Tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana Pengembang Perumahan Dan Kawasan Permukiman Dalam Penyediaan Prasarana, Sarana Dan Utilitas Umum Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan Dan Kawasan Permukiman

(1)

TESIS

Oleh :

NURPANCA SITORUS 127005071/ HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

TINDAK PIDANA DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

PENGEMBANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DALAM PENYEDIAAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS UMUM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG

PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN

TESIS

(Disusun Untuk Memperoleh Gelar Magister Ilmu Hukum Pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara)

Oleh

NURPANCA SITORUS 127005071/ HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Telah diuji pada

Tanggal : 28 Agustus 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S. Anggota : 1. Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H.

2. Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum. 3. Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum. 4. Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.S.


(4)

ABSTRAK

Pengembang perumahan sebagai yang bertanggungjawab dalam melaksanakan pembangunan PSU tidak lepas dari tanggungjawab pidana jika lalai atau sengaja tidak menjalankan kewajibannya. Pengembang perumahan sebagai subjek hukum pidana dapat dimaknai sebagai korporasi dalam arti sempit yaitu suatu perusahaan berbadan hukum, sebab hanya perusahaan berbadan hukumlah yang dapat melaksanakan pembangunan perumahan dan kawasan perukiman. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pengaturan hukum tentang kewajiban pengembang perumahan dalam penyediaan prasarana, sarana dan utilitas umum berdasarkan Undang-Undang Perumahan dan Kawasan Permukiman; 2. Bagaimana tindak pidana pengembang perumahan dalam penyediaan prasarana, sarana dan utilitas umum dalam pembangunan perumahan dan kawasan perukiman berdasarkan Undang-undang perumahan dan kawasan permukiman; 3. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pengembang perumahan dalam menyediakan prasarana, sarana dan utilitas umum berdasarkan Undang-undang perumahan dan kawasan permukiman.

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan dalam melakukan pengkajian pertanggungjawaban pidana pengembang perumahan dan kawasan perukiman dalam penyediaan sarana, Prasarana, dan Utilitas Umum berdasarkan Undang-undang Perumahan dan permukiman. Sifat penelitian adalah preskriptif, yaitu dengan mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum. Kemudian penelitian ini dibantu dengan ilmu terapan. Sebagai ilmu terapan, ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan dan rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum. Bahan hukum primer yang terinventarisasi terlebih dahulu disistematisasikan sesuai dengan substansi yang di atur dengan mempertimbangkan relevansinya terhadap rumusan masalah dan tujuan penelitian. Melalui sistematisasi terhadap bahan hukum yang kompleks akan dapat ditemukan norma hukumnya dan menerapkannya guna menyelesaikan problema hukum yang dihadapi.

Peraturan hukum terkait kewajiban pengembang perumahan dalam penyediaan prasarana, sarana dan utilitas umum rumah umum dan rumah komersil terdapat dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, Peraturan Menteri Perumahan Rakyat RI No. 4 Tahun 2013 tentang Petunjuk Pelaksana Bantuan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum Perumahan Tapak yang Dibangun Oleh Pengembang, Permendagri No. 9 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyerahan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Perumahan Kawasan Permukiman, Peraturan Menteri Perumahan Rakyat No. 1/ PERMEN/ M/ 2010 tentang Pengelolaan Pengaduan Masyarakat di Bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman, serta Perpres No. 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaaan Barang/ Jasa Pemerintah. Tindak pidana yang dilakukan oleh Pengembang Perumahan dalam penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum


(5)

dalam pembangunan perumahan dan kawasan permukiman berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan Dan Kawasan Permukiman, yaitu mengalihfungsikan prasarana, sarana, dan utilitas umum diluar fungsinya, menjual satuan permukiman, sebelum menyelesaikan status hak atas tanah lingkungan hunian atau Lisiba terlebih dahulu, menyelenggarakan pembangunan perumahan, yang tidak membangun perumahan sesuai dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasarana, sarana, dan utilitas umum yang diperjanjikan, membangun perumahan dan/atau permukiman di luar kawasan yang khusus diperuntukkan bagi perumahan dan permukiman, membangun perumahan, dan/atau permukiman di tempat yang berpotensi dapat menimbulkan bahaya bagi barang ataupun orang. Pertanggungjawaban pidana pengembang perumahan dalam menyediakan prasaran, sarana dan utilitas umum berdasarkan Pasal 162 ayat (1) dan (2), Pasal 163, dan Pasal 155 Undang-undang Nomor 1 tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dapat dimintakan kepada pengembang perumahan, pengurus pengembang perumahan, dan pengembang perumahan beserta pengurus pengembang perumahan secara bersama-sama.

Terhadap hal di atas, perlu segera dibuat Peraturan Pelaksana tentang Penyediaan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum. Sehingga dengan peraturan tersebut para Pengembang perumahan dapat mematuhi dan menjalankannya agar tidak ada lagi perbedaan penafsiran terhadap Penyediaan Prasarana, sarana dan utilitas umum yang menyeret tindakan pengembang perumahan ke perbuatan pidana. Belum adanya peraturan pelaksana juga memberi peluang kepada pengembang perumahan yang nakal untuk memanfaatkannya yang akhirnya mengakibatkan kerugian pada masyarakat. Perlu juga dirumuskan dalam Peraturan Perundang-undangan tentang pertanggungjawaban pidana pengembang perumahan secara jelas dan terperinci. Perumusan itu baik berupa pemisahan tindak pidana yang dikategorikan perbuatan Korporasi atau pribadi pengurus maupun sanksinya. Khususnya tentang Pertanggungjawaban Pidana pengembang perumahan dalam penyediaan Prasarana, Sarana, dan utilitas umum dalam penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan dan permukiman.

Kata Kunci : Tindak Pidana, Pertanggungjawaban Pidana, Pengembang Perumahan dan Kawasan Permukiman.


(6)

ABSTRACT

As a housing developer who is responsible for carrying out the construction of the PSU is not free from criminal responsibility if negligent or intentionally does not perform its obligations. Housing developers as the subject of criminal law can be interpreted in a narrow sense as a corporation that is a legal entity, because the only company that can legally punish implement perukiman residential development and the region. The problems discussed in this thesis are as follows: 1 How does the legal regulation of the obligations of housing developers in the provision of infrastructure, facilities and public utilities under the Law of Settlement Housing and Regions; 2 How is the crime of housing developers in the provision of infrastructure, facilities and public utilities in the construction of residential and settlement region based on the Law of housing and residential areas; 3 How does the criminal responsibility of housing developers in providing infrastructure, facilities and public utilities pursuant to an Law of housing and residential areas.

This type of research is conducted legal research by using the approach of legislation in assessment of criminal responsibility and the housing developer settlement region in the provision of facilities, infrastructure, and the Public Utilities Law is based on the Housing and settlements. The character of research is prescriptive, i.e. by studying law purposes, the values of justice, the validity of the rule of law, legal concepts and legal norms. Then this research assisted with applied science. As an applied science, the science of law set the standard procedures, rules and guidelines in implementing the rule of law. The primary legal materials which be gathered in advance in accordance with the substance systematized set to consider its relevance to the formulation of the problem and research objectives. Systematization through the complex legal material would be found legal norms and apply them to solve problems faced by law.

Legislation related obligations housing developers in the provision of infrastructure, facilities and public utilities public houses and commercial houses contained in Law No. 1 of 2011 on Housing and Settlement Zone, Housing Minister Regulation No. 4 Year 2013 on Guidelines Help Infrastructure, Facilities, Housing and Public Utilities Tread Built By Developer, Permendagri 9 Year 2009 on Guidelines for Submission of Infrastructure, Facilities and Utilities Housing Settlement Zone, Housing Regulation No. 1 / Permen / M / 2010 on Public Complaints Management in the Department of Housing and Settlement Area, as well as the Presidential Decree No. 70 Year 2012 on the Second Amendment of Presidential Decree No. 54 Year 2010 on the Procurement of Goods / Services. Criminal offenses committed by the Real Estate Developer in the provision of infrastructure, facilities, and public utilities in the development of housing and residential areas under Law No. 1 of 2011 on Housing and Settlement Zone, namely mengalihfungsikan infrastructure, facilities, and public utilities outside the function, sell units settlements, before finishing the status of land rights or Lisiba residential environment first, develop the housing, which does not build housing in accordance with the criteria, specifications, requirements, infrastructure, facilities, and public utilities agreed, build housing and / or settlements outside the region specifically earmarked for housing and settlements, build housing, and / or settlements in


(7)

place that could potentially pose a danger to people or goods. Criminal responsibility of housing developers in providing infrastructures, facilities and public utilities pursuant to Article 162, paragraph (1) and (2), Article 163, and Article 155 of Law No. 1 of 2011 on Housing and Settlement Areas may be requested to housing developers, administrators developer housing, and developers of housing and housing developer board together.

Gainst the above, needs to be created Implementing Regulation on the Provision of Infrastructure, Facilities, and Public Utilities. So with these regulations can adhere to the developer housing and run it so that there is no longer a difference of interpretation of the provision of infrastructure, facilities and public utilities are dragging action housing developers to criminal acts. The absence of implementing regulations also provide opportunities for housing developers to use the naughty which eventually resulted in a loss to the community. It should also be formulated in legislation concerning the criminal responsibility of housing developers clearly and in detail. The formulation in the form of separation is considered a criminal offense or private corporation board actions or sanctions. Especially on Criminal Liability of housing developers in the provision of Infrastructure, Facilities, and public utilities in the administration of Housing and Regions and settlements.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT., karena hanya dengan rahmat dan ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini tepat pada waktunya. Adapun judul tesis ini adalah “Tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana Pengembang Perumahan Dan Kawasan Permukiman Dalam Penyediaan Prasarana, Sarana Dan Utilitas Umum Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan Dan Kawasan Permukiman”. Penulisan tesis ini merupakan suatu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister dalam bidang Ilmu Hukum (MH) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dan dorongan baik berupa arahan, masukan ataupun saran, sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S., selaku Pembimbing utama penulis, Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H., selaku Pembimbing II penulis, dan Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing III penulis yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

Kemudian juga kepada Dosen Penguji yang terhormat Bapak Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum., dan Bapak Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.S., yang telah berkenan memberi masukan dan arahan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini


(9)

sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai pada tahap ujian tertutup sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.

