xlii
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menyatakan bahwa putusan atas permohonan pernyataan pailit diputus oleh Pengadilan Niaga yang daerah
hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum Debitor, apabila debitor telah meninggalkan wilayah Negara Republik Indonesia, maka
Pengadilan yang berwenang menjatuhkan putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi
tempat kedudukan hukum terakhir Debitor. Dalam hal debitor adalah pesero suatu firma, Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kedudukan hukum firma tersebut juga berwenang memutuskan.
Debitor yang tidak berkedudukan di wilayah negara Republik Indonesia tetapi menjalankan profesi atau usahanya di wilayah negara Republik
Indonesia, Pengadilan yang berwenang adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan atau kantor pusat Debitor menjalankan
profesi atau usahanya di wilayah negara Republik Indonesia. Dalam hal Debitor merupakan badan hukum, tempat kedudukan hukumnya adalah
sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasarnya.
23
2. Dissenting Opinion
Dissenting opinion adalah perbedaan pendapat hakim dalam memutus suatu perkara. Dissenting opinion adalah pendapat yang berbeda dengan apa yang
diputuskan dan dikemukakan oleh satu atau lebih hakim yang memutus perkara, merupakan satu kesatuan dengan putusan itu karena hakim itu kalah suara atau
merupakan suara minoritas hakim dalam sebuah majelis hakim. Dissenting opinion ini merupakan hal baru dalam sejarah peradilan Indonesia.
Setidak-tidaknya dalam kurun waktu lima tahun terakhir. “Pertama kali dissenting opinion diperkenalkan dalam peradilan niaga yang menangani
kepailitan, kemudian diikuti Mahkamah Konstitusi, dan yang terakhir peradilan umum juga sudah mulai mengikuti dissenting opinion ini”.
24
Filosofi adanya lembaga hukum dissenting opinion adalah untuk memberikan akuntabilitas kepada
masyarakat pencari keadilan justiabelen dari para hakim yang memutus perkara. Seperti diketahui, mayoritas perkara pengadilan diputus oleh sebuah majelis hakim
yang terdiri dari tiga orang hakim atau lebih.
Dalam pengambilan putusan akhir, tidak tertutup kemungkinan terjadinya perbedaan pendapat di antara majelis hakim itu. Jika terjadi perbedaan pendapat,
maka putusan diambil berdasar suara terbanyak. Doktrin dissenting opinion lahir Jerman”,
25
dan berkembang dalam negara-negara yang menggunakan sistem hukum Common Law, seperti di AS dan Inggris. “Doktrin itu lalu diadopsi negara-
negara yang menganut sistem hukum kontinental, seperti Indonesia, Belanda, Perancis, dan
23
Ibid., hal. 159.
24
M. Hadi Shubhan, Dissenting Opinion Putusan Akbar, http\\www.google. dissentingopinion.com.diakses tanggal 1 Juli 2010.
25
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
xliii
Sebagaimana terjadi saat ini, tidak jarang hakim yang mempunyai integritas tinggi selalu kalah dalam voting musyawarah majelis hakim. Terhadap hakim yang
mempunyai perbedaan pendapat ini disediakan sarana untuk mengungkapkan perbedaan pendapatnya yang disertai argumentasi yuridisnya dan merupakan satu-
kesatuan dengan putusan, yang istilah teknis yuridisnya disebut dissenting opinion. Pada masa sebelum adanya dissenting opinion ini, hakim yang mempunyai
pendapat berbeda dengan majelis tidak dapat mengemukakan pendapatnya tersebut dalam putusan sehingga pihak luar tidak akan pernah tahu apakah ada perbedaan
pendapat ataukah tidak.
Sejarah peradilan hukum di Indonesia, sebelum putusan Akbar Tandjung ini, setidaknya sudah ada tujuh putusan hakim yang di dalamnya terdapat
dissenting opinion. Lima putusan dari peradilan niaga, satu putusan dari peradilan umum, dan yang terakhir satu putusan dari Mahkamah Konstitusi.
