Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan

(1)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia

Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

Fernando Enrico Fermi NIM : 030200192

Departemen Hukum Pidana Program Kekhususan Hukum PIdana

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N


(2)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia

Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

Fernando Enrico Fermi NIM : 030200192 Departemen Hukum Pidana Program Kekhususan Hukum PIdana

Ketua Departemen Hukum Pidana

Abul Khair,SH,M.Hum. Nip : 131842854

Pembimbing I Pembimbing II

Prof.Dr.Syafruddin Kalo,SH,M.hum. Lukman Hakim Nainggolan,SH

Nip : 130809557 Nip : 130697438

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N


(3)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

ABSTRAKSI

Perkembangan ilmu dan teknologi yang semakin maju telah membawa manfaat yang besar didalam kemajuan setiap negara, namun hal tersebut dapat membuat sebuah penyakit baru yang ada di dalam masyarakat. Penyakit itu yaitu Paedofilia yang artinya kelainan seks yang korbannnya adalah anak-anak.

Sebagai besar pelaku memanfaatkan internet sebagai media untuk dapat mendapat kan korbannya. Dengan adanya internet pelaku dapat mengetahui tempat mana saja yang dapat menjadi surga bagi para pengidap paedofilia. Di

negara-negara yang sebagian besarnya merupakan kaum miskin seperti Indonesia, merupakan tempat yang disukai para turis-turis yang mengidap paedofilia. Karena dengan sejumlah uang mereka dapat membeli anak-anak yang tergolong di bawah umur untuk dijadikan budak seks.

Berbarengan dengan itu suara-suara yang menuntut agar hukum memainkan peranannya guna melindungi anak-anak dari tindakan kekerasan seksual semakin keras terdengar. Banyak kasus-kasus yang diangkat ke pengadilan dengan tuntutan pidana tidak sesuai dengan akibat yang harus ditanggung oleh anak-anak korban pelaku paedofilia.

Untuk mengantisipasi agar jangan sampai terjadi tindakan demikian yang dapat merugikan korban dan keluarga korban dibuatlah Undang-Undang 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang khusus untuk menangani tindak pidana pedofilia agar tidak semakin berkembang.

Skripsi ini membahas tentang pertanggung jawaban pidana pelaku pedofilia ditinjau dari UU No. 23 Tahun 2003 (UU Tentang Perlindungan Anak) dan KUHP. Skripsi ini ditulis untuk meraih gelar sarjana di bidang ilmu hukum.


(4)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dengan segala kerendahan hati penulis ucapkan pada Tuhan Yang Maha Esa atas kemurahannya memberikan kesehatan, kasih sayang dan kekuatan kepada penulis sehingga mampu menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Adapun judul Skripsi yang diplih oleh Penulis adalah :”PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU TINDAK PIDANA PAEDOFILIA DITINJAU DARI UU NO 23/2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DAN KUHP”.

Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Dengan selesainya skripsinya ini maka pada kesempatan ini Penulis dengan tulus ikhlas menyampaikan terima kasih yang tidak terhingga kepada :

1. Bapak Prof..Dr.Runtung Sitepu,SH,M.Hum, Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, beserta kepada Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II,dan Pembantu Dekan III.

2. Bapak Abul Khair,SH,M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara.


(5)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

3. Bapak Prof.Dr.Syafruddin Kalo,SH,M.Hum, Selaku Dosen Pembimbing I, atas segala saran dan waktu serta kesabarannya dalam rangka penyelesaian skripsi ini.

4. Bapak Lukman Hakim Nainggolan,SH, selaku Dosen Pembimbing II, atas segala saran, waktu serta kesabarannya dalam rangka penyelesaian skripsi ini.

5. Bapak Prof.Dr.Tan Kamello,SH,MS, selaku Dosen Wali Penulis.

6. Bapak/Ibu Dosen (staf pengajar ) yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan beserta seluruh staf pegawai yang telah memberikan pelayanan dengan baik selama perkuliahan.

7. Teristimewa untuk Orang Tua Penulis yang Tercinta : Ayahanda M. Sagala,SH,MH dan Ibunda M. Simalango yang telah berjerih payah membesarkan, memberikan kasih sayang dan didikan baik moril maupun materiil yang tidak bisa digantikan dan dibandingkan dengan apapun, serta tidak lupa kepada Abang dan Adik Penulis yang ikut memberikan semangat didalam penyelesaian skripsi ini.

8. Semua teman-teman kuliah Penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu.Terutama anak-anak group C stb 2003 yang sudah memberikan dukungan materiil maupun materiil kepada Penulis sampai selesainya Skripsi.Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Monang, Sihol, John, Edi, Irwan, Zega, Lazarus, Arpan, Polda yang sudah mau meluangkan


(6)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

waktunya untuk refreshing bersama-sama ( kapan-kapan kita ngumpul lagi ya !!! ). Tidak lupa pula Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bo’u, Mami serta anak WAMAR.lainnya.

Walaupun telah berupaya semaksimal mungkin, Penulis juga menyadari kemungkinan adanya kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun sehingga dapat memperbaiki Skripsi ini.

Akhir kata Penulis berharap semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.

Medan, 16 juni 2008 Penulis


(7)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

PERTANGGUNG JAWABAN

PELAKU TINDAK PIDANA PAEDOFILIA DITINJAU

DARI UU NO 23/2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

DAN KUHP

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI... .iv

BAB I PENDAHULUAN... .1

A.Latar Belakang...1

B.Perumusan Masalah...3

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian...3

D.Keaslian Penulisan...4

E.Tinjauan Kepustakaan...4

1.Pengertian Kekerasan seksual...4

2.Teknik dan Taktik Penyidikan...6

F.Metode Penelitian...8

G.Sistematika Penulisan...9

BAB II FAKTOR MUNCULNYA KEJAHATAN PAEDOFILIA SERTA UPAYA PENCEGAHANNYA A.Pengertian Paedofilia...11

1.Pengertian pelaku Paedofilia...11

2.Jenis-jenis kejahatan pelaku Paedofilia...18


(8)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

C.Akibat dari kejahatan Paedofilia... 32 D.Upaya penanggulangan Tindak Pidana Paedofilia...38

BAB III PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA PELAKU PAEDOFILIA DITINJAU DARI KUHP DAN UU NO 23/2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

A.Ketentuan Pidana menurut KUHP... 45 B.Ketentuan Pidana menurut UU NO. 23 / 2002 tentang

Perlindungan Anak...51 BAB IV KASUS DAN ANALISA KASUS

A.Kasus... 56 B.Analisa Kasus... 67 BAB V PENUTUP

A.Kesimpulan...72 B.Saran... 75 DAFTAR PUSTAKA...78


(9)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Kekerasan, pelecehan, dan eksploitasi seksual itu bukan hanya menimpa perempuan dewasa, namun juga perempuan yang tergolong dibawah umur (anak-anak). Kejahatan seksual ini juga tidak hanya berlangsung di lingkungan perusahaan atau di tempat-tempat tertentu yang memberikan peluang manusia berlainan jenis dapat saling berkomunikasi, namun dapat juga terjadi di lingkungan keluarga.1

Kekerasan seksual kepada anak atau Paedofilia nyatanya hingga saat ini masih cukup banyak terjadi di seluruh dunia, khususnya di Asia Pasifik seperti di Negara Filipina yang merupakan surga bagi para kaum gangguan kejiwaan Paedofilia atau Kekerasan seksual terhadap anak kecil. Menurut catatan data anak-anak Internasional PBB (UNICEF =United Nations International Children’s Fund ) menyebutkan bahwa setiap tahun sekurang-kurangnya ada sejuta anak yang menjadi korban perdagangan seks di seluruh dunia. Sebagian besar mereka dari kawasan Asia.2

Kondisi seperti ini jika tidak dilakukan tindakan secara tegas, dengan cara menindak tegas para pelaku Paedofilia, maka tidak akan mungkin tindak pidana Paedofilia dapat dihentikan. Akibat dari tindak pidana Paedofilia ini sendiri selain merusak mental dan jiwa korban dari kejahatan Paedofilia juga dapat mengganggu

1

Abdul Wahid, Perlindungan terhadap korban kekerasan seksual, Refika Aditama, Bandung, 2001, hal. 7.

2


(10)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

ketentraman orang tua yang takut akan terjadi pada anak mereka. Meskipun cukup berat tugas yang dipikul aparat kepolisian didalam memberantas Tindak Pidana Paedofilia, namun dengan peran serta masyarakat baik didalam memberikan informasi mengenai keberadaan pelaku Paedofilia maupun penjagaan khusus dari masing-masing orang tua didalam menjaga anak mereka dari orang-orang tidak dikenal yang mengajak anak mereka.3

Tindakan kekerasan seksual kepada anak sudah mencapai tingkat yang cukup memprihatinkan. Hal ini disebabkan karena faktor ekonomi yang sebagian besar berada di bawah garis kemiskinan, sehingga dengan mengiming-imingi uang seorang pelaku paedofilia dapat membeli seorang anak dari orang tua. Sebagai contoh dapat kita lihat di Negara Filipina,dimana seorang anak dapat dijual kepada para Paedofilia dengan uang yang cukup sebagai gantinya.4

Lahirnya Undang-undang No.23 / 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai dasar penegakan hukum terhadap aksi kekerasan seksual terhadap anak memang dirasakan kurang maksimal. Polri sebagai institusi yang bertugas melakukan

Di Indonesia ada beberapa kasus tindak pidana Paedofilia yang terjadi, Puncaknya adalah ketika William Stuart Brown, mantan diplomat Australia untuk Indonesia, dijatuhi hukuman 12 tahun penjara. Hakim di Bali memutuskan Brown bersalah berdasarkan UU Perlindungan Anak. Keputusan itu positif, bila mengingat selama ini kasus paedofilia hanya dihukum dalam hitungan bulan karena bersandar pada KUHP.

3

Ibid, hal. 56.

4


(11)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

penyidikan dan penyelidikan terhadap suatu tindak pidana banyak mengalami hambatan dan keterbatasan dalam pelaksanaan tugasnya.

B. PERMASALAHAN

Berdasarkan pada pembahasan diatas maka permasalahan yang akan diangkat oleh Penulis, yaitu :

1. Bagaimana pengaturan mengenai Paedofilia dalam KUHP dan diluar KUHP, serta cara penanggulangan tindak pidana Paedofilia.

2. Bagaimana perlindungan anak terhadap kejahatan Paedofilia dalam UU No. 23/2002 tentang perlindungan anak dan KUHP.

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

Adapun yang menjadi tujuan penulisan Skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui Perspektif Hukum Indonesia mengenai Tindak Pidana Paedofilia.