Dalam kesempatan ini penulis juga dengan tulus mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, MSC, (CTM), DTM & H. Sp. A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H., selaku Ketua Program Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus Pembimbing II penulis yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

4. Bapak dan Ibu Guru Besar juga Dosen Pengajar pada Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan membimbing penulis.

5. Para Pegawai/Karyawan pada Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang selalu membantu kelancaran dalam hal manajemen administrasi yang dibutuhkan.


(10)

Sungguh rasanya suatu kebanggaan tersendiri dalam kesempatan ini penulis juga turut menghaturkan salam sayang dan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Ayahanda Bapak Muadi Sitorus dan Ibunda Animah Saragih yang telah melahirkan, mengasuh, mendidik dan membesarkan penulis. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini yang tidak dapat penulis ucapkan satu per satu.

Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT., agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan dan rezeki yang melimpah kepada kita semua.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun tak ada salahnya jika penulis berharap kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak.

Medan, Agustus 2014 Penulis,


(11)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Nurpanca Sitorus

Tempat/Tgl. Lahir : Medan/ 30 Desember 1990

Alamat : Jl. Bunga Wijaya Kusuma, Psr 4, No. 10, Padang

Bulan, Medan.

Agama : Islam

Status Pribadi : Belum Menikah

Pendidikan : SD Negeri Simp. Pete ; Tahun 1996

SMP Negeri 1 Bandar ; Tahun 2002 SMA Negeri 1 Bandar ; Tahun 2005 S-1 Fakultas Hukum USU ; Tahun 2008 Nama Orang Tua Laki-Laki : Muadi Sitorus

Nama Orang Tua Perempuan : Animah Saragih

Anak Ke : 1 dari 5 bersaudara

Tahun Masuk Di Prog. Studi


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... ……… i

ABSTRACT ……….. ……… iii

KATA PENGANTAR ……… ……… v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ……….. ……… viii

DAFTAR ISI ……… ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 14

C. Tujuan Penelitian ... 15

D. Manfaat Penulisan ... 16

E. Keaslian Penulisan ... 17

F. Kerangka Teori dan Konsep ... 18

1. Kerangka Teori ... 18

2. Kerangka Konsep ... 44

G. Metodologi Penelitian ... 45

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 45

2. Sumber Bahan Hukum ... 47

3. Pengumpulan Bahan Hukum ... 49


(13)

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG KEWAJIBAN PENGEMBANG PERUMAHAN DALAM PENYEDIAAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS UMUM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN

A. Pengembang Perumahan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan Dan Kawasan Permukiman ... 52 B. Kewajiban Pengembang Perumahan dalam Penyediaan Perasarana,

sarana dan utilitas umum rumah umum dan rumah komersil ... 58 C. Pengaturan hukum tentang Kewajiban Pengembang Perumahan

dalam Penyediaan Perasarana, sarana dan utilitas umum rumah

umum dan rumah komersil ... 71

BAB III TINDAK PIDANA PENGEMBANG PERUMAHAN DALAM

PENYEDIAAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS UMUM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN

A.Pengertian Tidak Pidana dan unsur-unsur tindak pidana korporasi ... 76 B. Sifat Melawan Hukum Tindak Pidana Korporasi ... 85 C. Alasan Pembenar Bagi Korporasi ... 89 D. Tidak Pidana Pengembang Perumahan Dalam penyediaan prasarana,

sarana dan utilitas umum berdasarkan Undang-undang Perumahan dan Kawasan permukiman ... 94


(14)

BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENGEMBANG PERUMAHAN DALAM MENYEDIAKAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS UMUM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PERMUKIMAN

A. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi ... 102

1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana ... 102

2. Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana ... 107

3. Korporasi Mampu Bertanggungjawab ... 114

4. Penentuan Kesalahan Korporasi ... 118

5. Alasan Pemaaf bagi Korporasi ... 123

B. Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi ... 126

1. Pengurus Korporasi Sebagai Pembuat dan Penguruslah Yang bertanggungjawab ... 127

2. Korporasi sebagai Pembuat dan Penguruslah yang harus bertanggung jawab ... 130

3. Korporasi sebagai Pembuat Pengurus dan Koperasilah Yang bertanggungjawab ... 132

C. Pertanggunjawaban Pidana Pengembang Perumahan dalam Penyediaan PSU untuk Rumah umum dan komersil dalam Undang-undang Perumahan dan Kawasan Permukiman ... 135


(15)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 144 B. Saran ... 145


(16)

ABSTRAK

Pengembang perumahan sebagai yang bertanggungjawab dalam melaksanakan pembangunan PSU tidak lepas dari tanggungjawab pidana jika lalai atau sengaja tidak menjalankan kewajibannya. Pengembang perumahan sebagai subjek hukum pidana dapat dimaknai sebagai korporasi dalam arti sempit yaitu suatu perusahaan berbadan hukum, sebab hanya perusahaan berbadan hukumlah yang dapat melaksanakan pembangunan perumahan dan kawasan perukiman. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pengaturan hukum tentang kewajiban pengembang perumahan dalam penyediaan prasarana, sarana dan utilitas umum berdasarkan Undang-Undang Perumahan dan Kawasan Permukiman; 2. Bagaimana tindak pidana pengembang perumahan dalam penyediaan prasarana, sarana dan utilitas umum dalam pembangunan perumahan dan kawasan perukiman berdasarkan Undang-undang perumahan dan kawasan permukiman; 3. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pengembang perumahan dalam menyediakan prasarana, sarana dan utilitas umum berdasarkan Undang-undang perumahan dan kawasan permukiman.

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan dalam melakukan pengkajian pertanggungjawaban pidana pengembang perumahan dan kawasan perukiman dalam penyediaan sarana, Prasarana, dan Utilitas Umum berdasarkan Undang-undang Perumahan dan permukiman. Sifat penelitian adalah preskriptif, yaitu dengan mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum. Kemudian penelitian ini dibantu dengan ilmu terapan. Sebagai ilmu terapan, ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan dan rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum. Bahan hukum primer yang terinventarisasi terlebih dahulu disistematisasikan sesuai dengan substansi yang di atur dengan mempertimbangkan relevansinya terhadap rumusan masalah dan tujuan penelitian. Melalui sistematisasi terhadap bahan hukum yang kompleks akan dapat ditemukan norma hukumnya dan menerapkannya guna menyelesaikan problema hukum yang dihadapi.

Peraturan hukum terkait kewajiban pengembang perumahan dalam penyediaan prasarana, sarana dan utilitas umum rumah umum dan rumah komersil terdapat dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, Peraturan Menteri Perumahan Rakyat RI No. 4 Tahun 2013 tentang Petunjuk Pelaksana Bantuan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum Perumahan Tapak yang Dibangun Oleh Pengembang, Permendagri No. 9 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyerahan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Perumahan Kawasan Permukiman, Peraturan Menteri Perumahan Rakyat No. 1/ PERMEN/ M/ 2010 tentang Pengelolaan Pengaduan Masyarakat di Bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman, serta Perpres No. 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaaan Barang/ Jasa Pemerintah. Tindak pidana yang dilakukan oleh Pengembang Perumahan dalam penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum


(17)

dalam pembangunan perumahan dan kawasan permukiman berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan Dan Kawasan Permukiman, yaitu mengalihfungsikan prasarana, sarana, dan utilitas umum diluar fungsinya, menjual satuan permukiman, sebelum menyelesaikan status hak atas tanah lingkungan hunian atau Lisiba terlebih dahulu, menyelenggarakan pembangunan perumahan, yang tidak membangun perumahan sesuai dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasarana, sarana, dan utilitas umum yang diperjanjikan, membangun perumahan dan/atau permukiman di luar kawasan yang khusus diperuntukkan bagi perumahan dan permukiman, membangun perumahan, dan/atau permukiman di tempat yang berpotensi dapat menimbulkan bahaya bagi barang ataupun orang. Pertanggungjawaban pidana pengembang perumahan dalam menyediakan prasaran, sarana dan utilitas umum berdasarkan Pasal 162 ayat (1) dan (2), Pasal 163, dan Pasal 155 Undang-undang Nomor 1 tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dapat dimintakan kepada pengembang perumahan, pengurus pengembang perumahan, dan pengembang perumahan beserta pengurus pengembang perumahan secara bersama-sama.

Terhadap hal di atas, perlu segera dibuat Peraturan Pelaksana tentang Penyediaan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum. Sehingga dengan peraturan tersebut para Pengembang perumahan dapat mematuhi dan menjalankannya agar tidak ada lagi perbedaan penafsiran terhadap Penyediaan Prasarana, sarana dan utilitas umum yang menyeret tindakan pengembang perumahan ke perbuatan pidana. Belum adanya peraturan pelaksana juga memberi peluang kepada pengembang perumahan yang nakal untuk memanfaatkannya yang akhirnya mengakibatkan kerugian pada masyarakat. Perlu juga dirumuskan dalam Peraturan Perundang-undangan tentang pertanggungjawaban pidana pengembang perumahan secara jelas dan terperinci. Perumusan itu baik berupa pemisahan tindak pidana yang dikategorikan perbuatan Korporasi atau pribadi pengurus maupun sanksinya. Khususnya tentang Pertanggungjawaban Pidana pengembang perumahan dalam penyediaan Prasarana, Sarana, dan utilitas umum dalam penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan dan permukiman.

Kata Kunci : Tindak Pidana, Pertanggungjawaban Pidana, Pengembang Perumahan dan Kawasan Permukiman.


(18)

ABSTRACT

As a housing developer who is responsible for carrying out the construction of the PSU is not free from criminal responsibility if negligent or intentionally does not perform its obligations. Housing developers as the subject of criminal law can be interpreted in a narrow sense as a corporation that is a legal entity, because the only company that can legally punish implement perukiman residential development and the region. The problems discussed in this thesis are as follows: 1 How does the legal regulation of the obligations of housing developers in the provision of infrastructure, facilities and public utilities under the Law of Settlement Housing and Regions; 2 How is the crime of housing developers in the provision of infrastructure, facilities and public utilities in the construction of residential and settlement region based on the Law of housing and residential areas; 3 How does the criminal responsibility of housing developers in providing infrastructure, facilities and public utilities pursuant to an Law of housing and residential areas.

