Suatu Tinjauan Terhadap Penerapan Dissenting Opinion Dalam Penyelesaian Perkara Kepailitan
SUATU TINJAUAN TERHADAP PENERAPAN
DISSENTING OPINION DALAM PENYELESAIAN
PERKARA KEPAILITAN
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Hukum
Oleh :
Abdul Rifai Siregar NIM : 070200029
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
(2)
ii
SUATU TINJAUAN TERHADAP PENERAPAN
DISSENTING OPINION DALAM PENYELESAIAN
PERKARA KEPAILITAN
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Hukum
Oleh :
Abdul Rifai Siregar NIM : 070200029
Disetujui oleh:
Ketua Departemen Hukum Keperdataan
Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum NIP. 196603031985081001 Pembimbing I
Sinta Uli Pulungan, SH, M.Hum NIP: 195506261986012001
Pembimbing II
Ramli Siregar, SH, M.Hum NIP: 195303121983031002
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
2 0 1 2
(3)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang
telah melimpahkan rakhmat, taufik dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian tingkat
Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini
berjudul “Suatu Tinjauan Terhadap Penerapan Dissenting Opinion Dalam
Penyelesaian Perkara Kepailitan”.
Di dalam menyelesaikan skripsi ini, telah banyak mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terima-kasih yang sebesar-besarnya kepada :
- Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara Medan.
- Bapak Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum, sebagai Ketua Departemen Hukum
Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
- Ibu Sinta Uli, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I Penulis.
- Bapak Ramli Siregar, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II Penulis.
- Bapak dan Ibu Dosen serta semua unsur staf administrasi di Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
- Rekan-rekan se-almamater di Fakultas Hukum khususnya dan Umumnya
(4)
iv
Pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan rasa terima-kasih yang
tiada terhingga kepada Ayahanda dan Ibunda, semoga kebersamaan yang kita
jalani ini tetap menyertai kita selamanya.
Demikianlah penulis niatkan, semoga tulisan ilmiah penulis ini dapat bermanfaat
bagi kita semua.
Medan, Juni 2012
Penulis
Abdul Rifai Siregar NIM : 070200029
(5)
DAFTAR ISI
halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
ABSTRAKSI ... v
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan ... 6
C. Tujuan Penulisan ... 7
D. Manfaat Penulisan ... 7
E. Metode Penelitian ... 7
F. Keaslian Penulisan... 8
G. Sistematika Penulisan ... 9
BAB II. LANDASAN KEPAILITAN DAN PENGADILAN NIAGA ... 11
A. Pengertian Kepailitan dan Syarat Pailit ... 11
B. Dasar Hukum kepailitan Menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 dan Permohonan Pailit ... 18
C. Upaya Hukum Dalam Kepailitan ... 27
D. Pengadilan Niaga dan Dissenting Opinion ... 34
BAB III DISSENTING OPINION DALAM PERKARA PAILIT ... 48
A. Tugas Hakim Pada Pengadilan Niaga Dalam Kasus Kepailitan ... 48
(6)
vi
B. Pengaturan Dissenting Opinion ... 52
C. Kaitan Dissenting Opinion Dalam Kepailitan ... 59
BAB IV. SUATU TINJAUAN TERHADAP PENERAPAN DISSENTING OPINION DALAM PENYELESAIAN PERKARA KEPAILITAN ... 68
A. Sebab Timbul Dissenting Opinion Dalam Perkara Kepailitan ... 68
B. Syarat-Syarat Yang Diperlukan Dalam Suatu Putusan Perkara Kepailitan Yang Terdapat Dissenting Opinion ... 78
C. Kasus dan Penerapan Dissenting Opinion ... 83
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 94
A. Kesimpulan ... 94
B. Saran ... 94
DAFTAR PUSTAKA
(7)
ABSTRAK
SUATU TINJAUAN TERHADAP PENERAPAN DISSENTING OPINION DALAM PENYELESAIAN PERKARA KEPAILITAN
Sistem pemeriksaan di tingkat Pengadilan, termasuk Pengadilan Niaga mengkondisikan adanya tiga hakim yang memeriksa suatu perkara kepailitan. Perubahan kondisi peradilan Indonesia khususnya dengan keluarnya Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman memberikan konstribusi terjadinya perbedaan pendapat para hakim yang memeriksa suatu perkara termasuk perkara kepailitan dalam hal menjatuhkan putusan. Perbedaan pendapat dalam memutuskan suatu perkara inilah yang disebut dengan istilah “dissenting opinion ”.
Dalam penelitian ini diajukan rumusan masalah mengapa timbul dissenting
opinion dalam perkara kepailitan dan apakah syarat-syarat yang diperlukan dalam
suatu putusan perkara kepailitan yang terdapat dissenting opinion.
Setelah dilakukan penelitian dan pengumpulan data maka diketahui bahwa timbulnya dissenting opinion dalam perkara kepailitan secara umum adalah disebabkan kebebasan hakim dalam memutuskan perkara yang dibatasi oleh ketentuan perundang-undangan. Sedangkan secara khususnya timbulnya dissenting opinion dalam perkara kepailitan adalah disebabkan adanya perbedaan latar belakang hakim yang memeriksa perkara kepailitan tersebut yaitu adanya hakim karir dan hakim ad-hoc.Syarat-syarat yang diperlukan dalam suatu putusan perkara kepailitan yang terdapat dissenting opinion adalah putusan dissenting
opinion tersebut dibuat dalam bentuk lampiran yang memuat pernyataan tegas dari
hakim Anggota/ketua yang membuat dissenting opinion tersebut, bahwa putusan adalah sah dan mengikat. Lampiran tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari naskah putusan. Hakim yang membuat dissenting opinion tetap harus menandatangani putusan tersebut dan tetap terikat pada bunyi diktum putusan tersebut.
Dalam penelitian ini juga disarankan Kepala pelaksana pengambil keputusan khususnya dalam pembuatan undang-undang tentang pengaturan perihal timbulnya dissenting opinion khususnya dalam perkara kepailitan hendaknya mengatur secara sempurna tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh hakim pengadilan jika terdapat dissenting opinion.
(8)
vii ABSTRAK
SUATU TINJAUAN TERHADAP PENERAPAN DISSENTING OPINION DALAM PENYELESAIAN PERKARA KEPAILITAN
Sistem pemeriksaan di tingkat Pengadilan, termasuk Pengadilan Niaga mengkondisikan adanya tiga hakim yang memeriksa suatu perkara kepailitan. Perubahan kondisi peradilan Indonesia khususnya dengan keluarnya Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman memberikan konstribusi terjadinya perbedaan pendapat para hakim yang memeriksa suatu perkara termasuk perkara kepailitan dalam hal menjatuhkan putusan. Perbedaan pendapat dalam memutuskan suatu perkara inilah yang disebut dengan istilah “dissenting opinion ”.
Dalam penelitian ini diajukan rumusan masalah mengapa timbul dissenting
opinion dalam perkara kepailitan dan apakah syarat-syarat yang diperlukan dalam
suatu putusan perkara kepailitan yang terdapat dissenting opinion.
Setelah dilakukan penelitian dan pengumpulan data maka diketahui bahwa timbulnya dissenting opinion dalam perkara kepailitan secara umum adalah disebabkan kebebasan hakim dalam memutuskan perkara yang dibatasi oleh ketentuan perundang-undangan. Sedangkan secara khususnya timbulnya dissenting opinion dalam perkara kepailitan adalah disebabkan adanya perbedaan latar belakang hakim yang memeriksa perkara kepailitan tersebut yaitu adanya hakim karir dan hakim ad-hoc.Syarat-syarat yang diperlukan dalam suatu putusan perkara kepailitan yang terdapat dissenting opinion adalah putusan dissenting
opinion tersebut dibuat dalam bentuk lampiran yang memuat pernyataan tegas dari
hakim Anggota/ketua yang membuat dissenting opinion tersebut, bahwa putusan adalah sah dan mengikat. Lampiran tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari naskah putusan. Hakim yang membuat dissenting opinion tetap harus menandatangani putusan tersebut dan tetap terikat pada bunyi diktum putusan tersebut.
Dalam penelitian ini juga disarankan Kepala pelaksana pengambil keputusan khususnya dalam pembuatan undang-undang tentang pengaturan perihal timbulnya dissenting opinion khususnya dalam perkara kepailitan hendaknya mengatur secara sempurna tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh hakim pengadilan jika terdapat dissenting opinion.
Kata Kunci: Dissenting Opinion, perkara, Kepailitan
(9)
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang
Globalisasi ditandai dengan berakhirnya perang dingin, peningkatan
perdagangan internasional, revolusi teknologi komunikasi, kemajuan bidang
transportasi, dan meningkatnya kreativitas perekonomian dengan menggunakan
komputer dan internet. Lebih dari itu sistem yang berlaku akan berubah lebih
efisien dan produktif. Peradilan juga akan terkena dampak globalisasi. Hal ini
diungkapkan Hilario G, yaitu:
“Globalisasi adalah pergerakan ekonomi dari masa depan. Dunia Global
menyodorkan banyak kesempatan untuk mencapai peradilan yang independen.
Dalam kalimat yang senapas, hal itu juga mengandung jebakan riil yang akan
mengikis independensi peradilan itu sendiri.”1
Banyak negara, khususnya negara berkembang, harus menyesuaikan diri
dan memperbaharui sistem peradilan mereka, karena desakan kebutuhan
internasional, yakni masuknya perusahaan-perusahaan asing (multinasional).
Kondisi ini ditenggarai sebagai salah satu faktor pendorong perbaikan instrumen
badan peradilan di negara berkembang, termasuk di Indonesia.
Gejolak moneter pada pertengahan tahun 1997 menimbulkan kesulitan
besar bagi perekonomian nasional, terlebih lagi muncul kondisi sebagian pelaku
usaha/debitor tidak mampu memenuhi kewajiban pembayaran utang kepada para
1
Diani, “Eksistensi Pengadilan Niaga Dan Perkembangannya Dalam Era Globalisasi, Direktorat Hukum Dan Hak Asasi Manusia”, http\\www.google.com.dessendingopinion, Diakses tanggal 23 Juni 2012.
(10)
ix
lembaga pembiayaan/kreditor. Hal ini merupakan akibat ekspansi usaha yang
mereka lakukan. Untuk mengatasi persoalan tersebut, pada 22 April 1998
pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)
Nomor 1 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Kepailitan yang
kemudian disahkan menjadi Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang
Kepailitan (selanjutnya disingkat UUK) pada 24 Juli 1998, UUK merupakan
penyempurnaan dari Failissement Verordening Staatsblad tahun 1905 Nomor 217
jo. Staatsblad tahun 1906 No. 348. Tetapi undang-undang tersebut hanya berlaku
beberapa tahun saja karena dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, maka
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tersebut dicabut.
UUK diharapkan menjadi sarana yang selanjutnya dicabut dengan efektif
yang dapat digunakan secara cepat sebagai landasan penyelesaian utang-piutang.
