Manfaat Areal Nilai Konservasi Tinggi (Nkt) Terhadap Konservasi Keanekaragaman Hayati Di Perkebunan Sawit Besar Provinsi Riau

MANFAAT AREAL NILAI KONSERVASI TINGGI (NKT)
TERHADAP KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI DI
PERKEBUNAN SAWIT BESAR PROVINSI RIAU

SITI NURJANNAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Manfaat Areal Nilai
Konservasi Tinggi (NKT) terhadap Konservasi Keanekaragaman Hayati di
Perkebunan Sawit Besar Provinsi Riau adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2017
Siti Nurjannah
E351150196

RINGKASAN
SITI NURJANNAH. Manfaat Areal Nilai Konservasi Tinggi (NKT) Terhadap
Konservasi Keanekaragaman Hayati di Perkebunan Sawit Besar Provinsi Riau.
Dibimbing oleh ERVIZAL AM ZUHUD dan ARZYANA SUNKAR.
Alokasi sisa hutan diharapkan dapat meningkatkan variasi habitat di
perkebunan kelapa sawit untuk meningkatkan keanekaragaman hayati. Salah satu
sisa hutan di perkebunan kelapa sawit adalah areal Nilai Konservasi Tinggi
(NKT). RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) dan ISPO (Indonesian
Sustainable Palm Oil Certification System) mengusung NKT sebagai salah satu
syarat sertifikasi perkebunan kelapa sawit agar dapat berkelanjutan dan
mengurangi dampak negatif secara ekologi. Sampai saat ini, belum diketahui
sejauh mana manfaat dan bentuk pengelolaan areal NKT dalam konservasi
keanekaragaman hayati, sehingga penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
manfaat areal NKT untuk tumbuhan dan satwaliar dan bentuk pengelolaan areal

NKT di perkebunan sawit.
Penelitian dilakukan pada bulan Maret-April 2016 di empat perusahaan
sawit besar Provinsi Riau di Kabupaten Kampar dan Pelalawan. Metode
pengumpulan data untuk inventarisasi keanekaragaman tumbuhan yaitu analisis
vegetasi, sedangkan untuk data satwaliar menggunakan metode transek garis dan
pemasangan kamera trap (mamalia dan burung) dan metode time search (kupukupu), serta wawancara kepada masyarakat dan pengelola. Analisis data
menggunakan kerapatan relatif, Indeks Shanon-Wiener, Indeks Margaleff, Indeks
Evenness, dan analisis deskriptif untuk data hasil wawancara.
Areal NKT pada lokasi penelitian ditetapkan pada tahun 2011 (lokasi 1) dan
tahun 2013 (lokasi 2, 3, 4). Hasil identifikasi NKT pada keempat lokasi
menunjukkan tipe yang berbeda-beda. Lokasi 1 dan 2 adalah NKT 1, sedangkan
lokasi 3 dan 4 adalah NKT 4. Areal NKT yang memiliki nilai keanekaragaman
tumbuhan paling tinggi yaitu lokasi 1 dan lokasi 2, keanekaragaman mamalia
paling tinggi di lokasi 1, keanekaragaman burung tertinggi di lokasi 3, dan kupukupu pada lokasi 4. Keberadaan satwaliar di areal NKT sangat dipengaruhi oleh
keanekaragaman spesies tumbuhan sebagai tumbuhan pakan dan beraktivitas
(mamalia dan burung) dan tumbuhan inang (kupu-kupu).
Pengelolaan yang dilakukan pada areal NKT pada setiap lokasi berbedabeda, menyebabkan keanekaragaman tumbuhan dan satwaliar di areal NKT
bervariasi. Bentuk pengelolaan yang diterapkan yaitu pengayaan spesies
tumbuhan (lokasi 1, 3, dan 4), perlindungan pohon sialang (lokasi 2), dan
pembentukan zonasi sempadan sungai (lokasi 3 dan 4). Penetapan areal NKT

sudah sesuai dengan panduan HCV-RN tahun 2013 namun diperlukan
pengakayaan spesies tumbuhan berguna untuk tetap menjaga kelestarian satwaliar
maupun kondisi sosial lingkungan di sekitar areal perkebunan kelapa sawit.
Kata kunci: nilai konservasi tinggi, satwaliar, tumbuhan, konservasi.

SUMMARY
SITI NURJANNAH. The Benefits High Conservation Value Area (HCV) for
Biodiversity Conservation in Oil Palm Plantation Riau Province. Supervised by
ERVIZAL AM. ZUHUD and ARZYANA SUNKAR.
The allocation of the remaining forest is expected to increase the variety of
habitats in oil palm plantations to increase biodiversity. One of the remaining
forest in oil palm plantations are areas of High Conservation Value (HCV). RSPO
(Roundtable on Sustainable Palm Oil) and the ISPO (Indonesian Sustainable Palm
Oil Certification System) carrying HCV in one of the conditions of certification of
oil palm plantations in order to be sustainable and reduce negative ecological
impacts. Until now not known the extent to which the benefits and forms of
management of HCV areas in biodiversity conservation, so this study aimed to
analyze the benefits of HCV for plant and wildlife and management form of HCV
in oil palm plantations.
The study was conducted in March-April 2016 in the four major oil

companies in Kampar and Pelalawan District, Methods of data collection:
vegetation analysis method for plants diversity, line transect method and
installation of camera traps for mammals and birds diversity, time search method
for butterflies diversity, and interview the community and the owners. Data
analysis: Shannon-Wiener index, Margaleff index, evenness index, and a
descriptive analysis data from interviews.
HCV area of the study sites designated in 2011 (location 1) and in 2013
(location 2, 3, 4). The results in four locations showed HCV have different types.
Location 1 and 2 are HCV1, while the location of 3 and 4 are HCV4. HCV areas
that have the highest value of plant diversity that is the location 1 and location 2,
the highest mammalian diversity in location 1, the highest bird diversity in three
locations, and butterflies on location 4. The presence of wildlife in the HCV area
strongly influenced by the diversity of plant species as food plants and move
(mammals and birds) and host plants (butterfly).
Form of management of each area of HCV is different, thus causing the
diversity of plants and wildlife in the area HCV varies. Management practices
applied, namely enrichment plant species (locations 1, 3, and 4), a tree protection
beehive (location 2), and the establishment of riparian zones (locations 3 and 4).
Determination of HCV areas are in accordance with the guidelines of HCV-RN in
2013 but required enrichment plant species useful to keep the preservation of

wildlife and the social conditions of the environment around oil palm plantations.
Keywords : conservation, high conservation value, plants, wildlife.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

MANFAAT AREAL NILAI KONSERVASI TINGGI (NKT) TERHADAP
KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI DI PERKEBUNAN
KELAPA SAWIT BESAR PROVINSI RIAU

