PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENYEBABKAN KEMATIAN ISTRI OLEH SUAMI

(1)

ABSTRAK

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA

PENGANIAYAAN YANG MENYEBABKAN KEMATIAN ISTRI OLEH SUAMI

Oleh ALLAYLA

Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang melanggar atau bertentangan dengan undang-undang yang dilakukan dengan kesalahan orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Salah satu bentuk dari tindak pidana tersebut adalah tindak pidana melakukan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga yang mengakibatkan kematian. Berdasarkan hal ini tindak pidana penganiayaan cenderung meningkat, hal ini menyebabkan keresahan dalam masyarakat, namun sanksi pidana yang dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sudah mencapai pidana maksimum sehingga keluarga korban mendapat kedilan dengan berdasarkan fakta-fakta yang ada. Berdasarkan uraian tersebut penulis mengajukan parmasalahan sebagai berikut : 1) pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana penganiayaan istri oleh suami yang menyebabkan meninggalnya seorang istri oleh suami, 2) Dasar hukum hakim dalam menjatuhkan pidana.

Penulisan skripsi ini menggunakan 2 (dua) pendekatan yaitu pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif berpijak pada norma dan kaidah yang terdapat dalam aturan hukum positif yang berpedoman pada peraturan-peraturan dan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelititan ini. Sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan dengan melihat kenyataan- kenyataan yang berlaku di lapangan. Metode yang digunakan dalam menentukan sampel dari populasi adalah metode proporsional purposive sampling,yaitu metode pengambilan sampel dimana dalam penentuan dan pengambilan anggota sampel berdasarkan atas pertimbangan dan tujuan penulisan dalam rangka memenuhi data yang dibutuhkan. Sampel dalam penelitian ini adalah 2 (dua) orang Hakim di Pengadilan Negeri Gunung Sugih dan 1 (satu) orang Jaksa di Kejaksaan Negeri Gunung Sugih.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan kematian istri oleh suami dan dasar hukum hakim dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap terdakwa adalah sudah terpenuhinya unsur-unsur yang didakwakan (Pasal 44 ayat (1) dan ayat (3) Pasal 44 ayat (2) Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga), berdasarkan putusan hakim ( Putusan Nomor 372/ Pid B/ 2010/ PN.GS ) bahwa terdakwa dinyatakan dapat mempertanggungjawabkan perbuatanya dikarenakan terdakwa melakukan perbuatanya dengan keadaan sadar/dalam keadaan sehat dan tidak ada dasar pemaaf terdakwa melakukan dengan sengaja sehingga bertentangan dengan


(2)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) , dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan berdasarkan; tuntutan jaksa, alat bukti, hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa dan petunjuk-petunjuk laindalam persidangan dan adapun hal-hal yang dapat meringankan: terdakwa mengaku bersalah dan menyesali perbuatannya dan terdakwa belum pernah dihukum, hal-hal yang memberatkan; perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat, perbuatan terdakwa mengakibatkan korban meninggal dunia, dan tindak pidana dilakukan dengan sadis dan tidak berperikemanusiaan. Berdasarkan pertanggungjawaban dan putusan hakim maka terdakwa dijatuhi hukuman penjara selama 15 ( lima belas ) Tahun penjara. Tujuan hakim menjatuhkan pidana adalah sebagai pembalasan yang diberikan kepada terdakwa atas apa yang telah ia perbuat dan untuk memberikan pembinaan serta pendidikan bagi pelaku sehingga nantinya pelaku jera dan tidak akan mengulanginya lagi. Sikap jaksa terhadap putusan pidana yang lebih ringan dari pada tuntutan jaksa adalah dengan menerima atau menolak putusan tersebut. Jika putusan pidana tersebut telah dianggap sesuai dengan perbuatan yang dilakukan terdakwa maka jaksa dapat langsung menerima putusan tersebut, namun jika putusan pidana tersebut tidak pas atau belum sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan terdakwa maka jaksa akan malakukan upaya banding.

Berdasakan kesimpulan diatas, dalam bagian penutup penulis memberikan beberapa saran yaitu 1) Dalam pemberian pidana hendaknya perlu juga memperhatikan hal-hal pemberat dan peringan pidana, dan manfaat dari putusan tersebut dan jangan hanya melihat dan menitikberatkan

hukuman atas kesalahan dan sisi kemanusiaannya; 2) Seharusnya masyarakat menyadari

bahwasanya pemberian pidana yang lebih ringan dari tuntutan yang diberikan bukanlah semata-mata merupakan kinerja buruk dari alat perlengkapan negara khususnya Pengadilan (hakim), tetapi pemidanaan yang lebih ringan tersebut adalah hasil


(3)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pertanggungjawaban pidana Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Fisik Dalam Lingkup Rumah Tangga

pertanggungjawaban adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya, fungsi menerima pembebanan sebagi akibat dari sikap tindakan sendiri atau pihak lain (WJS. Poerwadarminta, 1998: 619).

Pertanggungjawaban adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang telah dilakukan, yaitu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan itu dipertanggungjawabkan oleh sipembuat dengan kata lain kesadaran jiwa orang yang menilai, menentukan kehendaknya, tentang perbuatan tindak pidana yang dilakukan berdasarkan putusan yang berkekuatan hukum yang tetap. Untuk adanya pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih dahulu siapa yag dapat dipertanggungjawabkan. Ini bertarti harus dipastikan dahulu yang dinyatakan sebagai pembuat untuk suatu tindak pidana (Roeslan Saleh, 1981:80).

Masalah ini menyangkut subjek tindak pidana yang pada umumnya sudah dirimuskan oleh si pembuat Undang-Undang untuk tindak pidana yang besangkutan. Namun dalam kenyataanya memastikan dalam siapa pembuatanya tidak mudah karena untuk menentukan siapakah yang bersalah harus sesuai dengan proses yang ada, yaitu sistem peradilan pidana berdasarkan KUHAP

Asas legalitas dalam hukum pidana indonesia menentukan bahwa seseorang baru dapat dikatakan melakukan perbuatan pidana apabila perbuatan tersebuat telah sesuai dengan rumusan dalam Undang-Undang hukum pidana, dalam hal ini sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi : Tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana dalam perundang-undangan yang telah


(4)

ada, sebelum perbuatan dilakukan. Meskipun demikian orang tersebut belum dapat dijatuhi pidana karena masih harus dibuktikan kesalahnya atau apakah dapat dipertanggungjawabkan perbuatan tersebut, demikian untuk dapatnya seseorang dijatuhi pidana harus memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana.

Perbuatan pidana hanya untuk menunjukan pada dilarangnya suatu perbuatan oleh Undang-undang. Apakah orang yang melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana, tergantung kepada persoalan, apabila orang yang telah melakukan perbuatanya mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang telah melakukan perbuatan itu memang mempunyai kesalahan, maka ia dapat dipidana. Berarti orang yang melakukan tindak pidana akan dapat dipidana apabila mempunayai kesalahan.

Kesalahan ada 2 (dua) macam yaitu: 1. Kesengajaan(opzet?dolus)

Ada 3 (tiga) kesengajaan dalam hukum pidana:

a. Kesengajaan yang bersifat tujuanya untuk mencapai suatu tujuan(ozet als oogmerk) b. Kesengajaan yang bukan mengandung suatu tujuan melainkan disertai keinsyafan,

bahwa suatu akibat pasti terjadi(opzet bij zekeheidsbewustzijn)

c. Kesengajaan seperti sub 2 tetapi disertai keinsyafan hanya dengan kemungkinan (bukan kepastian), bahwa suatu akibat akan terjadi (obzet bij mogelijkheids-bewustzijn).

2. Kurang hati-hati (kealpaan/culfa)

Kurang hati-hati/kealpaan (culfa artinya alpa adalah kesalahan pada umumnya, tetapi dalam ilmu pengetahuan mempunyai arti teknis yang suatu macam kesalahan si pelaku tindaka pidana yang tidak seberat seperti kesengajaan yaitu kurang hati-hati, sehingga berakibat yang tidak disengaja terjadi (Wirjono Prodjodikoro, 2003: 50)).

Berdasarkan uraian diatas seseorang yang melakukan tindak pidana harus dibuktikan apakah kesalahan tersebut mengandung unsur kesengajaan (dolus/obzet) atau kealpaan (culfa). Perbuatan yang dilakukan dengan sengaja atau karena kealpaan akan menetukan berat


(5)

ringannya pidana seseorang. Perbuatan pidana dilakukan secara sengaja, ancaman pidananya akan lebih berat dari pada karena kealpaan. Untuk dipidananya seseorang harus ada unsur mampu bertanggungjawab oleh pelaku, dimana pelaku dapat menginsyafi atau secara sadar melakukan perbuatan tersebut.

