Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana

(1)

KEWENANGAN JAKSA DALAM MELAKUKAN PENINJAUAN

KEMBALI DALAM PERKARA PIDANA

TESIS

Oleh

BONA FERNANDEZ.MT.SIMBOLON

077005065/HK

SE

K O L A

H

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

KEWENANGAN JAKSA DALAM MELAKUKAN PENINJAUAN

KEMBALI DALAM PERKARA PIDANA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

BONA FERNANDEZ.MT.SIMBOLON

077005065/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis : Kewenangan Jaksa dalam Melakukan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana

Nama Mahasiswa : Bona Fernandez M.T Simbolon Nomor Pokok : 077005065

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof.Dr.Alvi Syahrin, SH, MS) Ketua

(Prof.Dr.Syahrudin Kalo,SH.MHum) (Syafrudin S.Hasibuan,SH,MH) Anggota Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 22 Agustus 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof.Dr.Alvi Syahrin, SH, MS

Anggota : 1. Prof.Dr.Syahrudin Kalo,SH.MHum

2. Syafrudin S.Hasibuan,SH,MH 3. Dr. Mahmud Mulyadi, SH,MHum


(5)

ABSTRAK

Asas Keseimbangan yang merupakan bagian dari prinsip keadilan yang mana untuk mencapai nilai keadilan itu harus terdapat persamaan (equality), Upaya Hukum Peninjauan kembali yang terdapat didalam KUHAP tidak memberikan keseimbangan dalam mencari keadilan diantara dua belah pihak dalam perkara pidana yaitu terpidana atau ahli waris dan korban yang dalam hal ini diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum. Eksistensi Upaya Hukum Peninjaun Kembali didalam KUHAP adalah sarana dan usaha untuk menegakkan keadilan dari suatu putusan hakim yang dirasa tidak adil oleh kedua belah pihak, yaitu terpidana dan korban. Putusan yang diambil oleh Hakim dalam menyelesaikan suatu perkara pidana tidak menjamin keadilan telah terwujud. Sebagai manusia biasa, selalu terbuka kemungkinan hakim keliru ataupun kilaf dalam mengambil suatu keputusan. Maka dalam hal ini apabila korban melalui Jaksa Penuntut umum merasa bahwa putusan hakim Mahkamah Agung tersebut keliru atau kilaf, maka Jaksa dalam hal ini Pasal 263 KUHAP tidak diberi upaya hukum peninjaun kembali, dan hanya diberikan kepada terpidana, maka menurut jaksa Pasal 263 KUHAP ini tidak adil karena hanya diberikan kepada terpidana, sedangkan korban tidak. Padahal kedudukan mereka sama dalam tahap proses persidangan.

Penelitian yang dilakukan adalah tipe penelitian yuridis normatif, yaitu suatu model penelitian hukum yang cara kerjanya meneliti bahan-bahan pustaka sebagai data utamanya. Penelitian kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder, baik yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier. Data sekunder yang diperoleh dari penelitian ini dianalisis secara kualitatif, disusun secara sistematis untuk memperoleh gambaran mengenai status peraturan dibidang hukum acara pidana khususnya upaya hukum Peninjauan Kembali.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kewenangan jaksa dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak diatur haknya melakukan upaya hukum peninjauan kembali, namun didalam praktek peradilan Indonesia membenarkan Jaksa Penuntut Umum Untuk melakukan peninjauan kembali. Permohonan upaya hukum peninjauan kembali yang dilakukan oleh Jaksa dalam perkara pidana telah banyak juga di kabulkan oleh Mahkamah Agung, yaitu Kasus Muchtar Pakpahan, dimana inilah yang menjadi titik tolak bahwa Jaksa diperboleh oleh Mahkamah Agung melakukan upaya hukum peninjauan kembali. Selanjutnya kasus Gandhi Memorial School, Kasus dr Lenus Waworuntu, Kasus Muchtar Pakpahan, belakangan Kasus Djoko Tandra. Adapun alasan yang diajukan oleh Jaksa Dalam Melakukan upaya hukum peninjauan kembali ini adalah adanya kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata dari majelis hakim agung dan adanya novum (bukti baru) yang mana bukti tersebut merupakan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung yang mana hasil putusannya berupa putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum. dan Alasan Keadilan dan kepentingan Umum.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang atas segala berkat dan karunia Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini disusun dan diajukan untuk menyelesaikan tugas akhir dan syarat memperoleh gelar Magister Humaniora Pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Adapun judul tesis ini adalah: “Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan

Kembali Dalam Perkara Pidana.”

Penulis telah berusaha mengarahkan segala kemampuan yang dimiliki dalam penulisan tesis ini. Tetapi penulis menyadari bahwa tesis ini tidak luput dari segala kekurangan dan mungkin jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis mohon saran dan kritikan yang bersifat membangun demi kesempurnaan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa sejak awal hingga akhir penulisan ini banyak menerima bimbingan , bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, untuk itu dengan tulus ikhlas penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Chairuddin P.Lubis ,DTM&H,Sp.A (k), Selaku Rektor USU.

2. Prof. Dr. Ir.T.Chairun Nisa B., Msc., Selaku Direktur Sekolah Pascasarjana USU.

3. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH., Selaku Ketua Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU.


(7)

5. Prof. Dr. Syafruddin Kalo,SH, M.Hum., Selaku Anggota Komisi Pembimbing. 6. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM., Selaku Anggota Komisi Pembimbing. 7. Dr.Sunarmi, SH, MHum, selaku Sekretaris Program Magister Ilmu Hukum

Sekolah Pascasarjana USU dan sekaligus sebagai anggota komisi penguji. 8. Dr.Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum. Selaku anggota komisi penguji.

9. Para Dosen yang telah bersusah payah memberikan ilmunya dan membuka cakrawala berpikir penulis yang akan sangat berguna dalam menghadapi tugas-tugas di masa yang akan datang.

10. Heffinur, SH, M.Hum Selaku Kajari Binjai Yang telah memberikan Izin Kepada Penulis untuk mengikuti pendidikan Magister Ilmu Hukum sampai dengan selesai

11. Bibon.P.Simanjuntak, SH. Selaku Kasi Pidum Kejari Binjai Yang telah memberikan izin kepada Penulis Untuk Mengikuti pendidikan Magister Ilmu Hukum ini sampai dengan selesai. Dan juga memberikan penulis masukan-masukan dalam penulisan tesis ini.

12. Terkhusus Kepada kedua orang tua penulis yang penulis cintai dan kasihi Ayahanda Waspin Simbolon, SH dan Ibunda Maria Magdalena Hutasoit, yang tidak putus-putusnya memberikan dukungan, perhatian dan doa serta cinta kasih kepada penulis dan terutama kepada Ayahanda penulis, penulis ucapkan banyak terimah kasih karena telah banyak membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini.


(8)

13. Adik Tersayang Roma Arina Tiur ,SH dan Iustisia Natalia yang telah memberikan dukungan, motivasi dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

14. Natalita Gracia, SH yang telah memberikan motivasi yang sangat besar kepada penulis dalam menyelesaikan studi ini.

15. Teman-teman Angkatan 2007 di Sekolah Pascasarjana. Dan juga teman-teman dijurusan Pidana, Bang Arif, Rise, Pak Hutajulu dan Bu Rumida Dan Bu Rauli dan Rudiyawati, yang telah memotivasi dan turut serta membantu dalam penyelesaian tesis ini.

16. Serta rekan-rekan yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu, untuk semua bantuan yang telah diberikan kepada penulis.

Akhir kata penulis berharap semoga tesis ini dapat berguna dan bermanfaat sebagai sumbangan dan saran dalam memberikan gambaran dalam pembaharuan rancangan KUHAP yang akan datang supaya memasukkan dalam satu pasal mengenai hak Jaksa Penuntut Umum untuk melakukan upaya hukum peninjauan kembali.

Medan, Agustus 2009 Penulis


(9)

RIWAYAT

HIDUP

Nama : Bona Fernandez Martogi Tua Simbolon.

Tempat/Tgl Lahir : Medan, 30 November 1985 Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Kristen

Pendidikan : - Sekolah Dasar Xaverius 1 Baturaja Sumatera Selatan, Tahun 1991-1997

Sekolah Menengah Pertama Cinta Rakyat Pematang Siantar, Tahun 1997-2000

Sekolah Menengah Atas Budi Mulia Pematang

Siantar, Tahun 2000-2003

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Tahun 2003-2007

Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Tahun 2007-2009


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ………... i

ABSTRACT ……… ii

KATA PENGANTAR ……….. iii

RIWAYAT HIDUP... vi

DAFTAR ISI ……… vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Manfaat Penelitian ... 13

E. Keaslian Penelitian... 14

F. Kerangka Teoritis dan Konsepsional ... 14

G. Metode Penelitian ... 23

BAB II KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM UNTUK

MELAKUKAN PERMOHONAN PENINJAUAN KEMBALI MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU DI INDONESIA DAN DALAM PRAKTEK PERADILAN INDONESIA


(11)

A. Latar Belakang Lahirnya Putusan Peninjauan Kembali ... 27

B. Kewenangan Jaksa Penuntut Umum ... 43

BAB III PRAKTEK PERADILAN INDONESIA YANG MEMBENARKAN JAKSA PENUNTUT UMUM MENGAJUKAN PERMOHONAN PENINJAUAN KEMBALI TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN YANG BERKEKUATAN HUKUM TETAP ... 69

BAB IIV ALASAN-ALASAN YANG DIGUNAKAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM MELAKUKAN PENINJAUAN KEMBALI DALAM PRAKTEK PERADILAN A. Kasus Muchtar Pakpahan... 83

B. Kasus Pollycapus BudiHaripriyatno ... 92

C. Kasus Gandhi Memorial School ... 108

D. Kasus dr Eddy Linus Waworuntu ... 109

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 124

B. Saran... 129


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga penuntutan tertinggi di bidang hukum mempunyai peran utama dalam penegakan supremasi hukum dan mewujudkan keadilan bagi seluruh bangsa di negeri ini. Sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan, dan sebagai badan yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan, peran kejaksaan sebagai gardu depan penegakan hukum demikian penting dan strategis.1

Sebagai institusi peradilan, kewenangan kejaksaan dapat langsung dirasakan oleh masyarakat luas. Oleh karena itu, sebagai salah satu ujung tombak dalam penegakan hukum, peran kejaksaan diharapkan dapat menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan. Sistem peradilan pidana terpadu adalah bagian yang tak terpisahkan dari sistem penegakan hukum. Dalam Sistem Peradilan Pidana terdapat empat sub-sistem yakni: (1) Kepolisian; (2) Kejaksaan; (3) Pengadilan (4) Lembaga Pemasyarakatan.2

Kejaksaan sebagai salah satu sub sistem peradilan pidana memiliki kewenangan di bidang penuntutan dan memegang peranan yang sangat krusial dalam proses penegakan hukum. Sebagai institusi peradilan, maka kewenangan kejaksaan dapat langsung dirasakan oleh masyarakat luas. Oleh karena itu peran Kejaksaan

1

Mewujudkan Doktrin ”Tri Krama Adhyaksa, Harian Sinar Harapan, Senin, 21 Juli 2003, http://www.sinarharapan.co.id.

