prabu Artha dapat dihindari.

Ketiadaan komunikasi yang terjadi di lapangan mengakibatkan penolakan pedagang Pasar Unit II tulang Bawang terhadap kebijakan relokasi pasar. Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian secara lebih mendalam tentang perilaku pedagang Pasar Unit II Kecamatan Banjar Agung Kabupaten Tulang Bawang dalam implementasi kebijakan relokasi.


(16)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan, maka dirumuskan masalah utama yang terkait dalam tulisan ini adalah bagaimana perilaku pedagang Pasar Unit II Kecamatan Banjar Agung Kabupaten Tulang Bawang dalam implementasi kebijakan relokasi.

C. Tujuan Penelitian

Dengan melihat permasalahan yang akan dikaji maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku pedagang Pasar Unit II Kecamatan Banjar Agung Kabupaten Tulang Bawang dalam implementasi kebijakan relokasi.

D. Manfaat Penelitian

Sejalan dengan tujuan penelitian sebagaimana dirumuskan di atas maka penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:

1. Kegunaan akademis

Secara akademis, hasil penelitian ini sebagai salah satu kajian Ilmu Pemerintahan di dalam mata kuliah Kebijakan Publik, khususnya yang berkaitan dengan perilaku pedagang Pasar Unit II Kecamatan Banjar Agung Kabupaten Tulang Bawang dalam implementasi kebijakan relokasi.


(17)

2. Kegunaan Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan atau pedoman bagi Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang khususnya, dan umumnya bagi para pembuat kebijakan publik untuk segera memodifikasi atau memperbaharui implementasi kebijakan agar dalam pelaksanaan kebijakan tersebut dapat berjalan secara efektif. Manfaat bagi pedagang adalah agar pedagang Pasar Unit II Kabupaten Tulang Bawang lebih mengedepankan nilai-nilai kompromi terhadap kebijakan Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang tentang relokasi pasar.


(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Perilaku

Setiap manusia memilih perilaku dalam setiap aktivitas yang dilakukannya, ini akibat dari adanya respon terhadap lingkungan tempatnya berada. Kamus Besar Bahasa Indonesia (1992:755) mendefenisikan perilaku sebagai tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan.

Menurut Notoatmodjo (2003:114), perilaku adalah keadaan jiwa (berpendapat, berfikir, bersikap dan sebagainya) untuk memberikan responsi terhadap situasi diluar subjek tersebut. Respons ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan) dan dapat juga bersifat aktif (dengan tindakan atau

action).

Menurut T. Person dalam Soekanto (1982:15) mengatakan bahwa salah satu unsur perilaku adalah gerak sosial yang terikat oleh empat syarat yaitu:

1. Diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu 2. Terjadi pada situasi tertentu

3. Diatur oleh kaidah-kaidah tertentu


(19)

Berdasarkan pengertian di atas maka perilaku dapat diartikan sebagai suatu tindakan yang dilakukan setiap individu dalam menjalankan aktivitas di lingkungan tempat dia berada.

B. Komponen-komponen Perilaku

Menurut Abu Ahmadi (2000:164) ada tiga komponen yang saling berhubungan, yaitu:

1. Komponen cognitive : berupa pengetahuan, kepercayaan atau pikiran yang didasarkan pada informasi yang berhubungan dengan obyek.

2. Komponen affective : menunjuk pada dimensi emosional dari sikap, yaitu emosi yang berhubungan dengan obyek. Obyek di sini dirasakan sebagai menyenangkan atau tidak menyenangkan.

3. Komponen behavior atau conative : yang melibatkan salah satu predisposisi untuk bertindak terhadap obyek.

Perilaku yang dipengaruhi kognitif merupakan pengetahuan yang dimiliki seseorang dari informasi yang berhubungan dengan suatu obyek. Perilaku kognitif ini akan menanggapi, menilai, dan merespon dari perubahan yang ada dilingkungan sekitar sebelum melakukan tindakan ataupun reaksi dalam menyikapi perubahan yang terjadi.

Pengetahuan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pedagang mengerti tentang kebijakan relokasi pasar tersebut, mengerti isi dari kebijakan relokasi pasar, serta paham tentang tujuan dikeluarkannya kebijakan relokasi pasar tersebut.


(20)

Perilaku yang dipengaruhi afektif adalah sikap yang ditunjukkan oleh seseorang baik itu sikap sebagai tanda menyenangkan maupun sikap sebagai tanda tidak menyenangkan. Sikap ini muncul dari adanya penilaian, tanggapan yang kemudian direspon dengan menunjukkan tingkah laku yang menandakan dari perasaan menyenagkan ataupun tidak menyenangkan.

Sikap yang dimaksud dalam penelitian ini adalah bagaimana sikap para pedagang dalam menyikapi kebijakan relokasi pasar yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang. Bagaimana tingkat respon pedagang terhadap kebijakan relokasi dan bagaimana tingkat respon pedagang terhadap proses pelaksanaan kebijakan relokasi pasar tersebut.

Perilaku yang dipengaruhi konatif merupakan perilaku yang berhubungan dengan motivasi atau faktor penggerak perilaku seseorang yang bermula dari kebutuhan. Jika seseorang sudah menyenangi suatu obyek, maka ada kecenderungan orang tersebut akan menerima perubahan yang terjadi dilingkungannya. Namun, bila seseorang tidak menyenangi suatu perubahan yang terjadi disekitarnya, maka cenderung akan menolak.

Sementara perilaku kognitif dalam penelitian ini adalah bagaimana kesedian dan kesungguhan pera pedagang dalam menerima kebijakan relokasi Pasar Unit II serta kesediaan dan kesungguhan dalam menerima proses pelaksanaan kebijakan relokasi Pasar Unit II Kabupaten Tulang Bawang.


(21)

Selanjutnya sikap/prilaku diartikan sebagai kesiapan merespon yang sifatnya positif, negatif dan netral terhadap objek atau situasi secara konsisten. Adapun definisi sikap/perilaku menurut Abu Ahmadi (2002: 163) sikap positif, sikap negatif, dan netral adalah :

1. Sikap positif adalah sikap yang menunjukkan atau memperlihatkan, menerima, mengakui, menyetujui serta melaksanakan norma-norma yang berlaku dimana individu itu berada.

2. Sikap negatif adalah sikap yang menunjukkan atau memperlihatkan penolakan atau tidak menyetujui terhadap melaksanakan norma-norma yang berlaku dimana individu itu berada.

3. Sikap netral adalah sikap masyarakat yang tidak menunjukkan sikap setuju atau menolak.

Sedangkan Menurut L. Mann yang dikutip oleh Azwar (2005: 4-5), komponen perilaku ada tiga yaitu :

1. Komponen kognitif berisi persepsi, kepercayaan yang dimiliki individu mengenai sesuatu. Seering kali komponen kognitif ini dapat disamakan dengan pandangan (opini), terutama apabila menyangkut masalah isu atau problem yang kontroversial.

2. Komponen afektif merupakan perasaan individu terhadap objek sikap dan menyangkut masalah emosi. Aspek emosional ini lah yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan merupakan aspek paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin akan merubah sikap seseorang.

3. Komponen perilaku berisi tendensi atau kecenderungan untuk bertindak atau bereaksi terhadap suatu dengan cara-cara tertentu.

Komponen kognitif ini lebih mengarah pada pendapat atau pandangan seseorang terhadap suatu perubahan yang terjadi dilingkungan dimana mereka berada. Pandangan terhadapa suatu perubahan akan baik jika perubahan yang ada adalah perubahan yang diinginkan. Namun, jika perubahan itu dianggap sebagai penghalang maka pandangan akan menjadi buruk terhadap obyek tersebut.


(22)

Komponen afektif lebih mengarah pada perasaan seseorang terhadap suatu obyek yang kemudian akan berakar pada emosioanl dan akan mempengaruhi dari sikap seseorang. Sikap ini akan terlihat dari tingkah laku yang dari individu dalam merespon suatu obyek.

Komponen konasi ini merupakan sebuah reaksi yang timbul dari adanya sikpa menolak ataupun menerima suatu obyek. Reaksi yang muncul ini biasanya memiliki cara-cara tertentu.