Salah satu soal penting setelah penyempurnaan peraturan kepailitan adalah
pembentukan Pengadilan Niaga sebagai pengadilan khusus dalam lingkungan
Peradilan Umum. Pengadilan Niaga yang pertama dibentuk adalah Pengadilan
Niaga Jakarta Pusat.
Selanjutnya berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 97 tahun 1999, 18
Agustus 1998, didirikan Pengadilan Niaga di Makassar, Surabaya, Medan, dan
Semarang. Pengadilan Niaga sangat diperlukan untuk menyelesaikan
sengketa-sengketa niaga secara cepat; juga menyelesaikan aneka masalah kepailitan, seperti
masalah pembuktian, verifikasi utang, actio pauliana, dan lain sebagainya.
Sistem pemeriksaan di tingkat Pengadilan, termasuk Pengadilan Niaga
(11)
mengkondisikan adanya tiga hakim yang memeriksa suatu perkara kepailitan.
Perubahan kondisi peradilan Indonesia khususnya dengan keluarnya
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 14 ayat
(3) dan (4) memberikan konstribusi terjadinya perbedaan pendapat para hakim
yang memeriksa suatu perkara termasuk perkara kepailitan dalam hal menjatuhkan
putusan. Perbedaan pendapat dalam memutuskan suatu perkara inilah yang disebut
dengan istilah “dissenting opinion ”.
Majelis hakim yang menangani suatu perkara menurut kebiasaan dalam
hukum acara adalah berjumlah 3 (tiga) orang, dari ketiga orang anggota majelis
hakim ini apabila dalam musyawarah menjelang pengambilan putusan terdapat
perbedaan pendapat diantara satu sama lain maka putusan akan diambil dengan
jalan voting atau kalau hal ini tidak memungkinkan, pendapat hakim yang paling
menguntungkan bagi terdakwa yang akan dipakai dalam putusan. Sedangkan bagi
hakim anggota yang kalah suara dalam menentukan putusan, dirinya harus
menerima pendapat mayoritas majelis hakim dan dapat menuliskan pendapatnya
yang berbeda dengan putusan dalam buku khusus yang dikelola oleh Ketua
Pengadilan Negeri dan bersifat rahasia.
Kerahasiaan pendapat hakim yang kalah suara dalam menentukan putusan,
sebagaimana yang tertuang dalam Buku II MA tentang Pedoman Pelaksanaan
Tugas dan Administrasi Pengadilan telah membuat peradilan menjadi tidak terbuka
dan masyarakat yang menaruh harapan tinggi terhadap para hakim untuk mencari
keadilan semakin tidak percaya lagi pada dunia peradilan, timbul kecurigaan dari
(12)
xi
Permasalahan inilah yang hendak Penulis kaji secara mendalam, kaitannya
dengan pencantuman perbedaan majelis hakim dalam putusan (Dissenting
Opinion) dikaitkan dalam perkara kepailitan. Berangkat dari hal tersebut, Penulis
berharap bahwa dengan penulisan Tugas Akhir (skripsi) ini, kita akan mengetahui
dan memahami penerapan praktis Dissenting Opinion dalam lingkup Hukum Acara
Pengadilan Niaga dalam perkara kepailitan serta mengetahui arti pentingnya
Dissenting Opinion dalam rangka penegakkan supremasi hukum di Indonesia
khususnya dalam menciptakan peradilan yang terbuka dan transparan.
Secara umum dapat dijabarkan, bahwa di negara yang menganut Sistem
Hukum Anglo Saxon meskipun seorang hakim yang memiliki pendapat yang
berbeda dengan putusan hakim mayoritas, dirinya harus mengalah dan mengakui
putusan hakim mayoritas tetapi pendapat dari hakim yang berbeda dengan putusan
akan ikut dilampirkan dalam putusan dan menjadi Dissenting Opinion. Belajar dari
sini, hakim tidak selalu terpaku pada sistem hukum yang ada, untuk mewujudkan
keadilan para hakim berkewajiban menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai
hukum yang ada dalam masyarakat atau dengan kata lain melakukan terobosan
hukum agar tidak terjadi kekosongan hukum.
Pelaksanaan Dissenting Opinion sebagai salah satu terobosan hukum yang
tidak memungkinkan untuk dilakukan pada Sistem Hukum Eropa Kontinental
seperti Indonesia, karena selain Peraturan Perundang-undangannya yang sudah
ada, juga ketentuan yang ada dalam Buku II MA melarang untuk dilakukan
Dissenting Opinion tetapi ternyata hakim ad hoc yang menangani perkara
kepailitan dapat melakukan Dissenting Opinion dengan dasar penguat PERMA
(13)
Nomor. 2 tahun 2000 tentang Perubahan dan Penyempurnaan PERMA Nomor 3
tahun 1999 tentang Hakim Ad Hoc yang dibuat MA untuk mengisi kekosongan
hukum dalam hal mengatur Dissenting Opinion.
Nilai-nilai positif yang bisa diambil dari pelaksanaan Dissenting Opinion
selain dapat digunakan masyarakat untuk mengontrol hakim adalah :
1) Akan diketahui pendapat hakim yang berbobot, dalam upaya hukum banding
atau kasasi akan menjadi pertimbangan pendapat hakim mana dalam majelis
tingkat pertama yang sejalan dengan putusan banding atau kasasi tersebut.
2) Untuk indikator menentukan jenjang karir hakim, karena dari sinilah bisa
dijadikan pijakan bersama dalam standar penentuan pangkat dan jabatan,
sehingga untuk mengukur prestasi hakim tidak hanya dilihat dari segi usia dan
etos kerja semata. Akan tetapi juga mulai dipikirkan penilaian prestasi hakim
berdasarkan kualitas putusan hakim.
3) Sebagai upaya untuk menghindari kecurigaan dari masyarakat terhadap praktek
KKN dan mafia peradilan.
4) Bahwa dengan Dissenting Opinion, bisa diketahui apakah putusan hakim
tersebut sesuai dengan aspirasi hukum yang berkembang dalam masyarakat.
5) Dissenting Opinion juga dapat dipakai mengukur apakah suatu Peraturan
Perundang-undangan cukup responsif.
Kebijakkan untuk memberlakukan Dissenting Opinion, harus didukung
juga kemudahan bagi masyarakat untuk mendapatkan salinan putusan pengadilan,
karena kalau saja masyarakat tetap kesulitan untuk mendapatkan salinan putusan
(14)
xiii
takkan berarti karena masyarakat tetap saja kesulitan untuk mengetahui pendapat
hakim yang berbeda dengan putusan.
Tentunya banyak kondisi dari perubahan dan perkembangan hukum di
Indonesia yang memberikan pengaruh terhadap terjadinya dissenting opinion.
Dalam hukum kepailitan khususnya dengan dibentuknya Pengadilan Niaga sebagai
pengadilan yang berwenang memeriksa perkara kepailitan maka keadaan ini juga
sangat memberikan andil yang besar terjadinya dessending opinion. Belum lagi
dicampurnya antara Hakim Ad-Hoc dengan Hakim Karir dalam memeriksa suatu
perkara kepailitan tentunya sangat sensitif dalam melahirkan perbedaan pendapat
para hakim dalam memutuskan suatu perkara kepailitan.
Kondisi apapun yang diciptakan dari keadaan di atas tentunya suatu hal
yang perlu diamati dalam proses hukum kepailitan yaitu tercapai dan terpenuhinya
kepentingan hukum pihak-pihak yang berperkara dalam suatu proses pemeriksaan
perkara di tingkat Pengadilan Niaga.
Permasalahan
Dalam setiap pelaksanaan penelitian penting diuraikan identifikasi
masalah, karena dengan demikian dapat diketahui pembatasan dari pelaksanaan
penelitian dan juga pembahasan yang akan dilakukan.
1. Apakah penyebab timbul dissenting opinion dalam hal pelaksanaan
permusyawaratan pengambilan keputusan oleh para hakim yang memeriksa
perkara kepailitan?
2. Apakah syarat-syarat yang diperlukan dalam suatu putusan perkara kepailitan
yang terdapat dissenting opinion dalam pelaksanaan permusyawaratan
(15)
pengambilan keputusan oleh para hakim?
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahui sebab timbul dissenting opinion dalam perkara kepailitan.
2. Untuk mengetahui syarat-syarat yang diperlukan dalam suatu putusan perkara
kepailitan yang terdapat dissenting opinion.
Manfaat Penulisan
Adapun yang menjadi manfaat penelitian dalam hal ini adalah :
1. Secara teori untuk menambah literatur tentang peranan hakim dalam
memeriksa dan memutuskan suatu perkara kepailitan di Pengadilan Niaga
khususnya jika terdapat dissenting opinion
2. Melalui tulisan ini juga diharapkan kepada masyarakat dapat mengambil
manfaatnya terutama dalam hal berpekara di Pengadilan Niaga dalam perkara
kepailitan.
Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis mempergunakan metode yuridis
normative. Dan dalam pelaksanannya menggunakan penelitian kepustakaan
(library research), dimana sumber data diperoleh dari:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum berupa ketentuan-ketentuan tentang
(16)
xv
Hukum Perdata (BW), Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan juga
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan
bahan hukum primer berupa buku-buku bacaan, hasil karya ilmiah para sarjana
yang berhubungan dengan objek yang diteliti.
c. Bahan hukum tertier.
Bahan ini berupa keterangan tentang hal-hal yang kurang atau belum dipahami mengenai data-data hukum di atas sebagai bahan hukumpenungjang, seperti kamus hukum dan lain sebagainya.
Keaslian Penulisan
Adapun penulisan skripsi yang berjudul “Suatu Tinjauan Terhadap
Penerapan Dissenting Opinion Dalam Penyelesaian Perkara Kepailitan” ini
merupakan luapan dari hasil pemikiran penulis sendiri. Penulisan skripsi yang
bertemakan mengenai dissenting opinion, khususnya dalam perkara kepailitan dari
analisis kepustakaan di Fakultas Hukum USU tidak ditemukan, sehingga dengan
demikian kajian dan penelitian ini adalah yang pertama sekali. Sehingga penulisan
skripsi ini masih asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan
akademik.
Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa Bab, dimana dalam bab
terdiri dari unit-unit bab demi bab. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam
bentuk uraian:
(17)
Bab I. Pendahuluan
Dalam Bab ini akan diuraikan tentang uraian umum seperti penelitian
pada umumnya yaitu, Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan
Penulisan, Manfaat Penulisan, Metode Penelitian, Keaslian Penulisan
serta Sistematika Penulisan.
Bab II. Landasan Kepailitan dan Pengadilan Niaga
Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang Pengertian
Kepailitan dan Syarat Pailit, Dasar Hukum Kepailitan menurut
Undang-Undang No. 37 Tahun 2002 dan Permohonan Pailit, Upaya
Hukum Dalam kepailitan serta Pengadilan Niaga dan Dissenting
Opinion.
Bab III. Dessenting Opinion Dalam Perkara Pailit
Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang: Tugas Hakim
Pada Pengadilan Niaga Dalam Kasus Kepailitan, Pengaturan
Dissenting Opinion serta Kaitan Dissenting Opinion Dalam kepailitan.