Kendati sudah ada beberapa putusan dengan dissenting opinion, hal ini relatif baru dalam sejarah peradilan di Indonesia dan merupakan lompatan besar
dalam dunia hukum. Dikatakan baru karena di peradilan umum, yakni peradilan yang menangani perkara pidana dan perdata, baru ada dua putusan dengan
dissenting opinion dan itu baru terjadi tahun terakhir ini serta saat ini dalam putusan Tandjung. Yang menarik, dalam peradilan umum kini sudah ada dua putu-
san hakim yang di dalamnya terdapat dissenting opinion, dan keduanya dalam kasus mega korupsi. Putusan yang pertama adalah kasus cessie Bank Bali dengan
terdakwa Joko Chandra, hakim agung yang mengeluarkan dissenting opinion adalah Artidjo Alkostar.
Putusan kedua adalah putusan Tandjung, di mana Hakim Agung Abdul Rachman Saleh membuat dissenting opinion yang intinya menganggap Tandjung
melakukan perbuatan melawan hukum secara materiil. Dissenting opinion pertama kali lahir di Indonesia tidak mempunyai landasan yuridis formal. Ia lahir karena
praktik hakim yang berkembang. Pertama kali lahirnya dissenting opinion dalam pengadilan niaga. Sampai saat ini sudah ada lima putusan pengadilan niaga yang
memuat dissenting opinion itu. Dalam peradilan niaga sekarang sudah ada landasan yuridis untuk adanya dissenting opinion itu, yakni diatur dalam sebuah
Peraturan Mahkamah Agung.
Pada negara–negara yang menganut Sistem Hukum Anglo Saxon seperti Amerika dan Inggris, Pendapat atau Opini di bidang hukum biasanya merupakan
penjelasan tertulis yang dibuat oleh Hakim. Penjelasan tertulis tersebut menyatakan peranan Para Hakim dalam menyelesaikan perkara. Penjelasan
Tertulis tersebut dibuat berdasarkan pada rasionalitas dan prinsip hukum yang mengarahkan mereka kepada peraturan yang dibuat. Pendapat biasanya diterbitkan
dengan arahan dari pengadilan dan hasilnya mengandung pernyataan tentang apa
Universitas Sumatera Utara
xliv
itu hukum dan bagaimana seharusnya hukum tersebut diinterpretasikan. Para Hakim Pengadilan tersebut biasanya kemudian melakukan penegakkan kembali,
perubahan, dan penerbitan terhadap hal-hal yang dapat dijadikan sebagai panutan atau teladan dalam hukum.
Pendapat atau Opini dalam hukum tersebut dikenal dengan istilah Legal Opinion. Legal Opinion dapat diterjemahkan secara sederhana sebagai pendapat
hukum. Pada negara–negara yang menganut Sistem Hukum Anglo Saxon, Legal Opinion tersebut terdiri dari :
1. Judicial Opinion adalah pernyataan atau pendapat atau putusan hakim di dalam memutuskan perkara atau kasus, baik kasus perdata maupun
pidana. 2. Majority Opinion adalah pendapat hakim yang disetujui oleh mayoritas
dari para hakim pengadilan. 3. Dissenting Opinion adalah perbedaan pendapat.
4. Plurality Opinion adalah pendapat yang berasal dari suatu kelompok dari lingkungan peradilan, yang kerapkali dalam pengadilan banding, dimana
tidak terdapat pendapat tunggal yang diterima yang didukung oleh kelompok mayoritas di pengadilan.
5. Concuring Opinion adalah pendapat tertulis dari beberapa hakim pengadilan yang setuju dengan kelompok mayoritas di pengadilan tetapi
menuangkannya dengan cara yang berbeda. 6. Memorandum Opinion adalah pendapat yang dikeluarkan oleh lembaga
peradilan tertinggi kepada lembaga peradilan yang lebih rendah berupa catatan atau memo.