2. Untuk mengetahui kaitan Tindak Pidana Paedofilia dengan UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak dan KUHP.

3. Untuk mengetahui hambatan dan upaya yang dilakukan dalam Pembuktian Tindak Pidana Paedofilia.

Demikianlah tujuan penelitian skripsi ini selain tujuan pada umumnya yaitu sebagai salah satu syarat dalam memperoleh gelar sarjana.

Selain itu, tulisan ini diharapkan dapat memberi manfaat yaitu secara teoritis maupun praktis, yakni :


(12)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

1. Secara Teoritis

Hasil tulisan ini dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut dan mempunyai arti penting bagi penemuan konsep-konsep mengenai pengaturan dan peran aparat penegak hukum dalam menyelesaikan kasus kekerasan seksual pada anak-anak ini. Dan diharapkan dapat memberi manfaat bagi bidang ilmu hukum secara umum dan hukum pidana secara khusus.

2. Secara Praktis

Sebagai pedoman dan masukkan bagi pemerintah dan aparat penegak hukum dalam upaya pembaruan dan pengembangan hukum nasional kearah pengaturan dan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual pada anak-anak.

D. KEASLIAN PENULISAN

Sepengetahuan Penulis tidak ada judul yang sama dengan skripsi ini dilingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Yaitu yang berjudul “ PERTANGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PAEDOFILIA DIKAITKAN DENGAN UU NO. 23/2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DAN KUHP “. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tulisan ini adalah asli.

E.TINJAUAN KEPUSTAKAAN 1. Pengertian Kekerasan Seksual

Seperti yang kita ketahui kekerasan seksual pada anak-anak atau yang disebut dengan PAEDOFILIA merupakan salah satu bentuk kejahatan yang melecehkan dan


(13)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

menodai harkat kemanusiaan, serta patut dikategorikan sebagai jenis kejahatan yang dapat merusak masa depan bangsa. Untuk itu sebelumnya Penulis akan membahas pengertian dari kekerasan seksual. 5

Berdasarkan kamus Hukum,”sex” dalam bahasa inggris diartikandengan jenis kelamin. Jenis kelamin disini lebih dipahami sebagai persoalan hubungan (persetubuhan) antara laki-laki dengan perempuan. Marzuki Umar Sa’abah mengingatkan,” membahas mengenai masalah seksualitas manusia ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan atau tidak seperti yang dipahami masyarakat kebanyakan. Pembahasan seksualitas telah dikebiri pada masalah nafsu dan keturunan. Seolah hanya ada dua kategori dari seksualitas yang sehat dan baik, yaitu a) seksualitas yang bermoral, sebagai seksualitas yang sehat dan baik, b) seksualitas immoral, sebagai seksualitas yang sakit dan jahat.

6

Menurut kamus Bahasa Indonesia menunjukkan bahwa unsur utama yang melekat pada tindakan perkosaan adalah adanya perilaku kekerasan yang terkait dengan hubungn seksual, yang dilakukan dengan jalan melanggar hukum. Artinya tidak selalu kekerasan terkait dengan hubungan seksual dapat dikategorikan sebagai perkosaan.7

Disini Penulis akan membahas mengenai salah satu bentuk seksualitas yang immoral dan jahat. Artinya ada praktik seks yang dapat merugikan pihak lain dan masyarakat, karena praktik itu bertentangan dengan hukum dan norma-norma

5

Adami Chazawi, Tindak pidana mengenai kesopanan, Raja Grafindo, Jakarta, 2005, hal. 66. 6 Marzuki Umar Saabah, Seks dan kita, Gema Insani Press, Jakarta,1997, hal.2.

7


(14)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

keagamaan. Salah satu praktik seks yang menyimpang adalah bentuk kekerasan seksual (sexual violence). Artinya praktik hubungan seksual yang dilakukan dengan cara-cara kekerasan, di luar ikatan perkawinan yang sah dan bertentangan dengan ajaran agama. Kekerasan ditonjolkan untuk membuktikan pelakunya memiliki kekuatan fisik yang lebih, atau kekuatan fisiknya dijadikan alat untuk memperlancar usaha-usaha jahatnya. 8

8

Adami Chazawi, Op Cit, hal.87.

2. Teknik dan Taktik Penyidikan

Seringkali kita dihadapkan dengan sejumlah kasus yang menunjukkan mengenai proses jalur hukum yang belum mampu menjembatani aspirasi pencari keadilan. Pihak penegak hukum belum mampu menjalankan tugasnya secara Profesional, sehingga mengecewakan dan merugikan korban kejahatan yang merindukan keadilan.

Dalam hal ini pihak korban masih dituntut secara detail untuk mendeskripsikan kasus yang dialaminya, menceritakan mengenai kronologis peristiwa yang melecehkannya atau mengupas ulang tragedi yang menimpanya. Hal ini selain disampaikan didepan penyidik juga masih dikupas oleh pers secara detail. Bahkan pers biasanya cukup gencar menjadikannya sebagai objek jual yang kadang-kadang pemberitaannya tidak memperhatikan perasaan, harkat dan masa depan korban. Pihak korban lebih ditempatkan sebagai sasaran yang empuk untuk mencari keuntungan ekonomi.


(15)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

Berbeda dengan korban kejahatan konvensional lainnya, korban perkosaan mengalami penderitaan lahir dan batin. Keputusan korban untuk melaporkan kejadian yang menimpa dirinya pada pihak yang berwajib bukanlah keputusan yang mudah. Peristiwa yang begitu traumatik dan memalukan harus dipaparkan kembali secara kronologis oleh korban. Prosedur pemeriksaan sejak dari penyidikan, penuntutan hingga pemeriksaan di pengadilan harus dilalui oleh korban, sama seperti korban kejahatan lainnya apabila memperjuangkan hak perlindungan hukumnya.9

Sehingga korban sebagai pihak yang paling dirugikan didalam proses peradilan menurut KUHP seolah-olah tidak dimanusiakan, dia hanya menjadi saksi yang hanya penting guna memberikan keterangan tentang apa yang dilakukan pelaku, dijadikan barang bukti guna mendapatkan visum et repertum untuk membuktikan kesalahan pelaku bahwa kejahatan perkosaan ini benar-benar dilakukan terdakwa. Segala keperluan korban dari sejak kejadian hingga proses Pendapat itu kembali menegaskan mengenai penanganan perkara hukum oleh penegak hukum. Pihak penegak hukum dalam menangani suatu perkara belum memperhatikan mengenai aspek psikologi korban kejahatan, namun lebih terfokus pada problem teknis-formal. Prosedur pemeriksaan semata-mata mengacu pada perundang-undangan meskipun hal ini dilakukan dengan mengabaikan kepentingan kejiwaan korban. Penderitaan korban kian bertambah karena dalam proses peradilan pidana korban hanya menjadi saksi, dalam hal ini adalah saksi korban.

9

Suparman Marzuki, Pelecehan seksual, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1955, hal.25.


(16)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

pengadilan harus ditanggung sendiri dari tahap penyidikan sampai pemeriksaan pengadilan. Dari sini jelas posisi korban sangat tidak menguntungkan, bilamana dibandingkan dengan posisi pelaku.

F. METODE PENELITIAN

Dalam memperoleh ataupun mengumpulkan data-data yang diperlukan untuk penulisan skripsi ini penulis menggunakan 2 (dua) metode yaitu:

1. Library Research (Penelitian Kepustakaan)

Library Research atau penelitian kepustakaan adalah sebuah penelitian untuk memperoleh data scara primer dan sekunder, yakni:

a. Bahan Hukum Primer, yaitu peraturan Perundang-undangan antara lain UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak berupa pasal 82 dan pasal 83 UU Perlindungan Anak serta pasal-pasal dalam KUHP yang berhubungan dengan Paedofilia.

b. Bahan Hukum Sekunder, Yaitu berupa bahan/tulisan yang menjelaskan bahan bahan hukum primer, seperti , majalah Gatra, makalah-makalah dan seminar hukum yang ada di Internet, berbagai artikel dari surat kabar Kompas, Republika, Tempo, Suria dan bahan sekunder lainnya.

2. Field Research (Penelitian Lapangan)

Metode penelitian ini adalah sebuah usaha untuk mengumpulkan data-data atau bahan-bahan secara langsung dari lapangan yang dalam hal ini penulis


(17)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

mengadakan penelitian di Pengadilan Negeri Medan dilakukan untuk mendukung data.

G. SISTEMATIKA PENULISAN

Pembahasan tentang judul dan materi skripsi ini diperinci secara sistematis dengan lima bab :

Bab I Pendahuluan, memaparkan tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan.

Bab II Faktor Munculnya Kejahatan Paedofilia serta upaya pencegahannya, memaparkan tentang tinjauan mengenai kekerasan seksual pada anak-anak, diantaranya adalah :Pengertian dari Paedofilia, berisi tentang penjelasan mengenai tindak pidana Paedofilia serta aspek-aspek lain yang ada didalamnya dikaitkan dengan KUHP dan UU Perlindungan Anak. Faktor-faktor timbulnya Kejahatan Paedofilia, berisi tentang Faktor-faktor ektern dan Faktor-faktor intern terjadinya kejahatan Paedofilia, Akibat dari Kejahatan Paedofilia, berisi tentang hal-hal yang berhubungan dengan diri korban setelah terjadinya tindak pidana Paedofilia. Upaya penanggulangan tindak pidana paedofilia berisi tentang upaya-upaya yang dilakukan kepolisian maupun dari pihak keluarga dalam mengantisipasi terjadinya tindak pidana Paedofilia


(18)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

Bab III Pertanggung jawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Paedofilia, menguraikan tentang pengaturan terhadap kekerasan seksual pada anak-anak,terdiri atas : A. Pengaturan kekerasan seksual pada anak-anak menurut KUHP, berisi tentang

tindak pidana Paedofilia ditinjau berdasarkan Sistem pemidanaan dalam KUHP dan Konsep dalam KUHP

B. Pengaturan kekerasan seksual pada anak-anak menurut UU no. 23/2002, berisi tentang sistem pemidanaan dalam UU ini dalam penanggulangan Paedofilia.

Bab IV Kasus dan Analisa kasus, menguraikan tentang analisa putusan hakim mengenai penerapan UU no. 23/2002 yang berkaitan dengan kejahatan seksual pada anak-anak. Pada kasus putusan No. 996 / Pid.B / 2004 / PN. MDN.