Orang yang mampu bertanggungjawab itu harus memenuhi 3 (tiga) syarat yaitu: 1. Dapat menginsyafi makna yang senyatanya dari perbuatanya.

2. Dapat menginsyafi bahwa perbuatanya itu dapat dipandang patut dalam pergaulan masyarakat.

3. Mampu untuk menentukan niat atau kehendak dalam melakukan perbuatan (Roeslan Saleh, 1981: 80).

Istilah pidana atau hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidangnya yang cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan dalam hukum, tetapi dalam istilah sehari-hari dibidang pendidikam moral, agama dan sebagainya. Oleh karena pidana merupakan istilah yang lebih khusus maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukan ciri-ciri atau sifat-sifat khas.

Menurut Soedarto, menyatakan yang dimaksud pidana adalah penderiataan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi sasaran tertentu sedangkan menurut Muladi dan Barda Nawawi Arif yang dikutip oleh Roeslan Saleh, menyatakan bahwa pidana reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpahkan negara kepada perbuatan delik itu (Roeslan Saleh, 1981: 83).

Berdasarkan definisi diatas dapatlah diartikan bahwa pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut:

1. Pidana pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan atas nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.


(6)

2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang).

3. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan pidana menurut Undang-Undang.

Maka dalam hal pidana, fokusnya adalah pada kekuatan salah satu tindak pidana yang telah dilakukan oleh si pembuat atau pelaku dengan kata lain perbuatan itu mempunyai peranan yang sangat penting dan syarat yang harus dipenuhi untuk adanya suatu tindak pidana agar pelaku atau subjek tindak pidana dapat dimintakan pertanggungjawaban atas apa yang telah dilakukan.

Adapun ciri atau unsur kesalahan yang dapat dijatuhi hukuman bagi pelaku kejahatan adalah:

1. Dapat dipertanggungjawabkan perbuatn pembuat

2. Adanya kaitan psikis antara pembuat dan perbuatan yaitu adanya kesengajaan atau kesalahan

3. Tidak adanya dasar pemidanaan yang menghapus dapat dipertangggungjawabkan suatu perbuatan kepada pembuat.

Pasal 44 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa : barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, disebabkan karena akal sehatnya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.

B. Pertimbangan hakim dalam Menjatuhkan Pidana

Berdasarkan hal ini Hakim memegang peranan penting dalam hal penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga, meskipun hakim dalam pemeriksaan dipersidangan berpedoman pada hasil pemeriksaan yang dilakukan polisi dan dakwaan yang dibuat oleh jaksa, dalam undang-undang Nomor. 48 tahun 2009 tentang pokok-pokok kekuasan kehakiman, Hakim mempunyai kekuasaan dan kebebasan untuk menjatuhkan


(7)

putusanya. Hakim dalam melaksanakan putusanya tidak ada tekanan dari pihak manapun, tidak terkait oleh lembaga manapun, Hal ini berarti kekuasaan hakim tersebut bebas dan merdeka.

Hakim memiliki kebebasan untuk menentukan jenis pidana dan tinggi rendahnya pidana, hakim mempunyai kebebasan untuk bergerak pada batas minimum dan maksimum dan pidana yang diatur dalam undang-undang untuk tiap-tiap tindak pidana. Berarti masalah pemidanaan sepenuhnya kekuasaan dari hakim (Sudarto, 1986 : 78).

Keyakinan hakim bukan diartikan perasaan hakim pribadi sebagai manusia akan tetapi keyakinan yang didukung oleh alat bukti yang sah menurut Undang-Undang. Apabila didalam persidangan (pemeriksaan perkara), hakim tidak mendapatkan kan dua alat bukti maka hakim belum bisa menjatuhkan pidana atas diri terdakwa. Sebaliknya jika hakim telah mendapat minimal dua alat bukti dan juga di sertai dengan keyakinan yang kuat maka hakim dapat menjatuhkan pidana. Hal ini sesuai dengan Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah”.

Berdasarkan Naskah Rancangan KUHP Baru Tahun 1999/2000 terdapat ketentuan tentang tujuan pemidanaan dalam Pasal 51 ayat (1) yaitu :

1. Mencegah dilakukanya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat

2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikanya orang yang baik dan berguna.

3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.


(8)

4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Pasal 51 ayat (2) menyatakan “Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia”. Rancangan KUHP Baru Tahun 1999/2000 yang mengatur tentang pedoman pemidanaan membuat beberapa macam pedoman :

1. Ada pedoman pemidanaan yang bersifat umum untuk memberi pengarahan kepada hakim mengenai hal-hal apa yang sepatutnya dipertimbangkan dalam menjatuhkan pidana;

2. Ada pedoman pemidanaan yang lebih bersifat khusus untuk memberikan pengarahan pada hakim dalam memilih atau menjatuhkan jenis-jenis pidana tertentu;

3. Ada pedoman bagi hakim dalam menerapkan sistem perumusan ancaman pidana yang digunakan dalam perumusan delik.

Pedoman pemidanaan yang bersifat umum dirumuskan dalam Rancangan KUHP baru Pasal 52 tahun 1999/2000 sebagi berikut :

Dalam pemidanaan hakim wajib mempertimbangkan : Ke-1 kesalahan pembuat;

Ke-2 motif dan tujuan dilakukan tindak pidana; Ke-3 cara melakukan tindak pidana;

Ke-4 sikap batin pembuat;

Ke-5 riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat;

Ke-6 sikap dan tindakan pembuat sudah melakukan tindak pidana; Ke-7 pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat;

Ke-8 pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan; Ke-9 pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban; Ke-10 apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana.

Hal-hal yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menetapkan pidana perkara tindak pidana didasarkan pada:


(9)

1. Tuntutan jaksa penuntut umum. 2. Alat bukti.

3. Hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa. 4. Petunjuk-petunjuk lain dalam persidangan dan barang bukti.

Berdasarkan pertimbangan hakim atas kasus diatas maka hakim menjatuhkan pidana selama 15 (lima belas) Tahun kurungan penjara terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan yang menimbulkan kematian, sehingga hukuman itu sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan. Perlu dipertimbangkan bahwa berat ringanya yang dijatuhkan oleh hakim pada hakikatnya adalah sebagi upaya perbaikan bagi pelaku tindak pidana, sehingga pelaku tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan kematian istri oleh suami tersebut tidak mengulangi perbuatanya. Hal ini akan tercapai apabila itu dirasakan telah sesuai dengan tindak pidana yang telah dilakukan oleh pelaku tindak pidana, baik ditinjau dari sudut pelaku maupun ditinjau dari sudut masyarakat yang mewakili kepentingan korban.

C. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Berdasarkan pengertian tindak pidana diatas dapat ditemukan beberapa unsur yang terkandung dalam suatu tindak pidana. Unsur-unsur ini penting untuk dibuktikan melalui suatu proses sistem peradilan pidana, merupakan hal pemeriksaan dipersidangan, apabila unsur-unsur itu salah satunya diantaranya tidak terbukti, maka perbuatan itu adalah suatu tindak pidana atau kejahatan dan tersangka harus dibebankan dari segala tuntutan hukum. Perlu kita ketahui beberapa pendapat sarja mengenai unsur-unsur tindak pidana yaitu :

Menurut Moeljatno unsur-unsur atau elemen perbuatan tindak pidana adalah


(10)

b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana d. Unsur yang melawan hukum yang objektif e. Unsur melawan hukum yang subjektif

( Moeljatno, 1993: 18).

Menurut M. Bassar Sudrajat unsur-unsur yang terkandung dalam suatu delik adalah terdiri dari :

a. Unsur melawan hukum b. Unsur merugikan masyarakat c. Dilarang oleh aturan hukum pidana d. Pelakunya dapat diancam pidana

(Adami Chazawi, 2002: 78).

Menurut pendapat Tresna, tindak pidana terdiri dari unsur-unsur yakni: a. Perbuatan /rangkaian perbatan (manusia)

b. Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan c. Diadakan tindakan penghukum

(Adami Chazawi, 2002: 78)

Moeljatno membedakan unsur tindak pidana berdasarkan perbuatan dan pelaku dapat dibagi dalam 2 (dua) bagian yaitu :

1. Unsur objektif berupa: a. Perbuatan manusia


(11)

2. Unsur objektif, berupa: a. Bersifat melawan hukum b. Ada aturanya

(Moeljatno, 1993: 64)

D. Pengertian Tindak Pidana Penganiayaan yang Mengakibatkan Kematian

Penganiayaan adalah istilah yang digunakan KUHP untuk tindak pidana terhadap tubuh. Namun KUHP sendiri tidak memuat arti penganiayaan tersebut. Penganiayaan yang dimaksud dalam Hukum Pidana adalah menyangkut “tubuh manusia”. Sementara dalam ilmu pengetahuan hukum pidana atau doktrin, penganiayaan diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain.