C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku

Menurut Lawrence Green dalam Notoadmodjo (2007:16-17) faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku, yaitu:

1. Faktor pendukung (Predisposing Factors) yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai juga dipengaruhi oleh faktor demografi seperti status ekonomi, umur, pendidikan, jenis kelamin dan sebagainya.

2. Faktor pendukung (Enabling Factors) yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas atau sarana.

3. Faktor pendorong (Reinforcing Factors) yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lainnya yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.

Faktor pendukung yang mempengaruhi perilaku itu adalah suatu pengetahuan, sikap, kepercayaan dan keyakinan. Selain itu faktor ekonomi juga sangat besar pengaruhnya. Perilaku seseoarng akan lebih bersifat terbuka jika suatu obyek tertentu dapat meningkatkan status ekonominya dan akan besikap acuh jika obyek tersebut tidak mempengaruhi status ekonominya.


(23)

Faktor pendukung berikutnya adalah perilaku itu akan dapat dipengaruhi dengan tersedianya sarana atau prasarana yang dapat menguntungkan bagi dirinya maupun lingkungan sekitar. Sikap yang tidak ingin rugi dari masyarakat inilah kemudian mempengaruhi perilakunya dalam bertindak.

Faktor pendukung yang mempengaruhi perilaku seseorang adalah dari adanya intervensi atau campur tangan dari orang lain ataupun pihak yang dianggap mampu menguntungkan. Adanya pengaruh dari orang lain ini akan membentuk sebuah perilaku. Baik itu perilaku yang menandakan kesenangan ataupun perilaku yang menandakan ketidak senangan terhadap suatu obyek.

D. Tinjauan Tentang Kebijakan

Kebijakan (Policy) atau sering juga di sebut sebagai kebijaksanaan. Kebijakan itu sendiri adalah intervensi pemerintah (dan publik) untuk mencari cara pemecahan masalah dalam pembangunan dan mendukung proses pembangunan yang lebih baik. Kebijakan adalah upaya, cara dan pendekatan pemerintah untuk mencapai suatu tujuan pembangunan yang sudah dirumuskan. (http://www.google.com/Pengertian-kebijakan)

Para ahli memberikan bermacam-macam arti dari kebijakan. Harold D.Lassweell dan Abraham Kaplan mengartikan kebijakan

sebagai “a projected program of goals, values ang practices” [“

suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktek-praktek

yang terarah”]. (Harold D.Lassweell dan Abraham Kaplan dalam


(24)

H. Hugh Heglo menyebutkan kebijakan sebagai “a course of action

intended to accomplish some end,” [“sebagai suatu tindakan yang bermaksud untuk mencapai tujuan tertentu”]. (H. Hugh Heglo dalam Said

Zainal Abidin. 2004).

“Carl Friedrich mengatakan bahwa kebijaksanaan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang di usulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan”. (Carl Friedrich, dalam Wahab, Solichin Abdul. 2005:3).

Anderson mengartikan kebijaksanaan ialah langkah tindakan secara nyata dilakukan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan tertentu yang dihadapi. (Anderson dalam Wahab, Solichin Abdul. 2005:3).

Berikutnya dikemukakan oleh Perserikatan Bangsa-bangasa

“kebijaksanaan itu di artikan sebagai suatu deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai aktivitas-aktivitastertentu atau suatu rencana”. ( United Nations, 1975 dalam Wahab, Solichin Abdul. 2005:2).

Jenkins(1978:15) menyebutkan bahwa kebijakan negara (public

policy) adalah “a set of interrelated decision taken by a political

actor or group of actors concerning the selection of goals and the means of achieving the within a spesified situation where these decision should, in principle, be within the power of these actors”

[“serangkaian keputusan yang saling berkaitan yang diambil oleh

seorang pelaku/aktor politik atau sekelompok aktor politik berkenaan dengantujuan yang telah dipilih beserta cara-cara untuk mencapainya dalam suatu situasi dimana keputusan-keputusan itu pada prinsipnya masih berada dalam batas-batas kewenangan

kekuasaan dari para aktor politik tersebut”].


(25)

Dengan bertumpu pada pendapat dari beberapa ahli di atas, maka kebijakan itu adalah suatu cara atau strategi yang dibuat dan diambil oleh aktor politik maupun kelompok kepentingan untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

E. Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan adalah tahap yang paling terpenting didalam suatu kebijakan. Sebab tahap ini menentukan apakah kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah benar-benar terlaksana secara baik dilapangan dan berhasil untuk menghasilkan output dan outcomes seperti yang telah direncanakan.

Menurut Indiahono (2009:143) Output adalah keluaran kebijakan yang diharapkan muncul sebagai keluaran langsung dari kebijakan. Output ini biasanya dapat terlihat dalam waktu yang sangat singkat pasca implementasi kebijakan tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan

outcomes adalah dampak dari suatu kebijakan itu sendiri. Dampak ini diharapkan dapat muncul setelah keluarnya output dari suatu kebijakan.

Outcomes ini muncul biasanya dalam waktu yang lama pasca implementasi kebijakan.

Dalam kamus Webter dalam Solichin Abdul Wahab (2005:64)

“disebutkan bahwa merususkan implementasi secara pendak yaitu

to provide the mean carrying out” yang berarti menyediakan sarana melaksanakan sesuatu atau menimbulkan dampak atau akibat terhadap sesuatu, maka implementasi kebijakan dapat dipandang sebagai suatu proses melaksanakan keputusan

kebijaksanaan”.

Menurut Van Meter dan Van Horn (1975) dalam leo Agustino


(26)

tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan”.

Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1979) dalam Solichin

Abdul Wahab (2005:65) “menjelaskan makna implementasi ini

dengan mengatakan bahwa: memahami apa yang seharusnya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijaksanaan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbut sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan negara, yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengetministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian”.

Berdasarkan pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa implementasi merupakan suatu proses yang sangat dinamis, dimana pelaksanaan kebijakan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan-kegiatan yang dimana pada akhirnya akan memperoleh suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran dari kebijakan tersebut.

Proses implementasi kebijakan itu sesungguhnya tidak hanya menyangkut prilaku badan-badan administrasi yang bertanggungjawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan pada diri kelompok sasaran, melainkan juga menyangkut jaringan kekuatan politik, ekonomi dan sosial yang langsung dan tidak langsung yang dapat mempengaruhi prilaku dari semua yang terlibat di dalam kebijakan tersebut. Yang pada akhirnya berpengaruh pada dampak baik itu yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan.


(27)

Keberhasilan suatu implementasi kebijakan dapat diukur atau dilihat dari proses dan pencapaian tujuan hasil akhir (output) yaitu tercapainya atau tidaknya tujuan-tujuan yang ingin diraih. Merrile Grindle dalam Leo Agustino (2008:139) mengatakan pengukuran keberhasilan implementasi kebijakan dapat dilihat dari prosesnya, dengan mempertanyakan apakah pelaksanaan program sesuai dengan yang telah ditentukan yaitu melihat pada action program dari individual projects dan yang kedua apakan tujuan program tersebut tercapai.

F. Proses Implementasi

Menurut Irfan Islamy (2002) proses kebijakan melalui beberapa tahapan yaitu sebagai berikut :

1. Perumusan Masalah Kebijakan Negara

Tidak semua masalah dalam masyarakat bisa menjadi public problem, disebut public problem apabila masalah tersebut tidak dapat diatasi secara privat. Untuk menjadi policy problem (masalah kebijakan), suatu public problem perlu diperjuangkan untuk bisa ditanggapi oleh pembuat kebijakan.

2. Penyusunan Agenda Pemerintah

Agenda Pemerintah adalah serangkaian hal-hal yang secara tegas membutuhkan pertimbangan aktif dan serius dari pembuat keputusan yang sah.

Agenda pemerintah terdiri dari 2 macam, yaitu : a) Old Item (Masalah yang sudah lama atau tua). b) New Item (Masalah yang baru-baru ini timbul). 3. Perumusan Usulan Kebijakan Negara

4. Merupakan kegiatan menyusun dan mengembangkan serangkaian tindakan yang perlu untuk memecahkan masalah, serangkaian tindakan tersebut meliputi :

a) Identifikasi alternatif b) Merumuskan alternatif c) Menilai alternatif d) Memilih alternatif


(28)

5. Pengesahan Kebijakan Negara

Hakekat pengesahan atau legitimasi adalah proses penyesuaian dan penerimaan secara bersama atas dasar prinsip dan ukuran umum. 6. Pelaksanaan Kebijakan Negara

Ada dua cara dalam pelaksanan kebijakan ini :

a) Self Executing Dalam hal ini kebijakan terlaksana dengan sendirinya begitu disahkan.

b) Non Self Executing Tidak hanya berhenti pada saat ditetapkan tetapi perlu tindakan kebijakan.