SITI NURJANNAH

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Nyoto Santoso, MS

PRAKATA
Puji dan syukur kehadirat Allah Subhanahu wa ta’ala atas segala karuniaNya sehingga karya tulis ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Maret-April 2016 ini ialah
Manfaat dan Bentuk Pengelolaan Areal Nilai Konservasi Tinggi (NKT) di
Perkebunan Kelapa Sawit Besar Provinsi Riau.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Ervizal AM. Zuhud
MS dan Ibu Dr Ir Arzyana Sunkar M.Sc selaku pembimbing dan telah banyak
memberi saran. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Prof Dr Yanto

Santosa DEA, Ir Erniwati M.Sc dan seluruh tim Riset Sawit Riau, Badan
Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Lembaga Penelitian dan
Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB, Pradipta Banu S.Hut, Amanda
Nastria Okta S.Pd, Hafizah Nahlunnisa M.Si, Galuh Masyithoh M.Si, seluruh satff
dan karyawan PT Perkebunan Nusantara V Tamora, PT Surya Agrolika Reksa, PT
Adimulia Agrolestari, dan PT Mitra Unggul Pusaka, ayah, ibu, dan keluarga,
pejuang Msi Fasttrack 48, dan sahabat KVT 2014-2015 atas segala doa, kasih
sayang, dan dukungannya.
Semoga hasil penelitian ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2017
Siti Nurjannah

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian

Manfaat Penelitian
Alur Pikir Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Perkembangan Perkebunan Sawit di Indonesia
Konsep Nilai Konservasi Tinggi
Proses Penetapan Areal NKT
Keanekaragaman Tumbuhan
Keanekaragaman Satwaliar
3 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Alat, Bahan, dan Instrumen Penelitian
Metode Pengumpulan Data
Analisis Data
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Manfaat Areal NKT terhadap Konservasi Keanekaragaman Hayati
Keanekaragaman spesies tumbuhan
Keanekaragaman spesies mamalia
Keanekaragaman spesies burung
Keanekaragaman spesies kupu-kupu
Potensi manfaat spesies tumbuhan di areal NKT

Pemanfaatan ruang areal NKT untuk satwaliar
Bentuk Pengelolaan Areal NKT
Pengayaan spesies tumbuhan
Perlindungan pohon sialang
Sistem zonasi
Persepsi masyarakat terhadap areal perkebunan kelapa sawit
Rekomendasi pengelolaan areal NKT
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

vi
vi
vi
1
1
2

2
2
3
3
4
6
7
9
11
11
12
13
15
17
17
17
19
21
22
23

25
29
30
33
34
35
36
37
37
37
38
47
94

DAFTAR TABEL
1
2
3
4

Tipe, fungsi, dan kriteria areal NKT di lokasi penelitian
Jenis data yang dikumpulkan
Lokasi penelitian pada setiap perusahaan
Nilai keanekaragaman dan kemerataan tumbuhan di lokasi
penelitian
5 Kerapatan spesies tumbuhan tertinggi di lokasi penelitian
6 Keanekaragaman spesies mamalia di perkebunan sawit besar
7 Keanekaragaman spesies burung di perkebunan sawit
8 Keanekaragaman spesies kupu-kupu di perkebunan sawit
9 Potensi manfaat spesies tumbuhan di areal NKT
10 Bentuk pengelolaan areal NKT dan pengaruhnya terhadap
keanekaragaman hayati
11 Kesesuaian NKT dan rekomendasinya

7
13
14
18
19
20
22
23
24
30
35

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5

6
7
8

9

10

11
12
13
14
15

Alur Pikir Penelitian
Peta lokasi penelitian
Petak pengamatan analisis vegetasi
Spesies tumbuhan yang dimanfaatkan oleh mamalia sebagai pohon
pakan : (a) Ficus variegata, (b) Pternandra caerulescens
Bentuk pemanfaatan vegetasi oleh mamalia : (a) bajing
(Callosciurus notatus) dan (b) monyet ekor panjang (Macaca
fascicularis)
Bentuk pemanfaatan vegetasi oleh spesies burung : (a) Psittacula
longicauda dan (b) Aegithina tiphia
Bentuk pemanfaatan vegetasi oleh spesies kupu-kupu : (a)
Mycalesis horsfieldii, (b) Graphium sarpedon
Pemanfaatan areal NKT lokasi 1 : (a) Bajing (Callosciurus notatus),
(b) betet ekor panjang (Psittacula longicauda), (c) lutung kelabu
(Presbytis cristata), (d) Junonia orithya
Pemanfaatan areal NKT lokasi 2: (a) Ypthima horsfieldii,(b)
jingjing batu (Hemipus hirundinaceus), elang ular bido (Spilornis
cheela), tekukur biasa (Streptopelia chinensis)
Pemanfaatan areal NKT di lokasi 3 dan 4 oleh satwaliar: (a) Papilio
memnon, (b) Mycalesis horsfieldii, (c) Leptosia nina, (d) Neptis
hylas, (e) kareo padi (Amaurornis phoenicurus), (f) bubut alangalang (Centropus bengalensis), (g) Cinenen kelabu (Orthotomus
ruficeps)
Pengayaan spesies di NKT lokasi 1
Areal NKT di lokasi 3 dan 4
Jumlah spesies tumbuhan untuk pengayaan spesies
Pohon sialang di lokasi 2
Sistem zonasi di areal NKT lokasi 3 dan 4: (a) Sistem zonasi
sepanjang 50 m pada sempadan sungai, (b) pengayaan spesies
tumbuhan di sempadan sungai

3
12
15
21
22

23
24
27

28

29

31
31
32
33
34

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8

Kondisi umum lokasi penelitian
Keanekaragaman spesies tumbuhan di areal NKT
Keanekaragaman spesies tumbuhan di areal hutan sekunder
Keanekaragaman spesies mamalia di perkebunan kelapa sawit
Keanekaragaman spesies burung di perkebunan kelapa sawit
Keanekaragaman spesies kupu-kupu di perkebunan kelapa sawit
Daftar spesies tumbuhan berguna di areal NKT
Spesies tumbuhan untuk pengayaan vegetasi di areal NKT

