Perbandingan Keanekaragaman Jenis Mamalia Dan Burung Antara Perkebunan Sawit Besar Dengan Kebun Sawit Swadaya
PERBANDINGAN KEANEKARAGAMAN JENIS MAMALIA DAN
BURUNG ANTARA PERKEBUNAN SAWIT BESAR
DENGAN KEBUN SAWIT SWADAYA
GALUH MASYITHOH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Perbandingan
Keanekaragaman Jenis Mamalia dan Burung antara Perkebunan Sawit Besar
dengan Kebun Sawit Swadaya adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2017
Galuh Masyithoh
NIM E351150226
RINGKASAN
GALUH MASYITHOH. Perbandingan Keanekaragaman Jenis Mamalia dan
Burung antara Perkebunan Sawit Besar dengan Kebun Sawit Swadaya. Dibimbing
oleh YANTO SANTOSA dan ARZYANA SUNKAR.
Salah satu tudingan penyebab menurunnya keanekaragaman hayati adalah
konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Peningkatan luas kebun sawit
swadaya lebih cepat dibanding perkebunan sawit besar menyebabkan ekspansi
kebun sawit swadaya memegang peranan penting dalam perubahan tutupan lahan.
Penelitian terdahulu menunjukan bahwa mamalia dan burung rentan mengalami
penurunan keanekaragaman akibat kebun kelapa sawit. Hal ini menimbulkan
kekhawatiran akan kelestarian keanekaragaman mamalia dan burung.
Penelitian lain menunjukkan bahwa hanya sedikit jenis mamalia dan burung
dari hutan primer dan sekunder yang dapat hidup di kebun sawit. Namun
demikian konversi tutupan lahan seperti tanah terbuka menjadi kebun kelapa sawit
dapat memberikan ekosistem yang baik bagi jenis tertentu. Sehingga perlu
dilakukan penilaian sejauh mana kehilangan potensi tersebut (biodiversity loss).
Selain itu juga perlu dinilai apakah pengembangan kelapa sawit dapat
memberikan dampak positif terhadap keberadaan biodiversitas dengan adanya
penambahan potensi (biodiversity gain). Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengidentifikasi jenis mamalia dan burung di perkebunan sawit besar dan kebun
sawit swadaya; menganalisis kesamaan jenis mamalia dan burung antara
perkebunan sawit besar dengan kebun sawit swadaya; mengidentifikasi persepsi
masyarakat terhadap keberadaan perkebunan sawit besar dan kebun sawit
swadaya; serta menganalisis adanya biodiversity loss dan biodiversity gain.
Penelitian dilakukan di PTPN V Tandun – Tamora (PTN), PT Ivomas
Tunggal (PT IMT), dan 4 keun sawit swadaya (LSS). Pengamatan diulang
sebanyak tiga kali pada pagi (06:00-08:00 WIB) dan sore hari (15:30-17:30 WIB)
dengan menggunakan metode transek garis dan dikombinasikan dengan titik
pengamatan untuk pengamatan burung. Selain itu untuk mamalia dibantu dengan
kamera trap. Wawancara dilakukan dengan teknik accidental sampling
(convenience sampling). Jumlah jenis yang ditemukan dalam penelitian ini adalah
9 jenis mamalia dan 40 jenis burung. Hasil penelitian di PTN menunjukan bahwa
nilai kekayaan jenis mamalia dan burung di perkebunan sawit besar lebih rendah
dibanding kebun sawit swadaya. Hasil yang berbeda terlihat di PT IMT, kekayaan
jenis mamalia dan burung di perkebunan sawit besar lebih tinggi dibanding kebun
sawit swadaya. Masyarakat menilai pengaruh positif perkebunan sawit besar bagi
satwaliar lebih tinggi dibanding kebun sawit swadaya, namun demikian baik
perkebunan sawit besar dan kebun sawit swadaya memiliki pengaruh positif bagi
keberadaan satwaliar. Terdapat biodiversity loss pada kedua perkebunan sawit
besar dikarenakan siamang (Symphalangus syndactylus) tidak dapat ditemukan di
perkebunan sawit. Berdasarkan pendugaan biodiversity gain, pada kedua
perkebunan sawit besar terdapat biodiversity gain yaitu adanya jenis-jenis burung
insektivora dan predator yang ditemukan di perkebunan sawit besar.
Kata kunci: burung, kelapa sawit, mamalia, PT Ivomas Tunggal, PTPN V
Tandun-Tamora
SUMMARY
GALUH MASYITHOH. Comparison of Mammals and Birds Diversity between Largescale Oil Palm Plantation and Independent Smallholder Oil Palm Plantation. Supervised
by YANTO SANTOSA and ARZYANA SUNKAR.
Conversions of forest to oil palm plantations were often blamed for the
decline of biodiversity. Increased of independent smallholder oil palm plantations
area were faster than the large-scale oil palm plantations have caused expansion of
independent oil palm plantations to play important roles in land cover changes.
Previous research have suggested that mammals and birds vulnerable dropped
diversity due to a palm oil plantation. This brings worries about mammals and
birds diversity.
Other research shows that only some of the mammals and birds from
primary and secondary forest can live in oil palm plantations. However land cover
conversions from open ground into oil palm plantation can provide good
ecosystem for certain species. Therefore, it is necessary to assessed the
biodiversity loss. Then, palm oil development need to be assessed to know the
positive impact over the biodiversity existence (biodiversity gain). The purposes
of this research are to identify mammals and birds diversity in large-scale and
independent smallholder oil palm plantations; to analyze the similarity of
mammals and birds species between large-scale oil palm plantation and
independent smallholder oil palm plantation; to identify the public perception of
the existence of large-scale and independent smallholder oil palm plantations; and
to analyze biodiversity loss and biodiversity gain.
This research was conducted in PTPN V Tandun-Tamora (PTN), PT Ivomas
Tunggal (PT IMT), and 4 independent smallholder oil palm plantations (KSS).
Observation was conducted in the morning and afternoon using line transect
method, camera trap, and combined point count observation for birds. Interviews
used accidental sampling technique. Total species found in this study were 9
mammal species and 40 bird species. Based on Margalef species richness index,
the independent smallholder had higher number of mammals and birds than on
PTN. On the contrary, PT IMT had higher number of species than independent
smallholder oil palm plantations. The community considers a positive influence
for wildlife in large-scale oil palm plantation is higher than independent
smallholder oil palm plantations, however both of large-scale and independent
smallholder oil palm plantations have positive influence for wildlife. There were
biodiversity loss because Siamang (Symphalangus syndactylus) could not be
found at both large-scale oil palm plantations. Based on biodiversity gain
assessment, there were biodiversity gain such insectivore and predator birds found
in the oil palm large.
Keywords: bird, mammal, oil palm, PT Ivomas Tunggal, PTPN V TandunTamora.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PERBANDINGAN KEANEKARAGAMAN JENIS MAMALIA DAN
BURUNG ANTARA PERKEBUNAN SAWIT BESAR
DENGAN KEBUN SAWIT SWADAYA
GALUH MASYITHOH
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Novianto Bambang W, MSi
Judul Penelitian
Perbandingan Keanekaragaman Jenis Mamalia dan Burung
antara
Perkebunan
Sawit
Besar
dengan
Kebun
Sawit
Swadaya
Nama
Galuh Masyithoh
NM
E351150226
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
ProfDr Ir Yanto Santosa, DEA
Dr Ir Arzyana Sunkar, MSc
Ketua
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Konservasi Biodiversitas Tropika
Dr Ir Burhanuddin Masy'ud, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 21 Desember 2016
Tanggal Lulus:
1 3 MAR 2017
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian ini adalah keanekaragaman mamalia dan burung di perkebunan kelapa
sawit, dengan judul Perbandingan Keanekaragaman Jenis Mamalia dan Burung
antara Perkebunan Sawit Besar dengan Perkebunan Sawit Swadaya. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan Maret - April 2016. Penyusunan tesis ini tidak terlepas
dari bantuan banyak pihak sehingga penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof Dr Ir Yanto Santosa DEA dan Ibu Dr Ir Arzyana Sunkar, MSc
selaku komisi pembimbing yang telah bersedia membimbing, meluangkan
waktu, mengarahkan, serta memberikan saran sehingga tesis ini dapat
terselesaikan.
2. Bapak Dr Ir Novianto Bambang W, MSi selaku penguji luar komisi pada
ujian tesis saya yang telah meluangkan waktu serta memberikan masukan
untuk penyempurnaan tesis ini.
3. Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit yang telah memberikan
bantuan dana sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan.
4. Pengelola perkebunan sawit besar PTPN V Tandun Tamora dan PT
Ivomas Tunggal serta para pemilik kebun sawit swadaya yang menjadi
lokasi penelitian.
5. Tim peneliti Grant Research Sawit yang telah membantu dalam
pengambilan data.
6. Orang tua tercinta Bapak Drs H Nana Suhana dan Ibu Hj Rr Susilaningsih
yang selalu mendoakan dan melimpahkan kasih sayangnya kepada penulis
dan kakak-kakak yang selalu mendukung penulis.
7. Priscillia Christiani, Rizka Hari YP, Ken Dara Cita, Ilham Ananda, Panji
Prakoso, Kanthi Hardina, Christine DP, Ria Rachmawati, Fakhri Sukma
A, Tenrita Rizkiati, Siti Nurjannah, Hafizah Nahlunisa, Nurkhotimah, dan
KSHE 48 yang selalu mendukung penulis.
8. Teman-teman seperjuangan Konservasi Biodiversitas Tropika (KVT)
tahun 2014 dan 2015 untuk kebersamaan dan dukungannya selama ini.
Demikian ucapan terima kasih ini disampaikan dengan penuh ketulusan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Maret 2017
Galuh Masyithoh
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kerangka Pemikiran
TINJAUAN PUSTAKA
Sejarah Perkembangan Perkebunan Kelapa sawit
Dampak Negatif Perkebunan Kelapa sawit
Manfaat Perkebunan Kelapa Sawit
Ukuran Keanekaragaman Jenis
Klasifikasi Mamalia
Klasifikasi Burung
Persepsi
Biodiversity Loss dan Biodiversity Gain
METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Alat dan Instrumen Penelitian
Jenis Data
Metode Pengumpulan Data
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Keanekaragaman Jenis Mamalia
Keanekaragaman Jenis Burung
Kesamaan Jenis Mamalia
Kesamaan Jenis Burung
Persepsi Masyarakat Terhadap Dampak Kebun Sawit bagi Satwaliar
Pendugaan Biodiversity Loss dan Biodiversity Gain
SIMPULAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
vi
vi
vi
1
2
3
3
3
5
7
7
8
10
11
11
12
12
12
12
13
15
16
19
21
23
24
25
26
28
29
30
34
40
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
Stok karbon pada hutan gambut, primer, gambut sekunder, dan kelapa
sawit
Kategori respon skala Likert
Nilai tingkat persepsi berdasarkan interval tanggapan
Kondisi umum lokasi penelitian
Tingkat kesamaan jenis mamalia
Tingkat kesamaan jenis burung
Persepsi masyarakat terhadap perkebunan sawit besar dan kebun
sawit swadaya
Jenis primata yang dilindungi berdasarkan PP No 7 Tahun 1999
8
16
16
15
24
24
25
27
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Kerangka pemikiran penelitian
Peta lokasi penelitian
Desain transek pengamatan mamalia dan burung
Pemasangan kamera trap pada tanaman sawit
Kucing kuwuk (Prionailurus bengalensis)
Perbandigan jumlah jenis mamalia pada kedua lokasi PSB
Perbandingan nilai kekayaan jenis mamalia pada kedua lokasi PSB
Mamalia yang ditemukan di areal NKT
Perbandingan jumlah dan nilai kekayaan jenis burung
Perbandingan jenis burung berdasarkan guild
Perbandingan antara jenis yag dapat ditemukan di hutan sekunder
dengan jenis yang tidak dapat ditemukan di hutan sekunder
4
13
13
14
19
20
20
21
22
23
27
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
Jenis mamalia yang ditemukan
Jenis burung yang ditemukan
Kuisioner persepsi masyarakat terhadap dampak PSB
Kuisioner persepsi masyarakat terhadap dampak KSS
35
36
39
39
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah satu tudingan penyebab menurunnya keanekaragaman hayati adalah
konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit (Donald 2004). Perkebunan
kelapa sawit di Indonesia dibagi menjadi dua tipe kepemilikan yaitu: perusahaan
besar (pemerintah atau swasta) dan kebun rakyat, yang juga terbagi menjadi dua
yaitu kebun sawit kemitraan (scheme smallholders) dan kebun sawit swadaya
(independent smallholders) (Baswir et al. 2009). Provinsi Riau pada tahun 2015,
merupakan provinsi yang mempunyai perkebunan kelapa sawit terluas dengan
perkiraan luas sebesar 2.4 juta ha dan total produksi sebanyak 7.4 juta ton
(Ditjenbun 2014). Data Direktorat Jenderal Perkebunan (2014) menunjukkan luas
total kebun sawit swadaya (KSS) di Sumatera sejak tahun 2013 hingga 2015
diperkirakan telah mengalami peningkatan sebanyak 8.8% dari luas total 3.4 juta
ha menjadi 3.7 juta ha, sedangkan perkebunan sawit besar (PSB) diperkirakan
mengalami peningkatan sebesar 6.2% dari luas total 3.2 juta ha menjadi 3.4 juta
ha. Peningkatan luas KSS yang lebih cepat dibanding PSB disinyalir memberi
dampak negatif bagi keanekaragaman hayati (Sodhi et al. 2004) dan menyebabkan
ekspansi kebun sawit swadaya memegang peranan penting dalam perubahan
tutupan lahan (Lee et al. 2013).
Penelitian Srinivas dan Koh (2016) serta Muin (2013) menunjukkan bahwa
mamalia dan burung rentan mengalami penurunan keanekaragaman sebagai
dampak dari alih fungsi lahan ke kebun kelapa sawit. Hal ini menimbulkan
kekhawatiran terhadap kelestarian keanekaragaman mamalia dan burung.