26
Namun, dalam kajian singkat ini akan dibahas lebih jauh tentang Dissenting Opinion. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya Dissenting Opinion adalah
merupakan perbedaan pendapat yang terjadi antara Majelis Hakim yang menangani suatu kasus tertentu dengan Majelis Hakim lainnya yang menangani kasus tertentu
lainnya. Majelis hakim yang menangani suatu perkara menurut kebiasaan dalam
26
Sie Infokum – Ditama Binbangku, “Dissenting Opinion”, http:www.jdih.bpk.go.id
, Diakses tanggal 10 Juni 2012.
Universitas Sumatera Utara
xlv
hukum acara berjumlah 3 tiga orang, dari ketiga orang anggota majelis hakim ini apabila dalam musyawarah menjelang pengambilan putusan terdapat perbedaan
pendapat diantara satu sama lain maka putusan akan diambil dengan jalan voting atau kalau hal ini tidak memungkinkan, pendapat hakim yang paling
menguntungkan bagi terdakwa yang akan dipakai dalam putusan. Sedangkan bagi hakim anggota yang kalah suara dalam menentukan putusan, harus menerima
pendapat mayoritas majelis hakim dan dapat menuliskan pendapatnya yang berbeda dengan putusan dalam buku khusus yang dikelola oleh Ketua Pengadilan
Negeri dan bersifat rahasia. Dissenting Opinion itu sendiri lebih sering digunakan di negara-negara
yang menganut Sistem Hukum Anglo Saxon seperti Amerika Serikat dan Kerajaan Inggris. Pada Sistem Hukum tersebut Dissenting Opinion digunakan jika terjadi
perbedaan pendapat antara seorang Hakim dengan Hakim lain yang putusannya bersifat mayoritas. Pendapat Hakim yang berbeda dengan putusan tersebut akan
ikut dilampirkan dalam putusan dan menjadi Dissenting Opinion. Di Amerika Serikat yang menjadi perdebatan oleh para hakim adalah kasus yang diperiksa. Hal
tersebut dimaksudkan agar terciptanya suatu hukum baru karena secara prinsip para hakim tersebut berpegang teguh pada pemikiran Judge Made Law. Dimana
para hakim tersebut dituntut untuk senantiasa dapat menjawab dan memberikan kepastian hukum terhadap permasalahan-permasalahan yang timbul dalam
masyarakat. Berlainan halnya dengan sistem Eropa Kontinental yang bersifat tetap,
dimana dalam proses peradilannya tidak menggunakan sistem juri tetapi segala
Universitas Sumatera Utara
xlvi
sesuatunya kembali kepada ketentuan undang-undang, sehingga yang diperdebatkan oleh para hakim seharusnya adalah pasal-pasal dalam undang-
undang yang didakwakan kepada terdakwa. Namun, sebenarnya pada negara– negara yang menganut sitem hukum Eropa Kontinental seperti Indonesia dan
Belanda, penerapan Dissenting Opinion sangatlah tidak mungkin untuk dilakukan karena tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan dan juga terdapat
ketentuan dalam Buku II MA yang melarang penggunaan Dissenting Opinion tersebut. Walaupun demikian Dissenting Opinion itu sendiri bukan merupakan
suatu hal yang baru khususnya dalam komunitas masyarakat hukum yang secara tatanan keilmuan telah mempelajari teori – teori maupun aplikasinya dalam bidang
hukum. Meskipun bukan merupakan suatu hal yang baru dalam catatan teori maupun praktek hukum, namun dirasakan sangatlah perlu untuk diberikan suatu
perspektif yang jelas tentang penggunaan mekanisme Dissenting Opinion. Seiring dengan perkembangan zaman, dimana muncul banyak sekali kasus-
kasus yang menuntut kecermatan dari para hakim dalam memutuskannya maka di indonesia diterapkan juga penggunaan Dissenting Opinion tersebut. Selain itu,
penerapan Dissenting Opinion tersebut juga dilatarbelakangi oleh sebuah pemikiran sederhana yang menyatakan bahwa sebuah putusan itu baru bisa disebut
