Pertumbuhan Fusarium verticillioides BIO 957 dan Produksi Fumonisin B1 pada Suhu dan Kelembaban Relatif Berbeda serta Pengedalian Pertumbuhannya oleh Saccharomyces cerevisiae ATCC 9376
PERTUMBUHAN Fusarium verticillioides BIO 957 DAN PRODUKSI FUMONISIN B1
PADA SUHU DAN KELEMBABAN RELATIF BERBEDA SERTA PENGENDALIAN
PERTUMBUHANNYA OLEH Saccharomyces cerevisiae ATCC 9376
DWI RAHAYU
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pertumbuhan Fusarium
verticillioides BIO 957 dan Produksi Fumonisin B1 pada Suhu dan Kelembaban
Relatif Berbeda serta Pengendalian Pertumbuhannya oleh Saccharomyces
cerevisiae ATCC 9376 adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2014
Dwi Rahayu
NIM F251110251
RINGKASAN
DWI RAHAYU. Pertumbuhan Fusarium verticillioides BIO 957 dan Produksi
Fumonisin B1 pada Suhu dan Kelembaban Relatif Berbeda serta Pengendalian
Pertumbuhannya oleh Saccharomyces cerevisiae ATCC 9376. Dibimbing oleh
WINIATI P. RAHAYU dan HANIFAH N. LIOE.
Fusarium verticillioides adalah spesies Fusarium yang dominan dalam
memproduksi fumonisin pada produk-produk pertanian. Fumonisin B1 (FB1)
merupakan fumonisin yang paling banyak ditemukan di alam dan paling toksik
dibandingkan jenis fumonisin lainnya. Faktor ekstrinsik utama yang
mempengaruhi pertumbuhan F. verticillioides dan produksi fumonisin adalah
suhu dan kelembaban (De la Campa et al. 2005). Kontaminasi FB1 pada produk
pertanian tidak hanya dapat menimbulkan kerugian secara ekonomis karena
kehilangan hasil panen dan penolakan produk di pasar, dan juga dapat
membahayakan kesehatan manusia dan hewan. Pencegahan kontaminasi FB1
pada bahan pangan dapat dilakukan secara biologis dengan menggunakan mikroba
antagonis seperti S. cerevisiae.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perubahan suhu dan kelembaban
relatif terhadap ketahanan hidup F. verticillioides BIO 957 dan produksi FB1,
serta menguji kemampuan S. cerevisiae ATCC 9376 untuk mengendalikan
pertumbuhan F. verticillioides BIO 957. Penelitian yang dilakukan terdiri dari tiga
tahap. Tahap pertama adalah pengujian pengaruh suhu 20, 30 dan 40 oC dengan
kelembaban relatif 70, 80 dan 90% terhadap pertumbuhan F. verticillioides BIO
957 pada media laboratorium (CDA) dan media pangan (jagung dan kedelai).
Tahap kedua adalah pengujian pengaruh suhu dan kelembaban relatif terhadap
pembentukan FB1 pada jagung dan kedelai. Tahap ketiga adalah pengujian
pengendalian pertumbuhan F. verticillioides BIO 957 dengan menggunakan
S. cerevisiae ATCC 9376.
Pertumbuhan kapang toksigenik F. verticillioides BIO 957 paling tinggi
pada media CDA, jagung dan kedelai terjadi pada kondisi suhu 30 oC dengan
kelembaban relatif 90%. Konsentrasi FB1 paling tinggi pada jagung dan kedelai
yang dikontaminasi F. verticillioides BIO 957 yaitu sebanyak 374 dan 67 ppb,
terjadi pada kondisi suhu 30 °C pada jagung dan 20 °C pada kedelai, keduanya
pada kelembaban relatif 90%. Pada kondisi suhu 40 °C dengan kelembaban
relatif 70, 80 dan 90% F. verticillioides BIO 957 tidak mampu tumbuh, sehingga
pembentukan FB1 dapat dihindari. Pertumbuhan F. verticillioides BIO 957 dapat
dihambat oleh S. cerevisiae ATCC 9376 sebesar 44, 44 dan 38% pada masingmasing media CDA, jagung dan kedelai.
Kata kunci: FB1, F. verticillioides BIO 957, kelembaban relatif, S. cerevisiae
ATCC 9376, suhu
SUMMARY
DWI RAHAYU. The Growth of Fusarium verticillioides BIO 957 and Production
of Fumonisin B1 at Different Temperature and Relative Humidity and Their
Growth Control by Saccharomyces cerevisiae ATCC 9376. Supervised by
WINIATI P. RAHAYU and HANIFAH N. LIOE.
Fusarium verticillioides was the predominant Fusarium species in
producing fumonisin on agricultural products. Fumonisin B1 (FB1) is the most
abundant fumonisin in nature and the most toxic among other fumonisins. The
main factors affecting the growth of F. verticillioides and production of fumonisin
are temperature and humidity (De la Campa et al. 2005). FB1 contamination on
agricultural products can give an economical impact due to the lost harvest and
rejected products in market, and harm human and animal health. Prevention of
FB1 contamination on foods can be done biologically by using microbial
antagonist such as S. cerevisiae.
This research was aimed to assess the effect of temperature and relative
humidity on the growth of F. verticillioides BIO 957 and its FB1 production, and
to evaluate the ability of S. cerevisiae ATCC 9376 for controlling the growth of
F. verticillioides BIO 957. The research that has been carried out consists of three
stages. The first stage investigated the temperature at 20, 30 and 40 oC
incorporated with the relative humidities of 70, 80 and 90% on the growth of
F. verticillioides BIO 957 on the laboratory media (CDA) and food media (maize
and soybeans). The second stage investigated the effect of temperature and the
relative humidities to the FB1 production in maize and soybeans. The third stage
investigated the growth control of F. verticillioides BIO 957 by using
S. cerevisiae ATCC 9376.
The highest growth of F. verticillioides BIO 957 in CDA, maize and
soybeans was occurred at temperature 30 °C and 90% of relative humidity. The
highest concentrations of FB1 in maize and soybeans contaminated by
F. verticillioides BIO 957 were 374 and 67 pbb, observed at temperature 30 °C for
maize and 20 °C for soybeans, both at 90% relative humidity. At a temperature of
40 °C with 70, 80 and 90% of relative humidity, the growth of F. verticillioides
BIO 957 was not observed, therefore the FB1 formation was avoided. The growth
of F. verticillioides BIO 957 could be prevented by S. cerevisiae ATCC 9376 at
44, 44 and 38% on the respective CDA, maize and soybeans media.
Keywords: FB1, F. verticillioides BIO 957, relative humidity, S. cerevisiae ATCC
9376, temperature
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PERTUMBUHAN Fusarium verticillioides BIO 957 DAN PRODUKSI FUMONISIN B1
PADA SUHU DAN KELEMBABAN RELATIF BERBEDA SERTA PENGENDALIAN
PERTUMBUHANNYA OLEH Saccharomyces cerevisiae ATCC 9376
DWI RAHAYU
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji luar komisi pada ujian tesis : Prof Dr Ir Rizal Syarief, DESS
Judul Tesis
Nama
NIM
: Pertumbuhan Fusarium verticillioides BIO 957 dan Produksi
Fumonisin B1 pada Suhu dan Kelembaban Relatif Berbeda
serta Pengedalian Pertumbuhannya oleh Saccharomyces
cerevisiae ATCC 9376
: Dwi Rahayu
: F251110251
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof Dr Winiati P Rahayu
Ketua
Dr Ir Hanifah Nuryani Lioe, MSi
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Pangan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian : 12 Agustus 2014
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Segala puji bagi Allah SWT atas kemudahan dan kekuatan yang diberikan
kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis yang
berjudul Pertumbuhan Fusarium verticillioides BIO 957 dan Produksi
Fumonisin B1 pada Suhu dan Kelembaban Relatif Berbeda serta
Pengendalian Pertumbuhannya oleh Saccharomyces cerevisiae ATCC 9376
yang merupakan bagian dari penelitian Kajian Risiko Mikotoksin dan
Pengendalian Pertumbuhan Kapang Toksigenik pada Jagung dan Kedelai selama
Penyimpanan akibat Perubahan Iklim (Suhu dan Kelembaban) yang dibiayai oleh
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian melalui Program Kerjasama
Kemitraan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Nasional (KKP3N).
Penyusunan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk
meneyelesaikan kegiatan studi pada program studi Ilmu Pangan, Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Penelitian dan penyusunan tesis ini tidak terlepas dari banyaknya
dukungan dan kerjasama dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis
menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tidak terhingga
kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Winiati P Rahayu dan Ibu Dr. Ir. Hanifah Nuryani Lioe, MSi
yang telah memberikan bimbingan, waktu dan perhatian serta selalu
menyemangati dari awal penemuan ide hingga selesainya penelitian dan
penulisan tesis ini.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS selaku penguji yang telah
memberikan waktu dan saran-saran yang menyempurnakan penulisan tesis ini.
3. Bapak Ir. Wisnu Broto, MS, Ibu Santi Ambarwati, SSi, MSi dan Ibu Dian
Herawati S.TP, MSi yang telah banyak memberikan bantuan dan saran-saran
selama pelaksanaan penelitian.
4. Seluruh pengajar di Program Studi Ilmu Pangan yang telah memberikan bekal
ilmu bagi penulis terutama dalam bidang Mikrobiologi dan Kimia Pangan.
5. Para teknisi di laboratorium ITP (Bapak Edi dan Ibu Antin) dan di
laboratorium SEAFAST Center (Ibu Ari, Ibu Ria dan Bapak Agus) yang telah
memberikan bantuan dan kerjasamanya selama penulis melakukan penelitian.
6. Suami tercinta Fadhlan Asri yang telah memberikan beasiswa pribadi dan
selalu mengobarkan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan studi S2.
7. Mama tersayang Nani Wijaya yang selalu memberikan doa dan dukungan
kepada penulis.
8. Rekan-rekan mahasiswa IPN 2011 yang telah sama-sama berjuang dari awal
masuk hingga saat ini, khususnya untuk Caca Pratiwi dan Sinta Adelina
Simatupang yang telah bekerja sama selama pelaksanaan penelitian.
Penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat khususnya dalam
mengantisipasi bahaya mikotoksin akibat perubahan suhu dan kelembaban.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun sangat diharapkan demi perbaikan kedepannya.
Semoga Allah SWT memberikan balasan yang lebih baik atas segala bantuan serta
dukungan yang telah diberikan kepada penulis.
Bogor, Oktober 2014
Dwi Rahayu
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Hipotesis
TINJAUAN PUSTAKA
Fusarium verticillioides
Fumonisin
Dampak Fumonisin bagi Kesehatan
Kandungan Fumonisin pada Jagung dan Kedelai
Pengendalian Kapang Toksigenik dengan Saccharomyces
cerevisiae
Metode Analisis Fumonisin B1
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Bahan dan Peralatan Penelitian
Prosedur Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Suhu dan Kelembaban Relatif terhadap Pertumbuhan
F. verticillioides BIO 957 pada Media CDA
Pengaruh Suhu dan Kelembaban Relatif terhadap Pertumbuhan
F. verticillioides BIO 957 pada Media Jagung dan Kedelai
Pengaruh Suhu dan Kelembaban Relatif terhadap Produksi FB1
pada Media Jagung dan Kedelai
Pengendalian Pertumbuhan F. verticillioides BIO 957 dengan
Menggunakan Mikroba Antagonis S. cerevisiae ATCC 9376
pada Media CDA, Jagung dan Kedelai
1
2
3
3
3
4
5
7
7
9
9
11
11
11
17
19
20
22
SIMPULAN DAN SARAN
24
DAFTAR PUSTAKA
25
DAFTAR TABEL
Pengaruh Suhu dan Kelembaban terhadap Pertumbuhan dan Produksi FB1
oleh F. verticillioides
Kandungan FB1 pada Jagung
Metode Analisis FB1 dengan HPLC pada Berbagai Jenis Komoditas
Pertanian
Garam Jenuh pada Kondisi Suhu dan Kelembaban Relatif Tertentu
Produksi FB1 dari F. verticillioides BIO 957 pada Media Jagung dan
Kedelai pada pada Suhu 20 dan 30 °C dengan Kelembaban Relatif
90%
Pertumbuhan F. verticillioides BIO 957 dan Persentase Penghambatan
oleh S. cerevisiae ATCC 9376 pada Media CDA, Jagung dan Kedelai
pada Suhu dan Kelembaban Ruang (29–31 °C dan 65–85%)
5
8
10
13
21
22
DAFTAR GAMBAR
Morfologi Fusarium
Struktur Kimia Fumonisin
Biosintesis Fumonisin
Diagram Alir Tahapan Penelitian
Pola Pengujian Penghambatan F. verticillioides BIO 957 oleh S. cerevisiae
ATCC 9376
Pertumbuhan F. verticillioides BIO 957 pada Medium CDA dengan
Waktu Inkubasi 8 Hari pada Suhu dan Kelembaban Ruang (29–31 °C
dan 65–85%)
Grafik Pertumbuhan F. verticillioides BIO 957 pada Media CDA dengan
Waktu Inkubasi 8 Hari pada Kondisi Suhu dan Kelembaban Relatif
Berbeda
Pertumbuhan F. verticillioides BIO 957 pada Media Jagung dan Kedelai
pada suhu dan kelembaban ruang (29–31 °C dan 65–85%)
Grafik Pertumbuhan F. verticillioides BIO 957 pada Media Jagung dan
Kedelai pada Akhir Inkubasi (14 hari) pada Kondisi Suhu dan
Kelembaban Relatif Berbeda
4
6
6
12
16
17
18
19
19
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara beriklim tropis dengan suhu dan kelembaban
yang tinggi. Kondisi ini sangat mendukung pertumbuhan kapang toksigenik
penghasil mikotoksin. Kapang penghasil mikotoksin yang banyak ditemukan pada
komoditas pertanian di Indonesia seperti serealia (jagung, gandum, sorgum dan
beras) dan kacang-kacangan (kacang tanah dan kedelai) yang digunakan sebagai
bahan pakan dan pangan diantaranya adalah Fusarium sp (Romsyah 2007).
Fusarium memiliki spesies yang jumlahnya mencapai lebih dari 80 dan sebagian
besar spesies memproduksi mikotoksin. Kapang ini biasanya tumbuh pada
komoditas pertanian baik ketika masih di ladang maupun ketika sudah dalam
penyimpanan di gudang. Kapang tersebut menghasilkan mikotoksin sebagai
metabolit sekunder, diantaranya fumonisin (Leslie dan Summerell 2006).