Chiroptera dan Primata merupakan mamalia yang berperan penting sebagai agen
penyerbuk, pemencar biji, dan pengendali populasi serangga hama tanaman sawit
(Cardillo et al 2005 dalam Kartono 2015). Adanya kecenderungan spesialisasi
terhadap habitat, menjadi penyebab menurunnya kekayaan dan kelimpahan jenis
mamalia di perkebunan kelapa sawit (Kartono 2015). Kartono (2015) menemukan
bahwa, pada kawasan karst yang dipertahankan sebagai areal HCV (High
Conservation Value) di dalam perkebunan kelapa sawit, indeks keanekaragaman
mamalianya lebih tinggi dibandingkan dengan hutan sekunder. Selain mamalia,
burung juga memiliki peran penting sebagai indikator keanekaragaman spesies
(BirdLife International 2010) dan indikator untuk memperkirakan respon dari
taksa lain terhadap konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit (Edwards et
al. 2014). Penelitian yang dilakukan Yoza (2000) dan Fitzherbert et al. (2008)
menunjukkan bahwa walaupun pada awalnya pembangunan perkebunan kelapa
sawit menyebabkan penurunan keanekaragaman burung, namun seiring dengan
pertumbuhan tanaman sawit, keanekaragaman burung semakin meningkat.
Konversi tutupan lahan dengan potensi rendah seperti tanah terbuka menjadi
kebun kelapa sawit, dapat memberikan habitat yang baik bagi spesies-spesies
tertentu (Muin 2013). Perlindungan terhadap keanekaragaman burung di
perkebunan kelapa sawit dapat menguntungkan karena burung insektivora dapat
menjadi pengendali serangga hama pertanian (Altieri 1999; Najera dan Simonetti
2010). Penelitian terkait keanekaragaman mamalia dan burung di PSB telah
banyak dilakukan (Aratrakorn et al. 2006; Koh 2008; Kartono 2015; Srinivas dan
2
Koh 2016) akan tetapi data mengenai keanekaragaman mamalia dan burung di
KSS masih sedikit yang diketahui (Azhar et al. 2015), terutama di Indonesia.
Sehingga perlu dilakukan penilaian terhadap hilangnya potensi tersebut
(biodiversity loss). Selain itu juga perlu dinilai apakah pengembangan kelapa
sawit dapat memberikan dampak positif terhadap keberadaan biodiversitas dengan
adanya penambahan potensi (biodiversity gain) (Muin 2013). Dalam
pengembangan perkebunan kelapa sawit diharapkan mampu meminimalisir
terjadinya biodiversity loss, untuk itu diperlukan pengelolaan kebun sawit yang
mendukung kelestarian keanekaragaman hayati. Hal ini dipengaruhi oleh persepsi
setiap stakeholder terhadap prinsip dan prioritas pengelolaannya (Aikanathan et
al. 2015). Pengetahuan mengenai persepsi masyarakat sekitar terhadap
perkebunan sawit penting unuk diketahui. Persepsi individu terhadap
lingkungannya memegang peranan penting karena akan berpengaruh dalam
menentukan tindakan individu tersebut (Asngari 1984 dalam Erwina 2005).
Perumusan Masalah
Perkebunan kelapa sawit kerap dituding sebagai penyebab menurunnya
keanekaragaman hayati (Donald 2004; Fitzherbert 2008) yang diduga karena
sistem penanaman yang monokultur dan tidak adanya komponen utama vegetasi
hutan yang meliputi pepohonan hutan, liana dan anggrek epifit (Danielsen et al.
2009). Keberadaan areal HCV (High Conservation Value) dapat membantu dalam
meningkatkan keanekaragaman jenis pada habitat tersebut, sebagaimana
diungkapkan oleh MacArthur & MacArthur (1961), bahwa peningkatan jumlah
habitat yang berbeda dapat menyebabkan terjadinya peningkatan keragaman
spesies, seperti dibuktikan dalam penelitian Kartono (2015).
Pengetahuan mengenai dampak perkebunan kelapa sawit bagi keberadaan
satwaliar memerlukan penelitian mengenai keanekaragaman jenis serta
pendekatan terhadap masyarakat untuk mengetahui persepsi masyarakat mengenai
hal tersebut. Selain itu, penilaian mengenai biodiversity loss dan biodiversity gain
penting untuk dilakukan agar dapat mengetahui kondisi keanekaragaman hayati
burung yang ada di perkebunan kelapa sawit tersebut. Hal ini memunculkan
pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Apa saja jenis mamalia dan burung yang terdapat di perkebunan kelapa
sawit?
2. Apakah terdapat perbedaan jenis mamalia dan burung di perkebunan sawit
besar dengan kebun sawit swadaya?
3. Bagaimana tingkat kesamaan jenis mamalia dan burung antara perkebunan
sawit besar dengan kebun sawit swadaya?
4. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap dampak perkebunan sawit besar
dan kebun sawit swadaya bagi satwaliar?
5. Apakah terjadi biodiversity loss atau biodiversity gain pada kawasan
tersebut?
3
Tujuan
1.
2.
3.
4.
Tujuan dari penelitian adalah untuk:
Mengidentifikasi jenis mamalia dan burung berdasarkan tipe tutupan lahan di
perkebunan kelapa sawit swasta dan rakyat.
Membandingkan kesamaan jenis mamalia dan burung di perkebunan sawit
besar dan kebun sawit swadaya.
Mengidentifikasi persepsi masyarakat terhadap dampak perkebunan sawit
besar dan kebun sawit swadaya bagi keberadaan satwaliar.
Menganalisis kemungkinan adanya biodiversity loss dan biodiversity gain.
Manfaat
1.
2.
Penelitian ini bermanfaat sebagai:
Salah satu sumber informasi perkembangan keanekaragaman mamalia dan
burung di perkebunan sawit besar dan kebun sawit swadaya.
Salah satu dasar pertimbangan dalam mengembangkan perkebunan kelapa
sawit berwawasan konservasi.
Kerangka Pemikiran
Perkebunan kelapa sawit dituding menyebabkan adanya penurunan
biodiversitas. Dalam penelitian ini, yang akan menjadi lokasi penelitian adalah
perkebunan sawit besar dan kebun sawit swadaya. Hal ini karena adanya
perbedaan pengelolaan perkebunan yang diduga dapat mempengaruhi
keanekaragaman mamalia dan burung di perkebunan kelapa sawit. Pengamatan
untuk memperoleh data mengenai jenis mamalia dan burung dilakukan di 5 tipe
tutupan lahan yaitu areal kebun sawit termuda, areal kebun sawit tertua, kawasan
konservasi yang terdapat di areal kebun sawit, dan dua kebun sawit swadaya yang
terdekat dengan perkebunan sawit besar. Data yang diperoleh dari hasil
pengamatan akan dianalisis untuk mengetahui tingkat keragaman dan kesamaan
komunitas. Data keanekaragaman mamalia dan burung berdasarkan tutupan lahan
digunakan untuk menduga adanya biodiversity loss dan biodiversity gain di
perkebunan sawit besar. Selain itu, dilakukan wawancara terhadap masyarakat
yang tinggal di dekat perkebunan sawit besar dan kebun sawit swadaya.
Wawancara dilakukan untuk memperoleh data mengenai persepsi masyarakat
terhadap dampak perkebunan sawit besar dan kebun sawit swadaya bagi satwaliar.
Kerangka pemikiran yang telah diuraikan di atas secara skematis disajikan pada
Gambar 1.
4
Persepsi masyarakat
Jenis mamalia dan burung
di PSB dan KSS
Analisis Data
Adanya areal NKT di
PSB
Luas KSS lebih sempit
dibanding PSB
Perbedaan keanekaragaman jenis mamalia
dan burung di PSB dan KSS
Kebun sawit swadaya
(KSS)
Tudingan penyebab
menurunnya
biodiversitas
Perkebunan Sawit Besar (PSB)
Hasil:
Keanekaragaman jenis mamalia dan burung di PSB dan KSS
Kesamaan jenis mamalia dan burung antara PSB dengan KSS
Persepsi masyarakat terhadap PSB dan KSS
Analisis adanya biodiversity loss dan biodiversity gain
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian
5
TINJAUAN PUSTAKA
Sejarah Perkembangan Perkebunan Kelapa sawit
Kelapa sawit merupakan tanaman yang berasal dari Afrika Barat, terutama
disekitar Angola sampai Senegal (GAPKI 2014). Kelapa sawit pertama kali
diperkenalkan di Indonesia oleh pemerintah Kolonial Belanda untuk kemudian
ditanam di Kebun Raya Bogor pada tahun 1848. Sedangkan untuk perkebunan
kelapa sawit modern pertama mulai berkembang di pantai timur Sumatera (Deli)
dan Aceh pada tahun 1911 (Fauzi et al 2012.).
Sejarah pembukaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia terbagi dalam 5
periode, yaitu (Pahan 2006):
1. Periode penjajahan Belanda (1600-1942)
Pada awalnya sistem perkebunan di Indonesia menganut sistem
tradisional. Saat VOC datang pada tahun 1600, sistem ini berubah menjadi
perusahaan perkebunan melalui perubahan teknologi dan organisasi proses
produksi. Pada masa tersebut, sistem usaha kebun rakyat dieksploitasi
sebagai komoditi perdagangan Belanda. Fauzi et al (2012)
mengungkapkan bahwa Indonesia kala itu mampu menggeser dominasi
ekspor afrika, namun demikian hal ini hanya meningkatkan perekonomian
Belanda, tanpa meningkatkan perekonomian nasional Indonesia.
Perubahan kebijakan politik kolonial yang semula menganut
kebijaksanaan politik konservatif beralih menjadi kebijaksanaan politik
liberal pada tahun 1870-an yang ditandai dengan dikeluarkannya undangundang Agraria. Undang-undang Agraria 1870 menjadi pintu masuknya
modal besar swasta di bidang perkebunan. Sistem ini menyebabkan
munculnya investasi besar-besaran swasta asing (khususnya Belanda) dan
sejumlah perkebunan besar di Jawa dan Sumatera.
2. Periode pendudukan Jepang (1942-1945)
Pada masa pendudukan Jepang, ekonomi perkebunan mengalami
penurunan karena kebijaksanaan pemerintah Jepang dalam meningkatkan
produksi pangan untuk kepentingan ekonomi perang dengan melakukan
pergantian tanaman perkebunan menjadi tanaman pangan. Pada masa itu
sebanyak 16% dari lahan sawit diubah menjadi lahan tanaman pangan.
3. Masa pemulihan perkebunan (1945-1955)
Selama periode 1945-1949 politik di Indonesia masih belum stabil.
Hal ini menyebabkan pembangunan dan perkembangan ekonomi menjadi
terkendala dan merosot. Kemudian dilakukan Konferensi Meja Bundar
tahun 1949 di Den Haag yang menghasilkan ketentuan bahwa perkebunan
yang sebelumnya dikuasai oleh pemerintah kolonial Belanda dan swasta
asing akan diambil alih oleh pemerintah Indonesia. Program pemulihan
perkebunan oleh pemerintah Indonesia ini dimulai pada tahun 1951 yang
menjadi titik awal beroperasinya kembali perusahaan perkebunan di pulau
Jawa dan luar Jawa.
4. Periode pengalihan/nasionalisasi perkebunan dari swasta asing ke
PNP/PTP dan perkembangan pada pemerintahan orde baru (1956-1990 an)
6
Perusahaan perkebunan (termasuk kelapa sawit) milik kolonial
Belanda dinasionalisasi menjadi Perkebunan Negara atau sekarang dikenal
dengan Perusahaan Perkebunan Negara (PTN) dipicu oleh tuntutan
pemerintah Indonesia atas kedaulatan Irian Barat. Kondisi ini mendorong
Perdana Menteri/ Menteri Pertahanan Djuanda Kartawidjaja mengeluarkan
peraturan yang menempatkan selurug perkebunan Belanda berada dalam
yuridiksi Republik Indonesia dan Menteri Pertanian memegang wewenang
untuk mengeluarkan peraturan yang diperlukan. Pada tahun 1960
dikeluarkan Undang-Undang No.5 mengenai pokok-pokok agraria dan
Undang-Undang penanaman modal dalam negri (PMDN) serta Penanaman
Modal Asing (PMA) (UU No.1 tahun 1967 dan UU No.6 tahun 1968). Hal
tersebut memicu perkembangan luas areal kelapa sawit, namun hingga
tahun 1976 perkebunan kelapa sawit di Indonesia hanya terdiri atas
perkebunan negara dan perkebunan swasta. Perkebunan kelapa sawit
rakyat muncul pada tahun 1980 setelah dikeluarkannya kebijakan
Perkebunan Inti rakyat (PIR) dimana perkebunan swasta dan perebunan
negara berperan sebagai inti sedangkan masyarakat sekitar sebagai anggota
koperasi. Pemerintah juga memberi dukungan melalui penyediaan
perkreditan murah yaitu Kredit Perkebunan Besar Swasta Negara (PBSN)
mulai dari PBSN I (1977-1981), PBSN II (1981-1986), dan PBSN III
(1986-1990) dan kemudian berubah menjadi kredit koperasi primer
anggota (KKPA) untuk koperasi di tahun 1996. Pola PIR yang
dikembangkan antara lain adalah PIR Lokal (1980), PIR Trans.migrasi
(1986), dan PIR-berbantuan Asian Development. (Tarigan dan Sipayung,
2011).
5. Periode pembangunan perkebunan 2000-2004 dan awal pelaksanaan UU
Perkebunan no. 18 tahun 2004
Kegiatan pembangunan pada tahun 2000-2004 merupakan era
reformasi pembangunan di segala bidang yang menyebabkan perubahan
paradigm manajemen pembangunan nasional yang semula di bawah
kewenangan pemerintah menjadi kewenangan propinsi sebagai daerah
otonom. Paradigma pembangunan pada era otonomi daerah memposisikan
masyarakat sebagai subjek pembangunan yang secara dinamik dan kreatif
didorong untuk terlibat dalam proses pembangunan, sehingga terjadi
perimbangan kekuasaan (power sharing) antara pemerintah dan
masyarakat. Perubahan paradigm ini menggeser inisiatif yang semula
merupakan dominasi pemerintah menjadi dominasi masyarakat,
pendekatan sektoral menjadi pendekatan jejaring kerja, sentralisasi
menjadi desentralisasi, sistem komando menjadi sistem bebas, dan
pendekatan produksi menjadi pendekatan produktivitas. Pembangunan
perkebunan yang dilakukan memiliki visi untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat, khususnya petani melalui sistem dan usaha
perkebunan yang efektif, efisien, berdaya saing, berkelanjutan, dan
berwawasan lingkungan.