47
49
58
67
68
71
74
93

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kelapa sawit merupakan komoditi perkebunan yang memiliki peran penting
bagi perindustrian dan pembangunan ekonomi Indonesia (Casson 1999; Sheil et al.
2009; McCarthy dan Zen 2010; WG 2011; Gingold et al. 2012; Fitriani et al.
2015). Area konsesi perkebunan kelapa sawit di Indonesia paling banyak
ditemukan di Kalimantan dan Sumatera (Potter 2015). Hasil penelitian Tarigan et
al. (2015) menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit terus mengalami
peningkatan dari 7.8 juta hektar pada tahun 2010 menjadi 10 juta hektar pada
tahun 2015 (Potter 2015), dan diduga akan terus meningkat mendekati 20 juta
hektar pada tahun 2020 (Rist et al. 2010; Potter 2015).
Perkebunan kelapa sawit yang monokultur dianggap telah mengubah tata
guna lahan sehingga menurunkan keanekaragaman hayati (Pribadi 2005;
Fitzherbert et al. 2008; Danielsen et al. 2009, Koh and Wilcove 2008; Sodhi et al.
2010; Ayat 2011; Azhar et al. 2012; Azhar et al. 2015). Aratrakorn et al. (2006)
menemukan bahwa konversi hutan menjadi areal perkebunan kelapa sawit
menurunkan kekayaan spesies minimal 60%. Hasil penelitian Maddox et al.
(2007) juga mengindikasikan hal yang sama, bahwa keanekaragaman tumbuhan
di areal perkebunan kelapa sawit lebih rendah dibandingkan hutan alam, yaitu
sebanyak 75%, namun Foster et al. (2011) menemukan bahwa fungsi ekosistem di
perkebunan kelapa sawit telah tergantikan dengan adanya spesies baru di
perkebunan kelapa sawit, khususnya untuk serangga.
Alokasi sisa hutan di hutan produksi dan perkebunan dapat digunakan untuk
pelestarian keanekaragaman hayati (Meijaard et al. 2006). Salah satu sisa hutan di
perkebunan kelapa sawit adalah areal Nilai Konservasi Tinggi (NKT), sehingga
diharapkan di perkebunan kelapa sawit berpengaruh terhadap meningkatnya
keanekaragaman hayati. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa variasi habitat
berpengaruh terhadap keberadaan burung (Dewi et al. 2007), mamalia (Santosa et
al. 2008), dan kupu-kupu (Febrita et al. 2014, Lien 2015, Rahayu dan Basukriadi
2012, Stefanescu 2009) karena perbedaan vegetasi yang ada pada setiap habitat
berbeda. Oleh karenanya, sebagai upaya mengurangi berbagai dampak negatif
secara ekologi di perkebunan kelapa sawit, maka RSPO (Roundtable on
Sustainable Palm Oil) mengusung NKT di dalam salah satu syarat sertifikasi
perkebunan kelapa sawit agar dapat berkelanjutan yang termuat dalam prinsip ke5, yaitu tanggung jawab lingkungan dan konservasi sumber daya alam dan
keanekaragaman hayati dan prinsip ke 7, yaitu pengembangan perkebunan baru
yang bertanggung jawab (WG 2011).
Suatu areal yang memiliki fungsi NKT disebut sebagai KBKT (Kawasan
Bernilai Konservasi Tinggi) yang berfungsi meningkatkan jumlah kawasan
lindung dan kegiatan restorasi hutan serta menyediakan sarana pelaksanaan
kegiatan konservasi (Jennings 2004; Mustaghfirin 2012). Keberadaan NKT pada
areal perkebunan kelapa sawit dimaksudkan untuk menjaga nilai-nilai ekologi dan
konservasi dari kawasan tersebut (HCV-RIWG 2009), selain itu UU No 18 tahun
2004 tentang Perkebunan, mengharuskan pembangunan perkebunan
diselenggarakan berdasarkan atas asas manfaat dan berkelanjutan, keterpaduan,

2
kebersamaan, keterbukaan, serta berkeadilan. NKT dibagi berdasarkan fungsinya
yaitu memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang penting (NKT1), memiliki
bentang alam yang penting bagi dinamika ekologi secara alami (NKT2),
merupakan ekosistem langka atau terancam punah (NKT 3), menyediakan jasa
lingkungan alami (NKT4), memiliki fungsi penting untuk pemenuhan kebutuhan
dasar masyarakat lokal (NKT5), dan untuk identitas budaya komunitas lokal
(NKT6) (HCV RN 2013).
Suhartini (2009) menyatakan bahwa studi tentang keanekaragaman hayati
sangat diperlukan guna mengembangkan dan menerapkan program pengelolaan
konservasi yang efisien. Hal ini bertujuan untuk melestarikan dan
mempertahankan keanekaragaman hayati yang tersisa, oleh karena itu pentingnya
dilakukan penelitian mengenai manfaat dan bentuk pengelolaan areal NKT dalam
konservasi keanekaragaman hayati di area perkebunan sawit.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menganalis manfaat areal nilai konservasi tinggi
terhadap konservasi keanekaragaman hayati di perkebunan sawit besar Provinsi
Riau, dengan rincian sebagai berikut :
1. Menganalisis manfaat areal NKT terhadap keanekaragaman hayati baik
tumbuhan maupun satwaliar (mamalia, burung, kupu-kupu)
2. Merumuskan bentuk pengelolaan berkelanjutan areal NKT di perkebunan
kelapa sawit besar
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber data dan informasi
untuk pemerintah dan pengelola mengenai manfaat areal nilai konservasi tinggi
terhadap konservasi keanekaragaman hayati. Data dan informasi ini dapat menjadi
dasar dan bahan pertimbangan dalam manajemen pengelolaan areal NKT yang
efektif, sehingga perkebunan kelapa sawit dapat berjalan secara berkelanjutan
dengan mempertimbangkan manfaat areal NKT, khususnya terhadap
keanekaragaman hayati.
Alur Pikir Penelitian
Keberadaan perkebunan kelapa sawit tidak terlepas dari pendapat negatif
terhadap berkurangnya keanekaragaman hayati (biodiversity loss). Munculnya
konsep NKT di dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit diharapkan dapat
menurunkan dampak negatif yang ditimbulkan serta menciptakan kegiatan
perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan. Mengacu pada hal tersebut,
penelitian mengenai peran NKT di dalam areal perkebunan kelapa sawit dengan
melihat kondisi sumberdaya alam berupa struktur vegetasi di dalamnya dalam
mendukung keberadaan satwaliar dan peningkatan kondisi lingkungan yang
dinilai buruk, diperlukan untuk kegiatan pengelolaan areal NKT yang lebih baik
dan sesuai dengan peruntukannya. Kebijakan perusahaan terkait pengelolaan NKT
digunakan sebagai acuan bentuk pengelolaan NKT yang sesuai dengan konsep-

3
konsep NKT berdasarkan Panduan Identifikasi Kawasan Bernilai Konservasi
tinggi di Indonesia versi 2 Tahun 2008 (HCV RN 2013).
Konsep yang diusung dalam penelitian ini adalah melihat bagaimana
perkebunan kelapa sawit menerapkan areal NKT yang sudah ada, baik dari segi
ekologi maupun sosial. Alur pikir penelitian disajikan pada Gambar 1.
Perkebunan Sawit
SAWITKelapa Sawit

Persepsi negatif: penurunanan
keanekaragaman hayati

Variasi Habitat :
Meningkatkan keanekaragaman
hayati

Areal NKT

Kebun Tanaman
Sawit

Hutan Sekunder
(diluar HGU)

Analisis :
 Keanekaragaman tumbuhan
 Keberadaan satwaliar
 Manfaat dan fungsi Areal NKT


Bentuk pengelolaan areal NKT
di perkebunan sawit
berkelanjutan
Gambar 1 Alur Pikir Penelitian