Fumonisin merupakan salah satu dari lima mikotoksin yang mendapat perhatian
dunia, karena dampaknya terhadap kesehatan manusia dan hewan serta
perdagangan internasional. FAO telah mengestimasi bahwa lebih dari 25% hasil
pangan rusak pertahun akibat kontaminasi mikotoksin, dimana spesies Fusarium
berkontribusi cukup tinggi (FAO 2004). Oleh karena itu, beberapa negara di dunia
telah menentukan batas maksimum kandungan mikotoksin pada produk pertanian
dan hasil olahannya, seperti Badan Standarisasi Nasional telah menentukan batas
ambang untuk beberapa mikotoksin yaitu aflatoksin, deoksinivalenol, fumonisin,
okratoksin dan patulin (SNI 2009).
Fusarium verticillioides dan F. proliferatum adalah spesies fusarium yang
dominan dalam memproduksi fumonisin pada produk-produk pertanian, meskipun
spesies lain, termasuk F. nygamai, F. phyllophilum, F. globosum, F. fujikuroi
MP-C, dan F. oxysporum complex, dilaporkan juga dapat memproduksi fumonisin
dengan jumlah yang relatif rendah (Proctor et al. 2006). Selain kemampuannya
memproduksi fumonisin, F. vericillioides dan F. proliferatum juga dapat
memproduksi metabolit sekunder lain, seperti moniliformin, beauvericin, dan
fusarin. Kontaminasi F. verticillioides paling tinggi ditemukan pada tanaman
jagung, sehingga pada jagung dan produk-produk turunan jagung ditemukan
mengandung fumonisin dalam jumlah signifikan (Kushiro et al. 2008).
Faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan F. verticillioides dan
kontaminasi fumonisin adalah suhu dan kelembaban. Pada jagung dan kedelai,
produksi fumonisin pada daerah dataran rendah, biasanya lebih besar
dibandingkan dengan daerah dataran tinggi. Hal ini disebabkan karena pada
dataran rendah kondisi suhu dan kelembaban relatif lebih tinggi daripada dataran
tinggi (Bush et al. 2004). De la Campa et al. (2005) juga menjelaskan bahwa
pengaruh musim (suhu dan curah hujan) dapat mempengaruhi pertumbuhan
F. verticillioides dan konsentrasi fumonisin pada biji jagung.
Produksi toksin bergantung pada substrat tempat kapang tumbuh.
Kehadiran organisme lain yang bersaing dapat menyebabkan kapang kehilangan
potensinya untuk menghasilkan toksin (Williams 2004). Penggunaan mikroba
antagonis dapat menghambat pertumbuhan kapang. Niderkon et al. (2009)
melakukan penelitian mengenai pengikatan fumonisin dengan bakteri fermentasi
2
secara in vitro. Penelitian tersebut menyatakan bahwa bakteri asam laktat (BAL)
telah diuji kemampuannya untuk menghambat produksi deoxynivalenol (DON),
fumonisin B1 dan B2 pada medium pH 4 dengan persentase penghambatan 55, 82
dan 100%. Strain bakteri fermentasi yang digunakan harus dapat mengikat
mikotoksin dari Fusarium. Selain bakteri, penggunaan kamir juga terbukti dapat
menurunkan tingkat kontaminasi fumonisin. Kemampuan pengikatan oleh bakteri
fermentasi dapat digunakan untuk mengurangi bioavailabilitas toksin dalam silase
yang terkontaminasi. Selain bakteri, kamir juga dapat digunakan untuk
menghambat pertumbuhan kapang toksigenik. Salah satu kamir yang dapat
digunakan adalah Saccharomyces cerevisiae.
Perumusan Masalah
Mikotoksin adalah toksin yang dihasilkan oleh kapang toksigenik. Serealia
seperti jagung dan kacang-kacangan seperti kedelai dapat menjadi substrat bagi
kapang toksigenik penghasil mikotoksin. Salah satu spesies utama kapang
pengontaminasi serealia dan kacang-kacangan adalah F. verticillioides. Kapang
tersebut dapat menghasilkan fumonisin. Kandungan fumonisin dalam serealia dan
kacang-kacangan dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu dan
kelembaban. Konsentrasi fumonisin biasanya meningkat pada musim panas dan
kering, periode dimana kelembaban udara tinggi. Pada jagung yang disimpan, jika
kadar air berkisar 18–23% biasanya produksi fumonisin meningkat sebanding
dengan meningkatnya konsentrasi F. verticillioides (De la Campa et al. 2005).
Fumonisin B1 (FB1) yang sering ditemukan pada jagung merupakan fumonisin
yang
paling
toksik.
Fumonisin
dapat
menyebabkan
Eguine
Leucoencephalomalacia (ELEM) pada kuda dan spesies lain (Wu and Munkvold
2008). Pada kesehatan manusia diperkirakan terdapat hubungan antara konsumsi
jagung yang tinggi di beberapa daerah di dunia antara lain Cina dan Italia dengan
terjadinya kanker esofagus (Marasas et al. 2008). Saat ini belum diketahui sejauh
mana pertumbuhan kapang toksigenik F. verticillioides yang telah diisolasi dari
sorgum dan produksi fumonisin yang dihasilkan akibat perubahan faktor
lingkungan yaitu kondisi suhu dan kelembaban. Selain itu, fumonisin pada
serealia dan kacang-kacangan juga dapat menimbulkan kerugian dan bahaya bagi
kesehatan, sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai pengendalian fumonisin
terutama dengan mengurangi pertumbuhan F. verticillioides. Pengendalian dapat
dilakukan secara biologis dengan menggunakan mikroba antagonis untuk
mengurangi jumlah kapang toksigenik sehingga mengurangi jumlah toksin yang
dihasilkan. Salah satu mikroba antagonis yang dapat digunakan adalah
S. cerevisiae ATCC 9376 yang merupakan kamir non toksigenik. Pengendalian
secara biologis ini merupakan alternatif reduksi F. verticillioides BIO 957 dan
FB1 yang dapat diaplikasikan secara aman karena kamir ini merupakan kamir
yang digunakan untuk pembuatan tape dan roti.
3
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:
1. Mengkaji pengaruh suhu dan kelembaban relatif terhadap ketahanan hidup
F. verticillioides BIO 957 dan produksi FB1 yang dihasilkan pada jagung dan
kedelai.
2. Mengetahui efektivitas S. cerevisiae ATCC 9376 untuk pengendalian
F. verticillioides BIO 957.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menyediakan data dasar
pengendalian pertumbuhan F. verticillioides BIO 957 dan produksi FB1 akibat
adanya perbedaan suhu dan kelembaban relatif serta memberikan kontribusi
dalam penyediaan metode pengendalian F. verticillioides BIO 957 secara biologis
dengan menggunakan mikroba antagonis S. cerevisiae ATCC 9376.
Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Perlakuan suhu tinggi dengan kelembaban relatif rendah dapat menghambat
pertumbuhan F. verticillioides BIO 957.
2. Perlakuan suhu tinggi dengan kelembaban relatif rendah dapat menghambat
produksi FB1.
3. Saccharomyces cerevisiae ATCC 9376 dapat menghambat pertumbuhan
F. verticillioides BIO 957.
4
TINJAUAN PUSTAKA
Fusarium verticillioides
Fusarium, Aspergillus dan Penicillium merupakan tiga genus kapang utama
pada pangan yang harus diwaspadai dalam produksi mikotoksinnya. Berbeda
dengan Aspergillus dan Penicillium, Fusarium merupakan kapang lapang, yaitu
tumbuh dan mengontaminasi tanaman pangan sebelum proses pemanenan,
sehingga membutuhkan proses pengontrolan yang lebih kompleks. Fusarium
merupakan genus dari kapang berfilamen yang banyak tersebar pada tanah dan
tanaman (Leslie and Summerrel 2006). Spesies kapang Fusarium yang sering
ditemukan di Indonesia adalah F. verticillioides yang berpotensi menghasilkan
fumonisin (Ali et al. 1998). Kapang F. verticillioides yang diisolasi dari jagung
asal Cikeumeuh-Bogor dan diinokulasi pada medium jagung serta diinkubasi pada
suhu 25 °C selama 27 hari dapat menghasilkan fumonisin B1 sebesar
1543.14 mg/kg (Maryam et al. 2007).
Spesies F. verticillioides adalah sinonim dari spesies F. moniliforme,
merupakan spesies dominan yang menginfeksi bagian jagung antara lain: akar,
batang, pelepah, tongkol dan terutama biji (Blish et al. 2004). Fusarium
verticillioides secara ekonomi merupakan kapang yang penting karena
menyebabkan busuk akar pada jagung dan menghasilkan fumonisin. Fusarium
verticillioides mengkontaminasi pangan dan pakan baik ketika di ladang maupun
saat penyimpanan. Kemampuan F. verticillioides untuk tersebar luas secara
ekologi dan menghasilkan mikotoksin menunjukkan bahwa kapang tersebut
mungkin memiliki kemampuan kompetitif yang kuat (Wu 2006). Korelasi negatif
antara frekuensi F. graminearum dan F. verticillioides pada biji jagung mungkin
disebabkan karena persaingan penggunaan substrat, produksi zat antagonis dan
faktor lingkungan, meskipun tidak satupun dari kemungkinan telah diteliti secara
rinci. Fusarium verticillioides juga telah dilaporkan dapat menekan pertumbuhan
kapang spesies lainnya (Reddy et al. 2010). Morfologi dari F. verticillioides dapat
dilihat pada Gambar 1.
Keterangan: c = conidia; ch = chain; cp = conidiasphore; cs = chlamydospore; fc = foot cell;
fh = false head; ip = intercalary phialide; ma = macroconidia; mp = monophialide.
Gambar 1 Morfologi Fusarium (Zheng et al. 2012)
5
Kondisi lingkungan seperti suhu dan kelembaban merupakan faktor utama
yang mempengaruhi pertumbuhan dan interaksi antara Fusarium sp. dengan
kapang lainnya. Penelitian yang penah dilakukan untuk mengetahui pengaruh
suhu dan kelembaban untuk pertumbuhan dan produksi FB1 oleh F. verticillioides
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Pengaruh suhu dan kelembaban terhadap pertumbuhan dan produksi FB1
oleh F. verticillioides
Sampel
Hasil
Referensi
Jagung Spesies Fusarium diinkubasi pada suhu 15–30 °C dengan Marin
kelembaban 92–98% selama 2–4 minggu. Konsentrasi total et al. 1998
fumonisin maksimal sebesar 143.9 µg/g diproduksi pada
suhu 30 °C dengan kelembaban 98% oleh F. verticillioides.
Beras
Kultur F. verticillioides diisolasi dari beras dan diinkubasi Hinojo
pada suhu 20–37 °C dengan aw 0.96–1.00 (kelembaban et al. 2005
96–100%). Sejumlah 100 g beras yang tidak digiling
ditempatkan dalam erlenmeyer 500 mL dan dibasahi
semalaman pada suhu 4 °C dengan air deionisasi hingga
nilai aw mencapai 0.96–1.00. Jumlah penambahan air
dihitung dari kurva adsorpsi kelembaban untuk beras.
Produksi FB1 tertinggi dengan konsentrasi 3840 mg/kg
ditemukan pada kultur F. verticillioides yang diinkubasi
pada suhu 28 °C dengan aw 1.00 (kelembaban 100%).
Jagung Sampel diambil pada musim dingin dan panas. Suhu pada Sreenivasa
dan
musim dingin antara 26–28 °C dan suhu pada musim panas et al. 2013
sorgum 35–40 °C dengan kelembaban dibawah 50% pada kedua
musim. Konsentrasi FB1 pada jagung berkisar antara
0.02–22.83 µg/g dan pada sorgum berkisar antara
0.02–14.51 µg/g.
Fumonisin
Hingga saat ini telah dipublikasikan setidaknya 300 jenis kapang toksigenik
dan metabolitnya. Akan tetapi, Codex Allimentarius Commission tahun 2006
memfokuskan perhatian pada lima jenis mikotoksin yaitu aflatoksin,
deoksinivalenol, fumonisin, okratoksin dan patulin. Fumonisin merupakan salah
satu dari lima mikotoksin penting karena dampaknya terhadap kesehatan manusia
dan hewan serta perdagangan internasional (Syarief et al. 2012).
Fumonisin merupakan salah satu jenis mikotoksin yang diproduksi terutama
oleh F. verticillioides dan F. proliferatum, suatu kontaminan kapang primer pada
jagung di seluruh dunia. Terdapat 28 perbedaan bentuk fumonisin, terbagi
menjadi 4 kategori yaitu fumonisin seri A, B, C dan P berdasarkan struktur
kimianya. Fumonisin B1 adalah bentuk paling umum dan penting secara ekonomi,
diikuti B2 dan B3 (Schmale III and Munkvold 2014).
Sejauh ini karakterisasi kimia dan fisik fumonisin masih terbatas pada FB1.
FB1 memiliki rumus empiris C34H59NO15 dengan berat molekul relatif 721. Secara
fisik, substansi murninya berupa bubuk higroskopis berwarna putih, yang larut air,
6
asetonitril-air atau metanol. Stabil pada asetonitril-air (1:1 v/v), tidak stabil dalam
metanol, serta relatif stabil terhadap suhu pengolahan dan cahaya. Fumonisin B1
(Gambar 2) merupakan diester dari asam propana-1, 2, 3 trikarboksilat (TCA) dan
2-amino-12, 16-dimetil-3, 5, 10, 14, 15-pentahidroksieikosana, dimana gugus
hidroksil pada C14 dan C15 berikatan ester dengan gugus karboksil terminal pada
TCA.
Gambar 2 Struktur kimia fumonisin (Wang 2007)
Biosintesis fumonisin terjadi melalui proses kondensasi heksadekanoil
koenzim A (palmitat KoA, C16) dengan serin atau alanin. Biosintesis fumonisin
pada tanaman terjadi melalui proses yang sama dengan sfingolipid yang terbentuk
melalui proses kondensasi heksadekanoil koenzim A (palmitat, C16) dengan serin
atau alanin menghasilkan 1-hidroksi-2D-amino-3-okso oktadekana. Hal tersebut
terjadi karena adanya kemiripan struktur yang dimiliki fumonisin dan
sphingolipid. Reduksi gugus keton menghasilkan dihidrosphinganine dan
sphinganine yang merupakan analog fumonisin. Kemudian gugus amino
terasetilasi dan membentuk ikatan rangkap pada karbon yang mengikat gugus
hidroksil (Gambar 3).