Bab IV. Suatu Tinjauan Terhadap Penerapan Diossenting Opinion Dalam
Penyelesaian Perkara Kepailitan.
Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan terhadap permasalahan
yang diajukan yaitu Sebab Timbul Dissenting Opinion Dalam Perkara
Kepailitan serta Syarat-Syarat Yang Diperlukan Dalam Suatu Putusan
Perkara Kepailitan Yang Terdapat Dissenting Opinion serta Kasus dan
Penerapan Dissenting Opinion.
(18)
xvii
Bab ini adalah bab penutup, yang merupakan bab terakhir dimana akan
diberikan kesimpulan dan saran.
(19)
BAB II
LANDASAN KEPAILITAN DAN PENGADILAN NIAGA
A. Pengertian Kepailitan dan Syarat Pailit
Kepailitan merupakan suatu sitaan umum, atas seluruh harta kekayaan dari orang yang berutang, untuk dijual di muka umum, guna pembayaran hutang-hutangnya kepada semua kreditor, dan dibayar menurut perbandingan jumlah piutang masing-masing.
Dalam perbendaharaan bahasa Belanda, Perancis, Latin dan Inggris istilah pailit dapat ditemukan. Dalam bahasa Perancis, istilah faillite artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Orang yang mogok atau macet atau berhenti membayar utangnya disebut dengan Le
Faille. Di dalam bahasa Belanda dipergunakan istilah faillit yang mempunyai
arti ganda yaitu sebagai kata benda dan kata sifat. Sedangkan dalam bahasa Inggris digunakan istilah to fail dan kata di dalam bahasa Latin digunakan istilah failire.2
Menurut Rachmadi Usman kepailitan adalah:
Keadaan dimana seorang debitor tidak mampu melunasi hutang-hutangnya pada saat hutang tersebut jatuh tempo. Pernyataan pailit tidak boleh diputuskan begitu saja, melainkan harus dinyatakan oleh pengadilan, baik atas permohonan sendiri maupun atas permintaan seseorang atau pihak ketiga”.3
Namun demikian, umumnya orang sering menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan pailit atau bangkrut adalah suatu sitaan umum atas seluruh harta
debitor agar dicapainya perdamaian antara debitor dan para kreditor atau agar harta
tersebut dapat dibagi-bagi secara adil diantara para kreditor.4
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 tahun 2004 tentang
Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyatakan sebagai
berikut: “kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang
2
Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 2002, hal.26-27.
3
Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004, hal. 12.
4
Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis, Kepailitan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal.11.
(20)
xix
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan
Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini”.
Munir Fuady menyamakan “istilah kepailitan dengan bangkrut” manakala perusahaan (atau orang pribadi) tersebut tidak sanggup atau tidak mau membayar hutang-hutangnya. Oleh karena itu, daripada pihak kreditor ramai-ramai mengeroyok debitor dan saling berebutan harta debitor tersebut, hukum memandang perlu mengaturnya sehingga hutang-hutang debitor dapat dibayar secara tertib dan adil. Dengan demikian, yang dimaksud dengan kepailitan adalah suatu sitaan umum yang dijatuhkan oleh pengadilan khusus, dengan permohonan khusus, atas seluruh aset debitor (badan hukum atau orang pribadi) yang mempunyai lebih dari 1 (satu) hutang/kreditor dimana debitor dalam keadaan berhenti membayar hutang-hutangnya, sehingga debitor segera membayar hutang-hutangnya tersebut. 5
Pasal 24 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman berbunyi: “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang”.
Alasan-alasan permohonan kasasi atas putusan pernyataan kepailitan tidak jauh berbeda dengan alasan-alasan permohonan kasasi atas putusan perkara perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, Jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang Nomor14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, jo Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu karena: 1. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang.
2. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.
3. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan
perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang
bersangkutan.
Tata cara pengajuan permohonan kasasi perkara kepailitan diatur lebih lanjut dalam Pasal 11, dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Permohonan kasasi diajukan dalam waktu paling lambat 8 hari terhitung sejak tanggal putusan yang dimohonkan kasasi ditetapkan, dengan mendaftarkan kepada
5
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era Global, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 75.
(21)
Panitera Pengadilan Niaga yang telah menetapkan putusan atas permohonan pernyataan pailit. Panitera mendaftarkan permohonan kasasi pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan. Pemohon diberi tanda terima tertulis yang ditandatangani panitera dengan tanggal yang sama dengan tanggal pene-rimaan pendaftaran.
Pada tanggal permohonan kasasi didaftarkan, pemohon kasasi wajib menyampaikan memori kasasi kepada panitera dan salinan permohonan kasasi berikut salinan memori kasasi kepada pihak terkasasi.
Kepailitan membawa akibat hukum bagi diri yang dinyatakan pailit
menjadi tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan pengurusan dan
pemilikan terhadap aset yang dimilikinya.
Konsep dasar kepailitan sebenarnya bertitik tolak dari ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata. Pasal itu menyatakan bahwa semua barang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak milik debitor, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari menjadi jaminan bagi perikatan-perikatan perorangan debitor itu.6
Arti dari kutipan tersebut adalah sekalipun tidak diperjanjikan dengan
tegas-tegas, seorang debitor bertanggung jawab terhadap segala hartanya dengan
barang-barang yang dimilikinya baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik
yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari. Yang banyak tidak
disadari oleh orang ialah bahwa yang tidak dikatakan oleh pasal ini ialah seorang
debitor tidak dapat dituntut pertanggung jawabannya jika ia tidak memiliki barang
apapun.
Pasal 222 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan mengatakan: “Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan bahwa ia
tidak akan dapat melanjutkan membayar hutang-hutangnya yang sudah jatuh waktu
dan dapat ditagih dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran hutang,
dengan maksud pada umumnya untuk mengajukan rencana perdamaian yang
6
(22)
xxi
meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditor
konkuren”.
Dari ketentuan pasal di atas dapat dipahami bahwa pada kenyataannya
bahwa undang-undang memberikan kesempatan kepada debitor untuk melakukan
penundaan pembayaran dengan melakukan perdamaian kepada para kreditornya.
Sehubungan dengan uraian di atas maka upaya hukum lainnya dalam kepailitan
juga dikenal dengan istilah actio pauliana.
Actio Pauliana dalam kamus hukum diartikan sebagai gugatan
pembatalan, gugatan kreditor, gugatan dari pihak kreditor yang ditujukan terhadap
(perbuatan) debitor karena perbuatan itu dianggap curang dan sangat merugikan
kreditor.7
Perihal actio pauliana dapat dilihat isi Pasal 41 Undang-Undang
Kepailitan No. 37 Tahun 2004 yaitu :
(1) untuk kepentingan harta pailit dapat dimintakan pembatalan atas segala perbuatan hukum debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan kreditor, yang dilakukan sebelum pernyataan pailit ditetapkan.
(2) Pembatalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan apabila dapat dibuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum tersebut dilakukan debitor dan pihak dengan siapa perbuatan hukum itu dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor.
(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah perbuatan hukum debitor yang wajib dilakukannya berdasarkan perjanjian dan atau karena undang-undang.
Dalam Undang-Undang Kepailitan tidak ada batasan waktu saat dilakukan perbuatan hukum oleh debitor sehingga dapat dibatalkan melalui upaya actio pauliana tersebut. Karena itu hukum yang mengaturnya hanyalah hukum yang umum mengenai daluarsa suatu gugatan. Dalam hal ini, gugatan terhadap actio pauliana dapat dilakukan terhadap perbuatan yang dilakukan oleh debitor yang belum melebihi jangka waktu 1 tahun.
7
Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, Aneka Ilmu, Semarang, 1990, hal. 33.
(23)
Agar seorang debitor dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini Pengadilan Niaga, maka berbagai persyaratan juridis harus dipenuhi ketentuan dalam Bab II Pasal 2 sampai dengan Pasal 20 UU No. 37 Tahun 2004 yaitu:
a. Permohonan dari debitor (perorangan).
1) Surat permohonan bermaterai dari pengacara yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Niaga setempat.
2) Izin/kartu pengacara yang dilegalisir pada Kepaniteraan Pengadilan Niaga setempat.
3) Surat kuasa khusus.
4) Surat tanda bukti diri (KTP) suami/isteri yang masih berlaku. 5) Persetujuan suami/isteri yang dilegalisir.
6) Daftar asset dan tanggung jawab.
7) Neraca pembukuan terakhir (dalam hal perorangan memiliki perusahaan).
b. Permohonan dari debitor (Perseroan Terbatas).
1) Surat permohonan bermaterai dari pengacara yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Niaga setempat.
2) Izin/kartu pengacara yang dilegalisir pada Kepaniteraan Pengadilan Niaga setempat.
3) Surat kuasa khusus.
4) Akta pendaftaran perusahaan (tanda daftar perusahaan) yang dilegalisir (dicap) oleh Kantor Perdagangan paling lambat 1 (satu) minggu sebelum permohonan didaftarkan.
5) Putusan sah rapat umum pemegang saham (RUPS) terakhir. 6) Neraca keuangan terakhir.
7) Nama serta alamat semua kreditor dan debitor. 8) Anggaran Dasar/Anggaran rumah tangga. c. Permohonan dari debitor (Yayasan/Asosiasi).
1) Surat permohonan bermaterai dari pengacara yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Niaga setempat.
2) Izin/kartu pengacara yang dilegalisir pada Kepaniteraan Pengadilan Niaga setempat.
3) Surat kuasa khusus.
4) Akta pendaftaran yayasan/asosiasi yang dilegalisir (dicap) oleh Kantor Perdagangan paling lambat 1 (satu) minggu sebelum permohonan didaftarkan.
5) Putusan Dewan Pengurus yang memutuskan untuk mengajukan pernyataan pailit.
6) Neraca keuangan terakhir.
7) Nama serta alamat semua kreditor dan debitor.
d. Permohonan dari debitor (Kejaksaan/Bank Indonesia/Bapepam).
1) Surat permohonan bermaterai dari pengacara yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Niaga setempat.
2) Surat tugas/surat kuasa.
3) Izin/kartu pengacara yang dilegalisir pada Kepaniteraan Pengadilan Niaga setempat.
(24)
xxiii 4) Surat kuasa khusus.
5) Akta pendaftaran perusahaan/bank/perusahaan efek yang dilegalisir (dicap) oleh Kantor Perdagangan paling lambat 1 (satu) minggu sebelum permohonan didaftarkan.
6) Surat perjanjian utang.
7) Perincian utang yang telah jatuh tempo/tidak dibayar. 8) Neraca keuangan terakhir.
9) Daftar asset dan tanggung jawab.
10)Nama serta alamat semua kreditor dan debitor.
e. Permohonan dari kreditor (Kejaksaan/Bank Indonesia/Bapepam).
1) Surat permohonan bermaterai dari pengacara yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Niaga setempat.
2) Izin/kartu pengacara yang dilegalisir pada Kepaniteraan Pengadilan Niaga setempat.
3) Surat kuasa khusus.