7
Dampak Negatif Perkebunan Kelapa Sawit
Winter (2002) menyatakan bahwa pengelolaan perkebunan dan pengolahan
pasca panen kelapa sawit menimbulkan beberapa dampak negatif terhadap
lingkungan yaitu:
1. Polusi udara
Pembakaran hasil tebangan tanaman pada pembukaan hutan untuk
penanaman baru, pembakaran hasil pangkasan tanaman pada penyiangan
tanaman dewasa, dan kegiatan ekstraksi dan purifikasi minyak di pabrik
penggilingan menjadi penyebab timbulnya polusi udara.
2. Perubahan land scape
Kegiatan pembukaan lahan untuk penanaman dan pembuatan jalan kebun
menyebabkan perubahan land scape yang berakibat pada musnahnya habitat
burung, terjadinya fragmentasi habitat dan timbulnya habitat burung yang sama
sekali berbeda dengan sebelumnya. Kegiatan peremajaan perkebunan
menyebabkan keanekaragaman burung menjadi menurun bahkan menghilang
(Yoza 2000).
3. Penurunan keragaman genetik sebagai akibat dari penggantian spesies alami
yang keragamannya tinggi dengan spesies vegetasi kelapa sawit yang
monokultur (keragaman genetik).
4. Polusi tanah dan air dengan penggunaan pestisida dan pupuk.
Efisiensi penyerapan pupuk N oleh tanaman kelapa sawit hanya 45% dari
jumlah pupuk yang diberikan, begitu juga dengan efisiensi penyerapan pupuk P
dan pupuk K hanya mencapai 35% dan 50% dari jumlah pupuk yang diberikan.
Pupuk yang tidak terserap tersebut akan tercuci ke sungai dan laut sehingga
dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan sepeti matinya biota yang ada di
sungai dan laut (Hidayani 2015). Selain itu penyemprotan pestisida yang
digunakan untuk melindungi kelapa sawit dari hama dan gulma mengakibatkan
menurunnya kemampuan tanah untuk memproses nutrisi mencari bahan yang
berguna bagi tanaman (Dirjennas Perkebunan 2008 dalam Gindho 2009)
5. Polusi tanah akibat pembuangan TBS kosong langsung ke lahan.
6. Perlakuan limbah cair yang kurang baik berakibat pencemaran air sungai.
Manfaat Perkebunan Kelapa sawit
Meskipun kerap dituding memberikan dampak negatif, di sisi lain
perkebunan kelapa sawit memberikan manfaat antara lain:
1. Sebagai salah satu penyerap karbon
Selama ini berkembang anggapan bahwa dengan membuka lahan
gambut menjadi perkebunan kelapa sawit menyebabkan kerusakan
lingkungan dan stok karbon (carbon stock) pada lapisan atas gambut akan
terdekomposisi sehingga mengurangi stok karbon. Anggapan tersebut
tidak sepenuhnya benar karena menurut Sabiham (2013) bahwa stok
karbon perkebunan kelapa sawit gambut makin meningkat (pada lapisan
atas) dengan bertambahnya umur tanaman kelapa sawit. Pada umur 14-15
8
tahun mampu melampaui stok karbon hutan gambut sekunder bahkan
mendekati stok karbon pada hutan gambut primer. Hal ini dijabarkan
dalam tabel 1.
Tabel 1 Stok karbon pada hutan gambut, primer, hutan gambut sekunder,
dan kelapa sawit
Land Use Gambut
Stok Karbon (ton/ha)
Hutan gambut primer
81.8
Hutan gambut sekunder
57.3
Kelapa sawit
5.8
•
Umur < 6 tahun
54.4
•
Umur 9-12 tahun
73.0
•
Umur 14-15 tahun
2. Sebagai bagian dari solusi masalah pangan, energy, ekonomi dan
lingkungan global
Saat ini masyarakat menghadapi krisis pangan, energy, dan
lingkungan yang jika tidak segera ditanggulangi dapat memicu krisis
ekonomi, social, dan keamanan global. Dalam menanggulanginya, muncul
argumen bahwa adanya perkebunan kelapa sawit dapat menjadi salah satu
solusi dalam menganggulangi krisis tersebut. Argument pertama yaitu
produksi minyak sawit adalah berupa bahan pangan dan bahan energi
terbarukan sehingga jika produksinya ditingkatkan akan dapat menekan
krisis pangan dan energi. Argumen kedua, proses produksi perkebunan
kelapa sawit menyerap gas karbon dari atmosfir bumi, dengan demikian
adanya perkebunan kelapa sawit dapat mengurangi emisi gas karbon yang
ada di udara saat ini. Argument ketiga, keberadaan minyak kelapa sawit
sebagai alternative biofuel untuk substitusi penggunaan bahan bakar fosil
maka dapat menekan penggunaan bahan bakar fosil dan emisi gas karbon
dari bahan bakar fosil dapat dikurangi.
3. Sumber devisa negara dan penyerapan tenaga kerja
Industri minyak sawit menyerap tenaga kerja sebanyak ± 6 juta
orang, selain itu industri minyak sawit menjadi sumber devisa negara
terbesar untuk industri non minyak dan gas bumi yaitu menghasilkan
devisa sebesar ± US$ 21.75 miliar atau 14% dari nilai total ekspor
Indonesia pada tahun 2014 (GAPKI dalam BPDPKS 2016).
Ukuran Keanekaragaman Jenis
Keanekaragaman hayati atau biological diversity (biodiversity) adalah
seluruh keanekaan bentuk kehidupan di muka bumi ini, beserta interaksinya
(BAPPENAS 2003). Keanekaragaman hayati memiliki dua komponen utama,
yaitu kekayaan jenis yang merupakan jumlah jenis dari suatu area dan kemerataan
jenis yang merupakan kelimpahan relatif suatu individu pada setiap spesies
(Feldhamer et al. 1999). Kedua komponen tersebut memiliki nilai perhitungan
yang dikenal dengan indeks kekayaan jenis dan indeks kemerataan jenis. Ludwig
dan Reynolds (1988) menyatakan bahwa indeks tersebut digabungkan menjadi
9
satu nilai yang sama dengan indeks keanekaragaman. Berbeda halnya dengan
Peday dalam Santosa et al. (2016) yang menyatakan bahwa indeks
keanekaragaman jenis (Species Diversity Index) adalah ciri tingkatan komunitas
berdasarkan organisasi biologinya yang merupakan penggabungan kekayaan dan
kesamaan jenis (species richness and evenness). Indeks kesamaan jenis dapat
digunakan untuk melihat kesamaan antar komunitas burung di setiap tipe vegetasi
(Kaban 2013).
Kekayaan jenis merupakan hal utama dalam mempelajari biodiversitas
(Magurran 1988). Konsep kekayaan jenis pertama kali dicetuskan oleh Mcinthos
pada tahun 1967. Kekayaan jenis adalah jumlah jenis (spesies) dalam suatu
komunitas. Persoalan mendasar yang merupakan kendala penting dalam
penerapan konsep “kekayaan jenis” adalah bahwasanya seringkali tidak mungkin
untuk menghitung semua jenis yang hidup dan tinggal dalam suatu komunitas
alamiah. Oleh karena itu perlu dilakukan pendugaan.
Menurut Yapp (1979) dalam Ludwig & Reynolds (1988) kekayaan jenis
(S) adalah jumlah total jenis dalam suatu komunitas. Nilai S tergantung pada
ukuran sampel dan waktu pengambilan data, sehingga S dihitung sebagai indeks
perbandingan. Indeks kekayaan jenis pada dasarnya merupakan indikator
keragaman jenis yang didasarkan pada pengukuran terhadap banyaknya jenis yang
dijumpai dalam suatu habitat yang homogen. Terdapat beberapa indeks kekayaan
jenis yang tidak tergantung pada ukuran sampel, namun dihitung berdasarkan
jumlah individu yang teramati (n) yang jumlahnya meningkat seiring dengan
pertambahan ukuran sampel. Indeks untuk menghitung kekayaan jenis antara lain:
1. Indeks Margalef (1958)
Boontawe et al (1995) mengatakan bahwa nilai indeks margalef akan
semakin besar seiring dengan semakin luasnya plot contoh yang digunakan,
dan semakin tinggi juga keanekaragamannya yang ditunjukkan pula oleh
semakin besar nilai kekayaan jenisnya. Whilm (1967) mengatakan bahwa
indeks ini baik digunakan jika suatu komunitas memiliki keanekaragaman
spesifik pada luasan tertentu yang cukup besar. Boyle et al. (1990)
menunjukkan bahwa indeks Margalef memiliki sensitivitas tinggi terhadap
struktur suatu komunitas, khususnya pada jumlah spesies yang rendah. Hal ini
diperkuat dengan hasil penelitian Kusuma (2007) yang membuktikan bahwa
indeks margalef merupakanindeks yang paling responsif terhadap perubahan
jumlah spesies dan jumlah individu.
2. Indeks Menhinick
Indeks Menhinick merupakan indeks yang lebih bebas terhadap ukuran
contoh. Menurut Whilm (1967) indeks ini memiliki tingkat kesalahan yang
lebih tinggi jika dibandingkan dengan indeks Margalef. Namun Indeks
Menhinick tidak terpengaruh oleh penambahan ukuran contoh sehingga
nilainya cenderung stabil.
3. Metode Rarefaction
Pada prakteknya ternyata tidak mudah untuk menjamin keseragaman
ukuran unit contoh. Sehubungan dengan ini, Sanders (1968) mengusulkan
alterenatif pemecahan masalah dengan menggunakan metoda “rarefaction”.
Melalui metoda ini dapat dihitung nilai harapan jumlah jenis dalam setiap unit
contoh yang berukuran sama. Adapun perhitungannya didasarkan pada rumus
Sanders yang telah disempurnakan oleh Hurlbert (1971).
10
4.
Penduga Jackknife
Metode yang menggunakan penduga non parametrik untuk menghitung
kekayaan spesies ketika penarikan contoh komunitas dilakukan dengan
metode kuadrat adalah penduga Jackknife. Dalam metode ini dihitung
berdasarkan frekuensi spesies jarang/unik yang berada suatu komunitas.
Spesies jarang/unik didefinisikan sebagai spesies yang ditemukan pada satu
dan hanya satu plot contoh. Nilai dugaan ini bersifat absolut yaitu jumlah
spesies (tidak berupa indeks). Menurut Kreb (1989) metode ini cenderung
overestimate sehingga tidak dapat digunakan pada komunitas dengan jumlah
spesies jarang/unik yang tinggi atau komunitas yang jumlah sampelnya terlalu
kecil.
Klasifikasi Mamalia
Mamalia berasal dari kata mammilae yang berarti hewan menyusui, suatu
kelas vertebrata (hewan bertulang belakang) dengan ciri seperti adanya bulu di
badan dan adanya kelenjar susu pada betina. Mamalia terdiri dari monotremata
(hewan berkloaka atau mamalia petelur), marsupialia (hewan berkantung atau
hewan dengan kantung tempat anaknya tinggal beberapa waktu sesudah lahir) dan
mamalia placental disebut juga placentalia (hewan yang memberi makan pada
janin melalui placenta sejati) (Ensiklopedi Indonesia 1992).
Mamalia merupakan kelompok tertinggi taksonominya dalam dunia hewan.
Secara umum mamalia memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Ensiklopedi Indonesia
1992):
1. Tubuh biasanya ditutupi rambut yang lepas secara periodik, kulit banyak
mengandung kelenjar keringat dan kelenjar susu.
2. Berjalan tegak, memiliki empat anggota kaki (kecuali anjing laut dan singa laut
tidak memiliki kaki belakang), masing-masing kaki memiliki kurang lebih lima
jari yang bermacam-macam bentuknya disesuaikan dengan fungsinya. Tungkai
tubuh ada di bawah badan.
3. Heterodontia (beranekaragaman jenis gigi dengan bermacam fungsi)
4. Pernafasan dengan paru-paru, hasil ekresi berupa cairan urine.
5. Homoiothermia (hewan berdarah panas). Suhu tubuh tidak dipengaruhi suhu
lingkungan.
6. Hewan jantan memiliki alat kopulasi berupa penis, fertilisasi terjadi di dalam
tubuh hewan betina.
Mamalia hidup di berbagai habitat, mulai dari kutub sampai daerah equator.
Beberapa jenis mamalia kebanyakan ditemukan di dataran rendah, lainnya
kebanyakan ditemukan di daerah pegunungan serta beberapa jenis di pegunungan
tinggi (Alikodra 2002). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Kartono (2015) di
perkebunan kelapa sawit PT Sukses Tani Nusasubur Kalimantan Timur, jenisjenis mamalia yang ditemukan di perkebunan kelapa sawit antara lain kucing
kuwuk (P. bengalensis), kucing tandang (P. planiceps), lutung merah (P.
rubicunda), kijang muncak (M. muntjak), tikus belukar (R. tiomanicus), owa
kalawat (H. muelleri), babi berjenggot (S. barbatus), musang luwak (P.
hermaphroditus), dan tupai tercat (T. picta). Chiroptera dan Primata merupakan
mamalia yang berperan penting sebagai agen penyerbuk, pemencar biji, dan
11
pengendali populasi serangga hama tanaman pertanian (Cardillo et al 2005 dalam
Kartono 2015).
Klasifikasi Burung
Burung merupakan salah satu dari lima kelas hewan bertulang belakang,
termasuk kelas Aves dalam filum Chordata, kerajaan Animalia yang memiliki 27
bangsa dan 158 suku. Burung berdarah panas dan berkembangbiak melalui telur.
Tubuhnya tertutup bulu dan memiliki bermacam-macam adaptasi untuk terbang.