This type of research is conducted legal research by using the approach of legislation in assessment of criminal responsibility and the housing developer settlement region in the provision of facilities, infrastructure, and the Public Utilities Law is based on the Housing and settlements. The character of research is prescriptive, i.e. by studying law purposes, the values of justice, the validity of the rule of law, legal concepts and legal norms. Then this research assisted with applied science. As an applied science, the science of law set the standard procedures, rules and guidelines in implementing the rule of law. The primary legal materials which be gathered in advance in accordance with the substance systematized set to consider its relevance to the formulation of the problem and research objectives. Systematization through the complex legal material would be found legal norms and apply them to solve problems faced by law.

Legislation related obligations housing developers in the provision of infrastructure, facilities and public utilities public houses and commercial houses contained in Law No. 1 of 2011 on Housing and Settlement Zone, Housing Minister Regulation No. 4 Year 2013 on Guidelines Help Infrastructure, Facilities, Housing and Public Utilities Tread Built By Developer, Permendagri 9 Year 2009 on Guidelines for Submission of Infrastructure, Facilities and Utilities Housing Settlement Zone, Housing Regulation No. 1 / Permen / M / 2010 on Public Complaints Management in the Department of Housing and Settlement Area, as well as the Presidential Decree No. 70 Year 2012 on the Second Amendment of Presidential Decree No. 54 Year 2010 on the Procurement of Goods / Services. Criminal offenses committed by the Real Estate Developer in the provision of infrastructure, facilities, and public utilities in the development of housing and residential areas under Law No. 1 of 2011 on Housing and Settlement Zone, namely mengalihfungsikan infrastructure, facilities, and public utilities outside the function, sell units settlements, before finishing the status of land rights or Lisiba residential environment first, develop the housing, which does not build housing in accordance with the criteria, specifications, requirements, infrastructure, facilities, and public utilities agreed, build housing and / or settlements outside the region specifically earmarked for housing and settlements, build housing, and / or settlements in


(19)

place that could potentially pose a danger to people or goods. Criminal responsibility of housing developers in providing infrastructures, facilities and public utilities pursuant to Article 162, paragraph (1) and (2), Article 163, and Article 155 of Law No. 1 of 2011 on Housing and Settlement Areas may be requested to housing developers, administrators developer housing, and developers of housing and housing developer board together.

Gainst the above, needs to be created Implementing Regulation on the Provision of Infrastructure, Facilities, and Public Utilities. So with these regulations can adhere to the developer housing and run it so that there is no longer a difference of interpretation of the provision of infrastructure, facilities and public utilities are dragging action housing developers to criminal acts. The absence of implementing regulations also provide opportunities for housing developers to use the naughty which eventually resulted in a loss to the community. It should also be formulated in legislation concerning the criminal responsibility of housing developers clearly and in detail. The formulation in the form of separation is considered a criminal offense or private corporation board actions or sanctions. Especially on Criminal Liability of housing developers in the provision of Infrastructure, Facilities, and public utilities in the administration of Housing and Regions and settlements.


(20)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hak asasi manusia pada dasarnya mengatur hubungan antara individu-individu dengan negara. Hak asasi manusia telah disepakati sebagai hukum internasional yang dapat menjadi standar yang kuat bagaimana negara harus

memperlakukan individu-individu di dalam wilayah yurisdiksinya. Dengan kata lain hak asasi manusia memberikan jaminan moral dan hukum kepada individu-individu untuk melakukan kontrol dan mendorong aturan dalam praktik-praktik kekuasaan negara terhadap individu-individu, memastikan adanya kebebasan individu dalam kebutuhan-kebutuhan dasar individu-individu yang berada di dalam wilayah yurisdiksinya. Disinilah negara menjadi pihak yang memiliki tugas dan kewajiban (duty-bearer) untuk menghormati (to respect) dan memenuhi (to fulfil) hak asasi manusia dan individu-individu yang berdiam di wilayah yurisdiksinya sebagai pemegang hak (right holder).1

Rumah merupakan hak setiap warga negara, hal ini tercermin dalam sila kelima pancasila yaitu keadilan sosial dan dalam Undang-Undang Dasar 1945 tercermin dalam alinea ke empat pembukaan yang menyebutkan : “... memajukan

1

Supriyanto, Dkk, Potret Pemenuhan Hak Atas Pendidikan Dan Perumahan Di Era Otonomi Daerah : Analisis Di Tiga Daerah, PUSHAM UII, Yogyakarta, 2009, halaman 12.


(21)

kesejahteraan umum....” serta Pasal 28 ayat (1) menyebutkan : “tiap-tiap warga negara berhak ... penghidupan yang layak”.

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia, mengamanatkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan

mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.2 Tempat tinggal mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa sebagai salah satu upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri, dan produktif sehingga

terpenuhinya kebutuhan tempat tinggal merupakan kebutuhan dasar bagi setiap manusia, yang akan terus ada dan berkembang sesuai dengan tahapan atau siklus kehidupan manusia.3

Kebutuhan akan perumahan yang dapat dipergunakan untuk berteduh bagi manusia merupakan suatu kebutuhan yang primer disamping kebutuhan sandang dan pangan.4 Sesuai dengan pendapat Maslow menyebutkan bahwa sesudah manusia terpenuhi kebutuhan jasmaninya, yaitu sandang, pangan, dan kesehatan, kebutuhan akan rumah atau tempat tinggal merupakan salah satu motivasi untuk pengembangan kehidupan yang lebih tinggi lagi.5

2

Lihat Pasal 28 H ayat (1), UUD RI Tahun 1945 amandemen ke 4. 3

Lihat Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan Dan Kawasan Perukiman Bagian I Umum.

4

Al Rashid Harun, Upaya Penelesaian Sengketa Sewa Menyewa Perumahan Menurut Ketentuan Perundang-Undangan, Ghalia Indonesia, Jakarta 1985, halaman 9.

5

Sastra Suparno, Dkk, Perencanaan Dan Pengembangan Perumahan, CV. Andi Offset, Yogyakarta, 2006, halaman 2.


(22)

salah satu kebutuhan dasar manusia dan merupakan faktor penting dalam peningkatan harkat dan martabat manusia, maka perlu diciptakan kondisi yang dapat mendorong pembangunan perumahan untuk menjaga kelangsungan penyediaan perumahan dan permukiman.6 Hak atas perumahan dalam disiplin hak asasi manusia sering kali disamakan dengan hak rakyat atas tempat untuk hidup.7

Perumahan, Rumah, rumah susun dan perukiman merupakan kebutuhan dasar manusia yang struktural sifatnya dan mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pembetukan watak serta kepribadian bangsa, dan perlu dibina serta

dikembangkan demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan dan penghidupan masyarakat.8 Perumahan, rumah, rumah susun, dan perukiman juga tidak dapat dilihat sebagai sarana kebutuhan kehidupan semata-mata, tetapi lebih dari itu merupakan proses bermukim manusia dalam menciptakan ruang kehidupan untuk memasyarakatkan diri dan menampakkan jati dirinya.9 Selain sebagai salah satu kebutuhan dasar, rumah dan kelengkapannya merupakan faktor penentu indikator kesejahteraan rakyat dan menjadi komitmen global sebagaimana dituangkan dalam Agenda Habitat dan Millenium Development Goals (MDGs).10

6

Lihat Konsideran Dalam Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Peumahan dan Kawasan Permukiman.

7

Supriyanto Dkk, Op Cit, halaman 61. 8

Moh. Hasan Wargakusumah, Analisis Dan Evaluasi Hukum Undang-Undang No 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan Dan Perukiman, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Ham RI Tahun 2003, halaman 1.

9

Ibid, halaman 2 10

Pidato Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia Pada Upacara Peringatan Hari Perumahan Nasional Tanggal 25 agustus 2012.


(23)

Indonesia sebagai masyarakat internasional yang turut menandatangani Deklarasi Rio de Janeiro selalu aktif dalam kegiatan-kegiatan yang diprakarsai oleh United Nations Centre for HumanSettlements. Jiwa dan semangat yang tertuang dalam Agenda 21 dan Deklarasi Habitat II adalah bahwa rumah merupakan

kebutuhan dasar manusia dan menjadi hak bagi semua orang untuk menempati hunian yang layak dan terjangkau (adequate and affordable shelter for all). Dalam Agenda 21 ditekankan pentingnya rumah sebagai hak asasi manusia. Hal itu telah sesuai pula dengan semangat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.11

Negara juga bertanggung jawab dalam menyediakan dan memberikan kemudahan perolehan rumah bagi masyarakat melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan perukiman serta keswadayaan masyarakat. Penyediaan dan kemudahan

Negara bertanggungjawab melindungi segenap bangsa Indonesia melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan perukiman agar masyarakat mampu bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau di dalam lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia. Sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, idealnya rumah harus dimiliki oleh setiap keluarga, terutama bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah (selanjutnya disebut dengan MBR) dan bagi masyarakat yang tinggal di daerah padat penduduk di perkotaan.

j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&uact=8&ved=0CC4QFjAB&url=http%3A%2F%2Fpemb iayaan.kemenpera.go.id) di akses pada tanggal 24 maret 2014 pukul 11.30 WIB.

11

Lihat Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan Dan Kawasan Perukiman Bagian I Umum.


(24)

perolehan rumah tersebut merupakan satu kesatuan fungsional dalam wujud tata ruang, kehidupan ekonomi, dan sosial budaya yang mampu menjamin kelestarian lingkungan hidup, sejalan dengan semangat demokrasi, otonomi daerah, dan keterbukaan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.12

Penyelenggaraan kawasan perukiman dilakukan untuk mewujudkan wilayah yang berfungsi sebagai lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan yang terencana, menyeluruh, terpadu, dan

berkelanjutan sesuai dengan rencana tata ruang. Penyelenggaraan kawasan perukiman tersebut bertujuan untuk memenuhi hak warga negara atas tempat tinggal yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur serta menjamin kepastian bermukim, yang wajib dilaksanakan sesuai dengan arahan pengembangan kawasan perukiman yang terpadu dan berkelanjutan.13

Upaya pemenuhan kebutuhan rumah bagi masyarakat adalah pengembangan dan pembangunan perumahan dan kawasan perukiman. Yang pada prinsipnya pembangunan tersebut bertujuan untuk menyiapkan lokasi bagi pembangunan perumahan sejahtera yang dilengkapi dengan prasarana, sarana dan utilitas umum (selanjutnya disebut dengan PSU) yang memadai dan terjangkau.