adil apabila setiap hakim bisa menggunakan haknya untuk mengungkapkan pandangannya secara bebas, terbuka dan jujur dengan tentunya menggunakan
pertimbangan hukum, sampai dihasilkan satu putusan yang bersifat kolektif. Indonesia istilah Dissenting Opinion mulai mencuat dikarenakan kasus-
kasus korupsi yang ditangani oleh Mahkamah Agung MA. Namun, sampai saat
Universitas Sumatera Utara
xlvii
ini di negara kita belum ada aturan yang khusus mengatur tentang Dissenting Opinion tersebut. Untuk itu diperlukan adanya peraturan tentang Pelaksanaan
Dissenting Opinion dalam Hukum Acara Pidana. Hal ini dapat dilakukan dengan merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP UU. Nomor 8
Tahun 1981 yang didalamnya tidak mengatur tentang Dissenting Opinion itu sendiri. Di negara Indonesia keharusan majelis hakim untuk memuat pendapat
hakim yang berbeda dalam putusan diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yaitu pada Pasal 30 ayat 2 yang menetapkan
bahwa dalam musyawarah pengambilan putusan setiap Hakim Agung wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang
diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. Kemudian pada ayat 3 ditambahkan bahwa, dalam hal musyawarah tidak dicapai mufakat bulat,
pendapat Hakim Agung yang berbeda wajib dimuat dalam putusan. Namun, terjadi perbedaan dalam penerapan Dissenting Opinion pada Lembaga-Lembaga
Yudikatif di negara kita khususnya dalam hal model pencatuman Dissenting Opinion itu sendiri. Perbedaan tersebut dapat ditemukan pada Pengadilan Niaga
dan pada Mahkamah Konstitusi : 1. Pada Pengadilan Niaga, model pencatuman Dissenting Opinion terpisah dari
putusan. 2. Pada Mahkamah Konstitusi, Dissenting Opinion merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari putusan.
27
Diperlukan penyeragaman model pencatuman Dissenting Opinion dalam
27
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
xlviii
suatu peraturan yang khusus mengatur tentang Dissenting Opinion tersebut. Namun, sebelum memasukkan Dissenting Opinion dalam Peraturan Perundang-
Undangan kita terlebih dahulu harus mengetahui adakah nilai-nilai positif atau manfaat yang dapat kita peroleh dari penggunaan Dissenting Opinion tersebut.
Apakah Dissenting Opinion dapat bermanfaat bagi perkembangan hukum negara kita. Pada Kenyataanya keinginan memasukan Dissenting Opinion dalam KUHAP
di latarbelakangi oleh karena Dissenting Opinion dirasakan mempunyai manfaat dan nilai-nilai positif yang dapat
digunakan oleh masyarakat untuk mengontrol Hakim. Nilai-nilai positif yang bisa diambil dari pelaksanaan Dissenting Opinion,
yaitu : 1. dapat diketahui pendapat Hakim yang berbobot, dalam upaya hukum banding
atau kasasi akan menjadi pertimbangan pendapat Hakim mana dalam majelis tingkat pertama yang sejalan dengan putusan banding atau kasasi tersebut.
2. sebagai indikator untuk menetukan jejang karir Hakim, karena dari sinilah dapat dijadikan pijakan bersama dalam standar penentuan pangkat dan jabatan,
sehingga untuk mengukur prestasi Hakim tidak hanya dilihat dari segi usia dan etos kerja semata. Akan tetapi juga mulai dipikirkan penilaian prestasi Hakim
berdasarkan kualitas putusan Hakim. 3. sebagai upaya untuk menghindari kecurigaan dari masyarakat terhadap praktek
Korupsi,Kolusi dan Nepotisme KKN dan Mafia Peradilan. 4. dengan Dissenting Opinion dapat diketahui apakah putusan Hakim tersebut
sesuai dengan Aspirasi Hukum yang berkembang dalam masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