4) Akta pendaftaran perusahaan/yayasan/asosiasi yang dilegalisir (dicap) oleh Kantor Perdagangan paling lambat 1 (satu) minggu sebelum permohonan didaftarkan.
5) Surat perjanjian utang.
6) Perincian utang yang tidak dibayar. 7) Nama serta alamat masing-masing debitor 8) Tanda kenal diri debitor.
9) Nama serta alamat mitra usaha.
10)Terjemahan dalam bahasa Indonesia dan Bahasa Inggeris oleh penterjemah resmi (jika menyangkut unsur asing).8
Dari bunyi Pasal 11 ayat (1) perihal kasasi, Pasal 14 ayat (1) perihal peninjauan kembali, dan Pasal 295 ayat (1) perihal peninjauan kembali Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terdapat dua kemungkinan upaya hukum yang dapat ditempuh oleh para pihak yang tidak puas terhadap putusan pernyataan kepailitan, yaitu upaya hukum kasasi atau peninjauan kembali.
Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menjelaskan: Upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah kasasi ke Mahkamah Agung”.
Pasal 14 ayat (1) berbunyi: “terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat diajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung”.
Pasal 295 ayat (1) berbunyi “terhadap putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat diajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”.
8
Rudhy A. Lontoh, dkk, Penyelesaian Utang Piutang, Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, 2001, hal. 3-5.
(25)
B. Dasar Hukum kepailitan Menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 dan Permohonan Pailit
Sejarah masuknya aturan-aturan kepailitan di Indonesia sejalan dengan
masuknya Wetboek Van Koophandel (KUHD) ke Indonesia. Adapun hal tersebut
dikarenakan Peraturan-peraturan mengenai Kepailitan sebelumnya terdapat dalam
Buku III KUHD. Namun akhirnya aturan tersebut dicabut dari KUHD dan
dibentuk aturan kepailitan baru yang berdiri sendiri.
Aturan mengenai kepailitan tersebut disebut dengan Failistment
Verordenning yang berlaku berdasarkan Staatblaads No. 276 Tahun 1905 dan
Staatsblaad No. 348 Tahun 1906. Arti kata Failisment Verordenning itu sendiri
diantara para sarjana Indonesia diartikan sangat beragam. Ada yang
menerjemahkan kata ini dengan Peraturan-peraturan Kepailitan(PK). Akan tetapi
Subekti dan Tjitrosidibio melalui karyanya yang merupakan acuan banyak
kalangan akademisi menyatakan bahwa Failisment Verordening itu dapat
diterjemahkan sebagai Undang-Undang Kepailitan (UUPK).
Undang-Undang Kepailitan peninggalan pemerintahan Hindia Belanda ini
berlaku dalam jangka waktu yang relatif lama yaitu dari Tahun 1905 sampai
dengan Tahun 1998 atau berlangsung selama 93 Tahun. Sebenarnya pada masa
pendudukan Jepang Aturan ini sempat tidak diberlakukan dan dibuat UU Darurat
mengenai Kepailitan oleh Pemerintah Penjajah Jepang untuk menyelesaikan
Masalah-masalah Kepailitan pada masa itu. Akan tetapi setelah Jepang
meninggalkan Indonesia aturan-aturan Kepailitan peninggalan Belanda
diberlakukan kembali.
(26)
xxv
Pada tahun 1998 dimana Indonesia sedang diterpa krisis moneter yang
menyebabkan banyaknya kasus-kasus kepailitan terjadi secara besar-besaran
dibentuklah suatu PERPU No. 1 tahun 1998 mengenai kepailitan sebagai pengganti
Undang-undang Kepailitan peninggalan Belanda. Meskipun begitu isi atau
substansi dari PERPU itu sendiri masih sama dengan aturan kepailitan terdahulu.
Selanjutnya PERPU ini diperkuat kedudukan hukumnya dengan diisahkannya UU
No. 4 Tahun 1998. Dalam perkembangan selanjutnya dibentuklah Produk hukum
yang baru mengenai Kepailitan yaitu dengan disahkannya UU No. 37 Tahun 2004
Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran sebagai pengganti UU
No. 4 tahun 1998.
Objek undang-undang kepailitan adalah Debitor, yaitu Debitor yang tidak
membayar utang-utangnya kepada para Kreditornya. Undang-undang berbagai
negara membedakan antara aturan kepailitan bagi Debitor orang perorangan
(individu) dan Debitor bukan perorangan atau badan hukum. Apakah UUK
mengatur secara berbeda-beda pula kepailitan orang perorangan dan bukan orang
perorangan.
Tidak seperti di banyak negara, terutama negara-negara yang menganut
common law system, UUK tidak membedakan aturan bagi kepailitan Debitor yang
merupakan badan hukum maupun orang perorangan (individu).
Bahwa ruang lingkup UUK meliputi baik Debitor badan hukum maupun
Debitor orang perorangan memang tidak tegas-tegas ditentukan dalam
Undang-undang tersebut, tetapi hal itu dapat disimpulkan dari bunyi pasal-pasalnya.
Misalnya dari Pasal 2 ayat (5) UUK yang mengemukakan bahwa "Dalam hal
(27)
Debitor merupakan badan hukum, maka kedudukan hukumnya adalah
sebagaimana dimaksud dalam Anggaran Dasarnya". Pasal 3 ayat (1) UUK
mengemukakan bahwa "Dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh
Debitor yang menikah, permohonan hanya dapat diajukan atas persetujuan suami
atau istri".
Kepailitan bukan saja dapat diajukan terhadap Badan Usaha Milik Swasta
atau badan-badan hukum swasta tetapi dapat juga diajukan terhadap Badan Usaha
Milik Negara (BUMN).
1. Kepailitan Holding Company.
Dapatkah permohonan pernyataan pailit diajukan terhadap suatu Holding
Company. Penulis berpendapat permohonan itu dapat saja diajukan, oleh karena
suatu Holding Company adalah suatu perusahaan.
Adalah menarik mencermati putusan Pengadilan Niaga dalam perkara Ometraco, yaitu Putusan No.3/Pailit/1998/PN.Niaga/Jkt.Pst dan No.4/Pailit/1998/PN.Niaga/Jkt.Pst yang menolak permohonan kepailitan terhadap Holding Company dengan pertimbangan bahwa seharusnya permohonan-permohonan terhadap Holding Company dan terhadap anak perusahaan tersebut diajukan dalam satu permohonan. 9
Terhadap putusan ini Kartini Muljadi, S.H., salah satu perancang Perpu No.
1 Tahun 1998, berpendapat bahwa pertimbangan Pengadilan Niaga tersebut kurang
tepat. Permohonan pailit terhadap Holding Company dan anak perusahaannya oleh
UUK tidak diwajibkan untuk diajukan dalam satu permohonan. Mereka merupakan
badan hukum yang berbeda, mempunyai Kreditor yang berbeda, mungkin pula
Holding Company adalah Kreditor dari anak perusahaannya. Penulis sangat
9
Bernadette Waluyo, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Mandar Maju, Bandung, 1999, hal. 34.
(28)
xx vii
mendukung pendapat yang dikemukakan oleh Kartini Muljadi tersebut di atas.
2. Kepailitan Bank dan Perusahaan Efek
Undang-undang Kepailitan membedakan antara Debitor bank dan bukan bank,
antara Debitor perusahaan efek dan bukan perusahaan efek. Pembedaan itu
dilakukan berkaitan dengan ketentuan undang-undang ini mengenai siapa yang
dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit. 10
3. Kepailitan Penjamin
Berkaitan dengan pemberian guarantee yang biasanya diminta oleh
perbankan dalam pemberian kredit bank, dengan undang-undang ini seorang
penjamin atau penanggung yang memberikan personal guarantee atau suatu
perusahaan yang memberikan corporate guarantee dapat dimohonkan untuk
dinyatakan pailit.
Selama ini sering tidak disadari baik oleh bank maupun oleh para pengusaha bahwa seorang personal guarantor dapat mempunyai konsekuensi hukum yang jauh apabila personal guarantor itu tidak melaksanakan kewajibannya. Konsekuensinya ialah bahwa guarantor (baik personal guarantee maupun corporate guarantee) dapat dinyatakan pailit. 11
Banyak bankir merasa bahwa personal guarantee hanya memberikan ikatan
moral saja dari penjamin (guarantor)-nya. Hal itu tidak benar. Menurut Pasal 24
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, dengan pernyataan pailit, Debitor pailit demi
hukum kehilangan hak untuk menguasai kekayaannya yang dimasukkan dalam
harta pailit terhitung sejak hari pernyataan pailit diputuskan. Dengan demikian,
10
Ibid., hal. 35.
11
Ibid., hal. 36.
(29)
seorang penjamin yang dinyatakan pailit oleh pengadilan tidak lagi dapat
melakukan bisnis untuk dan atas nama pribadinya.
Dalam KUH Perdata, penjaminan atau penanggungan diatur di dalam Pasal
1831 s.d. Pasal 1850. Dari ketentuan-ketentuan dalam KUH Perdata itu dapat
disimpulkan bahwa seorang penjamin atau penanggung adalah juga seorang
Debitor.
Penjamin atau penanggung adalah juga seorang Debitor yang berkewajiban untuk melunasi utang Debitor kepada Kreditor atau para Kreditornya apabila Debitor tidak membayar utang yang telah jatuh waktu dan atau dapat ditagih. Oleh karena penjamin atau penanggung adalah Debitor, maka penjamin atau penanggung dapat dinyatakan pailit berdasarkan UUK.12
UUK mengatur mengenai penjaminan yang diatur dalam Pasal 56. Dari
bunyi pasal-pasal tersebut tidak ternyata bahwa penjamin atau penanggung tidak
dapat diajukan permohonan pernyataan pailit terhadapnya.
Dalam putusannya No. 39K/N/1999 mengenai kepailitan antara PT Deemte
Sakti Indo melawan PT Bank Kesawan, dalam tingkat Kasasi, Majelis Hakim
Mahkamah Agung antara lain berpendapat sebagai berikut:
Bahwa i.e. Termohon sebagai guarantor telah melepaskan hak-hak istimewanya
maka kreditor dapat secara langsung menuntut Termohon untuk memenuhi
kewajibannya. Bahwa karena Termohon tidak memenuhi kewajibannya secara
suka-rela, maka Kreditor/Pemohon mohon agar Termohon dipailitkan dan
sebagaimana telah dipertimbangkan oleh Pengadilan Niaga secara tepat dan benar
Termohon telah memenuhi syarat untuk dinyatakan pailit.
Dalam putusan Mahkamah Agung yang lain mengenai kepailitan penjamin,
12
Mohammad Chaidir Ali, et al, Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Mandar Maju, Bandung, 1995, hal. 10.