Menurut Drs. Oberlin Silalahi ada tiga tindakan penting dalam pelaksanaan kebijakan, yaitu :

a) Interprestasi, merupakan aktivitas yang menterjemahkan program-program ke dalam peraturan yang dapat diterima dan dijalankan. b) Organisasi, yaitu merupakan unit atau wadah untuk menempatkan

program ke dalam dampak.

c) Aplikasi berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi pelayanan, upah, dan lain-lain.

7. Penilaian Kebijakan Negara

1. Isi kebijakan, evaluasi terhadap kebijakan ini dilakukan sebelum kebijakan dilaksanakan. Evaluasi ini dilakukan terhadap bentuk dan materi kebijakan.

2. Pelaksanaan 3. Dampak kebijakan

Analisis kebijakan dilakukan untuk menciptakan secara kritis menilai, dan mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan dalam satu atau lebih tahap proses pembuatan kebijakan. Tahap tahap tersebut mencerminkan aktivitas yang terus berlangsung yang terjadi sepanjang waktu. Setiap tahap berhubungan dengan tahap yang berikutnya, dan tahap terakhir (penilaian kebijakan) dikaitkan dengan tahap pertama (penyusunan agenda), atau tahap ditengah, dalam lingkaran aktivitas yang tidak linear. Aplikasi prosedur dapat membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan yang secara langsung mempengaruhi asumsi, keputusan, dan aksi dalam satu tahap yang kemudian secara tidak langsung mempengaruhi kinerja tahap-tahap berikutnya. Aktivitas yang termasuk dalam aplikasi prosedur analisis


(29)

kebijakan adalah tepat untuk tahap-tahap tertentu dari proses pembuatan kebijakan. Sebab terdapat sejumlah cara dimana penerapan analisis kebijakan dapat memperbaiki proses pembuatan kebijakan dan kinerjanya (William N. Dunn 2003:23).

FASE KARAKTERISTIK

PENYUSUNAN AGENDA

Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Banyak masalah tidak disentuh sama sekali sementara lainnya ditunda untuk waktu lama.

FORMULASI KEBIJAKAN

Para pejabat merumuskan alternatif kebijakan untuk mengatasi masalah. Alternatif kebijakan melihat perlunya membuat perintah eksekutif, keputusan peradilan, dan tindakan legislatif.

ADOPSI KEBIJAKAN Alternatif kebijakan yang diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsesnsus diantara direktur lembaga atau keputusan peradilan.

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia.

PENILAIAN KEBIJAKAN

Unit-unit pemeriksanaan dan akuntansi dalam pemerintahan menentukan apakah badan-badan eksekutif. Legislatif, dan peradilan memenuhi persyaratan undang-undang dalam pembuatan kebijakan dan pencapaian tujuan.

Sumber : William N. Dunn, 2003:24


(30)

Kedekatan prosedur Analisis Kebijakan dengan Tipe-tipe Pembuatan Kebijakan

Penyusunan Agenda

Formulasi Kebijakan

Adopsi Kebijakan

Implementasi Kebijakan

Sumber : William N. Dunn, 2003:25 Keterangan :

1. Perumusan masalah dapat memasok pengetahuan yang relevan dengan kebijakan yang mempersoalkan asumsi-asumsi yang mendasari definisi masalah dan memasuki proses pembuatan kebijakan melalui penyusunan

Penilaian

Perumusan masalah

Peramalan

Rekomendasi

Pemantauan


(31)

agenda (agenda setting). Perumusan masalah dapat membantu menemukan asumsi-asumsi yang tersembunyi, mendiagnosis penyebab-penyebabnya, memetakan tujuan-tujuan yang memungkinkan memadukan pandangan-pandangan yang bertentangan dan merancang peluang-peluang kebijakan yang baru.

2. Peramalan dapat menyediakan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang masalah yang akan terjadi dimasa mendatang sebagai akibat dari diambilnya alternatif, termasuk tidak melakukan sesuatu. Ini dilakukan dalam tahap formulasi kebijakan. Peramalan dapat menguji masa depan yang potensial, dan secara normatif bernilai mengestimasi akibat dari kebijakan yang ada atau yang diusulkan, mengenali kendala-kendala yang mungkin akan terjadi dalam pencapaian tujuan dan mengestimasi kelayakan politik (dukungan dan oposisi) dari berbagai pilihan.

3. Rekomendasi membuahkan pengatahuan yang relevan dengan kebijakan tentang manfaat atau biaya dari berbagai alternatif yang akibatnya dimasa mendatang telah diestimasikan melalui peramalan. Ini membantu pengambilan kebijakan pada tahap adopsi kebijakan. Rekomendasi membantu mengestimasi tingkat resiko dan ketidakpastian, mengenal eksternalitas dan akibat ganda, menentukan kriteria dalam pembuatan pilihan, dan mentukan pertanggungjawaban administratif bagi implementasi kebijakan.


(32)

4. Pemantauan (monitoring) menyediakan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang akibat dari kebijakan yang diambil sebelumnya. Ini membantu pengambil kebijakan pada tahap implementasi kebijakan dengan menggunakan berbagai indikator kebijakan di bidang pendidikan, kesehatan, perumahan, kesejahteraan, dan lain-lain. Pemantauan membantu menilai tingkat kepatuhan, menemukan akibat-akibat yang tidak diinginkan dari kebijakan dan program, mengidentifikasi hambatan dan rintangan implementasi, dan menemukan letak pihak-pihak yang bertanggungjawab pada setiap tahap kebijakan.

5. Evaluasi (Penilaian) membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang ketidaksesuaian antara kinerja kebijakan yang diterapkan dengan yang benar-benar dihasilkan. Jadi ini membantu pengambilan kebijakan terhadap proses pembuatan kebijakan. Evaluasi tidak hanya menghasilkan kesimpulan mengenai seberapa jauh masalah terselesaikan, tetapi juga menyumbang pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari kebijakan, membantu dalam penyesuaian dan perumusan kembali masalah.


(33)

G. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembuatan Kebijakan

Pembuatan kebijakan bukanlah suatu pekerjaan yang mudah dan sederhana. Oleh karena itu dalam membuat, menentukan dan memutuskan suatu kebijakan itu diperlukan kemampuan dan keahlian serta tanggungjawab dan kemauan, sehingga kebijakan dapat dibuat dengan memperhitungkan segala resikonya, baik itu resiko yang bersifat positif atau yang diharapkan maupun resiko yang bersifat negatif atau yang tidak diharapkan.

Nigro and Nigro mengatakan ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi pembuatan kebijakan yaitu:

1. Adanya pengaruh tekanan-tekanan dari luar.

Sering kali para pembuat kebijakan harus membuat kebijakan karena adanya tekanan-tekanan dari luar. Meskipun pembuat kebijakan harus mempertimbangkan alternatif-alternatif yang akan dipilih berdasarkan penilaian rasioanl, tetapi proses dan prosedur pembuatan kebijakan itu tidak dapat dipisahkandari dunia nyata. Sehingga adanya tekanan-tekanan dari luar sangat berpengaruh terhadap proses pembuatan keputusan.

2. Adanya pengaruh kebiasaan lama.

Kebiasaan lama organisasi seperti kebiasaan investasi modal, sumber-sumber dan waktu, yang sesekali dipergunakan untuk membiayai program-program tertentu, cendrung akan selalu diikuti kebiasaan seperti itu oleh para investor, kendatipun misalnya keputusan-keputusan yang berkenaan telah dikritik karena salah dan perlu diubah. Kebiasaan itu akan terus diikuti lebih-lebih kalau satu kebijakan telah dipandang memuaskan. Kebiasaan-kebiasaan lama tersebut seringkali diwarisi oleh para administrator yang baru dan mereka secara terang-terangan mengkritik atau menyalahkan kebiasaan-kebiasaan lama yang telah berlaku atau yang dijalankan oleh para pendahulunya. apalagi ketika para administrator yang baru akan menduduki jabatan karirnya. 3. Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi

Berbagai macam kebijakan yang dibuat oleh pembuat kebijakan banyak dipengaruhi oleh sifat-sifat pribadinya. Seperti misalnya dalam proses penerimaan atau pengangkatan pegawai baru, seringkali sifat pribadi mempunyai pengaruh yang besar.