Berdasarkan pengertian tindak pidana penganiayaan diatas, maka rumusan unsur-unsur penganiayaan sebagai berikut :

a. Unsur kesengajaan; b. Unsur perbuatan;

c. Unsur akibat perbuatan (yang dituju) yaitu : 1) Rasa sakit, tidak enak pada tubuh; 2) Luka tubuh.

Penganiayaaan yang dimuat dalam BAB XX II, Pasal 351 sampai dengan Pasal 358 KUHP adalah sebagai berikut:

a. Penganiayaan Biasa (Pasal 351 KUHP)

Pasal 351 KUHP telah menerangkan penganiayaan ringan sebagai berikut:

(1) Penganiayaan dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

(2) Jika perbuatan itu menyebabkan luka-luka berat, yang bersalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.

(3) Jika mengakibatkan mati, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun. (4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan


(12)

(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak di pidana.

Mengenai tindakan hukum ini yang akan diberikan kepada yang bersalah untuk menentukan Pasal 351 KUHP telah mempunyai rumusan dalam penganiayaan biasa dapat di bedakan menjadi:

1) Penganiayaan biasa yang tidak menimbulkan luka berat maupun kematian 2) Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat

3) Penganiayaan yang mengakibatkan kematian

4) Penganiayaan yang berupa sengaja merusak kesehatan.

b. Penganiayaan Ringan (Pasal 352 KUHP)

Disebut penganiayaan ringan Karena penganiayaan ini tidak menyebabkan luka atau penyakit dan tidak menyebabkan si korban tidak bisa menjalankan aktivitas sehari-harinya. Rumusan dalam penganiayaan ringan telah diatur dalam Pasal 352 KUHP sebagai berikut:

(1) Kecuali yang tersebut dalam Pasal 353 dan 356 KUHP, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian, dipidana sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus. Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya atau menjadi bawahannya.

(2) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana. Melihat Pasal 352 ayat (2) bahwa “percobaan melakukan kejahatan itu (penganiyaan ringan) tidak dapat di pidana” meskipun dalam pengertiannya menurut para ahli hukum, percobaan adalah menuju kesuatu hal, tetapi tidak sampai pada sesuatu hal yang di tuju, atau hendak berbuat sesuatu dan sudah dimulai akan tetapi tidak sampai selesai. Disini yang dimaksud adalah percobaan untuk melakukan kejahatan yang bisa membahayakan orang lain dan yang telah diatur dalam Pasal 53 ayat (1). Sedangkan percobaan yang ada dalam penganiyaan ini tidak akan membahayakan orang lain.

c. Penganiayaan Berencana (Pasal 353 KUHP)


(13)

(1) Penganiayaan dengan berencana lebih dulu, di pidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.

(2) Jika perbuatan itu menimbulkan luka-luka berat, yang bersalah di pidana dengan pidana penjara palang lama 7 (tujuh) tahun

(3) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah di pidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.

Penganiayaan berencana yang diatur dalam Pasal 353 apabila mengakibatkan luka berat dan kematian adalah berupa faktor/alasan pembuat pidana yang bersifat objektif, penganiayaan berencana apabila menimbulkan luka berat yang di kehendaki sesuai dengan (ayat 2) bukan disebut lagi penganiayaan berencana tetapi penganiayaan berat berencana (Pasal 355 KUHP), apabila kejahatan tersebut bermaksud dan ditujukan pada kematian (ayat 3) bukan disebut lagi penganiayaan berencana tetapi pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP).

d. Penganiayaan dengan Sengaja untuk Melukai Berat (Pasal 354 KUHP)

Penganiayaan berat dirumuskan dalam Pasal 354 yang rumusannya adalah sebagai berikut: (1) Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, dipidana kerena melakukan

penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan tahun).

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah di pidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.

Perbuatan berat (zwar lichamelijk letsel toebrengt) atau dapat disebut juga menjadikan berat pada tubuh orang lain. Haruslah dilakukan dengan sengaja. Kesengajaan itu harus mengenai ketiga unsur dari tindak pidana yaitu: perbuatan yang dilarang, akibat yang menjadi pokok alasan diadakan larangan itu dan bahwa perbuatan itu melanggar hukum.


(14)

E. Tinjauan Terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

beberapa prinsip demi menjamin cita-cita hukum hakim dari perkawinan sehingga membentuk rumah tangga yang kekal dan abadi merupakan dasar Undang-Undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.

Berdasarkan dari segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan kejahatan terhadap martabat kemanusian serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus.

Kenyatan kasus kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi sedangkan sistem hukum hakim di indonesia belum menjamin perlindungan terhadap korban kekerasan dalam lingkup rumah tangga, karena selama ini masih masuk dalam delik aduan dalam Kitap Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dengan penerapan Pasal tidak menyenangkan, Penganiayaan serta ketentuan pidana dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, masih dianggap sangat ringan yaitu dengan penerapan denda sebesar Rp. 7.500,- (Tujuh Ribu Lima Ratus).

Latar belakang terbitnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) telah terungkap dalam Pasal 1 ayat (2) yaitu merupakan jaminan yang diberikan oleh Negara untuk mencegah Kekerasan dalam Rumah Tangga, menindak pelaku KDRT serta melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.

Sejak adanya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) maka ditekankan adanya larangan kekerasan dalam lingkup rumah tangga dengan cara:


(15)

Pembaharuan hukum yang berpihak pada keluarga rentan atau subordinasi khususnya kaum perempuan seperti, pemukulan baik ringan maupun berat yang mengakibatkan luka, memar, bahkan menjurus kepada cacat fisik serta kematian yang dapat dikaitkan kepada kasus penganiayaan dan pembunuhan dengan ancaman berlapis sebagaimana dalam Kitap Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kekerasan fisik ini dapat berupa pembunuhan, penganiayaan baik yang dilakukan oleh tanggan kosong maupun dengan alat bantu senjata maupun benda tumpul atau yang mengakibatkan hilangnya nyawa, cacat, ataupun luka dan memar, baik yang dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja ( kelalaian ) .

2. Kekerasan fisik

Kekerasan yang dilakukan oleh suami atau istri dalam lingkup rumah tangga yang mengakibatkan rasa takut, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan bertindak atau bekerja, rasa tidak berdaya dan penderitaan psikis berat. Hal ini menyangkut juga kemerdekaan seseorang maupun kebebasan seseorang, termasuk merampas kemerdekaan seperti perdagangan orang dalam lingkup keluarga, penculikan, melepaskan orang yang belum dewasa dari kekuasan orang tua, melarikan orang tua, melarikan wanita, anak, yang semua ini mengakibatkan guncangan kejiwaan, trauma, ketakutan, kehilangan kepercayaan diri.

3. Kekerasan Seksual

Berdasarkan hubungan lingkup rumah tangga, kekerasan dimaksud seperti, pemaksaan hubungan seks suami istri, maupun pemaksaan hubungan seks terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangga dengan orang lain untuk tujuan komersil dan tujuan-tujuan tertentu seperti juga pemuasan nafsu seksual. Kekerasan seksual ini mengakibatkan terganggunya hubungan suami istri dalam


(16)

lingkup rumah tangga yang merupakan terganggunya hubungan seksual secaravertiakalmaupun horisontal.

4. Penelantaran Rumah Tangga

Berdasarkan lingkup rumah tangga setiap orang dilarang menelantarkan orang padahal menurut hukum yang berlaku baginya ialah karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memeberikan kehidupan nafkah lahir batin, perawatan, pemeliharaan kepada orang tersebut. Penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi atau melarang untuk bekerja yang layak maupun diluar rumah sehingga korban berada dibawah kondisi orang tersebut. Termasuk juga menelantarkan rumah tangga istri dan anak bahkan sebaliknya istri berbuat tidak menghargai martabat suami maupun menelantarkan anak.