2 TINJAUAN PUSTAKA
Perkembangan Perkebunan Sawit di Indonesia
Kelapa sawit pertama kali masuk ke Indonesia tahun 1911, dibawa oleh
Adrien Hallet yang berkebangsaan Belgia. Empat pohon sawit pertama dibawa
dari Congo, untuk kemudian ditanam di Kebun Raya Bogor untuk melihat
kecocokannya dengan iklim dan tanah di Indonesia. Hasil perkembangbiakan dari
tanaman induk inilah yang kemudian menjadi cikal bakal perkebunan sawit
pertama di Sumatra (Yakub dan Samon 2011).
Perkebunan kelapa sawit memiliki banyak manfaat khusunya perkembangan
perekonomian di Indonesia (McCarthy dan Zen 2010, Li 2015). Hal ini sejalan
dengan data Statistik Dirjen Perkebunan 2016 bahwa luas lahan perkebunan

4
kelapa sawit di Indonesia terus meningkat. Selain itu, Indonesia menjadi produsen
kelapa sawit terbesar di dunia dengan kontribusi sebanyak 48% dari total volume
produksi minyak sawit di dunia (Liew 2015). Keberadaan perkebunan kelapa
sawit juga dipandang menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati karena
perubahan fungsi lahan (Fitzherbert et al. 2008, Koh dan Wilcove 2008, Widodo
dan Dasanto 2010, Vijay et al. 2016). Selain itu dampak negatif dari adanya
perkebunan kelapa sawit adalah kesulitan mendapatkan air bersih, perubahan
cuaca, kesulitan menanam tanaman lain, dan kondisi tanah semakin gersang
(Widodo dan Dasanto 2010). Namun hal itu tidak sependapat dengan Dradjat
(2012) yang mengungkapkan bahwa kelapa sawit bukan penyebab utama konversi
lahan, tetapi ada faktor lain yang menyebabkan penyusutan habitat satwaliar yaitu
perburuan dan pertambangan.
Minyak kelapa sawit mewakili 33.6 persen dari perdagangan minyak nabati
di dunia, dan produksi kelapa sawit Indonesia menyumbang 44.7 persen dari
perdagangan di pasar dunia tersebut. Hampir sebagian besar produk kelapa sawit
memang ditujukan untuk ekspor, sebab sejak awal tanaman ini ditanam di
Indonesia memang ditujukan untuk kebutuhan ekspor dengan rata-rata
peningkatan volume ekspor meningkat 18 persen per tahun (Sinaga 2010).
Di sisi lain, dengan maraknya isu kelapa sawit yang tidak ramah
lingkungan, Pemerintah membuat sebuah instrumen penilaian yang berdasar pada
prinsip keberlanjutan (sustainability) dalam pembangunan perkebunan kelapa
sawit Indonesia yang berwawasan lingkungan yaitu ISPO (Indonesia Sustainable
Palm Oil). ISPO merupakan skema sertifikasi perkebunan kelapa sawit lestari dan
berkelanjutan yang wajib diikuti dan diterapkan selambat-lambatnya pada 31
Desember 2014. Berdasarkan data dari Kementerian Pertanian, sampai dengan
Januari 2014, baru ada 40 perusahaan (dari ribuan perusahaan) perkebunan kelapa
sawit yang telah mendapatkan sertifikat ISPO dengan luasan sekitar 372.061
hektare. Selain ISPO, dikenal juga Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO)
sejak tahun 2004 yang sifatnya sukarela. Hingga pertengahan tahun 2014,
diperkirakan luas areal perkebunan kelapa sawit yang bersertifikat RSPO adalah
sekitar 1.98 juta hektar. Berdasarkan sertifikat ISPO dan RSPO diatas, dari sekitar
10 juta hektar luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia saat ini, hanya sekitar 2.4
juta hektar areal perkebunan kelapa sawit yang telah menerapkan prinsip
kelestarian dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit. Meskipun perkebunanperkebunan kelapa sawit yang telah bersertifikat ISPO attau RSPO juga ternyata
tidak terjamin bebas dari deforestasi dan konflik sosial, lebih besarnya areal
perkebunan sawit yang tidak bersertifikat ISPO atau RSPO, 7.6 juta hektar,
dibanding areal-areal yang sudah bersertifikat tersebut, berarti sangat besarnya
potensi deforestasi dan konflik sosial di seluruh areal perkebunan kelapa sawit di
Indonesia (Purba et al. 2014).
Konsep Nilai Konservasi Tinggi
NKT muncul pertama kali pada pertemuan Tim WWF di Badan Planologi
Kehutanan pada tanggal 7 September 2005. Konsep ini pertama kali disusun oleh
Forest Stewardship Counsil (FSC) pada tahun 1999 sebagai prinsip ke 9 dari
standar pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Konsep ini mengintegrasikan
pemanfataan hutan dengan isu konservasi lingkungan, sosial kultur dalam suatu

5
unit pengelolaan yang diharapkan berlangsungnya pembangunan dari suatu unit
pengelolaan sejalan dengan manfaat lainnya yaitu terjaganya nilai-nilai penting
dari suatu kawasan. Konsep HCV pada awalnya dirancang dan diaplikasikan
untuk pengelolaan hutan produksi (areal hak pengelolaan hutan/HPH). Konsep ini
berkembang sehingga dapat digunakan di berbagai sektor yang lain. Keberadaan
HCV pada sektor publik digunakan dalam perencanaan pada tingkat nasional dan
provinsi, seperti di Bolivia, Bulgaria dan Indonesia (HCV-RIWG 2009).
Keberadaan Konsep NKT juga telah diadopsi ke dalam skema sertifikasi
lainnya oleh berbagai organisasi dan institusi yang bertujuan untuk
mempertahankan dan/atau meningkatkan nilai-nilai lingkungan dan sosial yang
signifikan atau penting sebagai bagian dari tata kelola yang bertanggung jawab.
NKT mengharuskan tingkat perlindungan yang lebih tinggi untuk memastikan
keberlangsungan dalam jangka panjang (HCV-RN 2013). Priambudi (2015)
menegaskan bahwa setiap rencana atau realisasi pelaksanaan perubahan bentang
alam diharuskan mempertimbangkan nilai konservasi tinggi dari ekosistem
maupun karakteristik jenis tumbuhan alam dan satwa liar yang dikandungnya.
NKT merupakan nilai biologis, ekologis, sosial, atau kultural yang
memiliki signifikasi luar biasa atau peranan yang sangat penting. Panduan
Identifikasi NKT di Indonesia tahun 2008 menyebutkan bahwa kawasan bernilai
tinggi adalah kawasan yang memiliki salah satu ciri-ciri sebagai berikut:
1. NKT1, adalah kawasan yang mempunyai tingkat keanekaragaman hayati
yang penting. NKT1 terbagi menjadi :
NKT 1.1 Kawasan yang mempunyai atau memberikan fungsi pendukung
keanekaragaman hayati bagi kawasan lindung dan/atau konservasi
NKT 1.2 Spesies hampir punah
NKT 1.3 Kawasan yang merupakan habitat bagi populasi spesies yang
terancam, penyebaran terbatas atau dilindungi yang mampu
bertahan hidup (Viable Population).
NKT 1.4 Kawasan yang merupakan habitat bagi spesies atau sekumpulan
spesies yang digunakan secara temporer
2. NKT 2, kawasan dengan memiliki bentang alam yang alami dan dinamika
ekologi. NKT 2 terbagi menjadi :
NKT 2.1 Kawasan bentang alam luas yang memiliki kapasitas untuk menjaga
proses dan dinamika ekologi secara alami
NKT 2.2 Kawasan alam yang berisi dua atau lebih ekosistem dengan garis
batas yang tidak terputus (berkesinambungan)
NKT 2.3 Kawasan yang mengandung populasi dari perwakilan spesies alami
3. NKT 3, kawasan yang mengandung populasi dari perwakilan spesies alami
yang mampu bertahan hidup atau ekosistem bagi spesies yang jarang atau
terancam punah
4. NKT 4, kawasan yang memiliki jasa lingkungan. NKT 4 terbagi menjadi :
NKT 4.1 Kawasan atau ekosistem yang penting sebagai penyedia air dan
pengendalian banjir bagi masyarakat hilir
NKT 4.2 Kawasan yang penting bagi pengendalian erosi dan sedimentasi
NKT 4.3 Kawasan yang berfungsi sebagai sekat alam untuk mencegah
meluasnya kebakaran hutan atau lahan