(34)

4. Adanya pengaruh dari kelompok luar.

Lingkungan sosial dari para pembuat kebijakan juga berpengaruh terhadap pembuatan kebijakan. Seperti contoh mengenai masalah pertikaian kerja, pihak-pihak yang bertikai kurang menaruh respek pada upaya penyelesaian oleh orang dalam, tetapi keputusan-keputusan yang diambil oleh pihak-pihak yang dianggap dari luar dapat memuaskan mereka. Sehingga peran kelompok luar itu lebih besar ketimbang pengaruh yang ada didalam organisasi tersebut.

5. Adanya pengaruh keadaan masa lalu.

Keadaan masa lalu atau pengalaman (sejarah) pekerjaan yang terdahulu sangat berpengaruh pada proses pembuatan kebijakan, seperti misalnya orang sering membuat keputusan untuk tidak melimpahkan sebagian dari wewenang dan tanggungjawabnya kepada orang lain karena khawatir kalau wewenang dan tanggungjawab yang dilimpahkannya itu disalahgunakan.

(Nigro and Nigro, Dalam Irfan Islamy, 2002:25-26)

Selain itu menurut Anderson ada beberapa macam nilai-nilai yang menjadi pedoman prilaku para pembuat keputusan dalam menentukan sebuah kebijakan, yaitu:

1. Nilai-nilai Politik (political values)

Keputusan-keputusan yang dimbil biasanya berdasarkan kepentingan politik guna memperluas pengeruh-pengaruh politik dalam mencapai tujuan dan kepentingan dari partai politik dari kelompok kepentingan yang bersangkutan.

2. Nilai-nilai Organisasi (Organization values)

Para pembuat kebijakan keputusan seperti Birokrat sipil ataupun militer selalu dipengaruhi oleh nilai-nilai organisasi. Keputusan-keputusan dan kebijakan atas adasar nilai-nilai yang dianut organisasi, seperti balas jasa (rewards) dan sanksi (punishment) yang dapat mempengaruhi anggota organisasi untuk menerima dan melaksanakannya.

3. Nilai-nilai Pribadi (Personal values)

Hasrat untuk melindungi atau memenuhi kesejahteraan atau kebutuhan fisik atau kebutuhan finansial, reputasi diri, atau posisi historis inilah yang digunakan untuk menentukan kebijakan demi mempertahankan status quo, jabatan, kekayaan dan yang bersifat menguntungkan pribadinya sendiri.

4. Nilai-nilai Kebijakan (Policy values)

Keputusan-keputusan dan atau kebijakan-kebijakan dibuat atas dasar persepsi pembuat kebijakan tentang kepentingan publik atau pembuatan kebijakan yang secara moral dapat di pertanggung jawabkan.


(35)

5. Nilai-nilai Ideolagi (Ideolagical values)

Nilai-nilai ideologi ini biasanya digunakan para pembuat kebijakan untuk memutuskan dan mempertimbangkan sebuah kebijakan. Misalnya nasionalisme dapat menjadi landasan pembuat kebijakan seperti kebijakan dalam negeri dan kebijakan luar negeri.

Namun didalam proses pembuatan kebijakan biasanya terdapat kesalahan-kesalahan yang umum terjadi. Nigro and Nigro menyebutkan bahwa ada (7) tujuh macam kesalahan umum, yaitu:

1. Cara berfikir yang sempit (cognitive nearsightednees)

Adanaya kecendrungan manusia dalam embuat keputusan demi memenuhi kebutuhan sesaat sehingga melupakan antisipasi kemasa yang akan datang. Hal ini disebabkan karena banyaknya keanekaragaman yang terjadi di lingkungan pemerintahan sehingga pejabat pemerintahan sering membuat keputusan dengan dasar-dasar pertimbangan yang sempit dengan tanpa mempertimbangkan implikasinya kemasa depan. Dan seringkali pula pembuatan keputusan hanya dipandang dari satu aspek permasalahan saja dengan melupakan problemanya secara keseluruhan.

2. Adanya asumsi bahwa masa depan akan mengulangi masa lalu (assumption that future wiil repeat pastI)

Anggapan yang menyatakan bahwa dalam suatu masa yang stabil orang akan bertingkahlaku sebagaimana para pendahulunya dimasa lampau. Tetapi keadaan saat ini jauh lebih stabil, karena banyak orang-orang yang bertingkah laku dengan cara yang sangat mengejutkan. Kendatipun ada perubahan-perubahan yang besar pada prilaku orang-orang, akan tetapi masih banyak pejabat pemerintah yang secara picik/buta beranggapan bahwa perubahan-perubahan itu masih normal dan hal itu akan akan kembali seperti sediakala. Padahal didalam membuat keputusan pejabar pemerintah harus meramalkan keadaan-keadaan dan pristiwa-pristiwa yang akan datang, agar kesalahan yang pernah terjadi dimasa lampau tidak akan terulang kembali.

3. Terlampau menyederhanakan sesuatu (over simplification)

Selain untuk berfikir secara sempit, muncul pula kecendrungan lain dari para pembuat keputusan yaitu terlampau menyederhanakan segala sesuatunya. Misalnya dalam menangani suatu maslah, para pembuat keputusan hanya mengamati gejala-gejala dari masalah itu saja tanpa mempelajari secara mendalam apa sebab-sebab timbulnya maslah tersebut. Dalam menangasi suatu masalah seharusnya jangan terlalu berpatokan pada satu cara yang dianggap paling tepat dalam menangani masalah tersebut. Belum tentu cara yang dianggap paling tepat itu dapat menyelesaikan pesmasalahan, malah bisa saja menimbulkan permasalahan yang baru yang bahkan bisa jauh lebih rumit. Untuk itu para pembuat keputusan haruslah bijaksana dan tidak


(36)

terlalu meremehkan atau terlelu menyederhanakan setiap persoalan yang ada.

4. Terlampau menggantungkan pada pengalaman satu orang (overreliance on one’s own exparience)

Kebanyakan orang meletakkan bobot yang besar pada pengalaman mereka diwaktu yang lalu. Walaupun seorang pejabat yang berpengalaman mampu membuat keputusan-keputusan yang lebih baik dibandingkan dengan seorang pejabat yang tidak berpengalaman, tetapi mengandalkan pengalaman dari seorang saja bukanlah pedoman yang terbaik. Hal ini disebabkan karena keberhasilan seseorang dimasa lampau mungkin saja karena adanya faktor keberuntungan. Oleh karna itu pembuatan keputusan yang dilakukan secara bersama-sama itu akan lebih baik dan akan menghasilkan keputusan yang lebih bijaksana. 5. Keputusan-keputusan yang dilandasi oleh prakonsepsi pembuat

keputusan (preconceived nations)

Dalam mengambil keputusan di beberapa kasus sering kali keputusan itu dilandaskan pada prakonsepsi pembuat keputusan. Keputusan administratif akan lebih baik hasilnya kalau didasarkan pada penemuan ilmu sosial. Sayangnya penemuan ini sering diabaikan bila bertentangan dengan gagasan atau konsepsi pembuat keputusan. Fakta-fakta yang ditemukan oleh ilmu sosial akan sangat berguna bagi pembuatan keputusan pemerintah.

6. Tidak ada keinginan untuk melakukan percobaan (unwillingness to experiment)

Cara untuk mengetahui apakah suatu keputusan dapat diimplementasikan adalah dengan mengetesnya secara nyata pada ruang lingkup yang kecil. Adanya tekanan waktu, pekerjaan yang menumpuk dan sebagainya menyebabkan pembuat keputusan tidak punya kesempatan melakukan proyek percobaan (pilot project). Pemerintah kurang berani bereksperimen dikarnakan takut menanggung resiko.

7. Keengganan untuk membuat keputusan (reluctance to decide)

Meskipun banyak kasus yang terjadi dan mempunyai cukup fakta, namun beberapa orang enggan untuk membuat keputusan, karena banyak orang yang beranggapan bahwa mengambil keputusan itu merupakan pekerjaan yang sulit, berat dan penuh resiko.