Burung memiliki pertukaran zat yang cepat kerena terbang memerlukan banyak
energi. Suhu tubuhnya tinggi dan tetap sehingga kebutuhan makanannya banyak
(Redaksi Ensiklopedi Indonesia 1992). Welty (1982) mendiskripsikan burung
sebagai hewan yang memiliki bulu, tungkai atau lengan depan termodifikasi untuk
terbang, tungkai belakang teradaptasi untuk berjalan, berenang dan hinggap, paruh
tidak bergigi, jantung memiliki empat ruang, rangka ringan, memiliki kantong
udara, berdarah panas, tidak memiliki kandung kemih dan bertelur. Burung dapat
menempati tipe habitat yang beranekaragam, baik habitat hutan maupun habitat
bukan hutan. Secara umum, burung memanfaatkan habitat sebagai tempat mencari
makan, beraktivitas, berkembangbiak dan berlindung (Welty 1982). Berdasarkan
hasil penelitian Yoza (2000) di PT Ramajaya Pramukti Kabupaten Kampar
Provinsi Riau, jenis-jenis burung yang terdapat di perkebunan kelapa sawit
merupakan pemakan serangga, pemakan buah-buahan, pemakan biji, pengisap
madu, pemakan daging, dan pemakan macam-macam jenis makanan.
Persepsi
Persepsi adalah pandangan, penilaian, interpretasi, harapan, atau aspirasi
seseorang terhadap obyek. Persepsi dibentuk melalui serangkaian proses (kognisi)
yang diawali dengan menerima rangsangan atau stimulus dari obyek oleh indera
dan dipahami dengan interpretasi atau penafsiran tentang obyek yang dimaksud
(Harihanto 2001). Seluruh indra manusia memegang peranan penting dalam
meneruskan informasi dan otak akan mengolahnya melalui tahap pemaparan,
perhatian, dan pemaknaan. Persepsi merupakan hasil kerja otak dalam memahami
atau menilai suatu hal yang terjadi di sekitarnya (Waidi dalam Khayati 2016)
yang diperoleh melalui pengalaman langsung dari objek dan informasi dari
berbagai sumber lainnya (Sumarwan 2004). Artinya persepsi dapat diartikan
sebagai suatu objek yang dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal
(Setiawati 2010). Faktor internal merupakan faktor yang bersumber dari dalam
diri individu, sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari
lingkungan luar individu. Menurut Calhoun dan Acocella (1990) dalam Suharni
(2010), persepsi memiliki tiga dimensi yang menandai konsep diri, yaitu
pengetahuan, pengharapan, dan evaluasi.
12
Biodiversity Loss dan Biodiversity Gain
Kehilangan potensi keanekaragaman hayati (biodiversity loss)
didefinisikan sebagai hilang atau berkurangnya jumlah jenis tumbuhan atau
satwaliar tertentu yang dulunya mudah dijumpai atau dapat diidentifikasi karena
adanya perubahan tutupan lahan akibat kegiatan manusia. Perubahan tutupan
lahan (hutan dan semak belukar) akibat aktivitas manusia dan pembangunan
menjadi lahan perkebunan kelapa sawit, akan berdampak pula pada perubahan
kondisi dan potensi keanekaragaman hayatinya (Muin 2013). Perubahan itu dapat
berupa berkurang atau hilangnya potensi keanekaragaman hayati (biodiversity
loss), namun perubahan tutupan lahan yang semula merupakan lahan dengan
potensi keanekaragaman hayati rendah dikonversi menjadi lahan perkebunan
sawit, memungkinkan adanya penambahan potensi keanekaragaman hayati.
Berdasarkan penelitian Muin (2013) di tiga perkebunan sawit di
Kalimantan Tengah, pembangunan perkebunan kelapa sawit menyebabkan
biodiversity loss yaitu hilangnya orangutan, owa, dan trenggiling dari lokasi
tersebut karena hutan yang merupakan habitatnya telah berubah menjadi
perkebunan sawit. Selain itu trenggiling banyak diburu untuk diperjualbelikan di
pasar lokal atau diselundupkan. Selain itu, biodiversity gain juga terjadi di lokasi
tersebut berupa adanya satwa predator yang seperti ular sawah (Phyton
reticulatus), beluk ketupa (Ketupa ketupu), dan kukuk beluk (Strix
leptogrammica). Satwa predator ini membantu dalam memangsa tikus yang
merupakan hama di perkebunan sawit. Penelitian yang dilakukan Kartono (2015)
di PT STN menunjukkan adanya biodiversity loss karena jenis beruang madu
(Helarctos malayanus) dan landak raya (Hystrix brachyura) hanya dapat
ditemukan di hutan sekunder. Kedua jenis ini diduga merupakan spesies spesialis.
Yaap et al. (2010) menyatakan bahwa spesies generalis memiliki respon positif
dan dapat berkembang di habitat hutan sekunder atau hutan tanaman, sedangkan
spesies spesialis akan mengalami penurunan atau bahkan punah secara lokal.
METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di PSB PTN V Tandun – Tamora (PTN), KSS1, dan
KSS2 yang terletak di Kabupaten Kampar serta PSB PT Ivo Mas Tunggal (PT
IMT), KSS3, dan KSS4 di Kabupaten Siak, Provinsi Riau pada bulan Maret-April
2016 (Gambar 2).
Alat dan Instrumen Penelitian
Peralatan yang digunakan adalah field guide mamalia dan burung, GPS,
kamera, tallysheet pengamatan, binokuler, alat tulis, dan kamera trap. Instrumen
yang digunakan adalah panduan penyataan dengan Skala Likert dan panduan
kuesioner.
13
Gambar 2 Peta lokasi penelitian
Metode Pengumpulan Data
Pengamatan langsung
Data keanekaragaman jenis mamalia dan burung pada berbagai jenis
tutupan lahan di PSB dan KSS diamati pada 1 jalur pengamatan untuk masingmasing tutupan lahan/kelas umur. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa
keanekeragaman jenis mamalia dan burung pada satu jenis tutupan lahan/kelas
umur yang sama bersifat homogen. Selain itu umumnya untuk areal Nilai
Konservati Tinggi (NKT) dan KSS luasnya relatif terbatas (1-4 ha). Inventarisasi
keanekaragaman jenis mamalia dan burung dilakukan dengan menggunakan
metode kombinasi transek garis (line transect) dan titik pengamatan (point
observation). Jalur transek berjumlah 10 jalur dengan panjang 1 km dan lebar 200
m per jalur (Gambar 3).
S
100 m
100 m
o
Arah lintasan pengamat
o
S
Keterangan: S = posisi satwa; o = posisi pengamat
Gambar 3 Desain transek pengamatan mamalia dan burung
14
Pengamatan dilakukan pagi (06:00-08:00 WIB) dan sore (15:30-17:30 WIB)
yang diulang sebanyak 3 kali. Pengamatan dilakukan pada 5 tipe tutupan lahan
yaitu:
1. Areal sawit termuda (SM);
2. Areal sawit tertua (ST);
3. Areal nilai konservasi tinggi (NKT) yang terdapat di perkebunan sawit besar;
dan
4. Dua KSS yang terdekat dengan perkebunan sawit besar.
Pengamatan dengan kamera trap
Pengamatan dengan menggunakan kamera trap dilakukan untuk
mengambil data tambahan mamalia. Hal ini dilakukan karena terdapat mamalia
yang sensitif terhadap keberadaan manusia, sehingga untuk menangkap
keberadaannya, diperlukan bantuan kamera trap. Total kamera trap yang dipasang
yaitu sebanyak 10 unit. Kamera trap ini dipasang di areal sawit tertua sebanyak 5
unit dan areal NKT sebanyak 5 unit.
Gambar 4 Pemasangan kamera trap pada tanaman sawit
Wawancara dan Skala Likert
Wawancara dilakukan dengan bantuan kuesioner untuk mendapatkan
informasi tambahan dari masyarakat terkait jenis keanekaragamana hayati yang
ditemukan di perkebunan sawit. Pengumpulan informasi mengenai persepsi
masyarakat sekitar kebun sawit dilakukan dengan menggunakan skala likert.
Teknik sampling yang digunakan adalah accidental sampling (convenience
sampling), karena populasi yang diteliti tidak diketahui jumlahnya. Teknik ini
mengambil responden sebagai sampel berdasarkan kebetulan,yaitu siapa saja yang
secara kebetulan bertemu dengan peneliti. Responden pada penelitian di PTN
berjumlah 47 orang yang berasal dari Desa Sungai Agung dan untuk PT IMT
berasal dari Desa Jambai Timur berjumlah 41 orang. Pernyataan yang dikaji
menggunakan Skala Likert sebanyak 3 pernyataan untuk persepsi terhadap PSB
dan KSS.
15
Analisis Data
Indeks kekayaan jenis
Kekayaan jenis merupakan salah satu kata kunci yang perlu diperhatikan
pada keaneka-ragaman hayati (Magurran 1988). kekayaan jenis dihitung dengan
menggunakan indeks Margalef sebagai berikut:
Dmg
=
S–1
ln (N)
Keterangan
Dmg = Indeks Margalef
S = Jumlah Jenis
N = Jumlah Individu Seluruh Spesies
Indeks kesamaan komunitas
Untuk melihat tingkat kesamaan komunitas antara tipe tutupan lahan di
setiap perkebunan kelapa sawit maka digunakan indeks kesamaan. Perhitungan
tingkat kesamaan jenis yang digunakan adalah indeks kesamaan jenis Sorensen
(Magurran 1988):
IS = 2*C/(A+B)
Keterangan :
IS : Indeks Similaritas
A : Jumlah spesies di lokasi A
B : Jumlah spesies di lokasi B
C : Jumlah spesies yang berada pada kedua lokasi A dan B
Kriteria
IS < 50% Indeks Similaritas rendah
IS > 50% Indeks Similaritas tinggi
Persepsi masyarakat
Persepsi masyarakat diukur melalui sejumlah pernyataan tentang pandangan
mengenai dampak yang ditimbulkan oleh keberadaan kebun kelapa sawit
swadaya. Pengukuran persepsi dalam penelitian ini menggunakan Skala Likert
yang terdiri dari pernyataan positif dengan lima alternatif pilihan untuk setiap
jawabannya, yaitu dengan skor berurutan yaitu sangat setuju (5) sampai sangat
tidak setuju (1) (Tabel 2). Persepsi selanjutnya dikategorikan menjadi tiga
kelompok besar yaitu baik, sedang, dan buruk berdasarkan standar deviasi.
16
Tabel 2 Kategori respon skala Likert
Skala
1
2
3
4
5
Sering
Selalu
Kadang –
kadang
Jarang
Tidak pernah
Sangat setuju
Setuju
Netral
Tidak setuju
Sangat tidak
setuju
Paling
penting
Penting
Netral
Tidak penting
Sangat tidak
penting
Penggolongan kategori dilakukan berdasarkan total skor yang diperoleh
responden untuk setiap aspek yang diajukan pada pernyataan. Skor dari tiap aspek
dikategorikan berdasarkan interval nilai tanggapan seperti pada Tabel 3.
Tabel 3 Nilai tingkat persepsi berdasarkan interval nilai tanggapan
No
Interval nilai tanggapan
Tingkat persepsi
1
3.8 – 5.1
Baik
2
2.4 – 3.7
Netral
3
2.3 – 1.00
Buruk
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil dan pembahasan dipaparkan dalam 8 sub bab, yaitu: kondisi umum
lokasi penelitian; keanekaragaman jenis mamalia; keanekaragaman jenis burung;
kesamaan jenis mamalia; kesamaan jenis burung; persepsi masyarakat terhadap
dampak kebun sawit bagi satwaliar; serta pendugaan biodiversity loss dan
biodiversity gain.
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di 2 PSB dan 4 KSS yang terletak berdekatan dengan
PSB. Kondisi umum lokasi penelitian ditampilkan dalam Tabel 4.
17
Tabel 4 Kondisi umum lokasi penelitian
Tipe
Tahun
Kondisi
Sumber
Tutupan Tanam Vegetasi
Permukaan
PSB
Air
Lahan
Sawit
Tanah
PTN
NKT
Heterogen Ditutupi
Sungai
tumbuhan
Rambai
bawah
seperti
rumput dan
paku
HS
-
SM
2014
ST
1991
KSS1
1990
PT IMT NKT
-
Heterogen, didominasi
pohon
karet
Homogen Seluruh
permukaan
tanah
tertutup
jenis
kacangkacangan
(mukuna)
Homogen Banyak
tumbuhan
bawah
Homogen Beberapa
bagian
kebun
dibersihkan
dari ilalang,
tetapi
sisanya
masih belum
terawat
sehingga
masih kotor
Heterogen Lantai hutan
tergenang
air, terdapat
Tumbuhan
bawah
seperti
paku-pakuan
dan
Parit
-
Parit
-
Batas Areal
Berada di
tengah
perkebunan
sawit besar,
berbatasan
dengan
kantor
kebun PTN
Berbatasan
langsung
dengan SM
dan KSS1
Berbatasan
langsung
dengan HS
dan kebun
sawit
swadaya
Berada di
dekat
pemukiman
Berbatasan
dengan HS,
kebun
karet, dan
kebun
sawit besar
yang
dibatasi
dengan
parit gajah
Permukaan Berbatasan
tanah
dengan
tergenang areal SM
air
dan
terdapat
sungai
18
Tabel 4 Kondisi umum lokasi penelitian (lanjutan)
Tipe
Tahun
Kondisi
Sumber
Tutupan Tanam Vegetasi
Permukaan
PSB
Air
Lahan
Sawit
Tanah
harendong
bulu. Terdapat
mukuna yang
menginvasi ke
areal NKT
SM
2013 Homogen Permukaan
Parit
tanah tertutup kecil
oleh mukuna
dan serasah
ST
1986
Homogen Banyak
ditumbuhi
tumbuhan
bawah
Aliran
air
KSS3
1994
KSS4
2000
Homogen Ditumbuhi
Parit
ilalang dengan
tinggi sekitar
15-30 cm.
Homogen Permukaan
tanah tertutup
serasah
dan
banyak
ditumbuhi
tumbuhan
bawah
Batas Areal
Berbatasan
langsung
dengan
areal sawit
berumur tua
dan NKT
Areal
ini
terpisah
oleh jalan
poros
perkebunan,
berbatasan
langsung
dengan
sekolah
dasar
Parit
dan
jalan
Berbatasan
langsung
dengan
pemakaman
umum dan
jalan
Merujuk pada penelitian Santosa et al. (2016) yang dilakukan di Provinsi
Riau Tahun 2016, diperoleh informasi bahwa pada PSB PTN tutupan lahan
sebelum menjadi perkebunan sawit merupakan perkebunan karet PTN II Tanjung
Morawa Sumatera Utara dan hutan sekunder. Tutupan lahan yang mendominasi
adalah perkebunan karet. Begitupun halnya dengan PT IMT. Sebelum menjadi
perkebunan sawit, tutupan lahan di PT IMT
BURUNG ANTARA PERKEBUNAN SAWIT BESAR
DENGAN KEBUN SAWIT SWADAYA
GALUH MASYITHOH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Perbandingan
Keanekaragaman Jenis Mamalia dan Burung antara Perkebunan Sawit Besar
dengan Kebun Sawit Swadaya adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2017
Galuh Masyithoh
NIM E351150226
RINGKASAN
GALUH MASYITHOH. Perbandingan Keanekaragaman Jenis Mamalia dan
Burung antara Perkebunan Sawit Besar dengan Kebun Sawit Swadaya. Dibimbing
oleh YANTO SANTOSA dan ARZYANA SUNKAR.