(30)
xxix
yaitu Putusan No. 42K/N/1999 dalam perkara kepailitan antara (1) Bank Artha
Graha dan (2) PT Bank Pan Indonesia, Tbk. (PT Bank Panin, Tbk.) melawan (1)
Cheng Basuki dan (2) Aven Siswoyo, Majelis Hakim Kasasi mengemukakan
pendapat, sebagaimana ternyata dari pertimbangannya, sebagai berikut:
Bahwa dengan perjanjian penjaminan No. 50 dan perjanjian jaminan No. 51 (bukti
P2 dan P3) yang di antaranya menyatakan bahwa para Termohon Kasasi selaku
para penjamin melepaskan segala hak-hak yang diberikan oleh undang-undang
kepada seorang penjamin, berarti para Termohon Kasasi sebagai para penjamin
adalah menggantikan kedudukan Debitor (PT Tensindo) dalam melaksanakan
kewajiban Debitor (PT Tensindo) terhadap para Pemohon (para Pemohon Kasasi)
sehingga para Termohon (Termohon Kasasi) dapat dikategorikan sebagai debitor.
Bagaimana halnya apabila penjamin atau penanggung hanya menjamin atau
menanggung utang Debitor terhadap suatu Kreditor dan ternyata penjamin atau
penanggung itu tidak melaksanakan kewajibannya untuk membayar utang Debitor
kepada Kreditor yang dijaminnya dan ternyata Kreditor yang dijamin olehnya itu
adalah satu-satunya Kreditor baginya? Apakah terhadap penjamin atau
penanggung itu dapat diajukan permohonan pernyataan pailit? Menurut hemat
penulis apabila penjamin atau penanggung tersebut tidak memiliki lebih dari satu
Kreditor, sehingga tidak terpenuhi asas concursus creditorum sebagaimana
disyaratkan oleh Pasal 1 ayat (1) UUK, maka terhadap penjamin atau penanggung
itu tidak dapat diajukan permohonan pernyataan pailit.
Secara yuridis murni berdasarkan penafsiran gramatikal terhadap
ketentuan-ketentuan dalam UUK, seorang penanggung tidak dapat dinyatakan
(31)
pailit sebelum harta kekayaan Debitor terlebih dahulu disita dan dijual untuk
melunasi utangnya.
Hal itu sejalan dengan ketentuan Pasal 1831 KUH Perdata yang menentukan bahwa penjamin (penanggung) tidak diwajibkan membayar utang Debitor kepada Kreditor selain apabila Debitor lalai dan harta kekayaan Debitor telah terlebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya. Ketentuan Pasal 1831 KUH Perdata tersebut mensyaratkan pula bahwa penjamin atau penanggung hanya dapat dituntut untuk membayar kekurangan utang yang tidak dapat dilunasi dari hasil penjualan harta kekayaan Debitor itu. 13
Dengan demikian berdasarkan ketentuan Pasal 1831 KUH Perdata itu,
seorang penjamin atau penanggung tidak dapat dinyatakan pailit tanpa sebelumnya
menyatakan debitor pailit.14 Hak Kreditor yang ditanggung untuk menuntut
penjamin atau penanggung hanyalah apabila dari hasil likuidasi terhadap harta
kekayaan Debitor masih terdapat sisa utang yang belum lunas. Berdasarkan
ketentuan Pasal 1832 angka 4 KUH Perdata, penjamin atau penanggung tidak
dapat menuntut supaya harta kekayaan Debitor disita dan dijual terlebih dahulu
untuk melunasi utangnya apabila berada di dalam keadaan pailit.15
Sejalan dengan ketentuan Pasal 1832 angka 1 KUH Perdata, pengajuan
permohonan pernyataan pailit terhadap seorang penjamin atau penanggung dapat Dengan kata
lain, kewajiban membayar dari penjamin atau penanggung merupakan bagian dari
harta pailit seketika Debitor dinyatakan pailit oleh pengadilan. Namun ketentuan
Pasal 1832 angka 4 KUH Perdata itu tidak mengakibatkan penjamin atau
penanggung itu pailit.
13
Martiman Prodojhamidjojo, Op.Cit, hal.1.
14
Edy Putra Tje ‘Aman, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, Liberti, Yogyakarta, 1985, hal. 41.
15
J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-hak Jaminan Pribadi, Citra Aditya Bakti, 1996, Bandung:, hal. 5.
(32)
xxxi
diajukan tanpa mengajukan permohonan pailit pula kepada Debitor hanyalah
apabila penjamin atau penanggung telah melepaskan Hak Istimewanya untuk
menuntut supaya benda-benda atau, harta kekayaan Debitor disita dan dijual
terlebih dahulu.
Sejalan dengan dengan ketentuan Pasal 1832 angka 2, 3, 4, dan 5 KUH
Perdata, terhadap penjamin atau penanggung dapat diajukan permohonan
pernyataan pailit, selain karena telah melepaskan Hak Istimewanya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1832 huruf 1 KUH Perdata sebagaimana dikemukakan di
atas, apabila:
Angka 2: penjamin telah bersama-sama dengan Debitor mengikatkan
dirinya secara tanggung renteng.
Angka 3: Debitor dapat mengajukan tangkisan yang hanya menyangkut
dirinya sendiri secara pribadi.
Angka 4: Debitor berada dalam keadaan pailit.
Angka 5: penjaminan (penanggungan) tersebut telah diberikan berdasarkan
perintah pengadilan.
Masalah lain yang berkaitan dengan pengajuan permohonan perayataan
pailit terhadap penjamin atau penanggung adalah mengenai apakah permohonan
pernyataan pailit terhadap penjamin atau penanggung harus diajukan bersamaan
dengan pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap Debitor. 16
Apabila tidak terpenuhi ketentuan Pasal 1832 KUH Perdata, sehingga
dengan demikian berlaku ketentuan Pasal 1831 KUH Perdata, maka permohonan
16
Subekti, Jaminan-Jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hal. 24.
(33)
pernyataan pailit tidak boleh diajukan tanpa mengajukan pula permohonan pailit
terhadap Debitor. Bahkan terhadap penanggung tidak dapat diajukan permohonan
pernyataan pailit sebelum terbukti bahwa dari hasil penjualan harta kekayaan
Debitor yang di-nyatakan pailit itu masih terdapat sisa utang yang belum dapat
dilunasi dalam beberapa hal dapat saja diminta oleh penanggung
Perlu dicermati mengenai tanggung jawab penjamin atau penanggung sehubungan dengan ketentuan Pasal 149 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Menurut Pasal 149 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, walaupun sudah ada perdamaian, para Kreditor tetap mempunyai hak terhadap para penanggung. Lebih lanjut Pasal 149 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menentukan, hak yang dapat dilakukan terhadap barang-barang pihak ketiga tetap ada pada para Kreditor seolah-olah tidak terjadi perdamaian. 17
Dengan kata lain, terjadinya perdamaian antara Debitor dengan (para)
Kreditornya tidaklah menghapuskan tanggung jawab penanggung. Menurut hemat
penulis, pasal ini tidak boleh diartikan bahwa sekalipun telah terjadi perdamaian,
maka para Kreditor dapat mengajukan permintaan kepada penjamin atau
penanggung agar melunasi utang Debitor yang dijaminnya itu, yang notabene telah
disepakati oleh para Kreditor untuk dijadwal ulang atau direstrukturisasi
berdasarkan suatu perjanjian perdamaian.
Dengan kata lain, tidak dapat dibenarkan bahwa di satu pihak telah terjadi perdamaian antara Debitor dan para Kreditornya, sedangkan bersamaan dengan itu para Kreditor mengajukan haknya kepada penjamin atau penanggung untuk membayar utang Debitor yang telah dijadwal ulang atau direstrukturisasi. 18
Pasal tersebut harus diartikan bahwa penjaminan atau penanggungan
tidaklah batal dengan adanya perjanjian perdamaian sehingga karena itu penjamin
17
Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit, Suatu Tinjauan Yuridis, Djambatan, Jakarta, 1995, hal. 56.
18
Siti Soemarti Hartono, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Liberty, Yogyakarta, 1981, hal. 8.
(34)
xxxiii
atau penanggung tersebut tetap menjamin atau menanggung utang-utang yang telah
dijadwal ulang atau direstrukturisasi. Penjamin atau penanggung baru timbul
kewajibannya apabila Debitor kembali cidera janji karena tidak dapat memenuhi
syarat-syarat perjanjian perdamaian tersebut. Pembatalan penjaminan atau
penanggungan itu hanya dapat terjadi apabila di dalam perjanjian perdamaian
diperjanjikan dengan tegas untuk membebaskan penjamin atau penanggung dari
kewajibannya.
C. Upaya Hukum Dalam Kepailitan
Tujuan utama dalam suatu proses di muka Pengadilan adalah untuk
memperoleh putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap. Akan tetapi, setiap
putusan yang dijatuhkan oleh Hakim belum tentu dapat menjamin kebenaran
secara yuridis, karena putusan itu tidak lepas dari kekeliruan dan kekilafan, bahkan
tidak mustahil bersifat memihak. Agar kekeliruan dan kekilafan itu dapat
diperbaiki, maka demi tegaknya kebenaran dan keadilan, terhadap putusan Hakim
itu dimungkinkan untuk diperiksa ulang. Cara yang tepat untuk dapat mewujudkan
kebenaran dan keadilan itu adalah dengan melaksanakan upaya hukum.19
Demikian pula terhadap putusan dari Pengadilan Niaga dalam perkara
kepailitan. Namun, perbedaan dari Pengadilan Niaga ialah hanya tersedia upaya
hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Pengadilan Niaga disebut sebagai pengadilan
tingkat pertama dan tidak ada tingkat kedua atau sering disebut sebagai tingkat
banding. Terhadap putusan-putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
19
Kelik Pramudya, “Upaya Hukum dalam Kepailitan”
Diakses tanggal 28 Juni 2012.
(35)
tersedia upaya hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali.
Kasasi
Kasasi berasal dari bahasa Perancis : Cassation, dengan kata kerja casser,
yang berarti membatalkan atau memecahkan putusan pengadilan, karena dianggap
mengandung kesalahan dalam penerapan hukum, yang tunduk pada kasasi
hanyalah kesalahan-kesalahan di dalam penerapan hukum saja.
Sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Mahkamah Agung, bahwa salah satu tugas dan wewenang Mahkamah
Agung adalah memeriksa dan memutus permohonan kasasi. Pasal 30 ayat (1)
Undang-Undang Mahkamah Agung menyebutkan bahwa Mahkamah Agung dalam
tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari
semua lingkungan peradilan karena:
a) Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang.
b) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.
c) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-
undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang
bersangkutan.
Upaya hukum kasasi dalam kepailitan diatur dalam Pasal 11 sampai dengan
Pasal 13 Undang-Undang Kepailitan, prosesnya dapat dijelaskan sebagai berikut:
a) Pendaftaran Kasasi
Dalam perkara kepailitan permohonan kasasi dapat diajukan oleh Debitor dan
Kreditor yang berkedudukan sebagai pihak pada persidangan tingkat pertama
(36)
xxxv
pertama yang tidak puas terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit.