Palmitoil-KoA
1-deoksisphinganine
Alanin
1-deoksi-3-ketosphinganine
1-deoksisphingosine
Fumonisin B1
Gambar 3 Biosintesis fumonisin (Modifikasi Abbas et al. 1996)
7
Dampak Fumonisin bagi Kesehatan
Wang et al. (2008) menjelaskan bahwa fumonisin dapat menyebabkan
keracunan karena terkait dengan gangguan proses biosintesis sphingolipid secara
de novo. Fumonisin sebagai inhibitor spesifik dari sphinganine N-acyltransferase
(ceramide sintase), yang merupakan enzim kunci pada biosintesis sphingolipid,
dimana sphingolipid turut berperan aktif dalam pengaturan fungsi-fungsi sel,
seperti proliferasi, diferensiasi, adhesi, serta kematian sel (Morales et al. 2007).
Meskipun efeknya pada manusia susah ditentukan secara langsung, International
Agency for Research on Cancer telah mengklasifikasikan bahwa fumonisin
potensial bersifat karsinogen pada manusia (karsinogen kelas 2B). FB1 juga
dilaporkan sebagai promotor kanker dan bersama dengan mikotoksin lain
berperan penting terhadap karsinogenesis pada manusia (Omurtag et al. 2006).
Berbagai penyakit seperti kanker esofagus (Marasas et al. 2008), neural
tube deseases (NTD) di sepanjang perbatasan Texas-Meksiko (Missmer et al.
2006) dan kerusakan ginjal yang dialami penduduk seperti di Afrika Selatan dan
Cina dilaporkan berkaitan erat dengan konsumsi bahan pangan yang
terkontaminasi FB1 (Marasas et al. 2008). Sementara itu, pada hewan ternak
fumonisin menyebabkan leukoencephalomalacia (ELEM) pada kuda,
pembengkakan paru-paru pada babi, toksisitas pada kardiovaskuler kuda dan babi
(Wu dan Munkvold 2008), kematian akut pada domba, serta penurunan kekebalan
pada ayam (Keck dan Bodine 2006). Penelitian terbaru menghubungkan
keterkaitan fumonisin di Afrika dengan peningkatan kerentanan terhadap HIV
(Williams et al. 2010).
Selain efeknya pada kesehatan manusia dan hewan, kontaminasi fumonisin
berdampak terhadap perekonomian suatu negara. Indonesia mengalami penurunan
ekspor komoditi pala akibat sering terjadinya penolakan oleh negara-negara
importir karena kualitas pala yang diekspor tidak sesuai dengan persyaraan mutu
yang mereka tetapkan, terutama mengenai kandungan aflatoksin yang melebihi
batas maksimum. Pada tahun 2010 hingga 2011, Indonesia menerima 9 kali
notifikasi Rapid Alert System for Food and Feed (RASFF) dari Uni Eropa karena
komoditi pala yang diekspor mengandung aflatoksin diatas 5 ng/g (Martam 2014).
Pada tahun 2004 kerugian ekonomi yang dialami Amerika mencapai US $40 juta,
sedangkan kerugian yang lebih besar dilaporkan di alami di Cina, Argentina, dan
negara-negara Afrika. Hal ini disebabkan karena semakin ketatnya standar yang
diterapkan oleh negara-negara di dunia (Wu 2006). Meskipun di Indonesia belum
ada laporan mengenai kerugian ekonomi dan mikotoksikositas pada manusia dan
hewan yang disebabkan oleh fumonisin, namun data penelitian yang ada
mengindikasikan adanya kontaminasi FB1 pada produk pertanian dengan
konsentrasi yang tinggi akan berdampak pada perekonomian nasional.
Kandungan Fumonisin pada Jagung dan Kedelai
Jagung adalah salah satu produk hasil pertanian penting Indonesia. Produksi
jagung nasional pada tahun 2009 sebesar 12.47 juta ton pipilan kering (PK).
Selanjutnya terus meningkat, menjadi 13.29 juta ton PK pada tahun 2010.
Kenaikan produksi rata-rata mencapai sekitar 10% pertahun. Hal ini menjadikan
Indonesia sebagai produsen jagung terbesar di Asia Tenggara. Sementara itu
konsumsi jagung nasional pun meningkat. Pada tahun 2009 konsumsi jagung
8
nasional mencapai angka 12.75 juta ton PK dan naik menjadi 12.95 juta ton PK
pada tahun 2010 (Sekretariat Negara Republik Indonesia 2010). Hal ini
menunjukkan pentingnya jagung sebagai salah satu komoditas pangan nasional.
Namun, di balik potensinya, masalah mutu dan keamanan jagung masih perlu
mendapat perhatian. Iklim tropis Indonesia dengan tingkat kelembaban yang
tinggi menjadi faktor penyebab berkembangnya kapang yang mencemari jagung
dan produk olahannya, terutama kapang yang menghasilkan mikotoksin (Benneth
dan Klich 2003).
Jagung merupakan komoditas yang mendapat perhatian karena banyak
dimanfaatkan oleh manusia, baik sebagai bahan pangan maupun sebagai pakan
ternak. Schutless et al. (2002) mengidentifikasi bahwa spesies F. verticillioides
adalah yang dominan menginfeksi biji jagung dan memproduksi fumonisin. Hasil
penelitian Oren et al. (2003) mengemukakan bahwa toksin yang dihasilkan
F. verticillioides, dapat ditemukan baik dari biji yang menampakkan gejala
maupun biji jagung yang tidak bergejala (Symptomless). Beberapa bahan pangan
lain seperti beras, kentang, biji kopi hijau, gandum, bir, bawang putih juga
dilaporkan mengandung fumonisin (Dasko et al. 2005; Frisvad et al. 2006; dan
Kushiro et al. 2008), namun pada konsentrasi yang relatif rendah. Kandungan
FB1 pada jagung dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Kandungan FB1 pada jagung
Negara
Komoditas
Konsentrasi FB1
(ng/g)
Indonesia
Pangan berbasis
130–247.10
jagung
Brazil
Corn Meal
1.10–15.30
Corn Flour
0.50–7.20
Corn Flakes
0.13
Cina
Corn Kernel
0.20–3.30
Referensi
Nuryono et al. 2004
Bittencourt et al. 2005
Cadas dan Silva 2007
Wang et al. 2008
Kedelai (Glycine max L. Merr) merupakan tanaman polongan Asiatik yang
dibudidayakan di banyak bagian dunia sebagai sumber minyak dan protein, yang
banyak digunakan dalam pembuatan bahan pakan dan pangan (FAO 2004).
Kedelai sering diserang oleh infeksi kapang selama budidaya, atau pasca panen
(selama transportasi dan penyimpanan), sehingga secara signifikan mempengaruhi
produktivitas hasil pertanian. Benih dan hasil panen yang terinfeksi adalah sumber
utama infeksi primer. Tingkat kerusakan biji dapat dipicu oleh kondisi lingkungan
seperti kelembaban relatif tinggi dan suhu di atas 25 ºC (Brase et al. 2009).
Kedelai dan kacang hijau memiliki profil kontaminasi yang hampir sama,
didominasi oleh Aspergillus flavus, sedangkan Fusarium pada tingkat kontaminasi
yang cukup rendah. Garcia et al. (2012) melakukan penelitian mengenai suhu
konstan dan dinamis terhadap pertumbuhan dan produksi fumonisin dari
F. verticillioides pada pangan berbasis kedelai dan biji kedelai yang diiradiasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa F. verticillioides tumbuh baik pada suhu
25 ºC dalam medium berbasis kedelai dan pada suhu 15–20 dan 15–25 ºC dalam
medium biji kedelai. Fumonisin B1 hanya diproduksi pada medium berbasis
kedelai dan konsentrasi FB1 tertinggi (7.38 µg/g) ditemukan pada suhu 15 ºC
setelah 7 hari inkubasi.
9
Pengendalian Kapang Toksigenik dengan Saccharomyces cerevisiae
Produksi toksin bergantung pada substrat tempat kapang tumbuh. Kehadiran
organisme lain yang bersaing dapat menyebabkan kapang kehilangan potensinya
untuk menghasilkan toksin. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk
menghambat pertumbuhan kapang dan mereduksi produksi mikotoksin adalah
secara biologis (Williams et al. 2004). Cara biologis umumnya dengan
penambahan bahan-bahan (biologi) tertentu ke dalam produk atau dengan
menggunakan mikroba antagonis yang dapat menurunkan pertumbuhan kapang
pada bahan pangan dan meminimalkan produksi mikotoksin yang dihasilkan
(Tuberose 2008).
Aktivitas BAL dan kamir sebagai anti kapang dan anti mikotoksin telah
dilaporkan oleh beberapa peneliti. Saccharomyces cerevisiae CECT-1891 dan
L. acidophilus 24 mampu mereduksi FB1 dan aflatoksin B1 (AFB1) pada medium
cair dengan proses pengikatan secara alami (Pizzolitto et al. 2012). Lebih lanjut
Galvano et al. (2001) melaporkan bahwa modifikasi mannan dan glukan yang
terdapat dalam dinding sel S. cerevisiae dapat mengikat aflatoksin B1, zearalenon,
fumonisin dan deoksinivalenol masing-masing sebesar 95, 77, 59 dan 12%.
Metode Analisis Fumonisin B1
Metode analisis yang digunakan saat ini untuk deteksi dan kuantifikasi
fumonisin dalam pangan dan pakan diantaranya adalah HPLC dengan berbagai
detektor, GC-MS, TLC dan ELISA. Semua instrumen ini berguna dan hasilnya
dapat diterima. Pada awalnya digunakan TLC untuk proses separasi dan
identifikasi fumonisin, namun metode ini memberikan hasil yang kurang spesifik
sebagai metode kuantitatif. Adanya modifikasi penggunaan fluorescamine sebagai
reagen visualisasi memungkinkan prosedur ini berguna sebagai metode skrining
keberadaan FB1 dan FB2. Selain murah, metode ini juga memberikan hasil yang
cukup linear dengan metode HPLC. Untuk menganalisis fumonisin dengan
konsentrasi yang sangat rendah umumnya digunakan GC/MS. Limit deteksinya
mencapai kurang dari 100 ppb. Hal ini karena pangan dan pakan berbasis jagung
hampir secara universal mengandung fumonisin dengan konsentrasi > 0.1 ppm
dan belum ada informasi terbaru yang mengindikasikan perlunya menganalisis
fumonisin pada konsentrasi yang lebih rendah pada matriks-matriks ini, sehingga
analisis dengan HPLC merupakan pilihan yang paling ideal (Pascale 2009).
Setiap metode memiliki kelebihan dan keterbatasan, namun metode HPLC
adalah metode yang paling banyak digunakan untuk penentuan level fumonisin
pada pangan dan pakan terutama pada jagung dan produk-produk turunan jagung
karena lebih sensitif, dipercaya, dan akurat. Selain itu, sifat fumonisin yang nonvolatil dan larut dalam pelarut polar menjadikannya ideal diuji dengan HPLC,
terutama dengan pengujian fase terbalik (Pascale 2009). Fumonisin tidak dapat
berpendar, sehingga sebagian besar metode HPLC pengukuran fumonisin
dilakukan setelah derivatisasi gugus amin dengan senyawa fluoresen. Reagen
o-phthaldialdehyde (OPA) merupakan senyawa fluoresen yang sering digunakan
untuk derivatisasi pada metode HPLC (De Curtisa et al. 2011; Fanelli et al. 2011).
Hal ini diperlukan untuk memurnikan sampel setelah ekstraksi pada sebagian
10
besar metode deteksi (Wang 2007). Saat ini metode HPLC merupakan instrumen
standar untuk determinasi mikotoksin dalam bidang regulasi dan penelitian, hal
ini karena kemampuan analisisnya yang memuaskan dalam mengimbangi
kebutuhan analisis berbagai matriks kompleks untuk berbagai analit yang
jumlahnya terus meningkat (Castelo et al. 1998; AOAC 2012).
Berbagai jenis detektor dapat digunakan pada metode HPLC seperti
detektor ultra violet (UV), fluoresen (FLD) dan diode array (DAD). Sensitivitas
masing-masing detektor sangat dipengaruhi oleh kemurnian ekstrak sampel yang
dianalisis. Detektor fluoresen merupakan detektor yang sering digunakan untuk
menganalisis fumonisin karena selektivitas dan sensitivitasnya yang tinggi
dibandingkan dengan detektor lainnya. Selain itu, sinyal FLD memberikan
background yang rendah. Sebelum analisis dengan HPLC dalam tahap persiapan
sampel, pemurnian fumonisin diperlukan agar hasil analisis lebih akurat.
Beberapa jenis kolom yang banyak digunakan untuk pemurnian fumonisin
diantaranya adalah kolom imunoafinitas (IAC) dan kolom solid phase extraction
(SPE). Pemurnian sampel dengan kolom IAC dan SPE dapat meningkatkan
sensitivitas hingga mencapai satuan ng/g (ppb) (Pascale 2009; De Curtisa et al.
2011; Fanelli et al. 2011). Beberapa metode analisis FB1 menggunakan HPLC
dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Metode analisis FB1 dengan HPLC pada berbagai jenis komoditas
pertanian
Preparasi
Konsentrasi FB1
Komoditas
Metode Analisis
Referensi
Sampel
(µg/g)
Jagung dan
IAC
HPLC FLD
1.70
Shephard
gandum
et al. 2005
Jagung
IAC
HPLC FLD
LOD = 0.05 µg/g
1.40–12.60
Fanelli
et al. 2011
Pangan
berbasis
jagung
IAC
HPLC FLD
R2 = 0.99
Recovery FB1 80.04%
0.10–0.80
Khotimah
et al. 2011
Pangan
berbasis
jagung
SPE
HPLC FLD
limit of quantification
(LOQ) 0.020 µg/g
R2 = 0.92
0.13–2.04
Cadas &
Silva 2007
Pangan dan
pakan
berbasis
jagung
SPE
HPLC FLD
fase gerak (A) air-TFA
(100:0.025 v/v) and
(B) asetonitril-TFA
(100:0.025v/v)
R2 = 0.9828
3.20–3.30
Wang et
al. 2007
Jagung
SPE
HPLC FLD
68.2
AOAC No.995.15
LOD = 0.10 µg/g
Keterangan: FLD (Fluoresense Detector); LOD (Limit of Detection)
De Curtisa
et al. 2011
11
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Pangan, Departemen
ITP-Fateta IPB, Laboratorium Mikrobiologi dan Kimia SEAFAST Center-IPB
dan Laboratorium Mikrobiologi SEAMEO-BIOTROP Bogor. Penelitian ini
dimulai sejak bulan Juni hingga Desember 2013.