Berdasarkan larangan kekerasan dalam lingkup rumah tangga tersebut diatas, maka cara yang dilakukan oleh suami atau istri dalam hukum perakwinan mempunyai 4 (empat) macam kekerasan sebagaimana Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) tersebut diatas yang masing-masing kadar pembuatan kekerasan mempunyai sanksi ancaman hukuman yang berbeda-beda yaitu :

a. Kekerasan Fisik

Kekerasan fisik dapat diancam dengan pidana penjara paling lam 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah). Pasal 44 ayat (1). Dalam hak perbuatan mengakibatkan korban jatuh sakit atau luka berat, maka ancaman paling banyak Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah). Pasal 44 ayat (2). Apabila mengakibatkan matinya korban, maka ancaman pidana 15 (lima belas) Tahun penjara atau denda paling banyak Rp. 45.000.000,- (empat puluh lima juta rupiah). Pasal 44 ayat (3). Berdasarkan hal kekerasan yang


(17)

dimaksud Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 adalah yang dilakukan oleh suami atau istri ataupun seblaiknya yang tidak menimbulkan penyakit ataupun halangan untuk menjalankan pekerjaan atau jabatan. Maa pencaharian dipidana penjara paling lam 4 (empat) bulan dan denda paling banyak Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah). Pasal 44 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004. Kekerasan secara fisik dalam ketentuan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 diancam dalam Pasal 44 khususnya yang menyebabkan luka atau memar pada tubuh manusia baik dilakukan dengan tangan kosong maupun dengan alat bantu seperti senjata ataupun benda tumpul diancam dengan Pasal 44 ayat (1),(2) dan (3) sedangakan ayat (4) hanya menekan kan pada perbuatan termasuk kekerasan yang menimbulkan efek apapun.

b. Kekerasan Psikis

Setiap orang yang melakukan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga dapat diancam dengan pidan penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 9.000.000,-(sembilan juta rupiah). Pasal 44 ayat (4). Dalam hal perbuatan yang dimaksud yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan, jabatan, mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari dipidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah). Pasal 45 ayat (2). Kekerasan psikis ini menyangkut hak seseorang yang mengakibatkan gangguan jiwa, rasa ketakutan, hilangnya kepercayaan diri, stres, tertekan mental, sempitnya ruang gerak untuk berbuat secara normal, diancam dalam hukuman sebagaimana Pasal 45 ayat (1), sedangkan ayat (2) menenangkan perbuatan kekerasan telah dilakukan tanpa menimbulkan halangan atau penyakit.


(18)

c. Kekerasan Seksual

Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual dipidana dengan penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 36.000.000,- (tiga puluh enam juta rupiah). Pasal 46. Setiap orang yang memaksa orang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual dipidana penjara paling singkat 4 ( empat ) tahun dan penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp. 12.000.000,- (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp. 3000.000.000,- (tiga ratus juta rupiah). Pasal 47 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga.

d. Penelantaran Rumah Tangga

Menelantarkan rumah tangga perbuatan dapat diancam pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah). Pasal 49 huruf (a) dan (b).

Penelantaran ini dapat berupa mengingkari perjanjian perkawinan, meninggalkan selama 2 (dua) bulan serta tidak memberi nafkah lahir batin, kewajiban memberikan kehidupan, perawatan serta pemeliharaan kepada orang tersebut. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan (2).

Selain pidana yang diancam dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga maka Pasal 50 menyatakan hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa :

a. Pembatansan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku.


(19)

Tindak pidana kekerasan fisik, psikis dan kekerasan terhadap seksual serta penelantaran rumah tangga yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya dikategorikan sebagai delik aduan, yang selama ini dipakai dalam KUHP seperti perbuatan yang tidak menyenangkan dan tindak penganiayaan, berdasarkan laporan terhadap orang yang dirugikan. Namun sejak adanya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tindak Kekerasan dalam Rumah Tangga masuk dalam delik umum yang diatur secara khusus dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT).

DAFTAR PUSTAKA

Chazawi , Adami.2002.Pelajar Hukum Pidana I, Rajawali Press,Jakarta Hamzah, Andi. 2007.KUHPdanKUHAP. PT. Rineka Cipta: Jakarta.

Muladi. 1995.Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana.Universitas Diponegoro.

Pedoman Penulisan. 2007.Format Penulisan Karya Ilmiah. Universitas Lampung, Bandar Lampung.

Prodjodikoro, Wirjono, 2003,Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia,Refika Aditama, jakarta.


(20)

Saleh, Roeslan. 1981.Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Angkasa, Jakarta. Soekanto, Soerjono. 1985.Perspektif Teoritis Studi Hukum Dalam Masyarakat. CV. Rajawali:

Jakarta.


(21)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai pertanggungjawaban pidana dan hal-hal yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan kematian istri oleh suami, maka dalam bab penutup ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban terhadap terdakwa Arif Hariyanto Bin Bardan sangat lah penting dalam penjatuhan pidana karna dinyatakan terdakwa bersalah melakukan perbuatan penganiayaan yang menyebabkan kematian istri terdakwa, terdakwa melakukan perbuatanya dalam keadan jiwa yang normal (sehat) yakni terdakwa mampu untuk menetahui dan menyadari bahwa perbuatan terdakwa bertentangan dengan hukum dan terdakwa dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaranya. Dan adapun ciri atau unsur kesalahan yang dilakukan dapat dijatuhi hukuman bagi pelaku tindak pidana adalah :

1. Dapat dipertanggungjawabkan perbuatan pembuat.

2. adanya kaitan psikis antara pembuat dan perbuatan yaitu adanya kesengajaan atau kesalahan

3. Tidak adanya dasar pemidanaan yang menghapus dapat dipertanggungjawabkan suatu perbuatan kepada pembuat.


(22)

Maka perbuatan terdakwa Arif Hariyanto Bin Bardan dituntut penjara selama 15 (lima belas) Tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum dan hakim mengabulkan tuntutan jaksa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hakim dan pasal-pasal yang terdakwa langgar yaitu : Pasal kesatu Pasal 44 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan kedua Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang KdRT. Berdasarkan pada putusan Nomor 372/ Pid B/ 2010/ PN/ GS.

2. Berdasarkan kasus diatas maka hakim menjatuhkan pidana maksimum terhadap terdakwa penganiayaan yang menimbulkan kematian, sehingga hukuman itu sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan. Maka hakim Perlu mempertimbangkan berat ringanya hukuman yang dijatuhkan oleh hakim, Hal-hal yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menetapkan pidana perkara tindak pidana didasarkan pada:

1. Tuntutan jaksa penuntut umum. 2. Alat bukti.

3. Hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa. 4. Petunjuk-petunjuk lain dalam persidangan dan barang bukti.

Pada hakikatnya adalah sebagi upaya perbaikan bagi pelaku tindak pidana, sehingga pelaku tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan kematian istri oleh suami tersebut tidak mengulangi perbuatanya. Hal ini akan tercapai apabila itu dirasakan telah sesuai dengan tindak pidana yang telah dilakukan oleh pelaku


(23)

tindak pidana, baik ditinjau dari sudut pelaku maupun ditinjau dari sudut masyarakat yang mewakili kepentingan korban. Berdasarkan putusan Nomor 372/Pid.B/2010/PN.GS di Pengadilan Negeri Gunung .

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut diatas maka yang menjadi saran penulis adalah : 1. Dalam pemberian pidana hendaknya perlu juga memperhatikan

manfaat,pemberat, dan peringanan pidana terebut dan jangan hanbya melihat dan menitikberatkan hukuman atas kesalahan dan juga sisi kemanusiaanya.

2. Seharusnya masyarakat juga perlu menyadari bahwasanya pemberian pidana, baik itu yang lebih ringan dari tuntutan yang diberikan bukanlah semata-mata merupakan kinerja buruk dari alat perlengkapan negara khususnya Pengadilan (hakim), tetapi pemidanaan yang lebih ringan tersebut adalah hasil dari proses penegakan dan penerapan hukum pidana secara tepat dan efektif, sesuai dengan tujuan pemidanaan.


(24)

(25)

1. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tindak pidana merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum yang disertai ancaman atau saksi berupa pidana yang dilakukan dengan kesalahan orang yang dapat dipertanggungjawabkan (Moeljono, 1983 : 57). Salah satu bentuk dari tindak pidana adalah percobaan melakukan tindak pidana (poging). Seperti Kekerasan dalam Rumah Tangga (KdRT), kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga yang dilakukan oleh suami terhadap istri yang menyebabkan kematian

Warga Negara Indonesia pada prinsipnya berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan, sesuai dengan falsafah Negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka setiap orang dalam lingkup rumah tangga juga harus mendapatkan perlakuan yang baik antara hubungan keluarga khususnya suami dan istri.