xlix
5. Dissenting Opinion juga dapat dipakai untuk mengatur apakah suatu Peraturan Perundang-Undangan cukup responsif.
Nilai-nilai positif tersebut di atas baru dapat diwujudkan jika kebijakan untuk memberlakukan Dissenting Opinion tersebut didukung juga dengan adanya
kemudahan bagi masyarakat untuk mendapatkan salinan putusan pengadilan. Karena jika tidak, maka Dissenting Opinion tidak dapat dilaksanakan oleh
masyarakat karena masyarakat tidak dapat mengetahui dan menilai pendapat Hakim yang berbeda dengan putusan.
Di Indonesia terdapat 2 dua contoh penggunaan Dissenting Opinion dalam sejarah peradilan ditingkat kasasi yaitu :
1. Dissenting Opinion yang dilakukan oleh Hakim Agung, Artidjo Alkostar pada kasus Bank Bali pada akhir Juni 2001. Putusan Majelis Kasasi yang
membebaskan Joko S. Tjandra terdakwa tindak korupsi dalam kasus Bank Bali. Sebagai anggota Majelis, Artidjo mengeluarkan Dissenting
Opinion atas putusan yang didukung dua anggota Majelis lain tersebut. Dissenting Opinion Artidjo sebenarnya tidak dicantumkan dalam berkas
putusan, namun dengan inisiatif sendiri Hakim Agung nonkarier itu membeberkan isi perbedaan pendapat itu kepada masyarakat, khususnya
pers.
2. Contoh lainnya terjadi sekitar April 2002. Mahkamah Agung MA mengeluarkan putusan kasasi yang disertai Dissenting Opinion yaitu
menolak permohonan kepailitan oleh PT. Bank Niaga Tbk terhadap PT Barito Pacific Timber Tbk. Maju selangkah dibandingkan dengan perkara
Bank Bali, putusan Majels untuk perkara kepailitan ini secara tegas mencantumkan pendapat seorang Hakim Agung yang berbeda sebagai
Dissenting Opinion, namun sayangnya nama si Hakim Agung tidak disebutkan.
28
Kedua contoh tersebut di atas, meski masih bersifat terobosan baru, namun dapat dijadikan titik awal untuk pemberlakuan sistem Dissenting Opinion di
lingkungan peradilan MA. Dissenting Opinion itu sendiri sebenarnya merupakan
28
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
l
satu aspek hukum yang juga perlu untuk dikritisi guna mencegah terbentuknya opini yang keliru di kalangan masyarakat. Hal tersebut
disebabkan karena dewasa ini sudah mulai terbentuk persepsi bahwa Dissenting Opinion adalah suatu rekayasa hukum, yang bukannya berupaya menegakkan
supremasi hukum tetapi malah menjadi media yang memberi kesempatan bagi para terdakwa korupsi bahkan para Koruptor-Koruptor Kakap terlepas dari jeratan
pidana. Misalnya kasus Korupsi Akbar Tandjung. Akbar Tandjung didakwa sebagai terdakwa utama dalam kasus penggelapan dana Bulog, tetapi justru dapat
menghirup udara kebebasan, sedangkan pihak-pihak yang bukan merupakan terdakwa utama malah mendekam di dalam penjara. Hal tersebut dikarenakan
kontribusi Majelis Hakim tingkat kasasi yang ternyata terdapat perbedaan pendapat. Oleh karena itu, dipandang sangatlah perlu untuk segera dirampungkan
revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP yang salah satu pasalnya direncanakan mengatur tentang Dissenting Opinion. Dengan demikian,
diharapkan agar Dissenting Opinion tersebut dapat diterapkan dengan baik oleh Para Hakim pada Lembaga-Lembaga Yudikatif, dalam rangka menegakkan
supremasi hukum khususnya dalam menciptakan transparansi informasi di dunia peradilan di Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
li
BAB III DISSENTING OPINION DALAM PERKARA PAILIT