Pertumbuhan Aspergillus flavus BIO 2237 dan BCC F0213 pada Jagung dan Kedelai serta Pengendaliannya oleh Saccharomyces cerevisiae ATCC 9376
PERTUMBUHAN
Aspergillus flavus
BIO 2237 DAN BCC F0213
PADA JAGUNG DAN KEDELAI SERTA PENGENDALIANNYA
OLEH
Saccharomyces cerevisiae
ATCC 9376
CACA PRATIWI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
(2)
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa
tesis berjudul
Pertumbuhan
Aspergillus flavus
BIO 2237 dan BCC F0213 pada Jagung dan Kedelai serta
Pengendaliannya oleh
Saccharomyces cerevisiae
ATCC 9376
adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2014
Caca Pratiwi
(3)
RINGKASAN
CACA PRATIWI. Pertumbuhan
Aspergillus flavus
BIO 2237 dan BCC F0213 pada
Jagung dan Kedelai serta Pengendaliannya oleh
Saccharomyces cerevisiae
ATCC
9376. Dibimbing oleh WINIATI P. RAHAYU dan HANIFAH NURYANI LIOE.
Kapang
Aspergillus flavus
(
A. flavus
) penghasil aflatoksin seringkali
mengontaminasi jagung dan kedelai. Suhu dan kelembaban relatif (RH) merupakan
faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
A. flavus
. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengukur pertumbuhan
A. flavus
BIO 2237 dan BCC F0213 serta produksi
aflatoksin pada suhu dan RH yang berbeda. Selain itu dilakukan juga pengendalian
pertumbuhan kapang
A. flavus
BIO 2237 dan BCC F0213 oleh
Saccharomyces
cerevisiae
ATCC 9376.
Aspergillus flavus
BIO 2237 atau BCC F0213 ditumbuhkan
pada media
Czapek Dox Agar
(CDA), jagung, dan kedelai selama 10 hari pada suhu
20, 30, dan 40 ºC dengan RH 70, 80, dan 90%, sedangkan pengendalian pertumbuhan
A. flavus
BIO 2237 dan BCC F0213 dilakukan dengan cara menumbuhkan
S. cerevisiae
ATCC 9376 secara bersamaan dengan kapang
A. flavus
BIO 2237 atau
BCC F0213 pada media
Potato Dextrose Agar
(PDA), jagung, dan kedelai yang
kemudian diinkubasi pada suhu ruang (30 ºC) selama 10 hari. Pertumbuhan maksimal
A. flavus
BIO 2237 dan BCC F0213 pada media CDA dicapai pada suhu 30 ºC dengan
RH 90%. Sementara itu, pada jagung
Aspergillus flavus
BIO 2237 tumbuh maksimal
pada suhu 20 ºC dengan RH 90%, sedangkan pada kedelai tumbuh maksimal pada
suhu 30 ºC dengan RH 90%. Pertumbuhan maksimal
A. flavus
BCC F0213 pada
jagung dan kedelai dicapai pada suhu 20 ºC dengan RH 90%, sementara pada suhu
40 ºC dengan RH 70% kedua strain
A. flavus
ini tidak dapat tumbuh pada jagung
maupun pada kedelai.
Analisis aflatoksin dilakukan dengan menggunakan RP-HPLC yang dilengkapi
dengan detektor fluoresen dan
post column photochemical reactor
. Limit deteksi
(LoD) aflatoksin B1,
B2,
G1, dan G2 masing-masing adalah 0.45, 0.26, 0.05, dan
0.13 ng/mL, sementara limit kuantifikasi (LoQ) masing-masing adalah 1.52, 0.88,
0.18, dan 0.43 ng/mL. Kandungan aflatoksin tertinggi ditemukan pada jagung dan
kedelai yang disimpan pada suhu 30 ºC dengan RH 90%.
Pertumbuhan
A. flavus
BIO 2237 dan BCC F0213 dapat dikendalikan oleh
S. cerevisiae
ATCC 9376. Persentasi pengendalian pertumbuhan
A. flavus
BIO 2237
oleh
S. cerevisiae
ATCC 9376 pada media PDA, jagung, dan kedelai masing-masing
sebesar 46, 47, dan 45%, sementara itu untuk
A. flavus
BCC F0213 masing-masing
sebesar 52, 52, dan 38%. Penghambatan pertumbuhan kedua strain
A. flavus
pada
media kedelai lebih kecil dibandingkan penghambatan pada media jagung.
(4)
SUMMARY
CACA PRATIWI. The growth of
Aspergillus flavus
BIO 2237 and BCC F0213 at
Maize and Soybeans and its bio-controlling by
Saccharomyces cerevisiae
ATCC
9376. Supervised by WINIATI P. RAHAYU and HANIFAH NURYANI LIOE.
Aspergillus flavus
(
A. flavus
) producing aflatoxin in oftentimes is found
contaminating crops such as maize and soybeans. The growth of this mold on maize,
soybeans and other food is affected by temperature and relative humidity (RH). The
aim of this study was to measure the growth of
A. flavus
(BIO 2237 and BCC F0213)
and aflatoxin production at different temperatures and RH, included its bio-controlling
by
Saccharomyces cerevisiae
ATCC 9376.
Aspergillus flavus
BIO 2237 or BCC
F0213 was inoculated on Czapex Dox Agar (CDA), maize, and soybeans for 10 days
at temperature 20, 30, and 40 ºC with RH 70, 80, and 90%, respectively. To reduce the
growth of
A. flavus
BIO 2237 or BCC F0213, each strain was inoculated with
S. cerevisiae
ATCC 9376 in Potato Dextrose Agar (PDA), maize, and soybeans for 10
days. Aflatoxin analysis was conducted using RP-HPLC equipped with fluorescence
detector and post column photochemical reactor. These instrument had limit of
detection (LoD) 0.45, 0.26, 0.05, and 0.13 ng/mL, while their limit of quantification
(LoQ) was 1.52, 0.88, 0.18, and 0.43 ng/mL, for aflatoxin B
1,B
2,G
1,and
G
2respectively.
The maximum growth for
A. flavus
BIO 2237 and BCC F0213 on CDA were
reached at temperature 30 ºC with RH 90%, whereas in maize were reached at
temperature 20 ºC with RH 90%. On soybeans, the maximum growth of
A. flavus
BIO
2237 was reached at temperature 30 ºC with RH 90%, while
A. flavus
BCC F0213 at
temperature 20 ºC with RH 90%.
Aspergillus flavus
BIO 2237 and BCC F0213 could
not growth as well as produce aflatoxin at temperature 40 ºC with RH 70% in maize
and soybeans. The maximum level of aflatoxin on maize and soybeans was produces
at temperature 30 ºC with RH 90% (614 ng/g for maize and 999 ng/g for soybeans).
The growth of
Aspergillus flavus
BIO 2237 and BCC F0213 were inhibited by
S. cerevisiae
ATCC 9376. The inhibition percentage for the growth of
A. flavus
BIO
2237 on PDA, maize, and soybeans medium was 46, 47, and 45%, and for BCC F0213
was 52, 52, and 38%. The minimum inhibition of
A. flavus
BIO 2237 and BCC F0213
was found in soybeans medium.
(5)
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
(6)
PERTUMBUHAN
Aspergillus flavus
BIO 2237 DAN BCC F0213
PADA JAGUNG DAN KEDELAI SERTA PENGENDALIANNYA
OLEH
Saccharomyces cerevisiae
ATCC 9376
CACA PRATIWI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
(7)
(8)
Judul Tesis : Pertumbuhan
Aspergillus flavus
BIO 2237 dan BCC F0213 pada Jagung
dan Kedelai serta Pengendaliannya oleh
Saccharomyces cerevisiae
ATCC 9376
Nama
: Caca Pratiwi
NIM
: F251110211
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof Dr Winiati P. Rahayu
Ketua
Dr Ir Hanifah Nuryani Lioe, MSi
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Pangan
Prof Dr Ir Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
(9)
PRAKATA
Alhamdulillah, Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah
subhanahu wa
t
a’ala
atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini (tesis) dapat diselesaikan.
Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2013 ini ialah
pertumbuhan
Aspergillus flavus
BIO 2237 dan BCC F0213 pada jagung dan kedelai
serta pengendaliannya oleh
Saccharomyces cerevisiae
ATCC 9376. Terima kasih dan
penghargaan yang tinggi penulis ucapkan kepada:
1.
Ibu Prof Dr Winiati P. Rahayu dan Ibu Dr Ir Hanifah Nuryani Lioe, MSi selaku tim
komisi pembimbing atas waktu, ilmu, saran, kesabaran dan kemudahan yang
diberikan selama bimbingan mulai dari tahap awal rencana penelitian sampai akhir
penyelesaian tesis ini.
2.
Ibu Dian Herawati, MSi dari Departemen ITP-IPB, dan Ibu Santi Ambarwati, MSi
dari SEAMEO BIOTROP, serta Bapak Wisnu Broto, MS dari Balai Besar Penelitian
dan Pengembangan Pasca Panen, yang telah banyak memberi saran dan bantuan
selama pengumpulan data.
3.
Bapak Prof Dr Ir Rizal Syarief, DESS selaku penguji luar komisi atas ilmu dan
masukan-masukan yang telah diberikan untuk kesempurnaan tesis ini.
4.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, melalui Program Kerjasama
Kemitraan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Nasional (KKP3N) atas bantuan
dana selama penelitian.
5.
Pemerintah RI, malalui Dirjen Dikti, Departemen Pendidikan Nasional atas bantuan
beasiswa dalam Program Beasiswa Unggulan
on Going
2012.
6.
Kedua orang tuaku tercinta, Bapak Usman Hasyim, S.Pd dan Ibu Rosmini, S.Pd
serta saudara-saudaraku semua atas segala doa, dukungan, nasehat, semangat, dan
pengertian serta kasih sayang yang telah diberikan.
7.
Sinta Simatupang dan Dwi Rahayu, atas kerjasama, kebersamaan dan dukungannya.
8.
Rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana terutama Mayor Ilmu Pangan angkatan 2011
atas kebersamaan dan kerjasama, serta bantuannya dalam perkuliahan, penelitian
dan penyelesaian karya ilmiah ini.
9.
Segenap staf di lingkungan Program Studi Ilmu Pangan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2014
(10)
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
v
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vii
1
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
2
Hipotesis Penelitian
2
Manfaat Penelitian
3
2
TINJAUAN PUSTAKA
4
Kapang
Aspergillus flavus
4
Aflatoksin
4
Jagung
8
Kedelai
9
Metode analisis aflatoksin dengan RP-HPLC
10
Pengendalian pertumbuhan
A. flavus
oleh
S. cerevisiae
11
3
BAHAN DAN METODE
12
Waktu dan Tempat Penelitian
12
Bahan
12
Alat
12
Prosedur Analisis Data
12
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
18
Pengaturan RH 70, 80, dan 90 % pada suhu 20, 30, dan 40 ºC dengan
menggunakan beberapa jenis garam
18
Pengaruh suhu dan kelembaban relatif terhadap pertumbuhan
A. flavus
BIO 2237 dan BCC F0213 pada media
Czapex Dox Agar
(CDA)
20
Pengaruh suhu dan kelembaban relatif terhadap pertumbuhan
A. flavus
BIO 2237 dan BCC F0213 pada jagung dan kedelai
23
Pengaruh suhu dan kelembaban relatif terhadap pembentukan aflatoksin
B
1, B
2, G
1, dan G
2pada jagung serta kedelai
25
Pengendalian pertumbuhan
A. flavus
BIO 2237 dan BCC F0213 oleh
S. cerevisiae
ATCC 9376 pada media PDA, jagung, dan kedelai
28
5
SIMPULAN DAN SARAN
33
Simpulan
33
Saran
33
DAFTAR PUSTAKA
34
(11)
DAFTAR TABEL
1
LD50 aflatoksin terhadap hewan percobaan (itik)
5
2
Kandungan aflatoksin pada bahan pangan di beberapa negara
6
3
Regulasi ambang batas total aflatoksin dan aflatoksin B1 berdasarkan
EC No 165/2010 pada komoditi pangan
7
4
Regulasi ambang batas total aflatoksin dan aflatoksin B
1pada bahan
pangan di beberapa negara Asia
7
5
Cemaran
A. flavus
dan kapang pada jagung di beberapa daerah di
Indonesia
8
6
Kadar aflatoksin pada jagung di tingkat petani di tiga wilayah di Indonesia
9
7
Kondisi HPLC yang digunakan untuk analisis aflatoksin B1, B2, G1,
dan G2, pada jagung dan kedelai.