Kekerasan dalam Rumah Tangga (KdRT) merupakan salah satu bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan kejahatan terhadap harkat dan martabat manusia. Dikatakan demikian , karena beberapa instrumen internasional di bidang HAM, sepertiDeclaration of Human Right (UDHR), Convention Againts Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (CAT) dengan tegas menyatakan, bahwa segala bentuk kekerasan, baik fisik maupun mental adalah dilarang dan bertentangan dengan HAM.


(26)

Salah satu bentuk tanggung jawab Pemerintah Indonesia dalam menanggulangi KdRT adalah mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Adapun alasan pemerintah Indonesia mengesahkan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KdRT sebagai salah satu upaya untuk menanggulangi KdRT, karena Pemerintah Indonesia beranggapan, bahwa salah satu faktor penyebab terjadinya KdRT adalah sistem hukum Indonesia yang ada belum menjamin perlindungan terhadap KdRT. Dengan disahkan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan KdRT, maka segala bentuk KdRT akan dapat diproses secara hukum sebagai tindak pidana.

Ketentuan KUHP Bab XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Bab XX tentang Penganiayaan, dibandingkan dengan ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, diketahui bahwa, kecuali tindak pidana yang ditentukan dalam Pasal 45 dan Pasal 49 KUHP, semua tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT telah ditentukan sebagai tindak pidana dalam KUHP.

Selama ini banyak kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi khususnya di daerah Gunung Sugih Lampung Tengah, sehingga proses pada semua tingkat peradilan pada umumnya dikategorikan kepada unsur penganiayaan sebagaimana tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mempunyai keterbatasan unsur yang dilakukan oleh kejahatan dalam lingkup rumah tangga.


(27)

Seperti contoh kasus dalam perbuatan melakukan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KdRT) penulis berminat melakukan penelitian kasus ini dalam pembuatan skripsi contoh kasus, seorang suami yang bertempat tinggal didaerah Lampung Tengah tega melakukan perbuatan tindak pidana penganiayaan yang dilakukan terhadap istrinya (Eka) sehingga korban eka meninggal dunia dikarenakan hanya persoalan sepele tetapi terdakwa (Arif) tega menghabisi istrinya dengan cara membenturkan kepala korban Eka kedinding kamar mandi dan membunuh korban dengan menusukkan sebuah golok keperut korban Eka berkali-kali hingga korban Eka tidak berdaya dan korban pun tidak dapat diselamatkan sehingga korban Eka pun meninggal dunia.

Kesalahan adalah unsur peristiwa pidana atau perbuatan pidana dan antara keduanya terdapat hubungan yang erat. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga, secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan dengan maksud untuk mengahabisi nyawa korban dikarenakan dendam, sehingga menyalahi ketentuan dalam berkehidupan.

Kekerasan Dalam Rumah Tangga, baik kekerasan fisik, kekerasan psikis, mupun kekerasan seksual, dikategorikan dalam tindak pidana aduan, sebagaimana dapat diketahui dari ketentuan Pasal 51, Pasal 52 dan Pasal 53. Delik aduan atau tindak pidana aduan (klach delict), artinya tindak pidana yang baru dapat dilakukan penuntutan setelah ada pengaduan oleh pihak yang berhak, sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.

Berdasarkan dalam kasus ini memiliki perbedaan konsep yang terjadi antara KUHP dan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Fisik dalam Rumah Tangga (UU KDRT) ini yaitu tindakan yang dilakukanya telah diatur dalam peraturan yang lebih khusus, yakni UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Oleh karenanya berdasarkan Pasal 63


(28)

ayat (2) KUHP, apabila ada ketentuan pidana khusus maka ketentuan pidana khusus itu sajalah yang digunakan dalam penjatuhan pidana dalam kasus ini. Dalam hal ini, penulis menilai bahwa UU KDRT merupakanLex Specialisdari Kitap Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Selain itu bahwa Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 telah menjamin kesamaan hak warga negara di dalam hukum dan menurut Pasal 356 ayat (1) telah membedakan hukum bagi tindak pidana penganiayaan terhadap orang lain dengan penganiayaan terhadap keluarga sendiri.

Pertanggungjawaban adalah suatu yang harus di pertanggungjawabkan atas perbuatan yang telah dilakukan yaitu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan itu dipertanggungjawabkan oleh si pembuat dengan kata lain kesadaran jiwa orang yang dapat dinilai, menentukan kehendakanya, tentang perbuatan tindak pidana yang dilakukan berdasarkan putusan Nomor 372/ Pid B/2010/ PN/GS yang berkekuatan hukum yang tetap, untuk adanya pertanggungjawaban, ini harus dipastikan dahulu yang dinyatakan sebagai pembuat untuk suatu tindak pidana.

Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindaka pidana kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga yang menyebabkan kematian istri oleh suami diselesaikan melalui pembuktian dalam hukum acara pada sistem peradilan pidana (criminal justice syistem). Setelah melakukan penelitian lebih lanjut oleh aparat yaitu mengumpulkan bukti-bukti dan melakukan rekonstruksi ulang kejadian, dapat lah dibuktikan bahwa alasan tersangka tidaklah dibuat-buat dan benar apa adanya.

Berdasarkan putusan hakim maka terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana” melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a, yang mengakibatkan matinya korban. Sehingga


(29)

hakim memutuskan menghukum terdakwa atas kesalahan tersebut dengan pidana penjara selama 15 ( lima belas ) Tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan.

Berdasarkan hal ini Hakim memegang peranan penting dalam hal penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga, meskipun hakim dalam pemeriksaan dipersidangan berpedoman pada hasil pemeriksaan yang dilakukan polisi dan dakwaan yang dibuat oleh jaksa, dalam undang-undang Nomor. 48 tahun 2009 tentang pokok-pokok kekuasan kehakiman, Hakim mempunyai kekuasaan dan kebebasan untuk menjatuhkan putusanya. Hakim dalam melaksanakan putusanya tidak ada tekanan dari pihak manapun, tidak terkait oleh lembaga manapun, Hal ini berarti kekuasaan hakim tersebut bebas dan merdeka.

Hakim memiliki kebebasan untuk menentukan jenis pidana dan tinggi rendahnya pidana, hakim mempunyai kebebasan untuk bergerak pada batas minimum dan maksimum dan pidana yang diatur dalam undang-undang untuk tiap-tiap tindak pidana. Berarti masalah pemidanaan sepenuhnya kekuasaan dari hakim (Sudarto, 1986 : 78).

Keyakinan hakim bukan diartikan perasaan hakim pribadi sebagai manusia akan tetapi keyakinan yang didukung oleh alat bukti yang sah menurut Undang-Undang. Apabila didalam persidangan (pemeriksaan perkara), hakim tidak mendapatkan kan dua alat bukti maka hakim belum bisa menjatuhkan pidana atas diri terdakwa. Sebaliknya jika hakim telah mendapat minimal dua alat bukti dan juga di sertai dengan keyakinan yang kuat maka hakim dapat menjatuhkan pidana. Hal ini sesuai dengan Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benarterjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah”.


(30)

Berdasarkan Naskah Rancangan KUHP Baru Tahun 1999/2000 terdapat ketentuan tentang tujuan pemidanaan dalam Pasal 51 ayat (1) yaitu :

1. Mencegah dilakukanya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat

2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikanya orang yang baik dan berguna.

3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Pasal 51 ayat (2) menyatakan “Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia”.

Rancangan KUHP Baru Tahun 1999/2000 yang mengatur tentang pedoman pemidanaan membuat beberapa macam pedoman :

1. Ada pedoman pemidanaan yang bersifat umum untuk memberi pengarahan kepada hakim mengenai hal-hal apa yang sepatutnya dipertimbangkan dalam menjatuhkan pidana;

2. Ada pedoman pemidanaan yang lebih bersifat khusus untuk memberikan pengarahan pada hakim dalam memilih atau menjatuhkan jenis-jenis pidana tertentu;

3. Ada pedoman bagi hakim dalam menerapkan sistem perumusan ancaman pidana yang digunakan dalam perumusan delik.

Pedoman pemidanaan yang bersifat umum dirumuskan dalam Rancangan KUHP baru Pasal 52 tahun 1999/2000 sebagi berikut :

Dalam pemidanaan hakim wajib mempertimbangkan : Ke-1 kesalahan pembuat;


(31)

Ke-2 motif dan tujuan dilakukan tindak pidana; Ke-3 cara melakukan tindak pidana;

Ke-4 sikap batin pembuat;

Ke-5 riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat;

Ke-6 sikap dan tindakan pembuat sudah melakukan tindak pidana; Ke-7 pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat;

Ke-8 pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan; Ke-9 pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban; Ke-10 apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana.