Salah satu tudingan penyebab menurunnya keanekaragaman hayati adalah
konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Peningkatan luas kebun sawit
swadaya lebih cepat dibanding perkebunan sawit besar menyebabkan ekspansi
kebun sawit swadaya memegang peranan penting dalam perubahan tutupan lahan.
Penelitian terdahulu menunjukan bahwa mamalia dan burung rentan mengalami
penurunan keanekaragaman akibat kebun kelapa sawit. Hal ini menimbulkan
kekhawatiran akan kelestarian keanekaragaman mamalia dan burung.
Penelitian lain menunjukkan bahwa hanya sedikit jenis mamalia dan burung
dari hutan primer dan sekunder yang dapat hidup di kebun sawit. Namun
demikian konversi tutupan lahan seperti tanah terbuka menjadi kebun kelapa sawit
dapat memberikan ekosistem yang baik bagi jenis tertentu. Sehingga perlu
dilakukan penilaian sejauh mana kehilangan potensi tersebut (biodiversity loss).
Selain itu juga perlu dinilai apakah pengembangan kelapa sawit dapat
memberikan dampak positif terhadap keberadaan biodiversitas dengan adanya
penambahan potensi (biodiversity gain). Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengidentifikasi jenis mamalia dan burung di perkebunan sawit besar dan kebun
sawit swadaya; menganalisis kesamaan jenis mamalia dan burung antara
perkebunan sawit besar dengan kebun sawit swadaya; mengidentifikasi persepsi
masyarakat terhadap keberadaan perkebunan sawit besar dan kebun sawit
swadaya; serta menganalisis adanya biodiversity loss dan biodiversity gain.
Penelitian dilakukan di PTPN V Tandun – Tamora (PTN), PT Ivomas
Tunggal (PT IMT), dan 4 keun sawit swadaya (LSS). Pengamatan diulang
sebanyak tiga kali pada pagi (06:00-08:00 WIB) dan sore hari (15:30-17:30 WIB)
dengan menggunakan metode transek garis dan dikombinasikan dengan titik
pengamatan untuk pengamatan burung. Selain itu untuk mamalia dibantu dengan
kamera trap. Wawancara dilakukan dengan teknik accidental sampling
(convenience sampling). Jumlah jenis yang ditemukan dalam penelitian ini adalah
9 jenis mamalia dan 40 jenis burung. Hasil penelitian di PTN menunjukan bahwa
nilai kekayaan jenis mamalia dan burung di perkebunan sawit besar lebih rendah
dibanding kebun sawit swadaya. Hasil yang berbeda terlihat di PT IMT, kekayaan
jenis mamalia dan burung di perkebunan sawit besar lebih tinggi dibanding kebun
sawit swadaya. Masyarakat menilai pengaruh positif perkebunan sawit besar bagi
satwaliar lebih tinggi dibanding kebun sawit swadaya, namun demikian baik
perkebunan sawit besar dan kebun sawit swadaya memiliki pengaruh positif bagi
keberadaan satwaliar. Terdapat biodiversity loss pada kedua perkebunan sawit
besar dikarenakan siamang (Symphalangus syndactylus) tidak dapat ditemukan di
perkebunan sawit. Berdasarkan pendugaan biodiversity gain, pada kedua
perkebunan sawit besar terdapat biodiversity gain yaitu adanya jenis-jenis burung
insektivora dan predator yang ditemukan di perkebunan sawit besar.
Kata kunci: burung, kelapa sawit, mamalia, PT Ivomas Tunggal, PTPN V
Tandun-Tamora
SUMMARY
GALUH MASYITHOH. Comparison of Mammals and Birds Diversity between Largescale Oil Palm Plantation and Independent Smallholder Oil Palm Plantation. Supervised
by YANTO SANTOSA and ARZYANA SUNKAR.
Conversions of forest to oil palm plantations were often blamed for the
decline of biodiversity. Increased of independent smallholder oil palm plantations
area were faster than the large-scale oil palm plantations have caused expansion of
independent oil palm plantations to play important roles in land cover changes.
Previous research have suggested that mammals and birds vulnerable dropped
diversity due to a palm oil plantation. This brings worries about mammals and
birds diversity.
Other research shows that only some of the mammals and birds from
primary and secondary forest can live in oil palm plantations. However land cover
conversions from open ground into oil palm plantation can provide good
ecosystem for certain species. Therefore, it is necessary to assessed the
biodiversity loss. Then, palm oil development need to be assessed to know the
positive impact over the biodiversity existence (biodiversity gain). The purposes
of this research are to identify mammals and birds diversity in large-scale and
independent smallholder oil palm plantations; to analyze the similarity of
mammals and birds species between large-scale oil palm plantation and
independent smallholder oil palm plantation; to identify the public perception of
the existence of large-scale and independent smallholder oil palm plantations; and
to analyze biodiversity loss and biodiversity gain.
This research was conducted in PTPN V Tandun-Tamora (PTN), PT Ivomas
Tunggal (PT IMT), and 4 independent smallholder oil palm plantations (KSS).
Observation was conducted in the morning and afternoon using line transect
method, camera trap, and combined point count observation for birds. Interviews
used accidental sampling technique. Total species found in this study were 9
mammal species and 40 bird species. Based on Margalef species richness index,
the independent smallholder had higher number of mammals and birds than on
PTN. On the contrary, PT IMT had higher number of species than independent
smallholder oil palm plantations. The community considers a positive influence
for wildlife in large-scale oil palm plantation is higher than independent
smallholder oil palm plantations, however both of large-scale and independent
smallholder oil palm plantations have positive influence for wildlife. There were
biodiversity loss because Siamang (Symphalangus syndactylus) could not be
found at both large-scale oil palm plantations. Based on biodiversity gain
assessment, there were biodiversity gain such insectivore and predator birds found
in the oil palm large.
Keywords: bird, mammal, oil palm, PT Ivomas Tunggal, PTPN V TandunTamora.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PERBANDINGAN KEANEKARAGAMAN JENIS MAMALIA DAN
BURUNG ANTARA PERKEBUNAN SAWIT BESAR
DENGAN KEBUN SAWIT SWADAYA
GALUH MASYITHOH
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Novianto Bambang W, MSi
Judul Penelitian
Perbandingan Keanekaragaman Jenis Mamalia dan Burung
antara
Perkebunan
Sawit
Besar
dengan
Kebun
Sawit
Swadaya
Nama
Galuh Masyithoh
NM
E351150226
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
ProfDr Ir Yanto Santosa, DEA
Dr Ir Arzyana Sunkar, MSc
Ketua
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Konservasi Biodiversitas Tropika
Dr Ir Burhanuddin Masy'ud, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 21 Desember 2016
Tanggal Lulus:
1 3 MAR 2017
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian ini adalah keanekaragaman mamalia dan burung di perkebunan kelapa
sawit, dengan judul Perbandingan Keanekaragaman Jenis Mamalia dan Burung
antara Perkebunan Sawit Besar dengan Perkebunan Sawit Swadaya. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan Maret - April 2016. Penyusunan tesis ini tidak terlepas
dari bantuan banyak pihak sehingga penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof Dr Ir Yanto Santosa DEA dan Ibu Dr Ir Arzyana Sunkar, MSc
selaku komisi pembimbing yang telah bersedia membimbing, meluangkan
waktu, mengarahkan, serta memberikan saran sehingga tesis ini dapat
terselesaikan.
2. Bapak Dr Ir Novianto Bambang W, MSi selaku penguji luar komisi pada
ujian tesis saya yang telah meluangkan waktu serta memberikan masukan
untuk penyempurnaan tesis ini.
3. Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit yang telah memberikan
bantuan dana sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan.
4. Pengelola perkebunan sawit besar PTPN V Tandun Tamora dan PT
Ivomas Tunggal serta para pemilik kebun sawit swadaya yang menjadi
lokasi penelitian.
5. Tim peneliti Grant Research Sawit yang telah membantu dalam
pengambilan data.
6. Orang tua tercinta Bapak Drs H Nana Suhana dan Ibu Hj Rr Susilaningsih
yang selalu mendoakan dan melimpahkan kasih sayangnya kepada penulis
dan kakak-kakak yang selalu mendukung penulis.
7. Priscillia Christiani, Rizka Hari YP, Ken Dara Cita, Ilham Ananda, Panji
Prakoso, Kanthi Hardina, Christine DP, Ria Rachmawati, Fakhri Sukma
A, Tenrita Rizkiati, Siti Nurjannah, Hafizah Nahlunisa, Nurkhotimah, dan
KSHE 48 yang selalu mendukung penulis.
8. Teman-teman seperjuangan Konservasi Biodiversitas Tropika (KVT)
tahun 2014 dan 2015 untuk kebersamaan dan dukungannya selama ini.
Demikian ucapan terima kasih ini disampaikan dengan penuh ketulusan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Maret 2017
Galuh Masyithoh
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kerangka Pemikiran
TINJAUAN PUSTAKA
Sejarah Perkembangan Perkebunan Kelapa sawit
Dampak Negatif Perkebunan Kelapa sawit
Manfaat Perkebunan Kelapa Sawit
Ukuran Keanekaragaman Jenis
Klasifikasi Mamalia
Klasifikasi Burung
Persepsi
Biodiversity Loss dan Biodiversity Gain
METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Alat dan Instrumen Penelitian
Jenis Data
Metode Pengumpulan Data
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Keanekaragaman Jenis Mamalia
Keanekaragaman Jenis Burung
Kesamaan Jenis Mamalia
Kesamaan Jenis Burung
Persepsi Masyarakat Terhadap Dampak Kebun Sawit bagi Satwaliar
Pendugaan Biodiversity Loss dan Biodiversity Gain
SIMPULAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
vi
vi
vi
1
2
3
3
3
5
7
7
8
10
11
11
12
12
12
12
13
15
16
19
21
23
24
25
26
28
29
30
34
40
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
Stok karbon pada hutan gambut, primer, gambut sekunder, dan kelapa
sawit
Kategori respon skala Likert
Nilai tingkat persepsi berdasarkan interval tanggapan
Kondisi umum lokasi penelitian
Tingkat kesamaan jenis mamalia
Tingkat kesamaan jenis burung
Persepsi masyarakat terhadap perkebunan sawit besar dan kebun
sawit swadaya
Jenis primata yang dilindungi berdasarkan PP No 7 Tahun 1999
8
16
16
15
24
24
25
27
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Kerangka pemikiran penelitian
Peta lokasi penelitian
Desain transek pengamatan mamalia dan burung
Pemasangan kamera trap pada tanaman sawit
Kucing kuwuk (Prionailurus bengalensis)
Perbandigan jumlah jenis mamalia pada kedua lokasi PSB
Perbandingan nilai kekayaan jenis mamalia pada kedua lokasi PSB
Mamalia yang ditemukan di areal NKT
Perbandingan jumlah dan nilai kekayaan jenis burung
Perbandingan jenis burung berdasarkan guild
Perbandingan antara jenis yag dapat ditemukan di hutan sekunder
dengan jenis yang tidak dapat ditemukan di hutan sekunder
4
13
13
14
19
20
20
21
22
23
27
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
Jenis mamalia yang ditemukan
Jenis burung yang ditemukan
Kuisioner persepsi masyarakat terhadap dampak PSB
Kuisioner persepsi masyarakat terhadap dampak KSS
35
36
39
39
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah satu tudingan penyebab menurunnya keanekaragaman hayati adalah
konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit (Donald 2004). Perkebunan
kelapa sawit di Indonesia dibagi menjadi dua tipe kepemilikan yaitu: perusahaan
besar (pemerintah atau swasta) dan kebun rakyat, yang juga terbagi menjadi dua
yaitu kebun sawit kemitraan (scheme smallholders) dan kebun sawit swadaya
(independent smallholders) (Baswir et al. 2009). Provinsi Riau pada tahun 2015,
merupakan provinsi yang mempunyai perkebunan kelapa sawit terluas dengan
perkiraan luas sebesar 2.4 juta ha dan total produksi sebanyak 7.4 juta ton
(Ditjenbun 2014). Data Direktorat Jenderal Perkebunan (2014) menunjukkan luas
total kebun sawit swadaya (KSS) di Sumatera sejak tahun 2013 hingga 2015
diperkirakan telah mengalami peningkatan sebanyak 8.8% dari luas total 3.4 juta
ha menjadi 3.7 juta ha, sedangkan perkebunan sawit besar (PSB) diperkirakan
mengalami peningkatan sebesar 6.2% dari luas total 3.2 juta ha menjadi 3.4 juta
ha. Peningkatan luas KSS yang lebih cepat dibanding PSB disinyalir memberi
dampak negatif bagi keanekaragaman hayati (Sodhi et al. 2004) dan menyebabkan
ekspansi kebun sawit swadaya memegang peranan penting dalam perubahan
tutupan lahan (Lee et al. 2013).
Penelitian Srinivas dan Koh (2016) serta Muin (2013) menunjukkan bahwa
mamalia dan burung rentan mengalami penurunan keanekaragaman sebagai
dampak dari alih fungsi lahan ke kebun kelapa sawit. Hal ini menimbulkan
kekhawatiran terhadap kelestarian keanekaragaman mamalia dan burung.