Bab V Kesimpulan dan Saran, memuat tentang kesimpulan dan saran penulis yang diharapkan dapat memberikan perbaikan atau minimal sebagai sumbangan berupa pokok-pokok pikiran dalam perkembangan hukum di Indonesia terutama yang berhubungan dengan tindak pidana Paedofilia.


(19)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

BAB II

FAKTOR MUNCULNYA KEJAHATAN PAEDOFILIA SERTA UPAYA PENCEGAHANNYA

A. Kejahatan Paedofilia

1. Pengertian Kejahatan Paedofilia

Kejahatan Paedofilia dalam arti sebenarnya adalah cinta kepada anak-anak. Akan tetapi, terjadi perkembangan kemudian, sehingga secara umumnya digunakan sebagai istilah untuk menerangkan salah satu kelainan perkembangan psikoseksual dimana individu memiliki hasrat erotis yang abnormal sehingga melakukan kekerasan seksual terhadap anak-anak. Kekerasan seksual ini tentu saja bertentangan dengan pasal 4 UU No.23 /2002 tentang Perlindungan Anak yang berbunyi:

“ Setiap anak berhak untuk dapat hidup wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.10

10

UU No 23/2002 tentang Pelindungan Anak, hal. 7.

Selain masyarakat pemerintah juga mempunyai kewajiban dalam menanggulangi tindak pidana Paedofilia yang tertuang dalam pasal 9 UU No. 23 / 2002 yang berbunyi:


(20)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

“ Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak anak dalam situasi darurat, anak terksploitasi secara ekonomi dan / atau seksual, anak yang diperdagangkan, dan anak korban kekerasan baik fisik maupun mental serta anak korban perlakuan salah”.11

Timbulnya suatu kepercayaan bagi si penerima kekerasan (korban) bahwa jika kehendak pelaku tidak dimintanya tidak dipenuhi yang in casu bersetubuh dengan dia, maka kekerasan itu akan benar-benar akan diwujudkan. Aspek kepercayaan ini sangat penting dalam ancaman kekerasan sebab jika kepercayaan ini tidak timbul pada diri korban, tidaklah mungkin korban akan membiarkan dilakukan suatu perbuatan terhadap dirinya.

Ancaman kekerasan mengandung dua aspek penting, yaitu sebagai berikut a. Aspek Objektif, ialah :

1). Wujud nyata dari ancaman kekerasan yang berupa perbuatan persiapan dan mungkin sudah merupakan perbuatan permulaan pelaksanaan untuk dilakukannya perbuatan yang lebih besar.

2). Menyebabkan orang yang menerima kekerasan menjadi tidak berdaya secara psikis, berupa rasa takut, rasa cemas.

b. Aspek Subjektif, ialah :

12

11

Ibid, hal. 8.

12

Adami Chazawi, Tindak Pidana mengenai kesopanan, Raja Grafindo, Jakarta, 2005. hal. 66.


(21)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

Kekerasan seksual dilakukan dengan cara memanipulasi alat genital anak-anak atau, melakukan penetrasi penis sebagian atau keseluruhan terhadap alat genital anak. Sering juga anak-anak dipaksa melakukan relasi oral genital atau anal genital. Kebanyakan Kaum Paedofilia adalah pria, tetapi dalam pemusatan hasrat erotisnya sering juga melibatkan anak perempuan. Mereka akan mencari anak-anak yang polos, untuk dijadikan mangsanya dengan bujukan atau rayuan, memberi gula-gula, coklat, bahkan uang jajan. Seringkali pula mangsanya adalah anak-anak dan temannya sendiri seperti anak tetangga atau bahkan anak-anak saudaranya. Diantara kaum Paedofilia ini ada juga yang sudah berkeluarga dan mempunyai anak-anak sendiri. Apabila sudah terlaksananya hasrat seksualnya, biasanya anak-anak yang polos tersebut diancam dengan kekerasan agar tidak berani menceritakan peristiwa yang dialaminya kepada orang lain, termasuk orang tuanya sendiri. 13

13

Kompas 06 oktober 2005, hal. 11.

Paedofilia juga mempunyai dua (2) tipe diantaranya : a. Paedofilia Heteroseksual

Paedofilia yang satu ini mungkin merasa impotent atau merasa tidak mampu melampiaskan nafsu birahinya kepada wanita dewasa. Biasanya kecendrungan ini muncul setelah pertengkaran dengan istri atau direndahkan oleh teman-temannya. Pelaku Paedofilia Heteroseksual ini memiliki moral yang rendah sebagai salah satu penyebab perilakunya tersebut. Selain itu, kebencian, kemarahan, dan dendam terhadap wanita akan melatarbelakangi perilaku Paedofilia ini.


(22)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

Sebagai contoh kasus Pelaku Paedofilia Heteroseksual ini , adalah :

Seorang kakek (72 tahun) baru dua minggu ditinggal mati istrinya. Ia mengeluh pada tetangga bahwa ia tidak sanggup tidur di rumah sendirian karena selalu terkenang pada istrinya. Tanpa menaruh curiga, tetangga menawarkan agar kakek tersebut tidur dengan anak perempuannya yang baru berusia 8 tahun. Anak perempuan itu rupanya juga sangat sayang pada kakek yang baik hati dan ia sudah mengaggap sebagai kakeknya sendiri. Anak ini sering diberi uang jajan setiap akan pergi ke sekolah antara Rp. 500,- hingga 1.000,-. Pada suatu pagi anak itu menangis ketika akan buang air kecil karena kesakitan. Ternyata, ada organ genitalnya terdapat luka. Setelah ditanya berulang-ulang oleh ibunya, dengan takut-takut si anak menceritakan bahwa ia diperlakukan oleh kakek tersebut. Anak tersebut belum mengerti dirinya diapakan oleh si kakek. Ia hanya merasakan sakit. Selain itu, ia juga mendapat ancaman dari si kakek untuk tidak menceritakan apa yang telah terjadi padanya kepada siapapun. Kata kakek, kalau bercerita ia akan dicubit sampai mati. Ketika kakek itu ditanya, ia mengaku bahwa dirinya tidak mampu menahan nafsunya setelah melihat anak rok anak itu tersingkap waktu tidur.14

“ Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak dibawah pengawasannya yang belum dewasa yang pemeliharannya, pendidikan, atau penjagaannya diserahkan kepadanya ataupun dengan pembantunya atau bawahannya yang belum dewasa, diancam pidana penjara paling lama tujuh tahun penjara”.

Dalam kasus ini, pelaku Paedofilia diatas dapat dikenakan pasal 294 KUHP yang berbunyi :

15

Pada perbuatan cabul menurut pasal 294 ini terdapat suatu hubungan tertentu antara subjek hukum atau si pembuatnya dengan objek (orang yang dilakukan

14

Ibid, hal. 6.

15


(23)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

perbuatan cabul dengannya). Faktor adanya hubungan itu disalahgunakannya dengan dipandang oleh pembentuk undang-undang dapat mempermudah untuk dilakukan perbuatan cabul, dan si pembuat menyalahgunakan kedudukannya yang demikian, yang seharusnya ia melindungi kepentingan korban. Karena dipandang sebagai faktor yang mempermudah, merupakan hal yang wajar jika pembuat undang-undang mengancam si pelaku dengan pidana penjara yang lebih berat daripada kejahatan perbuatan cabul terhadap orang belum dewasa menurut pasal 293 (maksimum lima tahun penjara) yang tidak terdapat unsur hubungan seperti pasal 294 (maksimum tujuh tahun penjara).

Pada pasal 294 ayat 1, terdapat hubungan antara si pembuat cabul dengan orang yang dicabuli. Hubungan ini ada dua macam :

1) Hubungan kekeluargaan dimana si pembuat memiliki kewajiban hukumuntuk melindungi, menghidupi, memelihara, mendidiknya, dan hubungan ini dipandang mempermudah pelaksanaan kejahatan. Hubungan kekeluargaan ini, misalnya antara orang tua dengan anak kandungnya, anak angkatnya, anak tirinya yang belum dewasa.

2) Hubungan diluar kekeluargaan, tetapi didalamnya terdapat kewajiban hukum untuk memeliharanya, menghidupinya, ialah pada hubungan antara si pembuat dengan: anak belum dewasa yang berada dalam


(24)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

pengawasannya, pendidikannya, pemeliharannya diserahkan kepadanya, dengan pembantunya atau bawahannya yang belum dewasa.16

Seorang anak laki-laki berumur 15 tahun, menderita anxiety neurosa, pengalaman traumatik yang ia alami terjadi ketika berumur 13 tahun. Saat ia duduk di kelas 1 SMP. Pada saat guru matematiknya seorang pria berumur kira-kira 25 tahun, mengundangya ke rumah dengan alasan akan diberi tambahan pelajaran. Tetapi, ia ternyata dipaksa melakukan oral genital oleh guru tersebut dengan ancaman akan diberi nilai 3 untuk pelajaran matematika di raport. Disamping itu, gurunya juga memainkan alat genitalnya sehingga ia pun merasakan adanya rangsangan seksual. Pengalaman ini begitu mengesankan, sehingga ia terpaku dan bahkan setelah kejadian pertama tersebut justru ia sendiri yang merasa ketagihan dan ingin mengulang lagi perbuatan tersebut. Sehingga terciptalah pelaku Paedofilia Homoseksual, dimana anak itu membalaskan kemarahannya kepada anak-anak lainnya. Sehingga timbullah suatu penyebaran kaum Paedofilia Homoseksual, dari satu anak ke anak yang lainnya.

b. Paedofilia Homoseksual

Ketakutan juga melatarbelakangi Paedofilia ini. Namun Paedofilia ini memanipulir anak laki-laki sebagai objek pemuasan hasrat seksualnya. Sebagai contoh kasus dari Paedofilia Homoseksual ini adalah :

17

“ Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduga belum dewasa, yang diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”.

Kejahatan homo seksual yang ada dalam kasus diatas dirumuskan dalam pasal 292 yang rumusannya sebagai berikut :

18

16

Adami Chazawi, 2005, Op Cit, Hal. 99.

17

Kompas, 06 Oktober 2005, hal.3,4.

18

R.Soesilo, 1994, Op Cit, hal.213.