Kekerasan secara fisik adalah menimbulkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat maupun ringan baik menggunakan alat bantu maupun dengan tangan kosong.

Kekerasan secara psikis adalah perbuatan yang menimbulkan rasa shock, trauma, rasa takut, hilangnya percaya diri, hilanghnya kemampuan untuk bertindak, tidak berdaya atau menderita krisis berat kepada seseorang.

Kekerasan secara seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga akibat hubungan ikatan perkawian baik secaraverticalmaupunhorisonal.

Pelantaran rumah tangga, meninggalkan rumah tangga berturut-turut selama 6 (enam) bulan tidak memberikan nafkah lahir batin, poligami tanpa izin istri, tidak bertanggung jawab sehingga mengakibatkan rumah tangganya terlantar.

Kekerasan terhadap perempuan baik secara fisik, psikis, maupun seksual. Sering kali menimbulkan problema yang sangat rumit dalam membina rumah tangga sesuai dengan tujuan perkawinan sebagai dasar atau landasan terjadinya suatu perkawinan yang abadi dan merupakan rumusan arti dan tujuan perkawinan sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 (Pasal 1 ayat (1)) tentang perkawinan yang menyatakan: “perkawinan adalah sebuah ikatan lahir batin antara seorang wanita dengan seorang pria sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa”.


(32)

Hal-hal yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menetapkan pidana perkara tindak pidana didasarkan pada:

1. Tuntutan jaksa penuntut umum. 2. Alat bukti.

3. Hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa. 4. Petunjuk-petunjuk lain dalam persidangan dan barang bukti.

Berdasarkan pertimbangan hakim atas kasus diatas maka hakim menjatuhkan pidana maksimum terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan yang menimbulkan kematian, sehingga hukuman itu sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan. Perlu dipertimbangkan bahwa berat ringanya yang dijatuhkan oleh hakim pada hakikatnya adalah sebagi upaya perbaikan bagi pelaku tindak pidana, sehingga pelaku tindak pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga (KdRT) yang menimbulkan kematian tersebut tidak mengulangi perbuatanya. Hal ini akan tercapai apabila itu dirasakan telah sesuai dengan tindak pidana yang telah dilakukan oleh pelaku tindak pidana, baik ditinjau dari sudut pelaku maupun ditinjau dari sudut masyarakat yang mewakili kepentingan korban.

Sehubungan dengan permaslalahan kasus di atas penulis tertarik untuk meneliti Putusan Pengadilan No.372/PID.B/2010/PN.GS. tentang perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga (penganiayaan) yang berkaitan dengan Pasal 352 (1) KUHP, yang mengakibatkan meninggalnya istri oleh suami yang akan dituangkan dalam bentuk skripsi yang saya beri judul “Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Penganiayaan yang Menyebabkan Kematian Istri oleh Suami”.


(33)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini adalah sebagai berikut :

a. Bagaimanakan pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan kematian istri oleh suami pada Putusan No. 372/ Pid B/2010/PN/GS.

b. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan kematian istri oleh suami Pada Putusan No. 372/ Pid B/2010/PN/GS.

2. Ruang Lingkup

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka ruang lingkup penelitian ini meliputi materi apa yang menjadi pertanggungjawaban terhadap terdakwa menurut putusan hakim dan dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga yang menyebabkan kematian istri oleh suami dan proses penyelesaianya berdasarkan kekerasan dalam rumah tangga berdasarkan putusan Pengadilan (Putusan No. 372/ Pid B/2010/PN/GS).

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan penelitian

Berdasarkan pokok bahasan tersebut diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk :

a. Mengetahui pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan kematian istri oleh suami.

b. Mengetahui serta memahami dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana pelaku tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan kematian istri oleh suami.


(34)

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini adalah: a. Secara teoritis

Penulis mendapatkan wawasan ilmu hukum pidana khususnya proses peradilan perkara tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang menimbulkan kematian, dan mengetahui dasar pertimbangan hukum bagi hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan kematian istri oleh suami.

b. Secara Praktis

Penulisan skripsi ini diharapkan berguna untuk mermberikan sumbangan pemikiran pada penegakan hukum khususnya serta mencari upaya/kebijakan hukum dalam menanggulangi Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam peradilan pidana agar tidak terjadi kembali.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenar-benarnya merupakan abstrak dari pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan kesimpulan terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan untuk penelitian (Soerjono Soekanto, 1984 : 123).

Menurut skripsi ini teori yang akan digunakan dalam pembahasan adalah teori-teori yang didasarkan atas pertanggungjawaban terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan kematian istri oleh suami dan dasar pertimbangan hakim terhadap putusan pelaku tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan kematian istri oleh suami.


(35)

Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatanya tersebuat dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan. Seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu perbuatan, dilihat dari segi masyarakat menujukan pandangan yang normatif mengenai kesalahan yang dilakukan oleh orang tersebut.

Menurut Andi Hamzah ( 1994 : 130 ) bahwa pertanggungjawaban pidana atas kesalahan dalam arti luas mempunyai tiga bidang yaitu :

a. Dapat dipertanggungjawabkan oleh sipembuat

b. Adanya kaitan psikis antara pembuat dan perbuatan, yaitu adanya sengaja atau kesalahan dalam arti sempit(Culpa).

c. Tidak adanya dasar peniadaan pidana yang menghapus dapat dipertanggungjawabkan sesuatu perbuatan kepada pembuat.

Menurut ( Roeslan Saleh 1983:85) faktor-faktor yang menyebabkan orang mampu bertanggungjawab adalah faktor akal dan kehendak. Faktor akal yaitu dapat membeda-bedakan anatara perbuatan yang diperolehkan dan yang tidak diperolehkan. Faktor kehendak yaitu menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas nama yang diperbolehkan dan yang tidak.

Perbuatan yang memenuhi rumusan suatu delik diancam pidana yang dilakukan dalam suatu proses sistem peradilan pidana ( Criminal justice Syistem). Saksi pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa bukanlah semata-mata merupakan pembalasan melainkan sebagai usaha preventif agar terdakwa bisa merenungkan perbuatan selanjutnya, pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus dilakukan dengan pendekatan integral dan keseimbangan


(36)

antara sarana penal dan non penal karena lebih bersifat prefentif dan karena kebijakan penal mempunyai keterbatasan/kelemahan yaitu harus didukung insfratruktur dan biaya yang tinggi.

Pertanggungjawaban pidana dalam skripsi ini merupakan sesuatu yang dibebankan kepada seseorang atas perbuatan yang dilakukan yaitu kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sehinggga menimbulkan kematian dan pelaku harus mempertanggungjawabkan kesalahannya sesuai dengan putusan hakim menurut ketentuan Undang-Undang.

Kedudukan dan peranan hakim dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman (UPKK) yaitu :

(1) Hakim sebagi penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat ;

(2) Dalam mempertimbangkan berat ringanya pidana hakim wajib pula mempertimbangkan sifat-sifat yang baik dan yang jahat dari tertuduh.

Berdasarkan pasal diatas dimungkinkan hakim memberikan interpretasi dari ketentuan yang ada dalam Undang-Undang. Mengenai apa dan bagaimana peranan yang dilakukan oleh hakim sebagai penegak hukum secara asumtif telah sesuai dengan hak dan kewajiban serta wewenang mereka sebagaimana telah ditentukan dalam hukum acara pidana, tetapi dilain pihak ada kemungkinan hak-hak serta kewajiban yang menggambarkan peranan itu akan berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi yang terdapat dalam penyelenggaraan peradilan pidana sesuai dengan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

Kedudukan hakim sebagai pelaksana keadilan ditunjang dari pengetahuan yang cukup tentang pemidanaan terutama untuk mencapai pertimbangan-pertimbangan yang matang sebelum


(37)

hakim menjatuhkan hukuman pada pelaku tindak pidana berkenaan dengan penjatuhan pidana (Muladi dan Barda Nawawi Arif. 1992 : 67) mengemukakan bahwa terdapat hubungan yang erat antara tidak pidana yang dilakukan terdakwa dengan pribadi si terdakwa dalam persidangan baik dari sifat perbuatan maupun kepribadian guna menjatuhkan pidana. Pendapat tersebut didukung oleh Sudarto (Muladi dan Barda Nawawi Arif ,1992 : 67) yang mengemukakan dengan mengetahui kepribadian terdakwa maka akan memudahkan hakim dalam menetapkan pidana setelah tertuduh terbukti melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya.