Chiroptera dan Primata merupakan mamalia yang berperan penting sebagai agen
penyerbuk, pemencar biji, dan pengendali populasi serangga hama tanaman sawit
(Cardillo et al 2005 dalam Kartono 2015). Adanya kecenderungan spesialisasi
terhadap habitat, menjadi penyebab menurunnya kekayaan dan kelimpahan jenis
mamalia di perkebunan kelapa sawit (Kartono 2015). Kartono (2015) menemukan
bahwa, pada kawasan karst yang dipertahankan sebagai areal HCV (High
Conservation Value) di dalam perkebunan kelapa sawit, indeks keanekaragaman
mamalianya lebih tinggi dibandingkan dengan hutan sekunder. Selain mamalia,
burung juga memiliki peran penting sebagai indikator keanekaragaman spesies
(BirdLife International 2010) dan indikator untuk memperkirakan respon dari
taksa lain terhadap konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit (Edwards et
al. 2014). Penelitian yang dilakukan Yoza (2000) dan Fitzherbert et al. (2008)
menunjukkan bahwa walaupun pada awalnya pembangunan perkebunan kelapa
sawit menyebabkan penurunan keanekaragaman burung, namun seiring dengan
pertumbuhan tanaman sawit, keanekaragaman burung semakin meningkat.
Konversi tutupan lahan dengan potensi rendah seperti tanah terbuka menjadi
kebun kelapa sawit, dapat memberikan habitat yang baik bagi spesies-spesies
tertentu (Muin 2013). Perlindungan terhadap keanekaragaman burung di
perkebunan kelapa sawit dapat menguntungkan karena burung insektivora dapat
menjadi pengendali serangga hama pertanian (Altieri 1999; Najera dan Simonetti
2010). Penelitian terkait keanekaragaman mamalia dan burung di PSB telah
banyak dilakukan (Aratrakorn et al. 2006; Koh 2008; Kartono 2015; Srinivas dan
2
Koh 2016) akan tetapi data mengenai keanekaragaman mamalia dan burung di
KSS masih sedikit yang diketahui (Azhar et al. 2015), terutama di Indonesia.
Sehingga perlu dilakukan penilaian terhadap hilangnya potensi tersebut
(biodiversity loss). Selain itu juga perlu dinilai apakah pengembangan kelapa
sawit dapat memberikan dampak positif terhadap keberadaan biodiversitas dengan
adanya penambahan potensi (biodiversity gain) (Muin 2013). Dalam
pengembangan perkebunan kelapa sawit diharapkan mampu meminimalisir
terjadinya biodiversity loss, untuk itu diperlukan pengelolaan kebun sawit yang
mendukung kelestarian keanekaragaman hayati. Hal ini dipengaruhi oleh persepsi
setiap stakeholder terhadap prinsip dan prioritas pengelolaannya (Aikanathan et
al. 2015). Pengetahuan mengenai persepsi masyarakat sekitar terhadap
perkebunan sawit penting unuk diketahui. Persepsi individu terhadap
lingkungannya memegang peranan penting karena akan berpengaruh dalam
menentukan tindakan individu tersebut (Asngari 1984 dalam Erwina 2005).
Perumusan Masalah
Perkebunan kelapa sawit kerap dituding sebagai penyebab menurunnya
keanekaragaman hayati (Donald 2004; Fitzherbert 2008) yang diduga karena
sistem penanaman yang monokultur dan tidak adanya komponen utama vegetasi
hutan yang meliputi pepohonan hutan, liana dan anggrek epifit (Danielsen et al.
2009). Keberadaan areal HCV (High Conservation Value) dapat membantu dalam
meningkatkan keanekaragaman jenis pada habitat tersebut, sebagaimana
diungkapkan oleh MacArthur & MacArthur (1961), bahwa peningkatan jumlah
habitat yang berbeda dapat menyebabkan terjadinya peningkatan keragaman
spesies, seperti dibuktikan dalam penelitian Kartono (2015).
Pengetahuan mengenai dampak perkebunan kelapa sawit bagi keberadaan
satwaliar memerlukan penelitian mengenai keanekaragaman jenis serta
pendekatan terhadap masyarakat untuk mengetahui persepsi masyarakat mengenai
hal tersebut. Selain itu, penilaian mengenai biodiversity loss dan biodiversity gain
penting untuk dilakukan agar dapat mengetahui kondisi keanekaragaman hayati
burung yang ada di perkebunan kelapa sawit tersebut. Hal ini memunculkan
pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Apa saja jenis mamalia dan burung yang terdapat di perkebunan kelapa
sawit?
2. Apakah terdapat perbedaan jenis mamalia dan burung di perkebunan sawit
besar dengan kebun sawit swadaya?
3. Bagaimana tingkat kesamaan jenis mamalia dan burung antara perkebunan
sawit besar dengan kebun sawit swadaya?
4. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap dampak perkebunan sawit besar
dan kebun sawit swadaya bagi satwaliar?
5. Apakah terjadi biodiversity loss atau biodiversity gain pada kawasan
tersebut?
3
Tujuan
1.
2.
3.
4.
Tujuan dari penelitian adalah untuk:
Mengidentifikasi jenis mamalia dan burung berdasarkan tipe tutupan lahan di
perkebunan kelapa sawit swasta dan rakyat.
Membandingkan kesamaan jenis mamalia dan burung di perkebunan sawit
besar dan kebun sawit swadaya.
Mengidentifikasi persepsi masyarakat terhadap dampak perkebunan sawit
besar dan kebun sawit swadaya bagi keberadaan satwaliar.
Menganalisis kemungkinan adanya biodiversity loss dan biodiversity gain.
Manfaat
1.
2.
Penelitian ini bermanfaat sebagai:
Salah satu sumber informasi perkembangan keanekaragaman mamalia dan
burung di perkebunan sawit besar dan kebun sawit swadaya.
Salah satu dasar pertimbangan dalam mengembangkan perkebunan kelapa
sawit berwawasan konservasi.
Kerangka Pemikiran
Perkebunan kelapa sawit dituding menyebabkan adanya penurunan
biodiversitas. Dalam penelitian ini, yang akan menjadi lokasi penelitian adalah
perkebunan sawit besar dan kebun sawit swadaya. Hal ini karena adanya
perbedaan pengelolaan perkebunan yang diduga dapat mempengaruhi
keanekaragaman mamalia dan burung di perkebunan kelapa sawit. Pengamatan
untuk memperoleh data mengenai jenis mamalia dan burung dilakukan di 5 tipe
tutupan lahan yaitu areal kebun sawit termuda, areal kebun sawit tertua, kawasan
konservasi yang terdapat di areal kebun sawit, dan dua kebun sawit swadaya yang
terdekat dengan perkebunan sawit besar. Data yang diperoleh dari hasil
pengamatan akan dianalisis untuk mengetahui tingkat keragaman dan kesamaan
komunitas. Data keanekaragaman mamalia dan burung berdasarkan tutupan lahan
digunakan untuk menduga adanya biodiversity loss dan biodiversity gain di
perkebunan sawit besar. Selain itu, dilakukan wawancara terhadap masyarakat
yang tinggal di dekat perkebunan sawit besar dan kebun sawit swadaya.
Wawancara dilakukan untuk memperoleh data mengenai persepsi masyarakat
terhadap dampak perkebunan sawit besar dan kebun sawit swadaya bagi satwaliar.
Kerangka pemikiran yang telah diuraikan di atas secara skematis disajikan pada
Gambar 1.
4
Persepsi masyarakat
Jenis mamalia dan burung
di PSB dan KSS
Analisis Data
Adanya areal NKT di
PSB
Luas KSS lebih sempit
dibanding PSB
Perbedaan keanekaragaman jenis mamalia
dan burung di PSB dan KSS
Kebun sawit swadaya
(KSS)
Tudingan penyebab
menurunnya
biodiversitas
Perkebunan Sawit Besar (PSB)
Hasil:
Keanekaragaman jenis mamalia dan burung di PSB dan KSS
Kesamaan jenis mamalia dan burung antara PSB dengan KSS
Persepsi masyarakat terhadap PSB dan KSS
Analisis adanya biodiversity loss dan biodiversity gain
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian
5
TINJAUAN PUSTAKA
Sejarah Perkembangan Perkebunan Kelapa sawit
Kelapa sawit merupakan tanaman yang berasal dari Afrika Barat, terutama
disekitar Angola sampai Senegal (GAPKI 2014). Kelapa sawit pertama kali
diperkenalkan di Indonesia oleh pemerintah Kolonial Belanda untuk kemudian
ditanam di Kebun Raya Bogor pada tahun 1848. Sedangkan untuk perkebunan
kelapa sawit modern pertama mulai berkembang di pantai timur Sumatera (Deli)
dan Aceh pada tahun 1911 (Fauzi et al 2012.).
Sejarah pembukaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia terbagi dalam 5
periode, yaitu (Pahan 2006):
1. Periode penjajahan Belanda (1600-1942)
Pada awalnya sistem perkebunan di Indonesia menganut sistem
tradisional. Saat VOC datang pada tahun 1600, sistem ini berubah menjadi
perusahaan perkebunan melalui perubahan teknologi dan organisasi proses
produksi. Pada masa tersebut, sistem usaha kebun rakyat dieksploitasi
sebagai komoditi perdagangan Belanda. Fauzi et al (2012)
mengungkapkan bahwa Indonesia kala itu mampu menggeser dominasi
ekspor afrika, namun demikian hal ini hanya meningkatkan perekonomian
Belanda, tanpa meningkatkan perekonomian nasional Indonesia.
Perubahan kebijakan politik kolonial yang semula menganut
kebijaksanaan politik konservatif beralih menjadi kebijaksanaan politik
liberal pada tahun 1870-an yang ditandai dengan dikeluarkannya undangundang Agraria. Undang-undang Agraria 1870 menjadi pintu masuknya
modal besar swasta di bidang perkebunan. Sistem ini menyebabkan
munculnya investasi besar-besaran swasta asing (khususnya Belanda) dan
sejumlah perkebunan besar di Jawa dan Sumatera.
2. Periode pendudukan Jepang (1942-1945)
Pada masa pendudukan Jepang, ekonomi perkebunan mengalami
penurunan karena kebijaksanaan pemerintah Jepang dalam meningkatkan
produksi pangan untuk kepentingan ekonomi perang dengan melakukan
pergantian tanaman perkebunan menjadi tanaman pangan. Pada masa itu
sebanyak 16% dari lahan sawit diubah menjadi lahan tanaman pangan.
3. Masa pemulihan perkebunan (1945-1955)
Selama periode 1945-1949 politik di Indonesia masih belum stabil.
Hal ini menyebabkan pembangunan dan perkembangan ekonomi menjadi
terkendala dan merosot. Kemudian dilakukan Konferensi Meja Bundar
tahun 1949 di Den Haag yang menghasilkan ketentuan bahwa perkebunan
yang sebelumnya dikuasai oleh pemerintah kolonial Belanda dan swasta
asing akan diambil alih oleh pemerintah Indonesia. Program pemulihan
perkebunan oleh pemerintah Indonesia ini dimulai pada tahun 1951 yang
menjadi titik awal beroperasinya kembali perusahaan perkebunan di pulau
Jawa dan luar Jawa.
4. Periode pengalihan/nasionalisasi perkebunan dari swasta asing ke
PNP/PTP dan perkembangan pada pemerintahan orde baru (1956-1990 an)
6
Perusahaan perkebunan (termasuk kelapa sawit) milik kolonial
Belanda dinasionalisasi menjadi Perkebunan Negara atau sekarang dikenal
dengan Perusahaan Perkebunan Negara (PTN) dipicu oleh tuntutan
pemerintah Indonesia atas kedaulatan Irian Barat. Kondisi ini mendorong
Perdana Menteri/ Menteri Pertahanan Djuanda Kartawidjaja mengeluarkan
peraturan yang menempatkan selurug perkebunan Belanda berada dalam
yuridiksi Republik Indonesia dan Menteri Pertanian memegang wewenang
untuk mengeluarkan peraturan yang diperlukan. Pada tahun 1960
dikeluarkan Undang-Undang No.5 mengenai pokok-pokok agraria dan
Undang-Undang penanaman modal dalam negri (PMDN) serta Penanaman
Modal Asing (PMA) (UU No.1 tahun 1967 dan UU No.6 tahun 1968). Hal
tersebut memicu perkembangan luas areal kelapa sawit, namun hingga
tahun 1976 perkebunan kelapa sawit di Indonesia hanya terdiri atas
perkebunan negara dan perkebunan swasta. Perkebunan kelapa sawit
rakyat muncul pada tahun 1980 setelah dikeluarkannya kebijakan
Perkebunan Inti rakyat (PIR) dimana perkebunan swasta dan perebunan
negara berperan sebagai inti sedangkan masyarakat sekitar sebagai anggota
koperasi. Pemerintah juga memberi dukungan melalui penyediaan
perkreditan murah yaitu Kredit Perkebunan Besar Swasta Negara (PBSN)
mulai dari PBSN I (1977-1981), PBSN II (1981-1986), dan PBSN III
(1986-1990) dan kemudian berubah menjadi kredit koperasi primer
anggota (KKPA) untuk koperasi di tahun 1996. Pola PIR yang
dikembangkan antara lain adalah PIR Lokal (1980), PIR Trans.migrasi
(1986), dan PIR-berbantuan Asian Development. (Tarigan dan Sipayung,
2011).
5. Periode pembangunan perkebunan 2000-2004 dan awal pelaksanaan UU
Perkebunan no. 18 tahun 2004
Kegiatan pembangunan pada tahun 2000-2004 merupakan era
reformasi pembangunan di segala bidang yang menyebabkan perubahan
paradigm manajemen pembangunan nasional yang semula di bawah
kewenangan pemerintah menjadi kewenangan propinsi sebagai daerah
otonom. Paradigma pembangunan pada era otonomi daerah memposisikan
masyarakat sebagai subjek pembangunan yang secara dinamik dan kreatif
didorong untuk terlibat dalam proses pembangunan, sehingga terjadi
perimbangan kekuasaan (power sharing) antara pemerintah dan
masyarakat. Perubahan paradigm ini menggeser inisiatif yang semula
merupakan dominasi pemerintah menjadi dominasi masyarakat,
pendekatan sektoral menjadi pendekatan jejaring kerja, sentralisasi
menjadi desentralisasi, sistem komando menjadi sistem bebas, dan
pendekatan produksi menjadi pendekatan produktivitas. Pembangunan
perkebunan yang dilakukan memiliki visi untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat, khususnya petani melalui sistem dan usaha
perkebunan yang efektif, efisien, berdaya saing, berkelanjutan, dan
berwawasan lingkungan.