Bahan dan Peralatan Penelitian
Kapang toksigenik penghasil fumonisin B1 yang digunakan yaitu
F. verticillioides BIO 957 yang diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi
SEAMEO-BIOTROP Bogor, kapang ini merupakan isolat lokal Indonesia dari
bahan sorgum. Mikroba antagonis yang digunakan yaitu S. cerevisiae ATCC 9376
yang diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi Keamanan Pangan–SEAFAST
Center IPB. Bahan pangan yang digunakan adalah jagung (varietas Bisi 1) dan
kedelai (varietas Willis) yang diperoleh dari daerah Kediri Jawa Timur. Media
czapex dox agar (CDA) (Oxoid, Inggris) dan potato dextrose broth (PDB)
(Oxoid) sebagai media pertumbuhan kapang dan kamir. Bahan untuk pengaturan
kelembaban relatif adalah garam teknis yaitu amonium klorida (NH4Cl), barium
klorida (BaCl2), natrium nitrat (NaNO3), amonium sulfat ((NH4)2SO4) dan kalium
nitrat (KNO3) diperoleh dari toko bahan kimia di Bogor dan garam kualitas p.a
(pro analysis) (Merck, Jerman) yaitu K2SO4 dan KNO3. Bahan untuk analisis
fumonisin adalah standar FB1 (Vicam, Amerika Serikat), kolom IAC FumoniTest
WB (Vicam), metanol (Merck), asetonitril (Merck), reagent o-phthalaldehyde
(OPA) (Vicam), phosphate buffered saline (PBS) (Vicam), gas nitrogen (high
purity), aquabidest dan LC mobile phase.
Alat-alat yang digunakan antara lain adalah HPLC Agilent 1100 Series
(Agilent Technologies, Amerika Serikat) yang dilengkapi dengan detektor
fluoresen, kolom Zorbax C18 4.6 mm x 150 mm dengan ukuran partikel 5 µm
(Agilent Technologies), inkubator dengan suhu 20, 30 dan 40 °C, oven, rotary
evaporator, mini desikator, blender, kertas saring Whatman (Vicam), mikro pipet,
jangka sorong dan timbagan digital. Selain itu juga digunakan berbagai jenis alatalat gelas (cawan petri, labu ukur, corong pemisah, dan lainnya).
Prosedur Penelitian
Penelitian yang dilakukan terdiri atas tiga tahap. Tahap pertama meliputi uji
pengaruh suhu dan kelembaban relatif terhadap pertumbuhan F. verticillioides
BIO 957 pada media laboratorium (CDA) dan media pangan (jagung dan kedelai).
Tahap kedua meliputi uji pengaruh suhu dan kelembaban relatif terhadap produksi
FB1 pada media pangan. Tahap ketiga meliputi uji kemampuan penghambatan
mikroba antagonis S. cerevisiae ATCC 9376 terhadap pertumbuhan
F. verticillioides BIO 957. Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.
12
Persiapan
1. Tahap Persiapan:
a. Persiapan mikroba
F. verticillioides BIO
957 dan S. cerevisiae
ATCC 9376
b. Persiapan larutan
garam untuk mengatur
kelembaban relatif
c. Persiapan media
pangan: iradiasi
jagung dan kedelai
dan kadar air
Pengaruh suhu dan kelembaban
relatif terhadap pertumbuhan
F. verticillioides BIO 957
2. Pengujian
pertumbuhan
miselium pada
medium CDA.
3. Pengujian
pertumbuhan
miselium pada
jagung dan kedelai.
Pengaruh suhu dan
kelembaban relatif terhadap
produksi FB1
4. Pengujian kadar FB1
dengan HPLC.
Pengendalian secara
biologis menggunakan
mikroba antagonis
5. Pengujian efisiensi
S. cerevisiae ATCC 9376
sebagai mikroba antagonis
terhadap pertumbuhan
F. verticillioides BIO 957
pada medium CDA.
6. Pengujian efisiensi
S. cerevisiae ATCC 9376
sebagai mikroba antagonis
terhadap pertumbuhan
F. verticillioides BIO 957
pada jagung dan kedelai.
Gambar 4 Diagram alir tahapan penelitian
13
1.
Tahapan Persiapan
a. Persiapan Spora Kapang F. verticillioides dan Sel Kamir S. cerevisiae
(Kusumaningtyas et al. 2006)
Metode perlakuan yang digunakan pada penelitian ini mengacu
pada metode Kusumaningtyas (2006) dengan modifikasi jenis media.
Kapang F. verticillioides BIO 957 dalam media PDA pada tabung reaksi
yang berumur 7 hari, sporanya diambil sebanyak 1 ose dan diinokulasi
pada media CDA miring dan diinkubasi pada suhu 30 °C selama 7 hari.
Kemudian disimpan dalam refrigerator untuk kultur stok. Sedangkan
S. cerevisiae ATCC 9376 ditumbuhkan dalam media cair PDB dan
diinkubasikan pada suhu 28 oC selama tiga hari. Konsentrasi kapang
F. verticillioides BIO 957 dan S. cerevisiae ATCC 9376 yang digunakan
pada penelitian adalah 106 CFU/mL.
b. Pengaturan Kelembaban Relatif (Greenspan 1976)
Garam yang telah ditimbang dengan berat tertentu dimasukan
kedalam erlenmeyer 250 mL dan dilarutkan dalam sejumlah air sampai
jenuh, lalu disterilisasi dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121 oC
selama 15 menit. Sementara itu desikator disterilkan terlebih dahulu
dengan alkohol 70%, setelah itu diisi larutan garam jenuh steril. Jenis dan
jumlah garam per 100 mL air untuk pembuatan larutan garam jenuh yang
digunakan untuk kondisi inkubasi pada suhu dan kelembaban tertentu
dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Garam jenuh pada kondisi suhu dan kelembaban relatif tertentu
Suhu Kelembaban
Jenis Garam*
Jumlah
Relatif (%)
Garam (g)
(°C)
20
70
Amonium klorida (NH4Cl) - T
120
80
Barium klorida (BaCl2) - T
140
90
Kalium sulfat (K2SO4) - PA
100
30
70
Amonium sulfat (NH4)2SO4 - T
93
80
110
Kalium nitrat (KNO3) - T
90
200
Kalium nitrat (KNO3) - PA
40
70
Natrium nitrat (NaNO3) - T
70
80
80
Kalium nitrat (KNO3) - T
90
Kalium sulfat (K2SO4) - PA
90
*PA: Pro Analysis; T: Teknis
c.
Persiapan Media Pangan (Aziz et al. 2005)
Masing-masing 20 g jagung dan kedelai yang sudah dikemas
plastik disterilisasi dengan cara iradiasi menggunakan sinar gamma yang
dihasilkan oleh Cobalt 60 pada dosis 25 kGy untuk menghilangkan
semua jenis mikroba. Iradiasi dilakukan oleh Badan Tenaga Nuklir
Nasional (BATAN), Jakarta. Setelah itu jagung dan kedelai diukur kadar
airnya dengan metode AOAC (2005).
14
2. Uji Pengaruh Suhu dan Kelembaban Relatif terhadap Pertumbuhan
F. verticillioides BIO 957 pada Media CDA (modifikasi Kokkonen et al.
2010)
Metode perlakuan yang digunakan pada percobaan ini mengacu pada
metode Kokkonen et al (2010) dengan modifikasi jenis media padat, suhu dan
kelembaban relatif yang diatur. Kapang F. verticillioides BIO 957 sebanyak
satu ose diinokulasi di tengah-tengah media cawan agar CDA, kemudian
cawan diinkubasi pada suhu 20, 30 dan 40 oC dengan kelembaban relatif 70, 80
dan 90%. Inkubasi dilakukan hingga miselium kapang memenuhi permukaan
agar pada cawan (8 hari). Pertumbuhan kapang diamati setiap 48 jam dengan
mengukur diameter koloni yang tumbuh pada media CDA menggunakan
jangka sorong. Perlakuan dilakukan sebanyak dua ulangan. Cara penempatan
sampel dalam desikator adalah dengan menggunakan penyangga sebagai
pemisah antara sampel dengan larutan garam jenuh.
3. Uji Pengaruh Suhu dan Kelembaban Relatif terhadap Pertumbuhan
F. verticillioides BIO 957 pada Jagung dan Kedelai (modifikasi Kokkonen
et al. 2010)
Metode perlakuan yang digunakan pada percobaan ini mengacu pada
metode Kokkonen et al (2010) dengan modifikasi jenis media pangan, jumlah
kapang yang diinokulasi, suhu dan kelembaban relatif yang diatur. Media
jagung dan kedelai masing-masing sebanyak 20.0±0.1 g dimasukkan kedalam
cawan petri dan diinokulasi dengan 4 mL suspensi kapang F. verticillioides
BIO 957 (106 CFU/mL), kemudian diinkubasi selama 14 hari. Analisis yang
dilakukan adalah pengukuran pertumbuhan kapang dengan penimbangan berat
massa sel. Perlakuan dilakukan sebanyak dua ulangan.
4. Uji Pengaruh Suhu dan Kelembaban Relatif terhadap Produksi FB1 oleh
F. verticillioides BIO 957 pada Jagung dan Kedelai (modifikasi Kokkonen
et al. 2010)
Media jagung dan kedelai dari percobaan pertumbuhan kapang
F. verticillioides BIO 957 digunakan untuk analisis keberadaan FB1 setelah
masa inkubasi selama 14 hari. Analisis FB1 dilakukan secara kuantitatif
dengan HPLC (modifikasi AOAC No.2001.04 2012). Modifikasi dilakukan
pada saat membuat larutan standar dengan konsentrasi yang diatur kembali.
Metode analisis fumonisin terdiri dari pembuatan kurva standar fumonisin,
preparasi sampel dan analisisnya menggunakan HPLC 1100 series yang
dilengkapi dengan detektor fluoresen.
Konsentrasi larutan standar stok FB1 adalah 10 µg/mL (ppm). Larutan
standar kerja FB1 dibuat konsentrasi 10.00, 5.00, 2.50, 1.00, 0.50 dan 0.25 ppm
dalam asetonitril:air (50:50 v/v). Larutan standar 50 µL dimasukkan ke dalam
tabung vial 1 mL, lalu larutan tersebut diderivatisasi dengan menambahkan
reagen o-Phthalaldehyde (OPA) sebanyak 50 µL. Larutan dihomogenkan
selama 30 detik, kemudian 40 µL diinjeksikan ke dalam HPLC tepat setelah
3 menit. Kondisi HPLC sebagai berikut ini:
Kolom
: C18 (150 x 4.6 mm id, 5 µm)
Fase gerak
: Metanol-0.1M Sodium dihidrogenfosfat (NaH2PO4)
(77 + 23 v/v) pH 3.4 dengan asam fosfat (H3PO4)
15
Laju alir
Suhu
Sampel loop
Detektor
: 1 mL/min
: 29–31 °C
: 20 µL
: Fluoresen dengan panjang gelombang eksitasi 335 nm dan
emisi 440 nm
Sejumlah 20.0±0.1 g sampel diblender dengan 50 mL metanolasetonitril-air (25:25:50 v/v/v). Setelah itu disaring dengan kertas fluted filter
(Whatman No.14), kemudian 10 mL filtrat dikumpulkan dalam erlenmeyer
250 mL yang bersih. Filtrat diencerkan dengan 40 mL larutan PBS dan
disaring dengan kertas microfiber filter (Whatman GF/A). Sejumlah 10 mL
(setara dengan 1 g sampel) filtrat dipipet dan dialirkan melalui kolom afinitas
FumoniTest™ dengan kecepatan sekitar 1–2 tetes/detik dan eluatnya dibuang.
Kolom afinitas FumoniTest WB dapat digunakan untuk analisis fumonisin B1,
B2 dan B3. Kolom dicuci dengan cara mengalirkan 10 mL larutan PBS melalui
kolom dengan kecepatan sekitar 1–2 tetes/detik. FB1 dalam kolom afinitas
dielusi dengan 1.5 mL metanol dengan kecepatan 1 tetes/detik. Eluat diuapkan
dengan nitrogen pada suhu ruang (29–31 °C) hingga kering. Ekstrak kering
dilarutkan kembali dalam 200 µL metanol:aquabidest (50:50 v/v). Aliquots
50 µL dari ekstrak dipindahkan kedalam tabung vial 1 mL, kemudian
ditambahkan reagent OPA sebanyak 50 µL dan dihomogenkan selama 30 detik.
Sebanyak 40 µL larutan diinjeksi ke dalam HPLC tepat setelah 3 menit.
Konsentrasi FB1 dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
Konsentrasi FB1 (µg/g) = Konsentrasi Kurva Standar (µg/mL) x 0.2 (mL) x 25
Berat sampel (g)
5. Pengendalian Pertumbuhan Fusarium verticillioides BIO 957 dengan
Menggunakan Mikroba Antagonis Saccharomyces cerevisiae ATCC 9376
pada Media CDA, Jagung dan Kedelai (modifikasi Kusumaningtyas 2006)
Modifikasi yang dilakukan dari Kusumaningtyas (2006) adalah dengan
mengganti kapang A. flavus F0213 dengan F. verticillioides BIO 957.
Pengujian ini menggunakan tiga jenis media yaitu media CDA, jagung dan
kedelai. Media jagung dan kedelai dibuat dengan cara masing-masing bubuk
jagung dan kedelai dicampur dengan media agar CDA dengan perbandingan
2:1 b/b, kemudian dilarutkan ke dalam 1 L air dan dipanaskan hingga mendidih.
Medium disterilkan dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121 °C selama
15 menit, kemudian sebanyak 12 mL medium dipindahkan ke dalam cawan
petri. Suspensi F. verticillioides BIO 957 digoreskan dengan cara streak-plate
masing-masing pada bagian tengah cawan petri yang berisi media CDA, media
agar jagung dan kedelai dengan lebar 1 cm. Suspensi S. cerevisiae ATCC 9376
digoreskan pada sisi kanan dan kiri F. verticillioides BIO 957 dengan lebar
1 cm dengan jarak 2 cm dari F. verticillioides BIO 957. Sebagai kontrol
F. verticillioides BIO 957 digoreskan di tengah cawan petri dengan lebar 1 cm
secara terpisah. Cawan petri diinkubasi pada kondisi ruang (suhu 29–31 °C
dan kelembaban 65–85%) selama 8 hari. Setiap perlakuan dilakukan sebanyak
dua ulangan. Lebar koloni F. verticillioides BIO 957 yang tumbuh diukur dan
dibandingkan dengan kontrol sehingga dapat diketahui persentase
16
penghambatan pertumbuhan F. verticillioides BIO 957 oleh S. cerevisiae
ATCC 9376. Pola pengujian antagonis S. cerevisiae ATCC 9376 terhadap
pertumbuhan F. verticillioides BIO 957 pada media CDA, media agar jagung
dan kedelai dapat dilihat pada Gambar 5.