Berdasarkan pertimbangan hakim terdakwa di nyatakan terbukti bersalah telah melakukan perbuatan pidana melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga, sehingga hakim memutuskan hukuman atas kesalahan tersebut dengan pidana penjara selama 15 ( lima belas ) tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan. Hal-hal yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menetapkan pidana perkara tindak pidana didasarkan pada:

1. Tuntutan jaksa penuntut umum. 2. Alat bukti.

3. Hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa. 4. Petunjuk-petunjuk lain dalam persidangan dan barang bukti.

2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah kerangka yang mengambarkan hubungan antara konsep-konsep yang akan diteliti, baik dalam penelitian hukum normatif maupun empiris. Biasanya telah merumuskan dalam definisi-definisi terentu atau telah menjalankan lebih lanjut dari konsep tertentu.


(38)

(Sanusi Husin, 199 : 9).

Berdasarkan kerangka konseptual ini maka akan dijelaskan beberapa istilah sebagai berikut: a. Pertanggungjawaban adalah suatu kemampuan untuk bertanggungjawab terhadap suatu

tindak pidana (Sudarto, Hukum Pidana 1, 1990 : 78).

b. Pidana adalah Penghukuman atau pemberian pidana terhadap orang yang melakukan suatu tindak pidana (Heni Siswanto, Bahan Hukum Pidana, 2002 : 14).

c. Pelaku adalah “kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang bertanggungjawab” (Moeljatno, 1987 : 56).

d. Tindak Pidana : Menurut Simons adalah perbuatan manusia yang dilarang dan diancam dengan Undang-Undang yang bersifat melawan hukum, perbuatan mana dilaksanakan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan dan dipersalahkan kepada si pembuatnya (Sitauhid Kartanegara, 1985).

e. Penganiayaan adalah kualifikasi dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 351 sampai dengan Pasal 358 KUHP, dan penganiayaan yang menimbulkan kematian diatur dalam Pasal 351 ayat (3) KUHP.

f. Suami adalah orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan istri karena ada hubungan perkawinan yang menetap dalam rumah tangga (Pasal 2 Ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun2004 ).


(39)

g. Istri adalah orang yang mempunyai hubungan keeluarga dengan suami karena ada hubungan perkawinan yang menetap dalam rumah tangga (Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun2004 ).

E. Sistematika penulisan

Untuk memudahkan pemahaman terhadap skripsi ini secara keseluruhan, maka disusun sistematika penulisan sebagai berikut:

1. PENDAHULUAN

Bab ini meliputi latar belakang. permasalahan dan Ruang Lingkup, tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Kerangka Teoritis dan Konseptual, serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini merupakan pengantar tentang pengertian-pengertian umum serta pokok bahasan. Dalam uraian Bab ini lebih bersifat teoritis yang nantinya digunakan sebagai bahan studi perbandingan antara teori yang berlaku dalam praktek. Bab ini menguraikan tentang pemidanaan, tindak pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga (KdRT) penganiayaan yang dilakukan seorang suami terhadap istri sehingga menimbulkan kematian.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini memuat dan membahas tentang metode penelitian yang meliputi pendekatan masalah, langkah-langkah dalam penelitian, sumber dan jenis data yang digunakan, penentuan populasi dan sempel, pengumpulan dan pengelola data, serta analisis data.


(40)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini memuat hasil penelitian dan pembahasan yang dianggap sebagai jantung dari penulisan skripsi, karena pada bab ini akan dibahas permasalahan-permasalahan yang ada, yaitu ; mengenai Pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan kematian istri oleh suami dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana pelaku tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan kematian istri oleh suami.

V. PENUTUP

Bab ini merupakan hasil akhir yang memuat kesimpulan dan saran penulis. Kesimpulan diambil berdasrkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan oleh penulis. Sedangkan saran diberikan berdasarkan hasil penelitian yang merupakan tindak lanjut dalam pembenahan dan perbaikan.


(41)

DAFTAR PUSTAKA

Moeljono. 1983.Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Citra, Jakarta

Hamzah, Andi. 1994.Hukum Pidana Indonesia, Sapta Artha Jaya, Jakarta. Muladi. 1998.Teori-Teori dan Kebijakan pidana. Cet. 8. Alumni Bandung.

Nawawi, Arif, Barda. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti. Bandung.

Saleh, Roeslan. 1983.Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana. Cet. 3. Aksara Baru, Jakarta.

Siswanto, Heni.2005.Bahan Ajar hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Lampung

Soekanto, Soerjono. 1984.Pengantar Penelitian Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, jakarta.

Indonesia.Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan kehakiman.

Indonesia.Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.


(42)

dari proses penegakan dan penerapan hukum pidana secara tepat dan efektif, sesuai dengan tujuan pemidanaan.

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA

PENGANIAYAAN YANG MENYEBABKAN KEMATIAN ISTRI OLEH SUAMI

(Studi Kasus Putusan No. 372 /Pid B/ 2010/ PN/GS)

Oleh ALLAYLA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana


(43)

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012

Judul skripsi : PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENYEBABKAN KEMATIAN ISTRI OLEH SUAMI (Studi Kasus Putusan No. 372 /Pid B/ 2010/ PN/GS)

Nama mahasiswa :Allayla No. Pokok Mahasiswa : 0742011034

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Dr. Eddy Rifai. S.H., M. H. Maya Shafira. S.H., M.H. NIP. 19610912 198603 1 003 NIP.19770601 200501 2 002


(44)

Diah Gustiniati Maulani, S.H., M. H. NIP. 19620817 198703 2 003

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Dr. Eddy Rifai. S.H., M.H. ...

Seketaris/Anggota :Maya Shafira. S.H., M.H. ...

Penguju Utama : Gunawan Jatmiko. S.H., M.H. ...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S. NIP. 19621109 198703 1 003


(45)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Dr. Eddy Rifai. S.H., M.H. ...

Seketaris/Anggota :Maya Shafira. S.H., M.H. ...

Penguju Utama : Gunawan Jatmiko. S.H., M.H. ...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S. NIP. 19621109 198703 1 003


(46)

(47)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Ogan II ( Dua ) Kecamatan Tigeneneng Kabupaten Pesawaran pada Tanggal 28 Agustus 1989, sebagai anak ke lima dari tujuh Bersaudara buah hati dari pasangan Bapak H. Ansori dan Ibu Hj. Siti Nurbayah.

Penulis mengawali jenjang pendidikan pada Sekolah Dasar Negeri 1 Gedung Gumanti diselesaikan pada tahun 2001. Pada tahun 2001 penulis masuk ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama MTs Negeri 1 Metro dan di selesaikan pada tahun 2004, setelah itu melanjutkan ke Sekolah Menengah MAN 1 Metro dan lulus pada tahun 2007.

Pada tahun 2007 penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum dan untuk lebih mematangkan ilmu hukum yang diperoleh penulis mengkonsentrasikan pada bagian Hukum Pidana.


(48)

SANWACANA

Assalamualaykum Wr. Wb.

Alhamdullilah Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT serta shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta sahabatnya. Alhamdulillah atas kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Penganiayaan Yang Menyebabkan Kematian Istri Oleh Suami”. Adapun maksud penulisan skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai gelar kesarjanaan di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Segala kemampuan telah penulis curahkan guna menyelesaikan skripsi ini, namun penulis menyadari masih terdapat kekurangan baik dari segi substansi maupun penulisannya. Oleh karena itu, berbagai saran, koreksi dan kritik yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini.

Penulis juga menyadari ini bukanlah hasil jerih payah sendiri akan tetapi juga berkat bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak baik moril maupun materil sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai. Oleh karena itu didalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih yang tulus kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung. 2. Ibu Diah Gustiniati M., S.H.,M.H., selaku Ketua Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum


(49)

3. Bapak Dr. Edi Riffai. S.H.,M.H., sebagai pembimbing 1 (satu) atas ketersediaannya untuk membantu, mengarahkan dan memberi masukkan agar terselesaikannya skripsi ini.

4. Ibu Maya Shafira S.H.,M,H., selaku pembimbing II (dua) yang telah meluangkan waktu dan fikirannya untuk serta memberikan semangat kepada penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Bapak Gunawan Jatmiko S.H.,M.H., selaku pembahas I(satu) yang telah memberikan kritik,saran, dan masukan yang membangun terhadap skripsi ini.

6. Bapak Renaldi Amrullah S.H.,M.H., selaku pembahas II (dua) yang telah memberikan kritik,saran dan masukan yang membangun terhadap skripsi ini.

7. Bapak dan Ibu Dosen beserta seluruh staf karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan pembelajaran berharga bagi penulis serta memberikan kemudahan dan bantuannya selama ini.