(25)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

Sama seperti perzinaan, untuk kejahatan kedua ini diperlukan dua orang yang terlibat. Kalau pada perzinaan terjadi antara dua orang lain jenis, tetapi pada perbuatan cabul, menurut pasal ini terjadi antara dua orang sesama jenis kelamin, lelaki dengan lelaki atau perempuan dengan perempuan (sering disebut dengan lesbian). Namun dalam pasal 292 ini yang menjadi subjek hukum kejahatan (si pembuatnya) dan dibebani tanggung jawab adalah siapa yang diantara dua orang diatas yang telah dewasa, sedangkan yang lain haruslah belum dewasa. Jadi tidak mungkin terjadi kejahatan menurut pasal 292 ini bila dilakukan sesama jenis kelamin yang keduanya sudah dewasa, atau keduanya sama-sama belum dewasa. Pembebanan tanggung jawab pada pihak orang yang telah dewasa adalah wajar karena ratio dibentuknya undang-undang ini adalah untuk melindungi kepentingan hukum orang yang belum dewasa dari perbuatan-perbuatan yang melanggar kesusilaan umum.19

Pelaku seks ini tidak benar-benar memiliki pilihan seksual khusus pada anak tetapi mereka melakukan hubungan seks pada anak karena mereka mendapat kesempatan. Para pelaku seperti itu dapat mengeksploitasi anak-anak karena mereka berada dalam situasi dimana mereka Selain itu, para pelaku seks terhadap anak pada umumnya dapat dibagi kedalam dua kategori yaitu :

a. Pelaku seks anak situasional

19


(26)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

mendapatkan anak dengan mudah atau faktor-faktor tertentu yang memungkinkan mereka untuk menipu diri sendiri tentang usia anak atau izin anak untuk melakukan eksploitasi seksual. Eksploitasi seksual terhadap anak dapat berupa tindakan yang dilakukan ketika sedang liburan atau hal tersebut dapat berkembang menjadi suatu kebiasaan melakukan kekerasan jangka panjang.

b. Pelaku seks anak Prefensial

Pelaku seks anak Prefensial memiliki pilihan seksual yang jelas terhadap anak-anak. Jumlah mereka lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah pelaku situasional tetapi mereka lebih berpotensi untuk melakukan kekerasan terhadap lebih banyak anak-anak daripada pelaku seks anak situasional karena hal tersebut memang sudah menjadi niat dan keinginan mereka.20

Seperti yang sudah kita ketahui bersama Kekerasan, pelecehan dan eksploitasi seksual itu bahkan bukan hanya menimpa orang dewasa, namun juga perempuan yang tergolong dibawah umur (anak-anak). Kekerasan seksual ini tidak hanya berlangsung di lingkungan sekolah maupun tempat-tempat tertentu yang memberikan peluang manusia berlainan jenis dapat saling berkomunikasi, namun juga dapat terjadi di lingkungan keluarga.

2. Jenis-Jenis Kejahatan Paedofilia

20

Kartini Kartono, Psikologi Wanita, Gadis Remaja dan Wanita Dewasa, Alumni, Bandung, 1981, hal.153.


(27)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

Kekerasan yang dimaksudkan adalah sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 89 KUHP, yakni berupa tindakan-tindakan pemaksaan terhadap seseorang dengan mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani (fisik) secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang dan sebagainya yang bersifat pemaksaan atas diri seseorang. Pemaksaan tersebut bila dikaitkan dengan tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak, akan memiliki pengertian yang lebih luas lagi. Karena tidak selamanya untuk melakukan untuk melakukan pemerkosaan dilakukan dengan kekerasan yang berhubungan dengan kekuatan fisik, tetapi dapat juga dilakukan dengan pemaksaan secara perekonomian ataupun dengan pengaruh suatu kekuasaan.21

“ Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencaharian

Hal yang cukup memprihatinkan adalah kecendrungan makin maraknya kejahatan seksual yang tidak hanya perempuan dewasa, tapi juga menimpa anak-anak dibawah umur. Anak-anak-anak perempuan itu dijadikan sebagai objek komoditas (perdagangan) atau pemuas nafsu (animalistic) dari seseorang dan kelompok tertentu yang menjalankan bisnis seksual guna memperoleh keuntungan ekonomi berlipat ganda. Kejahatan yang dimaksudkan diatas dapat dirumuskan dalam Pasal 296 yang berbunyi sebagai berikut :

21


(28)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan”.22

Dalam kenyataannya, banyak orang yang menyewakan tempat peristirahatan (rumah atau kamar) dan menyediakan pelacur-pelacur, yang bisa dipesan oleh setiap orang (termasuk persetubuhan). Orang-orang yang disebut dengan mucikari atau germo inilah yang menurut pasal 296 ini dapat dipidana. Tetapi sangat jarang kita mendengar para mucikari itu diusut oleh kepolisian dan diajukan penuntutan kepengadilan oleh jaksa penuntut umum.

23

Laporan pada Harian Kompas berjudul “ Perdagangan Anak untuk Bisnis Seks Merajalela “menyebutkan, bahwa “ anak-anak di kawasan Asia menghadapi ancaman meluasnya jaringan perdangan seks Internasional. Perlindungan terhadap mereka tidak bisa lagi hanya menggantungkan pada usaha-usaha lembaga Internasional saja. Menurut catatan data anak-anak lembaga Internasional PBB (UNICEF : United Nations Internasional Childrens Fund ) menyebutkan bahwa setiap tahun sekurang-kurangnya ada sejuta anak yang menjadi koban perdagangan seks diseluruh dunia. Sebagian besar mereka dari kawasan Asia.

Tercatat misalnya ada 65.582 pelacur di Indonesia. Tapi diperkirakan mereka yang bekerja sambilan atau rangkap bisa mencapai angka 500.000 lokalisasi atau kompleks bordil secara resmi diatur oleh pemerintah daerah.

24

22

R.Soesilo, 1994, Op Cit,hal. 217.

23

Adami Chazawi, 2005,Op Cit, hal.113.

24


(29)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

Kasus perdagangan seks yang menempatkan anak-anak dibawah umur sebagai korbannya itu cukup sering kita dengar kalau kasus itu diawali dengan jalan penipuan, menjadi korban perkosaan atau dikorbankan pada kaum Paedofilia untuk dijadikan objek pemuas seksual seperti pencabulan dan perkosaan. Sebagai sample misalnya, “beberapa tahun terakhir ini di sepanjang wilayah sungai Mekhong Negara Thailand, jumlah anak yag menjadi korban perdagangan, pencabulan, perkosaan dan penyimpangan seks bagi kaum Paedofilia semakin melonjak. Di Thailand sekitar 800.000 anak dipaksa menjajakan diri di kawasan pantai.25 Di New Delhi, harga seorang anak pemuas seks tidak lebih dari Rp. 3.500. Di bawah 6 tahun, harganya bisa meningkat. Di Hongkong, gadis kecil dibeli seharga Rp. 325 ribu. Di Malaysia, harga anak perawan mencapai 4 juta. Namun tidak semua anak-anak menjadi pelacur karena diculik dan dipaksa. Ada pula yang terjun ke prostitusi lantaran terdesak kemiskinan dan dijual kedua orang tuanya.26

25

Surya, 1 September 1996, hal.5.

26

Surya, Minggu, 1 september 1996, hal. 3, 4.

Di Indonesia, kasus jual beli dan perkosaan terhadap anak perempuan dibawah umur juga cukup sering terjadi. Sejumlah kasus menunjukkan ketika pihak berwajib terlibat didalam pembongkaran sindikat bisnis anak-anak. Diantara kasus-kasus yang melibatkan anak dibawah umur, salah satu modus operandi yang digunakan adalah penipuan. Diantara mereka adakalanya tidak mengetahui kalau dirinya akan dijadikan objek perkosaan dan dicabuli.


(30)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

Sebagai contoh kasus yang terjadi di Indonesia mengenai kekerasan seksual terhadap anak-anak ini dapat dilihat dalam laporan Harian Republika 14 agustus 2006, kasus perkosaan terhadap anak-anak tampaknya akan semakin menjadi momok yang cukup menakutkan bagi masyarakat. Dalam sepekan di bulan juli, terjadi tiga kasus perkosaan terhadap anak-anak di tempat berbeda. Di Jakarta Barat, In, siswa SD Kebun Sayur berusia 9 tahun, diperkosa seorang pedagang gulali. Perbuatan ini dilakukan di sebuah wc, setelah gadis itu diajak berjalan-jalan dan diiming-imingi sejumlah uang. Kasus serupa terjadi lagi di Jakarta Utara, korbannya tiga anak kecil, diperkosa secara bergantian di kamar mandi.27

“Barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang dengan salah memakai kekuasaan yang timbul dari pergaulan atau dengan memperdayakan, dengan sengaja mengajak orang dibawah umur yang tidak bercacat kelakuannya, yang diketahuinya atau patut disangkanya dibawah umur, mengerjakan perbuatan cabul dengan dia atau membiarkan perbuatan cabul itu dengan dia, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun”.

Kejahatan kesusilaan yang dimaksudkan diatas, dirumuskan dalam pasal 293 yang berbunyi sebagai berikut:

28

Dari kasus-kasus yang ada diatas dapat kita simpulkan banyak model perkosaan yang dilakukan oleh pelaku Paedofilia. Mulyana W. Kusuma menyebutkan beberapa macam-macam perkosaan, diantaranya adalah :

27

Republika, 14 agustus 1996, hal.5.

28


(31)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

a. Sadistc Rape

Perkosaan sadistis, artinya, pada tipe ini seksualitas dan agresif berpadu dalam bentuk yang merusak. Pelaku perkosaan nampak menikmati kesenangan erotik bukan melalui hubungan seksnya, melainkan serangan yang mengerikan atas alat kelamin dan alat tubuh korban.

b. Angea rape

Penganiayaan seksual yang bercirikan seksualitas menjadi sarana untuk menyatakan dan melampiaskan perasaan geram dan marah yang tertahan. Disini tubuh korban seakan-akan merupakan objek terhadap siapa pelaku memproyeksikan pemecahan atas kelemahan, kesulitan dan kekecewaan hidupnya. Dengan kata lain tindakan tersebut merupakan proyeksi dari ketidak puasan akan eksistensinya sebagai manusia.

c. Dononation rape

Merupakan bentuk perkosaan, dimana pelaku mempergunakan kekuasannya dari sudut sosial dan ekonomi dan mendominasi bagian penting dari kehidupan korban, baik dari segi keuangan maupun dari sudut sosial budaya, jaminan keselamatan dan sebagainya. Disini pelaku melakukan perkosaan dengan ancaman.

d. Victim Precipitated rape

Perkosaan yang terjadi (berlangsung) dengan menempatkan korban sebagai pencetusnya.


(32)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

e. Exploitation rape

Perkosaan yang menunjukkan bahwa pada setiap kesempatan melakukan hubungan seksual yang diperoleh oleh laki-laki dengan mengambil keuntungan yang berlawanan dengan posisi korban yang bergantung padanya secara ekonomis dan social. Misalnya pembantu yang diperkosa oleh majikannya, sedangkan pembantunya tidak mempersoalkan kasusnya ini kepada yang berwajib.29

Sebab musabab timbulnya kejahatan ini sangat kompleks, dan didalam faktor yang satu saling memepengaruhi dengan faktor yang lain.