14

12

Ibid 13

Ibid 14

Buku Panduan Bantuan PSU Perumahan Dan Kawasan Perukiman Tahun 2013 Di Keluarkan Oleh Kementrian Perumahan Rakyat Republik Indonesia, Halaman 1.

Rumah dalam pengertian ini mencakup makna perumahan yang memadai (Adequate housing). Kata memadai ini menjadi penting untuk membedakan pendefenisian kata “rumah”


(25)

menjadi tidak sekedar sebentuk bangunan persegi empat yang mempunyai atap. Dari standart internasional hak asasi manusia, kita dapat meminjam makna rumah yang memadai, yakni ketersediaan pelayanan, material, fasilitas, dan infrastruktur.

Memadai juga mengandung makna pemenuhan prinsip-prinsip seperti keterjangkauan biaya (offordability). Selanjutnya memadai juga mempertimbangkan faktor-faktor lokasi (location) dan layak secara budaya (cultural adequate).15

Membangun perumahan tidak dapat hanya dilihat dari sisi membangun rumahnya saja, akan tetapi juga membangun satuan perukiman. Membangun satuan perukiman tidak hanya membangun rumah-rumah dan sarana serta prasarananya saja, akan tetapi juga membangun komunitasnya. Membangun komunitas berarti

memberdayakan untuk mandiri dan meningkatkan kepercayaan dirinya. Dengan kepercayaan diri maka meningkat pula kemampuan untuk menanggapi masalah yang dihadapinya.16

Rumah dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Perukiman (selanjutnya disebut dengan Undang-undang Perumahan dan Kawasan Permukiman) diklasifikasikan berdasarkan jenisnya menjadi 5 (lima) yaitu rumah komersial, rumah umum, rumah swadaya, rumah khusus dan rumah negara. Rumah umum dan rumah swadaya dalam pembangunannya mendapatkan kemudahan dan/atau bantuan dari pemerintah dan/atau pemerintah daerah, rumah khusus dan

15

Supriyanto Dkk, Op Cit, halaman 61. 16

Kata sambutan Prof. Dr. Sardjono Jatiman, S.H. dalam Buku pengadaan perumahan

kota dengan peran serta masyarakat berpenghasilan rendah, dr. Ir. Bambang panudju, M.Phil. PT


(26)

rumah negara disediakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah sedangkan rumah komersial diselenggarakan untuk mendapatkan keuntungan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.17

Komponen penting dari pembangunan perumahan dan kawasan perukiman adalah penyediaan Prasarana,Sarana, dan Utilitas umum (Selanjutnya disebut dengan PSU). PSU perumahan dan kawasan perukiman merupakan kelengkapan fisik untuk mendukung terwujudnya perumahan yang sehat, aman dan terjangkau. Dengan demikian, ketersediaan PSU merupakan kelengkapan dan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya pengembangan perumahan dan kawasan perukiman. Dukungan PSU yang memadai diharapkan dapat menciptakan dan meningkatkan kualitas lingkungan perumahan.18 Hal ini sejalan dengan Salah satu misi Kementrian Perumahan Rakyat (Kemenpera) dalam usaha untuk merealisasikan "setiap keluarga Indonesia menempatirumah yang layak huni" sebagai visi Kementrian adalah meningkatkan ketersediaan rumah layak huni dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat dan aman serta didukung oleh prasarana, sarana dan utilitas yang memadai.19

Semua jenis rumah di atas dalam pelaksanaan pembangunannya haruslah memenuhi PSU. Pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah bertanggungjawab dalam pembangunan rumah umum, rumah khusus, dan rumah Negara dengan

17

Pasal 21 Undang-undang Perumahan dan Kawasan Permukiman 18

Buku Panduan Bantuan PSU Perumahan Dan Kawasan Perukiman Tahun 2013,Op Cit, halaman 2.

19

Lihat Visi dan Misi Kementrian Perumahan Rakyat Republik Indonesia tahun 2010-2014. pkl 10.30 WIB)


(27)

demikian juga bertanggungjawab mengadakan PSU rumah-rumah tersebut, sementara khusus untuk rumah komersil badan hukum yang melaksanakannyalah yang

mempunyai kewajiban mengadakan PSU rumah komersil sedangkan rumah swadaya karena inisiatifnya berasal dari masyarakat maka yang bertanggungjawab untuk mengadakan PSU adalah masyarakat dan akan diberi kemudahan dan/atau bantuan oleh pemerintah pusat/daerah. Selain Pemerintah pusat dan/atau daerah

bertangungjawab untuk jenis rumah umum, badan hukum juga dapat melaksanakan pembangunan perumahan untuk MBR dan dalam pengajuan rencana tersebut Pemerintah Daerah wajib memberikan kemudahan perizinan bagi badan hukum itu.

Penelitian ini hanya akan membahas 2 (dua) jenis rumah yaitu rumah komersil dan rumah umum20

Badan hukum atau Pengembang perumahan berkewajiban disamping membangun perumahan juga berkewajiban menyediakan PSU perumahan tersebut. PSU harus memenuhi persyaratan yaitu kesesuaian antara kapasitas pelayanan dan jumlah rumah, keterpaduan antara PSU dan lingkungan hunian, dan ketentuan teknis pembangunan PSU.

saja. Pembangunan tersebut dalam pelaksanaanya ada kaitanya dengan tanggungjawab badan hukum (pengembang perumahan) dalam penyediaan PSU untuk kedua jenis rumah tersebut.

21

20

Rumah umum khusus yang dibangun oleh pengembang perumahan bukan pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah.

21

Lihat pasal 47 ayat (3) Undang-undang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Khusus untuk pengembang perumahan dalam membangun


(28)

perumahan untuk MBR mendapatkan bantuan dalam menyediakan PSU dari Pemerintah.

Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang perubahan kedua atas peraturan presiden Nomor 54 Tahun 2012 tentang Penyediaan Barang/Jasa

Pemerintah, pada Pasal 38 ayat (5) huruf h menyatakan bahwa: “Pekerjaan pengadaan prasarana, sarana, dan utilitas umum di lingkungan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang dilaksanakan oleh pengembang/developer yang

bersangkutan”, maka untuk pelaksanaan pembangunan fisik bantuan dimungkinkan untuk dilaksanakan dengan penunjukan langsung kepada pengembang/developer yang bersangkutan.22

Kebijakan umum pembangunan perumahan diarahkan untuk:

Hal ini berarti pengembang perumahan yang akan membangun jenis rumah umum dapat ditunjuk langsung untuk mengadakan PSU rumah yang dibangunnya oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

23

1. Memenuhi kebutuhan perumahan yang layak dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat dan aman yang didukung prasarana, sarana, dan utilitas umum secara berkelanjutan serta yang mampu mencerminkan kehidupan masyarakat yang berkepribadian Indonesia;

2. Ketersediaan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk pemenuhan kebutuhan rumah, perumahan, perukiman, serta lingkungan hunian perkotaan dan perdesaan;

3. Mewujudkan perumahan yang serasi dan seimbang sesuai dengan tata ruang serta tata guna tanah yang berdaya guna dan berhasil guna;

4. Memberikan hak pakai dengan tidak mengorbankan kedaulatan negara; dan

22

Buku Panduan Bantuan PSU Perumahan Dan Kawasan Perukiman Tahun 2013, Op Cit, halaman 3.

23

Lihat Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan Dan Kawasan Perukiman, Bagian I Umum.


(29)

5. Mendorong iklim investasi asing.

Pertumbuhan pembangunan pada sektor perumahan dan kawasan perukiman di tanah air terbilang sangat pesat. Pertumbuhan ini didorong oleh meningkatnya permintaan masyarakat akan perumahan dan kawasan perukiman yang sesuai dengan tingkat kebutuhanya. Hal ini merupakan isu permasalahan strategis yang dihadapi pengembangan perumahan dan kawasan perukiman saat ini adalah masih tingginya angka backlog24atau akumulasi kebutuhan rumah pertahunnya, yang merupakan isyarat bahwa upaya-upaya penyiapan kawasan perumahan dan perukiman sangat mendesak untuk dilakukan.25

Pemerintah dalam mewujudkan rumah murah bagi MBR masih menghadapi sejumlah masalah internal dan eksternal di era otonomi daerah saat ini. Secara internal, daerah menghadapi kendala dalam hal pembiayaan, kelembagaan, bahkan keterbatasan sumber daya manusia, sedangkan di sisi lain, daya beli masyarakat masih rendah. Namun demikian, pemerintah daerah mempunyai kekuatan dalam penyediaan lahan dan kewenangan dalam hal perijinan. Pemerintah Pusat mempunyai kekuatan pada sisi regulasi, termasuk regulasi terhadap sumber-sumber pembiayaan

Serta keterbatasan tanah untuk kebutuhan perumahan merupakan kendala yang sering dihadapi terutama di kota-kota besar, sehingga upaya untuk memenuhi kebutuhan perumahan merupakan kebutuhan yang cukup mendasar.

24

Dalam bisinis Backlog adalah pesanan untuk barang ata Pesanan untuk barang atau jasa yang perusahaan belum sampaikan atau berikan kepada pelanggannya.

Jika dalam perumahan berarti kebutuhan perumahan untuk masyarakat. (http://kamusbisnis. com/arti/backlog/) di akses pada tanggal 24 Maret 2014 pukul 11.30 WIB.

25

Buku Panduan Bantuan PSU Perumahan Dan Kawasan Perukiman Tahun 2013, Op Cit, halaman 1.