2

Memantapkan Langkah Reformasi Kejaksaan, Komisi Hukum Nasional 17 April 2004, http://www.komisihukum.go.id.


(13)

sebagai salah satu ujung tombak dalam penegakan hukum diharapkan dapat menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat yaitu dalam hal ini melakukan upaya hukum peninjauan kembali terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuaatan hukum tetap agar korban yang diwakili oleh jaksa itu mendapat keadilan dari suatu hukum tersebut.

Pengaturan mengenai tugas dan wewenang kejaksaan Republik Indonesia secara normtif dapat dilihat dari beberapa kententuan Undang-undang mengenai kejaksaan sebagaimana yang terdapat di dalam Pasal 30 UU No 16 Tahun 2004 Pasal 30 yaitu:

1. Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang : a. melakukan penuntutan.

b. melakukan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap.

c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan dan keputusan lepas bersyarat.

d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan Undang-undang.

e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan kepengadilan yang dalam pelaksanaannya dikordinasikan dengan penyidik.

2. Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak didalam maupun diluar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.

3. Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut

meyelenggarakan kegiatan:

a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum c. Pengamanan peredaran barang cetakan.

d. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan


(14)

Pasal 31 UU No 16 Tahun 2004 menegaskan bahwa kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menempatkan seseorang terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa atau tempat lain yang layak karena yang bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri. Bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, kejaksaan membina hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya. Dan juga kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi lainnya.

Disamping tugas dan wewenang Kekejaksaan RI tersebut Jaksa Agung juga memiliki tugas dan wewenang yaitu:

1. Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan

2. Mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh Undang-undang.

3. Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.

4. Mengajukan kasasi demi kepentingan umum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara

Upaya hukum yaitu hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan. Dalam kitab Undang-undang hukum acara pidana diatur dalam Bab XVII yaitu upaya hukum biasa dan Bab XVIII upaya hukum luar biasa yang pada waktu berlakunya HIR diatur di luar HIR. Tentang upaya hukum biasa diatur


(15)

Bab XVII dimana bagian kesatu mengenai pemeriksaan tingkat banding, bagian kedua mengenai pemeriksaan tingkat kasasi. Dalam Bab XVII upaya hukum luar biasa meliputi bagian kesatu mengenai pemeriksaan tingkat kasasi demi kepentingan hukum. Bagian kedua yaitu mengenai peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Upaya hukum luar biasa mengenai peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, seperti yang dijelaskan dalam Pasal 263 ayat 1 KUHAP ini yaitu. Bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan. peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung dengan memperhatikan pasal 263 ayat 1 KUHAP3

Kemajuan zaman sekarang ini yang berkembang dengan pesat dan mengakibatkan berbagai macam perilaku manusia sehingga diperlukan satu perangkat hukum yang dapat mengatur dan dapat mencegah tindak kejahatan dan pelanggaran Pidana, yang oleh karenanya harus ada kepastian hukum agar tercipta keadilan di bidang hukum bagi semua masyarakat.

Salah satu masalah hukum yang akhir – akhir ini dipermasalahkan adalah masalah upaya hukum Peninjauan Kembali yang sampai sekarang ini dinilai oleh berbagai kalangan masih belum memiliki kepastian dalam praktek nya sehingga

3

M Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali) Edisi Kedua, (Jakarta :Sinar Grafika,2006), Hal 614


(16)

menimbulkan kebingungan di dalam ber praktek Hukum Acara Pidana. Berbagai contoh ketidak pastian Upaya Hukum Peninjauan Kembali yakni Kasus Muchtar Pakpahan yang peninjauan kembali nya diajukan oleh Jaksa, yang jelas – jelas dalam UU No.8 Tahun 1981 Pasal 263 ayat (1) yang berbunyi : Bahwa terhadap Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan Hukum Tetap, kecuali Putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung. Kasus Muchtar Pakpahan inilah yang membuat Upaya Hukum Peninjauan Kembali menjadi Kontroversi dikalangan penegak hukum, pakar hukum maupun masyarakat di Indonesia. 4

Kasus Muchtar Pakpahan yang dihukum Pengadilan Negeri Medan dan dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Medan karena menghasut para buruh yang kemudian dibebaskan ditingkat kasasi berdasarkan putusan Mahkamah Agung tanggal 29 September 1995 No 395/K/Pid/1995. Terhadap putusan bebas Mahkamah Agung tersebut jaksa penuntut umum mengajukan peninjauan kembali dan berdasarkan putusan Mahkamah Agung tanggal 25 Oktober 1996 No. 55/PK/Pid/1996, mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali jaksa penuntut umum dan menjatuhkan pidana selama 4 tahun penjara.

Alasan dari jaksa mengajukan PK dalam kasus ini yaitu adanya kekhilafan Majelis Hakim Agung. Dan alasan dari jaksa penuntut umum mengenai segi formalnya dapat mengajukan Peninjauan Kembali yaitu Hak Jaksa Penuntut Umum/

4. Karnilyas

, “Herziening atau Peninjauan Kembali”,


(17)

Kejaksaan dalam mengajukan permintaan peninjauan kembali yaitu kapasitasnya sebagai penuntut umum yang mewakili negara dan kepentingan umum dalam proses penyelesaian perkara pidana. Dengan demikian permintaan peninjauan kembali ini bukan karena kepentingan pribadi jaksa penuntut umum atau lembaga kejaksaan tetapi untuk kepentingan umum/negara. Dan yang dimaksud kepentingan umum menurut penjelasan pasal 49 UU No 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yaitu: kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat bersama dan atau kepentingan pembangunan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Belum adanya pengaturan yang tegas dalam KUHAP mengenai hak jaksa mengajukan permintaan peninjauan kembali. Perlu adanya suatu tindakan hukum untuk memperjelas hak jaksa penuntut umum/ kejaksaan mengajukan Peninjauan kembali. Dasar dari jaksa dalam mengajukan permintaan peninjauan kembali yaitu:5 1. Pasal 23 Undang-undang No 14 Tahun 1970.

Pasal 23 ayat 1 UU No 4 Tahun 2004 ini dikatakan dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap perkara pidana atau perdata oleh pihak yang berkepentingan. Pihak yang berkepentingan disini dalam perkara pidana yaitu tiada lain adalah Jaksa Penuntut Umum disatu pihak dan terpidana dipihak lain.

5


(18)

2. Pasal 263 ayat 1 KUHAP.

Yaitu tidak secara tegas menyatakan bahwa Jaksa Penuntut Umum/Kejaksaan berhak untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, namun yang jelas pasal ini tidak melarang Jaksa Penuntut Umum/ Kejaksaan untuk melaksanakan hal tersebut. Dan wajar apabila permintaan peninjauan kembali terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum oleh terpidana atau ahli warisnya dikecualikan karena putusan tersebut sudah menguntungkan bagi terpidana. Maka demi tegaknya hukum dan keadilan terhadap putusan Pengadilan yang dikecualikan tersebut (putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum tersebut ) adalah menjadi hak Jaksa Penuntut Umum/Kejaksaan untuk mengajukan peninjauan kembali sebagai pihak yang berkepentingan sepanjang terdapat alasan yang cukup sebagaimana diatur 263 ayat 2 KUHAP.

3. Pasal 263 ayat 3 KUHAP menyatakan:

Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada pasal 263 ayat 3 KUHAP terdapat putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam suatu putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. Maka berdasarkan hal tersebut tidak mungkin terpidana atau ahli warisnya menggunakan pasal 263 ayat 3 KUHAP ini sebagai dasar untuk mengajukan peninjauan kembali dikarenakan tidak akan menguntungkan bagi


(19)

dirinya siterpidana sendiri. Dengan demikian pertanyaan mengapa ketentuan pasal ini diatur dalam ayat tersendiri dan untuk siapa pasal ini dimuat dan pengaturannya maka jawaban yang paling tepat tiada yang lain kecuali untuk Jaksa Penuntut Umum sebagai pihak yang berkepentingan diluar terpidana atau ahli warisnya. Kesimpulan ini diperkuat oleh pendapat A.Hamzah dalam bukunya Upaya Hukum Dalam Perkara Pidana yang mengatakan kurang adil apabila dalam keputusan itu Jaksa Penuntut Umum tidak diberikan hak dan wewenang mengajukan permintaan peninjauan kembali. Lagi pula dalam peraturan perundang-undangan yang lama (sebelum KUHAP) yaitu dalam Reglement Op de straf vordering dan Peraturan Mahkamah Agung RI No 1 tahun 1980 terdapat ketentuan bahwa yang harus mengajukan permohonan peninjauan kembali adalah Jaksa Agung terpidana atau pihak yang berkepentingan. Pemikiran yang terkandung dalam perundang-undangan yang lama tersebut tetap menjadi sumber inspirasi dalam merumuskan ketentuan-ketentuan KUHAP sehingga seyogyanya apabila permintaan peninjauan kembali dapat pula diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum.

Terhadap kasus Gandhi Memorial School alasan Jaksa mengajukan Peninjauan kembali yaitu dikarenakan kehilafan hakim dimana majelis hakim agung menyatakan bahwa terdakwa Ram Guluma Als Vram tidak terbukti perbuatan sebagaimana yang didakwakan jaksa yaitu Dakwaan Kesatu pasal 266 ayat 1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHPidana, Subsidair pasal 266 (2) jo pasal 64(1) KUHPidana, Lebih


(20)

Subsider Pasal 263 (2) jo 64 (1) KUHPidana, Dakwaan Kedua yaitu Primair pasal 374 jo 64 (1) jo 22(1) ke 1 KUHPidana, Subsidair pasal 263 (2) jo 64(1)jo 55 (1) ke 1 KUHPidana. Kekhilafan hakim disini yaitu mengatakan bahwa Surat Kuasa Palsu yang dibuat oleh terdakwa untuk untuk mendirikan yayasan The Gandhi Memorial Fundation (GMF) melalui akta notaris disini tidak dipertimbangkan oleh majelis hakim 6.