7
Dampak Negatif Perkebunan Kelapa Sawit
Winter (2002) menyatakan bahwa pengelolaan perkebunan dan pengolahan
pasca panen kelapa sawit menimbulkan beberapa dampak negatif terhadap
lingkungan yaitu:
1. Polusi udara
Pembakaran hasil tebangan tanaman pada pembukaan hutan untuk
penanaman baru, pembakaran hasil pangkasan tanaman pada penyiangan
tanaman dewasa, dan kegiatan ekstraksi dan purifikasi minyak di pabrik
penggilingan menjadi penyebab timbulnya polusi udara.
2. Perubahan land scape
Kegiatan pembukaan lahan untuk penanaman dan pembuatan jalan kebun
menyebabkan perubahan land scape yang berakibat pada musnahnya habitat
burung, terjadinya fragmentasi habitat dan timbulnya habitat burung yang sama
sekali berbeda dengan sebelumnya. Kegiatan peremajaan perkebunan
menyebabkan keanekaragaman burung menjadi menurun bahkan menghilang
(Yoza 2000).
3. Penurunan keragaman genetik sebagai akibat dari penggantian spesies alami
yang keragamannya tinggi dengan spesies vegetasi kelapa sawit yang
monokultur (keragaman genetik).
4. Polusi tanah dan air dengan penggunaan pestisida dan pupuk.
Efisiensi penyerapan pupuk N oleh tanaman kelapa sawit hanya 45% dari
jumlah pupuk yang diberikan, begitu juga dengan efisiensi penyerapan pupuk P
dan pupuk K hanya mencapai 35% dan 50% dari jumlah pupuk yang diberikan.
Pupuk yang tidak terserap tersebut akan tercuci ke sungai dan laut sehingga
dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan sepeti matinya biota yang ada di
sungai dan laut (Hidayani 2015). Selain itu penyemprotan pestisida yang
digunakan untuk melindungi kelapa sawit dari hama dan gulma mengakibatkan
menurunnya kemampuan tanah untuk memproses nutrisi mencari bahan yang
berguna bagi tanaman (Dirjennas Perkebunan 2008 dalam Gindho 2009)
5. Polusi tanah akibat pembuangan TBS kosong langsung ke lahan.
6. Perlakuan limbah cair yang kurang baik berakibat pencemaran air sungai.
Manfaat Perkebunan Kelapa sawit
Meskipun kerap dituding memberikan dampak negatif, di sisi lain
perkebunan kelapa sawit memberikan manfaat antara lain:
1. Sebagai salah satu penyerap karbon
Selama ini berkembang anggapan bahwa dengan membuka lahan
gambut menjadi perkebunan kelapa sawit menyebabkan kerusakan
lingkungan dan stok karbon (carbon stock) pada lapisan atas gambut akan
terdekomposisi sehingga mengurangi stok karbon. Anggapan tersebut
tidak sepenuhnya benar karena menurut Sabiham (2013) bahwa stok
karbon perkebunan kelapa sawit gambut makin meningkat (pada lapisan
atas) dengan bertambahnya umur tanaman kelapa sawit. Pada umur 14-15
8
tahun mampu melampaui stok karbon hutan gambut sekunder bahkan
mendekati stok karbon pada hutan gambut primer. Hal ini dijabarkan
dalam tabel 1.
Tabel 1 Stok karbon pada hutan gambut, primer, hutan gambut sekunder,
dan kelapa sawit
Land Use Gambut
Stok Karbon (ton/ha)
Hutan gambut primer
81.8
Hutan gambut sekunder
57.3
Kelapa sawit
5.8
•
Umur < 6 tahun
54.4
•
Umur 9-12 tahun
73.0
•
Umur 14-15 tahun
2. Sebagai bagian dari solusi masalah pangan, energy, ekonomi dan
lingkungan global
Saat ini masyarakat menghadapi krisis pangan, energy, dan
lingkungan yang jika tidak segera ditanggulangi dapat memicu krisis
ekonomi, social, dan keamanan global. Dalam menanggulanginya, muncul
argumen bahwa adanya perkebunan kelapa sawit dapat menjadi salah satu
solusi dalam menganggulangi krisis tersebut. Argument pertama yaitu
produksi minyak sawit adalah berupa bahan pangan dan bahan energi
terbarukan sehingga jika produksinya ditingkatkan akan dapat menekan
krisis pangan dan energi. Argumen kedua, proses produksi perkebunan
kelapa sawit menyerap gas karbon dari atmosfir bumi, dengan demikian
adanya perkebunan kelapa sawit dapat mengurangi emisi gas karbon yang
ada di udara saat ini. Argument ketiga, keberadaan minyak kelapa sawit
sebagai alternative biofuel untuk substitusi penggunaan bahan bakar fosil
maka dapat menekan penggunaan bahan bakar fosil dan emisi gas karbon
dari bahan bakar fosil dapat dikurangi.
3. Sumber devisa negara dan penyerapan tenaga kerja
Industri minyak sawit menyerap tenaga kerja sebanyak ± 6 juta
orang, selain itu industri minyak sawit menjadi sumber devisa negara
terbesar untuk industri non minyak dan gas bumi yaitu menghasilkan
devisa sebesar ± US$ 21.75 miliar atau 14% dari nilai total ekspor
Indonesia pada tahun 2014 (GAPKI dalam BPDPKS 2016).
Ukuran Keanekaragaman Jenis
Keanekaragaman hayati atau biological diversity (biodiversity) adalah
seluruh keanekaan bentuk kehidupan di muka bumi ini, beserta interaksinya
(BAPPENAS 2003). Keanekaragaman hayati memiliki dua komponen utama,
yaitu kekayaan jenis yang merupakan jumlah jenis dari suatu area dan kemerataan
jenis yang merupakan kelimpahan relatif suatu individu pada setiap spesies
(Feldhamer et al. 1999). Kedua komponen tersebut memiliki nilai perhitungan
yang dikenal dengan indeks kekayaan jenis dan indeks kemerataan jenis. Ludwig
dan Reynolds (1988) menyatakan bahwa indeks tersebut digabungkan menjadi
9
satu nilai yang sama dengan indeks keanekaragaman. Berbeda halnya dengan
Peday dalam Santosa et al. (2016) yang menyatakan bahwa indeks
keanekaragaman jenis (Species Diversity Index) adalah ciri tingkatan komunitas
berdasarkan organisasi biologinya yang merupakan penggabungan kekayaan dan
kesamaan jenis (species richness and evenness). Indeks kesamaan jenis dapat
digunakan untuk melihat kesamaan antar komunitas burung di setiap tipe vegetasi
(Kaban 2013).
Kekayaan jenis merupakan hal utama dalam mempelajari biodiversitas
(Magurran 1988). Konsep kekayaan jenis pertama kali dicetuskan oleh Mcinthos
pada tahun 1967. Kekayaan jenis adalah jumlah jenis (spesies) dalam suatu
komunitas. Persoalan mendasar yang merupakan kendala penting dalam
penerapan konsep “kekayaan jenis” adalah bahwasanya seringkali tidak mungkin
untuk menghitung semua jenis yang hidup dan tinggal dalam suatu komunitas
alamiah. Oleh karena itu perlu dilakukan pendugaan.
Menurut Yapp (1979) dalam Ludwig & Reynolds (1988) kekayaan jenis
(S) adalah jumlah total jenis dalam suatu komunitas. Nilai S tergantung pada
ukuran sampel dan waktu pengambilan data, sehingga S dihitung sebagai indeks
perbandingan. Indeks kekayaan jenis pada dasarnya merupakan indikator
keragaman jenis yang didasarkan pada pengukuran terhadap banyaknya jenis yang
dijumpai dalam suatu habitat yang homogen. Terdapat beberapa indeks kekayaan
jenis yang tidak tergantung pada ukuran sampel, namun dihitung berdasarkan
jumlah individu yang teramati (n) yang jumlahnya meningkat seiring dengan
pertambahan ukuran sampel. Indeks untuk menghitung kekayaan jenis antara lain:
1. Indeks Margalef (1958)
Boontawe et al (1995) mengatakan bahwa nilai indeks margalef akan
semakin besar seiring dengan semakin luasnya plot contoh yang digunakan,
dan semakin tinggi juga keanekaragamannya yang ditunjukkan pula oleh
semakin besar nilai kekayaan jenisnya. Whilm (1967) mengatakan bahwa
indeks ini baik digunakan jika suatu komunitas memiliki keanekaragaman
spesifik pada luasan tertentu yang cukup besar. Boyle et al. (1990)
menunjukkan bahwa indeks Margalef memiliki sensitivitas tinggi terhadap
struktur suatu komunitas, khususnya pada jumlah spesies yang rendah. Hal ini
diperkuat dengan hasil penelitian Kusuma (2007) yang membuktikan bahwa
indeks margalef merupakanindeks yang paling responsif terhadap perubahan
jumlah spesies dan jumlah individu.
2. Indeks Menhinick
Indeks Menhinick merupakan indeks yang lebih bebas terhadap ukuran
contoh. Menurut Whilm (1967) indeks ini memiliki tingkat kesalahan yang
lebih tinggi jika dibandingkan dengan indeks Margalef. Namun Indeks
Menhinick tidak terpengaruh oleh penambahan ukuran contoh sehingga
nilainya cenderung stabil.
3. Metode Rarefaction
Pada prakteknya ternyata tidak mudah untuk menjamin keseragaman
ukuran unit contoh. Sehubungan dengan ini, Sanders (1968) mengusulkan
alterenatif pemecahan masalah dengan menggunakan metoda “rarefaction”.
Melalui metoda ini dapat dihitung nilai harapan jumlah jenis dalam setiap unit
contoh yang berukuran sama. Adapun perhitungannya didasarkan pada rumus
Sanders yang telah disempurnakan oleh Hurlbert (1971).
10
4.
Penduga Jackknife
Metode yang menggunakan penduga non parametrik untuk menghitung
kekayaan spesies ketika penarikan contoh komunitas dilakukan dengan
metode kuadrat adalah penduga Jackknife. Dalam metode ini dihitung
berdasarkan frekuensi spesies jarang/unik yang berada suatu komunitas.
Spesies jarang/unik didefinisikan sebagai spesies yang ditemukan pada satu
dan hanya satu plot contoh. Nilai dugaan ini bersifat absolut yaitu jumlah
spesies (tidak berupa indeks). Menurut Kreb (1989) metode ini cenderung
overestimate sehingga tidak dapat digunakan pada komunitas dengan jumlah
spesies jarang/unik yang tinggi atau komunitas yang jumlah sampelnya terlalu
kecil.
Klasifikasi Mamalia
Mamalia berasal dari kata mammilae yang berarti hewan menyusui, suatu
kelas vertebrata (hewan bertulang belakang) dengan ciri seperti adanya bulu di
badan dan adanya kelenjar susu pada betina. Mamalia terdiri dari monotremata
(hewan berkloaka atau mamalia petelur), marsupialia (hewan berkantung atau
hewan dengan kantung tempat anaknya tinggal beberapa waktu sesudah lahir) dan
mamalia placental disebut juga placentalia (hewan yang memberi makan pada
janin melalui placenta sejati) (Ensiklopedi Indonesia 1992).
Mamalia merupakan kelompok tertinggi taksonominya dalam dunia hewan.
Secara umum mamalia memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Ensiklopedi Indonesia
1992):
1. Tubuh biasanya ditutupi rambut yang lepas secara periodik, kulit banyak
mengandung kelenjar keringat dan kelenjar susu.
2. Berjalan tegak, memiliki empat anggota kaki (kecuali anjing laut dan singa laut
tidak memiliki kaki belakang), masing-masing kaki memiliki kurang lebih lima
jari yang bermacam-macam bentuknya disesuaikan dengan fungsinya. Tungkai
tubuh ada di bawah badan.
3. Heterodontia (beranekaragaman jenis gigi dengan bermacam fungsi)
4. Pernafasan dengan paru-paru, hasil ekresi berupa cairan urine.
5. Homoiothermia (hewan berdarah panas). Suhu tubuh tidak dipengaruhi suhu
lingkungan.
6. Hewan jantan memiliki alat kopulasi berupa penis, fertilisasi terjadi di dalam
tubuh hewan betina.
Mamalia hidup di berbagai habitat, mulai dari kutub sampai daerah equator.
Beberapa jenis mamalia kebanyakan ditemukan di dataran rendah, lainnya
kebanyakan ditemukan di daerah pegunungan serta beberapa jenis di pegunungan
tinggi (Alikodra 2002). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Kartono (2015) di
perkebunan kelapa sawit PT Sukses Tani Nusasubur Kalimantan Timur, jenisjenis mamalia yang ditemukan di perkebunan kelapa sawit antara lain kucing
kuwuk (P. bengalensis), kucing tandang (P. planiceps), lutung merah (P.
rubicunda), kijang muncak (M. muntjak), tikus belukar (R. tiomanicus), owa
kalawat (H. muelleri), babi berjenggot (S. barbatus), musang luwak (P.
hermaphroditus), dan tupai tercat (T. picta). Chiroptera dan Primata merupakan
mamalia yang berperan penting sebagai agen penyerbuk, pemencar biji, dan
11
pengendali populasi serangga hama tanaman pertanian (Cardillo et al 2005 dalam
Kartono 2015).
Klasifikasi Burung
Burung merupakan salah satu dari lima kelas hewan bertulang belakang,
termasuk kelas Aves dalam filum Chordata, kerajaan Animalia yang memiliki 27
bangsa dan 158 suku. Burung berdarah panas dan berkembangbiak melalui telur.
Tubuhnya tertutup bulu dan memiliki bermacam-macam adaptasi untuk terbang.
Burung memiliki pertukaran zat yang cepat kerena terbang memerlukan banyak
energi. Suhu tubuhnya tinggi dan tetap sehingga kebutuhan makanannya banyak
(Redaksi Ensiklopedi Indonesia 1992). Welty (1982) mendiskripsikan burung
sebagai hewan yang memiliki bulu, tungkai atau lengan depan termodifikasi untuk
terbang, tungkai belakang teradaptasi untuk berjalan, berenang dan hinggap, paruh
tidak bergigi, jantung memiliki empat ruang, rangka ringan, memiliki kantong
udara, berdarah panas, tidak memiliki kandung kemih dan bertelur. Burung dapat
menempati tipe habitat yang beranekaragam, baik habitat hutan maupun habitat
bukan hutan. Secara umum, burung memanfaatkan habitat sebagai tempat mencari
makan, beraktivitas, berkembangbiak dan berlindung (Welty 1982). Berdasarkan
hasil penelitian Yoza (2000) di PT Ramajaya Pramukti Kabupaten Kampar
Provinsi Riau, jenis-jenis burung yang terdapat di perkebunan kelapa sawit
merupakan pemakan serangga, pemakan buah-buahan, pemakan biji, pengisap
madu, pemakan daging, dan pemakan macam-macam jenis makanan.