B. FAKTOR-FAKTOR TIMBULNYA KEJAHATAN PAEDOFILIA

Sebelumnya penulis disini akan menjelaskan Alasan apa pria memaksakan kehendaknya kepada anak-anak ?. Kenikmatan seksual dan pelampiasan jelas merupakan alasan yang pasti, tetapi masih ada sebab yang lain. Mungkin kekerasan seksual terhadap anak-anak juga salah satu cara pria untuk menunjukkan dominasi sosial atas kemarahannya pada wanita yang dibencinya sehingga melampiaskannya kepada anak-anak.

Dalam menguraikan faktor-faktor timbulnya kejahatan, telah banyak para sarjana yang menguraikannya sesuai dengan bidang keahliannya, tetapi tidak seorang pun dapat memberikan batasan yang mutlak tentang faktor utama timbulnya tindak pidana.

29

Mulyana W Kusuma, Kejahatan dan Penyimpangan, Suatu Perpektif Kriminologi, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, 1988, hal. 4.


(33)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

Edwin H. Sutherland mengatakan bahwa :

“Kejahatan adalah hasil dari faktor-faktor yang beraneka ragam dan bermacam-macam. dan bahwa faktor-faktor itu dewasa ini dan untuk selanjutnya tidak bisa disusun menurut suatu ketentuan yang berlaku umum tanpa ada pengecualian atau dengan kata lain; untuk menerangkan kelakuan kriminil memang tidak ada teori ilmiah.30

30

H. Hari Sahordji, Pokok-pokok Kriminologi, Aksara Baru, Jakarta, 1980, hal. 35.

Kejahatan Paedofilia ini cukup kompleks penyebabnya dan tidak berdiri sendiri, penyebabnya dapat dipengaruhi oleh kondisi yang mendukung, keberadaan korban yang secara tidak langsung mendorong pelakunya dan bisa jadi karena ada unsur-unsur lain yang berada diluar diri si pelaku.

Berbagai faktor itu, antara lain dibagi dalam dua bagian, yaitu :

1. Faktor Intern

Faktor ini khusus dilihat dari Individu serta dicari hal-hal yang mempunyai hubungan dengan kejahatan kekerasan seksual kepada anak-anak. Hal ini dapat ditinjau dari

a. Faktor Kejiwaan

Yakni kondisi kejiwaan atau keadaan diri yang tidak normal dari seseorang dapat juga mendorong seseorang melakukan kejahatan. Misalnya nafsu seks yang abnormal, sehingga melakukan kekerasan seksual terhadap anak-anak sebagai korbannya yang tidak menyadari keadaan diri si pelaku, yakni sakit jiwa, dan aspek psikologis dari instink-seksual


(34)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

Dalam keadaan sakit jiwa, si penderita memiliki kelainan mental yang didapat dari faktor keturunan maupun dari sikap berlebihan dalam pribadi orang tersebut, sehingga pada akhirnya ia sulit menetralisir rangsangan seksual yang tumbuh dalam dirinya dan rangsangan seksual sebagai energi psikis tersebut bila tidak diarahkan akan menimbulkan hubungan-hubungan yang menyimpang dan dapat menimbulkan korban pada pihak lain.

Sedangkan aspek psikologis sebagai salah satu aspek dari hubungan seksual adalah aspek yang mendasari puas atau tidak puasnya dalam melakukan hubungan seksual dengan segala eksesnya. Jadi bukanlah berarti dalam mengadakan setiap hubungan seksual dapat memberikan kepuasan, oleh karena itu pula kemungkinan ekses-ekses tertentu yang merupakan aspek psikologis tersebut akan muncul akibat dari ketidakpuasan dalam melakukan hubungan seks. Dan aspek inilah yang dapat merupakan faktor kekerasan seksual terhadap anak-anak yang menjadi korbannya.

Orang yang mengidap kelainan jiwa, dalam hal melakukan kekerasan seksual cenderung melakukan dengan sadis, misalnya seorang anak yang memendam dendam terhadap ibunya sejak kecil, sehingga kelak ia menjadi pelaku sadistis dalam hal kegiatan seksual, meski ia sendiri tidak tidak mengalami kekerasan fisik.31

Selain itu zat-zat tertentu seperti alkohol dapat membuat seseorang, melakukan perbuatan yang tidak normal. Seseorang yang sudah mabuk akibat

31


(35)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

meminum minuman keras pikirannya tidak terkendalikan lagi, sehingga ia akan mudah melakukan kejahatan.

b. Faktor Biologis

Dalam kehidupannya manusia mempunyai berbagai macam kebutuhan yangharus dipenuhi. Dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, manusia menciptakan aktifitasnya. Kebutuhan pada satu pihak merupakan apa yang disebut motif dan pada ujung lain kebutuhan itu merupakan suatu tujuan. Bila tujuan itu tercapai, maka kebutuhan akan terpenuhi, mungkin hanya untuk sementara dan merupakan batas perhentian aktifitas. Kebutuhan ini mungkin datangnya dari dalam yang disebut dengan kebutuhan biologis.

Witherington membagi kebutuhan biologis itu atas tiga jenis, yakni kebutuhan akan makanan, kebutuhan seksuil dan proteksi.32

Sejak bayi manusia telah memiliki dorongan seks. Dorongan tersebut merupakan dorongan dasar dalam diri individu yang secara otomatis terbentuk sebagai akibat zat-zat hormon seks yang terdapat dalam diri manusia. Dorongan tersebut merupakan doongan dasar dalam diri individu yang secara otomatis terbentuk sebagai akibat-akibat zat-zat hormon seks yang terdapat dalam diri manusia. Dorongan seks ini sangat kuat dan dorongan ini menuntut untuk selalu dipenuhi. Apabila kita tidak dapat mengendalikannya, maka akibatnya akan terjadi Kebutuhan akan seksuil ini juga sama dengan kebutuhan-kebutuhan yang lain yang menuntut pemenuhan.

32

Gerson W. Bawengan, Pengantar Pscologi Kriminil, Pradnya Paramita, Jakarta, 1977, hal. 98.


(36)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

kehilangan keseimbangan yang hal ini akan mempengaruhi gerak tingkah kita masing-masing dalam kehidupan kita sehari-hari. Pada tahap selanjutnya, jika kebutuhan akan seks ini tidak tersalurkan secara normal akan dapat terjadi penyimpangan-penyimpangan seperti perkosaan.

Psikolog Kartini Kartono mendeskripsikan latar belakang perkosaan:

“Pada peristiwa perkosaan, sang pemerkosa selalu didorong oleh nafsu-nafsu seks sangat kuat, dibarengi emosi-emosi yang tidak dewasa dan tidak mapan. Biasanya dimuati unsur-unsur kekejaman dan sifat sadistis”.33

33

Kartini Kartono, 1981, Op Cit, hal. 169.

Psikolog itu lebih menekankan faktor kriminologi perkosaan terhadap anak-anak yang bersumber pada kesalahan pelaku, yang gagal mengendalikan nafsu seksualnya. Hasrat seksualnya yang cukup besar tidak diikuti dengan upaya pelampiasan yang dibenarkan secara hukum dan agama.

c. Faktor Moral

Moral merupakan faktor penting untuk menentukan timbulnya kejahatan. Moral sering disebut sebagai filter terhadap munculnya perilaku yang menyimpang, sebab moral itu adalah ajaran tingkah laku tentang kebaikan-kebaikan dan merupakan hal yang vital dalam menentukan tingkah laku. Dengan bermoralnya seseorang maka dengan sendirinya dia akan terhindar dari segala perbuatan yang tercela. Sedangkan orang yang tidak bermoral cenderung untuk melakukan kejahatan.


(37)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

Pada umumnya, moral bukan sesuatu yang tidak bisa berubah melainkan ada pasang surutnya, baik dalam diri individu maupun masyarakat.

Timbulnya kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak, disebabkan moral pelakunya yang sangat rendah. Dari kasus-kasus tersebut banyak diantaranya terjadi, korbannya bukanlah orang asing lagi baginya bahkan saudara atau anak kandungnya sendiri. Disaat interaksi antara pelaku dengan korban demikian dekat, pihak korban kehilangan kontrol atau daya pengawasan untuk membentengi diri, sedangkan pihak pelaku seperti terdorong berbuat karena mendapat kesempatan untuk melakukannya.

Pelaku memanfaatkan kelengahan, kelemahan dan barangkali korban yang tidak secara langsung perilakunya telah mendorong pelaku untuk berbuat jahat.

Seperti misalnya Tragedi Buah Jambu yang terjadi di Palembang, Dua orang bocah perempuan diperkosa tetangganya sendiri. Tetangganya mengaku terangsang melihat celana dalam milik korban yang terlihat pelaku ketika korban sedang memanjat buah jambu di depan rumahnya.34

Salah satu hal yang mempengaruhi merosotnya moral seseorang dipengaruhi oleh kurangnya pendidikan agama. Nilai-nilai keagamaan yang semakin terkikis di masyarakat cenderung makin meniadakan peran agama adalah sangat potensial untuk mendorong seseorang berbuat jahat dan merugikan orang lain.35

Sebab norma-norma ketuhanan dan segala sesuatu yang digariskan oleh agama adalah baik dan membimbing kearah jalan yang baik dan benar, sehingga bila

34

Kisah Nyata, 2007, hal.14.

35


(38)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

manusia benar-benar mendalami dan mengerti isi agama, pastilah ia akan menjadi manusia yang baik dan tidak akan berbuat hal-hal yang merugikan atau kejahatan walaupun menghadapi banyak godaan-godaan.

2. Faktor Ektern

Faktor ektern ini berpokok pangkal pada lingkungan. Lain halnya dengan faktor intern yang berpokok pangkal pada individu. Faktor ektern yang mempunyai hubungan dengan kekerasan seksual terhadap anak-anak yaitu :

a. Faktor Media Massa

Media massa merupakan sarana informasi di dalam kehidupan sosial. Media massa seperti surat kabar, majalah, televisi, dan sebagainya itu merupakan juga alat kontrol yang memegang peranan penting di dalam kehidupan bermasyarakat.

Surat kabar berisikan publikasi yang memberikan informasi kepada masyarkat tentang kejadian atau peristiwa-peristiwa dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi ada kemungkinan pemberitaan surat kabar menjadi faktor terjadinya kejahatan.