8. Ibu Teti Hendrayati S.H. dan Bapak Guntur Pambudi Wijaya S.H.,M.H. dan selaku hakim di Pengadilan Negeri Gunung Sugih dan seluruh karyawan Pengadilan Negeri Gunung Sugih Lampung Tengah yang telah meluangkan waktunya saat penulis melakukan penelitian dan memberikan data untuk membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.

9. Ibu Elismayati S.H. selaku Jaksa Fungsional di Kejaksaan Negeri Gunung Sugih Lampung Tengah yang telah membantu penulis dalam melakukanpenelitian.

10. Terkhusus rasa terima kasih yang tulus penulis haturkan untuk keluarga tercinta, Bapak (H. Ansori) yang telah memberikan pelajaran hidup yang berharga bagi penulis sebagai bekal dalam mengarungi bahtera kehidupan. Semoga persembahan ini dapat membayar setitik keringat dan jerih payah bapak dalam membesarkan penulis. Ibu (Siti Nurbayah) yang tanpa henti mencurahkan segala kasih sayang, perhatian, dan do’a untuk keberhasilan penulis


(50)

sejak dalam kandungan hingga saat ini. K” jon, Cak Ice, Cik Li, K” aji, Adek adet, Adek Zikri dan keponakanku Kaysha Azzahra , Keyla Attaya Soffi yang selalu menghibur, mendo’akan, dan mensupport penulis.

11. Seorang motivator dalam setiap langkah dan tindak - tandukku, Meri Yansah S.Pd.i yang telah berkorban dan menemani penulis agar penulis mendapatkan gelar kesarjanaan.

12. Teman-teman seperjuanganku waktu kuliah di Fakultas Hukum Universitas Lampung yang selalu bersama dalam suka dan duka dan selalu memberikan nasihat, semangat, do’a serta bantuan baik secara moril maupun materiil, khususnya Siti Nurjanah. SH , Veno Adrian. SH, Ari Anggoro. SH yang udah duluan dapetin gelar SH,dan temen-temen yang masih menjalani perjuangan khususnya Femi Setia Ningrum SH, Venelia Hati SH, Floria Sitanggang. SH. Ayo teman-teman SEMANGAT SEMANGAT...SUKSES SELALU...~ 030806 ~.

13. Sahabat-sahabatku, kebersamaan dengan kalian membuat penulis kaya akan pengalaman yang nggak mungkin bisa dilupakan dan diulang. Persahabatan tak terpisah oleh jarak dan waktu.

14. Anak-anak kosan Bunga mayang khususnya Susi,Winda, Yuri, Dani, Mas Vero, mas yono dan semuanya yang g bisa disebutin satu persatu,terimakasih kepada teman-teman yang selalu menemani saat penulis sendirian dan kesepian.

15. Dan untuk pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. 16. Universitas Lampung, khususnya Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Semoga Allah SWT menerima dan membalas semua kebaikan yang kita perbuat. Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi yang membacanya. Amin....


(51)

Wassalamualaykum Wr. Wb Bandar Lampung,

Penulis


(1)

(2)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Ogan II ( Dua ) Kecamatan Tigeneneng Kabupaten Pesawaran pada Tanggal 28 Agustus 1989, sebagai anak ke lima dari tujuh Bersaudara buah hati dari pasangan Bapak H. Ansori dan Ibu Hj. Siti Nurbayah.

Penulis mengawali jenjang pendidikan pada Sekolah Dasar Negeri 1 Gedung Gumanti diselesaikan pada tahun 2001. Pada tahun 2001 penulis masuk ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama MTs Negeri 1 Metro dan di selesaikan pada tahun 2004, setelah itu melanjutkan ke Sekolah Menengah MAN 1 Metro dan lulus pada tahun 2007.

Pada tahun 2007 penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum dan untuk lebih mematangkan ilmu hukum yang diperoleh penulis mengkonsentrasikan pada bagian Hukum Pidana.


(3)

SANWACANA

Assalamualaykum Wr. Wb.

Alhamdullilah Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT serta shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta sahabatnya. Alhamdulillah atas kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Penganiayaan Yang Menyebabkan Kematian Istri Oleh Suami”. Adapun maksud penulisan skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai gelar kesarjanaan di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Segala kemampuan telah penulis curahkan guna menyelesaikan skripsi ini, namun penulis menyadari masih terdapat kekurangan baik dari segi substansi maupun penulisannya. Oleh karena itu, berbagai saran, koreksi dan kritik yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini.

Penulis juga menyadari ini bukanlah hasil jerih payah sendiri akan tetapi juga berkat bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak baik moril maupun materil sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai. Oleh karena itu didalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih yang tulus kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung. 2. Ibu Diah Gustiniati M., S.H.,M.H., selaku Ketua Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum


(4)

3. Bapak Dr. Edi Riffai. S.H.,M.H., sebagai pembimbing 1 (satu) atas ketersediaannya untuk membantu, mengarahkan dan memberi masukkan agar terselesaikannya skripsi ini.

4. Ibu Maya Shafira S.H.,M,H., selaku pembimbing II (dua) yang telah meluangkan waktu dan fikirannya untuk serta memberikan semangat kepada penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Bapak Gunawan Jatmiko S.H.,M.H., selaku pembahas I(satu) yang telah memberikan kritik,saran, dan masukan yang membangun terhadap skripsi ini.

6. Bapak Renaldi Amrullah S.H.,M.H., selaku pembahas II (dua) yang telah memberikan kritik,saran dan masukan yang membangun terhadap skripsi ini.

7. Bapak dan Ibu Dosen beserta seluruh staf karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan pembelajaran berharga bagi penulis serta memberikan kemudahan dan bantuannya selama ini.

8. Ibu Teti Hendrayati S.H. dan Bapak Guntur Pambudi Wijaya S.H.,M.H. dan selaku hakim di Pengadilan Negeri Gunung Sugih dan seluruh karyawan Pengadilan Negeri Gunung Sugih Lampung Tengah yang telah meluangkan waktunya saat penulis melakukan penelitian dan memberikan data untuk membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.

9. Ibu Elismayati S.H. selaku Jaksa Fungsional di Kejaksaan Negeri Gunung Sugih Lampung Tengah yang telah membantu penulis dalam melakukanpenelitian.

10. Terkhusus rasa terima kasih yang tulus penulis haturkan untuk keluarga tercinta, Bapak (H. Ansori) yang telah memberikan pelajaran hidup yang berharga bagi penulis sebagai bekal dalam mengarungi bahtera kehidupan. Semoga persembahan ini dapat membayar setitik keringat dan jerih payah bapak dalam membesarkan penulis. Ibu (Siti Nurbayah) yang tanpa


(5)

sejak dalam kandungan hingga saat ini. K” jon, Cak Ice, Cik Li, K” aji, Adek adet, Adek Zikri dan keponakanku Kaysha Azzahra , Keyla Attaya Soffi yang selalu menghibur, mendo’akan, dan mensupport penulis.

11. Seorang motivator dalam setiap langkah dan tindak - tandukku, Meri Yansah S.Pd.i yang telah berkorban dan menemani penulis agar penulis mendapatkan gelar kesarjanaan.

12. Teman-teman seperjuanganku waktu kuliah di Fakultas Hukum Universitas Lampung yang selalu bersama dalam suka dan duka dan selalu memberikan nasihat, semangat, do’a serta bantuan baik secara moril maupun materiil, khususnya Siti Nurjanah. SH , Veno Adrian. SH, Ari Anggoro. SH yang udah duluan dapetin gelar SH,dan temen-temen yang masih menjalani perjuangan khususnya Femi Setia Ningrum SH, Venelia Hati SH, Floria Sitanggang. SH. Ayo teman-teman SEMANGAT SEMANGAT...SUKSES SELALU...~ 030806 ~.

13. Sahabat-sahabatku, kebersamaan dengan kalian membuat penulis kaya akan pengalaman yang nggak mungkin bisa dilupakan dan diulang. Persahabatan tak terpisah oleh jarak dan waktu.

14. Anak-anak kosan Bunga mayang khususnya Susi,Winda, Yuri, Dani, Mas Vero, mas yono dan semuanya yang g bisa disebutin satu persatu,terimakasih kepada teman-teman yang selalu menemani saat penulis sendirian dan kesepian.

15. Dan untuk pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. 16. Universitas Lampung, khususnya Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Semoga Allah SWT menerima dan membalas semua kebaikan yang kita perbuat. Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi yang membacanya. Amin....


(6)

Wassalamualaykum Wr. Wb Bandar Lampung,

Penulis