Kasus dr Eddy Linus Waworuntu dan Handaya surya wibawa dan Ire man Adi wibowo yaitu alasan Jaksa Penuntut Umum mengajukan peninjauan kembali dalam kasus ini yaitu bahwa adanya bukti baru yang sangat menentukan yaitu adanya putusan Mahkamah Agung RI No 871 K/PDT/2003 antara Handaya Surya wibawa, Ir Email Adi Wibawa Lawan Prof Dr Singgih Dirga Gunarsa dan Putusan Mahkamah Agung RI No 870 K/PDT/2003 tanggal 3 Februari 2004 antar dr Eddy Linus Waworuntu lawan Prof Dr Singgih Dirga Gunarsa.7

Alasan jaksa melakukan peninjauan kembali dalam kasus dr Eddy Linus waworuntu ini adalah adanya kekhilafan atau kekeliruan hakim dalam putusannya yang pertimbangannya yang menyatakan bahwa terdakwa tidak dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya yang dilakuknya secara pidana dengan mengatakan bahwa akte No 18 Tahun 2001 tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum tetap padahal didalam akte tersebut pada tanggal 7 Juli 2001 dihadiri oleh terdakwa saja bukan yang lain sehingga kalau ada penyerahan/pembagian tanggung

6

Varia Peradilan Majalah Hukum No 195,Desember 2001, Tahun XVII ,hal 11

7


(21)

jawab antara penerima kuasa adalah mereka para terdakwa sendiri pelakunya yang menunjukan adanya kesepakatan jahat diantara para terdakwa yang seolah-olah rapat tersebut dihadiri oleh 17 orang peserta rapat dan selanjutnya mereka menghadap ke Notaris Iwan Halimiy, SH sehingga melahirkan akte no 18 Tahun 2001.

Alasan jaksa melakukan peninjauan kembali pada kasus Pollycarpus Budihari priyatno adalah karena adanya kekeliruan yang nyata dalam hal kesalahan penerapan hukum yang dilakukan oleh majelis hakim kasasi dalam hal hukum pembuktian dan fakta kejadian. Dimana majelis hakim kasasi melakukan penilaian terhadap pembuktian yang mana seharusnya itu wewenang Judex Factie bukan Judex Juridis sebagaimana adanya Jurisprudensi Mahkamah Agung No 14 PK/Pid/1997 yang menegaskan”keberatan pemohon kasasi tidak dapat dibenarkan karena merupakan penggulangan fakta dari yang telah diterangkan dalm persidangan tingkat pengadilan negri dan pengadilan tinggi berupa penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargan tentang suatu kenyatan yang tidak dapat dipertimbangkan dalam tingkat kasasi dan pemeriksaan mengenai fakta-fakta hukum berakhir pada tingkat banding sehingga pemeriksaan kasasi bukan memeriksa mengenai peristiwa dan pembuktiannya.8

Hal ini terlihat dalam pertimbangan Mahkamah Agung yang jelas memperlihatkan kekeliruan yang nyata dari judex juris yang melakukan penilaian pembuktian sehingga judex juris berkesimpulan menyebut kemungkinan ada tidaknya

8

Varia peradilan Majalah Hukum No 268, Maret 2008, Tahun Ke XXIII No 268 Maret 2008 hal 80.


(22)

arsen masuk dalam tubuh munir sebelum penerbangan dari jakarta ke singapura dan dalam penerbangan jakarta ke singapura dan sesudah penerbangan jakarta-singapura. Maka pendapat majelis hakim tersebut memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata karena judex juris telah melakukan penilaian penilian terhadap pembuktian yang merupakan kewenangan judex factie.9

Alasan jaksa melakukan peninjuan kembali dalam kasus Pollycarpus Budihari priyatno yaitu karena adanya keadaan baru (novum). Sesuai dengan pasal 263 ayat 2 huruf a KUHAP, salah satu alasan diajukan peninjauan kembali adalah apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, maka hasilnya akan menjadi putusan yang berbeda. Novum tersebut tersebut dikaitkan dengan fakta-fakta yang dipersidangan yaitu adanya keterangan ahli Dr Rer Nat I Made agung yang mengatakan kematian munir diperkirakan antara delapan sampai sembilan jam setelah keracunan, dan menurut keterangan saksi dr Tarmizi yang mengatakan bahwa korban munir meninggal 3 jam sebelum mendarat.10

Saksi Raymond J.Lautihamalo Als Ongen mengatakan bahwa ia diperkenalkan oleh Josep Ririmase dengan Asrini Utami Putri di waiting room gate D42, Bandara Changi singapura ketika itu ongen masuk kedalam Coffe Bean dan melihat pollycarpus berjalan dari counter pemesanan minuman dan membawa 2 gelas minuman. Dan ongen juga memesan minuman dan duduk berjarak sekitar 2 meter

9

Ibid hal 80.

10


(23)

dari tempat duduk munir dan Pollycarpus dan ongen melihat munir dan pollycarpus duduk sambil minum

Uraian fakta tersebut diatas mendorong penulis untuk meneliti dan menganalisisnya tentang peninjauan kembali yang dilakukan oleh jaksa dimana ini tidak diatur dalam KUHAP namun dalam prakteknya Mahkamah Agung mengabulkan Peninjauan Kembali yang dilakukan oleh jaksa tersebut. Penulis mengangkatnya melalui penulisan tesis dengan judul Kewenangan Jaksa Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No 109 PK/PID/2007 Polycarpus Budihari Priyanto).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan untuk dibahas dalam penelitian tesis ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah Jaksa Penuntut Umum berwenang untuk melakukan permohonan

Peninjauan Kembali menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

2. Bagaimana dengan Praktek Peradilan Indonesia apakah memebenarkan Jaksa Penuntut Umum Untuk Mengajukan Permohonan Peninjauan Kembali Terhadap Putusan Pengadilan Yang Berkekuatan Hukum Tetap?

3. Alasan-alasan apakah yang digunakan oleh penuntut umum Untuk Mengajukan Peninjauan Kembali Dalam Praktek Perdilan.


(24)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui kewenangan Jaksa Penuntut Umum untuk melakukan

Peninjauan Kembali dalam peraturan perundang-undangan di indonesia.

2. Untuk mengetahui apakah peradilan Indonesia membenarkan Jaksa Penuntut Umum untuk melakukan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap

3. Untuk mengetahui alasan yang dilakukan oleh penuntut umum untuk mengajukan Peninjauan Kembali dalam praktek peradilan.

D. Manfaat Penelitian

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan pemikiran teoritis mapun kegunaan praktis.

1. Secara teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang hukum pidana khususnya mengenai upaya hukum Peninjauan Kembali dalam Hukum Acara Pidana Indonesia.

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi konkrit bagi usaha pembaharuan hukum pidana khususnya bagi Jaksa Penuntut Umum ketika mengajukan upaya hukum peninjauan kembali.


(25)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil pemeriksaan dan penelitian yang dilakukan penulis, penelitian yang berjudul “ Kewenangan Jaksa Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana” khususnya di lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara program Studi Ilmu hukum, belum pernah dilakukan. Dengan demikian penelitian merupakan hal yang baru dan asli karena sesuai asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, objektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka untuk kritikan-kritikan yang sifatnya membangun terkait dengan topik dan permasalahan dalam penelitian ini.

F Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kerangka pemikiran teoritis menurut Didi Atmadilaga Yaitu Merupakan Hal yang esensial pada kegiatan penelitian yang memberikan landasan argumentasi dan dukungan dasar teoritis (konsepsional)

dalam rangka pendekatan pemecahan masalah yang dihadapi atau yang menjadi objek penelitian.11

Hukum acara pidana didalamnya ada dikenal asas praduga tak bersalah

Presumption of innocent dimana ini digunakan menjadi landasan teori yang akan

11

Didi Atmadilaga, Sekitar Filsafat Ilmu Penerapan dan Metode Ilmiah ,(Bandung :Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran, 1994), hal 19.


(26)

digunakan dalam penelitian yaitu dari segi teknis yuridis ataupun dari segi teknis penyidikan dinamakan prinsip akusatur atau accusatory procedure(accusatorial

system). Prinsip akusatur menempatkan kedudukan tersangka terdakwa dalam setiap

tingkatan pemeriksaan:12

a. Adalah subjek, bukan sebagai objek pemeriksaan, karena tersangka atau terdakwa harus didudukkan dan diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat martabat harga diri.

b. objek pemeriksaan dalam prinsip akusator adalah “kesalahan” (tindakan pidana), yang dilakukan tersangka/terdakwa. kearah itulah pemeriksaan ditujukan

Sedangkan Teori Yang Kedua Yaitu Teori Keadilan dari Aristoteles yang menyatakan Adil itu dapat berarti menurut hukum dan apa yang sebanding dan mengemukakan ada 2 (dua) bagin keadilan yakni :13

1. Keadilan Komutatif, yaitu keadilan yang memberikan pada setiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa perseorangan dalam hubungan individu dengan orang lain.

2. Keadilan distributif yaitu kepantasan adalah suatu bentuk “sama” dengan prinsip bahwa kasus yang sama seharusnya diperlakukan dalam cara yang sama dan kasus yang berbeda diperlakukan dalam cara yang berbeda. Keadilan memberikan tiap orang jatah menurut jasanya, tidak menuntut supaya

12

M Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan Edisi Kedua,( Jakarta:Sinar Grafika, Cetakan 8, 2006),Hal 40

13


(27)

tiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya melainkan kesebandingan (kesamaan yang sebanding atau persamaan yang proporsional). Jika pembentuk Undang-undang memerintahkan hakim supaya keputusannya memperhatikan keadilan adalah untuk menghindari pemakaian peraturan umum dalam hal-hal yang khusus yaitu dengan berpedoman pada kepantasan(redelijkheid) dan itikat baik.

Teori criminal justice system menurut Purpura mempunyai tiga titik perhatian, Yaitu hukum pidana secara materil(criminal law), hukum pidana formil (the law of criminal procedure), hukum pelaksanaan pidana(the enforcement of criminal law). Semua ini ditujukan sebagai usaha untuk memberikan perlakuan yang adil kepada semua orang yang dituduh telah melakukan kejahatan.dan Purpura juga mengatakan bahwa sistem peradilan pidana (criminal justice system) merupakan suatu sistem yang terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan yang bertujuan untuk melindungi dan menjaga ketertiban masyarakat, mengendalikan kejahatan, melakukan penangkapan dan penahanan terhadap pelaku kejahatan, memberikan batasan bersalah atau tidaknya seseorang, memidana pelaku yang bersalah dan melalui kompenen sistem secara keseluruhan dapat memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak terdakwa.14

Mengenai teori hak dari korban dalam menanggulangi kejahatan oleh Mardjono Reksodiputro yaitu mengatakan menanggulangi adalah usaha

14

Mahmud Mulyadi, Sistem Peradilan Pidana, Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum USU , hal 41


(28)

mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi. Menyelesaikan sebagaian besar laporan maupun keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dengan mengajukan pelaku kejahatan ke sidang pengadilan untuk diputus bersalah serta mendapat pidana. Hal lain yang tidak kalah penting yaitu mencegah terjadinya korban kejahatan serta mencegah pelaku untuk menggulangi kejahatannya15

Konsepsi teoritis tentang hukum yang mempengaruhi cara pandang hakim yaitu hakim semestinya dalam memutus perkara tidak hanya membolak balik fakta-fakta hukum dan berupaya menjustifikasi pandangannya berdasarkan bunyi kaidah-kaidah hukum dalam peraturan perundang-undangan, lebih dari itu idealnya hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat sebagaimana yang diamanahkan dalam pasal 28 ayat 1 Undang-undang No 4 Tahun 2004 tentang kekusaan kehakiman. Dengan demikian idealnya putusan hakim didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan hukum yang mengadopsi nilai-nilai hukum, rasa keadilan yang mencerminkan penguasaan teoritis dan filosofis.16 Sedangkan menurut teori Content Ronal Dworkin yang mengatakan bahwa kepada hakim diminta supaya hukum distrukturisasi oleh prinsip-prinsip keadilan dan kewajaran dan mempertimbangkan secara moral apa yang baik dan buruk melalui penafsiran hakim melalui undang-undang in casu KUHAP17

15

Ibid hal 25

16

Ibid hal 100

17

Otje Salman et.al, Teori Hukum mengingat, mengumpulkan dan membuka kembali,(Bandung:Refika Aditama,2008),hal 93


(29)

Sedangkan mengenai teori retributive yang murni (the pure retributivist) pidana harus cocok dan sepadan dengan kesalahan sipembuat. Sedangkan Pompe pada pokoknya berpendapat Asas Legalitas itu bukanlah asas mutlak sebab dalam keadaan mendesak demi keadilan dan kemanfaatan boleh disingkirkan. Keadilan dan kemanfaatan tidak boleh ditujukan kepada sebagian besar rakyat, sebagai dikemukakan oleh penganut-penganut utilitarisme, juga tidak terhadap masa yaitu suatu jumlah tertentu orang-orang sebagai diajarkan oleh demokrasi dan bukan terhadap golongan tertentu yakni kaum proletar, seperti diperjuangkan oleh kaum komunis, tetapi untuk masyarakat seluruhnya.