6
5.

NKT 5, kawasan yang fundamental untuk memenuhi kebutuhan dasar
masyarakat lokal (misalnya, kebutuhan dasar masyarakat yang masih
subsisten, kesehatan, dan sebagainya).
6. NKT 6, kawasan yang sangat penting bagi identitas budaya tradisional
masyarakat lokal (kawasan-kawasan yang memiliki nilai penting secara
budaya, ekologi, ekonomi atau agama yang diidentifikasi bersama dengan
masyarakat lokal).
Mustaghfirin (2012) menyebutkan bahwa konsep NKT ditujukan untuk
membantu para pengelola hutan dalam usaha peningkatan keberlanjutan sosial dan
lingkungan hidup dalam kegiatan produksi kayu. Selain itu NKT harus
diutamakan untuk kelestarian keanekaragaman hayati serta perlindungan Daerah
Aliran Sungai (DAS) dan jasa lingkungan (Murdiyarso et al. 2011). Setiap areal
perkebunan kelapa sawit memiliki NKT yang beragam tergantung lokasi
bioregion dan biogeografi (Mustaghfirin 2012).
Proses Penetapan Areal NKT

Semua perusahaan mulai berdiri pada tahun 1990-an. Status kepemilikan
lokasi 1 adalah milik pemerintah, sedangkan tiga perusahaan lainnya adalah milik
swasta (Lampiran 1). Semua lokasi sudah melakukan kegiatan sertifikasi areal
NKT dan merupakan anggota dari RSPO. Sertifikasi pengelolaan yang
keberlanjutan dari RSPO akan didapatkan jika pembangunan perkebunan baru
menghindari konversi kawasan yang diperlukan untuk mengelola NKT yang ada.
Tujuan pembentukan RSPO adalah untuk mendorong perluasan sektor kelapa
sawit yang lebih “bertanggung jawab” untuk memenuhi permintaan minyak dan
lemak kelapa sawit global yang berlipat ganda dalam kurun waktu 20 tahun
kedepan (Cholcester et al. 2006). Tujuan lain dari pembentukan RSPO adalah
untuk menetapkan standar baku produksi dan pemanfaatan “minyak kelapa sawit
berkelanjutan” (sustainable palm oil/SPO) serta mendukung perdagangan minyak
kelapa sawit yang menolak produksi minyak kelapa sawit yang merusak
lingkungan (Cholcester et al. 2006).
Peraturan tentang perkebunan kelapa sawit berkelanjutan juga termuat
dalam Peraturan Menteri Pertanian RI nomor 11/Permentan/OT.140/3/2015
tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian
Sustainable Palm Oil Certification System /ISPO) yang mewajibkan semua
perusahaan perkebunan sawit besar wajib melakukan kegiatan sertifikasi ISPO.
Kewajiban perkebunan kelapa sawit besar wajib melakukan pelestarian
keanekaragaman hayati (kriteria 3.4 ISPO) dan identifikasi kawasan yang
mempunyai nilai konservasi tinggi (kriteria 3.4 ISPO). Kawasan nilai konservasi
tinggi yang dimaksud dalam ISPO adalah areal NKT.
Berdasarkan hasil kajian NKT yang dilakukan oleh tim Fakultas Kehutanan
IPB selama tahun 2009-2011 di berbagai wilayah di Indonesia khususnya
Sumatera dan Kalimantan, menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit minimal
memiliki 3 (tiga) tipe NKT. Setiap areal perkebunan kelapa sawit memiliki NKT
yang beragam tergantung pada lokasi bioregion dan biogeografi, kawasan yang
memiliki nilai budaya tinggi dan menjadi sumber pemenuhan kebutuhan pokok
masyarakat lokal. Rata-rata perkebunan kelapa sawit di Indonesia memiliki luasan
NKT sebesar 1 413.80 ha (Mustaghfirin 2011).

7
Suatu areal diklasifikasikan sebagai NKT bila memenuhi salah satu dari
fungsi NKT, yaitu NKT 1-3 untuk keanekaragaman hayati, NKT 4 untuk kawasan
dengan nilai jasa lingkungan alami, serta NKT 5 dan NKT 6 untuk aspek sosial
dan budaya (Jennings et al. 2003, HCV Toolkit 2008, Edwards et al. 2011). NKT
kini digunakan secara luas dalam standar-standar sertifikasi (kehutanan, pertanian,
dan sistem perairan) dan secara umum dalam pemakaian sumber daya dan
perencanaan konservasi (HCV Toolkit Indonesia 2013; HCV RN 2013).
Keanekaragaman Tumbuhan
Keanekaragaman spesies
Yoza (2000) menyatakan bahwa sistem pembukaan lahan dalam perkebunan
kelapa sawit dengan membakar hutan menyebabkan hilangnya keanekaragaman
spesies tumbuhan. Deforestasi dan konversi lahan menyebabkan perubahan
struktur dan komposisi vegetasi (Ismaini et al. 2015). Pulau Sumatera, selain
merupakan salah satu provinsi yang memiliki areal perkebunan sawit terbesar di
Indonesia, juga merupakan habitat spesies lokal, sehingga perlu dilakukan
kegiatan konservasi (Widyatmoko dan Yudohartono 2015).
Konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam
hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin
kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan
kualitas keanekaragaman dan nilainya (UU No 5 tahun 1990). Konservasi adalah
bentuk kegiatan pemanfaatan yang dilakukan secara berkelanjutan. Menurut
Zuhud et al. 2013, konservasi adalah dengan pemanfaatan secara berkelanjutan
selalu ada nilai yang didapatkan oleh masyarakat, sehingga ada kerelaan untuk
berkorban dalam memelihara keberlanjutan dari sumberdaya alam yang
dimanfaatkan.
Provinsi Riau memiliki spesies tumbuhan seperti meranti (Shorea spp),
ramin (Gonystylus bancanus Kurz), kempas (Koompassia malaccensis Maig),
bintangur (Calophyllum spp), pinang merah (Cyrtotachys lakka), dan nipah (Nypa
fructican (WWF 2006, Antoko et al. 2006). Konservasi spesies tumbuhan
merupakan sebagian dari usaha untuk melindungi spesies tumbuhan asli hutan
alam terutama yang mulai langka (Kainde 2011). Keragaman spesies tumbuhan
seringkali merupakan indikator yang baik bagi keragaman komunitas (Indrawan et
al. 2007), dengan demikian keragaman pohon yang tinggi dapat menciptakan
habitat yang sesuai dan relung-relung untuk berbagai organisme dan terciptanya
jarring-jaring makanan, siklus hara dan siklus energi yang efisien untuk
perkembangan dan kestabilan yang dinamis dari suatu ekosistem (Kainde 2011).
Komposisi dan kekayaan spesies diformulasikan dalam indeks
keanekaragaman dan sangat berkaitan dengan nilai konservasi suatu kawasan
(Purnomo dan Usmadi 2012). Keanekaragaman spesies merupakan suatu
karakteristik tingkatan komunitas berdasarkan organisasi biologinya yang dapat
digunakan untuk menyatakan struktur komunitas (Soegianto 1994). Konsep ini
dapat digunakan untuk mengukur kemampuan suatu komunitas pada suatu habitat
dalam menyeimbangkan komponennya dari berbagai gangguan yang timbul.
Secara kuantitatif, keanekaragaman spesies dapat diukur berdasarkan indeks
kekayaan, indeks keanekaragaman, kelimpahan jenis, dan indeks kesamarataan
yang menandakan pembagian individu yang merata diantara spesies (Antoko et al.