(30)

maupun pendanaan yang dibutuhkan. Sementara itu mitra yang merupakan pelaku, pemerhati, akademisi, dan pihak swasta lainnya diharapkan mempunyai komitmen yang kuat untuk mendukung dan menggerakkan program pembangunan rumah murah tersebut.26 Hal ini sejalan dengan pendapat Kemenpera yang menyadari bahwa

pembangunan perumahan bagi masyarakat tidak dapat dipenuhi seluruhnya oleh pemerintah pusat dan daerah saja tetapi juga dibutuhkan peran sektor swasta seperti para pengembang perumahan serta masyarakat itu sendiri.27

Pembangunan perumahan dan kawasan perukiman dalam rangka menjamin menjamin hak setiap warga negara untuk menempati, menikmati, dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur

dilaksanakan oleh Pemerintah pusat, pemerintah daerah dan/atau setiap orang atau orang perseorangan atau badan hukum baik berupa koperasi, yayasan, lembaga sewadaya masyarakat, maupun badan swasta baik pengembang/developer, mediator

Penyelenggaraan perumahan dan kawasan perukiman harus memerhatikan berbagai aspek yang diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan Dan Kawasan Perukiman yang di undangkan pada tanggal 12 Januari 2011 secara menyeluruh dan terpadu terkhusus untuk kewajiban penyediaan PSU untuk jenis rumah umum dan komersil.

26

Pidato Menteri negara perumahan rakyat Republik indonesia Pada upacara Peringatan

hari perumahan nasional Tanggal 25 agustus 2011.

27

Humas Kemenpera, di akses pada tanggal 30 Juni pukul 15.00 WIB.


(31)

maupun motivator pembangunan. Keikutsertaan orang perorangan dan/atau badan hukum dalam melaksanakan pembangunan perumahan dan kawasan perukiman dibarengi dengan kawajiban yang harus dipenuhi dan ditaati serta dilaksanakan dengan baik berdasarkan Undang-undang Perumahan dan kawasan permukiman yang tertuang di dalam pasal-pasalnya.

Pelaksanaan Pembangunan perumahan dan kawasan perukiman oleh orang perseorangan atau badan hukum pada prakteknya berpeluang tidak menjalankan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi malah justru mengabaikan bahkan menyalahgunakannya sehingga berdampak kepada kepentingan masyarakat yang sifatnya cenderung merugikan. Apalagi masyarakat belum sepenuhnya mengenal secara utuh masalah-masalah dibidang perumahan dan perukiman, sehingga dirasa perlu adanya aturan yang mengatur dalam pelaksanaanya dibidang perumahan dan kawasan perukiman, berikut sanksi yang dikenakan atas pelanggaran yang terjadi berdasarkan ketentuan undang-undang. Bantuan dana untuk PSU yang dikucurkan oleh Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) bagi pengembang perumahan MBRpun rentan terhadap penyelewengan dan tidak sesuai dengan tujuannya. Dana bantuan tersebut seharusnya dapat dijadikan stimulus bagi pengembang MBR untuk mau membangun rumah MBR sekaligus menekan harga rumah yang ada.28

28

Latief,Senin,30September,2013,15:57WIB,http://properti.kompas.com/read/2013/09/30/15 57292/Awas.Bantuan.Dana.Prasarana.Sarana.dan.Utilitas.Rawan.Penyelewengan.(di akses tanggal 27 feb 2014. Pukul 14.30 WIB)


(32)

Para pelaku pembangunan perumahan dan kawasan perukiman baik

perumnas, koperasi, badan swasta, seperti pengusaha realestate dalam menjalankan usahanya kerap mendapat kritik dari yang bersumber dari pelaksanan yang keliru mengenai usaha pembangunan yang dijalankan dibidang perumahan dan kawasan permukiman. Hal ini menunjukkan ada peluang terjadi pelanggaran atas kewajiban sebagaimana yang diatur dalam undang-undang. Undang-undang Perumahan dan kawasan permukiman telah mengatur sanksi yang akan diancamkan kepada pelaku usaha yang tidak menjalankan kewajiban-kewajiban yang diharuskan.

Pelaksanaan pembangunan perumahan dan kawasan perukiman pada perakteknya banyak mengalami masalah, mulai dari wanprestasi pihak pengembang perumahan sampai ke penipuan pembeli perumahan. Hal ini sudah pasti bermuara pada kerugian yang diderita masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari berbagai berita dari berbagai media informasi, 130 kepala keluarga (KK) di Perumahan Bumi Nagara Lestari (BNL) Desa Nagara, Kabupaten Serang, Banten, mengancam memboikot pembayaran kredit rumah Bulan Februari. Penyebabnya warga kesal karena keseringan banjir. Sementara pihak pengembang tidak terlihat berinisiatif menyelesaikan masalah tersebut.29

29

Ramadhian Fadhillah,Minggu ,2 Februari 2014 04:30http://www.merdeka.com/peristiwa/ kesal-terus-kebanjiran-warga-tolak-bayar- kredit-rumah.html di akses pada tanggal 7 Februari 2014

Medan (Sumatera Utara) malah berbeda,

masyarakat disekitar lokasi Perumahan dan Kawasan Perukiman terkena imbas akibat pelaksanaan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman. Akibat


(33)

lokasi kawasan perumahan yang biasanya tidak terkena banjir setelah adanya pembangunan oleh pihak pengembang menjadi banjir, sehingga berujung

pemboikotan oleh masrakat terhadap pembangunan.30 Masyarakat sekitar komplek Citra Land Bagdya City melaporkan pengembang perumahan ke Bupati Deli Serdang diwakili oleh kuasa hukumnya Tim Advokasi Penyelaat Aset Sumatera Utara.31

Pengembang perumahan sebagai yang bertanggungjawab dalam

melaksanakan pembangunan PSU tidak lepas dari tanggungjawab pidana jika lalai atau sengaja tidak menjalankan kewajibannya. Pengembang perumahan sebagai subjek hukum pidana dapat dimaknai sebagai korporasi dalam arti sempit yaitu suatu perusahaan berbadan hukum, sebab hanya perusahaan berbadan hukumlah yang dapat melaksanakan pembangunan perumahan dan kawasan perukiman. Dilatar belakangi permasalahan penyediaan PSU oleh pengembang perumahan di atas maka sudah seyogianyalah masalah ini diangkat sebagai suatu karya ilmiah.

Pelaku pembangunan perumahan dan kawasan perukiman baik perumnas, koperasi, badan swasta, seperti pengusaha realestate (selanjutnya disebut dengan pengembang perumahan) sebenarnya telah diancam dengan sanksi dalam rumusan pasal-pasal Undang-undang Perumahan dan Kawasan Permukiman, bahkan bukan hanya orang-perorangan selaku pengurus tetapi juga pengembang perumahan yang dapat kita sebut sebagai korporasi.

30 Harian Analisa, “Minim resapan Air” Sabtu 21 Desember 2013, halaman 6. 31

Somasi Tim Advokasi Penyelamat Aset Sumatera Utara kepada Bupati Deli Serdang tertanggal 13 November 2013.


(34)

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas dirumuskan beberapa permasalahan, sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pengaturan hukum tentang kewajiban pengembang perumahan dalam penyediaan prasarana, sarana dan utilitas umum berdasarkan Undang-undang perumahan dan kawasan permukiman?

2. Bagaimana tindak pidana pengembang perumahan dalam penyediaan prasarana, sarana dan utilitas umum dalam pembangunan perumahan dan kawasan perukiman berdasarkan Undang-undang perumahan dan kawasan permukiman? 3. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pengembang perumahan dalam

menyediakan prasarana, sarana dan utilitas umum berdasarkan Undang-undang perumahan dan kawasan permukiman ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penilitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui pengaturan hukum tentang kewajiban pengembang perumahan dalam penyediaan prasarana, sarana dan utilitas umum berdasarkan Undang-undang perumahan dan kawasan permukiman.

2. Mengetahui tindak pidana pengembang perumahan dalam penyediaan prasarana, sarana dan utilitas umum dalam pembangunan perumahan dan


(35)

kawasan perukiman berdasarkan Undang-undang perumahan dan kawasan permukiman.

3. Mengetahui pertanggungjawaban pidana pengembang perumahan dalam menyediakan prasarana, sarana dan utilitas umum berdasarkan Undang-undang perumahan dan kawasan permukiman.

D. Manfaat Penelitian

Selain tujuan-tujuan diatas, penelitian ini juga diharapkan untuk berbagai hal diantaranya :

1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran secara teoritis terhadap penanganan pertanggungjawaban pidana pengembang

perumahan dalam penyediaan prasarana, sarana dan utilitas umum berdasarkan Undang-undang Perumahan dan kawasan permukiman.

2. Secara praktis :

Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk :

a. Aparat penegak hukum agar mengetahui bagaimana konsep

pertanggungjawaban pidana pengembang perumahan berdasarkan Undang-undang Perumahan dan kawasan permukiman tersebut sehingga memudahkan dalam penanganan tindak pidana yang dilakukan pengembang perumahan.


(36)

b. Bagi pemerintah sebagai sumbangan pemikiran terhadap pembaharuan hukum pidana dalam perumusan undang-undang yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana pengembang perumahan dalam menyediakan prasarana, sarana dan utilitas umum sehingga penegakan hukum yang menyangkut tidak pidana yang dilakukan pengembang perumahan dapat dilakukan dengan baik dan selain itu juga sebagai masukan dalam menyusun Peraturan Pemerintah tentang PSU.

c. Bagi akademis sebagai langkah awal dalam pengembangan dan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui inventarisasi perundang-undangan khususnya dalam hal ini mengetahui prinsip pertanggungjawaban pidana pengembang perumahan dalam menyediakan prasarana, saran dan utilitas umum berdasarkan Undang-undang perumahan dan kawasan permukiman.

E. Keasalian Penulisan

Penelitian dengan judul “Tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana Pengembang Perumahan Dan Kawasan Perukiman Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan Dan Kawasan Perukiman” belum pernah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya dilingkungan sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, akan tetapi isu hukum yang berkaitan dengan korporasi telah ada yang meneliti oleh beberapa orang yakni :


(37)

1. Fauzi Chairul F, NIM: 982105009, dengan judul “Perlindungan Hak-Hak Konsumen Perumahan atas ketentuan klausula baku dengan pelaku usaha di kota madya Medan ditinjau dari UU No. 8 Tahun 1999”.