(37)

H. Model-model Pendekatan Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan merupakan hal yang paling terpenting. Menurut Indiahono (2009:31) “model pendekatan implementasi kebijakan publik itu ada 2 yaitu:

1. Model Implementasi Kebijakan George C. Edward III

Model implementasi kebijakan model Edward menunjuk empat variabel yang berperan penting dalam pencapaian keberhasilan implementasi. Empat variabel tersebut adalah komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi.

2. Model Implementasi Kebijakan Van Meter dan Van Horn

Model implementasi kebijakan dari meter dan Horn merupakan variabel yang diyakini dapat mempengaruhi implementasi dan kinerja kebijakan. Variabel yang terdapat dalam model ini adalah standar dan sasaran kebijakan, kinerja kebijakan, sumber daya, komunikasi, karakteristik badan pelaksana, lingkungan sosial dan sikap pelaksana.

Menurut Leo Agustino (2008:140) “model pendekatan implementasi kebijakan publik terdiri dari 3 yaitu:

1. Implementasi kebijakan publik model Van Meter dan Van Horn Model ini mengandalkan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linier dari keputusan politik yang tersedia, pelaksana, dan kinerja kebijakan publik. Menurut Van Meter dan Van Horn ada 6 variabel yang mempengaruhi kenierja kebijakan publik yaitu ukuran dan tujuan kebijakan, semberdaya, karakteristik agen pelaksana, sikap para pelaksana, komunikasi dan lingkungan sosial.

2. Implementasi kebijakan publik model Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier

Peran penting dari implementasi kebijakan publik adalah kemampuannya dalam mengidentifikasikan variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi. Variabel tersebut adalah mudah atau tidaknya masalah yang akan digarap, kemampuan kebijakan menstruktur proses implementasi secara tepat dan variabel-variabel yang diluar undang-undang yang mempengaruhi implementasi.


(38)

3. Implementasi kebijakan Publik model George C. Edward III

Dalam pendekatan yang diteoremakan oleh Edward III terdapat empat variabel yang sangan menentukan keberhasilan implementasi suatu kebijakan yaitu komunikasi, sumberdaya, disposisi dan struktur birokrasi.

Sedangkan menurut Abdul Wahab (2005:70) “ada tiga macam model -model implementasi kebijaksanaan negara, yaitu:

1. Model Brian W Hogwood dan Lewis A. Gunn

Untuk dapat mengimplementasikan kebijaksanaan negara secara sempurna maka diperlukan beberapa syarat-syarat tertentu seperti kondisi eksternal, waktu dan sumber-sumber yang cukup memadai, sumebr yang diperlukan benar-benar tersedia, kebijaksanaan yang akan diimplementasikan didasari suatu hubungan kausalitas yang andal, hubungan kausalitas bersifat langsung, pemahaman yang mendalam, tugas-tugas diperinci, komunikasi dan pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna.

2. Model Van Meter dan Van Horn

Jalan yang menghubungkan antara kebijaksanaan dan prestasi kerja dipisahkan oleh sejumlah variabel bebas yang saling berkaitan, yaitu: ukuran dan tujuan kebijaksanaan, sumber-sumber kebijaksanaan, sifat badan pelaksana, komunikasi, sikap para pelaksana dan lingkungan ekonomi.

3. Model Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier

Variabel terpenting dalam model ini adalah mudah tidaknya masalah yang akan digarap dikendalikan, kemampuan keputusan kebijaksanaan untuk menstrukturkan secara tepat proses implementasinya dan pengaruh langsung dari pelbagai variabel politik terhadap keseimbangan dukungan bagi tujuan yang termuat dalam keputusan kebijaksanaan tersebut.

Berdasarkan model implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh para ahli di atas maka peneliti mengambil salah satu model implementasi kebijakan yang paling tepat digunakan dalam penelitian ini adalah

“Implementasi Kebijakan Model George C. Edward III”. Alasan peneliti menggunakan Model George C. Edward III karena model ini menempatkan bahwa suatu implementasi itu akan terwujud jika


(39)

komunikasi lancar, sumberdaya yang berkualitas, disposisi dan struktur birokrasinya baik. Ketika keempat variabel ini berjalan baik maka kepatuhan dari masyarakat terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah itu akan mudah dalam pengimplementasiannya. Keempat dari variabel di atas memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lainnya dalam mencapai tujuan dan sasaran dari suatu kebijakan.

Menurut Riant Nugroho (2008:447) “Edward menyarankan untuk

memerharikan empat isu pokok agar implementasi kebijakan menjadi efektif, yaitu: Communication, reseurce, disposition or attitudes dan

bureaucratic structure.

Berdasarkan pengertian implementasi model Edward di atas maka penulis lebih menekankan pada model Edward karena empat variabel terpenting seperti komunikasi, sumberdaya, disposisi dan struktur birokrasi adalah unsur utama dari keberhasilan implementasi kebijakan.

I. Tinjauan Efektivitas Kebijakan Publik

Ketika berbicara mengenai efektivitas, maka yang akan terlintas di dalam pikiran kita adalah sebuah keberhasilan dari suatu rencana atau berjalannya suatu rencana dengan baik sesuai dengan apa yang diinginkan serta rencana yang berjalan tidak melalui proses yang lambat, berbelit-belit, dan banyak tidak mengulur-ulur waktu.


(40)

Suatu kegiatan ataupun tindakan itu sudah pasti mempunyai tujuan tertentu yang ingin dicapai, oleh karena itu tercapainya tujuan-tujuan tersebut sesuai standar tidaklah mudah. Semuanya membutuhkan proses atau usaha-usaha yang maksimal. Dengan demikian maka suatu tindakan-tindakan atersebutlah kita dapat menilai efektif atau tidaknya suatu kebijakan.

Berkaitan dengan efektifitas dari implementasi kebijakan dibawah ini akan dikemukakan beberapa defenisi dari efektivitas antara lain:

Menurut William N Dunn (2003:498) mengatakan bahwa efektifitas merupakan suatu kriteria untuk menseleksi berbagai alternatifuntuk dijadikan rekomendasi didasar pertimbangan apakah alternatif yang direkomendasikantersebut memberikan hasil (akibat) yang maksimal, atau nilai-nilai rakyat.

Sondang P. Siagian (2001:24) memberikan definisi bahwa

“Efektivitas adalah pemanfaatan sumber daya, sarana dan

prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah barang atas jasa kegiatan yang dijalankannya. Efektivitas menunjukan keberhasilan dari segi tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkan. Jika hasil kegiatan semakin mendekati sasaran, berarti makin tinggi efektivitasnya.

Dari beberapa pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa suatu pekerjaan itu akan dapat dilaksanakan secara tepat, efektif, efisien apabila pekerjaan tersebut dilaksanakan dengan tepat sesuai dengan yang telah direncanakan dan prosedur yang tidak berbeli-belit.


(41)

J. Pengertian Relokasi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia relokasi adalah pemindahan tempat atau rencana (http://bahasa.kemdiknas.go.id). Relokasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang merupakan salah satu alternatif untuk memberikan tempat kepada para pedagang yang berada di Pasar Unit II untuk menata kembali dan melanjutkan kehidupannya di tempat yang baru. yang dimana ruko, kios dan los yang ditempati selama ini akan dibongkar dan dijadikan sebagai pasar modern.

Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang mengeluarkan kebijakan tentang relokasi pasar adalah bertujuan untuk membangun dan menata kembali Pasar Unit II menjadi pasar modern. Tujuannya pemerintah membangun pasar modern ini adalah agar tingkat perekonomian pedagang maupun masyarakat meningkat.

Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang juga sudah menyediakan tempat penampungan para pedagang. Untuk itu, dalam suatu kebijakan relokasi yang terpenting adalah kesukarelaan pedagang untuk menempati lokasi yang sudah ada sehingga memberikan kemudahan kepada pihak pemerintah untuk membangun pasar yang nyaman, dan bersih.

Pasar modern tidak bisa dihindarkan. Sebab perkembangan zaman semakin maju dan memaksa masyarakat untuk bersaing meningkatkan perekonomian. Ketika perekonomian masyarakat semakin meningkat maka tingkat kesejahteraanpun akan tinggi.