15
8
Jenis dan jumlah garam dalam 100 mL air yang digunakan untuk
mengatur kelembaban relatif (RH)
18
9
Pertumbuhan
A. flavus
BIO 2237 dan BCC F0213 pada CDA pada
suhu 20, 30, dan 40 ºC dengan RH 70, 80, dan 90% selama 7 hari
masa inkubasi
22
10
Pembentukan massa sel
A. flavus
BIO 2237 dan BCC
F0213 pada jagung
dan kedelai pada suhu 20, 30,
dan 40 ºC dengan RH 70, 80, dan 90%
selama 10 hari masa inkubasi
23
11
Kandungan aflatoksin pada jagung dan kedelai yang diinokulasi
A. flavus
BIO 2237 sebanyak 100 µL dengan konsentrasi 10
6CFU/mL
dan diinkubasi pada suhu 20, 30, dan 40
oC dengan RH 70, 80, dan 90%
selama 10 hari
26
12
Daya hambat
S. cerevisiae
ATCC 9376 terhadap pertumbuhan
A. flavus
BIO 2237 dan BCC F0213
29
13
Kandungan gizi dalam tiap 100 g jagung dan kedelai
31
DAFTAR GAMBAR
1
Struktur kimia aflatoksin
5
2
Diagram alir penelitian
13
3
Inkubasi
A. flavus
BIO 2237 dan BCC F0213 di media CDA, jagung,
dan kedelai pada berbagai suhu dan RH yang diatur melalui larutan
garam jenuh dan suhu inkubator
15
4
Diagram alir persiapan analisis aflatoksin B1, B2, G1, dan G2 pada
jagung dan kedelai
17
5
Pertumbuhan
A. flavus
BIO 2237 (A) dan BCC F0213 (B) pada
media CDA selama 10 hari inkubasi pada suhu 30
oC dan RH 90%
20
6
Pertumbuhan
A. flavus
BIO 2237 (A) dan BCC F0213 (B) pada
media CDA pada suhu 20
oC dengan RH 70, 80, dan 90%.
Kontrol adalah suhu dan RH ruang (30 ºC dan 75%)
21
7
Pertumbuhan
A. flavus
BIO 2237 (A) dan BCC F0213 (B)
pada media CDA pada suhu 30
oC dengan RH 70, 80, 90%.
(12)
8
Pertumbuhan
A. flavus
BIO 2237 (A) dan BCC F0213 (B)
pada media CDA pada suhu 40
oC dengan RH 70, 80, 90%.
Kontrol adalah suhu dan RH ruang (30 ºC dan 75%)
21
9
Penghambatan pertumbuhan
A. flavus
BIO 2237 (A) dan BCC
F0231(B) oleh
S. cerevisiae
ATCC 9376. Kontrol adalah
pertumbuhan
A. flavus
BIO 2237 atau BCC F0213 tanpa
(13)
1 PENDAHULUAN Latar Belakang
Indonesia termasuk salah satu negara dengan tingkat kontaminasi aflatoksin yang cukup tinggi pada produk pertaniannya. Menurut Tandiabang (2010), kontaminasi aflatoksin pada jagung di Indonesia berkisar antara 4-665 ng/g (ppb), dan aflatoksin B1 pada kedelai mencapai 107 ng/g (Utami et al. 2012). Angka cemaran aflatoksin ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan batas yang diizinkan oleh WHO (2006) yaitu 4-15 ng/g untuk total aflatoksin dan 2-8 ng/g untuk aflatoksin B1, sedangkan ketetapan BSN dalam SNI (2009) yaitu 20 ng/g untuk total aflatoksin dan 15 ng/g untuk aflatoksin B1.
Aflatoksin merupakan suatu metabolit sekunder yang dihasilkan oleh kapang
A. flavus. Indonesia dengan iklim tropis yang memiliki curah hujan, suhu, dan tingkat
kelembaban relatif yang tinggi merupakan kondisi yang ideal bagi pertumbuhan
A. flavus penghasil aflatoksin, oleh karena itu kontaminasi aflatoksin di Indonesia sulit
untuk dihindari (Wu et al. 2011; Mangan dan Olsen 2004). Jagung dan kedelai merupakan komoditi pangan yang seringkali ditumbuhi oleh A. flavus, pertumbuhannya dapat terjadi mulai dari penanaman hingga penyimpanan (Saini dan Kaur 2012). Jagung dan kedelai yang tercemari A. flavus umumnya akan mengandung aflatoksin yang terbentuk selama kapang tersebut tumbuh dan berkembang (Maragos 2008). Jagung dan kedelai merupakan hasil pertanian yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia sebagai bahan pangan maupun sebagai pakan ternak. Cemaran A. flavus dan aflatoksin pada kedua komoditi tersebut menimbulkan kekhawatiran tersendiri karena tingkat bahaya dan konsumsi yang cukup tinggi di Indonesia.
Perubahan kondisi lingkungan yang terjadi saat ini dan tidak dapat diprediksi, memungkinkan terjadinya perubahan pola pertumbuhan A. flavus karena menurut Cotty dan Garcia (2007), fluktuasi iklim dapat mempengaruhi prediposisi inang untuk mengontaminasi bahan pangan dengan cara tumbuh dan berkembang. Laporan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (2013) menyebutkan bahwa kisaran suhu di Indonesia saat ini adalah 22-37 ºC dengan kelembaban relatif (RH) berkisar antara 43-98%. Kondisi suhu dan RH di Indonesia mendukung pertumbuhan kapang A. flavus
penghasil aflatoksin. Peningkatan suhu bumi yang diprediksi akan terjadi di masa mendatang akibat adanya perubahan iklim diduga dapat mengakibatkan resistensi
A. flavus penghasil aflatoksin pada bahan pangan selama penyimpanan, oleh karena itu
pada penelitian ini dikaji pengaruh dari berbagai suhu dan RH terhadap pertumbuhan
A. flavus penghasil aflatoksin pada jagung dan kedelai selama penyimpanan.
Keberadaan A. flavus dan aflatoksin pada bahan pangan berisiko terhadap penurunan kualitas dan keamanan pangan. Kandungan aflatoksin yang tinggi menyebabkan beberapa produk pertanian ditolak ketika dipasarkan ke beberapa negara tertentu (Penna et al. 2004). Di bidang kesehatan, aflatoksin dikenal sebagai metabolit sekunder yang berbahaya karena bersifat karsinogenik, teratogenik, genotoksik, immunotoksik, dan mutagenik pada manusia dan hewan (Wild dan Gong 2010). Aflatoksin terdiri dari beberapa jenis, dan yang paling berisiko terhadap gangguan kesehatan manusia dan hewan adalah aflatoksin B1 (Cary et al. 2000) dan ini sesuai dengan pernyataan IARC (2002) yaitu aflatoksin B1 sebagai karsinogen golongan I yang tingkat toksisitasnya paling berbahaya bagi kesehatan manusia. Kasus aflatoksin telah ada sejak lama, namun baru mendapat perhatian khusus sekitar tahun 1960-an karena
(14)
banyaknya ternak yang mati akibat aflatoksin. Kejadian luar biasa (outbreak) karena aflatoksin pernah terjadi di Kenya, India, dan Thailand (CAST 2003), selanjutnya CDC (2004) pernah mencatat 317 kasus gangguan kesehatan karena aflatoksin dan 125 kasus diantaranya berujung pada kematian.
Berdasarkan kerugian yang timbul cukup besar bila pangan terkontaminasi kapang toksigenik A. flavus, maka setiap negara berusaha mengembangkan cara dan metode untuk mengendalikan perkembangan A. flavus penghasil aflatoksin. Penggunaan mikroba antagonis dapat menghambat pertumbuhan A. flavus dan sekaligus mengurangi kandungan aflatoksin (Talanca dan Mas’ud 2009). Pengendalian pertumbuhan kapang
A. flavus secara biologis dapat menggunakan Saccharomyces cerevisiae dan dapat
diaplikasikan secara aman dibandingkan dengan metode kimia (Persons et al. 2013).
Perumusan Masalah
Aflatoksin pada komoditi pangan terutama jagung dan kedelai dapat terbentuk mulai saat penanaman hingga penyimpanan. Aflatoksin merupakan senyawa organik beracun yang berasal dari metabolit sekunder kapang A. flavus yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan dan penurunan mutu jagung dan kedelai. Pertumbuhan A. flavus
pada jagung dan kedelai dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah faktor lingkungan seperti suhu dan kelembaban relatif (RH). Suhu dan RH yang tidak bisa diperhitungkan saat ini diperkirakan berpeluang terhadap terjadinya peningkatan cemaran A. flavus dan aflatoksin sehingga dikhawatirkan risiko cemaran pada jagung dan kedelai juga dapat meningkat selama masa penyimpanan. Dampak dari fluktuasi suhu dan RH saat ini terhadap pertumbuhan A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 belum diketahui, oleh karena itu perlu adanya penelitian mengenai :
1. Pertumbuhan A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 dan pembentukan aflatoksin pada jagung dan kedelai akibat dari perubahan suhu dan RH.
2. Pengendalian pertumbuhan A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 secara biologis menggunakan kamir S. cerevisiae ATCC 9376 yang dianggap lebih aman dari perlakuan kimia.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini untuk :
1. Menyediakan data pola pertumbuhan A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 dan produksi aflatoksin akibat perubahan kondisi lingkungan yaitu suhu dan RH.
2. Menyediakan informasi penggunaan kamir S. cerevisiae ATCC 9376 sebagai pengendali pertumbuhan A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213.
Penelitian ini merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan perlindungan masyarakat dan jaminan keamanan pangan dari kontaminasi kapang toksigenik, khususnya A. flavus penghasil aflatoksin.
Hipotesis Penelitian
1. Suhu dan RH lingkungan mempengaruhi pertumbuhan kapang A. flavus. Suhu rendah (20-30 ºC) dengan RH tinggi (80-90%) merupakan kondisi yang baik bagi pertumbuhan A. flavus.
(15)
2. Suhu dan RH lingkungan mempengaruhi produksi aflatoksin. Produksi aflatoksin maksimal akan terbentuk pada kondisi lembab yaitu suhu rendah (20-30 ºC) dengan RH tinggi (80-90%), sedangkan produksi aflatoksin minimal terjadi pada kondisi kering (suhu tinggi dengan RH rendah).
3. Kamir S. cerevisiae sebagai mikroba antagonis dapat menghambat pertumbuhan
A. flavus hingga 35% pada media sintetik maupun pada jagung dan kedelai.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah rekomendasi kondisi suhu dan RH yang tepat khususnya pada penyimpanan jagung dan kedelai untuk menghindari pertumbuhan
A. flavus dan pembentukan aflatoksin. Melalui kegiatan ini diharapkan dihasilkan
rekomendasi mengenai kemungkinan penggunaan S. cerevisiae sebagai pengendali pertumbuhan A. flavus di jagung dan kedelai.
(16)
2 TINJAUAN PUSTAKA Kapang Aspergillus flavus
Kapang dapat tumbuh dengan sangat baik hampir pada semua bahan organik sehingga dapat ditemukan dimana saja. Kapang secara struktural akan menghasilkan bermacam-macam metabolit yang dapat mengontaminasi bahan pangan di seluruh dunia. Diperkirakan bahwa hampir 300 jenis kapang dapat menghasilkan metabolit yang bersifat toksik bagi manusia dan juga hewan (Butkeraitis 2011).