2. Denny Umri Butar-butar, NIM: 117005057, “Pertanggungjawaban pelaku usaha perumahan dalam jual beli rumah yang mengandung cacat tersembunyi dalam persfektif hukum perdata (study kasus perumahan di kota Medan)”.

Permasalahan dan penyajian dari penelitian ini tidak sama dengan penelitian-penelitian tersebut. Permasalahan dan penyajian dalam penelitian-penelitian ini merupakan hasil dari pemikiran dan ide penulis sendiri yang didasarkan pada referensi buku-buku dan informasi dari media cetak serta elektronik. Mengacu pada alasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsep 1. Kerangka Teori

Tindak Pidana menurut Wirjono Projodikoro yaitu suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. Pelaku itu dikatakan sebagai subjek tindak pidana.32

32

E.Y Kanter, dan S.R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannnya, Storia Grafika, Jakarta 2002, halaman 209.


(38)

sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.33

Tindak pidana terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif.34 Unsur subjektif adalah unsur yang berasal dari diri pelaku yaitu kesalahan dari orang yang melanggar aturan-aturan pidana artinya pelanggaran itu harus dapat dipertanggungjawabkan kepada sipelanggar. Unsur objektif merupakan unsur dari luar pelaku. Unsur objektif tersebut meliputi :35

1. Perbuatan manusia yaitu perbuatan yang positif atau suatu perbuatan yang negatif yang menyebabkan pidana.

2. Akibat perbuatan manusia yaitu akibat yang terdiri atas merusakkan atau membahayakan kepentingan-kepentingan hukum, yang menurut norma hukum itu perlu ada supaya dapat dihukum.

3. Keadaan-keadaan sekitar perbuatan itu, keadaan-keadaan ini bisa terdapat pada waktu melakukan perbuatan.

4. Sifat melawan hukum dan sifat dapat dipidanakan perbuatan itu melawan hukum, jika bertentangan dengan undang-undang.

Unsur subjektif dari suatu tindak pidana meliputi:36 1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa). 2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging.

3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain. 4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedacthe raad seperti yang misalnya

terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP.

5. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 380 KUHP.

33

M. Hamdan, Tindak Pidana Suap dan Money Politic, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2005, halaman 8.

34

Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Gradika, Jakarta, 2005, halaman 9.

35

M. Hamdan, Op Cit, halaman 10. 36

P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, Halaman 194.


(39)

Ada dua aliran berbeda pandangan terhadap unsur-unsur tindak pidana yaitu aliran monisme dan aliran dualisme. Aliran monisme memandang antara unsur subjektif (pelaku/pembuat pidana) dengan unsur objektif (perbuatan) tidak perlu dilakukan pemisahan sedangkan aliran dualisme memandang perlu untuk dipisahkan.37

Perbedaan mendasar dari pertentangan antara monisme dan dualisme tentang delik terletak dalam pembahasan mengenai perbuatan pidana dan

pertanggungjawaban pidana. Aliran monisme sepakat menyatakan bahwa kesengajaan merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dari perbuatan. Perbuatan itu adalah kelakuan yang dikendalikan secara sadar oleh kehendak yang diarahkan kepada akibat-akibat tertentu.38

Moeljatno menganut pandangan dualisme yaitu pengertian perbuatan pidana tidak meliputi pertanggungjawaban pidana, Moeljatno memebedakan dengan tegas dapat dipidananya perbuatan dan dapat dipidana orangnya dan beliau memisahkan pengertian perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana.39

Kemampuan bertanggung jawab melekat pada unsur subjektif, dan tidak pada unsur objektif, yang sebenarnya dari sudut pengertian abstrak yang artinya

37

PrayitnoImanSantos

38

Arfan Efendi, dimensilmu.blogspot.com/2013/07/unsur-unsur-tindak-pidana, di akses pada tanggal 4 juli 2014, pkl 17.00 WIB.

39

Edi Setiadi. dan Dian Andriasari, Perkembangan Hukum Pidana DI Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2013, Halaman 62.


(40)

memandang tindak pidana itu tanpa menghubungkannya dengan (adanya)

pembuatnya, atau dapat dipidana pembuatnya. Dari padangan demikian, kemampuan bertanggungjawab bukanlah menjadi unsur tindak pidana.40

Penganut monoisme tidak secara tegas memisahkan antara unsur tindak pidana dengan syarat untuk dapat dipidananya pelaku. Unsur yang mengenai diri orangnya bagi penganut dualisme, yakni kesalahan dan adanya pertanggungjawaban pidana sebagai bukan unsur tidak pidna melainkan syarat untuk dapat dipidananya, sedangkan menurut paha monoisme juga merupakan unsur tindak pidana.41

Paham monoisme ini tidak membedakan antara unsur tindak pidana dengan syarat untuk dapatnya dipidana. Syarat dipidananya itu juga masuk dalam dan menjadi unsur tindak pidana.

42

oleh karena itu, unsur-unsur mengenai diri orangnya tidak dipisah dengan unsur mengenai perbuatan. Semuanya menjadi unsur tindak pidana. Unsur tindak pidana (pada perbuatan) dengan syarat dipidana (pada orang) tidak dipisah sebagaimanamenurut paham dualism.43

Aliran dualisme membedakan antara perbuatan pidana dan

pertanggungjawaban pidana. Menurut pandangan ini, kesalahan merupakan unsur subjektif yang menjadi unsur pertanggungjawaban pidana. Karena itu, kesalahan

40

Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian I, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan, dan batas berlakunya hukum pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, halaman 73.

41

Ibid, halaman 76. 42Ibid

. 43


(41)

tidak mungkin dimasukkan dalam perbuatan pidana yang hanya mengandung unsur objektif saja sehingga perbuatan pidana hanya dapat dilarang. Adapun pemidanaan ditujukan kepada pembuat atau subjek hukum pidana yang dinyatakan dapat mempertanggungjawabkan perbuatan dilakukannya.

Subjek tindak pidana adalah pelaku yang melakukan tindak pidana tersebut. Subjek hukum pidana dalam KUHP adalah manusia. Pandangan klasik ini

berpendapat bahwa subjek tindak pidana adalah orang pribadi. Namun, menurut perkembangan zaman subjek tindak pidana dirasakan perlu diperluas termasuk badan hukum.44

Korporasi merupakan sebutan yang lazim digunakan dikalangan ahli hukum pidana untuk menyebutkan apa yang biasa dalam hukum lain khususnya dalam bidang hukum perdata, sebagai badan hukum atau yang dalam bahasa belanda disebut rechts person, dan dalam bahasa inggris disebut legal entities atau corporation.

Badan hukum itu juga disebut dengan korporasi dalam arti sempit, sedangkan korporasi dalam arti luas juga meliputi badan tidak berbadan hukum. Pengembang perumahan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman harus berbadan hukum, dalam hal ini berarti pengembang perumahan adalah korporasi berbadan hukum (selanjutnya disebut korporasi/pengembang perumahan) yang merupakan subjek hukum pidana.

45

44

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, halaman 54. 45

Mahrus Ali, Kejahatan Korporasi (buku 1), Arti Bumi Intaran, Yogyakarta, 2008, halaman14.


(42)

Pengembang Perumahan merupakan pelaku usaha berbadan hukum yang statusnya adalah subjek tindak pidana.

Korporasi merupakan badan hukum yang beranggotakan, tetapi mempunyai hak dan kewajiban anggota masing-masing. Penempatan korporasi sebagai subjek dalam hukum pidana tidak lepas dari modernisasi social. Modernisasi sosial

dampaknya pertama harus diakui bahwa semakin modern masyarakat itu dan semakin kompleks sistem sosial, ekonomi dan politik yang terdapat disitu, maka kebutuhan akan sistem pengendalian kehidupan yang formal akan menjadi semakin besar pula.46

J.C. Smith dan Brian Hogan berpendapat bahwa korporasi tidak bisa melakukan tindakan-tindakan hukum tanpa melalui orang-orang tertentu sedangkan Chidir Ali menyatakan bahwa hukum memberi kemungkinan dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, suatu perkumpulan atau badan lain dianggap sebagai orang yang pembawa hak, dan karenanya dapat menjalankan hak-hak seperti orang biasa serta dapat dipertanggunggugatkan. Namun demikian, badan hukum (korporasi) bertindak harus dengan perantara orang biasa, akan tetapi orang yang bertindak itu tidak untuk dirinya sendiri melainkan untuk dan atas pertanggunggugatan korporasi.47

Badan hukum secara hukum pada prinsipnya harta bendanya terpisah dari harta benda pendirinya/pemiliknya. Karena itu tanggungjwab secara hukum juga dipisah dari harta benda pribadi pemiliknya. Dalam hukum dikenal beberapa teori

46

Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, halalaman 43.

47


(43)

tentang suatu badan hukum yang menyebabkan eksistensinya terpisah dari pendirinya/pemiliknya dengan berbagai konsekuensi yuridis dari keterpisahan tersebut.48 Beberapa teori tantang badan hukum perusahaan yang relevan dengan penelitian ini, yaitu sebagai berikut :49

48

Munir Fuadi, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law, Eksistensinya Dalam

Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, Halaman 3.

49

Ibid, Halaman 4. 1. Teori fiksi

Teori fiksi (fiction theory) disebut juga sebagai teori kesatuan semu (artificial sntity theory). Teori ini mengajarkan bahwa perusahaan hanya ciptaan dan khayalan manusia, dan dianggap ada oleh manusia. Jadi, tidak terjadi secara alamiah. Badan hukum hanyalah sebagai makhluk yang diciptakan oleh hukum (creature of law)

2. Teori realistis

Teori realistis (realist theory) ini sering juga disebut sebagai teori organ (organ theory) yang menganggap bahwa keberadaan badan hukum dalam tata hukum sama saja dengan keberadaan manusia sebagai subjek hukum. Jadi, badan hukum bukanlah khayalan dari hukum sebagaimana diajarkan oleh teori fiksi, melainkan benar (realist) ada dalam kehidupan hukum.


(44)

Sealiran dengan teori realistis, maka teori ciptaan diri sendiri ini, (Self ceating) atau autopoietic, merupakan teori yang mengajarkan bahwa perusahaan

hanyalah merupakan 1 (Satu) “unit” yang tercipta dengan sendirinya, bukan ciptaan hukum dan bukan juga fiksi, melainkan benar-benar ada dalam kenyataan (real personality).