8
2006). Keanekaragaman spesies tidak hanya merupakan fungsi dari jumlah
spesies, tetapi juga fungsi dari kemerataan distribusi kelimpahan dari spesies itu
dalam komunitasnya (Widhiastuti et al. 2006).
Nilai indeks kesamarataan merupakan ukuran keseimbangan antara suatu
komunitas satu dengan lainnya. Nilai ini dipengaruhi oleh jumlah spesies yang
terdapat dalam satu komunitas (Ludwig dan Reynolds 1988). Dominasi spesies
yang rendah dan tidak adanya permudaan alam dapat mengancam kelangsungan
hidup vegetasi yang ada (Sutrisno dan Wahyudi 2015). Menurut Heriyanto dan
Garsetiasih (2007), spesies dominan adalah speises yang dapat memanfaatkan
lingkungan yang ditempatinya secara efisien dari pada spesies lain dalam tempat
yang sama. Keberadaan masing-masing spesies memiliki peranan tersendiri dalam
sebuah suksesi sebagai tutupan vegetasi.
Penelitian tidak hanya dilakukan pada kawasan berhutan, namun juga di
sempadan sungai. Menurut Nursal et al. (2013), keberadaan vegetasi di pinggir
sungai (riparian) menjadi sangat penting untuk memasok nutrisi dan energi ke
dalam ekosistem perairan. Komposisi spesies dan struktur vegetasi riparian sangat
bergantung pada faktor lingkungan seperti derajat kemasaman, suhu mikro,
kandungan hara, intensitas cahaya dan penggenangan oleh limpasan (Sutrisno dan
Wahyudi 2015).
Keanekaragaman Manfaat
Spesies tumbuhan memiliki potensi untuk dimanfaatkan. Setiap bagian dari
spesies tumbuhan memiliki manfaat yang berbeda-beda, baik manfaat sosial,
ekologi, ataupun ekonomi. Saat ini, spesies tumbuhan secara langsung
dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari,
yaitu sebagai tumbuhan pangan, papan, obat-obatan, kegiatan upacara tradisional,
kayu bakar, dan lain lain. Iswandono (2007) mengatakan bahwa nilai kebutuhan
masyarakat meliputi sumberdaya di dalam hutan yang diperlukan untuk
menunjang kelangsungan hidupnya. Sumberdaya yang diperlukan ini menyangkut
kebutuhan mendasar yaitu sandang, papan dan pangan.
Tumbuhan berperan penting dalam kehidupan manusia. Tumbuhan
merupakan sumber bahan pangan, papan, sandang, obat, kerajinan, kegiatan sosial
dan sebagainya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahayu et al. (2007), bahwa
masyarakat lokal di Sungai Kapa, Jambi memanfaatkan sekitar 100 jenis
tumbuhan untuk pangan (buah-buahan dan sayuran) dan pakan, obat, kerajinan,
pemberantasan hama padi, dan upacara tradisional. Selain itu etnis Sakai di Desa
Petani, Duri, Riau memanfaatkan berbagai organ tumbuhan yang meliputi akar,
batang, daun, buah, biji, bahkan bunga. Etnis Sakai cenderung menggunakan
organ tumbuhan bagian daun. Dari beberapa jenis organ yang digunakan organ
daun merupakan bagian tumbuhan yang lebih mudah didapatkan serta mudah
untuk diolah dari pada organ seperti akar, batang, bunga, buah dan biji. Selain itu
organ daun juga dipercaya dapat menetralkan suhu tubuh manusia (Wulandari et
al. 2014)
Interaksi yang terjalin antara manusia dengan alam menumbuhkan kearifan
manusia dalam mengolah dan memanfaatkan tumbuhan dengan sangat baik
seperti sebagai kebutuhan sehari-hari maupun sebagai bahan pengobatan
(Fakhrozi 2009). Hasil penelitian Bismark et al. (2007) menyebutkan bahwa
potensi sumberdaya alam yang ada di kawasan dan daerah penyangga Taman