Kapang Aspergillus flavus dikenal sebagai kapang toksigenik karena menghasilkan senyawa toksin yaitu aflatoksin yang berbahaya bagi kesehatan manusia dan hewan, selain itu kapang ini juga dapat bersifat patogen (Duran et al. 2009). Reproduksi spora A. flavus terjadi secara aseksual, spora tersebut akan terbawa oleh angin dan menempel pada tanaman pangan sehingga nantinya spora A. flavus tersebut akan tumbuh dan berkembang hingga memproduksi aflatoksin. Kapang ini dikenal sebagai kapang kuning kehijauan, memiliki hifa berseptum, miselium bercabang, koloni kompak, konidiofor kasar dan relatif panjang, konidiofor muncul dari sel kaki, yaitu sel miselium yang membengkak dan berdinding tebal. Kapang A. flavus ketika tumbuh pada kondisi yang cocok maka akan membentuk sklerotia yaitu butiran-butiran yang memiliki struktur yang resisten (Duran et al. 2009). Menurut Garben dan Cotty (1997), pada komoditi pangan sklerotia dapat terlihat secara visual pada penyimpanan kurang dari satu bulan.
Pertumbuhan A. flavus sangat dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban relatif (Gadgile dan Chavan 2010). Suhu yang dibutuhkan untuk tumbuh berkisar antara 12-48 ºC dan aw berkisar antara 0.70-0.99 (Kulshrestha et al. 2008), sedangkan kelembaban relatif yang diperlukan berkisar antara 70-90% (Das et al. 2012). Namun jika terjadi perubahan suhu yang fluktuatif maka kapang ini dilaporkan mampu untuk beradaptasi dan resisten pada kondisi tersebut dan dengan mudah menyerang tanaman pangan selama penanaman (Iqbal et al. 2011).
Aflatoksin
Aflatoksin merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh kapang
A. flavus. Aflatoksin memiliki karakteristik sebagai senyawa bifuran, non polar, stabil
terhadap panas, tahan perlakuan fisik maupun kimia, dan tidak dapat hancur pada suhu pemasakan biasa (IARC 2002). Dengan sifat-sifat ini aflatoksin yang sudah mencemari bahan makanan sulit untuk dihilangkan. Ada sekitar 18 jenis aflatoksin (Oatley et al.
2000), namun yang paling dikenal yaitu aflatoksin B1, B2, G1, dan G2 (Gambar 1) yang dibedakan berdasarkan fluoresensi ketika berada di bawah sinar ultraviolet (Mangan dan Olsen 2004). Diantara aflatoksin lainnya, aflatoksin B1 dikategorikan paling berbahaya karena toksisitasnya yang paling tinggi (Pietri dan Piva 2007), selanjutnya diikuti oleh G1, B2, dan G2 (Sudhakar et al. 2009). Di dunia kesehatan, aflatoksin B1 banyak mendapatkan perhatian dibandingkan mikotoksin lainnya karena efek yang ditimbulkan sangat berbahaya yaitu kanker, immunosuppresif, neurotoksik, estrogenik atau terjadinya teratogenik pada manusia dan hewan (Creppy 2002). Menurut Groopman
et al. (2008), infeksi penyakit hepatitis B dan C umumnya disebabkan karena terpapar
(17)
Paparan aflatoksin terhadap manusia maupun hewan pada dasarnya terjadi melalui makanan. Komoditi pangan yang sering terkontaminasi aflatoksin adalah jagung, kedelai, kacang tanah, beras dan sebagainya (Maragos 2008). Paparan aflatoksin sulit dihindari karena pertumbuhan A. flavus di dalam makanan sulit untuk dicegah. Paparan aflatoksin dapat bersifat akut maupun kronis, keracunan secara akut terjadi karena terpaparnya aflatoksin dengan konsentrasi tinggi ke dalam tubuh. Keracunan aflatoksin secara akut relatif jarang terjadi, selama ini kasus keracunan aflatoksin secara kronis lebih sering dijumpai. Keracunan secara kronis aflatoksin dalam makanan merupakan faktor risiko utama terjadinya gangguan imunitas, malnutrisi dan karsinoma hepatoseluler, dan sebagainya (Yenny 2006).
Gambar 1 Struktur kimia aflatoksin
Toksisitas setiap jenis aflatoksin berbeda, aflatoksin B1 memiliki daya racun yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis aflatoksin lainnya (Agag 2004). Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1 yang menunjukkan LD50 untuk aflatoksin pada anak itik setelah satu minggu pemberian cairan ekstraksi yang mengandung aflatoksin.
Tabel 1 LD50 aflatoksin terhadap hewan percobaan (anak itik)1
Aflatoksin LD50 (mg/kg)
B1 0.4
B2 1.7
G1 0.8
G2 2.5
1
Sumber : Agag (2004)
Aflatoksin diaktifkan oleh enzim-enzim mikrosomal hati yang akan membentuk suatu metabolisme (pembentukan derivat 2-3 epoksida) yang bersifat mutagenik dan
(18)
mempunyai aktivitas karsinogenik. Kemampuan aflatoksin untuk menginduksi kanker hati diduga kerena aflatoksin dapat terikat oleh makromolekul dari jaringan hati seperti protein. Peptida-peptida dan protein-protein mengganggu banyak segi metabolisme hati yang mengantarkan pada nekrosis sel dan dapat dikatakan sebagai toksin akut (Farombi 2006).
Laporan kematian akibat keracunan aflatoksin seringkali berasal dari negara-negara berkembang yang berada dalam zona atau daerah berisiko seperti Afrika (Yenny 2006). Masyarakat Afrika seperti Afrika Barat sebagian besar mengonsumsi jagung dan kacang tanah yang terkontaminasi aflatoksin, tingginya paparan menyebabkan terjadinya gangguan pertumbuhan pada anak-anak dan gangguan janin pada ibu hamil di negara tersebut (Gong et al. 2003). Cemaran aflatoksin yang tinggi pada komoditi pangan tidak hanya dirasakan oleh sebagian besar negara-negara di Afrika, permasalahan yang sama juga dirasakan di negara-negara lainnya seperti yang terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Kandungan aflatoksin pada bahan pangan di beberapa Negara Negara Komoditas Jumlah aflatoksin
(ng/g)
Referensi
Arab Saudi Kedelai 1.0- 14.8 Al-Seeni 2012 Bolivia
Filipina
Cabe merah bubuk Kacang tanah Keripik pisang Produk jagung 0.6-11.3 <5.0-1600.0 <5 <5.0 -495.7
Asai et al. 2012 Anukul et al. 2013
Indonesia Iran Jagung pipil Kedelai Barley Sorgum Tepung terigu Kedelai 19.6 107.1 6.0 5.6 6.4 6.4
Kusumaningrum et al. 2010 Utami et al. 2012
Lee et al. 2006
Kanada Produk coklat 53.0-126.0 Turcotte et al. 2013 Kenya Korea selatan Kacang tanah Jagung Selai kacang 0.0-7525.0 < 100 7.0-7.7
Mutegi et al. 2009 Lewis et al. 2005 Chun et al. 2007 Malaysia Kacang tanah
Cabai
2.8 -97.3 0.2 - 79.7
Arzandeh et al. 2010 Jalili dan Jinap 2011 Nigeria Sorgum 0.0-1164.0 Hussaini et al. 2009 Pakistan
Peru
Jagung pipil Cabe bubuk merah
45.0-62.0 0.7 -0.9
Ahsan et al. 2010 Asai et al. 2012
Terjadinya suatu perubahan seperti iklim dapat berpengaruh terhadap cemaran aflatoksin pada berbagai komoditas pangan. Aflatoksin B dan G merupakan toksin yang paling sering ditemukan pada jagung dan kacang tanah di berbagai negara. Regulasi aflatoksin pada bahan pangan di setiap negara ditentukan berdasarkan data tingkat konsumsi dan konsentrasi nutrisi maupun tingkat bahaya yang ditimbulkan. Secara umum, regulasi aflatoksin sudah ditetapkan oleh WHO (2006) yaitu 15 ng/g untuk total aflatoksin dan 8 ng/g untuk aflatoksin B1. Secara khusus, European Commision (EC) No 165/2010 juga telah menetapkan batas maksimum kandungan total aflatoksin dan
(19)
aflatoksin B1 pada berbagai bahan pangan seperti yang terlihat pada Tabel 3. Meskipun demikian masing-masing negara memiliki kewenangan untuk menetapkan batas maksimum aflatoksin pada setiap komoditi pangannyaseperti yang terlihat pada Tabel 4. Jagung dan kacang tanah merupakan komoditas pangan yang paling sering terkontaminasi aflatoksin. Menurut Anukul et al. (2013), 51.4% kacang tanah di Thailand terkontaminasi aflatoksin, sedangkan pada jagung sebesar 54.4%. Berdasarkan data tersebut, pemerintah Thailand terus mendorong berbagai kalangan untuk melakukan berbagai usaha dalam mencegah kontaminasi aflatoksin pada komoditi pangannya.
Tabel 3 Regulasi ambang batas total aflatoksin dan aflatoksin B1 berdasarkan EC No 165/2010 pada komoditi pangan
No Komoditi pangan Jenis aflatoksin Batas maksimum (ng/g) 1 Kacang tanah dan hazelnut
yang tidak langsung dikonsumsi.
B1,B2, G1, G2 B1
15 8
2 Kacang almond, kenari, aprikot yang tidak langsung dikonsumsi.
B1,B2, G1, G2 B1
15 12
3 Kacang tanah yang langsung dikonsumsi.
B1,B2, G1, G2 B1
4 2 4 Kacang almond, kenari,
dan aprikot yang langsung dikonsumsi.
B1,B2, G1, G2 B1
10 8
5 Kacang hazelnut yang langsung dikonsumsi.
B1,B2, G1, G2 B1
10 5 6 Sereal dan produk
olahannya, serta buah kering dan produk olahannya yang langsung dikonsumsi.
B1,B2, G1, G2 B1
2 4
7 Jagung dan beras yang tidak langsung dikonsumsi.
B1,B2, G1, G2 B1
5 10 8 Rempah-rempah (cabai,
lada hitam dan putih, paprika, jahe, kunyit)
B1,B2, G1, G2 B1
10 5
Tabel 4 Regulasi ambang batas total aflatoksin dan aflatoksin B1 pada bahan pangan di beberapa Negara Asia.
Negara Jenis aflatoksin Batas maksimum (ng/g) Komoditi pangan Hongkong B1,B2, G1, G2 20
15
Kacang tanah
Bahan pangan lainnya
India B1 30 Semua jenis bahan pangan
Indonesia B1,B2, G1, G2 B1
20 15
Semua jenis bahan pangan Kacang tanah
Jagung Jepang B1,B2, G1, G2 10
10
Semua jenis bahan pangan Beras
(20)
Jagung
Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki suhu dan kelembaban relatif yang tinggi. Kondisi tersebut sesuai bagi pertumbuhan A. flavus dan pembentukan aflatoksin sehingga kontaminasi toksin tersebut sulit dihindari pada komoditi pangan seperti jagung (Chauhan et al. 2013). Jagung merupakan jenis tanaman serealia yang mempunyai peranan strategis dalam pembangunan pertanian dan perekonomian masyarakat (Miskiyah dan Widaningrum 2008). Jagung banyak digunakan sebagai pangan maupun pakan. Konsumsi jagung nasional saat ini sebagai bahan pangan tercatat sebesar 1.512 kg/tahun (BPS 2013).