S. cerevisiae
F. verticillioides
S. cerevisiae
S. cerevisiae
F. verticillioides
S. cerevisiae
Gambar 5 Pola pengujian penghambatan F. verticillioides
PADA SUHU DAN KELEMBABAN RELATIF BERBEDA SERTA PENGENDALIAN
PERTUMBUHANNYA OLEH Saccharomyces cerevisiae ATCC 9376
DWI RAHAYU
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pertumbuhan Fusarium
verticillioides BIO 957 dan Produksi Fumonisin B1 pada Suhu dan Kelembaban
Relatif Berbeda serta Pengendalian Pertumbuhannya oleh Saccharomyces
cerevisiae ATCC 9376 adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2014
Dwi Rahayu
NIM F251110251
RINGKASAN
DWI RAHAYU. Pertumbuhan Fusarium verticillioides BIO 957 dan Produksi
Fumonisin B1 pada Suhu dan Kelembaban Relatif Berbeda serta Pengendalian
Pertumbuhannya oleh Saccharomyces cerevisiae ATCC 9376. Dibimbing oleh
WINIATI P. RAHAYU dan HANIFAH N. LIOE.
Fusarium verticillioides adalah spesies Fusarium yang dominan dalam
memproduksi fumonisin pada produk-produk pertanian. Fumonisin B1 (FB1)
merupakan fumonisin yang paling banyak ditemukan di alam dan paling toksik
dibandingkan jenis fumonisin lainnya. Faktor ekstrinsik utama yang
mempengaruhi pertumbuhan F. verticillioides dan produksi fumonisin adalah
suhu dan kelembaban (De la Campa et al. 2005). Kontaminasi FB1 pada produk
pertanian tidak hanya dapat menimbulkan kerugian secara ekonomis karena
kehilangan hasil panen dan penolakan produk di pasar, dan juga dapat
membahayakan kesehatan manusia dan hewan. Pencegahan kontaminasi FB1
pada bahan pangan dapat dilakukan secara biologis dengan menggunakan mikroba
antagonis seperti S. cerevisiae.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perubahan suhu dan kelembaban
relatif terhadap ketahanan hidup F. verticillioides BIO 957 dan produksi FB1,
serta menguji kemampuan S. cerevisiae ATCC 9376 untuk mengendalikan
pertumbuhan F. verticillioides BIO 957. Penelitian yang dilakukan terdiri dari tiga
tahap. Tahap pertama adalah pengujian pengaruh suhu 20, 30 dan 40 oC dengan
kelembaban relatif 70, 80 dan 90% terhadap pertumbuhan F. verticillioides BIO
957 pada media laboratorium (CDA) dan media pangan (jagung dan kedelai).
Tahap kedua adalah pengujian pengaruh suhu dan kelembaban relatif terhadap
pembentukan FB1 pada jagung dan kedelai. Tahap ketiga adalah pengujian
pengendalian pertumbuhan F. verticillioides BIO 957 dengan menggunakan
S. cerevisiae ATCC 9376.
Pertumbuhan kapang toksigenik F. verticillioides BIO 957 paling tinggi
pada media CDA, jagung dan kedelai terjadi pada kondisi suhu 30 oC dengan
kelembaban relatif 90%. Konsentrasi FB1 paling tinggi pada jagung dan kedelai
yang dikontaminasi F. verticillioides BIO 957 yaitu sebanyak 374 dan 67 ppb,
terjadi pada kondisi suhu 30 °C pada jagung dan 20 °C pada kedelai, keduanya
pada kelembaban relatif 90%. Pada kondisi suhu 40 °C dengan kelembaban
relatif 70, 80 dan 90% F. verticillioides BIO 957 tidak mampu tumbuh, sehingga
pembentukan FB1 dapat dihindari. Pertumbuhan F. verticillioides BIO 957 dapat
dihambat oleh S. cerevisiae ATCC 9376 sebesar 44, 44 dan 38% pada masingmasing media CDA, jagung dan kedelai.
Kata kunci: FB1, F. verticillioides BIO 957, kelembaban relatif, S. cerevisiae
ATCC 9376, suhu
SUMMARY
DWI RAHAYU. The Growth of Fusarium verticillioides BIO 957 and Production
of Fumonisin B1 at Different Temperature and Relative Humidity and Their
Growth Control by Saccharomyces cerevisiae ATCC 9376. Supervised by
WINIATI P. RAHAYU and HANIFAH N. LIOE.
Fusarium verticillioides was the predominant Fusarium species in
producing fumonisin on agricultural products. Fumonisin B1 (FB1) is the most
abundant fumonisin in nature and the most toxic among other fumonisins. The
main factors affecting the growth of F. verticillioides and production of fumonisin
are temperature and humidity (De la Campa et al. 2005). FB1 contamination on
agricultural products can give an economical impact due to the lost harvest and
rejected products in market, and harm human and animal health. Prevention of
FB1 contamination on foods can be done biologically by using microbial
antagonist such as S. cerevisiae.
This research was aimed to assess the effect of temperature and relative
humidity on the growth of F. verticillioides BIO 957 and its FB1 production, and
to evaluate the ability of S. cerevisiae ATCC 9376 for controlling the growth of
F. verticillioides BIO 957. The research that has been carried out consists of three
stages. The first stage investigated the temperature at 20, 30 and 40 oC
incorporated with the relative humidities of 70, 80 and 90% on the growth of
F. verticillioides BIO 957 on the laboratory media (CDA) and food media (maize
and soybeans). The second stage investigated the effect of temperature and the
relative humidities to the FB1 production in maize and soybeans. The third stage
investigated the growth control of F. verticillioides BIO 957 by using
S. cerevisiae ATCC 9376.
The highest growth of F. verticillioides BIO 957 in CDA, maize and
soybeans was occurred at temperature 30 °C and 90% of relative humidity. The
highest concentrations of FB1 in maize and soybeans contaminated by
F. verticillioides BIO 957 were 374 and 67 pbb, observed at temperature 30 °C for
maize and 20 °C for soybeans, both at 90% relative humidity. At a temperature of
40 °C with 70, 80 and 90% of relative humidity, the growth of F. verticillioides
BIO 957 was not observed, therefore the FB1 formation was avoided. The growth
of F. verticillioides BIO 957 could be prevented by S. cerevisiae ATCC 9376 at
44, 44 and 38% on the respective CDA, maize and soybeans media.
Keywords: FB1, F. verticillioides BIO 957, relative humidity, S. cerevisiae ATCC
9376, temperature
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PERTUMBUHAN Fusarium verticillioides BIO 957 DAN PRODUKSI FUMONISIN B1
PADA SUHU DAN KELEMBABAN RELATIF BERBEDA SERTA PENGENDALIAN
PERTUMBUHANNYA OLEH Saccharomyces cerevisiae ATCC 9376
DWI RAHAYU
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji luar komisi pada ujian tesis : Prof Dr Ir Rizal Syarief, DESS
Judul Tesis
Nama
NIM
: Pertumbuhan Fusarium verticillioides BIO 957 dan Produksi
Fumonisin B1 pada Suhu dan Kelembaban Relatif Berbeda
serta Pengedalian Pertumbuhannya oleh Saccharomyces
cerevisiae ATCC 9376
: Dwi Rahayu
: F251110251
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof Dr Winiati P Rahayu
Ketua
Dr Ir Hanifah Nuryani Lioe, MSi
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Pangan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian : 12 Agustus 2014
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Segala puji bagi Allah SWT atas kemudahan dan kekuatan yang diberikan
kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis yang
berjudul Pertumbuhan Fusarium verticillioides BIO 957 dan Produksi
Fumonisin B1 pada Suhu dan Kelembaban Relatif Berbeda serta
Pengendalian Pertumbuhannya oleh Saccharomyces cerevisiae ATCC 9376
yang merupakan bagian dari penelitian Kajian Risiko Mikotoksin dan
Pengendalian Pertumbuhan Kapang Toksigenik pada Jagung dan Kedelai selama
Penyimpanan akibat Perubahan Iklim (Suhu dan Kelembaban) yang dibiayai oleh
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian melalui Program Kerjasama
Kemitraan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Nasional (KKP3N).
Penyusunan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk
meneyelesaikan kegiatan studi pada program studi Ilmu Pangan, Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Penelitian dan penyusunan tesis ini tidak terlepas dari banyaknya
dukungan dan kerjasama dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis
menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tidak terhingga
kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Winiati P Rahayu dan Ibu Dr. Ir. Hanifah Nuryani Lioe, MSi
yang telah memberikan bimbingan, waktu dan perhatian serta selalu
menyemangati dari awal penemuan ide hingga selesainya penelitian dan
penulisan tesis ini.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS selaku penguji yang telah
memberikan waktu dan saran-saran yang menyempurnakan penulisan tesis ini.
3. Bapak Ir. Wisnu Broto, MS, Ibu Santi Ambarwati, SSi, MSi dan Ibu Dian
Herawati S.TP, MSi yang telah banyak memberikan bantuan dan saran-saran
selama pelaksanaan penelitian.
4. Seluruh pengajar di Program Studi Ilmu Pangan yang telah memberikan bekal
ilmu bagi penulis terutama dalam bidang Mikrobiologi dan Kimia Pangan.
5. Para teknisi di laboratorium ITP (Bapak Edi dan Ibu Antin) dan di
laboratorium SEAFAST Center (Ibu Ari, Ibu Ria dan Bapak Agus) yang telah
memberikan bantuan dan kerjasamanya selama penulis melakukan penelitian.
6. Suami tercinta Fadhlan Asri yang telah memberikan beasiswa pribadi dan
selalu mengobarkan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan studi S2.
7. Mama tersayang Nani Wijaya yang selalu memberikan doa dan dukungan
kepada penulis.
8. Rekan-rekan mahasiswa IPN 2011 yang telah sama-sama berjuang dari awal
masuk hingga saat ini, khususnya untuk Caca Pratiwi dan Sinta Adelina
Simatupang yang telah bekerja sama selama pelaksanaan penelitian.
Penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat khususnya dalam
mengantisipasi bahaya mikotoksin akibat perubahan suhu dan kelembaban.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun sangat diharapkan demi perbaikan kedepannya.
Semoga Allah SWT memberikan balasan yang lebih baik atas segala bantuan serta
dukungan yang telah diberikan kepada penulis.
Bogor, Oktober 2014
Dwi Rahayu
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Hipotesis
TINJAUAN PUSTAKA
Fusarium verticillioides
Fumonisin
Dampak Fumonisin bagi Kesehatan
Kandungan Fumonisin pada Jagung dan Kedelai
Pengendalian Kapang Toksigenik dengan Saccharomyces
cerevisiae
Metode Analisis Fumonisin B1
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Bahan dan Peralatan Penelitian
Prosedur Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Suhu dan Kelembaban Relatif terhadap Pertumbuhan
F. verticillioides BIO 957 pada Media CDA
Pengaruh Suhu dan Kelembaban Relatif terhadap Pertumbuhan
F. verticillioides BIO 957 pada Media Jagung dan Kedelai
Pengaruh Suhu dan Kelembaban Relatif terhadap Produksi FB1
pada Media Jagung dan Kedelai
Pengendalian Pertumbuhan F. verticillioides BIO 957 dengan
Menggunakan Mikroba Antagonis S. cerevisiae ATCC 9376
pada Media CDA, Jagung dan Kedelai
1
2
3
3
3
4
5
7
7
9
9
11
11
11
17
19
20
22
SIMPULAN DAN SARAN
24
DAFTAR PUSTAKA
25
DAFTAR TABEL
Pengaruh Suhu dan Kelembaban terhadap Pertumbuhan dan Produksi FB1
oleh F. verticillioides
Kandungan FB1 pada Jagung
Metode Analisis FB1 dengan HPLC pada Berbagai Jenis Komoditas
Pertanian
Garam Jenuh pada Kondisi Suhu dan Kelembaban Relatif Tertentu
Produksi FB1 dari F. verticillioides BIO 957 pada Media Jagung dan
Kedelai pada pada Suhu 20 dan 30 °C dengan Kelembaban Relatif
90%
Pertumbuhan F. verticillioides BIO 957 dan Persentase Penghambatan
oleh S. cerevisiae ATCC 9376 pada Media CDA, Jagung dan Kedelai
pada Suhu dan Kelembaban Ruang (29–31 °C dan 65–85%)
5
8
10
13
21
22
DAFTAR GAMBAR
Morfologi Fusarium
Struktur Kimia Fumonisin
Biosintesis Fumonisin
Diagram Alir Tahapan Penelitian
Pola Pengujian Penghambatan F. verticillioides BIO 957 oleh S. cerevisiae
ATCC 9376
Pertumbuhan F. verticillioides BIO 957 pada Medium CDA dengan
Waktu Inkubasi 8 Hari pada Suhu dan Kelembaban Ruang (29–31 °C
dan 65–85%)
Grafik Pertumbuhan F. verticillioides BIO 957 pada Media CDA dengan
Waktu Inkubasi 8 Hari pada Kondisi Suhu dan Kelembaban Relatif
Berbeda
Pertumbuhan F. verticillioides BIO 957 pada Media Jagung dan Kedelai
pada suhu dan kelembaban ruang (29–31 °C dan 65–85%)
Grafik Pertumbuhan F. verticillioides BIO 957 pada Media Jagung dan
Kedelai pada Akhir Inkubasi (14 hari) pada Kondisi Suhu dan
Kelembaban Relatif Berbeda
4
6
6
12
16
17
18
19
19
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara beriklim tropis dengan suhu dan kelembaban
yang tinggi. Kondisi ini sangat mendukung pertumbuhan kapang toksigenik
penghasil mikotoksin. Kapang penghasil mikotoksin yang banyak ditemukan pada
komoditas pertanian di Indonesia seperti serealia (jagung, gandum, sorgum dan
beras) dan kacang-kacangan (kacang tanah dan kedelai) yang digunakan sebagai
bahan pakan dan pangan diantaranya adalah Fusarium sp (Romsyah 2007).
Fusarium memiliki spesies yang jumlahnya mencapai lebih dari 80 dan sebagian
besar spesies memproduksi mikotoksin. Kapang ini biasanya tumbuh pada
komoditas pertanian baik ketika masih di ladang maupun ketika sudah dalam
penyimpanan di gudang. Kapang tersebut menghasilkan mikotoksin sebagai
metabolit sekunder, diantaranya fumonisin (Leslie dan Summerell 2006).