Sutherland mengatakan :

”Surat kabar berisikan publikasi yang memberitakan kejahatan. Pada bagian lain publikasi memberikan suatu sensasi kejahatan tertentu yang timbul dari publik untuk bertindak suatu pengaruh dari suatu kejahatan yang kuat dalam masyarakat”.36

36


(39)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

Hal ini dapat dipahami, karena sering pemberitaan suatu surat kabar sedemikian rupa sehingga sering penjahat dibeberkan sebagai pahlawan karena berhasil melarikan diri dengan menghindarkan diri dari pengejaran penegak hukum, sehingga seorang yang telah bermental jahat meniru si penjahat.

Demikian juga pemberitaan tentang perkosaan yang sering diberitahukan secara terbuka dan didramatisir digambarkan tentang kepuasaan pelaku. Hal seperti ini dapat merangsang para pembacanya khusunya para orang yang bermental jahat yang dapat memberikan rangsangan kepadanya untuk berbuat jahat.

Dewasa ini banyak bacaan-bacaan porno seperti komik beredar di pasaran yang tidak lagi sulit diperoleh. Demikian juga halnya dengan kaset-kaset video. Pada umumnya bacaan-bacaan yang demikian paling banyak pembacanya adalah kaum muda / remaja, baik laki-laki maupun perempuan. Buku-buku bacaan tersebut sering berisi percintaan yang kadang-kadang dilengkapi dengan unsur seks dan menceritakan hubungan seks seorang laki-laki dan perempuan yang digambarkan secara samar, sehingga menimbulkan birahi seks si pembaca. Akibatnya banyak tindak kejahatan perkosaan yang dilakukan oleh anak-anak terjadi di Indonesia.

Misalnya, Kasus Perkosaan yang dilakukan oleh bocah berumur 8 tahun kepada seorang balita yang sedang bermain didepan rumahnya. Menurut pengakuan dari si pelaku berumur 8 tahun ini, ia baru saja menonton film porno di rumah kawannya dan ketika melihat balita berumur 5 tahun itu sedang bermain didepan rumahnya. Ia ingin mencoba mempraktekkan apa yang baru saja ditontonnya.37

37

Kisah Nyata, 2005, hal. 7.


(40)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

Menurut pihak kepolisian kota besar Medan sekitarnya khususnya unit vice kontrol mengatakan, bahwa pengaruh pemutaran film porno dan kaset video porno ini merupakan salah satu faktor penyebab timbulnya kejahatan kesusilaan atau perkosaan. Sehingga dalam hal ini pihak kepolisian telah lama mengambil sikap dalam meniadakan pengawasan terhadap peredarannya.38

Anak-anak di bawah umur yang menjadi korban perkosaan mengalami penderitaan yang sangat berat, sebab kekerasan yang dialaminya akan menjadi trauma yang membayangi perjalanan hidupnya. Kalau bertemu dengan kaum

laki-Faktor lain yang sering disebut sebagai faktor penyebab timbulnya kejahatan kekerasan seksual terhadap anak-anak adalah sistem pemidanaan kita. Banyak kalangan menilai bahwa hukuman yang dijatuhkan terhadap pelaku terlalu ringan. Jika kita melihat pada peraturan perundang-undangan kita yakni KUHP, maka ancaman pidana untuk pelaku perkosaan ini maksimum 12 tahun. Namun hukuman maksimum ini jarang sekali bahkan tidak pernah dijatuhkan oleh hakim. Hal ini dinilai banyak kalangan tidak membuat gentar para pelaku.

Menurut hemat penulis, bahwa hukuman yang berat sesuai dengan yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan kita perlu dijatuhkan terhadap pelaku, namun harus kita ingat hukuman berat saja tidak cukup dijadikan sebagai upaya penanggulangan yang paling baik.

C. Akibat Dari Kejahatan Paedofilia

38


(41)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

laki, mereka tidak hanya membencinya, tapi juga takut menjalin relasi dengannya. Selain itu banyak lagi akibat-akibat yang dapat ditimbulkan antara lain yaitu :

1. Secara Hukum

Reaksi terhadap pelaku kekerasan seksual khusunya timbul dari kalangan wanita yang menganggap bahwa pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku kekerasan seksual selama ini kurang memadai bila dibandingakan dengan jahatnya perbuatan pelaku yang sudah menghancurkan masa depan anak-anak yang menjadi korbannya. KOWANI misalnya mendesak agar hakim yang mengadili pelaku kekerasan seksual menjatuhkan pidana yang lebih berat dengan dalih bahwa pidana yang berat merupakan tindakan untuk menjerakan pelaku sekaligus agar pelaku Paedofilia lain tidak melakukan perbuatan yang sama.39

“Kejahatan kekerasan seksual terhadap anak-anak, khususnya perkosaan disatu sisi dipandang sebagai kejahatan yang sangat merurugikan dan mencemaskan, bukan saja para orang tua akan tetapi juga masyarakat dan kemanusiaan, namun di sisi lain terdapat realitas sosial-budaya yang justru “menyuburkan” perkosaan seperti mitos-mitos yang berkaitan dngan jenis kelamin,”budaya hukum yang tidak adil”.

I.S. Susanto berpendapat :

40

“Dalam kasus perkosaan misalnya, posisi korban selalu berada pada pihak yang dilematis, karena kalau menuntut melalui jalur hukum pidana mengundang konsekuensi selain sering berbelit-belit juga dia merasa malu kalau terpublikasi atau diketahui oleh tetangga dan masyarakat banyak. Selain dari itu, sistem pemidanaan KUHP Indonesia tidak menyediakan

Hal itu sejalan dengan pendapat Artijo Alkostar yaitu :

39

Abdul Wahid, Op Cit ,hal. 73.

40

Suparman Marzuki,dkk, pelecehan seksual, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1995, hal.127.


(42)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

pidana ganti rugi korban perkosaan, jadi posisi anak-anak berada pada posisi yang tidak diuntungkan sebagai korban kejahatan.41

Hal itu dapat dipahami melalui pendapat Rahma Sugiharti yang menulis, “Dapat kita bayangkan, bagaimana mungkin seorang anak yang lugu dan polos dapat bertahan bila selama pemeriksaan mereka kembali “ditelanjangi” dan harus mengulang kisah berikut rekontruksi aib perbuatan cabul yang dialaminya. Belum lagi anak-anak yang menjadi korban pencabulan itu menjadi bulan-bulanan berita pers. Detail peristiwa perkosaan yang diekspose pers biasanya justru menjadi semacam perkosaan baru yang tak kalah memalukan korban.

Memang seringkali kita dihadapkan dengan sejumlah kasus yang menunjukkan mengenai proses jalur hukum yang belum mampu menjembatani aspirasi pencari keadilan. Pihak penegak hukum belum mampu menjalankan tugasnya secara profesional, sehingga mengecewakan dan merugikan korban kejahatan yang merindukan keadilan. Praktik peradilan di Indonesia belum sepenuhnya memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap anak-anak. Pada tahap pemeriksaan terhadap korban kejahatan seperti korban perkosaan dilakukan dengan tidak memperhatikan hak asasi korban. Sedangkan pada tahap penjatuhan putusan hukuman, korban kembali dikecewakan karena putusan yang dijatukan pada pelaku cukup ringan atau jauh dari memperhatikan hak-hak asasi anak.

42

41

Ibid, hal. 166.

42

Bagong Suyanto dan Emmy Susanto, Wanita dari Suobordinasi dan Marginalisasi menjuju

ke Pemberdayaan, Airlangga University Press Surabaya, 1996, hal.15.

Bahkan pers biasanya cukup gencar menjadikannya sebagai objek jual, yang kadang-kadang


(43)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

pemberitannya tidak memperhatikan perasaan, harkat dan masa depan si anak. Pihak korban lebih ditempatkan sebagai sasaran empuk untuk mencari keuntungan ekonomi.

Lidya Suryani W dan Sri Wurdani menyatakan :

“Berbeda dengan korban kejahatan konvensional lainnya, korban perkosaan mengalami penderitaan lahir maupun batin. Keputusan korban unuk melaporkan kejadiaan yang menimpa dirinya pada pihak yang berwajib bukanlah keputusan yang mudah. Peristiwa yang begitu traumatik dan memalukan harus dipaparkan kembali secara kronologis oleh korban. Belum lagi sikap dan perlakuan penegak hukum yang kadang memandang sebelah mata terhadap korban. Prosedur pemeriksaan sejak penyidikan, penuntutan hingga pemeriksaan di pengadilan harus dilakukan oleh korban, sama seperti korban kejahatan lain apabila memperjuangkan perlidungan hukumnya. 43

“Dapat dimengerti bahwa menjadi korban perkosaan merupakan derita yang luar biasa bagi seorang wanita. Proses peradilan pidana yang rumit akan sulit untuk dapat dikatakan membantu si korban. Penderitaan si korban ditambah lagi dalam proses pemeriksaan perkara di pengadilan. Dengan adanya tindakan si korban untuk melapokan tindak pidana dan pengajuan perkara oleh jaksa ke pengadilan, maka privasi korban akan diekspose didalam sidang.

Kriminolog Hankristuti Hankrisnowo mengemukakan :

44

“KUHP kurang memberikan perhatian terhadap korban kejahatan khususnya korban kekerasan seksual terhadap anak-anak sebagai pihak yang paling dirugikan yang juga membutuhkan perlindungan terhadap hak-haknya yang telah dilanggar.

Hal serupa juga ditegaskan oleh Lidya Suryani dan Sri Wurdani yang berpendapat sebagai berikut :

43

Suparman Marzuki, Op Cit, hal. 193-194.

44


(44)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

Perjalanan penderitaan yang panjang dalam proses peradilan pidana, lebih banyak berakhir dengan kepedihan. Hukuman yang dijatuhkan hakim terkadang terlampau ringan jika dibandingkan dengan trauma yang diakibatkan oleh kekerasan seksual itu dalam kehidupan anak-anak yang menjadi korbannya sepanjang hayat. Ancaman hukuman maksimal 12 tahun hanya menjadi sederetan kata-kata di dalam KUHP, karena rata-rata hakim menjatuhkan pidana kepada pelaku berkisar 5 bulan hingga 2 tahun penjara.45

2. Secara Fisik

Deskripsi ini makin jelas menunjukkan mengenai posisi korban yang tidak berdaya dimata praktik peradilan pidana. Artinya, derita korban tidak dijembatani oleh penegak hukum, dalam hal ini hakim, hakim yang berkewajiban menjatuhkan vonis. Terbukti putusan-putusan yang dijatuhkan tidak sebanding dengan tindak kejahatan yang dilakukan pada korban.

a. Kebanyakan kasus baru terbongkar setelah korban mengalami gejala fisik serius, seperti pendarahan di dubur atau vagina, rasa sakit didaerah perut dan vagina, korban mengalami iritasi pada bagian leher kelami, sekitar dubur dan wilayah alat kemaluan.

b. Korban Paedofilia ini sukar berjalan dan duduk c. Lambat dalam pertumbuhan dan perkembangan

45


(45)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

d. Korban Padofilia juga kelihatan pucat, sukar berkosentrasi dan pelajarannya terganggu.

e. Nafsu makan menurun, susah tidur, mual, sakit kepala, merasa bersalah dan merasa pembengkakan di seluruh tubuh.