Korporasi sebagai pelaku tindak pidana sebenarnya sudah ada peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia mengatur hal tersebut. Beberapa teori hukum yang berpengaruh terhadap batas-batas penetapan badan hukum sebagai pelaku tindak pidana dapat dikemukakan dari beberapa teori berikut :50

Ajaran yang bertendensi “psikologis” dari J. Remmelinkyang berpendapat bahwa hukum pidana memandang manusia sebagai makhluk rasional dan berasusila (redelijk zedelijk wezen). Remmelinkmemilih cara pendekatan atas hukum pidana yang bersifat “psikologis”, maka hampir tidak mungkin dapat untuk menggariskan batas-batas penetapan badan hukum sebagai pelaku. Hal ini terjadi karena dengan pendekatan “psikologis”, permasalahan dapat atau tidaknya badan hukum dipidana tidak mungkin ditempatkan dalam rangka dogmatik hukum pidana yang berlaku. Hal ini juga menimbulkan permasalahan bahwa menurut pandangan ini, pemidanaan harus didasarkan pada unsur 1. Teori Remmelink

50

Priyanto Dwidjaya, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia, CV. Utomo, Bandung, 2004, halaman 59.


(45)

kehendak manusia. Hal ini dapat menimbulkan masalah apabila yang harus dipidana adalah badan hukum. Dapat ditemukan penulis-penulis yang mencoba menempatkanpemidanaan badan hukum, dalam konteks pendekatan hukum pidana yang “psikologis” ini dengan cara memanusiakan badan hukum hanya mengakibatkan timbulnya konstruksi hukum yang janggal.

2. Teori Ter Heide

Pandangan Ter Heide,memilih pendekatan hukum pidana yang lebih bernuansa “sosiologis”. Di dalam bukunya yang berjudul “Vrijheid, over de zein van de straf”, menyatakan “bahwa terdapat suatu kecendrungan dimana hukum pidana semakin lama semakin dilepaskan dari konteks manusia.” Karena hukum pidana telah terlepas dari konteks manusia, maka dapat disimpulkan bahwa hanya manusia yang pada prinsipnya dapat diperlakukan sebagai subjek hukum pidana dapat disimpangi. Alasan untuk memperlakukan badan hukum sebagai subjek hukum adalah berkaitan dengan badan hukum mampu untuk turut berperan dalam mengubah situasi kemasyarakatan (penetapan badan hukum sebagai pelaku tindak pidana secara fungsional), yang mengimpikasikan bahwa badan hukum dapat dinyatakan bersalah (unsur kesalahan disini berarti

bertindak secara sistematis). Berdasarkan hal ini Te Heide, menarik kesimpulan “bila hukumpidana dilepaskan dari konteks manusia, maka hal itu

mengimplikasikan dapat dipidanya badan hukum”. Berbeda dengan pendekatan “psikologis” dari Remmelink, maka dalam pendekatan “sosiologis” Te Heide,


(46)

pandangan bahwa badan hukum dapat dipidana, dapat ditempatkan di dalam keseluruhan sistem hukum pidana, Meskipun beliau tidak merinci lebih lanjut tentang persyaratan badan hukum sebagai pelaku harus ditempatkan, cukup jelas bahwa berdasarkan wawasannya, penentuan batas harus dilakukan dengan memperhatikan makna sosial dari tindak badan hukum yang bersangsangkutan.

3. Teori ‘t Hart

Pandangan dari ‘t Hart,menyatakan bahwa hukum (pidana) harus dilihat sebagai suatu bentuk penyaluran pengejawantahan kekuasaan, yang

dikarakteristikkan oleh aspek-aspek instrumen tujuan rasional dan aspek-aspek pembatas kekuasaan yang kritis. Kedua aspek ini, satu sama lain, saling terkait dengan erat. Di dalam persoalan penegakan hukum maka yang perlu

diperhatikan adalah penciptaan keseimbangan antara kedua aspek diatas yang tidak dapat dilepaskan dari aspek lainnya. Berbeda dengan pendekatan klasik pandangan ‘t Hart tidak cukup menutup kemungkinan ditempatkannya pemidanaan badan hukum di dalam sistem hukum pidana. Jika bersama-sama dengan ‘t Hart berbicara tentang manusia di dalam hukum pidana, maka manusia lebih diartikan sebagai keberadaan “yuridis” dari manusia sebagai subjek hukum. Keberadaan yuridis ini tidak sama dengan pengertian manusia sebagai makhluk yang terdiri dari daging dan darah. Menurut ‘t Harthal ini akan memberikan ruang cukup untuk juga menerima konstruksi person lain selain dari manusia sebagai subjek hukum di dalam hukum (pidana).


(47)

Masuknya korporasi sebagai subjek tindak pidana, sudah tentu timbul konsekuensi khususnya tentang pertanggungjawaban pidananya.51 Dalam hukum pidana konsep pertanggungjawaban pidana itu merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan.52 Berbicara tentan pertanggungjawaban pidana maka tidak dapat dilepaskan dengan tindak pidana. Walaupun di dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk masalah pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana hanya merujuk kepada dilarangnya suatu perbuatan.53

Tindak pidana tidak berdiri sendiri, tindak pidana baru bermakna manakala terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya dipidana. Untuk dapat dipidana harus ada

pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan (verwijtbaarheid) yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana berdasarkan hukum pidana yang berlaku, dan secara subyektif kepada pembuat yang memenuhi persaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatan tersebut.54

Tindak pidana (crime) dapat diidentifikasikan karena adanya kerugian (harm) yang menyebabkan lahirnya pertanggungjawaban pidana atau criminal libility. Persoalan yang mengundang perdebatan adalah bagaimana menerapkan

51

Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2012, Halaman 129

52

Mahrus Ali (buku 1), Op Cit, halaman 39. 53

Priyanto Dwidjaya, Op Cit, halaman 30. 54


(48)

pertanggungjawaban pada tindak pidana korporasi atau corporate liability, mengingat di dalam Pasal 59 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang di anggap sebagai subjek hukum pidana hanyalah orang perseorangan dalam konotasi biologis yang alami (naturlijk person).55

Pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan (liability based on fault) atau pada prinsipnya menganut asas kesalahan atau asas culpabilitas. Kemungkinan dalam hal-hal tertentu untuk menerapkan asas “strict liability” dan asas “vicarious liability”, berdasarkan Naskah RUU KUHP, sebagaimana dalam Pasal 38 ayat (1), (2) dinyatakan bahwa:

Pertanggungjawaban pidana memiliki hubungan yang erat dengan penentuan subjek hukum pidana. Subjek hukum pidana dalam ketentuan perundang-undangan merupakan pelaku tindak pidana yang dapat dipertanggungjawabkan atas segala perbuatan hukum yang dilakukannya sebagai perwujudan tanggungjawab karena kesalahannya terhadap orang lain (korban).

56

1. Bagi tindak pidana tertentu, undang-undang dapat menentukan bahwa seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan.

55

Bismar Nasution, Kejahatan Korporasi Dan Pertanggungjawabannya, (disampaikan dalam ceramah di Jajaran Kepolisian Daerah Sumatera Utara, Medan, 2006), halaman 2.

56

Alvi Syahrin, http://alviprofdr .blogspot. com/2013/02/pertanggungjawabanpidana-korporasi-oleh.html di akses pada tanggal 26 februai 2014 pukul 15.00 wib


(49)

2. Dalam hal ditentukan oleh undang-undang, setiap orang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain.

Pertanggungjawaban pidana berdasarkan unsur kesalahan terhadap korporasi bukan hal yang mudah, karena korporasi sebagai subyek hukum pidana tidak mempunyai sifat kejiwaan (kerohanian) seperti halnya manusia alamiah (natuurlijk).

Korporasi sebagai pelaku tindak pidana harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Beberapa Doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu sebagai berikut :57

Corporate Criminal Liability berhubungan erat dengan doktrin identifikasi yang pada dasarnya mengakui bahwa tindakan dari agen tertentu dari korporasi, selama tindakan itu berkaitan dengan korporasi, dianggap sebagai tindakan dari 1. Doktrin Identifikasi/DirectCorporateCriminalLiability

Menurut teori ini, korporasi bisa melakukan sejumlah delik secara langsung melalui para agen yang sangat berhubungan erat dengan korporasi, bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi. Mereka tidak sebagai pengganti dan oleh karena itu, pertanggungjawaban korporasi tidak bersifat pertanggungjawaban pribadi. Syarat adanya pertanggungjawaban pidana korporasi secara langsung adalah tindakan-tindakan para agen tersebut masih dalam ruang lingkup pekerjaan korporasi.

57


(50)

korporasi itu sendiri. Dalam keadaan demikian, mereka tidak sebagai pengganti dan oleh karena itu, pertanggungjawaban korporasi tidak bersifat

pertanggungjawaban pribadi.58

Ajaran identifikasi atau identificationdoctrine dianggap tidak cukup untuk dapat digunakan mengatasi realitas proses pengambilan keputusan dalam banyak perusahaan modern.

Terkait dengan uraian tersebut, siapa yang dimaksud dengan agen atau orang-orang yang bila melakukan tindak pidana, sehingga yang bertanggungjawab adalah korporasi (tindakan) mereka sesungguhnya identik dengan (tindakan) korporasi. Dalam teori Corporate Criminal Liability, orang-orang yang identik dengan korporasi bergantung kepada jenis dan struktur organisasi suatu

korporasi, tapi secara umum meliputi the board of directors, the chief exscutive officer, atau para pejabat atau pengurus korporasi pada level yang sama dengan kedua pejabat tersebut.

59

Strict liability diartikan sebagai suatu tindak pidana dengan tidak mensyaratkan adanya kesalahan pada diri pelaku terhadap satu atau lebih dari actus reus. Strict liability ini merupakan pertanggungjawaban tanpa kesalahan (libility 2. Doktrin Strict liability

58

Mahrus ali, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi (buku 2), PT. Raja Grafindo persada, jakarta, 2013, halaman 76.