Mengenai PK Jaksa Ini dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Pasal 23 ayat (1) Undang-undang No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan pihak-pihak yang bersangkutan dapat merngajukan PK terhadap Putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap dimana ketentuan ini hanya berlaku untuk perkara perdata dan pidana, dimana dalam perkara pidana pihak-pihak yang dimaksud disini adalah Jaksa Penuntut Umum dan terdakwa. Dalam prakteknya yurisprudensi yang selama ini berjalan Mahkamah Agung telah melakukan penafsiran ekstensif dalam bentuk pertumbuhan atau perluasan makna (growth the meaning) terhadap ketentuan dalam KUHAP.18

Penafsiran Ekstensif ini dilakukan untuk melakukan penyelesaian perkara yang bisa memberikan rasa keadilan kepada masyarakat. KUHAP Secara maksimal

18

Antara News, 2007, Tim JPU bersikeras Upaya PK yang dilakukan Oleh Jaksa terhadap kasus Pollycarpus tidak langgar hukum,http:www.antara.com diakses 20 April 2009


(30)

digunakan untuk mendapatkan kebenaran materil dengan cara melenturkan atau mengembangkan atau melakukan penafsiran ekstensif terhadap ketentuan-ketentuannya. Pencarian kebenaran ini antara lain dapat dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada korban tindak pidana untuk mengajukan Upaya Hukum lebuh lanjut dimana Jaksa Penuntut Umum sebagai pihak yang mewakili korban kolektif maupun individual yang juga memiliki hak mengajukan Upaya Hukum. Jaksa Penuntut Umum pada dasarnya merupakan pihak yang mewakili kepentingan masyarakat secara kolektif maupun individual.19

Untuk pengaturan pihak yang berhak untuk mengajukan PK telah diatur pada Pasal 263 (1) KUHAP, yang berbunyi: "Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.

Menurut pengertian sehari-hari, kalau kalimat tersebut dibaca dalam keseluruhan dan kaitan antara satu dengan yang lain, jelas bahwa dalam hal hakim menyatakan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, maka terpidana atau ahli warisnya tidak boleh mengajukan permintaan PK.

2. Kerangka Konsepsi

Dari Uraian Permasalah diatas, Penulis menjelaskan beberapa konsep dasar yang digunakan dalam tesis ini yaitu:

19


(31)

Pengertian Hukum Acara Pidana adalah bagaiamana cara negara melalui alat alat kekuasaannya menentukan kebenaran tentang terjadinya suatu pelanggaran hukum pidana. Menurut Simon, hukum acara pidana adalah mengatur bagaimana Negara dengan alat-alat pemerintahannya menggunakan hak-haknya untuk memidana. Sedangkan menurut De bos kemper hukum acara pidana adalah sejumlah asas dan peraturan undang-undang yang mengatur bagaimana Negara menggunakan hak-haknya untuk memidana. Secara umum Hukum Acara Pidana Indonesia adalah hukum yang mengatur tentang tata cara beracara (berperkara di badan peradilan) dalam lingkup hukum pidana. Hukum acara pidana di Indonesia diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1981.20

Upaya Hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan. Dalam kitab Undang-undang hukum acara Pidana diatur dalam Bab XVII Yaitu upaya hukum biasa dan bab XVIII upaya hukum luar biasa. Mengenai upaya hukum biasa meliputi banding dan kasasi dan itu diatur dalam Bab XVII KUHAP. 21

Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk meminta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum (pasal 67 KUHAP). Sedangkan dalam undang-undang kekuasaan kehakiman pasal 19 Undang-undang No 14 Tahun1970 jo Undang-undang No 4 Tahun 2004 yang

20

. Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana, CV Sapta Artha Jaya Jakarta,2005,Hal 4

21

. Moch Faisal Salam,Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek,CV Mandar Maju,Bandung,2001,Hal 352.


(32)

menetapkan bahwa atas semua putusan pengadilan tingkat pertama, yang tidak merupakan pembebasann dari tuduhan, dapat dimintakan banding oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali apabila undang-undang menentukan lain.

Sedangkan kasasi yaitu terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain dari Mahkamah Agung kasasi dapat dimintakan kepada Mahkamah Agung Pasal 10 ayat 3 UU No 14 Tahun 1970, Sedangkan dalam KUHAP Kasasi itu adalah terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain dari pada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas(244 KUHAP).22

Upaya hukum luar biasa meliputi pemeriksaan kasasi demi kepentingan hukum dan peninjauan kembali ini merupakan pengecualian dan penyimpangan dari upaya hukum biasa yaitu banding dan kasasi. Kasasi demi kepentingan hukum yaitu: terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan lain selain Mahkamah Agung, dapat diajukan permohonan kasasi satu kali oleh Jaksa Agung.

Herziening atau Peninjauan Kembali adalah suatu putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap atas suatu perkara

pidana, berhubungan dengan ditemukannya fakta-fakta yang dulu tidak diketahui oleh Hakim, yang akan menyebabkan dibebaskannya terdakwa dari tuduh.23

22

. Ibid hal 352

23


(33)

Herziening atau peninjuan kembali merupakan uapaya hukum luar biasa sifatnya dan

ditujukan untuk mendampingi upaya hukum lainnya (banding, kasasi, kasasi demi kepentingan hukum). Bahwa ada pakar yang mengatakan bahwa peninjauan kembali ini selalu berdampingan dengan kasasi demi kepentingan hukum peninjauan kembali sebagai upaya hukum luar biasa hanya diajukan bagi tertuduh maupun jaksa. Begitu juga dengan pendapat yang mengatakan bahwa terhadap suatu perbuatan tercela atau atas sesuatu perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan hukum merupakan tugas Mahkamah Agung meluruskannya.24

Peninjauan kembali atau Herziening dalam konteks penyelesaian perkara tingkat upaya hukum luar biasa dapatlah diartikan melihat atau mengamati, apakah hal-hal tertentu yang dirumuskan secara konkret oleh Undang-undang dapat di jumpai atau tidak dalam uraian alasan yang dijadikan dasar perminttaan peninjauan kembali yang bersangkutan, dan hal yang dirumuskan oleh Undang-undang yang dimaksud disini adalah:25

a. Keadaan Baru (dalam bahasa Latin lazim disebut Novum) b. Alasan Putusan yang bertentangan satu dengan yang lain. c. Kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata.

d. Perbuatan dinyatakan terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.

Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh Undang-undang

24

Leden Marpaung, Perumusan Memori Kasasi dan Peninjauan Kembali, (Sinar Grafika:Jakarta,2000),hal 12.

25

Mangasa Sidabutar, Hak Terdakwa Terpidana Penuntut Umum Menempuh Upaya Hukum, (Raja Grafindo Persada: Jakarta,1999),Hal 153


(34)

untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan Undang-undang.Sedangkan Penuntut Umum Adalah jaksa Yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim26

G. Metode Penelitian

Sebagai sebuah penelitian ilmiah, maka rangkaian kegiatan penelitian mulai dari pengumpulan data sampai pada analisis data dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah penelitian ilmiah sebagai berikut:

1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian hukum yang dilakukan adalah yuridis normatif27dengan pertimbanagan bahwa titik tolak penelitian adalah untuk menganalisis kewenangan jaksa dalam melakukan upaya hukum peninjauan kembali dalam perkara pidana. Penelitian yuridis normatif dinamakan juga dengan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal. Jenis penelitian ini digunakan untuk permasalahan 1(satu), yaitu untuk mengetahui Apakah Jaksa Penuntut Umum berwenang melakukan permohonan Peninjauan Kembali dalam perkara pidana. Dan permasalahan ke 2 (dua) yakni untuk mengetahui apakah praktek peradilan Indonesia membenarkan Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan permohonan peninjauan

26

UU No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 1 Ayat 1 dan 2

27

Joni Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif ,(Bayumedia: Jakarta),2005, hal 282.


(35)

kembali terhadap putusan pengadilan yang berkekuatan tetap, serta permasalahan no 3 yakni tentang alasan-alasan apakah yang digunakan oleh penuntut umum untuk mengajukan peninjauan kembali dalam praktek peradilan .

Menurut Soerjono Soekanto sebagaimana dikemukakan oleh Burhan Ashofa, bentuk penelitian normatif itu dapat berupa:28

a. Inventarisasi hukum positif. b. Penemuan asas hukum.

c. Penemuan hukum in concreto. d. Perbandingan hukum

e. Sejarah Hukum

Soetandyo Wignjosoebroto sebagaimana yang dikemukakan oleh Bambang Sunggono, membagi penelitian hukum doctrinal/ yuridis normatif sebagai berikut:

1) Penelitian yang berupa usaha inventarisasi hukum positif.

2) Penelitian yang berupa usaha penemuan asas-asas dan dasar-dasar falsafah (dogma atau doctrinal) hukum positif.

3) Penelitian yang berupa uasaha penemuan hukum in concreto yang layak diterapkan untuk menyelesaikan suatu perkara tertentu.

2. Pendekatan Masalah

Sehubungan dengan tipe penelitian yuridis normatif yang digunakan untuk menjawab persoalan dalam tesis ini, maka pendekatan yang dikakukan adalah pendekatan perundang-undangan yaitu menelaah semua undang-undang yang bersangkut paut dengan upaya hukum peninjauan kembali. Sedangkan pendekatan

28


(36)

kasus yang perlu dipahami adalah ratio decidendi,29 yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk samapai kepada putusannya yang dalam hal ini alasan-alasan hukum yang di gunakan oleh hakim untuk mengabulkan peninjauan kembali yang dilakukan oleh jaksa tersebut.