9
Nasional Ciremai cukup besar. Masyarakat umumnya sudah memanfaatkan
berbagai jenis tanaman lokal yang terdapat di sekitar tempat tinggal baik untuk
pemenuhan kebutuhan sendiri (subsisten) maupun untuk diperjualbelikan.
Tumbuhan berguna merupakan tumbuhan yang dapat dimanfaatkan untuk
memenuhi kebutuhan manusia. Tumbuhan berguna dapat dikelompokkan
berdasarkan pemanfaatannya antara lain tumbuhan sebagai bahan pangan,
sandang, bangunan, obat-obatan, kosmetika, alat rumah tangga dan pertanian, talitemali, anyam-anyaman, pelengkap upacara adat dan kegiatan sosial, minuman,
dan kesenian (Kartikawati 2004).
Keanekaragaman Satwaliar
Burung
Daftar burung Sumatera berjumlah 582 spesies, sekitar 465 diantaranya
bersifat menetap dan 14 bersifat endemis, menjadikan daerah Sumatera sebagai
daerah biogeografis terkaya kedua di Indonesia dalam hal burung, setelah Papua.
BirdLife International menyatakan bahwa terdapat 34 Kawasan Penting Burung
(Important Bird Areas/IBA) di pulau Sumatera, 54% diantaranya berada di luar
daerah yang diproyeksikan, dan 18% berada di hutan dataran rendah yang
keadaannya terancam kritis (CEPF 2001).
Populasi burung bervariasi menurut wilayah dan tipe habitat (Alikodra
1990). Beberapa spesies burung menggunakan berbagai tipe habitat tersebut untuk
mencari makan, reproduksi, dan menjaga kelangsungan hidupnya (Kuswanda
2010). Dalam habitatnya, burung memanfaatkan berbagai spesies tumbuhan
sebagai sumber pakan, tempat sarang serta tempat berlindung secara fisiologis
(Partasasmita 1998). Welty dan Baptista (1988) mengungkapkan bahwa
penyebaran dan populasi burung di suatu habitat dipengaruhi oleh faktor
fisik/lingkungan seperti tanah, air, temperatur, cahaya matahari dan faktor
biologis yang meliputi vegetasi dan satwa lainnya.
Aktivitas penebangan dan konversi hutan telah mengakibatkan spesies
burung yang sensitif, seperti jenis burung pelatuk (Picidae) kepadatannya semakin
menurun (Lambert 1992 dalam Partasasmita 2003). Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa perubahan struktur dan komposisi tumbuhan akibat
pemanenan kayu merubah kelimpahan dan keragaman jenis burung (Welsh 1987;
Thompson et al. 1999). Hasil penelitian Kuswanda (2010) menyebutkan bahwa
keanekaragaman burung dipengaruhi oleh kerapatan tumbuhan. Laiolo et al.
(2003) menyatakan juga bahwa perubahan struktur hutan dapat mempengaruhi
perubahan pemanfaatan ruang (relung ekologi) oleh burung, baik secara vertikal
maupun horizontal seperti dalam pencarian makan dan substrat. Kwok dan Corlett
(2000) mengatakan bahwa kawasan hutan meskipun berupa hutan sekunder,
merupakan habitat yang lebih baik bagi burung dibandingkan kawasan
terdegradasi atau lahan perkebunan, namun keragaman spesies burung dapat
dipengaruhi oleh kompleksitas tumbuhan pada suatu habitat (Kuswanda 2010).
Komposisi tumbuhan tidak terlalu berpengaruh secara signifikan terhadap
populasi burung, karena populasi burung lebih dipengaruhi oleh penyebaran dan
ketersediaan pohon pakan (Partasasmita 1998, Kuswanda 2010).

10
Mamalia
Mamalia merupakan salah satu taksa yang memegang peran penting dalam
mempertahankan dan memelihara kelangsungan proses-proses ekologis yang
bermanfaat bagi kesejahteraan hidup manusia. Chiroptera dan Primata merupakan
mamalia yang berperan penting sebagai agen penyerbuk, pemencar biji, dan
pengendali populasi serangga hama tanaman pertanian (Kartono 2015). Di sisi
lain, mamalia merupakan taksa satwa yang mempunyai resiko tinggi mengalami
kepunahan. Resiko kepunahan pada satwa berukuran besar dengan bobot tubuh
lebih dari 3 kg cenderung lebih tinggi karena laju reproduksi yang rendah dan
akibat fragmentasi habitat (Cardillo et al. 2005), kebutuhan habitat yang spesifik
serta keterbatasan kemampuan untuk melintasi matriks (McAlpine et al. 2006).
Keanekaragaman spesies mamalia pada areal yang belum dibuka lebih
tinggi dibandingkan dengan keanekaragaman mamalia pada areal yang sudah
dibuka menjadi perkebunan kelapa sawit (Arief et al. 2015.) Sulistiyawati (2006)
menegaskan bahwa hutan campuran memiliki keanekaragaman yang lebih tinggi
dibandingkan dengan hutan buatan. Wyne-Edwards (1972) menyatakan bahwa
satwa akan memilih habitat yang memiliki kelimpahan sumberdaya bagi
kelangsungan hidupnya, sebaliknya jarang atau tidak ditemukan pada lingkungan
yang kurang menguntungkan baginya.
Mamalia seperti beruang (Helarctos malayanus malayanus), owa ungko
sumatra (Hylobates abilis), harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) dan
lutung kelabu (Trachypithecus cristatus) membutuhkan ekosistem hutan alam
dengan keanekaragaman tegakan pohon yang tinggi sebagai sumber pakannya,
kesinambungan kanopi untuk pergerakan dan ekosistem riparian/tepi sungai yang
merupakan koridornya dengan kawasan konservasi di sekitarnya (Arief et al.
2015). Penyebab rendahnya keanekaragaman hayati di areal perkebunan sawit
diduga karena tanaman monokultur dan tidak adanya komponen utama vegetasi
hutan yang meliputi pepohonan hutan, liana dan anggrek epifit (Danielsen et al.
2009). Selain itu, jumlah spesies mamalia yang mampu beradaptasi terhadap
perubahan areal hutan ke dalam bentuk areal kebun sawit tergolong sedikit
(Kartono 2015).
Kupu-kupu
Kupu-kupu merupakan bagian dari keanekaragaman hayati yang harus
dijaga kelestariannya dari kepunahan maupun penurunan keanekaragaman
jenisnya. Kupu-kupu mempunyai nilai penting diantaranya adalah nilai ekologi,
endemisme, konservasi, pendidikan, budaya, estetika, dan ekonomi (Borror et al.
1996; Subahar dan Yuliana 2010). Indonesia menduduki urutan kedua di dunia
dalam hal kekayaan jenis kupu-kupu (Rhopalocera) dengan jumlah jenis lebih dari
2000 jenis). Sementara lebih dari 600 jenis dari jumlah tersebut terdapat di Jawa
dan Bali, dan 40% nya merupakan jenis endemik (Amir dan Kahono 2000). Di
dalam suatu ekosistem kupu-kupu memiliki peranan yang sangat penting. Kupukupu membantu penyerbukan tanaman berbunga, sehingga proses perbanyakan
tumbuhan secara alamiah dapat berlangsung (Borror et al. 1996). Koh dan Sodhi
(2004), jumlah kupu-kupu secara umum sangat tergantung pada pengelolaan suatu
daerah. Daerah yang dilindungi (protected area) memiliki keanekaragaman
spesies kupu-kupu lebih tinggi daripada daerah yang sudah mengalami alih fungsi
lahan. Banyak penelitian menunjukkan bahwa habitat kupu-kupu dengan jumlah

11
pakan yang tersedia cukup akan diikuti juga dengan keanekaragaman kupu-kupu
yang tinggi (Schultz 1998; Thomas 2000; Thomas et al. 2004).
Saat ini, kupu-kupu menghadapi ancaman kepunahan yang disebabkan oleh
alih fungsi lahan di habitatnya (Rahayu dan Basukriadi 2012). Blair (1999) serta
Koh dan Sodhi (2004) menyebutkan bahwa daerah yang dilindungi dan
berdekatan dengan hutan alami memiliki jumlah keanekaragaman dan kemerataan
spesies di dalam komunitas yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan daerah
yang tidak dilindungi dan terpisah dari hutan. Sundufu dan Dumbuya (2008)
menegaskan bahwa jumlah kupu-kupu terbanyak ditemukan di hutan lindung,
hutan, hutan yang sudah diolah, dan padang rumput. Penelitian yang telah
dilakukan Vu (2004) menyimpulkan bahwa kelimpahan kupu-kupu semakin
berkurang seiring dengan kerusakan habitat di Taman Nasional Tam Dao Vietnam.
Hal serupa juga disimpulkan oleh Stefanescu et al. (2009) yang menyatakan
bahwa kelimpahan kupu-kupu mengikuti perubahan habitat tempat kupu-kupu
tersebut berada.