3. Secara mental dan kejiwaan

a. Korban mengalami berbagai gangguan seperti mudah marah, tersinggung tanpa sebab, menangis sendiri, susah tidur dan sering mengigau, cenderung mengasingkan diri dari pergaulan teman sebaya.

b. Mengalami depresi, kekhawatiran yang berlebihan dan cenderung menarik diri dari lingkungannya, kecemasannya, perasaan berdosa dan perasaan lain yang sulit diungkapkan.

c. Korban biasanya mengalami kesulitan dalam mengintegrasikan kesadaran, perasaan dan emosinya. Sebagian mengalami stress pasca truma. Mereka juga menghukum diri dengan berbagai cara, antara lain dapat muncul dalam bentuk gangguan makan seperti masalah seksual, penganiayaan diri dan bunuh diri, kecemasan, atau depresi berkepanjangan.46

“Stres pasca perkosaan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu stres yang langsung terjadi dan stres jangka panjang. Stres yang langsung terjadi adalah reaksi pasca perkosan seperti kesakitan secara fisik, rasa bersalah, takut, cemas, malu, marah, dan tidak berdaya. Sedangkan stres jangka panjang

Hal itu seperti laporan Rafika Annisa Woman Crisis Center yang secara umum memaparkan bahwa :

46


(46)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

adalah gejala psikologis tertentu yang dirasakan korban sebagai suatu trauma yang menyebabkan korban memiliki rasa tidak percaya diri, konsep diri yang negatif, menutup diri dari pergaulan dan juga reaksi somatis seperti jantung berdebar atau keringat berlebihan”.47

Suparman Marzuki menyatakan, “korban perkosaan tidak dapat dibandingkan dengan korban perampokan, pencurian dan penjambretan. Korban kejahatan terakhir ini umumnya terbatas kehilangan harta benda. Relatif tidak menderita batin dan tekanan social berkepanjangan. Tidak ada beban untuk melapor dan menceritakan seluruh peristiwa kepada siapapun. Jika pelakunya tertangkap, diadili dan dijatuhi hukuman pidana berat atau ringan tidak akan banyak berpengaruh pada mental korban. Sanksi pidana itu barangkali dirasa adil karena yang langsung menjadi korban bukan fisik dan kehormatan, tetapi harta benda. Sebaliknya korban kekerasan seksual, mereka kehilangan kehormatan, harga diri dan masa depan yang tidak mungkin diganti sekalipun mencincang pelaku hingga mati berkali-kali”.

48

Penderitaan yang harus ditanggung anak-anak yang menjadi korban perkosaan bukan sekedar kesakitan secara fisik, tetapi campur aduk perasaan terhina, ketakutan, dan siksaan batin yang tak berkesudahan. Secara medis setelah memperoleh perawatan, benar penderitaan fisik dan trauma fisiologik yang dialami korban telah sembuh. Namun, aib deperesi dan penderitaan niscaya akan tetap menghantui korban sepanjang hidupnya. Bagi seorang gadis hilangnya keperawanan, kemungkinan terjadinya kehamilan oleh orang yang tidak dapat dimintakan pertanggung-jawaban, serta perasaan tercemar, ibaratnya adalah benalu yang selalu kuat dan melekat dan menghantui perasaan korban.49

47

Ibid, hal.237.

48

Ibid, hal. 70.

49

Bagong Suyatno dan Emy Susanti, Op Cit, hal.13.


(47)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

Kalau benar-benar terpaksa, barangkali wanita manapun akan cenderung memilih mati secara terhormat daripada menanggung aib seumur hidup sebagai korban perkosaan

Keadilan yang diberikan oleh penerapan hukum melalui penjatuhan sanksi hukum kepada pelaku belum dapat mengobati penderitaannya, apalagi jika sanksi hukum yang dijatuhkan pada pelaku tidak adil atau tidak sesuai dengan akibat yang ditimbulkannya. Ketidakadilan hukum inilah yang disebut-sebut menjauhkan masyarakat yang tertimpa musibah (menjadi korban suatu kejahatan) untuk bersedia berurusan dengan dunia peradilan. Barangkali anak-anak korban perkosaan yang mampu bersikap tegar dan optimis dengan masa depannya, jumlahnya dapat dihitung dengan jari. Kalaupun mereka berhasil mengatasi trauma luka-luka bekas perkosaan, di hadapan mereka masih menghadang tantangan-tantangan yang tidak kalah menyiksa. Penderitaan anak-anak korban perkosaan benar-benar berat, karena dalam kenyataan sesungguhnya mereka mengalami perkosaan rangkap tiga, yaitu pada saat kejadian, pada saat diperiksa penyidik dan pada saat menjadi pemberitaan media massa.

D. UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PAEDOFILIA

Seperti yang kita ketahui bersama dewasa ini, tindak pidana Paedoflia sudah semakin sering kita dengar baik didalam surat kabar maupun lewat media-media lain. Untuk itu sudah sepantasnya pemerintah mengambil sebuah penaggulangan yang dapat dilakukan dalam rangka menanggulangi tindak pidana ini.


(48)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

Upaya penanggulangan ini dapat dibagi kedalam dua hal :

1. Upaya yang bersifat Preventif

Upaya yang bersifat preventif dalam arti luas adalah upaya pencegahan yang dilakukan jauh sebelum kejahatan itu terjadi,yaitu:

a. Peran orang tua

Orangtua diharapkan memperhatikan keharmonisan rumah tangga mereka. Anak yang dididik dengan baik dalam keluarga harmonis memungkinkan mereka memperoleh kepercayaan diri tinggi dan berdaya tahan lebih tangguh sehingga mereka tidak mudah menjadi korban seksual berkepanjangan. Keterbukaan dan penerimaan orangtua terhadap anak akan mengkomunikasikan secara bebas apa saja yang mereka alami.

Eratnya relasi orangtua-anak membantu orangtua memantau pergaulan anaknya dan mencegah lebih banyak problem yang terkait dengan masalah relasi sosia anaknya. Selain itu, teladan kehidupan seksualitas orangtua yang bersih adalah unsur positif yang memberi arah bagi anak sehingga anak mampu mengembangkan kehidupan seks yang bebas pula.50

1). Dengan mengajarkan kepada orangtua bagaimana membuat anak mampu membedakan situasi yang pantas (sebagai tanda kasih sayang) dengan yang tidak pantas (yang diarahkan pada organ tubuh). Langkah ini

Beberapa upaya yang banyak dilakukan di Negara maju adalah :

50


(49)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

penting sebab sering kali calon pelaku kekerasan seksual terangsang ketika ia melihat aurat.

2). Mengajari anak untuk berkata “tidak” bila ada orang yang ingin menyentuh organ vitalnya. Jangan bosan untuk selalu mengingatkan anak agar tidak membolehkan siapapun (kecuali ibunya) menyentuh organ vitalnya. Hal ini penting karena biasanya justru orang-orang dekat di sekitar korbanlah yang melakukan kekerasan seksual, entah ayahnya, kakaknya, pamannya, tetangga, dsb.

3). Orangtua membuka peluang anak untuk berani berpendapat. Selama ini seringkali anak hanya boleh ‘mendengar’ tapi ia tidak boleh ‘berbicara’. Kondisi ini sangat berguna, karena akan membuat anak berani memberitahukan ke orangtua/orang yang dipercayainya bila ada orang yang melakukan hal-hal yang tidak wajar pada tubuhnya.51

Berkaitan dengan pelaku, hukuman yang cukup berat dijatuhkan kepada pelaku diharapkan menjadi suatu proses pendidikan kesadaran perilaku dari kecenderungan berbuat jahat. Hukuman itu menjadi prevensi (pencegahan) agar anggota masyarakat yang hendak berbuat jahat tidak tidak meneruskan kejahatannya. Jika kejahatan kekerasan seksual mendapatkan sanksi hukum,

b. Penegakan Sanksi Hukum

51


(50)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

maka sangat mungkin anggota yang bermaksud melakukan perbuatan sejenis dapat dicegahnya sejak dini.

Artinya, sanksi hukum (hukuman) yang dijatuhkan pada pelaku dapat memberikan manfaat kebaikan dan keadilan pada korban kekerasan seksual ini maupun pada anggota masyarakat lainnya. Kalau kebaikan dan keadilan ini bisa ditegakkan, maka kehidupan kemasyarakatan akan terjamin kedamaiannya.

c. Alat Bukti

Kasus perkosaan khususnya tindak pidana paedofilia ini sulit dibongkar bilamana tetap bertumpu pada pembuktian dengan alat bukti empat orang saksi. Berkaitan dengan ini aparat penegak hukum sudah memberikan tempat berlakunya bagi alat bukti lain didalam pemeriksaan yaitu dengan melibatkan dan mengakui keterangan saksi korban sebagai pihak pengadu. Selain itu alat bukti seperti visum et repertum, yang merupakan alat bukti yang diproses melalui identifikasi secara langsung sudah menjadi alat bukti diluar saksi yang digunakan aparat penegak hukum didalam menunjukkan kejadian yang lebih mendekati kebenaran.

d. Pengawasan peredaran film porno dan kaset porno

Peredaran film porno yang semakin banyak beredar dimasyarakat luas sangat berdampak terhadap kehidupan masyarakat pada umunya, karena dengan begitu akan sangat mudah seorang anak-anak untuk mendapatkan film


(51)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

tersebut dari kawannya maupun orang yang tidak dikenalnya. Akibatnya, seseorang yang sudah mempunyai hasrat birahinya namun tidak mempunyai kesempatan melampiaskan kepada wanita dewasa akhirnya melampiaskannya kepada anak tetangga, anak saudaranya maupun anaknya sendiri. Menurut pihak kepolisian kota besar Medan sekitarnya khususnya unit vice control yang mengatakan, bahwa pemutaran film porno dan penyebarannya merupakan salah satu faktor penyebab timbulnya kejahatan atau perkosaan. Sehingga dalam hal ini pihak kepolisian telah mengambil sikap dalam meniadakan pengawasan terhadap peredarannya.

e. Pemakaian Internet

Sehubungan dengan pemakaian Internet ini, unit vice control kepolisian kota besar medan sekitarnya menambahkan, sekarang ini banyak rental-rental dikota medan ini selain memberikan pelayanan tentang internet kepada pelanggannya. Banyak rental yang memasukkan film-film yang tidak layak ditonton oleh anak dibawah umur dapat dengan mudah diakses didalam internet. Hal itu dilakukan oleh para pemilik rental sebagai salah satu upaya yang dilakukan untuk menarik langganan ke rental internet mereka. Mereka (para pemilik rental) tidak tahu efek negatif yang dapat terjadi akibat kemudahan akses terhadap hal-hal yang berbau porno ini, dapat merusak moral masyarakat muda yang menonton film yang disediakan oleh pemilik rental. Sehingga dengan demikian akibat rusaknya moral kaum muda maka


(52)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

tinggal menunggu waktu untuk dapat terjadi tindak pidana Paedofilia ini. Karena untuk itu sasaran utama kaum muda yang sudah terbiasa menikmati film vulgar dan merangsang otomatis akan melampiaskan kepada orang yang berada disekitarnya dan kemungkinan besar adalah anak-anak, karena selain masih polos kemungkinan besar mereka tidak akan berani mengadukan tindakan yang terjadi padanya karena alasan takut kepada tersangka.