Fumonisin merupakan salah satu dari lima mikotoksin yang mendapat perhatian
dunia, karena dampaknya terhadap kesehatan manusia dan hewan serta
perdagangan internasional. FAO telah mengestimasi bahwa lebih dari 25% hasil
pangan rusak pertahun akibat kontaminasi mikotoksin, dimana spesies Fusarium
berkontribusi cukup tinggi (FAO 2004). Oleh karena itu, beberapa negara di dunia
telah menentukan batas maksimum kandungan mikotoksin pada produk pertanian
dan hasil olahannya, seperti Badan Standarisasi Nasional telah menentukan batas
ambang untuk beberapa mikotoksin yaitu aflatoksin, deoksinivalenol, fumonisin,
okratoksin dan patulin (SNI 2009).
Fusarium verticillioides dan F. proliferatum adalah spesies fusarium yang
dominan dalam memproduksi fumonisin pada produk-produk pertanian, meskipun
spesies lain, termasuk F. nygamai, F. phyllophilum, F. globosum, F. fujikuroi
MP-C, dan F. oxysporum complex, dilaporkan juga dapat memproduksi fumonisin
dengan jumlah yang relatif rendah (Proctor et al. 2006). Selain kemampuannya
memproduksi fumonisin, F. vericillioides dan F. proliferatum juga dapat
memproduksi metabolit sekunder lain, seperti moniliformin, beauvericin, dan
fusarin. Kontaminasi F. verticillioides paling tinggi ditemukan pada tanaman
jagung, sehingga pada jagung dan produk-produk turunan jagung ditemukan
mengandung fumonisin dalam jumlah signifikan (Kushiro et al. 2008).
Faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan F. verticillioides dan
kontaminasi fumonisin adalah suhu dan kelembaban. Pada jagung dan kedelai,
produksi fumonisin pada daerah dataran rendah, biasanya lebih besar
dibandingkan dengan daerah dataran tinggi. Hal ini disebabkan karena pada
dataran rendah kondisi suhu dan kelembaban relatif lebih tinggi daripada dataran
tinggi (Bush et al. 2004). De la Campa et al. (2005) juga menjelaskan bahwa
pengaruh musim (suhu dan curah hujan) dapat mempengaruhi pertumbuhan
F. verticillioides dan konsentrasi fumonisin pada biji jagung.
Produksi toksin bergantung pada substrat tempat kapang tumbuh.
Kehadiran organisme lain yang bersaing dapat menyebabkan kapang kehilangan
potensinya untuk menghasilkan toksin (Williams 2004). Penggunaan mikroba
antagonis dapat menghambat pertumbuhan kapang. Niderkon et al. (2009)
melakukan penelitian mengenai pengikatan fumonisin dengan bakteri fermentasi
2
secara in vitro. Penelitian tersebut menyatakan bahwa bakteri asam laktat (BAL)
telah diuji kemampuannya untuk menghambat produksi deoxynivalenol (DON),
fumonisin B1 dan B2 pada medium pH 4 dengan persentase penghambatan 55, 82
dan 100%. Strain bakteri fermentasi yang digunakan harus dapat mengikat
mikotoksin dari Fusarium. Selain bakteri, penggunaan kamir juga terbukti dapat
menurunkan tingkat kontaminasi fumonisin. Kemampuan pengikatan oleh bakteri
fermentasi dapat digunakan untuk mengurangi bioavailabilitas toksin dalam silase
yang terkontaminasi. Selain bakteri, kamir juga dapat digunakan untuk
menghambat pertumbuhan kapang toksigenik. Salah satu kamir yang dapat
digunakan adalah Saccharomyces cerevisiae.
Perumusan Masalah
Mikotoksin adalah toksin yang dihasilkan oleh kapang toksigenik. Serealia
seperti jagung dan kacang-kacangan seperti kedelai dapat menjadi substrat bagi
kapang toksigenik penghasil mikotoksin. Salah satu spesies utama kapang
pengontaminasi serealia dan kacang-kacangan adalah F. verticillioides. Kapang
tersebut dapat menghasilkan fumonisin. Kandungan fumonisin dalam serealia dan
kacang-kacangan dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu dan
kelembaban. Konsentrasi fumonisin biasanya meningkat pada musim panas dan
kering, periode dimana kelembaban udara tinggi. Pada jagung yang disimpan, jika
kadar air berkisar 18–23% biasanya produksi fumonisin meningkat sebanding
dengan meningkatnya konsentrasi F. verticillioides (De la Campa et al. 2005).
Fumonisin B1 (FB1) yang sering ditemukan pada jagung merupakan fumonisin
yang
paling
toksik.
Fumonisin
dapat
menyebabkan
Eguine
Leucoencephalomalacia (ELEM) pada kuda dan spesies lain (Wu and Munkvold
2008). Pada kesehatan manusia diperkirakan terdapat hubungan antara konsumsi
jagung yang tinggi di beberapa daerah di dunia antara lain Cina dan Italia dengan
terjadinya kanker esofagus (Marasas et al. 2008). Saat ini belum diketahui sejauh
mana pertumbuhan kapang toksigenik F. verticillioides yang telah diisolasi dari
sorgum dan produksi fumonisin yang dihasilkan akibat perubahan faktor
lingkungan yaitu kondisi suhu dan kelembaban. Selain itu, fumonisin pada
serealia dan kacang-kacangan juga dapat menimbulkan kerugian dan bahaya bagi
kesehatan, sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai pengendalian fumonisin
terutama dengan mengurangi pertumbuhan F. verticillioides. Pengendalian dapat
dilakukan secara biologis dengan menggunakan mikroba antagonis untuk
mengurangi jumlah kapang toksigenik sehingga mengurangi jumlah toksin yang
dihasilkan. Salah satu mikroba antagonis yang dapat digunakan adalah
S. cerevisiae ATCC 9376 yang merupakan kamir non toksigenik. Pengendalian
secara biologis ini merupakan alternatif reduksi F. verticillioides BIO 957 dan
FB1 yang dapat diaplikasikan secara aman karena kamir ini merupakan kamir
yang digunakan untuk pembuatan tape dan roti.
3
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:
1. Mengkaji pengaruh suhu dan kelembaban relatif terhadap ketahanan hidup
F. verticillioides BIO 957 dan produksi FB1 yang dihasilkan pada jagung dan
kedelai.
2. Mengetahui efektivitas S. cerevisiae ATCC 9376 untuk pengendalian
F. verticillioides BIO 957.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menyediakan data dasar
pengendalian pertumbuhan F. verticillioides BIO 957 dan produksi FB1 akibat
adanya perbedaan suhu dan kelembaban relatif serta memberikan kontribusi
dalam penyediaan metode pengendalian F. verticillioides BIO 957 secara biologis
dengan menggunakan mikroba antagonis S. cerevisiae ATCC 9376.
Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Perlakuan suhu tinggi dengan kelembaban relatif rendah dapat menghambat
pertumbuhan F. verticillioides BIO 957.
2. Perlakuan suhu tinggi dengan kelembaban relatif rendah dapat menghambat
produksi FB1.
3. Saccharomyces cerevisiae ATCC 9376 dapat menghambat pertumbuhan
F. verticillioides BIO 957.
4
TINJAUAN PUSTAKA
Fusarium verticillioides
Fusarium, Aspergillus dan Penicillium merupakan tiga genus kapang utama
pada pangan yang harus diwaspadai dalam produksi mikotoksinnya. Berbeda
dengan Aspergillus dan Penicillium, Fusarium merupakan kapang lapang, yaitu
tumbuh dan mengontaminasi tanaman pangan sebelum proses pemanenan,
sehingga membutuhkan proses pengontrolan yang lebih kompleks. Fusarium
merupakan genus dari kapang berfilamen yang banyak tersebar pada tanah dan
tanaman (Leslie and Summerrel 2006). Spesies kapang Fusarium yang sering
ditemukan di Indonesia adalah F. verticillioides yang berpotensi menghasilkan
fumonisin (Ali et al. 1998). Kapang F. verticillioides yang diisolasi dari jagung
asal Cikeumeuh-Bogor dan diinokulasi pada medium jagung serta diinkubasi pada
suhu 25 °C selama 27 hari dapat menghasilkan fumonisin B1 sebesar
1543.14 mg/kg (Maryam et al. 2007).
Spesies F. verticillioides adalah sinonim dari spesies F. moniliforme,
merupakan spesies dominan yang menginfeksi bagian jagung antara lain: akar,
batang, pelepah, tongkol dan terutama biji (Blish et al. 2004). Fusarium
verticillioides secara ekonomi merupakan kapang yang penting karena
menyebabkan busuk akar pada jagung dan menghasilkan fumonisin. Fusarium
verticillioides mengkontaminasi pangan dan pakan baik ketika di ladang maupun
saat penyimpanan. Kemampuan F. verticillioides untuk tersebar luas secara
ekologi dan menghasilkan mikotoksin menunjukkan bahwa kapang tersebut
mungkin memiliki kemampuan kompetitif yang kuat (Wu 2006). Korelasi negatif
antara frekuensi F. graminearum dan F. verticillioides pada biji jagung mungkin
disebabkan karena persaingan penggunaan substrat, produksi zat antagonis dan
faktor lingkungan, meskipun tidak satupun dari kemungkinan telah diteliti secara
rinci. Fusarium verticillioides juga telah dilaporkan dapat menekan pertumbuhan
kapang spesies lainnya (Reddy et al. 2010). Morfologi dari F. verticillioides dapat
dilihat pada Gambar 1.
Keterangan: c = conidia; ch = chain; cp = conidiasphore; cs = chlamydospore; fc = foot cell;
fh = false head; ip = intercalary phialide; ma = macroconidia; mp = monophialide.
Gambar 1 Morfologi Fusarium (Zheng et al. 2012)
5
Kondisi lingkungan seperti suhu dan kelembaban merupakan faktor utama
yang mempengaruhi pertumbuhan dan interaksi antara Fusarium sp. dengan
kapang lainnya. Penelitian yang penah dilakukan untuk mengetahui pengaruh
suhu dan kelembaban untuk pertumbuhan dan produksi FB1 oleh F. verticillioides
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Pengaruh suhu dan kelembaban terhadap pertumbuhan dan produksi FB1
oleh F. verticillioides
Sampel
Hasil
Referensi
Jagung Spesies Fusarium diinkubasi pada suhu 15–30 °C dengan Marin
kelembaban 92–98% selama 2–4 minggu. Konsentrasi total et al. 1998
fumonisin maksimal sebesar 143.9 µg/g diproduksi pada
suhu 30 °C dengan kelembaban 98% oleh F. verticillioides.
Beras
Kultur F. verticillioides diisolasi dari beras dan diinkubasi Hinojo
pada suhu 20–37 °C dengan aw 0.96–1.00 (kelembaban et al. 2005
96–100%). Sejumlah 100 g beras yang tidak digiling
ditempatkan dalam erlenmeyer 500 mL dan dibasahi
semalaman pada suhu 4 °C dengan air deionisasi hingga
nilai aw mencapai 0.96–1.00. Jumlah penambahan air
dihitung dari kurva adsorpsi kelembaban untuk beras.
Produksi FB1 tertinggi dengan konsentrasi 3840 mg/kg
ditemukan pada kultur F. verticillioides yang diinkubasi
pada suhu 28 °C dengan aw 1.00 (kelembaban 100%).
Jagung Sampel diambil pada musim dingin dan panas. Suhu pada Sreenivasa
dan
musim dingin antara 26–28 °C dan suhu pada musim panas et al. 2013
sorgum 35–40 °C dengan kelembaban dibawah 50% pada kedua
musim. Konsentrasi FB1 pada jagung berkisar antara
0.02–22.83 µg/g dan pada sorgum berkisar antara
0.02–14.51 µg/g.
Fumonisin
Hingga saat ini telah dipublikasikan setidaknya 300 jenis kapang toksigenik
dan metabolitnya. Akan tetapi, Codex Allimentarius Commission tahun 2006
memfokuskan perhatian pada lima jenis mikotoksin yaitu aflatoksin,
deoksinivalenol, fumonisin, okratoksin dan patulin. Fumonisin merupakan salah
satu dari lima mikotoksin penting karena dampaknya terhadap kesehatan manusia
dan hewan serta perdagangan internasional (Syarief et al. 2012).
Fumonisin merupakan salah satu jenis mikotoksin yang diproduksi terutama
oleh F. verticillioides dan F. proliferatum, suatu kontaminan kapang primer pada
jagung di seluruh dunia. Terdapat 28 perbedaan bentuk fumonisin, terbagi
menjadi 4 kategori yaitu fumonisin seri A, B, C dan P berdasarkan struktur
kimianya. Fumonisin B1 adalah bentuk paling umum dan penting secara ekonomi,
diikuti B2 dan B3 (Schmale III and Munkvold 2014).
Sejauh ini karakterisasi kimia dan fisik fumonisin masih terbatas pada FB1.
FB1 memiliki rumus empiris C34H59NO15 dengan berat molekul relatif 721. Secara
fisik, substansi murninya berupa bubuk higroskopis berwarna putih, yang larut air,
6
asetonitril-air atau metanol. Stabil pada asetonitril-air (1:1 v/v), tidak stabil dalam
metanol, serta relatif stabil terhadap suhu pengolahan dan cahaya. Fumonisin B1
(Gambar 2) merupakan diester dari asam propana-1, 2, 3 trikarboksilat (TCA) dan
2-amino-12, 16-dimetil-3, 5, 10, 14, 15-pentahidroksieikosana, dimana gugus
hidroksil pada C14 dan C15 berikatan ester dengan gugus karboksil terminal pada
TCA.
Gambar 2 Struktur kimia fumonisin (Wang 2007)
Biosintesis fumonisin terjadi melalui proses kondensasi heksadekanoil
koenzim A (palmitat KoA, C16) dengan serin atau alanin. Biosintesis fumonisin
pada tanaman terjadi melalui proses yang sama dengan sfingolipid yang terbentuk
melalui proses kondensasi heksadekanoil koenzim A (palmitat, C16) dengan serin
atau alanin menghasilkan 1-hidroksi-2D-amino-3-okso oktadekana. Hal tersebut
terjadi karena adanya kemiripan struktur yang dimiliki fumonisin dan
sphingolipid. Reduksi gugus keton menghasilkan dihidrosphinganine dan
sphinganine yang merupakan analog fumonisin. Kemudian gugus amino
terasetilasi dan membentuk ikatan rangkap pada karbon yang mengikat gugus
hidroksil (Gambar 3).
Palmitoil-KoA
1-deoksisphinganine
Alanin
1-deoksi-3-ketosphinganine
1-deoksisphingosine
Fumonisin B1
Gambar 3 Biosintesis fumonisin (Modifikasi Abbas et al. 1996)
7
Dampak Fumonisin bagi Kesehatan
Wang et al. (2008) menjelaskan bahwa fumonisin dapat menyebabkan
keracunan karena terkait dengan gangguan proses biosintesis sphingolipid secara
de novo. Fumonisin sebagai inhibitor spesifik dari sphinganine N-acyltransferase
(ceramide sintase), yang merupakan enzim kunci pada biosintesis sphingolipid,
dimana sphingolipid turut berperan aktif dalam pengaturan fungsi-fungsi sel,
seperti proliferasi, diferensiasi, adhesi, serta kematian sel (Morales et al. 2007).