(42)

K. Pengertian Pedagang Tradisional

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995:203) “dikatakan bahwa pedagang adalah orang yang mencari nafkah dengan berdagang. Sedangkan Pasar tradisional adalah pasar yang bersifat tradisional dimana para penjual dan pembeli dapat mengadakan tawar menawar secar langsung. Barang-barang yang diperjual belikan adalah barang yang berupa barang kebutuhan pokok”.

Jenis-jenis Pedagang Tradisional adalah:

1. Pedagang Eceran

pedagang eceran bisa didefinisikan sebagai suatu kegiatan menjual barang dan jasa kepada konsumen akhir. Pedagang eceran adalah mata rantai terakhir dalam penyaluran barang dari produsen sampai ke konsumen. Pedagang eceran sangat penting artinya bagi produsen karena melalui pengecer produsen memperoleh informasi berharga tentang barangnya.

2. Pedagang Asongan

Pedagang asongan mempunyai arti seorang pedagang yang membawa

dagangan mereka dengan cara di “asong” yaitu di selalu dibawa- bawa dan diangkat untuk di tawarkan kepada para pembeli.

3. Pedagang Gerosir

adalah pedagang yang membeli atau mendapatkan barang dagangannya dari distributor atau agen tunggal yang biasanya akan


(43)

diberi daerah kekuasaan penjualan / perdagangan tertentu yang lebih kecil dari daerah kekuasaan distributor.

4. Pedagang Kaki Lima

Pedagang Kaki Lima adalah mereka yang melakukan kegiatan usaha dagang perorangan atau kelompok yang dalam menjalankan usahanya menggunakan tempat-tempat fasilitas umum, seperti terotoar, pingir-pingir jalan umum, dan lain sebagainya.

Berdasarkan penegrtian diatas maka pedagang tradisional adalah para penjual dagangan yang menempati suatu lokasi yang dimana terdapat macam dan jenis dagangan yang mereka tawarkan kepada konsumen. Umumnya pedagang tradisional menjual barang-barang kebutuhan pokok seperti, pakaian, makanan ataupun minuman.

L. Tinjauan Pemerintah Tulang Bawang Terhadap SK Bupati

Berdasarkan penyelenggaraan pemerintah daerah, Bupati Tulang Bawang yang dibantu perangkat daerah yaitu seketaris daerah, dinas daerah dan lembaga teknis daerah lainnya sesuai dengan kebutuhan daerah. Begitu juga dengan keputusan yang diambil oleh Bupati Tulang Bawang tentang kebijakan relokasi Pasar Unit II di Kecamatan Banjar Agung Tulang Bawang.

Dalam menyamakan persepsi, mengantisipasi dan menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan kebijakan relokasi Pasar Unit II ini diperlukan adanya penanganan yang tepat agar tidak terjadi


(44)

kesenjangan antara pihak pedagang dan pihak pemerintah. Bupati Tulang Bawang mengeluarkan SK No. 620/212/HK/2010 tentang penunjukan investor pembangunan Pasar Unit II Kabupaten Tulang Bawang dalam rangka menyediakan tempat penanpungan sementara kepada para pedagang yang akan direlokasikan.

Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang mengeluarkan SK tersebut berdasarkan adanya peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 6 tahun 2006 tentang pengelolaan barang milik negara/daerah.

Pihak investor yang telah ditunjuk oleh pemerintah dalam menjalankan kebijakan relokasi pasar unit II ini adalah menyediakan tempat penampungan sementara yang berlokasi tijak jauh dari Pasar Unit II tersebut. Tempat yang telah disediakan pihak PT Prabu Artha berupa bangunan yang berbentuk kios yang nantinya bisa digunakan para pedagang menjual barang dagangannya.

SK bupati tersebut sangat berkaitan erat dengan penelitian ini yaitu terkait dengan pihak pedagang yang menolak direlokasikan ketempat yang telah disediakan oleh pihak PT Prabu Artha tersebut.


(45)

M. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Pedagang Terhadap Kebijakan Relokasi Pasar Unit II

Faktor adalah hal yang melatarbelakangi, menyebabkan, mempengaruhi dan mendukung suatu tindakan dalam suatu kejadian atau peristiwa. hal ini jugalah yang menimbulkan konflik antara Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang dengan pedagang yang ada di Pasar Unit II. Semenjak dikeluarkannya SK Bupati No. 620/212/HK/2010 tentang penunjukan investor pembangunan Pasar Unit II Kabupaten Tulang Bawang para pedagang menolak untuk di relokasikan ke tempat yang sudah disediakan oleh PT Prabu Artha.

Pedagang menganggap bahwa kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang hanya menguntungkan sebelah pihak. Oleh karena itu pedagang tidak setuju dengan kebijakan ini. Hal yang mempengaruhi pedagang menolak kebijakan relokasi tersebut:

a. Unsur kognitif

- Pengetahuan tentang kebijakan relokasi pasar - Pengetahuan tentang tujuan kebijakan relokasi pasar - Pengetahuan tentang isi dari kebijakan relokasi

pasar b. Unsur afektif

- Perasaan emosional pedagang terhadap pengimplementasian kebijakan relokasi pasar


(46)

- Pendapat pedagang terhadap kebijakan relokasi pasar

- Sikap pedagang dalam menyikapi kebijakan relokasi pasar

- Respon pedagang terhadap proses implementasi kebijakan relokasi pasar

c. Unsur konatif

- Keinginan pedagang dalam menerima kebijakan relokasi pasar

- Kesediaan dan kesungguhan pedagang dalam menerima proses implementasi kebijakan relokasi pasar tersebut.

N. Kerangka Pikir

Sejak dikeluarkannya kebijakan relokasi Pasar Unit II para pedagang bersikeras untuk tidak mau menempati lokasi yang telah disediakan dan para pedagang tidak mahu meninggalkan kios-kios yang telah bertahun-tahun mereka tempati karena berbagai macam pertimbangan. Maka Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang harus bekerja keras untuk mengatasi permasalahan yang timbul seiring dengan dikeluarkannya kebijakan relokasi Pasar Unit II tersebut.

Kebijakan Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang yang berkaitan dengan Peraturan Pemerintah RI nomor 6 tahun 2006 tentang pengelolaan barang


(47)

milik negara/daerah, pada implementasinya berhadapan dengan persoalan penolakan pedagang yang ada dipasar unit II, dimana pihak pedagang menganggap pendapatan mereka akan menurun ketika mereka menempati tempat yang telah di sediakan oleh pihak pemerintah. Namun disisi lain bertentangan dengan upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang dalam upaya penataan kota, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah.

Efektivitas proses implementasi kebijakan tergantung pada sisi kebijakan yang terdiri dari subtansi pengaturan ke arah pencapaian tujuan kebijakan beserta dampak yang akan diakibatkan dari proses implementasi kebijakan pemerintah. Kepatuhan dari para pelaku di lapangan, termasuk kedisiplinan para pedagang yang ada di Pasar Unit II untuk mematuhi SK Bupati Kabupaten Tulang Bawang yang berkaitan dengan pembangunan daerah, namun karena kebijakan ini dianggap bertentangan dengan batas waktu yang diberikan oleh pemerintah sebelumnya untuk menempati lokasi tempat para pedagang menggelar dagangannya.

Melalui permasalahan di atas maka terdapat penyebab yang melatarbelakangi perilaku pedagang menolak untuk direlokasikan ke tempat yang telah disediakan oleh pihak pemerintah. Atas dasar uraian tersebut, maka kerangka pemikiran di atas digambarkan dalam bentuk bagan sebagai berikut:


(48)

Gambar 2. Kerangka Pikir Komponen Perilaku

Menurut Abu Ahmadi

Kognitif Afektif Konatif

Implementasi Kebijakan Relokasi Pasar Unit II

Mendukung Menolak Netral

Perilaku Pedagang Pasar Unit II Banjar Agung Kabupaten Tulang Bawang


(49)

VI. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa pedagang di Pasar Unit II Kecamatan Banjar Agung Kabupaten Tulang Bawang memiliki perilaku yang negatif, yaitu menolak rencana Pemerintah Kabupaten Tulang bawang yang ingin merubah pasar tradisional menjadi pasar modern. Pedagang juga menolak untuk direlokasikan ketempat penampungan sementara (TPS) yang sudah disediakan oleh pihak PT Prabu Artha. Berdasarkan pembahasan, maka dapat dismpulkan alasan pedagang menolak untuk direlokasikan adalah:

1. Rencana yang mendadak. Pedagang mengatakan bahwa rencana pembongkaran Pasar Unit II adalah rencana yang mendadak. Sebab pembongkaran pasar pertama kali diketahui oleh pedagang pada bulan September 2010. Sementara pihak Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang menargetkan pembangunan pasar akan dilakukakn pada bulan November 2010. Selain pembangunan pasar yang mendadak, ditambah lagi dengan masa jabatan Bupati Tulang Bawang yang akan habis bulan Desember 2012 membuat pedagang bertanya-tanya. Sebab kebijakan relokasi ini begitu terburu-buru.