3. Sumber Data

Sumber data penelitian yang digunakan merupakan data sekunder yang terdiri dari:

a) Bahan Hukum Primer.

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoratif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari Peraturan perundang-undangan yang diurut berdasarkan hirarki dan putusan pengadilan 30 seperti yang terdapat dalam KUHAP dan UU No Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman dan UU No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan .

b) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen resmi, seperti: buku-buku teks, hasil-hasil penelitian, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, artikel, majalah dan jurnal ilmiah hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini

c) Bahan Hukum Tersier.

29

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2007,hal 119

30


(37)

Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum serta bahan hukum primer, sekunder dan tersier di luar hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian ini. Penggunaan secara layak (fair use) terhadap bahan-bahan hukum yang diperoleh dari internet untuk tujuan ilmiah.31

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan teknik kepustakaan (libraray research), dengan meneliti sember bacaan yang berhubungan dengan topik tesis ini, seperti: buku-buku hukum, makalah hukum, artikel dan bahan penunjang lainnya.

5. Analisis Data

Data yang diperoleh melalui studi pustaka dikumpulkan, diurutkan, dan diorganisasikan dalam satu pola, kategori dan satuan uraian dasar.32 Analisis data dalam penelitian ini adalah dengan cara kualitatif yakni dengan mempelajari, menganalisis dan memperhatikan kualitas serta kedalaman data yang diperoleh sehingga memperoleh data yang dapat menjawab permasalahaan dalam penelitian ini.

31

Joni Ibrahim op cit hal 340.

32

Lexy Moleong.1999.Metode Penelitian Kualitatif.(Bandung:Remaja Rosdakarya) Cetakan Ke 10, hal 103


(38)

BAB II

KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM UNTUK MELAKUKAN PERMOHONAN PENINJAUAN KEMBALI MENURUT PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU DI INDONESIA

A. Latar Belakang Lahirnya Putusan Peninjauan Kembali

Lahirnya bab XVIII ini dalam upaya hukum luar biasa khususnya bagian kedua tentang peninjauan kembali yang terdapat dalam pasal 263 sampai dengan pasal 269 KUHAP yaitu merupakan sejarah baru dilapangan hukum khususnya hukum acara pidana. Sebab ini merupakan suatu kenyataan bahwa seorang terpidana merasa bahwa hukuman yang dijatuhkan kepadanya tidak adil kemudian ingin memintakan kembali pemeriksaan atas perkaranya tersebut dan ini tidak mungkin karna jalan atau acara formal untuk meminta perkaranya yang telah putus untuk diperiksa kembali tidak mungkin karna upaya hukum untuk itu tidak ada lagi.33

Maka kini dengan adanya upaya hukum peninjauan kembali ini, maka terbukalah jalan bagi setiap terpidana untuk meminta pemeriksaan ulang atas perkaranya. Ini muncul bukan dengan tiba-tiba tetapi terjadi pada tahun 1980 yang mana terkenal dengan kasus sengkon dan karta. Dua terpidana yang telah menjalani hukumannya sejak tahun 1977 tapi sudah di tahan sejak tahun 1974. Kasus tersebut yaitu sengkon dan karta ditahan dan diperksa oleh Pengadilan Negeri Bekasi dengan tuduhan telah merampok dan membunuh suami istri suleman. Berdasarkan alat bukti

33

Hadari Djenawi Tahir, Bab Tentang Heirzening di dalam KUHAP, (Bandung: Alumni,1982),hal 5


(39)

yang dianggap sah oleh Pengadilan Negeri Bekasi keduanya dijatuhi hukuman masing-masing 10 tahun dan 7 bulan penjara.

Jelas disini telah terjadi kesalahan didalam penjatuhan putusan terhadap sengkon dan karta.Para aparat hukum juga tidak menjadi tenang dengan adanya kasus ini, dan para ahli hukum juga mencari suatu modus yang tepat agar sengkon dan karta dapat dibebaskan dari lembaga pemasyarakatan. Jika diteliti kasus sengkon dan karta ini bukanlah telah terjadi kesalahan tuduhan terhadap orang yang melakukan pembunuhan atas sulaiman suami istri tetapi juga telah terjadi kelalaian yang dilakukan oleh pengadilan negeri bekasi.

Pengadilan negeri bekasi jelas mengetahui bahwa sengkon dan karta tidak bersalah sewaktu menjatuhkan putusan terhadap Gunel Cs maka seharusnya pada putusan yang sama didalam amarnya Pengadilan Negeri Bekasi memutuskan juga pembatalan atas putusan terdahulu yang dikenakan tehadap sengkon dan karta. Maka dengan seketika itu juga pada saat yang sama sengkon dan karta bebas dari pidana yang telah dijatuhkan terhadapnya.

Pernyataan ini juga dikatakan oleh Ketua Mahkamah Agung terdahulu yang mengatakan apabila ini dilakukan oleh Pengadilan Negeri Bekasi maka ini telah terjadi suatu revolusi dalam hukum indonesia dan ini tidak terjadi dan Pengadilan Negeri Bekasi hanya menyatakan bahwa tuduhan terhadap sengkon dan karta tidak


(40)

terbukti. Mahkamah Agung membatalkan putusan dalam sidang Majelis Mahkamah Agung tertanggal 31 Januari 1981.34

Lembaga herziening ini dalam hukum diartikan sebagai suatu upaya hukum yang mengatur tentang tata cara untuk melakukan peninjauan kembali suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap35. Mengingat sangat dibutuhkannya lembaga heirzening tersebut maka berbagai upaya telah dilakukan agar lembaga tersebut dapat diberlakukan. Upaya tersebut dapat terlihat ketika lahirnya PERMA No 1 Tahun 1969 yang menetapkan tentang peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pengaturan disini adalah tidak saja mengenai masalah herziening tetapi juga diatur kembali lembaga request civil yaitu suatu lembaga peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap didalam hukum perdata. Tetapi peraturan Mahkamah Agung tersebut tidak berlaku lama sebab pada tahun 1971 berlaku PERMA No 1 Tahun 1971yang mencabut PERMA No 1 Tahun 1969 maka dengan demikian terjadi kekosongan hukum dalam hal permohonan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Pencabutan PERMA No 1 Tahun 1969 ini didasarkan pada pendapat bahwa pada tahun 1970 telah dikeluarkan undang No 14 tahun 1970 yaitu Undang-undang pokok kekuasaan kehakiman. Dimana dalam pasal 21 telah terdapat pasal

34

Ibid hal 8

35

Lembaga ini dikenal dalam Reglement op de Strafvordering Staatsblad nomor 40 jo no 57 tahun 1847 yang tercantum dalam titel 18 dan dilam KUHAP juga diatur dalam hal yang sama yaitu dalam Bab XVIII


(41)

mengenai peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dimana dikatakan: apabila terhadap hal-hal atau keadaan yang ditentukan dengan Undang-undang terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung dalam perkara perdata maupun pidana. 36

Ketentuan Pasal 21 UU No 14 Tahun 1970 ini semula bermaksud untuk menggantikan PERMA No 1 tahun 1969 tapi ternyata Pasal 21 dari Undang-undang No 14 Tahun 1970 ini tidak dilengkapi oleh peraturan pelaksananya. Sehingga apabila dilakukan peninjauan kembali dengan menggunakan dasar ini tidak mempunyai kekuatan hukum tetap. Maka kasus Sengkon dan Karta tidak bisa diajukan peninjauan kembali dengan menggunakan dasar Pasal 21 UU No 14 Tahun 1970 ini. Dimana pada saat itu lembaga peninjauan kembali (heirzening) belum ada karena telah dicabut dengan PERMA No 1 Tahun 1971.

Jalan pintas yang ditempuh pada waktu itu yaitu dengan mengeluarkan kembali PERMA. Pada saat itu Perpu ingin dikeluarkan untuk mengatur lembaga heirzening ini karena situasi tidak genting oleh kasus sengkon dan karta ini. Maka oleh Mahkamah Agung hanya mengeleuarkan PERMA saja untuk menjadi dasar lahirnya lembaga Heirzening ini. Dasar hukum lahirnya lembaga Heirzening ini adalah pasal 21 Undang-undang No 14 Tahun 1970 yang mungkin dapat diterima yang menjadi dasar peraturan pelaksana dari suatu undang-undang. Peraturan pelaksana yang dimaksud disini adalah perturan pemerintah yang derajatnya setingkat

36


(42)

lebih rendah dari Undang-undang yaitu dalam hal ini yaitu Undang-Undang No 14 Tahun 1970.

Prosedur untuk dikeluarkannya Peraturan Pemerintah memang akan memakan waktu lama maka. Apabila prosedur ini ditempuh maka akan lama sengkon dan karta menanti pembebasannya. Maka dianggap beralasan apabila Mahkamah Agung menempuh suatu jalan pintas dengan mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 1980 tentang “ Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap”dimana dalam PERMA tersebut diatur mengenai peninjauan kembali dalam perkara pidana dan perdata.

Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No 1 Tahun 1980 ini sebenarnya hampir sama dengan peraturan yang pernah dikeluarkan sebelumnya yaitu PERMA No 1 tahun 1969 yang kemudian dicabut dengan PERMA No 1 Tahun 1971. Perbedaan PERMA tersebut yaitu terletak pada PERMA No 1 Tahun 1980 yang tidak mencantum “kekhilafan hakim” dan “kekeliruan yang menyolok” sebagai salah satu alasan yang dapat dijadikan dasar untuk meminta peninjauan kembali.

Alasan peninjauan kembali yang terdapat dalam PERMA No 1 tahun 1980 yaitu :

a) Apabila dalam putusan-putusan yang berlainan terdapat keadaan-keadaan yang dinyatakan terbukti, akan tetapi satu sama lain bertentangan.

b) Apabila terdapat suatu kedaan sehingga menimbulkan persangkaan yang kuat, bahwa apabila keadaan itu diketahui pada waktu masih sidang berlangsung.


(43)

Putusan yang akan dijatuhkan akan mengandung pembebasan terpidana dari tuduhan, pelepasan dari segala tuntutan hukum. atas dasar bahwa perbuatan yang dituduhkan itu tidak dapat dipidana. Pernyataan tidak dapat diterimanya tuntutan jaksa untuk menyerahkan perkara kepersidangan pengadilan atau penetapan ketentuan-ketentuan pidana yang lebih ringan.

Tidak dicantumkannya kekhilafan hakim dan kekeliruan yang menyolok sebagai suatu alasan yang menjadi dasar untuk meminta peninjauan kembali, maka berkembanglah suatu anggapan dikalangan ahli hukum bahwa Mahkamah Agung menganut asas bahwa hakim tidak dapat diganggu gugat atas putusannya itu. Anggapan itu cenderung untuk mengatakan bahwa hakim bebas dari segala kesalahannya dalam memeriksa dan memutus perkara. hal ini tentu telah menyalahi kodrat dimana dianut asas bahwa manusia tidak luput dari kesalahan begitu juga dengan hakim dalam memeriksa suatu perkara.