59


(51)

withoutfault). Dengan substansi yang sama, konsep strictliability dirumuskan sebagai the nature of strict libility offences is that they are crime wich do not requere any means rea with regard to at least one element of their “actus reus” (konsep peretanggungjawaban mutlak merupakan suatu bentuk

pelanggaran/kejahatan yang di dalamnya tidak mensyaratkan adanya unsur kesalahn, tetapi hanya disyaratkan adanya suatu perbutan).

Dalam tindak pidana yang bersifat strict libility yang dibutuhkan hanyalah dugaan atau pengetahuan dari pelaku, dan hal itu sudah cukup menuntut pertanggungjawaban pidananya. Jadi, tidak di persoalkan adanya men rea karena unsur pokok strict libility adalah actus reus (perbuatan) sehingga yang harus dibuktikan adalah actus reus (perbutan), bukanlah mens rea (kesalahan).

Dilihat dari sejarah perkembangannya, prinsip pertanggungjawaban

berdasarkan kepada adanya unsur kesalahan (libility on fault or negligence atau fault liability) merupakan reaksi terhadap prinsip atau teori

pertanggungjawaban mutlak no fault liability atau absolute/strict liability yang berlaku pada jaman masyarakat primitif. Pada masa itu berlaku rumus :”a man acts at his peril”, bila merugikan orang lain, akan menyebabkan dia


(52)

bertanggungjawab untuk setiap kerugian untuk bagi orang lain sebagai akibat perbuatannya.60

Dapat juga diartikan pertanggungjawaban korporasi semata-mata berdasarkan Undang-undang, yaitu dalam hal korporasi melanggar atau tidak memenuhi kewajiban/kondisi/situasi tertentu yang ditentukan oleh undang-undang. Pelanggaran kewajiban/kondisi/situasi tertentu oleh korporasi ini dikenal dengan istilah “companiesoffence”, “situasionaloffence”, atau “strictliability offences”.61

Akan tetapi, istilah tanggungjawab tanpa kesalahan ini dapat menimbulkan kesan yang keliru karena banyak juga tanggungjawab terhadap perbuaatan, baik yang disengaja maupun kelalaian yang mengerogoti kepentingan orang lain. Kepentingan dilindungi oleh hukum, yang merupakan tanggungjawab tanpa kesalahan secara moral.62

60

Ibid, halaman 105. 61

Ibid, halaman 237. 62

Edi Yunara, Korupsi Dan Pertanggungjawban Pidana korporasi berikut studi kasus, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, halaman 23.

Seakan-akan pertanggungjawaban tanpa kesalahan akan bertentangan dengan teori kesalahan normatif, pertanggungjawaban pidana korporasi tetap atas dasar kesalahan, hanya saja isi kesalahan tersebut berbeda dengan subyek hukum manusia yang didasarkan (bertolak dari) keadaan psikologis dari penetapan dapat dipermasalahkannya badan hukum


(53)

(korporasi) yaitu tidak dipenuhinya dengan baik fungsi kemasyarakatan yang dimiliki badan hukum.63

Alvi Syahrin, berpendapat Strict liability merupakan pertanggungjawaban terhadap pembuat tindak pidana yang dilakukan tanpa harus memperhatikan kesalahannya. Kesalahannya tetap ada, tetapi tidak harus dibuktikan. Terdakwa dinyatakan bersalah hanya dengan membuktikan telah dilakukannya tindak pidana. Fungsi strictliability yaitu berkenan dengan hukum acara dan bukan hukum pidana materil. Strictliability dalam pertanggungjawaban pidana lebih merupakan persoalan pembuktikan, yakni kesalahan dipandang ada sepanjang telah dipenuhinya unsur tindak pidana.64

vicarious liablity, lazim disebut dengan pertanggungjawaban pengganti, diartikan sebagai pertanggungjawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain. Barda Nawawi Arief

berpendapat bahwa vicarious libility adalah suatu konsep pertanggungjwaban seseorang atas kesalahan yang dilakukan orang lain, seperti tindakan yang dilakukan yang masih berada dalam ruang lingkup pekerjaannya (the legal responsibility of one person for wrongful acts of another, as for example, when the acts are done whitin scope of employment).

3. Doktrin Vicarious Liablity

63

Alviprofdr.blogspot.com/2014/03/penelitian-hukum-isu.html?m=1 diakses pada tanggal 2 maret 2014, pkl 13.30 wib.

64 Ibid.


(1)

Asikin Zainal dan Amiruddin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Chairul Huda, 2011, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Keasalahan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Chazawi , Adam, 2012, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian I, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan, dan batas berlakunya hukum pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Fuadi Munir, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law, Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Hamdan M, 2005, Tindak Pidana Suap dan Money Politic, Pustaka Bangsa Press, Medan.

__________, 2000, Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup, Mandar Maju, Bandung.

Hamzah, Andi,1994, Asas-Asas Hukum Pidana, Bineka, Jakarta.

Harun al Rashid, 1985, Upaya Penelesaian Sengketa Sewa Menyewa Perumahan Menurut Ketentuan Perundang-Undangan, Ghalia Indonesia, Jakarta. Hatrik, Hamzah, 1996, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum

Pidana Indonesia (Strict Liability Dan Vicarious Liability, Jakarta.

Kanter E.Y, SH dan S.R Sianturi, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannnya, Storia Grafika, Jakarta.

Kartanegara, Satochid, 1978, Hukum Pidana Bagian I, Balai Lektur Mahasiswa, Semarang.

Lamintang, P.A.F, 1997, Dasar-dasar hukum pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Marpaung Leden, 2005, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Gradika, Jakarta. Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Kencana Media Group, Jakarta.


(2)

Maramis ,Frans, 2013, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Mertokusumo, Sudikno, 2010, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Universitas Atma Jaya, Yogyakarta.

Moeljatno, 2008, Asas-asas Hukum Pidana, PT, Rineka Cipta, Jakarta. Muladi, 1992, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung.

Ohoitimur, Yong, 1997 Teori Tentang Hukuman Legal.,Pusat Pengembangan Etika Universitas Atma Jaya, Jakarta.

Poernomo, Bambang, 1994, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Yogyakarta.

Prasetyo, Teguh, 2013, Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Priyanto, Dwidjaya, 2004, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia, CV. Utomo, Bandung.

Panudju, Bambang, pengadaan perumahan kota dengan peran serta masyarakat berpenghasilan rendah oleh PT Alumni, Bandung.

Priyatno, Dwidja dan Muladi, 2012, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana Peranada Media Group, Jakarta.

Priyatno, Dwijda, 2004, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia, CV. Utomo, Bandung.

Priyatno, Dwidja dan Muladi, 2010, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Remmelink Jan, 2003, Hukum Pidana(Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesi,), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Saleh, Roeslan, 1987, StelselPidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta.


(3)

Setiadji, A. Gunawan, 1990, Dialektika Hukum dan Moral Dalam Perkembangan Masyarakat Indonesia, Kanisius dan PT. BPK. Gunung Mulia, Yogyakarta dan Jakarta

Setiadi, Prof. DR. Edi, S.H., M.H. dan Dian Andriasari, S.H., M.H., 2013,

Perkembangan Hukum Pidana DI Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta.

Setiono, H, 2004, Kejahatan Korporasi, Analisis Viktimologis Dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Malang.

Sianturi, S.R, 1996, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni Ahaem-Petehaem, Jakarta.

Sianturi, S.R. dan E.Y Kanter, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Soria Grafika, Jakarta.

Simons, D., 1992, Leerboek Van Het Nederlanches Strafrecht (Kitab Pelajaran Hukum Pidana) (diterjemahkan P.A.F. Lamintang), Pionir Jaya, Bandung. Sudarto, 1981, Hukum Dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung.

_______, 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung.

_______, 1990, Pengantar Ilmu Hukum Pidana, yayasan Sudarto d/a FH Undip, Semarang.

Sukinto, Yudi Wibowo., 2013, Tindak pidana penyelundupan di Indonesia, Kebijakan formulasi sanksi Pidana, Sinar Grafika, Jakarta.

Sunggono Bambang, 1997, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Suparno Sastra, 2006, Perencanaan Dan Pengembangan Perumahan, CV. Andi Offset, Yogyakarta.

WargakusumahMoh. Hasan, 2003, Analisis Dan Evaluasi Hukum Undang-Undang No 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan Dan Permukiman, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Ham RI Tahun.


(4)

Yunara Edi, 2005, Korupsi Dan Pertanggungjawaban Pidana korporasi berikut studi kasus, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 hasil amandemen ke 4. Undang-Undang No 11 Tahun 2012 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi

Manusia.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2012 Tentang Penyediaan Barang/Jasa Pemerintah.

Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 04 Tahun 2013 Tentang Petunjuk Pelaksana Bantuan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum Perumahan Tapak Yang dibangun oleh Pengembang

Peraturan Menter Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pedoman Bantuan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum (PSU) Perumahan Dan Kawasan Permukiman

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Pedoman Penyerahan Prasarana, Sarana, Dan Utilitas Perumahan Dan Permukiman Di Daerah


(5)

Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Nomor : 01/PERMEN/M/2010 Tentang Pengelolaan Pengaduan Masarakat Di Bidang Perumahan Dan Permukiman

Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republiok Indonesia Nomor : 22/PERMAN/M/2008 Tentang Standart Pelayanan Minimal Bidang Perumahan Rakyat Daerah Provinsi Dan Daerah Kabupaten/Kota

C. Jurnal hukum, Makalah Dan Artikel

Kementrian Perumahan Rakyat Republik Indonesia, 2013, Buku Panduan Bantuan PSU Perumahan Dan Kawasan Permukiman.

Makalah Bismar Nasution, Kejahatan Korporasi Dan Pertanggungjawabannya, (disampaikan dalam ceramah di Jajaran Kepolisian Daerah Sumatera Utara, Medan, 2006).

Pidato Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia Pada Upacara Peringatan Hari Perumahan Nasional Tanggal 25 agustus 2011.

Koran Harian Analisa.

Somasi Tim Advokasi Penyelamat Aset Sumatera Utara kepada Bupati Deli Serdang tertanggal 13 November 2013.

Tesis Karmila, Rise, 2009, Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Ketentuan Pidana di Luar KUHP, USU.

Modul Asas-Asas Hukum Pidana, 2011, PPJK RI, Jakarta.

D. Internet


(6)