(50)

2. Penununjukan investor yang tidak transparan. Didalam isi kebijakan relokasi Pasar Unit II Kabupaten Tulang Bawang membuat pedagang bingung, sebab dalam SK Bupati Nomor 620/212/HK/TB/2010 berisi tentang penunjukan investor yaitu PT Prabu Artha. PT Prabu Artha ditunjuk sebagai investor secara tiba-tiba tanpa melalui proses tender yang jelas.

3. Catatan buruk tentang investor. Fery Sulistyo alias Alay adalah pemilik PT Prabu Artha. Walaupun PT Prabu Artha sudah sering membangun pasar namun alay mempunyai catatan buruk seperti pada pembangunan pasar 16 ilir di Palembang. Alay tidak meleksanakan pembangunan seperti yang sudah direncanakan yaitu eskalator yang tidak berfungsi dan kualitas pengerjaan yang buruk. Oleh karena itu Pemerintah Kota Palembang memutus kontrak dengan PT Prabu Makmur karena dinilai tidak beritikad baik.

4. Harga yang terlalu mahal. Pedagang mengeluhkan harga ruko yang ditawarkan oleh PT Prabu Artha. Pedagang mengatakan harga yang ditawarkan jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan pasar yang ada di Kota Bandar Lampung. Untuk ukuran 3x4m, harga yang ditawarkan sebesar Rp 116.000.000. hal inilah yang dianggap pedagang bahwa pemerintah akan membunuh mata pencaharian pedagang. Artinya dengan harga yang cukup mahal pemerintah akan mengusir pedagang lama dan menggantinya dengan pedagang baru.


(51)

5. Modal pembangunan berasal dari uang pedagang. PT Prabu Artha sebagai investor memberikan informasi kepada pedagang bahwa kios akan dijual secara kredit melalui fasilitas KPR Bank. Namun kenyataan yang sebenarnya adalah setiap pedagang yang mahu membeli kios harus membayar uang muka/DP sebesar 30%, setelah pondasi dipasang maka dibayar lagi 20%, kemudian setelah bangunan stengah jadi maka dibayar lagi 20%, setelah itu ketika bangunan hampir selesai dibayar lagi 20% dan ketika serah kunci maka dibayar lunas yaitu 10%, artinya modal pembangunan Pasar Unit II sepenuhnya berasal dari uang pedagang.

6. Adanya bukti hak pakai bangunan (Akta HGB). Pedangang yang ada di Pasar Unit II masih memiliki Akta Hak Guna Bangunan (HGB) yang berlaku hingga tahun 2014, 2019 dan 2024.


(52)

B. Saran

Berdasarkan hasil pembahasan dan analisa terhadap permasalahan, maka peneliti memberikan saran terhadap kebijakan relokasi Pasar Unit II Kabupaten Tulang Bawang sebagai berikut:

1. Sebaiknya Pemerintah Tulang Bawang memberikan tenggang waktu kepada pedagang agar pembangunan pasar modern tidak terlihat seperti dipaksakan dan terburu-buru.

2. Bagi Pemerintah Tulang Bawang sebaiknya bersikap terbuka dalam penunjukan investor yang akan menyediakan tempat penampungan sementara bagi pedagang yang akan direlokasi, sehingga tidak menimbulkan kecurigaan yang berarti.

3. Sebaiknya Pemerintah Tulang Bawang melihat lebih dulu track record atau latar belakang sebelum menetapkan pihak investor yang akan bertanggung jawab dalam menjalankan pembangunan pasar modern. 4. Pembangunan pasar modern sebaiknya mendapatkan subsidi dari

Pemerintah Tulang Bawang sehingga harga toko atau kios yang ditawarkan kepada pedagang tidak terlalu mahal dan mudah dijangkau oleh pedagang.

5. Pembangunan pasar modern adalah tanggung jawab dari investor yang telah ditunjuk oleh Pemerintah Tulang Bawang. Sehingga biaya atau beban yang akan dikeluarkan dalam pembangunan pasar modern tersebut tidak membebani pedagang.


(53)

6. Sebaiknya Pemerintah Tulang Bawang memberikan kesempatan kepada pedagang untuk tetap berjualan hingga masa yang telah disepakati selesai, sehingga dapat menghindari konflik.


(54)

III. METODE PENELITIAN

Sebuah penelitian membutuhkan langkah-langkah yang teratur dengan urutan kerja yang harus dilakukan dalam melaksanakan penelitian. Selain itu, untuk mendukung jalannya sebuah penelitian dibutuhkan pula alat-alat yang akan dipergunakan untuk mengukur maupun untuk mengumpulkan data serta bagaimana melaksanakan penelitian di lapangan untuk memperoleh hasil penelitian yang akurat, efektif dan efisien. Langkah-langkah tersebut tercakup dalam metode penelitian. Bab ini membahas mengenai tipe penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti.

A. Tipe Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis Perilaku Pedagang Pasar Unit II Kecamatan Banjar Agung Kabupaten Tulang Bawang dalam Implementasi Kebijakan Relokasi, maka penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif yang didasarkan pada data kuantitatif.

Deskriptif digunakan dalam pembahasan sebab akibat, alasan menerima dan menolak kebijakan relokasi tersebut serta faktor-faktor yang


(55)

mempengaruhi perilaku pedagang. Sedangkan kuantitatif digunakan dalam mengukur perilaku pedagang pasar unit II Tulang Bawang.

Menurut Hadari Nawawi (2000:63) mengatakan:

“Penelitian deskriptif adalah sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan/melukiskan keadaan subyek/obyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) berdasarkan fakta-fakta yang Nampak sebagaiamana adanya, yang tidak terbatas, pada pengumpulan data dan penyusunan data, tetapi melihat analisis dan interpretasi tentang arti data itu”.

Sementara penelitian deskriptif menurut M. Nazir (1998:63) bahwa:

“Penelitian deskripif adalah suatu metode dalam meneliti status

sekelompok manusia, obyek serta kondisi, suatu system pemikiran

ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang”. Tujuan

penelitian ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran secara sistematis, factual dan akurat mengenai fakta, sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki”.

Sedangkan menurut Suharsimi Arikunto (2002:12) “penelitian kuantitatif adalah penelitian yang banyak dituntut menggunakan angka, mulai dari pengumpulan data, penafsiran terhadap data, serta penampilan hasilnya, oleh sebab itu pemahaman akan kesimpulan penelitian lebih baik apabila disertai tabel, grafik dan bagan”.

Alasan peneliti menggunakan tipe penelitian deskriptif kuantitatif adalah untuk menggambarkan suatu perilaku pedagang Pasar Unit II Kabupaten Tulang Bawang berdasarkan fakta-fakta yang peneliti temukan di lapangan dan data yang diperolah kemudian kumpulkan dan disajikan dalam bentuk tabel sehingga lebih mudah dipahami.


(56)

B. Defenisi Konseptual

Definisi konseptual merupakan definisi akademik atau yang mengandung pengertian universal untuk suatu kata atau kelompok kata. Pemaknaan dari konsep yang digunakan sehingga mempermudah peneliti untuk mengoperasioanalkan konsep tersebut di lapangan. Adapun definisi konseptual pada penelitian ini adalah:

1. Konsep Perilaku

Konsep perilaku dalam hal ini adalah:

a. Komponen kognitif : Pengetahuan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pedagang mengerti tentang kebijakan relokasi pasar tersebut, mengerti isi dari kebijakan relokasi pasar, serta paham tentang tujuan dikeluarkannya kebijakan relokasi pasar tersebut. b. Komponen afektif : bagaimana sikap para pedagang dalam

menyikapi kebijakan relokasi pasar yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang. Bagaimana tingkat respon pedagang terhadap kebijakan relokasi dan bagaimana tingkat respon pedagang terhadap proses pelaksanaan kebijakan relokasi pasar tersebut.

c. Komponen Konatif : bagaimana kesedian dan kesungguhan pera pedagang dalam menerima kebijakan relokasi Pasar Unit II serta kesediaan dan kesungguhan dalam menerima proses pelaksanaan kebijakan relokasi Pasar Unit II Kabupaten Tulang Bawang.