Kapang A. flavus tumbuh sangat baik pada jagung dengan kisaran suhu 19-35 ºC dan menghasilkan aflatoksin maksimal pada suhu 28 ºC (Ruiqian et al. 2012). Pakistan mencatat kontaminasi aflatoksin yang cukup tinggi pada komoditi jagung negaranya, di kota besar kontaminasi tercatat sebesar 10%, di perkotaan sebesar 87%, dan di pedesaan sebesar 90% (Ahsan et al. 2010). Sementara itu, jagung di beberapa wilayah di Indonesia tidak luput dari kontaminasi A. flavus, seperti di daerah Bogor, Boyolali, dan Bojonegoro, sekitar 60% jagung pipil telah tercemar A. flavus. Pada Tabel 5 terlihat bahwa cemaran A. flavus relatif meningkat di tingkat pengumpul yang kemungkinan disebabkan karena kondisi penyimpanan yang tidak sesuai. Suhu dan kelembaban relatif selama penyimpanan yang kurang memadai ditingkat pengumpul rawan terhadap munculnya kapang A. flavus (Kusumaningrum et al. 2010).
Tabel 5 Cemaran A. flavus dan kapang pada jagung di beberapa daerah di Indonesia1 Lokasi Tingkat distribusi Rata-rata A. flavus
(Log CFU/g) Rata-rata kapang (log CFU/g) Bogor (Jagung manis) Petani Pengumpul Pasar induk Pengecer < 1.0 < 1.0 1.9±2.6 < 1.0 5.9±0.0 6.2±0.0 6.2±0.0 6.0±0.0 Boyolali (jagung pipil) Bojonegoro (jagung pipil) Petani Pengumpul Pasar induk Pengecer Pemipil Petani Pemipil Pengering Pengumpul Pasar induk 1.0±0.0 2.7±1.2 2.6±0.5 1.7±1.4 2.6±0.0 0.9±1.1 1.8±1.3 1.3±1.2 2.2±1.1 1.9±1.4 4.5±0.0 4.7±0.1 4.4±0.6 4.1±1.6 3.9±0.0 1.7±0.7 3.5±1.4 3.0±1.4 3.7±1.0 3.6±0.4 1
Sumber: Kusumaningrum et al. (2010).
Menurut Anonim (1993), kontaminasi aflatoksin pada jagung Indonesia menduduki peringkat tertinggi dibandingkan negara Asia yang lain seperti Thailand dan Filipina. Tandiabang (2010) mengukur kandungan aflatoksin pada jagung di tiga daerah di Indonesia seperti yang terlihat pada Tabel 6.
(21)
Tabel 6 Kadar aflatoksin pada jagung di tingkat petani di tiga wilayah di Indonesia1 Kabupaten Jumlah
sampel
Kadar air jagung pipil (%)
Kadar aflatoksin (ng/g) Bulukumba, Sul-Sel
• Saat pengupasan tongkol
• Biji disimpan dalam karung pupuk
10
4
20.5-24.3
21.3-24.5
7.1 - 25.6
48.6-175.8 Gorontalo
• Saat penjemuran (petani)
• Penyimpanan (pedagang pengumpul)
• Pedagang ekspor
14 2 5 16.0-19.0 19.0-21.0 19.0-22.0
11.7 - 54.2
35.5 - 78.5 79.2- 665.0 Tanah laut, Kalsel
• Pada saat panen (petani)
• Setelah dipipil(pedagang pengumpul)
23 3
30.0-32.0 28.0-30.0
4.0 - 4.5 22.3 - 27.6
1 Sumber : Tandiabang (2010).
Penanganan jagung pipil setelah panen di setiap daerah tentu berbeda-beda. Di Gorontalo, jagung setelah dipanen langsung dipipil dengan mesin, dan kemudian dijemur selama ±2 hari, setelah itu dijual ke pedagang atau pengumpul. Di pedagang atau pengumpul, jagung pipil akan disimpan lagi selama 1-2 hari kemudian didistribusikan ke pedagang ekspor. Ketika berada di pedagang ekspor, jagung pipil ditumpuk di gudang, sehingga kemungkinan terjadinya peningkatan kadar air yang menyebabkan aflatoksin tinggi. Sementara itu petani di Kalimantan Selatan melakukan penanganan yang berbeda, yaitu jagung yang telah dipipil langsung dikeringkan menggunakan oven pengering, sehingga kadar air menurun dan aflatoksin yang terbentuk relatif sedikit (Tandiabang 2010). Di Indonesia jagung yang baru dipanen biasanya mempunyai kadar air tinggi (30%) yang apabila tidak segera dikeringkan, maka berbagai kapang termasuk A. flavus dapat tumbuh dan berkembang (Talanca dan Mas’ud 2009).
Cemaran A. flavus maupun aflatoksin pada jagung dapat terjadi mulai dari penanaman hingga penyimpanan (Vincelli et al. 2013). Selama masa penanaman, siklus kehidupan A. flavus pada jagung dimulai dari spora yang akan membentuk miselium atau membentuk struktur yang resisten seperti sklerotia. Sklerotia kemudian bergerminasi dan menghasilkan hifa atau memproduksi konidia (spora aseksual) yang terbawa oleh udara dan masuk ke dalam tanah. Spora ini akan terbawa masuk ke tanaman jagung oleh serangga atau angin. Spora tersebut akan bergerminasi dan menginfeksi butiran jagung (Bakan et al. 2002). Cemaran A. flavus dan aflatoksin pada jagung biasanya akan meningkat selama penyimpanan apabila disimpan pada kondisi lingkungan yang sesuai bagi pertumbuhan A. flavus, dan butiran jagung yang pecah akan lebih mudah tercemar A. flavus maupun aflatoksin dalam kurun waktu satu atau dua hari waktu penyimpanan (Vincelli et al. 2013).
Kedelai
Kedelai merupakan komoditi pangan yang sangat penting bagi rakyat Indonesia setelah padi dan jagung. Data konsumsi kedelai nasional pada tahun ini sebanyak
(22)
2.5 juta ton per tahunnya dan sebagian besar digunakan untuk pembuatan produk pangan seperti tempe, tahu, tauco, kecap dsb (Kemendag 2013).
Survei yang dilakukan oleh Sebunya dan Yourtee (1990) terhadap komoditi pertanian di Uganda menunjukkan bahwa kapang A. flavus maupun aflatoksin tidak ditemukan pada kedelai. Wood (1992) juga menyebutkan bahwa kedelai merupakan komoditi pangan yang relatif tahan terhadap pembentukan aflatoksin. Namun dua dekade kemudian penelitian yang dilakukan oleh Al-Senni(2011) menunjukkan hal yang berbeda, kedelai yang dijadikan sebagai pakan ternak secara alamiah tercemari oleh A. flavus dan mengandung aflatoksin yang berkisar antara 1.0-14.8 ng/g. Komoditi pangan seperti kedelai termasuk sumber yang paling baik untuk pertumbuhan berbagai jenis kapang karena kedelai mengandung nutrisi yang tinggi, selain itu kondisi lingkungan seperti suhu dan kelembaban relatif sangat mempengaruhi pertumbuhan kapang terutama A. flavus.
Metode analisis aflatoksin dengan RP-HPLC
Metode HPLC telah dikembangkan untuk semua jenis mikotoksin pada berbagai jenis komoditi pertanian. Analisis aflatoksin dengan HPLC terdiri dari beberapa tahap yaitu ekstraksi, purifikasi, separasi dan deteksi, serta uji konfirmasi. Metanol dan air (70:30 v/v) merupakan pelarut kimia yang dapat digunakan untuk ekstraksi aflatoksin pada sampel (Arzandeh et al. 2009; Reza et al. 2012), selain itu dapat juga menggunakan campuran asetonitril dan air (84:16 v/v) (Ahsan et al. 2010). Sementara itu, untuk purifikasi atau pemurnian aflatoksin dapat menggunakan Immunoaffinity
kolom (IAC) (Arzandeh et al. 2009; Shundo dan Sabino 2006) atau dapat juga menggunakan kolom lainnya seperti kolom silica (Younis dan Malik 2003). Pada tahap separasi dan deteksi aflatoksin secara kuantitatif dapat dilakukan dengan menggunakan TLC, ELISA, dan HPLC. Saat ini analisis aflatoksin dengan HPLC paling sering digunakan karena kemampuannya lebih unggul dan akurat dibandingkan dengan TLC dan ELISA. Pirestani et al. (2010), menyebutkan bahwa metode HPLC memiliki kemampuan untuk mengukur konsentrasi aflatoksin B1, B2, G1, G2 (AFB1, AFB2, AFG1, AFG2), sedangkan metode ELISA tidak hanya dapat mengukur tiap jenis aflatoksin secara bersamaan. Uji konfirmasi dilakukan karena bahan pangan dapat mengandung senyawa kimia yang memiliki sifat-sifat kromatografi dan fluoresensi sehingga dapat menimbulkan kekeliruan dalam pengamatan. Uji konfirmasi dapat dilakukan dengan metode biologis, kimia, dan fisik. Uji konfirmasi dengan metode biologi yaitu dengan menyuntikan cairan hasil ekstraksi sampel pada hewan uji seperti ayam atau itik. Sementara itu metode kimia dapat dilakukan dapat dilakukan dengan membandingkan waktu retensi dari cairan ekstraksi yang mengandung aflatoksin dengan standar. Uji konfirmasi secara fisik biasanya memakai spektrofotometer ultraviolet atau infra merah (Syarief et al. 2012)
Deteksi aflatoksin dengan HPLC pada umumnya menggunakan detektor ultra violet (UV), Diode Array Detector (DAD) ataudetektor fluoresen (FLD) (Barbas et al. 2005; Vosough dan Salemi 2011; Iqbal et al. 2011). Detektor fluoresen memiliki tingkat sensitivitas yang lebih baik dibandingkan dengan sistem detektor lainnya (Hussain 2011). Menurut Huang dan Elmashni (2007), detektor fluoresen dapat memberikan tingkat deteksi yang sangat sensitif terhadap keempat jenis aflatoksin yaitu AFB1, AFB2, AFG1, AFG2. Sementara itu Vosough dan Salami (2011) pernah mendeteksi aflatoksin dengan menggunakan HPLC yang dilengkapi DAD. Nilai rekoveri yang
(23)
diperoleh dengan metode HPLC-DAD untuk AFB1, AFB2, AFG1, dan AFG2 adalah 83.1, 78.6, 109.5, dan 111.3%, sedangkan limit deteksi (LoD) yang diperoleh adalah 2.12, 1.24, 2.26, 2.63 ng/mL.
Pengendalian pertumbuhan Aspergillus flavus oleh Saccharomyces cerevisiae
Jagung dan kedelai merupakan komoditi pangan yang mudah ditumbuhi oleh kapang A. flavus. Keberadaan A. flavus selama penyimpanan dapat menurunkan kualitas jagung dan kedelai serta menimbulkan kerugian secara ekonomi (Penna et al. 2004). Strategi pengendalian sangat diperlukan untuk mengurangi tingkat cemaran A. flavus di jagung dan kedelai. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengendalikan pertumbuhan A. flavus adalah dengan menggunakan mikroba kompetitor atau dikenal dengan pengendalian secara biologis.
Pertumbuhan A. flavus dapat dikendalikan oleh kamir, bakteri, dan jenis kapang lainnya (Bianchini dan Bullerman 2009). Mikroba seperti bakteri asam laktat, Bacillus,
Pseudomonas, Trichoderma spp dilaporkan dapat menghambat pertumbuhan A. flavus
dan produksi aflatoksin secara laboratorium (Palumbo et al. 2006). Bacillus subtilis
selama pertumbuhan menghasilkan rhizocticin A (polipeptida) dan iturins (lipopeptida) yang bersifat sebagai anti kapang. Kemudian, kapang A. flavus yang tidak toksigenik juga berpotensi menghambat pertumbuhan A. flavus toksigenik (Donner et al. 2010). Penghambatan pertumbuhan kapang A. flavus toksigenik oleh A. flavus non toksigenik mulai terjadi pada 24 jam pertumbuhan kedua kapang tersebut (Huang et al. 2011).