Jika diperbandingkan antara Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 1980 dengan ketentuan yang terdapat didalam Reglement op de strafvordering tahun 1847 khususnya pasal 356 maka alasan atau dasar untuk meminta peninjauan kembali yaitu putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, dengan demikian tidak ada perbedaan pada saat Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA No 1 Tahun 1980 dengan mengambil alih pasal 356 dengan alasan yang menjadi dasar peninjauan kembali. Maka apa yang diatur didalam PERMA No 1 Tahun 1969 ini pengaturannya khususnya mengenai lembaga Herzeining lebih luas dari pada PERMA No 1 Tahun


(44)

1980 maupun yang terdapat dalam Reglement op de Strafvordering (pasal 356-360). dengan anggapan bahwa dengan dikeluarkannya Perma No 1 Tahun 1980 ini masalah sengkon dan karta dapat terselesaikan.

Keluarnya PERMA No 1 Tahun 1980 ini mendapat reaksi dan tanggapan dari para ahli hukum dan bisa menimbulkan kegoncangan diantara para ahli hukum. Pada umumnya lahirnya PERMA No 1 Tahun 1980 ini dihargai dengan itikad baik dimana ini dapat mencakup lembaga herziening dan request civil. itikad baik itu nampak dalam pertimbangannya dikeluarkan PERMA No 1 Tahun 1980 yang menyatakan bahwa dikeluarkannya peraturan tersebut didasarkan adanya dengar pendapat dengan anggota DPR yang menyatakan dikeluarkannya peraturan tersebut sambil menunggu peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang peninjauan kembali karena telah sempat terjadi kekosongan hukum.

PERMA No 1 Tahun 1971 ini yang mencabut PERMA No 1 Tahun 1969. Dimana masyarakat sangat membutuhkan lembaga ini ditambah lagi dengan adanya kasus sengkon dan karta yang khusus untuk melakukan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan. Masalah yang dipersoalkan dalam pembentukan PERMA No 1 Tahun 1980 yaitu: bahwa pembuatan PERMA No 1 Tahun 1980 ini dianggap agak aneh dengan PERMA sebelumnya yang mana PERMA No 1 Tahun 1969 didasarkan pada pasal 31 UU No 13 Tahun 1965. Dikatakan bahwa Mahkamah Agung mempunyai wewenang untuk melakukan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.


(45)

PERMA No 1 Tahun 1980 ini mendasarkannya pada ketentuan yang terdapat dalam pasal 21 UU No 14 Tahun 1970 dan pasal 131 UU No 1 Tahun 1950 tentang MA.hal ini dirasa kurang tepat karena dengan berdasarkan pasal 70 UU NO 13 Tahun 1965 ketentuan tersebut dinyatakan tidak berlaku, karena UU No 1 Tahun 1950 tentang Mahkamah Agung ini mempunyai kaitan secara langsung dengan UU Darurat No 1 Tahun 1951 dengan demikian yang dipersoalkan disini adalah apa dasar hukum dikeluarkannya PERMA No 1 Tahun 1980 tersebut.

Masalah lain yang banyak dipersoalkan adalah masalah wewenang Mahkamah Agung untuk mengeluarkan suatu peraturan seperti PERMA No 1 Tahun 1980 tersebut. Mahkamah Agung disini dianggap berdiri sendiri disini sebagai kursi legislatif, sebagai pembuat peraturan perundang-undangan yang sebenarnya bukan wewenang Mahkamah Agung.

Pendasaran ini didasarkan pada suatu pola pemikiran yang legalistik dimana segala sesuatu harus didasarkan pada suatu ketentuan yang yuridis formal dan konstitusional. Hal tersebut memang ideal tapi disatu pihak dalam menghadapi situasi kasus sengkon dan karta ini apabila kita hanya mengikuti saluran formal normatif mungkin sudah akan terhambat, maka suatu hal yang bijaksana Mahkamah Agung mengeluarkan peraturan tersebut dengan tujuan memberikan keadilan.

Munculnya kasus sengkon dan karta yang seakan memaksa hadirnya lembaga peninjauan kembali di negri ini, maka hingga kini persepsi kalangan berbagai pihak yang terutama kalangan para pakar hukum mengalami perkembangan mendasar.


(46)

Sengkon bin yakin dan karta als karung als encep bin salam dimana keduanya dihukum masing-masing 12 Tahun dan 7 tahun oleh masing-masing Pengadilan Negeri Bekasi tanggal 20 oktober 2007 atas suatu perbuatan pidana pembunuhan. Pengadilan Tinggi Bandung dalam putusannya tanggal 25 Mei 1978 menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama dan terhukum tidak mengajukan hak nya untuk kasasi. Atas dasar kejanggalan dan ketidakadilan tersebutlah kuasa hukum kedua terpidana mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung dan kasus itu terangkat ke tengah permukaan secara luas.37

Berlakunya lembaga hukum peninjauan kembali berdasarkan PERMA No 1 Tahun 1980 yang diterapkan baik bagi perkara pidana maupun perdata. Meskipun kehadirannya mengalami masalah yang kontroversial dikalangan para ahli hukum pada waktu itu, karena tidak mencerminkan asas-asas yang digariskan UUD 1945 dan UU No 14 Tahun 1970 tentang pokok kekuasaan kehakiman, namun tetap dipandang sebagai suatu solusi yuridis untuk menampung berbagai suatu masalah terhadap munculnya kesilapan dan kekeliruan aparat peradilan seperti dalam fakta yang dialami oleh sengkon dan karta.

Diberlakukannya KUHAP (UU No 8 Tahun 1981) yang menampung lembaga peninjauan kembali dan sekaligus mencabut PERMA No 1 Tahun 1980 maka kasus demi kasus yang dimintakan peninjauan kembali dan diselesaikan oleh Mahkamah Agung Telah memperlihatkan suatu benang merah dalam kaitannya dengan pencari

37

Parman Soeparman, Pengaturan Hak Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana Bagi Korban Kejahatan,(Bandung:PT Refika Aditama, 2007),Hal 5


(47)

keadilan. Benang merah yang dapat dilihat dari sisi kepentingan pencari keadilan. Disamping terpidana yang merasa tidak berdosa melakukan tindak pidana yang selanjutnya berhak mengajukan permohonan peninjauan kembali, tercuat adanya keinginan pihak lain diluar terdakwa untuk melakukan hal yang sama. Pihak tersebut adalah jaksa, korban, keluarga korban dan pihak ketiga yang berkepentingan yang merasa bahwa putusan pengadilan terhadap terdakwa adalah suatu putusan pengadilan yang salah.38

Pengajuan peninjauan kembali yang dilakukan oleh Jaksa, korban, keluarga korban, pihak ketiga yang berkepentingan masih menimbulkan pertanyaaan, apa yang menjadi dasar hukum bagi mereka yang mengajukan upaya hukum tersebut karna hak untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali berdasarkan Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP hanya dimiliki oleh terpidana atau ahli warisnya. Dimana terlepas dari penafsiran dan kontroversi yang ada sekarang muncul kepermukaan adanya kasus yang sedemikian yang menghiasi cakrawala praktik peradilan. Hal ini ditandai dengan munculnya putusan-putusan Mahkamah Agung yang cukup menarik masyarakat yaitu Kasus Muchtar Pakpahan, Gandhi Memorial School dan kasus Pollycarpus Budiharipriyatno.

Praktek peninjauan kembali kemudian melangkah jauh, seakan meninggalkan tujuan yang hakiki, itulah yang terjadi dalam praktek yaitu pengajuan peninjauan kembali oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan bebas. Praktik penerapan

38


(48)

ketentuan tentang peninjauan kembali perlu dikaji secara mendalam dari sudut ilmu hukum pidana dengan pertimbangan 2 faktor yakni:39

1. Dilihat dari sudut pengaturan hukum acara pidana yang ada terutama KUHAP yang diatur dalam UU No 8 Tahun 1981 tidak memberikan kesempatan mengajukan peninjauan kembali bagi Jaksa penuntut umum atau pihak korban dirasakan tidak memuaskan

2. Munculnya kasus-kasus peninjauan kembali yang secara jurisprudensial secara tidak langsung telah membuka pintu bagi pihak kejaksaan mengajukan Peninjauan Kembali atas berbagai kasus yang diputus secara bebas atau bahkan setiap putusan yang oleh kejaksaan atau pihak korban dirasakan tidak memuaskan.

Ketiga kasus tersebut memunculkan pandangan bahwa tidak diaturnya suatu masalah dalam undang bukan berarti tidak dimungkinkan untuk mengajukan peninjauan kembali. Karena bila dilihat dari sisi kepentingan korban, hak untuk mengajukan peninjauan kembali sudah sepantasnya pula diberikan kepada Jaksa Penuntut Umum. Dalam praktek hukum acara pidana masih memungkinkan bahwa korban kejahatan dapat diberi kesempatan untuk dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali karena didalam hukum acara pidana memang belum bahkan mengaturnya. Namun apabila dilihat dari praktik hukum acara pidana masih memungkinkan untuk dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali sehingga dalam peraturan hukum positif dapat dipertimbangkan untuk diatur.

39


(49)

Pengaturan dalam hukum positif sebenarnya sudah tersirat didalam pasal 263 ayat 3 KUHAP yang mana didalamnya disebutkan bahwa terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam suatu putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. Sedangkan dalam pasal 263 ayat 1 KUHAP yang diperbolehkan mengajukan peninjauan kembali yaitu hanya terpidana kecuali terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.

Mengenai orang yang berhak mengajukan peninjauan kembali ditegaskan dalam pasal 263 ayat 1 yakini Terpidana atau Ahli warisnya. Berdasarkan ketentuan ini jaksa penuntut umum tidak berhak mengajukan permintaan peninjauan kembali sebab undang-undang tidak memberikan hak kepada penuntut umum karena upaya hukum ini hanya untuk melindunggi kepentingan terpidana.

Untuk kepentingan terpidana Undang-Undang membuka kemungkinan untuk meninjau kembali putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, karena itu selayaknya diberikan kepada terpidana atau ahli warisnya. Lagi pula sisi lain dari upaya hukum luar biasa ini yakni pada upaya kasasi demi kepentingan hukum. Undang-Undang telah membuka kesempatan kepada Jaksa Agung untuk membela kepentingan umum. Seandainya penuntut umum berpendapat suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap merugikan kepentingan umum atau bertentangan dengan tujuan penegakan hukum, kebenaran, dan keadilan.


(50)

Undang-Undang telah membuka upaya hukum bagi Jaksa Agung untuk mengajukan permintaan kasasi demi kepentingan hukum.

Hak mengajukan permintaan peninjauan kembali adalah merupakan hak timbal balik yang diberikan kepada terpidana untuk menyelaraskan keseimbangan hak untuk mengajukan permintaan kasasi demi kepentingan hukum yang diberikan oleh Undang-Undang kepada penuntut umum melalui Jaksa Agung. Maka melalui upaya hukum luar biasa sisi kepentingan terpidana dan kepentingan umum telah terpenuhi secara berimbang.