(57)

2. Konsep Perilaku Pedagang

Konsep perilaku pedagang dalam hal ini adalah respon atau tindakan pedagang dalam implementasi kebijakan relokasi Pasar Unit II. Pasar merupakan roda perekonomian bagi masyarakat menengah kebawah sehingga sangat menentukan kehidupan mereka. Ketika para pedagang merasa suatu obyek dapat merubah atau merugikan mereka maka mereka akan merespon dan bertindak untuk menunjukkan rasa penolakan mereka terhadap obyek tersebut. Begitu juga sebaliknya, jika mereka merasa obyek tersebut dapat menguntungkan bagi mereka maka mereka akan menunjukkan dukungan penuh.

Perilaku pedagang dalam implementasi kebijakan relokasi Pasar Unit II dipengaruhi 3 aspek, yaitu:

1. Aspek kognitif yaitu pengetahuan yang benar terhadap kebijakan relokasi dan tujuannya.

2. Aspek afektif yaitu perasaan emosional yang positif terhadap implementasi kebijakan relokasi pasar.

3. Aspek konatif yaitu tindakan atau respon yang baik terhadap implementasi kebijakan relokasi pasar.


(58)

Menurut Sutrisno Hadi (1981:12) “tingkatan-tingkatan dalam perilaku masyarakat itu berdasarkan pada interval nilai yang digunakan pada teknik analisis data pada data-data yang telah diolah yaitu:

1. Memiliki perilaku atau respon yang tidak baik 2. Memiliki perilaku dan respon yang kurang baik 3. Memiliki perilaku dan respon yang baik

Memiliki perilaku atau respon yang tidak baik dalam hal ini adalah perilaku pedagang yang menolak keras atas kebijakan relokasi yang telah dikeluarkan oleh pemerintah yang mengakibatkan terhambatnya implementasi dari kebijakan relokasi tersebut.

Memiliki perilaku atau respon yang kurang baik adalah perilaku pedagang yang bertindak tidak sepantasnya yang berakibat pada terhalangnya pelaksanaan kebijakan relokasi pasar tersebut. Para pedangan menunjukkan rasa ketidak sukaan pada suatu obyek yang dianggap dapat merugikan mereka.

Memiliki perilaku atau respon yang baik dalam hal ini adalah para pedagang menerima kebijakan relokasi pasar yang dikeluarkan oleh pemerintah dan menempati lokasi penampungan yang sudah disediakan oleh pemerintah. Selain itu respon yang baik juga dapat ditunjukkan oleh pedangang dengan cara musyawarah secara baik kepada pemerintah. Bukan melakukan aksi yang berlebihan.


(59)

C. Definisi Operasional

M. Nazir (1998:152) menyatakan bahwa, “definisi operasional adalah

suatu definisi yang diberikan kepada suatu variabel dengan cara memberikan arti atau menspesifikasikan kegiatan ataupun memberikan suatu opersioanl yang diperlukan untuk mengukur variabel tersebut”. Definisi operasioanl digunakan sebagai petunjuk tentang bagaimana suatu variabel diukur. Oleh karena itu, dengan membaca definisi operasional dalam suatu penelitian, maka akan mengetahui indikator-indikator variabel tersebut.

Penelitian ini, peneliti akan melihat Perilaku Pedagang dalam Implementasi Kebijakan Relokasi Pasar Unit II Kabupaten Tulang Bawang dalam perspektif komponen-komponen perilaku. Komponen perilaku dapat dilihat dari tolak ukur sebagai berikut:


(60)

Tabel 1. Operasional Variabel Perilaku Pedagang Pasar Unit II Kabupaten Tulang Bawang dalam Implementasi Kebijakan Relokasi

Variabel Indikator Sub Indikator Perilaku Pedagang dalam Pelaksanaan Kebijakan Relokasi Pasar Unit II Kabupaten Tulang Bawang

- Kognitif - Pengetahuan tentang kebijakan relokasi pasar - Pengetahuan tentang tujuan

kebijakan relokasi pasar - Pengetahuan tentang isi dari

kebijakan relokasi pasar - Afektif - Perasaan emosional

pedagang terhadap pengimplementasian kebijakan relokasi pasar. - Pendapat pedagang terhadap

kebijakan relokasi pasar. - Sikap pedagang dalam

menyikapi kebijakan relokasi pasar.

- Respon pedagang terhadap proses implementasi kebijakan relokasi pasar. - Perilaku/

Konatif

- Keinginan pedagang dalam menerima kebijakan relokasi pasar.

- Kesediaan dan kesungguhan pedagang dalam menerima proses implementasi kebijakan relokasi pasar tersebut.


(61)

D. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan berdasarkan lokasi yang dipilih sesuai dengan tujuan penelitian untuk mengetahui Perilaku Pedagang dalam Implementasi Kebijakan Relokasi Pasar Unit II Kabupaten Tulang Bawang. Penulis menetapkan tempat penelitian di Kecamatan Banjar Agung Kabupaten Tulang Bawang. Alasan penulis memilih Pasar Unit II adalah karena Pasar Unit II adalah pusat sentral ekonomi di Kabupaten Tulang Bawang. Pasar Unit II ini dihuni sebanyak 1.200 pedagang.

Pada tanggal 20 Februari 2012 telah terjadi bentrok antara pihak aparat dengan pemerintah disebabkan penolakan pedagang terhadap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Sehingga penulis ingin meneliti mengenai Perilaku Pedagang dalam Implementasi Kebijakan Relokasi Pasar Unit II Kabupaten Tulang Bawang.

E. Populasi dan Sampel 1. Populasi

Menurut Arikunto (2012:108), populasi adalah keseluruhan subyek penelitian. Menurut Bambang Prasetyo dan Lina Miftahul Jannah (2010:119), populasi adalah keseluruhan dari obyek penelitian yang dapat berupa manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, udara, gejala, nilai, peristiwa, sikap hidup, dan sebagainya sehingga obyek-obyek ini dapat menjadi sumber data penelitian. Jadi yang dimaksud dengan populasi


(62)

n =

adalah keseluruhan obyek yang menjadi sumber data dalam suatu penelitian bila jumlah populasi di bawah seratus maka populasi tersebut dijadikan sampel oleh peneliti, sebaliknya jika di atas seratus maka digunakan perumusan dalam penarikan sampel.

Populasi dalam penelitian ini adalah para pedagang yang ada di Pasar Unit II Kabupaten Tulang Bawang. Patokan populasi yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah pedagang yang menempati toko, kios dan los yang berjualan di pasar unit II berdasarkan data pra riset yang dilakukan oleh peneliti.

2. Sampel

Sugiyono (2010:91) menyatakan sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Jumlah populasi dalam penelitian ini adalah 1.200 orang pedagang yang berjualan di Pasar Unit II Kabupaten Tulang Bawang. Maka akan dilakukan penarikan sampel dari populasi tersebut dengan rumus:

Rumus perhitungan besaran sampel:


(63)

Keterangan:

n = jumlah sampel yang dicari N = jumlah populasi

d = nilai presisi (ditentukan dalam contoh ini sebesar 90% atau a= 0,1

n = n =

n =

n = 92,30

Perhitungan di atas dijelaskan bahwa populasi dari penelitian yang akan dilakukan di Pasar Unit II adalah 1.200 pedagang, kemudian dilakukan penarikan sampel dengan rumus di atas, maka hasil sampel yang akan diambil untuk penelitian ini adalah 92 responden atau pedagang.

Teknik sampling yang akan digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah random sampling. Pengertian random sampling adalah teknik pengambilan sampel sedemikian rupa sehingga tiap unit penelitian atau satuan elementer dari populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi sampel (Masri Singarimbun, 1995:156).


(1)

Lokasi sengketa


(2)

Pengamatan riset pada tanggal 12 Juli 2012


(3)

(4)

(5)

(6)