Hasil penelitian Penna et al. (2004) menunjukkan terjadinya penurunan pertumbuhan A. flavus akibat adanya aktivitas kamir Kluyveromyces. Sampai saat ini terdapat beberapa mikroba yang sudah digunakan untuk mengurangi pertumbuhan
A. flavus diantaranya Rhizopus oligosporus dan Candida yang berasal dari tagi tempe
(Purwijatiningsih et al. 2005) serta Lactobacillus plantarum sa28k (Hidayat 2001). Menurut Persons et al. (2013), S. cerevisiae efektif dalam menurunkan pertumbuhan
A. flavus pada media sintetik di berbagai suhu. Kapang A. flavus tidak hanya dapat
dikendalikan oleh S. cerevisiae pada media sintetik, tetapi juga pada pakan (Kusumaningtyas et al. 2006) dan juga komoditi pangan seperti sorgum (Vadasz et al. 2002; Reddy et al. 2010).
(24)
3 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Mei sampai November 2013. Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi, Depertemen ITP-Fateta IPB/SEAFAST Center serta di Laboratorium Mikrobiologi dan Kimia SEAMEO-BIOTROP Bogor.
Bahan
Penelitian dikerjakan dengan menggunakan bahan utama yaitu kapang toksigenik penghasil aflatoksin yaitu A. flavus BIO 2237 (koleksi Laboratorium Mikrobiologi SEAMEO BIOTROP, Bogor), A. flavus BCC F0213 (koleksi Laboratorium Mikrobiologi BALIVET, Bogor), kamir S. cerevisiae ATCC 9376 (koleksi Laboratorium Mikrobiologi Keamanan Pangan SEAFAST CENTER, Bogor), serta jagung (varietas Bisi 2) dan kedelai (varietas Wilis) yang diperoleh dari Kediri-Jawa Timur. Media sintetik yang digunakan adalah Czapex Dox Agar (CDA) (Oxoid, Inggris), Potato Dextrose Agar (PDA) (Oxoid), dan Potato Dextrose Broth (PDB) (Oxoid). Pengaturan kelembaban relatif menggunakan garam jenuh kualitas teknis (amonium klorida, barium klorida, amonium sulfat, kalium nitrat, natrium nitrat) dan garam jenuh kualitas pro analysis (kalium nitrat dan kalium sulfat). Bahan untuk analisis aflatoksin menggunakan standar aflatoksin (Sigma, USA), akuabides (Kalbe, Indonesia), metanol (Merck, Jerman), asetonitril (Merck), dan NaCl (Merck).
Alat
Alat-alat yang digunakan antara lain HPLC 1100 series (Agilent Technologies, USA) dengan detektor fluoresen, immunoaffinity colomn Afla Test volume 1.0 mL (Vicam, USA), inkubator (Yamato, Jepang), dan mini desikator. Selain itu juga digunakan alat-alat gelas (cawan petri, tabung reaksi, gelas ukur, dan sebagainya).
Prosedur Analisis Data
Rancangan acak lengkap dengan pola faktorial digunakan pada tahap pertumbuhan A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 pada media CDA, jagung, dan kedelai, serta pada tahap pengendalian pertumbuhan A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 oleh S. cerevisiae ATCC 9376 di media PDA, jagung, dan kedelai. Hubungan antara faktor perlakuan terhadap faktor respon diuji dengan analisis sidik ragam atau
analysis of variance (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT)
(Mattjik dan Sumertajaya 1999).
Penelitian ini terdiri dari 3 tahap. Tahapan pertama adalah pengaruh suhu dan RH terhadap pertumbuhan A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 pada media CDA, jagung, dan kedelai, tahapan kedua adalah pengaruh suhu dan RH terhadap produksi aflatoksin pada jagung dan kedelai, dan tahapan ketiga adalah pengendalian A. flavus
BIO 2237 dan BCC F0213 oleh S. cerevisiae ATCC 9376 pada media PDA, jagung, dan kedelai. Ketiga tahapan tersebut tercantum pada Gambar 2 di bawah ini.
(25)
Gambar 2 Diagram alir penelitian.
1. Persiapan
a. Persiapan kapang A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 dan kamir
S. cerevisiae ATCC 9376 (Modifikasi Kusumaningtyas et al. 2006).
Modifikasi yang dilakukan oleh Kusumaningtyas et al. (2006) adalah
A. flavus F0213 dan S. cerevisiae F0206 ditumbuhkan pada media sintetik dan
diinkubasi selama 5 dan 3 hari. Kultur kapang A. flavus (BIO 2237 dan BCC F0213) dan kamir S.cerevisiae (ATCC 9376) sebelum digunakan disegarkan terlebih dahulu. Kapang A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 ditumbuhkan pada CDA miring, kemudian A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 diinkubasi pada suhu ruang (30 oC) selama 5 hari. Pemanenan spora dilakukan dengan cara menambahkan akuades steril ke dalam agar miring tersebut. Sementara itu untuk persiapan kultur kerja S. cerevisiae ATCC 9376 ditumbuhkan pada media cair PDB (masa inkubasi 3 hari pada suhu 30 oC).
Tahap persiapan
• Persiapan kapang A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213, serta S. cerevisiae
ATCC 9376
• Persiapan larutan garam untuk mengatur kelembaban relatif (RH)
• Persiapan media pangan
‐ Pengukuran kadar air dan aw pada jagung dan kedelai
‐ Iradiasi jagung dan kedelai
Pengaruh suhu dan RH terhadap pertumbuhan
A. flavus BIO 2237 dan
BCC F0231
Pengaruh suhu dan RH terhadap produksi aflatoksin
• Pengujian pertumbuhan kapang pada CDA dengan mengukur diameter koloni
• Pengujian pertumbuhan kapang pada jagung dan kedelai dengan mengukur massa sel yang terbentuk.
Pengujian pembentukan aflatoksin pada jagung dan kedelai.
Pengendalian A. flavus
BIO 2237 dan BCC F0213 oleh S. cerevisiae
ATCC 9376
Pengujian efisiensi S. cerevisiae ATCC 9276 sebagai mikroba antagonis terhadap pertumbuhan A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 pada media PDA, jagung, dan kedelai
(26)
b. Persiapan larutan garam untuk pengaturan kelembaban relatif (RH) (Modifikasi Greenspan 1976; Wexler dan Hasegawa 1954).
Suhu yang digunakan pada penelitian ini adalah 20, 30, dan 40 oC, sedangkan RH yang digunakan adalah 70, 80, dan 90%. Pengaturan RH pada penelitian ini menggunakan 6 jenis larutan garam jenuh. Setiap jenis garam ditimbang dengan berat tertentu dan dilarutkan dalam 100 mL air hingga jenuh. Larutan garam tersebut kemudian disterilisasi untuk menghindari kemungkinan kontaminasi awal oleh mikroba. Sterilisasi larutan garam jenuh dilakukan menggunakan autoklaf (121 oC, 15 menit), sedangkan wadah plastik sebagai mini desikator disterilisasi dengan menggunakan alkohol 70%. Kemudian tiap larutan garam yang telah steril dimasukan dalam wadah mini desikator hingga ketinggian 2 cm.
c. Persiapan Media Pangan
i. Perhitungan kadar air pada jagung dan kedelai (SNI 3729:2008)
Kadar air ditentukan dengan cara gravimetri mengikuti metode SNI, dengan menggunakan oven pada suhu 105 oC. Perhitungan kadar air dilakukan dengan basis kering.
ii. Iradiasi jagung dan kedelai
Iradiasi dilakukan di Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) di Jakarta. Tujuan iradiasi adalah untuk menghilangkan berbagai kontaminasi pada jagung dan kedelai. Jagung dan kedelai masing-masing sebanyak 25 g dalam bentuk utuh dikemas dalam plastik polietilen (PE), lalu ditutup rapat dan kemudian diiradiasi dengan sinar gamma cobalt-60. Dosis yang digunakan untuk iradiasi sampel tersebut adalah 25 kGy.
2. Pengaruh suhu dan RH terhadap pertumbuhan A. flavusBIO 2237 dan BCC F0213 pada media Czapex Dox Agar (CDA), jagung, dan kedelai (Modifikasi Kokkonen et al. 2010)
Modifikasi yang dilakukan dari metode Kokkonen et al. (2010) adalah jenis media, suhu, dan RH yang diatur. Suspensi kapang A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 (106 CFU/mL) masing-masing sebanyak 2.5 µL diteteskan di tengah-tengah media cawan agar CDA. Sementara itu untuk jagung dan kedelai, suspensi spora A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 yang digunakan sebanyak 100 µL (106 CFU/mL) yang diteteskan pada beberapa titik cawan yang berisi jagung atau kedelai (25 g). Kemudian media CDA, jagung, dan kedelai masing-masing diinkubasi pada suhu 20, 30, dan 40 oC dengan RH 70, 80, dan 90% (Gambar 3) selama 10 hari. Pertumbuhan kapang A. flavus
BIO 2237 dan BCC F0213 pada media CDA diamati setiap 24 jam dengan mengukur diameter koloni hingga 10 hari masa inkubasi, sementara pada jagung dan kedelai diamati dengan mengukur massa sel yang terbentuk setelah 10 hari masa inkubasi. Untuk melihat pengaruh suhu dan RH terhadap diameter koloni A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 yang terbentuk pada media CDA, maka data yang digunakan adalah data hari ke 7 waktu inkubasi. Setiap perlakuan dilakukan sebanyak dua kali ulangan. Jagung dan kedelai hasil inkubasi diukur kadar aflatoksinnya secara kuantitatif dengan menggunakan RP-HPLC.
(27)
inkubator
penutup mini desikator
mini desikator
cawan berisi sampel
penyangga
larutan garam jenuh
Gambar 3 Inkubasi A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 di media CDA, jagung, dan kedelai pada berbagai suhu dan RH yang diatur melalui larutan garam jenuh dan suhu inkubator.
Analisis aflatoksin pada jagung dan kedelai dengan RP-HPLC (AOAC 991.31 2012)
Keberadaan aflatoksin pada jagung dan kedelai diukur dengan menggunakan RP-HPLC, sementara untuk clean up sampel (jagung dan kedelai) menggunakan
immunoaffinity column Afla Test. Diagram alir pelaksanaanya dapat dilihat pada
Gambar 4. Kondisi instrumen RP-HPLC yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 7. Antara kolom dan detektor dipasang post-column photochemical reactor untuk meningkatkan sinyal deteksi aflatoksin B1 dan G1.
Tabel 7 Kondisi HPLC yang digunakan untuk analisis aflatoksin B1, B2, G1, dan G2, pada jagung dan kedelai.
Parameter penggunaan HPLC Pengaturan
Jenis kolom C18reverse phase (4.6 x 150 mm, 2.7 µm) Fase gerak air/metanol/asetonitril (54 : 29: 17, v/v/v) Laju alir 1± 0.005 mL/min
Sampel loop 50 µL
Detektor detektor fluoresen, λeks 365 nm dan λems 465 nm
Post-column photochemical reactor
a. Pembuatan kurva standar
Tahap analisis aflatoksin diawali dengan pembuatan serial larutan standar aflatoksin. Larutan standar aflatoksin dibuat dari larutan stok standar B1, B2, G1, dan G2 dengan cara pengenceran. Linearitas, akurasi, batas deteksi (LoD) dan batas kuantifikasi (LoQ) aflatoksin ditentukan dengan cara sebagai berikut. Linearitas kurva standar diukur dengan menginjeksi standar aflatoksin sebanyak 7 kali pada konsentrasi 0, 2, 5, 10, 20, 30, 40, dan 50 ng/mL untuk AFB1, sedangkan untuk AFB2, AFG1, dan AFG2 pada konsentrasi 0, 3, 5, 10, 20, 30, dan 40 ng/mL, kemudian hasilnya diplotkan dalam bentuk kurva linear yang mempunyai koefisien korelasi (R) lebih besar dari 0.999. Limit deteksi (LoD) ditentukan dengan perbandingan signal terhadap noise (S/N=3) dan LoQ S/N=10.
b. Ekstraksi dan clean up sampel
Sampel (± 25 g) dan NaCl (5 g) dicampur dengan 125 mL metanol-air (70:30 v/v), kemudian dihancurkan dengan menggunakan blender kering yang berkecepatan tinggi selama 2 menit. Setelah itu campuran disaring dengan
(28)
menggunakan kertas saring fluted filter paper. Kemudian dipipet sebanyak 15 mL dan dimasukkan ke dalam erlemenyer, lalu di tambahkan dengan 30 mL akuabides dan dihomogenkan. Filtrat yang sudah dihomogenkan disaring dengan menggunakan
microfiber paper. Kemudian diambil 15 mL dan dimasukkan kedalam syringe barrel
correction yang sudah dihubungkan dengan IAC Afla Test. Setelah itu kolom dicuci
dengan 20 mL akuabides dan dielusi dari kolom dengan 1.0 mL metanol dengan kecepatan 1 tetes per detik yang dibantu dengan pompa vakum. Hasil elusi ditambahkan 0.5 mL akuabides sehingga volume larutan akhir adalah 1.5 mL. Sampel divortex dan siap diinjeksi ke HPLC.