Meskipun efeknya pada manusia susah ditentukan secara langsung, International
Agency for Research on Cancer telah mengklasifikasikan bahwa fumonisin
potensial bersifat karsinogen pada manusia (karsinogen kelas 2B). FB1 juga
dilaporkan sebagai promotor kanker dan bersama dengan mikotoksin lain
berperan penting terhadap karsinogenesis pada manusia (Omurtag et al. 2006).
Berbagai penyakit seperti kanker esofagus (Marasas et al. 2008), neural
tube deseases (NTD) di sepanjang perbatasan Texas-Meksiko (Missmer et al.
2006) dan kerusakan ginjal yang dialami penduduk seperti di Afrika Selatan dan
Cina dilaporkan berkaitan erat dengan konsumsi bahan pangan yang
terkontaminasi FB1 (Marasas et al. 2008). Sementara itu, pada hewan ternak
fumonisin menyebabkan leukoencephalomalacia (ELEM) pada kuda,
pembengkakan paru-paru pada babi, toksisitas pada kardiovaskuler kuda dan babi
(Wu dan Munkvold 2008), kematian akut pada domba, serta penurunan kekebalan
pada ayam (Keck dan Bodine 2006). Penelitian terbaru menghubungkan
keterkaitan fumonisin di Afrika dengan peningkatan kerentanan terhadap HIV
(Williams et al. 2010).
Selain efeknya pada kesehatan manusia dan hewan, kontaminasi fumonisin
berdampak terhadap perekonomian suatu negara. Indonesia mengalami penurunan
ekspor komoditi pala akibat sering terjadinya penolakan oleh negara-negara
importir karena kualitas pala yang diekspor tidak sesuai dengan persyaraan mutu
yang mereka tetapkan, terutama mengenai kandungan aflatoksin yang melebihi
batas maksimum. Pada tahun 2010 hingga 2011, Indonesia menerima 9 kali
notifikasi Rapid Alert System for Food and Feed (RASFF) dari Uni Eropa karena
komoditi pala yang diekspor mengandung aflatoksin diatas 5 ng/g (Martam 2014).
Pada tahun 2004 kerugian ekonomi yang dialami Amerika mencapai US $40 juta,
sedangkan kerugian yang lebih besar dilaporkan di alami di Cina, Argentina, dan
negara-negara Afrika. Hal ini disebabkan karena semakin ketatnya standar yang
diterapkan oleh negara-negara di dunia (Wu 2006). Meskipun di Indonesia belum
ada laporan mengenai kerugian ekonomi dan mikotoksikositas pada manusia dan
hewan yang disebabkan oleh fumonisin, namun data penelitian yang ada
mengindikasikan adanya kontaminasi FB1 pada produk pertanian dengan
konsentrasi yang tinggi akan berdampak pada perekonomian nasional.
Kandungan Fumonisin pada Jagung dan Kedelai
Jagung adalah salah satu produk hasil pertanian penting Indonesia. Produksi
jagung nasional pada tahun 2009 sebesar 12.47 juta ton pipilan kering (PK).
Selanjutnya terus meningkat, menjadi 13.29 juta ton PK pada tahun 2010.
Kenaikan produksi rata-rata mencapai sekitar 10% pertahun. Hal ini menjadikan
Indonesia sebagai produsen jagung terbesar di Asia Tenggara. Sementara itu
konsumsi jagung nasional pun meningkat. Pada tahun 2009 konsumsi jagung
8
nasional mencapai angka 12.75 juta ton PK dan naik menjadi 12.95 juta ton PK
pada tahun 2010 (Sekretariat Negara Republik Indonesia 2010). Hal ini
menunjukkan pentingnya jagung sebagai salah satu komoditas pangan nasional.
Namun, di balik potensinya, masalah mutu dan keamanan jagung masih perlu
mendapat perhatian. Iklim tropis Indonesia dengan tingkat kelembaban yang
tinggi menjadi faktor penyebab berkembangnya kapang yang mencemari jagung
dan produk olahannya, terutama kapang yang menghasilkan mikotoksin (Benneth
dan Klich 2003).
Jagung merupakan komoditas yang mendapat perhatian karena banyak
dimanfaatkan oleh manusia, baik sebagai bahan pangan maupun sebagai pakan
ternak. Schutless et al. (2002) mengidentifikasi bahwa spesies F. verticillioides
adalah yang dominan menginfeksi biji jagung dan memproduksi fumonisin. Hasil
penelitian Oren et al. (2003) mengemukakan bahwa toksin yang dihasilkan
F. verticillioides, dapat ditemukan baik dari biji yang menampakkan gejala
maupun biji jagung yang tidak bergejala (Symptomless). Beberapa bahan pangan
lain seperti beras, kentang, biji kopi hijau, gandum, bir, bawang putih juga
dilaporkan mengandung fumonisin (Dasko et al. 2005; Frisvad et al. 2006; dan
Kushiro et al. 2008), namun pada konsentrasi yang relatif rendah. Kandungan
FB1 pada jagung dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Kandungan FB1 pada jagung
Negara
Komoditas
Konsentrasi FB1
(ng/g)
Indonesia
Pangan berbasis
130–247.10
jagung
Brazil
Corn Meal
1.10–15.30
Corn Flour
0.50–7.20
Corn Flakes
0.13
Cina
Corn Kernel
0.20–3.30
Referensi
Nuryono et al. 2004
Bittencourt et al. 2005
Cadas dan Silva 2007
Wang et al. 2008
Kedelai (Glycine max L. Merr) merupakan tanaman polongan Asiatik yang
dibudidayakan di banyak bagian dunia sebagai sumber minyak dan protein, yang
banyak digunakan dalam pembuatan bahan pakan dan pangan (FAO 2004).
Kedelai sering diserang oleh infeksi kapang selama budidaya, atau pasca panen
(selama transportasi dan penyimpanan), sehingga secara signifikan mempengaruhi
produktivitas hasil pertanian. Benih dan hasil panen yang terinfeksi adalah sumber
utama infeksi primer. Tingkat kerusakan biji dapat dipicu oleh kondisi lingkungan
seperti kelembaban relatif tinggi dan suhu di atas 25 ºC (Brase et al. 2009).
Kedelai dan kacang hijau memiliki profil kontaminasi yang hampir sama,
didominasi oleh Aspergillus flavus, sedangkan Fusarium pada tingkat kontaminasi
yang cukup rendah. Garcia et al. (2012) melakukan penelitian mengenai suhu
konstan dan dinamis terhadap pertumbuhan dan produksi fumonisin dari
F. verticillioides pada pangan berbasis kedelai dan biji kedelai yang diiradiasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa F. verticillioides tumbuh baik pada suhu
25 ºC dalam medium berbasis kedelai dan pada suhu 15–20 dan 15–25 ºC dalam
medium biji kedelai. Fumonisin B1 hanya diproduksi pada medium berbasis
kedelai dan konsentrasi FB1 tertinggi (7.38 µg/g) ditemukan pada suhu 15 ºC
setelah 7 hari inkubasi.
9
Pengendalian Kapang Toksigenik dengan Saccharomyces cerevisiae
Produksi toksin bergantung pada substrat tempat kapang tumbuh. Kehadiran
organisme lain yang bersaing dapat menyebabkan kapang kehilangan potensinya
untuk menghasilkan toksin. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk
menghambat pertumbuhan kapang dan mereduksi produksi mikotoksin adalah
secara biologis (Williams et al. 2004). Cara biologis umumnya dengan
penambahan bahan-bahan (biologi) tertentu ke dalam produk atau dengan
menggunakan mikroba antagonis yang dapat menurunkan pertumbuhan kapang
pada bahan pangan dan meminimalkan produksi mikotoksin yang dihasilkan
(Tuberose 2008).
Aktivitas BAL dan kamir sebagai anti kapang dan anti mikotoksin telah
dilaporkan oleh beberapa peneliti. Saccharomyces cerevisiae CECT-1891 dan
L. acidophilus 24 mampu mereduksi FB1 dan aflatoksin B1 (AFB1) pada medium
cair dengan proses pengikatan secara alami (Pizzolitto et al. 2012). Lebih lanjut
Galvano et al. (2001) melaporkan bahwa modifikasi mannan dan glukan yang
terdapat dalam dinding sel S. cerevisiae dapat mengikat aflatoksin B1, zearalenon,
fumonisin dan deoksinivalenol masing-masing sebesar 95, 77, 59 dan 12%.
Metode Analisis Fumonisin B1
Metode analisis yang digunakan saat ini untuk deteksi dan kuantifikasi
fumonisin dalam pangan dan pakan diantaranya adalah HPLC dengan berbagai
detektor, GC-MS, TLC dan ELISA. Semua instrumen ini berguna dan hasilnya
dapat diterima. Pada awalnya digunakan TLC untuk proses separasi dan
identifikasi fumonisin, namun metode ini memberikan hasil yang kurang spesifik
sebagai metode kuantitatif. Adanya modifikasi penggunaan fluorescamine sebagai
reagen visualisasi memungkinkan prosedur ini berguna sebagai metode skrining
keberadaan FB1 dan FB2. Selain murah, metode ini juga memberikan hasil yang
cukup linear dengan metode HPLC. Untuk menganalisis fumonisin dengan
konsentrasi yang sangat rendah umumnya digunakan GC/MS. Limit deteksinya
mencapai kurang dari 100 ppb. Hal ini karena pangan dan pakan berbasis jagung
hampir secara universal mengandung fumonisin dengan konsentrasi > 0.1 ppm
dan belum ada informasi terbaru yang mengindikasikan perlunya menganalisis
fumonisin pada konsentrasi yang lebih rendah pada matriks-matriks ini, sehingga
analisis dengan HPLC merupakan pilihan yang paling ideal (Pascale 2009).
Setiap metode memiliki kelebihan dan keterbatasan, namun metode HPLC
adalah metode yang paling banyak digunakan untuk penentuan level fumonisin
pada pangan dan pakan terutama pada jagung dan produk-produk turunan jagung
karena lebih sensitif, dipercaya, dan akurat. Selain itu, sifat fumonisin yang nonvolatil dan larut dalam pelarut polar menjadikannya ideal diuji dengan HPLC,
terutama dengan pengujian fase terbalik (Pascale 2009). Fumonisin tidak dapat
berpendar, sehingga sebagian besar metode HPLC pengukuran fumonisin
dilakukan setelah derivatisasi gugus amin dengan senyawa fluoresen. Reagen
o-phthaldialdehyde (OPA) merupakan senyawa fluoresen yang sering digunakan
untuk derivatisasi pada metode HPLC (De Curtisa et al. 2011; Fanelli et al. 2011).
Hal ini diperlukan untuk memurnikan sampel setelah ekstraksi pada sebagian
10
besar metode deteksi (Wang 2007). Saat ini metode HPLC merupakan instrumen
standar untuk determinasi mikotoksin dalam bidang regulasi dan penelitian, hal
ini karena kemampuan analisisnya yang memuaskan dalam mengimbangi
kebutuhan analisis berbagai matriks kompleks untuk berbagai analit yang
jumlahnya terus meningkat (Castelo et al. 1998; AOAC 2012).
Berbagai jenis detektor dapat digunakan pada metode HPLC seperti
detektor ultra violet (UV), fluoresen (FLD) dan diode array (DAD). Sensitivitas
masing-masing detektor sangat dipengaruhi oleh kemurnian ekstrak sampel yang
dianalisis. Detektor fluoresen merupakan detektor yang sering digunakan untuk
menganalisis fumonisin karena selektivitas dan sensitivitasnya yang tinggi
dibandingkan dengan detektor lainnya. Selain itu, sinyal FLD memberikan
background yang rendah. Sebelum analisis dengan HPLC dalam tahap persiapan
sampel, pemurnian fumonisin diperlukan agar hasil analisis lebih akurat.
Beberapa jenis kolom yang banyak digunakan untuk pemurnian fumonisin
diantaranya adalah kolom imunoafinitas (IAC) dan kolom solid phase extraction
(SPE). Pemurnian sampel dengan kolom IAC dan SPE dapat meningkatkan
sensitivitas hingga mencapai satuan ng/g (ppb) (Pascale 2009; De Curtisa et al.
2011; Fanelli et al. 2011). Beberapa metode analisis FB1 menggunakan HPLC
dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Metode analisis FB1 dengan HPLC pada berbagai jenis komoditas
pertanian
Preparasi
Konsentrasi FB1
Komoditas
Metode Analisis
Referensi
Sampel
(µg/g)
Jagung dan
IAC
HPLC FLD
1.70
Shephard
gandum
et al. 2005
Jagung
IAC
HPLC FLD
LOD = 0.05 µg/g
1.40–12.60
Fanelli
et al. 2011
Pangan
berbasis
jagung
IAC
HPLC FLD
R2 = 0.99
Recovery FB1 80.04%
0.10–0.80
Khotimah
et al. 2011
Pangan
berbasis
jagung
SPE
HPLC FLD
limit of quantification
(LOQ) 0.020 µg/g
R2 = 0.92
0.13–2.04
Cadas &
Silva 2007
Pangan dan
pakan
berbasis
jagung
SPE
HPLC FLD
fase gerak (A) air-TFA
(100:0.025 v/v) and
(B) asetonitril-TFA
(100:0.025v/v)
R2 = 0.9828
3.20–3.30
Wang et
al. 2007
Jagung
SPE
HPLC FLD
68.2
AOAC No.995.15
LOD = 0.10 µg/g
Keterangan: FLD (Fluoresense Detector); LOD (Limit of Detection)
De Curtisa
et al. 2011
11
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Pangan, Departemen
ITP-Fateta IPB, Laboratorium Mikrobiologi dan Kimia SEAFAST Center-IPB
dan Laboratorium Mikrobiologi SEAMEO-BIOTROP Bogor. Penelitian ini
dimulai sejak bulan Juni hingga Desember 2013.