Persepsi
Persepsi adalah pandangan, penilaian, interpretasi, harapan, atau aspirasi
seseorang terhadap obyek. Persepsi dibentuk melalui serangkaian proses (kognisi)
yang diawali dengan menerima rangsangan atau stimulus dari obyek oleh indera
dan dipahami dengan interpretasi atau penafsiran tentang obyek yang dimaksud
(Harihanto 2001). Seluruh indra manusia memegang peranan penting dalam
meneruskan informasi dan otak akan mengolahnya melalui tahap pemaparan,
perhatian, dan pemaknaan. Persepsi merupakan hasil kerja otak dalam memahami
atau menilai suatu hal yang terjadi di sekitarnya (Waidi dalam Khayati 2016)
yang diperoleh melalui pengalaman langsung dari objek dan informasi dari
berbagai sumber lainnya (Sumarwan 2004). Artinya persepsi dapat diartikan
sebagai suatu objek yang dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal
(Setiawati 2010). Faktor internal merupakan faktor yang bersumber dari dalam
diri individu, sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari
lingkungan luar individu. Menurut Calhoun dan Acocella (1990) dalam Suharni
(2010), persepsi memiliki tiga dimensi yang menandai konsep diri, yaitu
pengetahuan, pengharapan, dan evaluasi.
12
Biodiversity Loss dan Biodiversity Gain
Kehilangan potensi keanekaragaman hayati (biodiversity loss)
didefinisikan sebagai hilang atau berkurangnya jumlah jenis tumbuhan atau
satwaliar tertentu yang dulunya mudah dijumpai atau dapat diidentifikasi karena
adanya perubahan tutupan lahan akibat kegiatan manusia. Perubahan tutupan
lahan (hutan dan semak belukar) akibat aktivitas manusia dan pembangunan
menjadi lahan perkebunan kelapa sawit, akan berdampak pula pada perubahan
kondisi dan potensi keanekaragaman hayatinya (Muin 2013). Perubahan itu dapat
berupa berkurang atau hilangnya potensi keanekaragaman hayati (biodiversity
loss), namun perubahan tutupan lahan yang semula merupakan lahan dengan
potensi keanekaragaman hayati rendah dikonversi menjadi lahan perkebunan
sawit, memungkinkan adanya penambahan potensi keanekaragaman hayati.
Berdasarkan penelitian Muin (2013) di tiga perkebunan sawit di
Kalimantan Tengah, pembangunan perkebunan kelapa sawit menyebabkan
biodiversity loss yaitu hilangnya orangutan, owa, dan trenggiling dari lokasi
tersebut karena hutan yang merupakan habitatnya telah berubah menjadi
perkebunan sawit. Selain itu trenggiling banyak diburu untuk diperjualbelikan di
pasar lokal atau diselundupkan. Selain itu, biodiversity gain juga terjadi di lokasi
tersebut berupa adanya satwa predator yang seperti ular sawah (Phyton
reticulatus), beluk ketupa (Ketupa ketupu), dan kukuk beluk (Strix
leptogrammica). Satwa predator ini membantu dalam memangsa tikus yang
merupakan hama di perkebunan sawit. Penelitian yang dilakukan Kartono (2015)
di PT STN menunjukkan adanya biodiversity loss karena jenis beruang madu
(Helarctos malayanus) dan landak raya (Hystrix brachyura) hanya dapat
ditemukan di hutan sekunder. Kedua jenis ini diduga merupakan spesies spesialis.
Yaap et al. (2010) menyatakan bahwa spesies generalis memiliki respon positif
dan dapat berkembang di habitat hutan sekunder atau hutan tanaman, sedangkan
spesies spesialis akan mengalami penurunan atau bahkan punah secara lokal.
METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di PSB PTN V Tandun – Tamora (PTN), KSS1, dan
KSS2 yang terletak di Kabupaten Kampar serta PSB PT Ivo Mas Tunggal (PT
IMT), KSS3, dan KSS4 di Kabupaten Siak, Provinsi Riau pada bulan Maret-April
2016 (Gambar 2).
Alat dan Instrumen Penelitian
Peralatan yang digunakan adalah field guide mamalia dan burung, GPS,
kamera, tallysheet pengamatan, binokuler, alat tulis, dan kamera trap. Instrumen
yang digunakan adalah panduan penyataan dengan Skala Likert dan panduan
kuesioner.
13
Gambar 2 Peta lokasi penelitian
Metode Pengumpulan Data
Pengamatan langsung
Data keanekaragaman jenis mamalia dan burung pada berbagai jenis
tutupan lahan di PSB dan KSS diamati pada 1 jalur pengamatan untuk masingmasing tutupan lahan/kelas umur. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa
keanekeragaman jenis mamalia dan burung pada satu jenis tutupan lahan/kelas
umur yang sama bersifat homogen. Selain itu umumnya untuk areal Nilai
Konservati Tinggi (NKT) dan KSS luasnya relatif terbatas (1-4 ha). Inventarisasi
keanekaragaman jenis mamalia dan burung dilakukan dengan menggunakan
metode kombinasi transek garis (line transect) dan titik pengamatan (point
observation). Jalur transek berjumlah 10 jalur dengan panjang 1 km dan lebar 200
m per jalur (Gambar 3).
S
100 m
100 m
o
Arah lintasan pengamat
o
S
Keterangan: S = posisi satwa; o = posisi pengamat
Gambar 3 Desain transek pengamatan mamalia dan burung
14
Pengamatan dilakukan pagi (06:00-08:00 WIB) dan sore (15:30-17:30 WIB)
yang diulang sebanyak 3 kali. Pengamatan dilakukan pada 5 tipe tutupan lahan
yaitu:
1. Areal sawit termuda (SM);
2. Areal sawit tertua (ST);
3. Areal nilai konservasi tinggi (NKT) yang terdapat di perkebunan sawit besar;
dan
4. Dua KSS yang terdekat dengan perkebunan sawit besar.
Pengamatan dengan kamera trap
Pengamatan dengan menggunakan kamera trap dilakukan untuk
mengambil data tambahan mamalia. Hal ini dilakukan karena terdapat mamalia
yang sensitif terhadap keberadaan manusia, sehingga untuk menangkap
keberadaannya, diperlukan bantuan kamera trap. Total kamera trap yang dipasang
yaitu sebanyak 10 unit. Kamera trap ini dipasang di areal sawit tertua sebanyak 5
unit dan areal NKT sebanyak 5 unit.
Gambar 4 Pemasangan kamera trap pada tanaman sawit
Wawancara dan Skala Likert
Wawancara dilakukan dengan bantuan kuesioner untuk mendapatkan
informasi tambahan dari masyarakat terkait jenis keanekaragamana hayati yang
ditemukan di perkebunan sawit. Pengumpulan informasi mengenai persepsi
masyarakat sekitar kebun sawit dilakukan dengan menggunakan skala likert.
Teknik sampling yang digunakan adalah accidental sampling (convenience
sampling), karena populasi yang diteliti tidak diketahui jumlahnya. Teknik ini
mengambil responden sebagai sampel berdasarkan kebetulan,yaitu siapa saja yang
secara kebetulan bertemu dengan peneliti. Responden pada penelitian di PTN
berjumlah 47 orang yang berasal dari Desa Sungai Agung dan untuk PT IMT
berasal dari Desa Jambai Timur berjumlah 41 orang. Pernyataan yang dikaji
menggunakan Skala Likert sebanyak 3 pernyataan untuk persepsi terhadap PSB
dan KSS.
15
Analisis Data
Indeks kekayaan jenis
Kekayaan jenis merupakan salah satu kata kunci yang perlu diperhatikan
pada keaneka-ragaman hayati (Magurran 1988). kekayaan jenis dihitung dengan
menggunakan indeks Margalef sebagai berikut:
Dmg
=
S–1
ln (N)
Keterangan
Dmg = Indeks Margalef
S = Jumlah Jenis
N = Jumlah Individu Seluruh Spesies
Indeks kesamaan komunitas
Untuk melihat tingkat kesamaan komunitas antara tipe tutupan lahan di
setiap perkebunan kelapa sawit maka digunakan indeks kesamaan. Perhitungan
tingkat kesamaan jenis yang digunakan adalah indeks kesamaan jenis Sorensen
(Magurran 1988):
IS = 2*C/(A+B)
Keterangan :
IS : Indeks Similaritas
A : Jumlah spesies di lokasi A
B : Jumlah spesies di lokasi B
C : Jumlah spesies yang berada pada kedua lokasi A dan B
Kriteria
IS < 50% Indeks Similaritas rendah
IS > 50% Indeks Similaritas tinggi
Persepsi masyarakat
Persepsi masyarakat diukur melalui sejumlah pernyataan tentang pandangan
mengenai dampak yang ditimbulkan oleh keberadaan kebun kelapa sawit
swadaya. Pengukuran persepsi dalam penelitian ini menggunakan Skala Likert
yang terdiri dari pernyataan positif dengan lima alternatif pilihan untuk setiap
jawabannya, yaitu dengan skor berurutan yaitu sangat setuju (5) sampai sangat
tidak setuju (1) (Tabel 2). Persepsi selanjutnya dikategorikan menjadi tiga
kelompok besar yaitu baik, sedang, dan buruk berdasarkan standar deviasi.
16
Tabel 2 Kategori respon skala Likert
Skala
1
2
3
4
5
Sering
Selalu
Kadang –
kadang
Jarang
Tidak pernah
Sangat setuju
Setuju
Netral
Tidak setuju
Sangat tidak
setuju
Paling
penting
Penting
Netral
Tidak penting
Sangat tidak
penting
Penggolongan kategori dilakukan berdasarkan total skor yang diperoleh
responden untuk setiap aspek yang diajukan pada pernyataan. Skor dari tiap aspek
dikategorikan berdasarkan interval nilai tanggapan seperti pada Tabel 3.
Tabel 3 Nilai tingkat persepsi berdasarkan interval nilai tanggapan
No
Interval nilai tanggapan
Tingkat persepsi
1
3.8 – 5.1
Baik
2
2.4 – 3.7
Netral
3
2.3 – 1.00
Buruk
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil dan pembahasan dipaparkan dalam 8 sub bab, yaitu: kondisi umum
lokasi penelitian; keanekaragaman jenis mamalia; keanekaragaman jenis burung;
kesamaan jenis mamalia; kesamaan jenis burung; persepsi masyarakat terhadap
dampak kebun sawit bagi satwaliar; serta pendugaan biodiversity loss dan
biodiversity gain.
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di 2 PSB dan 4 KSS yang terletak berdekatan dengan
PSB. Kondisi umum lokasi penelitian ditampilkan dalam Tabel 4.
17
Tabel 4 Kondisi umum lokasi penelitian
Tipe
Tahun
Kondisi
Sumber
Tutupan Tanam Vegetasi
Permukaan
PSB
Air
Lahan
Sawit
Tanah
PTN
NKT
Heterogen Ditutupi
Sungai
tumbuhan
Rambai
bawah
seperti
rumput dan
paku
HS
-
SM
2014
ST
1991
KSS1
1990
PT IMT NKT
-
Heterogen, didominasi
pohon
karet
Homogen Seluruh
permukaan
tanah
tertutup
jenis
kacangkacangan
(mukuna)
Homogen Banyak
tumbuhan
bawah
Homogen Beberapa
bagian
kebun
dibersihkan
dari ilalang,
tetapi
sisanya
masih belum
terawat
sehingga
masih kotor
Heterogen Lantai hutan
tergenang
air, terdapat
Tumbuhan
bawah
seperti
paku-pakuan
dan
Parit
-
Parit
-
Batas Areal
Berada di
tengah
perkebunan
sawit besar,
berbatasan
dengan
kantor
kebun PTN
Berbatasan
langsung
dengan SM
dan KSS1
Berbatasan
langsung
dengan HS
dan kebun
sawit
swadaya
Berada di
dekat
pemukiman
Berbatasan
dengan HS,
kebun
karet, dan
kebun
sawit besar
yang
dibatasi
dengan
parit gajah
Permukaan Berbatasan
tanah
dengan
tergenang areal SM
air
dan
terdapat
sungai
18
Tabel 4 Kondisi umum lokasi penelitian (lanjutan)
Tipe
Tahun
Kondisi
Sumber
Tutupan Tanam Vegetasi
Permukaan
PSB
Air
Lahan
Sawit
Tanah
harendong
bulu. Terdapat
mukuna yang
menginvasi ke
areal NKT
SM
2013 Homogen Permukaan
Parit
tanah tertutup kecil
oleh mukuna
dan serasah
ST
1986
Homogen Banyak
ditumbuhi
tumbuhan
bawah
Aliran
air
KSS3
1994
KSS4
2000
Homogen Ditumbuhi
Parit
ilalang dengan
tinggi sekitar
15-30 cm.
Homogen Permukaan
tanah tertutup
serasah
dan
banyak
ditumbuhi
tumbuhan
bawah
Batas Areal
Berbatasan
langsung
dengan
areal sawit
berumur tua
dan NKT
Areal
ini
terpisah
oleh jalan
poros
perkebunan,
berbatasan
langsung
dengan
sekolah
dasar
Parit
dan
jalan
Berbatasan
langsung
dengan
pemakaman
umum dan
jalan
Merujuk pada penelitian Santosa et al. (2016) yang dilakukan di Provinsi
Riau Tahun 2016, diperoleh informasi bahwa pada PSB PTN tutupan lahan
sebelum menjadi perkebunan sawit merupakan perkebunan karet PTN II Tanjung
Morawa Sumatera Utara dan hutan sekunder. Tutupan lahan yang mendominasi
adalah perkebunan karet. Begitupun halnya dengan PT IMT. Sebelum menjadi
perkebunan sawit, tutupan lahan di PT IMT