Konsentrasi aflatoksin di dalam sampel didapatkan dengan menghitung konsentrasi aflatoksin menggunakan kurva standar (telah ditentukan sebelumnya), kemudian memasukkannya ke dalam perhitungan berikut ini :
Konsentrasi aflatoksin ngg konsentrasi L kurva standar x vol larutan akhir mL x FPBerat sampel g
Faktor pengenceran (FP) L
L
x
LL
25
Faktor pengenceran (FP) dalam penelitian ini dihitung dari 25 g sampel yang dicampur dengan 125 mL pelarut, kemudian diambil 15 mL dan dicampur dengan 30 mL akuabides, sehingga larutan sampel menjadi 45 mL. Selanjutnya dari 45 mL larutan sampel diambil sebanyak 15 mL untuk di purifikasi.
3. Pengendalian pertumbuhan kapang A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 dengan menggunakan kamir S. cerevisiae ATCC 9376 pada media PDA, jagung, dan kedelai (Modifikasi Palumbo et al. 2006).
Modifikasi yang dilakukan dari Palumbo et al. (2006) adalah penggunaan jenis media sintetik. Satu ose masing-masing suspense A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 (106 CFU/mL) dan S. cerevisiae ATCC 9376 (106 CFU/mL) digoreskan ke media PDA, jagung, dan kedelai. Media jagung dan kedelai dibuat dengan cara menghancurkan jagung dan kedelai menjadi bubuk, setelah itu masing-masing bahan dicampur dengan media PDA (20:80 b/v) dan disterilisasi. Media yang telah steril dimasukan ke dalam cawan petri. Suspensi spora A. flavus BIO 2237 atau BCC F0213 digoreskan pada bagian tengah cawan petri selebar satu cm dan suspense S. cerevisiae ATCC 9376 digoreskan pada bagian kiri dan kanan media selebar satu cm. Selanjutnya diinkubasi pada suhu ruang (30 oC) selama 10 hari. Sebagai kontrol dilakukan pertumbuhan
A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 tanpa S. cerevisiae ATCC 9376 dan sebaliknya.
Persentasi daya hambat dihitung dengan membandingkan pertumbuhan lebar koloni
A. flavus BIO 2237 atau BCC F0213 dengan dan tanpa S. cerevisiae ATCC 9376. Setiap
(29)
Sampel 25 g + 5 g NaCl
dicampur 125 mL metanol – air (70 : 30 v/v) dan dihancurkan
disaring dengan fluted filter paper
dipipet 15 mL filtrat dan ditambahkan 30 mL H2O (45 mL = 3 g sampel )
disaring kembali dengan microfiber paper
dipipet 15 mL dan dimasukkan ke syringe barrel correction
yang terhubung dengan kolom IAC Afla test
(setara 1 g sampel)
kolom IAC dicuci dengan 20 mL H2O
aflatoksin di dalam kolom dielusi dengan 1.0 mL metanol
ditambahkan 0.5 mL H2O
disimpan dalam vial
diinjeksi ke HPLC
Gambar 4 Diagram alir persiapan analisis aflatoksin B1, B2, G1, dan G2 pada jagung dan kedelai.
(30)
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaturan RH 70, 80, dan 90% pada suhu 20, 30, dan 40 ºC dengan menggunakan beberapa jenis garam
Kelembaban relatif (RH) yang diinginkan diperoleh dengan menggunakan beberapa jenis garam. Garam yang digunakan terdiri dari garam kualitas teknis dan pro
analysis. Tingginya jumlah garam yang dibutuhkan untuk menciptakan kejenuhan
larutan garam hingga mencapai RH yang diinginkan menjadi alasan pemilihan garam kualitas teknis karena jika semuanya menggunakan garam jenuh kualitas pro analysis
maka akan membutuhkan biaya yang tinggi. Penggunaan garam kualitas teknis dapat membentuk beberapa RH yang diinginkan, namun tidak untuk RH 90%. Nilai RH 90% pada ketiga suhu terbentuk dengan menggunakan garam jenuh kualitas pro analysis
(kalium sulfat dan kalium nitrat).
Jumlah garam hingga jenuh dan jumlah air yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 8. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai RH yang diinginkan membutuhkan jumlah garam jenuh yang lebih tinggi dari jumlah garam yang terdapat pada referensi, kecuali untuk garam barium klorida.
Validasi pengukuran nilai RH dilakukan dengan menggunakan alat higrometer. Nilai RH yang terbentuk akan terbaca pada higrometer yang berada dalam mini desikator. Pengukuran RH hingga konstan dilakukan dalam kurun waktu 2 hingga 7 hari karena kestabilan masing-masing RH pada setiap suhu berbeda-beda. Pembentukan RH 90% memerlukan waktu yang lebih lama (7 hari) dibandingkan dengan pembentukan RH lainnya. Larutan garam jenuh yang membentuk RH tertentu disterilisasikan (121 oC, 15 menit) terlebih dahulu sebelum digunakan. Kestabilan RH akibat sterilisasi dimonitor kembali dengan menggunakan alat higrometer.
Tabel 8 Jenis dan jumlah garam dalam 100 mL air yang digunakan untuk mengatur kelembaban relatif (RH).
Suhu (oC)
RH ( % )
Jenis garam Referensi1 Hasil riset Jumlah garam
(g)
Jumlah garam (g) 20 70±3.0 Amonium klorida(NH4Cl) 37 a
286 b - 75 a 38 c 31 c 32 b 79 c
- 120 140 100 93 110 200 70 80 60 80±3.0 Barium klorida (BaCl2)
90±3.0 Kalium sulfat (K2SO4) 30 70±3.0 Amonium sulfat (NH4)2SO4
80±3.0 Kalium nitrat (KNO3) 90±3.0 Kalium nitrat (KNO3) 40 70±3.0 Natrium nitrat (NaNO3)
80±3.0 Kalium nitrat (KNO3) 90±3.0 Kalium sulfat (K2SO4) 1
Sumber :a) Greenspan 1977; b) Spiess dan Wolf 1987; c) Wexler dan Hasegawa 1954.
Pengaturan RH dengan metode garam jenuh dalam ruang lingkup penelitian telah banyak dilakukan terutama dalam bidang ilmu ekologi dan fisiologi makhluk hidup (Winston dan Bates 1960). Keberlangsungan hidup suatu makhluk hidup salah satunya bergantung pada nilai RH yang ada disekitarnya, oleh karena itu tumbuh
(31)
tidaknya suatu makhluk hidup yang diinginkan dapat ditentukan dengan cara mengatur nilai RH lingkungan pertumbuhannya.
Wexler dan Hasegawa (1954) menyebutkan bahwa beberapa jenis garam dapat digunakan untuk mengatur kelembaban relatif. Pengaturan kelembaban relatif dengan penggunaan garam hingga jenuh dianggap lebih efektif karena lebih mudah stabil (Winston dan Bates 1960). Sementara Greenspan (1977) juga menyebutkan pengaturan RH dengan menggunakan beberapa jenis garam pada saat itu dianggap lebih mudah dan murah dibandingkan dengan metode lainnya. Jenis garam yang berbeda akan menghasilkan nilai RH yang berbeda pula, hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan kekuatan interaksi ionik antara air dengan larutan garam. Namun Greenspan (1977) menjelaskan, RH yang berbeda juga dapat diperoleh dengan menggunakan jenis garam yang serupa, tentu saja dengan jumlah garam yang berbeda. Pada penelitian ini garam kalium nitrat (KNO3) tidak hanya membentuk satu RH saja, tetapi dengan jumlah garam yang berbeda dapat membentuk beberapa RH yaitu RH 70 dan 80% pada suhu 30 ºC dan RH 80% pada suhu 40 ºC.
Pada prinsipnya larutan garam jenuh merupakan campuran antara air steril dan sejumlah garam hingga tidak mampu larut lagi. Butiran-butiran garam akan berikatan dengan uap air yang ada di udara pada kelembaban tertentu dan akan mencair hingga terbentuk larutan garam jenuh. Jika kelembaban relatif rendah maka butiran garam tidak akan berubah (mencair) dan larutan garam lebih cepat jenuh dan setimbang, sebaliknya jika kelembaban relatif tinggi maka butiran garam akan sangat cepat larut atau mencair sehingga membutuhkan jumlah garam yang tinggi dan waktu yang lebih lama untuk jenuh dan memperoleh RH yang setimbang (Winston dan Bates 1960). Hasil yang sama juga diperoleh pada penelitian ini yaitu pembentukan RH 90% pada suhu 20 dan 30 ºC memerlukan jumlah garam yang tinggi (pro analysis) dan waktu yang relatif lama untuk memperoleh kesetimbangan antara larutan garam dengan tekanan uap air murninya, sementara RH 90% pada suhu 40 ºC kesetimbangan lebih mudah tercapai dengan jumlah garam yang lebih sedikit. Hal ini juga memperlihatkan bahwa nilai RH yang terbentuk oleh suatu jenis larutan garam jenuh akan bergantung pada suhu lingkungan. Suhu lingkungan yang tinggi akan mempermudah pembentukan RH (Greenspan 1977).
Keuntungan lain penggunaan larutan garam untuk membentuk RH adalah kejenuhan larutan garam dapat teramati secara visual dari butiran garam yang tidak mampu larut lagi di dalam air. Namun kendala yang dihadapi adalah jumlah garam yang digunakan untuk memperoleh RH yang diinginkan pada suhu yang ditentukan harus terukur secara tepat dan RH yang terbentuk harus diukur setiap 24 jam (Greenspan 1977).
Nilai RH yang terbentuk dalam desikator dapat dilihat dengan bantuan higrometer. Menurut Winston dan Bates (1960), higrometer merupakan alat yang tepat karena memiliki keakuratan yang baik dan cukup sensitif ketika mengukur RH yang terbentuk selama pengujian. Pada higrometer terdapat dua skala, skala pertama menunjukkan kelembaban relatif dan yang kedua menunjukkan suhu. Cara penggunaan higrometer cukup mudah, hanya dengan meletakkannya pada tempat yang akan diukur kelembabannya, setelah itu tunggu beberapa saat dan hasil pengukuran dapat dilihat secara langsung pada alat.
Selain dengan higrometer, cara konvensional juga dapat digunakan untuk menentukan RH yaitu metode suhu bola basah dan bola kering dengan bantuan kurva psikrometrik. Suhu bola kering adalah suhu yang ditunjukkan dengan termometer biasa di dalam larutan garam, sedangkan metode bola basah adalah suhu yang diukur dengan
(32)
menggunakan termometer yang bagian bawahnya dilapisi dengan kapas basah kemudian dimasukkan larutan garam. Suhu bola basah akan selalu lebih rendah dari suhu bola kering. Posisi suhu bola kering dan bola basah dilihat pada kurva psikrometrik. Perpotongan antara kedua garis suhu bola kering dan bola basah berada pada suatu titik yang terletak pada garis RH sehingga dapat diketahui nilai kelembaban relatif yang terbentuk.