Isi pasal dari 263 ayat 1 yang berhak mengajukan permintaan peninjauan kembali hanya terpidana atau ahli warisnya. Maka sekalipun ada pihak yang merasa dirugikan dalam putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, tidak dibenarkan hukum untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali. Hal ini ditegaskan dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 20 Februari 1984 Reg No 1 PK/Pid/1984. Pemohon telah mengajukan permintaan peninjauan kembali terhadap putusan Mahkamah Agung tanggal 4 Juli 1983 yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pemohon merasa keberatan atas rampasan untuk negara barang bukti yang bukan milik terpidana, tetapi milik pemohon. Sedang pemohon tidak terlibat maupun tersangkut dalam tindak pidana yang dilakukan terpidana. Oleh karena itu tidak adil apabila milik pemohon dirampas untuk negara sekalipun kapal itu telah dipergunakan terpidana sebagai alat melakukan tindak pidana.


(51)

Tanggapan dan putusan Mahkamah Agung atas permohonan dan keberatan yang diajukan pemohon berbunyi: bahwa meskipun terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung akan tetapi karena pemohon peninjauan kembali bukan terpidana atau ahli warisnya sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 263 ayat 1 KUHAP maka permohonan peninjauan kembali harus dapat dinyatakan tidak dapat diterima.40

Sehubungan dengan masalah orang yang berhak mengajukan permintaan peninjauan kembali ada beberapa hal yang perlu dijelaskan yaitu:41

a. Hak prioritas antara terpidana dengan ahli warisnya

Untuk mengetahui kedudukan prioritas antara terpidana dengan ahli warisnya untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali yang artinya apakah ahli waris terpidana dapat melangkahi terpidana untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali. Undang-undang tidak menentukan kedudukan anatara terpidana dengan ahli waris. Sekalipun terpidana masih hidup dan sedang mengalami human, maka ahli waris dapat langsung mengajukan permintaan peninjauan kembali sekalipun terpidana masih hidup.

Hak ahli waris untuk mengajukan peninjauan kembali bukan merupakan hak subsistusi yang diperoleh setelah terpidana meningga dunia. Hak tersebut adalah hak “hak orisinil” yang diberikan oleh Undang-undang kepada mereka demi untuk

40

Op cit M.Yahya Harahap. Hal 616.

41


(52)

kepentingan terpidana dan ini berasalah sekalipun terpidana masih hidup kemungkinan besar ahli waris lebih mampu dan lebih dapat leluasa berdaya upaya untuk memikirkan dan menanggani pengajuan permintaan peninjauan kembali. Berdasarkan alasan dilakukan diatas hak untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali dapat dilakukan oleh terpidana maupun ahli waris telah dilekatkan oleh undang-undang.

b. Ahli Waris Meneruskan Permintaan Terpidana

Sudah dijelaskan, baik terpidana maupun ahli waris sama-sama mempunyai hak mengajukan permintaan peninjauan kembali tanpa mempersoalkan apakah terpidana masih hidup atau tidak. Akan tetapi jika yang mengajukan permintaan itu terpidana, kemudian sebelum peninjauan kembali diputus oleh Mahkamah Agung terpidana meninggal dunia, menurut pasal 268 ayat (2), hak untuk meneruskan permintaan peninjauan kembali “diteruskan” oleh ahli waris. Dalam peristiwa yang seperti inilah kedudukan ahli waris menduduki “ hak substitusi” dari terpidana. Kentuan pasal 268 ayat (2) dapat kita ringkaskan sebagai berikut :

1) Yang mengajukan permintaan peninjauan kembali ialah terpidana sendiri,

2) Sementara peninjauan kembali sudah diterima Mahkamah Agung tapi belum

diputus, terpidana meninggal dunia,

3) Diteruskan atau tidak permohonan peninjauan kembali, sepenuhnya menjadi


(53)

Atau keadaannya bisa juga :

1) Terpidana telah meninggal dunia, dan permohonan peninjauan kembali diajukan oleh ahli waris.

2) Sementara itu ahli waris yang mengajukan permohonan meninggal dunia sebelum Mahkamah Agung memutus.

3) Diteruskan atau tidak permohonan peninjauan kembali dilanjutkan oleh ahli waris yang meninggal tersebut.

Apa yang diatur pada pasal 268 ayat (2) jika permintaan peninjauan kembali sudah diterima Mahkamah Agung. Bagaimana halnya jika terpidana yang mengajukan permohonan peninjauan kembali meninggal dunia sebelum permintaan peninjauan kembali dikirimkan Pengadilan Negeri kepada Mahkamah Agung

Permintaan peninjauan kembali dapat diteruskan ahli waris Tentang hal ini undang-undang tidak mengatur. Akan tetapi secara konsisten dapat dipedomani ketentuan Pasal 268 ayat (2). Apabila terpidana meninggal dunia sebelum permohonan peninjauan kembali dikirimkan kepada Mahkamah Agung, ahli waris dapat meneruskan atau tidak peninjauan kembali. Dengan demikian, ketentuan pasal 263 ayat (2), bukan saja berlaku pada taraf permohonan peninjauan kembali berada di Mahkamah Agung, tapi berlaku pada permohonan peninjauan kembali berada di Mahkamah Agung, tapi berlaku pada permohonan peninjauan kembali masih berada pada taraf pemeriksaan sidang Pengadilan Negeri atau pada taraf permohonan peninjauan kembali belum dikirimkan Pengadilan Negeri kepada Mahkamah Agung.


(54)

Sebagaimana yang sudah dijelaskan, Pasal 263 ayat (1) hanya memberikan kepada terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali. Apakah ketentuan ini melarang penasehat hukum atau seorang yang dikuasakan terpidana atau ahliwarisnya untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali Memang kalau secara ketat berpegang pada ketentuan pasal 263 ayat (1), undang-undang tidak memberi hak kepada kuasa mengajukan permintaan peninjauan kembali. Harus langsung terpidana atau ahli waris. Ketentuan yang seperti ini dijumpai dalam pasal 244 KUHAP. Yang menentukan permohonan kasasi hanya dapat dilakukan oleh terdakwa yang bersangkutan tidak dapat dikuasakan kapada penasehat hukum atau orang lain.

Ketentuan pasal 244 tersebut diperlunak oleh angka 24 Lampiran Keputusan Metenteri Kehakiman No. M. 14-PW.07.03 Tahun 1983, tanggal 10 Desember 1983. oleh angka 24 lampiran tadi yang merupakan tambahan pedoman pelaksanaan KUHAP, telah memperkenankan dibuat terdakwa “secara khusus”. Artinya penunjukkan kuasa untuk mengajukan permohonan kasasi harus dibuat terdakwa dalam surat kuasa yang khusus untuk tujuan permintaan permohonan kasasi.

Peninjauan kembali dapat diminta oleh seorang kuasa, dasar hukumnya diterapkan “secara konsisten” pedoman yang terdapat pada angka 24 lampiran Menteri Kehakiman tersebut. Alasan penerapan pedoman petunjuk yang terdapat pada angka 24 ini ke dalam proses permohonan itu sendiri. Motivasi


(55)

memperbolehkan seorang kuasa mengajukan permintaan kasasi, tiada lain demi kepentingan dan perlindungan hak asasi terdakwa. Kalau begitu dengan motivasi yang sama, pedoman petunjuk angka 24 tadi dapat diterapkan dalam permintaan peninjauan kembali, demi kepentingan dan perlindungan hak asasi terpidana. Bukankah setiap orang berhak menunjuk penasehat hukum atau kuasa yang dapat diharapkan membela kepentingan dan memperlindungi hak asasi.

B. Kewenangan Jaksa Penuntut Umum

Fungsi dan kewenangan jaksa didalam KUHAP Pasal 1 angka 6 huruf a ditetapkan hanya meliputi dan bertindak sebagai penuntut umum dan melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. KUHAP merumuskan demikian karena berkaitan dengan rangkaian ketentuan-ketentuan lainnya dalam KUHAP.

Sesuai dengan ketentuan pasal 284 ayat 2 KUHAP Jo Pasal 17 PP No 27 Tahun 1983 Jaksa berwenang untuk melakukan penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana seperti dalam tindak pidan korupsi dan dalam tindak pidana Subversi dan dalam tindak pidana ekonomi. Dengan adanya pasal ini jaksa berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tersebut. Maka dengan kewenangan penyidik yang dimiliki oleh jaksa diletakkan diatas corak khusus ketentuan acara pidana dalam undang-undang yang bersangkutan.


(56)

Pelaksanaan sistem peradilan pidana ini (Criminal Justice System) dalam sistem peradilan perkara pidana terpadu, yang unsur-unsurnya terdiri dari persamaan persepsi tentang keadilan dan pola penyelenggaraan peradilan perkara pidana secara keseluruhan dan pelaksaan peradilan terdiri dari beberapa komponen seperti penyidik, penuntutan, pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan, dan semua lembaga ini berusaha untuk mengintegrasikan semua komponen tersebut agar peradilan berjalan sesuai dengan yang dicita-citakan.

Maka dengan fungsi dan kewenangan masing-masing instansi penegak hukum itu terdapat pembedaan fungsi dan wewenang secara tegas tetapi hal tersebut bukanlah pemisahan fungsi dan wewenang masing-masing instansi penegak hukum. Dalam hubungannya dengan sistim peradilan perkara pidana terpadu tersebut, untuk menangani hasil-hasil penyidikan yang yang telah dilaksanakan oleh penyidik maka dalam tahap penuntutan kepada penuntut umum.

Ketentuan Pasal 14 KUHAP yang menyatakan penuntut umum mempunyai wewenang yaitu:

a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu

b. Mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan penyidikan dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat 3 dan ayat 4, dengan memberikan petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik.

c. Memberikan perpanjangan penahanan, melaksanakan penahanan atau

penahanan lanjutan dana atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik.


(57)

e. Melimpahkan perkara kepengadilan

f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai dengan surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi untuk datang pada sidang yang telah ditentukan. g. Melakukan penuntutan.

h. Menutup perkara demi kepentingan hukum.

i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawabnya sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang.

j. Melaksanakan penetapan hakim.

Pengertian dari penuntutan itu menurut Andi hamzah yaitu tindakan penuntut umum untuk memberikan petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan oleh penyidik. Sedangkan Harun.M.Husein mengatakan pengertian yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan prapenuntutan itu yaitu harus dihubungkan dengan pasal 8 ayat 3 huruf a, pasal 14 huruf a dan b, pasal 110 dan pasal 138 KUHAP dari rangkaian pasal tersebut nampak hal-hal sebagai berikut:42

a) Pada tahap pertama pertama penyidik hanya meyerahkan berkas perkara.

b) Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut masih belum/kurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk-petunjuk guna melengkapi hasil penyidikan, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan.

c) Penyidikan dianggap selesai apabila dalam batas waktu 14 hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas perkara atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik.

d) Penuntut umum setelah menerima berkas perkara segera mempelajari dan meneliti berkas perkara dan dalam waktu 7 hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan sudah lengkap atau belum.

e) Apakah hasil penyidikan belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas perkara dengan petunjuk tentang hal yang harus dilengkapi dan dalam batas waktu 14 hari sejak penerimaan kembali berkas perkara, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum.