Permohonan kasasi dalam perkara kepalitan tidak hanya terbatas pada putusan
permohonan kepailitan tingkat pertama saja. Permohonan kasasi juga dapat
diajukan apabila rencana perdamaian ditolak oleh Pengadilan Niaga atau dalam
hal pencabutan kepailitan yang menyebabkan kepailitan berakhir. Dalam hal
demikian kreditor yang menyetujui perdamaian serta debitor pailit dapat
mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Pasal 11 Undang-Undang Kepailitan
menyebutkan bahwa permohonan kasasi diajukan paling lambat 8 (delapan)
hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan kasasi diucapkan atau, dengan
mendaftarkan kepada Panitera Pengadilan yang telah memutus permohonan
pernyataan pailit. Selanjutnya panitera mendaftar permohonan kasasi pada
tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan dan kepada pemohon
diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani panitera dengan tanggal
yang sama dengan tanggal penerimaan pendaftar.
b) Penyampaian Memori Kasasi
Pemohon kasasi wajib menyampaikan kepada Panitera Pengadilan memori
kasasi pada tanggal permohonan kasasi didaftarkan. Paling lambat 2 (dua) hari
setelah permohonan kasasi didaftarkan, panitera wajib mengirimkan
permohonan kasasi dan memori kasasi kepada pihak termohon kasasi.
c) Pengajuan Kontra Memori Kasasi
Terhadap kasasi yang diajukan oleh pemohon kasasi itu, termohon kasasi dapat
mengajukan kontra memori kasasi kepada panitera Pengadilan paling lambat 7
(tujuh) hari setelah tanggal termohon kasasi menerima memori kasasi. Panitera
(37)
Pengadilan selanjutnya wajib menyampaikan kontra memori kasasi kepada
pemohon kasasi paling lambat 2 (dua) hari setelah kontra memori kasasi
diterima.
d) Pegiriman Berkas ke Mahkamah Agung
Setelah semua berkas kasasi dari pihak pemohon maupun termohon kasasi
lengkap, panitera wajib menyampaikan permohonan kasasi, memori kasasi, dan
kontra memori kasasi beserta berkas perkara yang bersangkutan kepada
Mahkamah Agung paling lambat 14 (empat belas) hari setelah tanggal
permohonan kasasi didaftarkan. Mahkamah Agung selanjutnya akan
mempelajari permohonan itu sekaligus menetapkan hari sidang paling lambat 2
(dua) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima.
e) Sidang Pemeriksaan
Sidang pemeriksaan atas permohonan kasasi dilakukan paling lambat 20 (dua
puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah
Agung. Pemeriksaan atas permohonan kasasi dilakukan oleh sebuah majelis
hakim Mahkamah Agung yang khusus dibentuk untuk memeriksa dan
memutus perkara yang menjadi lingkup kewenangan Pengadilan Niaga.
f) Putusan Kasasi
Putusan atas permohonan kasasi harus diucapkan paling lambat 60 (enam
puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah
Agung. Putusan kasasi tersebut wajib memuat secara lengkap pertimbangan
hukum yang mendasari putusan tersebut dan harus diucapkan dalam sidang
(38)
xxxvii
Mahkamah Agung wajib menyampaikan salinan putusan kasasi kepada
Panitera pada Pengadilan Niaga paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal
putusan atas permohonan kasasi diucapkan. Salinan atas putusan kasasi
tersebut selanjutnya wajib disampaikan kepada pemohon kasasi, termohon
kasasi, Kurator, dan Hakim Pengawas paling lambat 2 (dua) hari setelah
putusan kasasi diterima.
Peninjauan Kembali
Kewenangan lain yang diberikan Undang-Undang kepada Mahkamah Agung ialah memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Peninjauan Kembali merupakan upaya hukum luar biasa, namun sebenarnya lembaga ini bertentangan dengan asas kepastian hukum. Prinsip asas kepastian hukum menentukan bahwa putusan hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap, tidak bisa diubah lagi. Asas kepastian hukum ini disebut nebis in idem, artinya tidak boleh terjadi dua kali putusan terhadap satu kasus yang sama antara dua pihak dalam perkara yang sama.
Undang-Undang memberi kesempatan untuk mengajukan peninjauan
kembali dengan segala persyaratan yang ketat. Persyaratan yang ketat tersebut
dimaksudkan untuk menerapkan asas keadilan terhadap pemberlakuan asas
kepastian hukum, karena itu peninjauan kembali berorientasi pada tuntutan
keadilan. Fungsi Mahkamah Agung dalam Peninjauan Kembali adalah
mengadakan koreksi terakhir terhadap putusan pengadilan yang mengandung
ketidakadilan yang disebabkan kesalahan dan kekhilafan hakim.
Rumusan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 memberikan
hak untuk mengajukan perninjauan kembali atas putusan pailit yang telah
berkekuatan hukum tetap. Walau demikian permohonan peninjauan kembali hanya
dapat dilakukan pada dua macam alasan saja, yang masing-masing secara khusus
telah dibatasi jangka waktu tertentu. Pasal 295 ayat (2) Undang-Undang Kepailitan
(39)
menentukan bahwa peninjauan kembali dapat diajukan dengan alasan sebagai
berikut:
a) Setelah perkara diputus ditemukan bukti baru yang bersifat menentukan yang
pada waktu perkara diperiksa di Pengadilan sudah ada, tetapi belum ditemukan.
Bukti baru tersebut apabila diketahui pada tahap persidangan sebelumnya akan
menghasilkan putusan yang berbeda. Permohonan peninjauan kembali dengan
alasan ini diajukan dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 180 (seratus
delapan puluh) hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan peninjauan
kembali memperoleh kekuatan hukum tetap.
b) Terdapat kekeliruan yang nyata pada putusan hakim sebelumnya atau hakim
telah melakukan kesalahan berat dalam penerapan hukum. Permohonan
peninjauan kembali atas dasar alasan ini, dilakukan dalam jangka waktu paling
lambat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan
peninjauan kembali memperoleh kekuatan hukum tetap.20
Prosedur permohonan peninjauan kembali diatur tersendiri pada BAB IV, Pasal 295 sampai dengan 298 Undang-Undang Kepailitan. Permohonan peninjauan kembali disampaikan kepada Panitera Pengadilan. Panitera Pengadilan mendaftar permohonan peninjauan kembali pada tanggal permohonan diajukan, dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani Panitera Pengadilan dengan tanggal yang sama dengan tanggal permohonan didaftarkan. Panitera Pengadilan menyampaikan permohonan peninjauan kembali kepada Panitera Mahkamah Agung dalam jangka waktu 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan. Pemohon peninjauan kembali wajib menyampaikan kepada Panitera Pengadilan bukti pendukung yang menjadi dasar pengajuan permohonan peninjauan kembali dan untuk termohon salinan permohonan peninjauan kembali berikut salinan bukti pendukung yang bersangkutan, pada tanggal permohonan didaftarkan. Panitera Pengadilan menyampaikan salinan permohonan peninjauan kembali berikut salinan bukti pendukung kepada termohon dalam jangka
20
(40)
xxxix
waktu paling lambat 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan. Pihak termohon dapat mengajukan jawaban terhadap permohonan peninjauan kembali yang diajukan, dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari setelah tanggal permohonan peninjauan kembali didaftarkan. Panitera Pengadilan wajib menyampaikan jawaban kepada Panitera Mahkamah Agung, dalam jangka waktu paling lambat 12 (dua belas) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.
Mahkamah Agung segera memeriksa dan memberikan putusan atas permohonan peninjauan kembali dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal permohonan diterima Panitera Mahkamah Agung. Putusan atas permohonan peninjauan kembali harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Dalam jangka waktu paling lambat 32 (tiga puluh dua) hari setelah tanggal permohonan diterima Panitera Mahkamah Agung, Mahkamah Agung wajib menyampaikan kepada para pihak salinan putusan peninjauan kembali yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut.
D. Pengadilan Niaga dan Dissenting Opinion 1. Pengadilan Niaga
Diundangkannya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, sebagai perbaikan
terhadap Undang-Undang Kepailitan sebelumnya membawa beberapa perubahan
penting. Diantaranya adalah pembentukan pengadilan niaga sebagai wadah untuk
menyelesaikan perkara kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(PKPU). Pembentukan pengadilan niaga merupakan terobosan fenomenal diantara
berbagai upaya lainnya. Pembentukan pengadilan niaga merupakan suatu langkah
awal bagi reformasi peradilan untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang
perekonomian.
Ada beberapa hal yang menjadi alasan mengapa Pengadilan Niaga perlu dibentuk. Salah satunya adalah keadaan ekonomi Indonesia saat itu yang diperkirakan akan mengalami lonjakan besar kasus kepailitan. Pembentukan Pengadilan Niaga juga dimaksudkan sebagai model percontohan bagi Pengadilan Indonesia yang dapat bekerja secara baik dan tertib.21
21
Ibid, hal. 11.
(41)
Rencana untuk memiliki institusi sejenis Pengadilan Niaga telah bergulir
sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 mengenai
Kekuasaan Kehakiman. Selain membagi kekuasaan pengadilan di 4 (empat)
lingkungan peradilan, menurut undang-undang ini juga tidak tertutup kemungkinan
diadakannya suatu pengkhususan (diferensiasi/spesialisasi) di masing-masing
lingkungan peradilan. Misalnya dalam Peradilan Umum dapat diadakan
pengkhususan berupa Pengadilan Lalu Lintas, Pengadilan Anak-anak, Pengadilan
Ekonomi, dan sebagainya sesuai dengan aturan dalam Undang Undang. Hal senada
juga ditegaskan dalam Pasal 8 UU Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
mengenai Peradilan Umum yang menyebutkan bahwa dalam lingkungan peradilan
umum dapat diadakan pengkhususan yang diatur dalam UU. Pengkhususan inilah
yang kini diwujudkan dalam bentuk Pengadilan Niaga yang kita kenal saat ini.
Kenyataan saat ini menunjukkan bahwa Pengadilan Niaga lebih diperlakukan sebagai pengkhususan pengadilan seperti yang dicontohkan oleh Pengadilan Anak daripada pengadilan pengkhususan seperti yang dicontohkan oleh Pengadilan Ekonomi di tahun 1955. Dengan demikian tak heran apabila sistem pendukung pengadilan seperti sistem kepegawaian hakim, sistem kepegawaian staf-staf pengadilan lainnya, dan sistem pengadaan infrastruktur pengadilan tunduk pada peraturan yang berlaku di Peradilan Umum. 22
Kecenderungan ini bukan saja diberlakukan pada Pengadilan Niaga saja
tetapi juga pada semua Pengadilan baru lain yang merupakan pengkhususan dari 4
lingkup Pengadilan pada UU No. 48 Tahun 2009. Hal ini menunjukkan bahwa
Pasal 25 UU No. 48 Tahun 2009 diterjemahkan sebagai suatu pengkhususan pada
prosedur suatu perkara tertentu saja tanpa kekhususan lain pada sistem pendukung
(42)
xli
semula yang memaksudkan Pengadilan Niaga untuk mendekati contoh
pengkhususan Pengadilan Ekonomi, dengan segala perangkat istimewa untuk
mengatasi perkara-perkara niaga yang dikhawatirkan dan diperkirakan akan
membludak akibat krisis ekonomi di Indonesia pada saat itu.
Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 pendirian Pengadilan Niaga
diatur, yaitu dalam Pasal 1 angka 7 yang menjelaskan “Pengadilan adalah
Pengadilan Niaga dalammlingkungan peradilan umum”. Pembentukan Pengadilan
Niaga adalah dipisahkannya yurisdiksi untuk memeriksa permohonan pailit dari
Pengadilan Negeri kepada Pengadilan Niaga. Undang-undang mengatur bahwa
dengan dibentuknya Pengadilan Niaga, maka permohonan pailit dan penundaan
kewajiban pembayaran utang hanya dapat diperiksa oleh Pengadilan Niaga.
Kompetensi absolut merupakan kewenangan memeriksa dan mengadili antar badan peradilan. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur tentang badan peradilan beserta kewenangan yang dimiliki. Pengadilan Niaga merupakan pengadilan khusus yang berada di bawah Pengadilan umum yang diberi kewenangan untuk memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Selain itu, menurut Pasal 300 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, Pengadilan Niaga juga berwenang pula memeriksa dan memutus perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan undang-undang. Perkara lain di bidang perniagaan ini misalnya, tentang gugatan pembatalan paten dan gugatan penghapusan pendaftaran merek. Kedua hal tersebut masuk ke dalam bidang perniagaan dan diatur pula dalam undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Dengan kompetensi absolut ini maka hanya Pengadilan Niaga sebagai satu-satunya badan peradilan yang berhak memeriksa dan memutus perkara-perkara tersebut.
Selain kompetensi absolut Pengadilan Niaga juga mmeiliki Kompetensi Relatif. Kompetensi relatif merupakan kewenangan atau kekuasaan mengadili antar Pengadilan Niaga. Pengadilan Niaga sampai saat ini baru ada lima. Pengadilan Niaga tersebut berkedudukan sama di Pengadilan Negeri. Pengadilan Niaga hanya berwenang memeriksa dan memutus perkara pada daerah hukumnya masing-masing. Pasal 3
22
Gunawan Widjaja, Seri Hukum Perikatan, Penanggungan Utang dan Perikatan Tanggung Menanggung, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 169.
(43)
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menyatakan bahwa putusan atas permohonan pernyataan pailit diputus oleh Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum Debitor, apabila debitor telah meninggalkan wilayah Negara Republik Indonesia, maka Pengadilan yang berwenang menjatuhkan putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir Debitor. Dalam hal debitor adalah pesero suatu firma, Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum firma tersebut juga berwenang memutuskan.
Debitor yang tidak berkedudukan di wilayah negara Republik Indonesia tetapi menjalankan profesi atau usahanya di wilayah negara Republik Indonesia, Pengadilan yang berwenang adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan atau kantor pusat Debitor menjalankan profesi atau usahanya di wilayah negara Republik Indonesia. Dalam hal Debitor merupakan badan hukum, tempat kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasarnya.23
2. Dissenting Opinion
Dissenting opinion adalah perbedaan pendapat hakim dalam memutus suatu
perkara. Dissenting opinion adalah pendapat yang berbeda dengan apa yang diputuskan dan dikemukakan oleh satu atau lebih hakim yang memutus perkara, merupakan satu kesatuan dengan putusan itu karena hakim itu kalah suara atau merupakan suara minoritas hakim dalam sebuah majelis hakim. Dissenting opinion
ini merupakan hal baru dalam sejarah peradilan Indonesia.
Setidak-tidaknya dalam kurun waktu lima tahun terakhir. “Pertama kali
dissenting opinion diperkenalkan dalam peradilan niaga yang menangani
kepailitan, kemudian diikuti Mahkamah Konstitusi, dan yang terakhir peradilan umum juga sudah mulai mengikuti dissenting opinion ini”.24 Filosofi adanya lembaga hukum dissenting opinion adalah untuk memberikan akuntabilitas kepada masyarakat pencari keadilan (justiabelen) dari para hakim yang memutus perkara. Seperti diketahui, mayoritas perkara pengadilan diputus oleh sebuah majelis hakim yang terdiri dari tiga orang hakim atau lebih.
Dalam pengambilan putusan akhir, tidak tertutup kemungkinan terjadinya perbedaan pendapat di antara majelis hakim itu. Jika terjadi perbedaan pendapat, maka putusan diambil berdasar suara terbanyak. Doktrin dissenting opinion lahir Jerman”,25 dan berkembang dalam negara-negara yang menggunakan sistem hukum Common Law, seperti di AS dan Inggris. “Doktrin itu lalu diadopsi negara-negara yang menganut sistem hukum kontinental, seperti Indonesia, Belanda, Perancis, dan
23
Ibid., hal. 159.
24
M. Hadi Shubhan, Dissenting Opinion Putusan Akbar, http\\www.google. dissentingopinion.com.diakses tanggal 1 Juli 2010.
25
(44)
xliii
Sebagaimana terjadi saat ini, tidak jarang hakim yang mempunyai integritas tinggi selalu kalah dalam voting musyawarah majelis hakim. Terhadap hakim yang mempunyai perbedaan pendapat ini disediakan sarana untuk mengungkapkan perbedaan pendapatnya yang disertai argumentasi yuridisnya dan merupakan satu-kesatuan dengan putusan, yang istilah teknis yuridisnya disebut dissenting opinion. Pada masa sebelum adanya dissenting opinion ini, hakim yang mempunyai pendapat berbeda dengan majelis tidak dapat mengemukakan pendapatnya tersebut dalam putusan sehingga pihak luar tidak akan pernah tahu apakah ada perbedaan pendapat ataukah tidak.
Sejarah peradilan hukum di Indonesia, sebelum putusan Akbar Tandjung ini, setidaknya sudah ada tujuh putusan hakim yang di dalamnya terdapat dissenting opinion. Lima putusan dari peradilan niaga, satu putusan dari peradilan umum, dan yang terakhir satu putusan dari Mahkamah Konstitusi.
Kendati sudah ada beberapa putusan dengan dissenting opinion, hal ini relatif baru dalam sejarah peradilan di Indonesia dan merupakan lompatan besar dalam dunia hukum. Dikatakan baru karena di peradilan umum, yakni peradilan yang menangani perkara pidana dan perdata, baru ada dua putusan dengan
dissenting opinion dan itu baru terjadi tahun terakhir ini serta saat ini dalam
putusan Tandjung. Yang menarik, dalam peradilan umum kini sudah ada dua putu-san hakim yang di dalamnya terdapat dissenting opinion, dan keduanya dalam kasus mega korupsi. Putusan yang pertama adalah kasus cessie Bank Bali dengan terdakwa Joko Chandra, hakim agung yang mengeluarkan dissenting opinion
adalah Artidjo Alkostar.
Putusan kedua adalah putusan Tandjung, di mana Hakim Agung Abdul Rachman Saleh membuat dissenting opinion yang intinya menganggap Tandjung melakukan perbuatan melawan hukum secara materiil. Dissenting opinion pertama kali lahir di Indonesia tidak mempunyai landasan yuridis formal. Ia lahir karena praktik hakim yang berkembang. Pertama kali lahirnya dissenting opinion dalam pengadilan niaga. Sampai saat ini sudah ada lima putusan pengadilan niaga yang memuat dissenting opinion itu. Dalam peradilan niaga sekarang sudah ada landasan yuridis untuk adanya dissenting opinion itu, yakni diatur dalam sebuah Peraturan Mahkamah Agung.
Pada negara–negara yang menganut Sistem Hukum Anglo Saxon seperti
Amerika dan Inggris, Pendapat atau Opini di bidang hukum biasanya merupakan
penjelasan tertulis yang dibuat oleh Hakim. Penjelasan tertulis tersebut
menyatakan peranan Para Hakim dalam menyelesaikan perkara. Penjelasan
Tertulis tersebut dibuat berdasarkan pada rasionalitas dan prinsip hukum yang
mengarahkan mereka kepada peraturan yang dibuat. Pendapat biasanya diterbitkan
dengan arahan dari pengadilan dan hasilnya mengandung pernyataan tentang apa
(45)
itu hukum dan bagaimana seharusnya hukum tersebut diinterpretasikan. Para
Hakim Pengadilan tersebut biasanya kemudian melakukan penegakkan kembali,
perubahan, dan penerbitan terhadap hal-hal yang dapat dijadikan sebagai panutan
atau teladan dalam hukum.
Pendapat atau Opini dalam hukum tersebut dikenal dengan istilah Legal
Opinion. Legal Opinion dapat diterjemahkan secara sederhana sebagai pendapat
hukum. Pada negara–negara yang menganut Sistem Hukum Anglo Saxon, Legal
Opinion tersebut terdiri dari :
1. Judicial Opinion adalah pernyataan atau pendapat atau putusan hakim di
dalam memutuskan perkara atau kasus, baik kasus perdata maupun pidana.
2. Majority Opinion adalah pendapat hakim yang disetujui oleh mayoritas
dari para hakim pengadilan.
3. Dissenting Opinion adalah perbedaan pendapat.
4. Plurality Opinion adalah pendapat yang berasal dari suatu kelompok dari
lingkungan peradilan, yang kerapkali dalam pengadilan banding, dimana tidak terdapat pendapat tunggal yang diterima yang didukung oleh kelompok mayoritas di pengadilan.
5. Concuring Opinion adalah pendapat tertulis dari beberapa hakim
pengadilan yang setuju dengan kelompok mayoritas di pengadilan tetapi menuangkannya dengan cara yang berbeda.
6. Memorandum Opinion adalah pendapat yang dikeluarkan oleh lembaga
peradilan tertinggi kepada lembaga peradilan yang lebih rendah berupa catatan atau memo.26
Namun, dalam kajian singkat ini akan dibahas lebih jauh tentang Dissenting
Opinion. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya Dissenting Opinion adalah
merupakan perbedaan pendapat yang terjadi antara Majelis Hakim yang menangani
suatu kasus tertentu dengan Majelis Hakim lainnya yang menangani kasus tertentu
lainnya. Majelis hakim yang menangani suatu perkara menurut kebiasaan dalam
26
Sie Infokum – Ditama Binbangku, “Dissenting Opinion Diakses tanggal 10 Juni 2012.
(46)
xlv
hukum acara berjumlah 3 (tiga) orang, dari ketiga orang anggota majelis hakim ini
apabila dalam musyawarah menjelang pengambilan putusan terdapat perbedaan
pendapat diantara satu sama lain maka putusan akan diambil dengan jalan voting
atau kalau hal ini tidak memungkinkan, pendapat hakim yang paling
menguntungkan bagi terdakwa yang akan dipakai dalam putusan. Sedangkan bagi
hakim anggota yang kalah suara dalam menentukan putusan, harus menerima
pendapat mayoritas majelis hakim dan dapat menuliskan pendapatnya yang
berbeda dengan putusan dalam buku khusus yang dikelola oleh Ketua Pengadilan
Negeri dan bersifat rahasia.