Pengaruh suhu dan kelembaban relatif terhadap pertumbuhan A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 pada media Czapex Dox Agar (CDA)
Pengujian pertumbuhan A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 dengan menggunakan media sintetik (CDA) diharapkan dapat memberikan informasi awal mengenai pola pertumbuhan A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 pada suhu dan kelembaban relatif (RH) yang ditentukan. Kapang A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 yang ditumbuhkan pada media CDA akan membentuk spora berwarna kuning hingga kehijauan yang dapat memberi petunjuk terbentuknya aflatoksin (Das et al. 2012). Pengaruh suhu dan RH terhadap A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 menunjukkan diameter pertumbuhan koloni yang tidak jauh berbeda antar kedua strain A. flavus ini selama masa inkubasi. Secara visual, A. flavus BIO 2237 lebih banyak membentuk sklerotia dibandingkan spora, sementara itu BCC F0213 cenderung membentuk spora (Gambar 5) pada waktu inkubasi yang sama.
A B
Gambar 5 Pertumbuhan A. flavus BIO 2237 (A) dan BCC F0213 (B) pada media CDA selama 10 hari inkubasi pada suhu 30 oC dan RH 90%.
Beberapa kapang golongan Aspergillus diketahui dapat menghasilkan sklerotia. Sklerotia dapat dibentuk oleh kapang A. oryzae danA. flavus, namun yang lebih sering membentuk sklerotia adalah A. flavus (Ruiqianet al. 2013). Menurut Dehghan et al. (2008), isolat A. flavus yang diamati di Iran sebanyak 33.3% menghasilkan sklerotia pada media sintetik. Pembentukan sklerotia lebih maksimal terjadi pada suhu 37 ºC dibandingkan pada suhu 28 ºC.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu yang relatif rendah (20 oC) dan suhu yang relatif tinggi (40 oC) dari suhu ruang (30 oC) tetap mendukung pertumbuhan
A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 yang ditunjukkan dari penambahan diameter koloni
pertumbuhan selama masa inkubasi seperti yang terlihat pada Gambar 6-8. Pertumbuhan A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 meningkat tajam mulai dari hari pertamahingga hari ke 7 masa inkubasi, setelah itu pertumbuhannya melambat. Masa pertumbuhan A. flavus umumnya berkisar antara 1-7 hari (Al-Shikli et al. 2010), dalam waktu 6 hingga 7 hari diameter koloni dapat mencapai 60-70 mm pada media sintetik,
(33)
setelah melewati 7 hari A. flavus secara aktif akan menghasilkan aflatoksin sehingga media sintetik akan terlihat berwarna kuning hingga oranye (Das et al. 2012). Aflatoksin terbentuk setelah A. flavus melewati fase logaritmik pertumbuhannya atau memasuki fase stasioner (statis). Pada fase statis jumlah nutrisi menjadi berkurang karena telah dimanfaatkan secara maksimal oleh A. flavus pada fase log, sehingga pada fase statis jumlah A. flavus yang hidup sebanding dengan jumlah yang mati. Pada kondisi seperti ini, A. flavus tidak mampu berkembangbiak lagi dan hanya mempertahankan diri dengan terus menghasilkan aflatoksin (Milani 2013).
A B
Gambar 6 Pertumbuhan A. flavus BIO 2237 (A) dan BCC F0213 (B) pada media CDA pada suhu 20 oC dengan RH 70, 80, dan 90%. Kontrol adalah suhu dan RH ruang (30 ºC dan 75%).
A B
Gambar 7 Pertumbuhan A. flavus BIO 2237 (A) dan BCC F0213 (B) pada media CDA pada suhu 30 oC dengan RH 70, 80, 90%. Kontrol adalah suhu dan RH ruang (30 ºC dan 75%).
A B
Gambar 8 Pertumbuhan A. flavus BIO 2237 (A) dan BCC F0213 (B) pada media CDA pada suhu 40 oC dengan RH 70, 80, 90%. Kontrol adalah suhu dan RH ruang (30 ºC dan 75%).
0 20 40 60 80 100
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Di amet er k o lo n i (m m )
Waktu pertumbuhan (hari)
0 20 40 60 80 100
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Di am et er kol oni (m m )
Waktu pertumbuhan (hari)
kontrol RH 70% RH 80% RH 90% 0 20 40 60 80 100
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Diam eter kol oni (m m )
Waktu pertumbuhan (hari)
0 20 40 60 80 100
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
D iamet er k o lo n i (mm)
Waktu pertumbuhan (hari)
kontrol RH 70% RH 80% RH 90% 0 20 40 60 80 100
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Di am et er kol oni (m m )
Waktu pertumbuhan (hari)
0 20 40 60 80 100
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Di am et er kol oni (m m )
Waktu pertumbuhan (hari)
kontrol RH 70% RH 80% RH 90%
(1)
Bakan AM, Baranyi J, Pitt MJ, Eyles MJ, dan Roberts TA. 2002. Predicting Fungal growth: the effect of water activity on Aspergillus flavus and related species. Int. J. Food Microbiol. 23(3): 419-431.
Barbas C, Dams A, dan Majors ER. 2005. Separation of aflatoxins by HPLC [internet]. [diacu 2013 Mei 16] tersedia dari: http//www. agilent.com/chem.
Bianchini A dan Bullerman LB. 2009. Biological control of molds and mycotoxin in foods. American chemical society.doi: 10.1021/bk-2009-1031.ch001.
Butkeraitis. 2011. The effects of mycotoxins on aquaculture. Mycotoxins in Aquaculture 1:1-13.
[CAST] Council for Agriculture Science and Technology. 2003. Mycotoxins: Risk in plant, animal, and human system. CAST. 139:1-217.
[CDC] Center for Disease Control dan Prevention. 2004. Outbreak of aflatoxin poisoning-Eastern and Central Provinces, Kenya. MMWR. 53:790-792.
Chauhan YS, Wright GC, dan Rachputi NC. 2013. Modelling climatic risks of aflatoxin contamination in maize. Aust. J. Exp. Agri. 48(3):357-366. Doi: 10.1071/EA06101.
Chun HS, Kim HY, Ok HE, Hwang JB, dan Chung DH. 2007. Determination of aflatoxin levels in nuts and their products consumed in South Korea. Food Chem. 102(1):385-391.doi: 10.1016/j.foodchem.2006.05.031.
Cotty PJ dan Garcia RJ . 2007. Influences of climate on aflatoxin producing fungi and aflatoxin contamination. Int. J. Food Microbiol. 119:109 –115.
Creppy EE. 2002. Update of survey, regulation and toxic effects of mycotoxins in Europe. Toxicol. Lett. 127(1):19-28.
Das A, Angayarkanni J, Bhattacharya S, dan Palaniswamy M. 2012. Evaluation of
process parameters influencing aflatoxin B1 synthesis from Aspergillus flavus
MTCC 2798 using rice straw under submerged fermentation. Int. J. Pharm. Bio. Sci. 2(2): 94-105.
Dehghan P, Zaini F, Mahmoudi M, Jebali A, Kordbacheh P, dan Rezaei S. 2008. Aflatoxin and sclerotia production in clinical isolates of Aspergillus flavus group. Iranian J. Publ. Health 27(2): 41-50.
Donner M, Atehnkeng J, Sikora RA, Bandyopadhyay R, dan Cotty PJ. 2010. Moleculer characterization of atoxigenic strain for biological control of aflatoxins in Nigeria. Food Addit. Contam. Part A. 27(5):576-590. Doi: 10.1080/19440040903551954. Duran RM, Cary JW, dan Calvo AM. 2009. The role veA in Aspergillus flavus infection
of peanut, corn and cotton. Open Mycol. J. 3:27-36.
European Legislative. 2010. Setting maximum level for certain contaminants in foodstuffs. Commission Regulation (EC) No. 165/2010.
Farombi EO. 2006. Aflatoxin contamination of foods in developing countries: Implication for hepatocellular carcinoma and chemopreventive strategies. Afr. J. Biotechnol. 5(1):1-14.
Gadgile DP dan Chavan AM. 2010. Impact of temperature and relaive humidity on development of Aspergillus flavus rot of mango fruit. Recent Res. Sci. Technol. 2(3):48-49.
Garber RK dan Cotty PJ. 1997. Formation of sclerotia and aflatoxins in developing cotton bolls infected by the S strain of Aspergillus flavus and potensial for biocontrol with an atoxigenic strain. Phythopathology 87:940-945. Doi: 10.1094/PHYTO.1997.87.9.940.
(2)
Gong YY, Egal S, Hounsa A, Turner PC, Hall AJ, Cardwell KF, dan Wild CP. 2003. Determinants of aflatoxin exposure in young children from Benin and Togo, West Africa:the critical role of weaning. Int. J. Epidemiol. 32(4): 556–562.
Greenspan L. 1977. Humidity fixed points of binary saturated aqueous solutions. J. Res. Natl. Bur. Stand. 81A(1):89-96.
Groopman JD, Kensler TW, dan Wild CP. 2008. Protective interventions to prevent aflatoxin-induced carcinogenesis indeveloping countries. Annu. Rev. Publ. Health 29:187-203.
Hell K dan Mutegi C. 2011. Aflatoxin control and prevention strategies in key crops of sub-Sahara Africa. Afr. J. Microbiol. Res. 5(5):466-495.
Hell K, Fandoha P, Bandyopadhyay R, Kiewnick S, Sikora R, dan Cotty PJ. 2008. Mycotoxins: detection methods, management, public health and agriculture trade. UK. CABI.
Hidayat A. 2001. Sifat antimikotik isolat bakteri asam laktat yang berasal dari sauerkraut terhadap kapang Aspergillus flavus (skripsi). Bogor: IPB, Fakultas Teknologi Pertanian-Teknologi Pangan dan gizi.
Huang C, Jha A, Sweany R, De Robertis C, Kenneth E, dan Damann J. 2011. Intraspecific aflatoxin inhibition in Aspergillus flavus Is thigmoregulated, independent of vegetative compatibility group and Is strain dependent. PloS One 6(8):23470-23476. Doi: 10.1371/journal.pone.0023470.
Huang J dan Elmashni D. 2007. Analysis of aflatoxins using fluorescence detection. USA. Thermo scientific.
Hussain I. 2011. Aflatoxin measurement and analysis [internet]. [diacu 2013 Mei 22]. Tersedia dari: http://www.intechopen.com/books/aflatoxins-detection-measurement-and-control/afltoxin-measurement–and-analysis.
Hussaini AM, Timothy AG, Olufunmilayo HA, Ezekiel AS, dan Godwin HO. 2009. Fungi and some mycotoxins found in mouldy sorghum in Niger State, Nigeria. World J. Agric. Sci. 5(1):5-17.
[IARC] International Agency for Research on Cancer. 2002. Aflatoxin in traditional herbal medicines, some mycotoxins, naphthalene and styrene. IARC. Monogr. Eval. Carcinog. Risks Hum. 82:171-366.
Iqbal ZS, Bhatti IA, Asi MR, Bhatti HN, dan Sheikh MA. 2011. Aflatoxin contamination in chillies from Punjab Pakistan with reference to climate change. Int. J. Agric. Biol. 13(2):261-265.
Jalili M dan Jinap S. 2011. Natural occurrence of aflatoxins and ochratoxin A in dried chili marketed for food safety in Asia. Food Control 24:160-164.
Juodeikiene G, Basinskiene L, Bartkiene E, dan Matusevicius P. 2012. Mycotoxin decontamination aspects in food, feed and renewables using fermentation processes [internet]. [diacu 2013 Juni 3]. tersedia dari:
http://www.intechopen.com/books/structure-and-fuction-of- foodengineering/mycotoxins-decontamination-aspects-in-food-feed-and-renewables-using-fermentation-processes.
Kaaya AN, Kyamuhangire W, dan Kyamanywa S. 2006. Factors affecting aflatoxin contamination of harvested maize in the three agro-ecological zones of Uganda. J. Appl. Sci. 6(11): 2401-2407.
Kabak B, Dobson AD, dan Var I. 2006. Strategies to prevent mycotoxin contamination of food and animal feed. Crit. Rev. Food Sci. Nutr. 46(8):593-619.