Karena itu untuk menanggulanginya sejak dini aparat kepolisian sudah melakukan penyidikan kepada rental internet nakal yang mempertontonkan adegan itu dalam internetnya untuk ditindak tegas jika tetap mempertontonkan hal itu. Menurut kepala unit vice control yang ditemui mengatakan,”unitnya sudah mengantongi beberapa nama rental internet dikota medan yang memasang film porno sebagai penarik rental mereka”.52

a. Para pelaku kejahatan sedapat mungkin dijatuhkan hukuman optimal atau maksimal sesuai ancaman dalam rumusan delik. Hakim harus kreatif dalam

2. Upaya yang bersifat Represif

Upaya yang bersifat represif adalah kebijaksanaan yang diambil sesudah atau pada saat terjadinya kejahatan. Usaha ini dilakukan dengan tujuan agar kejahatan tersebut tidak terulang lagi atau dapat memperkecil angka kejahatan tersebut.

Adapun upaya represif ini dapat dilakukan antara lain dengan cara-cara sebagai berikut :

52


(1)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

sekarang ini seorang anak dapat dengan mudah mendapatkan film-film itu dari temannya maupun orang yang tidak dikenalnya. Akibatnya, seseorang yang sudah mempunyai hasrat seksual melampiaskan kepada anak tetangga, anak saudaranya, maupun anaknya sendiri karena tidak mempunyai kesempatan untuk melampiaskannya kepada wanita dewasa. Pengawasan pemakian Internet, dimana banyak rental internet nakal yang menyajikan film-film yang tidak pantas ditonton oleh anak-anak dibawah umur. Sehingga banyak kaum muda yang menjadi rusak moralnya setelah menyaksikan tayangan-tayangan yang ada di internet nakal tersebut. Akibatnya sasaran kaum muda yang sudah terbiasa menikmati vulgar tersebut otomatis akan melampiaskan kepada orang yang berada disekitarnya dan kemungkinan adalah anak-anak, karena selain masih polos kemungkinan besar mereka tidak akan berani mengadukan tindakan yang terjadi pada mereka karena alasan takut pada tersangka.

Sedangkan Upaya yang bersifat Represif dapat dilakukan antara lain dengan cara memberikan perlidungan kepada korban dan hukuman optimal serta terapi psikologis kepada para pelaku.

B. Saran

Pemecahan yang menyeluruh untuk mencegah tindak kekerasan seksual terhadap anak-anak (Paedofilia) seharusnya berfokus pada masyarakat sendiri, yakni dengan mengubah persepsi mereka tentang tindak kekerasan terhadap anak-anak.


(2)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

Namun upaya yang berjangka sangat panjang ini selayaknya telah dapat ditunjang oleh sejumlah upaya lain yang dekat ke sasaran, misalnya :

1. Pengaturan kembali mengenai tindak kekerasan seksual terhadap anak-anak dalam ketentuan perundang-undangan, sehingga lebih dapat mencakup banyak perilaku yang sampai kini belum dicakup dalam peraturan perundang-undangan. Misalnya untuk memberantas kejahatan terhadap anak sebaiknya Polisi dsan Hakim menggunakan Undang-Undang Perlindungan Anak, bukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Alasannya ancaman hukuman UU Perlindungan Anak jauh lebih berat dibandingkan dengan KUHP. Jika para hakim menggunakan UU Perlindungan Anak maka hukumannya sampai 15 tahun.

Diberlakukannya ketentuan hukum yang memberi perlindungan khusus terhadap anak-anak yang menjadi korban tindak kekerasan, minimal bermuatan :

a. Hak korban untuk mendapat perlindungan dari aparat yang berwenang. Yaitu atas perilaku yang mungkin akan dilakukan si pelaku yang dilaporkan oleh korban. Jaminan perlindungan semacam ini sangat penting untuk memastikan bahwa korban-korban tersebut diperlakukan dengan simpatik dan hati-hati oleh penegak hukum, keselamatan dirinya dijamin, sehingga kesaksian yang diberikannnya dipastikan akan diperoleh untuk menghukum pelaku.

b. Hak korban untuk memperoleh ganti kerugian atas kerugian yang dideritanya, baik dari pemerintah sebagai organisasi yang berkewajiban


(3)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

memberi perlindungan pada dirinya, maupun dari perilaku kejahatan yang telah menyebabkan kerugian yang luar biasa pada korban.

c. Hak korban Paedofilia untuk mendapat bantuan medis, psikologis, hukum dan sosial, terutama untuk mengembalikan kepercayaan pada dirinya, untuk merawat dan meyembuhkan cedera yang dialaminya jika ada.

d. Hak korban untuk mendapat informasi mengenai perkembangan kasus dan juga keputusan hakim, termasuk pula hak untuk diberitahu apabila si pelaku telah dikeluarkan atau dibebaskan dari penjara. Apabila ia tidak dihukum, misal karena bukti kurang kuat seyogianya korban diberi akses untuk mendapatkan perlindungan agar tidak terjadi pembalasan dendam oleh pelaku dalam segala bentuknya.

2. Diberlakukannya prosedur khusus dalam lembaga penegak hukum terutama kepolisian, mengenai penanganan kasus-kasus yang berkenaan dengan tindak kekerasan terhadap anak-anak. Pemberlakuan prosedur semacam ini harus dipastikan untuk dapat menyelesaikan kasus dengan adil dan berlandaskan hukum.

Selain itu, diadakannya pelatihan para petugas penegak hukum mengenai tindak kekersan seksual terhadap anak-anak, termasuk melatih mereka untuk lebih peka terhadap masalah kekerasan ini. Untuk mencapai hal-hal yang sudah dijelaskan diatas, selain upaya yuridis yang diusulkan, semuanya berpulang kepada warga masyarakat sendiri. Tanpa adanya partisipasi publik, maka tidak akan pernah ada perubahan. Untuk dapat mengubah sikap dan perilaku masyarakat ini maka peran


(4)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

pembuat kebijakan akan sangat menetunkan, baik mereka yang berasal dari tingkat yang paling tinggi sampai yang paling rendah.

DAFTAR PUSTAKA

Bawengan G.W, Pengantar Psikologi Kriminologi, Jakarta: Pradnya Paramitha, 1992.


(5)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

Bonger W.A. Pengantar Tentang Kriminologi, Jakarta: Gahlia Indonesia, 1982. Chazawi, Adami, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Jakarta: PT Raja Grafindo,

2005.

Elia, Herman, Korban Pelecehan Seksual Usia Muda, Kompas 21/07/03

Kartono, Kartini, Psikology Wanita, Gadis Remaja, dan Wanita Dewasa, Alumni Bandung: Alumni, 1981.

Lamintang, Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1990.

Marpaung, Leden, Unsur-unsur Perbuatan Yang Dapat Di Hukum, Jakarta: Sinar Grafik, 1991.

Marzuki Suparman, Pelecehan Seksual, Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 1955.

Sahordji, Hari, Pokok-pokok Kriminologi, Jakarta: Aksara Baru, 1980. Sinaga, Barita, Varia Peradilan, IX, 1994.

Suyanto, Bagong dan Emy Suyanto, Wanita Dari Subordinasi dan Marginalisasi Menuju Ke Pemberdayaan, Surabaya: Universitas Press Surabaya, 1996.

Soesilo, R, Kitab-KitabHukum Pidana, Bogor :Politea, 1994. Umar Saabah, Marzuki, Seks dan Kita, Jakarta: Gema Insani Press, 1997.

Wahid, Abdul, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual, Bandung: Refika Aditama, 2001.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)


(6)

Fernando Enrico Fermi : Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), 2008.

USU Repository © 2009

Kompas, Korban Pelecehan Sesual Usia Muda, Herman Elia,21/07/03 Kompas, Perdagangan Anak Untuk Bisnis Seks Merajalela, 19/04/1997. Tabloid Kisah Nyata, Kasus Tragedi Buah Jambu, 12/05/07

Tabloid Kisah Nyata, Kasus Tragedi Kandang Domba, 23/12/2005 WWW.Google.com


Dokumen yang terkait

Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Hukuman Kepada Anak Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor: I/Pid.Sus.Anak/2014/PN.Ptk dan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 2/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Mdn)

2 81 104

Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Tindak Pidana Hubungan Seksual Sedarah (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Binjai

7 146 111

Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/Pn-Bi)

5 92 87

Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan

3 83 90

Tanggung Jawab Pelaku Tindak Pidana Korupsi Atau Ahli Warisnya Ditinjau Dari Aspek Hukum Perdata (Studi Kasus Pada Pengadilan Negeri Lubuk Pakam)

1 33 248

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pelaku Tindak Pidana Perusakan dan Pencemaran Lingkungan (Studi Putusan MA RI No. 755K/PID.SUS/2007)

1 50 100

Analisis Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah (Studi Putusan Hakim No. 945/PID.B/2010/PN.TK)

0 4 71

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/Pn-Bi)

0 1 20

Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat)

0 1 100

Delik Kesusilaan Yang Dilakukan Oleh Anak Ditinjau Dari Aspek Kriminologi (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Medan No. 326/Pid.B/2003/PN.Mdn)

0 0 95