Dissenting Opinion itu sendiri lebih sering digunakan di negara-negara
yang menganut Sistem Hukum Anglo Saxon seperti Amerika Serikat dan Kerajaan
Inggris. Pada Sistem Hukum tersebut Dissenting Opinion digunakan jika terjadi
perbedaan pendapat antara seorang Hakim dengan Hakim lain yang putusannya
bersifat mayoritas. Pendapat Hakim yang berbeda dengan putusan tersebut akan
ikut dilampirkan dalam putusan dan menjadi Dissenting Opinion. Di Amerika
Serikat yang menjadi perdebatan oleh para hakim adalah kasus yang diperiksa. Hal
tersebut dimaksudkan agar terciptanya suatu hukum baru karena secara prinsip
para hakim tersebut berpegang teguh pada pemikiran Judge Made Law. Dimana
para hakim tersebut dituntut untuk senantiasa dapat menjawab dan memberikan
kepastian hukum terhadap permasalahan-permasalahan yang timbul dalam
masyarakat.
Berlainan halnya dengan sistem Eropa Kontinental yang bersifat tetap,
dimana dalam proses peradilannya tidak menggunakan sistem juri tetapi segala
(47)
sesuatunya kembali kepada ketentuan undang-undang, sehingga yang
diperdebatkan oleh para hakim seharusnya adalah pasal-pasal dalam
undang-undang yang didakwakan kepada terdakwa. Namun, sebenarnya pada negara–
negara yang menganut sitem hukum Eropa Kontinental seperti Indonesia dan
Belanda, penerapan Dissenting Opinion sangatlah tidak mungkin untuk dilakukan
karena tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan dan juga terdapat
ketentuan dalam Buku II MA yang melarang penggunaan Dissenting Opinion
tersebut. Walaupun demikian Dissenting Opinion itu sendiri bukan merupakan
suatu hal yang baru khususnya dalam komunitas masyarakat hukum yang secara
tatanan keilmuan telah mempelajari teori – teori maupun aplikasinya dalam bidang
hukum. Meskipun bukan merupakan suatu hal yang baru dalam catatan teori
maupun praktek hukum, namun dirasakan sangatlah perlu untuk diberikan suatu
perspektif yang jelas tentang penggunaan mekanisme Dissenting Opinion.
Seiring dengan perkembangan zaman, dimana muncul banyak sekali
kasus-kasus yang menuntut kecermatan dari para hakim dalam memutuskannya maka di
indonesia diterapkan juga penggunaan Dissenting Opinion tersebut. Selain itu,
penerapan Dissenting Opinion tersebut juga dilatarbelakangi oleh sebuah
pemikiran sederhana yang menyatakan bahwa sebuah putusan itu baru bisa disebut
adil apabila setiap hakim bisa menggunakan haknya untuk mengungkapkan
pandangannya secara bebas, terbuka dan jujur dengan tentunya menggunakan
pertimbangan hukum, sampai dihasilkan satu putusan yang bersifat kolektif.
Indonesia istilah Dissenting Opinion mulai mencuat dikarenakan
(48)
xlvii
ini di negara kita belum ada aturan yang khusus mengatur tentang Dissenting
Opinion tersebut. Untuk itu diperlukan adanya peraturan tentang Pelaksanaan
Dissenting Opinion dalam Hukum Acara Pidana. Hal ini dapat dilakukan dengan
merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP (UU. Nomor 8
Tahun 1981) yang didalamnya tidak mengatur tentang Dissenting Opinion itu
sendiri. Di negara Indonesia keharusan majelis hakim untuk memuat pendapat
hakim yang berbeda dalam putusan diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2004 tentang Mahkamah Agung yaitu pada Pasal 30 ayat (2) yang menetapkan
bahwa dalam musyawarah pengambilan putusan setiap Hakim Agung wajib
menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang
diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. Kemudian pada
ayat (3) ditambahkan bahwa, dalam hal musyawarah tidak dicapai mufakat bulat,
pendapat Hakim Agung yang berbeda wajib dimuat dalam putusan. Namun, terjadi
perbedaan dalam penerapan Dissenting Opinion pada Lembaga-Lembaga
Yudikatif di negara kita khususnya dalam hal model pencatuman Dissenting
Opinion itu sendiri. Perbedaan tersebut dapat ditemukan pada Pengadilan Niaga
dan pada Mahkamah Konstitusi :
1. Pada Pengadilan Niaga, model pencatuman Dissenting Opinion terpisah dari
putusan.
2. Pada Mahkamah Konstitusi, Dissenting Opinion merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari putusan.27
Diperlukan penyeragaman model pencatuman Dissenting Opinion dalam
27
Ibid.
(1)
tanggal 1 Februari 1996. Romon Gold Asset Ltd menuding bahwa saham yang dibeli Manulife Kanada pada tanggal 26 Oktober 2000 melalui Badan Lelang Batavia Jakarta dengan nilai Rp.170 milyar adalah palsu.
16. Vonis pailit yang dikeluarkan oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat terhadap PT.AJMI menyebabkan hubungan yang kurang baik antara Pemerintah Indonesia dengan Kanada karena Pemerintah Kanada melalui Menteri Luar Negerinya Bill Graham mengancam menjatuhkan sanksi termasuk mengkaji soal bantuan karena perlu diingat bahwa Kanada merupakan salah satu Negara yang punya suara di Dana Moneter Internasional (IMF) lembaga yang membekingi perekonomian Indonesia. Dari keadaan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa UU No.4 tahun 1998 tentang kepailitan yang diharapkan menjadi wadah yang dapat menyelesaikan sengketa para pebisnis ternyata justru menjadi sarana bagi pebisnis yang curang untuk meraup untung yang besar dengan cara yang tidak wajar yang pada akhimya dari sengketa personal para pebisnis karena divonis oleh aparat hukum negara Indonesia yakni para hakim di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Hasan Basri Cs mengakibatkan hubungan antar Indonesia dan Kanada terkena imbasnya.
17. Hal ini terjadi karena hakim dan para pebisnis yang curang memanfaatkan UU No. 4 Tahun 1998 untuk mencapai hal-hal yang diinginkannya secara tidak wajar, sehingga para investor atau pebisnis asing menjadi tidak merasa aman dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia karena kepastian hukum tidak ada dan penafsiran isi Undang-Undang yang demikian luas sebingga membiaskan azas hukum itu sendiri. Hal ini akan mempengaruhi minat
(2)
investasi para pebisnis asing karena perlu diingat bahwa 9% dari saham AJMI dimiliki oleh IFC yang merupakan perusahaan afiliasi Bank Dunia.
18. PT. AJMl yang merupakan perusahaan asuransi yang dinilai sehat oleh Menteri Keuangan karena memiliki asset Rp 3,1 triliun sangat tidak wajar jika harus dipailitkan hanya karena menunda pernbayaran deviden senilai Rp 32 milyar, walaupun deviden yang merupakan return perusahaan yang harus dibayarkan akan tetapi RUPS telah menentukan penundaan pernbayaran deviden tersebut dan PT. DSS merupakan salah satu peserta RUPS. Berhubung PT AJM1 sebagai pemegang saham mayoritas sehingga mempengaruhi putusan RUPS seharusnya jika PT DSS kurang merasa puas atas putusan RUPS tersebut, maka sebaiknya PT DSS menggugat Manulife Finance di Kanada karena sebagai Induk perusahaan, bukan harus menuntut PT AJMI karena sama-sama sebagai pemegang saham PT AJMI.
(3)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Timbulnya dissenting opinion dalam perkara kepailitan secara umum adalah disebabkan kebebasan hakim dalam memutuskan perkara yang dibatasi oleh ketentuan perundang-undangan. Sedangkan secara khususnya timbulnya dissenting opinion dalam perkara kepailitan adalah disebabkan adanya perbedaan latar belakang hakim yang memeriksa perkara kepailitan tersebut yaitu adanya hakim karir dan hakim ad-hoc.
2. Syarat-syarat yang diperlukan dalam suatu putusan perkara kepailitan yang terdapat dissenting opinion adalah putusan dissenting opinion tersebut dibuat dalam bentuk lampiran yang memuat pernyataan tegas dari hakim Anggota/ketua yang membuat dissenting opinion tersebut, bahwa putusan adalah sah dan mengikat. Lampiran tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari naskah putusan. Hakim yang membuat dissenting opinion tetap harus menandatangani putusan tersebut dan tetap terikat pada bunyi diktum putusan tersebut.
(4)
B. Saran
1. Kepala pelaksana pengambil keputusan khususnya dalam pembuatan undang-undang tentang pengaturan perihal timbulnya dissenting opinion khususnya dalam perkara kepailitan hendaknya mengatur secara sempurna tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh hakim pengadilan jika terdapat dissenting opinion.
2. Hendaknya perbedaan pendapat dalam memutuskan suatu perkara kepailitan dapat dipahami sebagai suatu bentuk kebebasan hakim dalam melakukan penerapan hukum sehingga rasa keadilan tersebut benar-benar dimunculkan dalam suatu perkara kepailitan.
(5)
DAFTAR PUSTAKA A. Buku:
Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis, Kepailitan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
Bernadette Waluyo, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Mandar Maju, Bandung, 1999.
Edy Putra Tje ‘Aman, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, Liberti, Yogyakarta, 1985.
Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit, Suatu Tinjauan Yuridis, Djambatan, Jakarta, 1995.
Gunawan Widjaja, Seri Hukum Perikatan, Penanggungan Utang dan Perikatan Tanggung Menanggung, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.
J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-hak Jaminan Pribadi, Citra Aditya Bakti, 1996, Bandung.
Kompas, "Dissenting Opinion" Masuk RUU Kepailitan Baru, Jakarta, Sabtu, 24 Juni 2010.
Martiman Prodjohamidjojo, Proses Kepailitan, Mandar Maju, Bandung, 1999. Mohammad Chaidir Ali, et al, Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Mandar
Maju, Bandung, 1995.
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era Global, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.
.
Paulus E Lotulung, Kebebasan Hakim Dalam Sistim Penegakan Hukum, Seminar Pembangunan Hukum Nasional Viii, Diselenggarakarn Oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia Ri, Denpasar, 14 -18 Juli 2003.
Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004.
Rudhy A. Lontoh, dkk, Penyelesaian Utang Piutang, Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, 2001.
Siti Soemarti Hartono, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Liberty, Yogyakarta, 1981.
(6)
Subekti, Jaminan-Jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991.
Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, Aneka Ilmu, Semarang, 1990.
Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 2002.
B. Internet:
Diani, “Eksistensi Pengadilan Niaga Dan Perkembangannya Dalam Era Globalisasi, Direktorat Hukum Dan Hak Asasi Manusia”, http\\www.google.com.dessendingopinion.
Kelik Pramudya, “Upaya Hukum dalam Kepailitan”,
M. Hadi Shubhan, Dissenting Opinion Putusan Akbar, http\\www.google. dissentingopinion.com.
Sie Infokum – Ditama Binbangku, “Dissenting Opinion”,
Sunarmi, “Dissenting Opinion Sebagai Wujud Transparansi Dalam Putusan