(3)
[Kemendag] Kementrian Perdagangan. 2013. Kacang kedelai: Harga ditingkat petani
[internet]. [diacu 2013 November 22]. tersedia dari http://www.kemendag.go.id.
Kokkonen M, Ojala L, Parikka P, dan Jestoi M. 2010. Mycotoxin production of selected Fusarium species at different culture conditions. Int. J. Food Microbiol. 143(1-2):17-25. Doi: 10.1016/j.ijfoodmicro.2010.07.015.
Kulshrestha R, Gupta CP, Shukla G, Kundul MG, Satyendra PB, dan Katiyar CK. 2008. The effect of water activity and storage temperature on the growth of Aspergillus flavus in medical herbs. Planta Med. 74(10):1308-1315. Doi:10.1055/s-2008-1074561.
Kusumaningrum HD, Suliantari, Toha AD, Putra SH, dan Utami AS. 2010. Contamination of Aspergillus flavus and aflatoxin at distribution chain of maize based food product and its influencing factors. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan 21(2): 171-176.
Kusumaningtyas E, Widiastuti R, dan Maryam R. 2006. Reduction of aflatoxin B1 in
chicken feed by using Saccharomyces cerevisiae, Rhizopus oligosporus and their
combination. Mycopathologia 162(4): 307-311.
Kusumaningtyas E. 2006. Isolat lokal Saccharomyces cerevisiae sebagai biokompetitor Aspergillus flavus. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 11(4): 324-330.
Lee N, Wang S, Allan RD, dan Kennedy IR. 2004. Rapid aflatoxin B1 ELISA:
Development and validation with reduced matrix effect for peanuts, corn, pistachio, and soybeans. J. Agric. Food. Chem. 52:2746-2755.
Lewis L, Onsong M, Njapau H, Roger HS, Luber G, Kieszak S, Nyamonggo J, Backer L et al. 2005. Aflatoxin contamination of commercial maize products during an outbreak of acute aflatoxicosis in Eastern and Central Kenya. Environ. Health Perspect. 113(12):1763-1767.
Lipigorngoson S, Limtrakul P, Suttajit M, dan Yoshizawa T. 2003. In-house direct cELISA for determining aflatoxin B1 in Thai corn and peanuts. Food Addit. Contam. 20(9):838-845.
Magan N dan Aldred D. 2007. Post-harvest control strategies: minimizing mycotoxins in the food chain. Int. J. Food Microbiol. 119(1-2): 131–139
Mangan N dan Olsen M. 2004. Mycotoxins in food: Detection and control. CRC Press. New York.
Maragos CM. 2008. Extraction of aflatoxins B1 and G1 from maize by using aqueous
sodium dodecyl sulphate. J. AOAC. Int. 91(4):762-767.
Mattjik AA dan Sumertajaya M. 1999. Perancangan percobaan dengan aplikasi SAS, SPSS, dan minitab. Bogor. IPB press.
Milani JM. 2013. Ecological conditions affecting mycotoxin production in cereals. Vet. Med-Czech. 58(8):405-411.
Miskiyah dan Widaningrum. 2008. Pengendalian aflatoksin pada pascapanen jagung melalui penerapan HACCP. Jurnal Standardisasi. 10(1):1-10.
Murenoa EC, Garciab GT, Onoc MA, Vizonid E, Kawamurae O, Hirookaf EY, dan Onoa SYE. 2009. Co-occurrence of mycotoxins in corn sample from the Northern Region of Parana State, Brazil. Food Chem. 116(1):220-226. Doi: 10.1016/j.foodchem.2009.02.037.
Mutegi CK, Ngugi HK, Hendriks SL, dan Jones RB. 2009. Prevalence and factors associated with aflatoxin contamination of peanuts from Western Kenya. Int. J. Food Microbiol. 130:27-34.
(4)
Nesci A, Rodriguez M, dan Etcheverry M. 2003. Control of Aspergillus growth and aflatoxin production using antioxidants at different conditions of water activity and pH. J. Appl. Microbiol. 95(2):279-287.
Oatley JT, Rarick MD, Ji GE dan Linz JE. 2000. Binding of aflatoxin B1 to Bifidobacteriain vitro. J. Food Prot. 63(8):1133–1136.
Ozaslan M, Caliskan I, Kilic IH, dan Karagos ID. 2011. Application of the ELISA and HPLC test for detection of aflatoxin in pistachio. Sci. Res. Essays 6(4):2913-1917. doi:10.5897/SRE10.707.
Palumbo JD, Baker JL, dan Mahoney NE. 2006. Isolation of bacterial antagonists of Aspergillus flavus from almonds. Microb. Ecol. 52(1):45-52.
Penna ML, Nesci A, dan Etcheverry. 2004. In vitro studies on the potensial for biological control on Aspergillus section Flavi by Kluyveromyces spp. Lett. Appl. Microbiol. 38:257-264. doi: 10.1111/j.1472-765X.2003.01467.x
Persons K, Raines JM, dan Rodriguez JM, 2013. Antagonistic effect of Saccharomyces cerevisiae on the growth of Aspergillus flavus and Aspergillus paraciticus at varying temperatures. Mycol. 4(1): 38 – 43.
Pietri A dan Piva G. 2007. Aflatoxins in foods. Ital. J. Publ. Health 4(1):32-38.
Pirestani A, Tabatabaei NS, Fazeli HM, Antikchi M, dan Baabaei M. 2011. Comparison of HPLC and Elisa for determination of aflatoxin concentration in the milk and feeds of dairy cattle. J. Res. Agric. Sci. 7(1): 71-78.
Prabowo AY. 2007. Budidaya jagung [internet]. [diacu 2012 April 10]. Tersedia dari http://www.teknis-budidaya.blogspot.com/2007/10/budidaya-jagung.html.
Purwijatiningsih E, Dewanti-Hariyadi R, dan Istiana. 2005. Penghambatan pertumbuhan dan produksi aflatoksin dari A. flavus oleh kapang dan kamir ragi tempe. Biota 10(3): 146-153.
Reddy KRN, Raghavender CR, Reddy BN, dan Salleh B. 2010. Biological control of Aspergillus flavus growth and subsequent aflatoxin B1 production in sorghum grains. Afr. J. Biotechol. 9(27):4247-4250.
Reza SSM, Masoud A, Ali T, Faranak G, dan Mahboob N. 2012. Determination of aflatoxins in nuts of Tabriz confectionaries by ELISA and HPLC methods. Adv. Pharm. Bull. 2(1):123-126.
Rukmana R. 1997. Kacang hijau dan budi daya pasca panen. Jogjakarta. Kanisius. Ruiqian L, Qiaan Y, Thanaboripat D, dan Thansukon P. 2013. Biocontrol of Aspergillus
flavus and aflatoxin production. KMITL Sci. Technol. J. 4(1):1-9.
Saini SS danKaur A. 2012. Aflatoxin B1: Toxicity, characteristics and analysis. Glo. Adv. Res. J. Chem. Mat. Sci. 1(4): 063-070.
Sebunya TK dan Yourtee DM. 1990. Aflatoxigenic Aspergilli in foods and feeds in Uganda. J. Food Qual. 13(2): 97-107. Doi: 10.1111/j.1745-4557.1990.tb00010.x.
Shundo L dan Sabino M. 2006. Aflatoxin M1 in milk immunoaffinity column cleanup
with TLC/HPLC determination. Braz. J. Microbiol. 37:164-167.
Spies WEL dan Wolf W. 1987. Critical evaluation of method to determine moisture sorption isotherm. Di dalam: water activity: theory and application to foods. NY. Marcell-Dekker.
Sudhaka P, Latha P, sreenivasulu Y, Reddy BVB, dan Hemalatha TM. 2009. Inhibiton of Aspergillus flavus colonization and aflatoxin (AFB1) in peanut by methyleugenol. Indian J. Exp. Biol. 47:63-67.
Syarief R, Ega L, dan Nurwitri CC. 2012. Mikotoksin bahan pangan.Volume ke-2. Bogor: IPB Press.
(5)
Talanca HA dan Mas’ud S. 2009. Pengelolan cendawan Aspergillus flavus pada jagung. Prosiding Seminar Nasional Serealia, hal: 657-663.
Tandiabang J. 2010. Pengendalian aflatoksin untuk perbaikan kualitas biji jagung. Prosiding seminar ilmiah dan pertemuan tahunan PEJ dan PFJ komisariat daerah Sulawesi selatan, hal: 176-182.
Turcotte AM, Scott PM, dan Tague B. 2013. Analysis of cocoa products for ochratoxin A and aflatoxins. Mycotoxin Res. doi:10. 1007/s12550-013-0167-x
Utami T, Nugroho AHFX, Usmiati S, Marwati S, dan Rahayu ES. 2012. The reduction
of aflatoxin B1 at soymilk by living and dead cell Lactobacillus acidophilus SNP-2.
Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 23(1):58–63.
Vadasz AS, Franken DB, Govender BL, Jaggamath DB, Govender P, Ariatti M, Pretorius LS, dan Gupthar AS. 2002. Properties of a wine yeast antagonist, Saccharomyces cerevisiae T206. S. Afr. J. Enol.Vitic. 23(2):39:47.
Vincelli P, Parker G, dan McNeill S. 2013. Aflatoxins in corn. Cooperative Extension Service College of Agriculture University of Kentucky 84:11-95
Vosough M dan Salemi A. 2011. Exploiting second-order advantage using PARAFAC2 for fast HPLC-DAD quantification of mixture of aflatoxins in pistachio nuts. Food Chem. 127:827-833.
Wild CP dan Gong YY. 2010. Mycotoxins and human disease: alargely ignored global health issue. Carcinogenesis 31(1):71-82.doi: 10.1093/carcin/bgp264.
Winston PW dan Bates DH. 1960. Saturated solutions for the control of humidity in biological research. Ecology 41(1): 232-237. doi: 10.2307/1931961.
Wexler A dan Hasegawa S. 1954. Relative humidity-temperature relationships of some
saturated salt solution in the temperature range 0 oC to 50 oC. J. Res. Natl. Bur.
Stand. 53(1):19-26.
[WHO] World Health Organization. 2006. Setting maximum levels for certain contaminants in foodstuffs. Commission Regulation (EC) NO. 1881//2006.
Wild CP dan Turner PC. 2002. The toxicology of aflatoxins as a basis for public health decisions. Mutagenesis 17(6):471-481.
Wild CP dan Gong YY. 2010. Mycotoxins and human disease: alargely ignored global health issue. Carcinogenesis 31:71-82 .
Wood GE. 1992. Mycotoxins in food and feeds in the United States. J. Anim. Sci. 70(12):3941-3949.
Wu F, Bhatnagar D, Klimke TB, Carbone I, Hellmich R, Munkvold G, Paul P, Payne G, dan Takle E. 2011. Climate change impacts on mycotoxin risks in US maize. World Mycotoxin J. 4(1):79-93.
Yenny. 2006. Aflatoksin dan aflatoksikosis pada manusia. Universa Medicina 25(1):41-52.
Younis YMH dan Malik KM. 2003. TLC dan HPLC assays of aflatoxin contamination in Sudanese peanut and peanut product. Kuwait J. Sci. Eng. 30 (1):79-94.
Yousefi S, Dadgar S, Safara M, dan Zaini F. 2009. Aflatoxin production by Aspergillus flavus isolates from green-tiger shrimps (Penaeus semisulcatus). Iran. J. Microbiol. 1(4):18-22.
(6)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Samalanga Provinsi Aceh pada Tanggal 24 Desember 1986 dari Ayah Usman Hasyim dan Ibu Rosmini dan merupakan anak ketiga dari lima bersaudara. Pendidikan menengah atas diselesaikan di SMUN 4 Banda Aceh tahun 2004. Pendidikan tinggi ditempuh di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
Tahun 2011 penulis melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, pada Program Studi Ilmu Pangan. Tahun 2012 penulis mendapatkan bantuan dana pendidikan melalui program Beasiswa Unggulan on Going 2012 dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Dirjen Dikti).