42

Harun.M.Husein, Penyidikan dan penuntutan dalam proses pidana, (Jakarta:PT Rineka Cipta),hal 234


(58)

Berdasarkan pengertian yang diatas yang dimaksud dengan penuntutan ialah kewenangan penuntutan umum untuk mempersiapkan penuntutan yang akan dilakukannya dalam suatu perkara, yaitu dengan cara mempelajari/meneliti berkas perkara hasil penyidikan yang diserahkan penyidik kepadanya guna menentukan apakah persyaratan yang di perlukan guna melakukan penuntutan sudah terpenuhi atau belum oleh hasil penyidikan tersebut.

Ada beberapa bidang tugas dan wewenang kejaksaan berdasar undang-undang No. 5 Tahun 1991 ( Pasal 27, 28, dan 29) yaitu sebagai berikut :43

a. Di bidang Pidana

Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang : 1. Melakukan penuntutan dalam perkara pidana;

2. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan;

3. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat;

4. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaanya dikoordinasikan dengan penyidik.

b. Di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun)

Di bidang Datun, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak didalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.

c. Di bidang Ketertiban dan Ketentraman Umum

Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan :

1. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat; 2. Pengamanan kebijakan penegakan hukum; 3. Pengamanan peredaran barang cetakan;

4. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;

5. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; 6. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.

Kejaksaan dapat meminta hakim untuk menempatkan seorang terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa atau tempat lain yang layak karena yang

43


(59)

bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri.

Di samping tugas dan wewenang tersebut dalam undang-undang, kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang. Mencermati tugas dan wewenang diatas ternyata kewenangan melakukan pengawasan keputusan lepas bersyarat diabaikan oleh pembentuk Undang-undang nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Untuk itu, dalam penyusunan peraturan pemerintah sebagai pelaksanaan undang-undang kemasyarakatan maka kewenangan kejaksaan perlu diangkat kembali. Dengan demikian tidak ada kesan saling bertentangan atau tumpang tindih, hal itu perlu diperhatikan pula dalam penyusunan RUU KUHAP baru sebagai ius constituendum.

Dalam rangka pemantapan tugas dan fungsi kejaksaan dan sekaligus dalam rangka menemukan kebenaran materiil, kiranya pemeriksaan tambahan lebih diefektifkan dan didayagunakan.

Kewenangan penuntut umum secara normatif dirumuskan oleh KUHAP melalui Pasal 14 yaitu :

a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari Penyidik atau penyidik pembantu;

b. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan dengan pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi membentuk petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari Penyidik;

c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan/atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN

1 . Didalam KUHAP PK hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya terhadap pemutusan pemidanaan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Namun sebelum lahirnya PK didalam Perma No 1 Tahun 1980 Jaksa diberi kewenangan untuk mengajukan peninjauan kembali sebagaimana terdapat dalam pasal 10 ayat 1 PERMA No 1 Tahun 1980 yaitu bahwa permohonan peninjauan kembali didalam suatu putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap harus diajukan oleh Jaksa Agung, Terpidana, atau pihak-pihak yang berkepentingan, dimana jaksa disni diberi hak untuk mengajukan peninjauan kembali melalui Jaksa Agung. Setelah beberapa tahun berlakunya KUHAP oleh Jaksa Penuntut Umum dirasakan terdapat beberapa putusan pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang berupa putusan bebas, yang mana putusan ini bertentangan dengan rasa keadilan dan kepatutan yang timbul didalam masyarkat terutama dalam kasus-kasus yang menyangkut kepentingan negara atau kepentingan umum. Jaksa dalam hal ini kapasitasnya sebagai penuntut umum yang bertugas mewakili negara dan kepentingan umum merasa bahwa hal ini perlu diajukan upaya hukum peninjauan kembali terhadap putusan bebas tersebut, dan KUHAP juga tidak ada melarang secara tegas Untuk melakukan upaya hukum peninjauan kembali oleh jaksa, maka Jaksa penuntut umum mencoba


(2)

melakukan upaya hukum peninjauan kembali terhadap putusan kasasi yang membebaskan Muctar Pakpahan dan hal ini oleh Mahkamah agung dikabulkan Peninjauan Kembali Jaksa Penuntut Umum, dan setelah itu ada beberapa kasus berikutnya yang oleh Mahkamah Agung dikabulkan permohonan peninjauan kembali Jaksa Penuntut Umum.

2. Prakteknya dalam dunia peradilan di Indonesia, Mahkamah agung ada mengabulkan upaya hukum peninjauan kembali yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam kasus Muchtar Pakpahan dan ini dijadikan oleh penuntut umum sebagai jurisprudensi dalam kasus-kasus berikutnya dalam mengajukan peninjauan kembali. Hal ini juga oleh Mahkamah Agung dijadikan sebagai Jurisprudensi dalam memutus perkara peninjauan kembali yang dilakukan oleh jaksa dalam perkara pidana, seperti kasus peninjauan kembali yang dilakukan oleh jaksa yaitu dalam kasus Gandhi Memorial School dan dr Eddy Linus Waworuntu, dan Kasus Pollyycarpus Budihari priyatno

3. Alasan-alasan Jaksa Yang diajukan oleh jaksa dalam melakukan peninjauan kembali ini yaitu

a. Kasus Muchtar Pakpahan Yaitu Adanya Kekliruan yang nyata atau kekhilafan Hakim

b. Kasus Gandhi memorial School yaitu adanya kekhilafan Hakim dan kekeliruan yang nyata.


(3)

c. kasus dr Lenus waworuntu yaitu adanya bukti baru atau novum yang mana ini belum ditemukan pada saat persidangan

d. Kasus Pollycarpus Budihari Priyatno yatu Adanya Kekhilafan Hakim atau kekeliruan hakim.

e. Keadilan Dan Kepentingan Umum.

B. Saran

1. Untuk menegaskan pihak-pihak yang berhak mengajukan permintaan PK, perlu dilakukan revisi terhadap ketentuan PK di dalam KUHAP dengan menambahkan ketentuan satu ayat didalam KUHAP yang mengatakan bahwa terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, penuntut umum dapat mengajukan peninjauan kembali demi keadilan dan kepentingan umum yang diwakili oleh jaksa dan demi kepastian hukum dengan diaturnya dalam suatu Undang-undang. 2. Perlu kiranya diatur dalam Revisi KUHAP yang baru, pengaturan tenggang waktu

permintaan permohonan peninjauan kembali, dan peraturan berapa kali permohonan peninjauan kembali dapat dilakukan oleh pihak Terdakwa dan jaksa penuntut umum demi kepastian hukum.

3. Untuk mencegah ketidakpastian hukum dan sekaligus untuk menjaga asas keadilan dan untuk melindungi kepentingan masyarakat atau kepentingan umum, maka sebaiknya Kewenangan Jaksa Penuntut Umum Untuk mengajukan PK Perlu diatur secara jelas dalam peratuaran per undang-undangan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU-BUKU

Apeldoorn Van, Pengantar Ilmu Hukum,Jakarta: Pradnya Paramita,1981

Aminudin Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2004

Atmadilaga Didi, Sekitar Filsafat Ilmu Penerapan dan Metode Ilmiah, Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran,1994

Ashofa Burhan, Metode Penelitian Hukum, Jakarta:Rieneka Cipta

Efendi Marwan, Kejaksaan Republik Indonesia Posisi dan fungsinya Dari Perspektif Hukum, Jakarta gramedia Pustaka Utama,2005

Hamzah Andi, Hukum Acara Pidana, Jakarta:CV Sapta Artha Jaya,2005

Harahap Yahya M, Pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali), Jakarta: Sinar Grafika,2006

Husein Harun, Penyidikan Dan Penuntutan dalam proses pidana, Jakarta :PT Rieneka Cipta,1990

Ibrahim Joni, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Banyumedia,2005

Lamintang, Hukum Pidana Indonesia, Jakaerta: Sinar Baru,1984 Marzuki Mahmud Peter, Penelitian Hukum, Jakarta:Kencana,2007

Marpaung Leden, Perumusan Memori Kasasi dan Peninjauan Kembali, Jakarta: Sinar Grafika,2000

Mulyadi Lilik, Kapita Selecta Hukum Pidana Kriminologi dan Viktimologi, Jakarta:Djambatan


(5)

Mulyadi Mahmud, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan, Medan:Pustaka Bangsa Press Nasution Bismar, Diktat Bahan Kuliah Teori Hukum, Sekolah Pasca Sarjana Ilmu

Hukum USU

Reksodiputro Mardjon, 1994, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Jakarta:UI Salam Faisal Moch, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Bandung:

Mandar Maju.

Salman Otje, Teori hukum mengingat, mengumpulkan dan membuka kembali, Bandung, 2005

Soeparman Parman, Pengaturan Hak Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana Bagi Korban kejahatan, Bandung : PT Refika Aditama.

Sidabutar Mangasa, Hak Terdakwa Terpidana Penuntut Umum Menempuh Upaya Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999

Sunggono Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,2004

Sutiyoso Bambang, 2006, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan, Yogyakarta: UII Press

Syahrin Alvin, Beberapa Masalah hukum, Medan: PT Sofmedia,2009.

Waluyo Bambang, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika,2008.

B. Undang- Undang

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) UU No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia UU No 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.


(6)

PERMA No 1 Tahun 1980 Tentang Peninjauan Kembali Putusan Yang Telah Memperoleh kekuatan Hukum Yang Tetap.

C. Majalah.

Varia Peradilan No 137 Februari 2007 Varia Peradilan No 195 Desember 2001 Varia Peradilan No 260 Juli 2007 Varia Peradilan No 268 Maret 2008.

Antara News,2007, Tim Jpu Bersikeras Upaya PK Yang Dilakukan Oleh Jaksa Terhadap Kasus Pollycarpus tidak melanggar hukum.

Kompas,21 November 1996, Putusan Bebas Murni Hak Yang Tidak Bisa Di duga Media Indonesia. 29 November 1996, Kasus Muchtar Pakpahan, Kemandirian

Mahkamah Agung.

D. Jaringan Internet

http://www.hamline.edu Herzeining Atau Peninjauan Kembali (diakses 27 Februari 2009)

http://www.kompas.com Hakikat Peninjauan kembali atas Suatu Perkara Pidana(diakses 27 Februari 2009)

http://www.sinarharapan,co.id Mewujudkan Doktrin Tri Krama Adhyaksa, Harian Sinar Harapan (diakses 27 Februari 2009)

http://www komisihukum.go.id Memantapkan Langkah Reformasi Kejaksaan, (diakses 27 Februari 2009)