Bahan dan Peralatan Penelitian
Kapang toksigenik penghasil fumonisin B1 yang digunakan yaitu
F. verticillioides BIO 957 yang diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi
SEAMEO-BIOTROP Bogor, kapang ini merupakan isolat lokal Indonesia dari
bahan sorgum. Mikroba antagonis yang digunakan yaitu S. cerevisiae ATCC 9376
yang diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi Keamanan Pangan–SEAFAST
Center IPB. Bahan pangan yang digunakan adalah jagung (varietas Bisi 1) dan
kedelai (varietas Willis) yang diperoleh dari daerah Kediri Jawa Timur. Media
czapex dox agar (CDA) (Oxoid, Inggris) dan potato dextrose broth (PDB)
(Oxoid) sebagai media pertumbuhan kapang dan kamir. Bahan untuk pengaturan
kelembaban relatif adalah garam teknis yaitu amonium klorida (NH4Cl), barium
klorida (BaCl2), natrium nitrat (NaNO3), amonium sulfat ((NH4)2SO4) dan kalium
nitrat (KNO3) diperoleh dari toko bahan kimia di Bogor dan garam kualitas p.a
(pro analysis) (Merck, Jerman) yaitu K2SO4 dan KNO3. Bahan untuk analisis
fumonisin adalah standar FB1 (Vicam, Amerika Serikat), kolom IAC FumoniTest
WB (Vicam), metanol (Merck), asetonitril (Merck), reagent o-phthalaldehyde
(OPA) (Vicam), phosphate buffered saline (PBS) (Vicam), gas nitrogen (high
purity), aquabidest dan LC mobile phase.
Alat-alat yang digunakan antara lain adalah HPLC Agilent 1100 Series
(Agilent Technologies, Amerika Serikat) yang dilengkapi dengan detektor
fluoresen, kolom Zorbax C18 4.6 mm x 150 mm dengan ukuran partikel 5 µm
(Agilent Technologies), inkubator dengan suhu 20, 30 dan 40 °C, oven, rotary
evaporator, mini desikator, blender, kertas saring Whatman (Vicam), mikro pipet,
jangka sorong dan timbagan digital. Selain itu juga digunakan berbagai jenis alatalat gelas (cawan petri, labu ukur, corong pemisah, dan lainnya).
Prosedur Penelitian
Penelitian yang dilakukan terdiri atas tiga tahap. Tahap pertama meliputi uji
pengaruh suhu dan kelembaban relatif terhadap pertumbuhan F. verticillioides
BIO 957 pada media laboratorium (CDA) dan media pangan (jagung dan kedelai).
Tahap kedua meliputi uji pengaruh suhu dan kelembaban relatif terhadap produksi
FB1 pada media pangan. Tahap ketiga meliputi uji kemampuan penghambatan
mikroba antagonis S. cerevisiae ATCC 9376 terhadap pertumbuhan
F. verticillioides BIO 957. Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.
12
Persiapan
1. Tahap Persiapan:
a. Persiapan mikroba
F. verticillioides BIO
957 dan S. cerevisiae
ATCC 9376
b. Persiapan larutan
garam untuk mengatur
kelembaban relatif
c. Persiapan media
pangan: iradiasi
jagung dan kedelai
dan kadar air
Pengaruh suhu dan kelembaban
relatif terhadap pertumbuhan
F. verticillioides BIO 957
2. Pengujian
pertumbuhan
miselium pada
medium CDA.
3. Pengujian
pertumbuhan
miselium pada
jagung dan kedelai.
Pengaruh suhu dan
kelembaban relatif terhadap
produksi FB1
4. Pengujian kadar FB1
dengan HPLC.
Pengendalian secara
biologis menggunakan
mikroba antagonis
5. Pengujian efisiensi
S. cerevisiae ATCC 9376
sebagai mikroba antagonis
terhadap pertumbuhan
F. verticillioides BIO 957
pada medium CDA.
6. Pengujian efisiensi
S. cerevisiae ATCC 9376
sebagai mikroba antagonis
terhadap pertumbuhan
F. verticillioides BIO 957
pada jagung dan kedelai.
Gambar 4 Diagram alir tahapan penelitian
13
1.
Tahapan Persiapan
a. Persiapan Spora Kapang F. verticillioides dan Sel Kamir S. cerevisiae
(Kusumaningtyas et al. 2006)
Metode perlakuan yang digunakan pada penelitian ini mengacu
pada metode Kusumaningtyas (2006) dengan modifikasi jenis media.
Kapang F. verticillioides BIO 957 dalam media PDA pada tabung reaksi
yang berumur 7 hari, sporanya diambil sebanyak 1 ose dan diinokulasi
pada media CDA miring dan diinkubasi pada suhu 30 °C selama 7 hari.
Kemudian disimpan dalam refrigerator untuk kultur stok. Sedangkan
S. cerevisiae ATCC 9376 ditumbuhkan dalam media cair PDB dan
diinkubasikan pada suhu 28 oC selama tiga hari. Konsentrasi kapang
F. verticillioides BIO 957 dan S. cerevisiae ATCC 9376 yang digunakan
pada penelitian adalah 106 CFU/mL.
b. Pengaturan Kelembaban Relatif (Greenspan 1976)
Garam yang telah ditimbang dengan berat tertentu dimasukan
kedalam erlenmeyer 250 mL dan dilarutkan dalam sejumlah air sampai
jenuh, lalu disterilisasi dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121 oC
selama 15 menit. Sementara itu desikator disterilkan terlebih dahulu
dengan alkohol 70%, setelah itu diisi larutan garam jenuh steril. Jenis dan
jumlah garam per 100 mL air untuk pembuatan larutan garam jenuh yang
digunakan untuk kondisi inkubasi pada suhu dan kelembaban tertentu
dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Garam jenuh pada kondisi suhu dan kelembaban relatif tertentu
Suhu Kelembaban
Jenis Garam*
Jumlah
Relatif (%)
Garam (g)
(°C)
20
70
Amonium klorida (NH4Cl) - T
120
80
Barium klorida (BaCl2) - T
140
90
Kalium sulfat (K2SO4) - PA
100
30
70
Amonium sulfat (NH4)2SO4 - T
93
80
110
Kalium nitrat (KNO3) - T
90
200
Kalium nitrat (KNO3) - PA
40
70
Natrium nitrat (NaNO3) - T
70
80
80
Kalium nitrat (KNO3) - T
90
Kalium sulfat (K2SO4) - PA
90
*PA: Pro Analysis; T: Teknis
c.
Persiapan Media Pangan (Aziz et al. 2005)
Masing-masing 20 g jagung dan kedelai yang sudah dikemas
plastik disterilisasi dengan cara iradiasi menggunakan sinar gamma yang
dihasilkan oleh Cobalt 60 pada dosis 25 kGy untuk menghilangkan
semua jenis mikroba. Iradiasi dilakukan oleh Badan Tenaga Nuklir
Nasional (BATAN), Jakarta. Setelah itu jagung dan kedelai diukur kadar
airnya dengan metode AOAC (2005).
14
2. Uji Pengaruh Suhu dan Kelembaban Relatif terhadap Pertumbuhan
F. verticillioides BIO 957 pada Media CDA (modifikasi Kokkonen et al.
2010)
Metode perlakuan yang digunakan pada percobaan ini mengacu pada
metode Kokkonen et al (2010) dengan modifikasi jenis media padat, suhu dan
kelembaban relatif yang diatur. Kapang F. verticillioides BIO 957 sebanyak
satu ose diinokulasi di tengah-tengah media cawan agar CDA, kemudian
cawan diinkubasi pada suhu 20, 30 dan 40 oC dengan kelembaban relatif 70, 80
dan 90%. Inkubasi dilakukan hingga miselium kapang memenuhi permukaan
agar pada cawan (8 hari). Pertumbuhan kapang diamati setiap 48 jam dengan
mengukur diameter koloni yang tumbuh pada media CDA menggunakan
jangka sorong. Perlakuan dilakukan sebanyak dua ulangan. Cara penempatan
sampel dalam desikator adalah dengan menggunakan penyangga sebagai
pemisah antara sampel dengan larutan garam jenuh.
3. Uji Pengaruh Suhu dan Kelembaban Relatif terhadap Pertumbuhan
F. verticillioides BIO 957 pada Jagung dan Kedelai (modifikasi Kokkonen
et al. 2010)
Metode perlakuan yang digunakan pada percobaan ini mengacu pada
metode Kokkonen et al (2010) dengan modifikasi jenis media pangan, jumlah
kapang yang diinokulasi, suhu dan kelembaban relatif yang diatur. Media
jagung dan kedelai masing-masing sebanyak 20.0±0.1 g dimasukkan kedalam
cawan petri dan diinokulasi dengan 4 mL suspensi kapang F. verticillioides
BIO 957 (106 CFU/mL), kemudian diinkubasi selama 14 hari. Analisis yang
dilakukan adalah pengukuran pertumbuhan kapang dengan penimbangan berat
massa sel. Perlakuan dilakukan sebanyak dua ulangan.
4. Uji Pengaruh Suhu dan Kelembaban Relatif terhadap Produksi FB1 oleh
F. verticillioides BIO 957 pada Jagung dan Kedelai (modifikasi Kokkonen
et al. 2010)
Media jagung dan kedelai dari percobaan pertumbuhan kapang
F. verticillioides BIO 957 digunakan untuk analisis keberadaan FB1 setelah
masa inkubasi selama 14 hari. Analisis FB1 dilakukan secara kuantitatif
dengan HPLC (modifikasi AOAC No.2001.04 2012). Modifikasi dilakukan
pada saat membuat larutan standar dengan konsentrasi yang diatur kembali.
Metode analisis fumonisin terdiri dari pembuatan kurva standar fumonisin,
preparasi sampel dan analisisnya menggunakan HPLC 1100 series yang
dilengkapi dengan detektor fluoresen.
Konsentrasi larutan standar stok FB1 adalah 10 µg/mL (ppm). Larutan
standar kerja FB1 dibuat konsentrasi 10.00, 5.00, 2.50, 1.00, 0.50 dan 0.25 ppm
dalam asetonitril:air (50:50 v/v). Larutan standar 50 µL dimasukkan ke dalam
tabung vial 1 mL, lalu larutan tersebut diderivatisasi dengan menambahkan
reagen o-Phthalaldehyde (OPA) sebanyak 50 µL. Larutan dihomogenkan
selama 30 detik, kemudian 40 µL diinjeksikan ke dalam HPLC tepat setelah
3 menit. Kondisi HPLC sebagai berikut ini:
Kolom
: C18 (150 x 4.6 mm id, 5 µm)
Fase gerak
: Metanol-0.1M Sodium dihidrogenfosfat (NaH2PO4)
(77 + 23 v/v) pH 3.4 dengan asam fosfat (H3PO4)
15
Laju alir
Suhu
Sampel loop
Detektor
: 1 mL/min
: 29–31 °C
: 20 µL
: Fluoresen dengan panjang gelombang eksitasi 335 nm dan
emisi 440 nm
Sejumlah 20.0±0.1 g sampel diblender dengan 50 mL metanolasetonitril-air (25:25:50 v/v/v). Setelah itu disaring dengan kertas fluted filter
(Whatman No.14), kemudian 10 mL filtrat dikumpulkan dalam erlenmeyer
250 mL yang bersih. Filtrat diencerkan dengan 40 mL larutan PBS dan
disaring dengan kertas microfiber filter (Whatman GF/A). Sejumlah 10 mL
(setara dengan 1 g sampel) filtrat dipipet dan dialirkan melalui kolom afinitas
FumoniTest™ dengan kecepatan sekitar 1–2 tetes/detik dan eluatnya dibuang.
Kolom afinitas FumoniTest WB dapat digunakan untuk analisis fumonisin B1,
B2 dan B3. Kolom dicuci dengan cara mengalirkan 10 mL larutan PBS melalui
kolom dengan kecepatan sekitar 1–2 tetes/detik. FB1 dalam kolom afinitas
dielusi dengan 1.5 mL metanol dengan kecepatan 1 tetes/detik. Eluat diuapkan
dengan nitrogen pada suhu ruang (29–31 °C) hingga kering. Ekstrak kering
dilarutkan kembali dalam 200 µL metanol:aquabidest (50:50 v/v). Aliquots
50 µL dari ekstrak dipindahkan kedalam tabung vial 1 mL, kemudian
ditambahkan reagent OPA sebanyak 50 µL dan dihomogenkan selama 30 detik.
Sebanyak 40 µL larutan diinjeksi ke dalam HPLC tepat setelah 3 menit.
Konsentrasi FB1 dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
Konsentrasi FB1 (µg/g) = Konsentrasi Kurva Standar (µg/mL) x 0.2 (mL) x 25
Berat sampel (g)
5. Pengendalian Pertumbuhan Fusarium verticillioides BIO 957 dengan
Menggunakan Mikroba Antagonis Saccharomyces cerevisiae ATCC 9376
pada Media CDA, Jagung dan Kedelai (modifikasi Kusumaningtyas 2006)
Modifikasi yang dilakukan dari Kusumaningtyas (2006) adalah dengan
mengganti kapang A. flavus F0213 dengan F. verticillioides BIO 957.
Pengujian ini menggunakan tiga jenis media yaitu media CDA, jagung dan
kedelai. Media jagung dan kedelai dibuat dengan cara masing-masing bubuk
jagung dan kedelai dicampur dengan media agar CDA dengan perbandingan
2:1 b/b, kemudian dilarutkan ke dalam 1 L air dan dipanaskan hingga mendidih.
Medium disterilkan dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121 °C selama
15 menit, kemudian sebanyak 12 mL medium dipindahkan ke dalam cawan
petri. Suspensi F. verticillioides BIO 957 digoreskan dengan cara streak-plate
masing-masing pada bagian tengah cawan petri yang berisi media CDA, media
agar jagung dan kedelai dengan lebar 1 cm. Suspensi S. cerevisiae ATCC 9376
digoreskan pada sisi kanan dan kiri F. verticillioides BIO 957 dengan lebar
1 cm dengan jarak 2 cm dari F. verticillioides BIO 957. Sebagai kontrol
F. verticillioides BIO 957 digoreskan di tengah cawan petri dengan lebar 1 cm
secara terpisah. Cawan petri diinkubasi pada kondisi ruang (suhu 29–31 °C
dan kelembaban 65–85%) selama 8 hari. Setiap perlakuan dilakukan sebanyak
dua ulangan. Lebar koloni F. verticillioides BIO 957 yang tumbuh diukur dan
dibandingkan dengan kontrol sehingga dapat diketahui persentase
16
penghambatan pertumbuhan F. verticillioides BIO 957 oleh S. cerevisiae
ATCC 9376. Pola pengujian antagonis S. cerevisiae ATCC 9376 terhadap
pertumbuhan F. verticillioides BIO 957 pada media CDA, media agar jagung
dan kedelai dapat dilihat pada Gambar 5.
S. cerevisiae
F. verticillioides
S. cerevisiae
S. cerevisiae
F. verticillioides
S. cerevisiae
Gambar 5 Pola pengujian penghambatan F. verticillioides