3 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di empat perusahaan perkebunan kelapa sawit yang
memiliki areal NKT di Provinsi Riau pada bulan Maret-April 2016. Lokasi
pengambilan data secara administratif termasuk ke dalam dua kabupaten yaitu
Kampar dan Pelalawan dengan persebaran tiga perusahaan di Kabupaten Kampar
dan satu perusahaan lainnya di Kabupaten Pelalawan (Gambar 2).

Gambar 2 Peta lokasi penelitian

12
Alat, Bahan, dan Instrumen Penelitian
Alat yang digunakan yaitu meteran gulung, meteran jahit, kompas, GPS,
alat tulis, kamera, gunting stek , jaring kupu-kupu, kantong plastik, binokuler, dan
fieldguide (tumbuhan, burung, mamalia, dan kupu-kupu). Bahan yang digunakan
adalah kertas papilot, kertas koran, dan alkohol, sedangkan instrumen penelitian
yaitu tally sheet dan skala likert.
Jenis Data yang Dikumpulkan
Jenis data yang dikumpulkan meliputi kondisi umum areal NKT pada
masing-masing perkebunan, keanekaragaman tumbuhan, struktur vegetasi,
keberadan satwaliar (burung, mamalia, dan kupu-kupu), pengelolaan areal NKT,
dan persepsi masyarakat terhadap adanya perkebunan kelapa sawit. Selengkapnya
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Jenis data yang dikumpulkan
No
1

Jenis Data
Manfaat Areal
NKT untuk
keanekaragam
an hayati

Variabel
1. Nama lokal, nama
ilmiah, serta famili
2. Jumlah spesies
3. Jumlah spesies
4. Jumlah individu

Sumber Data
Survey di
lapangan,
wawancara,
literatur

2

Potensi
manfaat
spesies
tumbuhan

Jurnal ilmial,
tesis, buku

3

Bentuk
pengelolaan

1. Nama lokal, nama
ilmiah, serta famili ,
jumlah individu
2. Potensi manfaat :
pangan, papan, obat,
pakan ternak, kayu
bakar, zat warna,
tanaman hias, pestisida
nabati, lainnya
(getah/damar,
aromatik)
1. Bentuk areal NKT
2. Persepsi ekologi
masyarakat dan
pengelolaan
berkelanjutan

Pengelola,
masyarakat,
survey di
lapangan,
dokumen
NKT

Metode
Analisis
vegetasi, Line
transect
(burung dan
mamalia),
time search
(kupu-kupu),
studi literatur
Studi literatur

Wawancara
mendalam
dan studi
literatur

13
Metode Pengumpulan Data
Penentuan Lokasi Penelitian
Penentuan lokasi berdasarkan fungsi NKT pada setiap perusahaan dengan
memfokuskan perusahaan yang memiliki areal NKT berbentuk hutan dan
sempadan sungai dengan pembanding adalah hutan sekunder yang berada di
sekitar perkebunan. Selain itu juga dilakukan pada tegakan sawit yang dengan
umur tanaman termuda dan tertua pada masing-masing perusahaan. Alasan
pemilihan kebun sawit yaitu sebagai pembanding pengaruh vegetasi terhadap
keberadaan satwaliar. Selengkapnya pada Tabel 2.
Tabel 2 Lokasi penelitian pada setiap perusahaan
Lokasi
1
2
3
3

Titik Lokasi
SM (Tahun)
ST(Tahun)
2
25
2
22
21
25
13
14

NKT
Hutan
Hutan
SS
SS

HS
Ada
Ada
Ada
Ada

Keterangan
Kampar
Pelalawan
Kampar
Kampar

Keterangan : SM = kebun sawit umur termuda; ST= kebun sawit umur tertua; NKT = kawasan
nilai konservasi tinggi; HS= hutan sekunder, SS = Sempadan Sungai, 1 = Perkebunan Nusantara, 2
= Mitra Unggul Pusaka, 3 = Surya Agrolika Reksa, 4 = Adimulia Agrolestari

Manfaat Areal NKT
1. Keanekaragaman tumbuhan
Metode yang digunakan untuk menentukan nilai keanekaragaman tumbuhan
dengan melakukan kegiatan analisis vegetasi. Analisis vegetasi ditunjukkan untuk
mengetahui komposisi jenis dan struktur suatu hutan (Mueller-Dombois dan
Ellenberg 1974). Data tersebut berguna untuk mengetahui kondisi kesimbangan
komunitas hutan, menjelaskan interaksi di dalam dan antar spesies, dan
memprediksi kecenderungan komposisi tegakan dimasa mendatang (Whittaker
1974). Analisis vegetasi merupakan cara mempelajari susunan (komponen jenis)
dan bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan (Soerianegara
dan Indrawan 2002).
Analisis vegetasi menggunakan plot contoh berbentuk petak tunggal
mengacu pada hasil penelitian Kusuma (2007) yang menyatakan untuk melakukan
pengukuran dan pemantauan keanekaragaman tumbuhan, luas plot contoh optimal
adalah 1 600 m2 untuk tingkat pancang dan 12 800 m2 untuk tingkat pohon,
dengan bentuk plot persegi atau bujur sangkar Penempatan plot pada kondisi
kawasan hutan atau lokasi yang terdapat spesies tumbuhan terbanyak. Ukuran plot
untuk pohon (diameter diatas 19 cm) sebesar 113.14 x 113.14 m2, tiang (diameter
< 20 cm) sebesar 60 x 60 m2, , pancang (diameter < 10 cm, tinggi > 1,5 m) ukuran
40x40 m2, serta plot semai dan tumbuhan bawah (tinggi < 1.5 m) sebesar 10 x 10
m2 (Gambar 3).

14

113.14

Keterangan :
a. Semai dan tumbuhan bawah
(10 x 10 m2)
b. Pancang (40 x 40 m2)
c. Tiang (60 x 60 m2)
d. Pohon (113.14 x 113.14 m2)

a
b

c
d

113.14

Gambar 3 Petak pengamatan
analisis vegetasi
Kegiatan yang dilakukan setelah melakukan analisis vegetasi adalah
identifikasi tumbuhan dengan melakukan pembuatan herbarium dan identifikasi
oleh LIPI dan studi literatur. Pembuatan herbarium dilakukan pada spesies
tumbuhan yang belum teridentifikasi di lokasi penelitian. Pengumpulan spesimen
dilakukan dengan mengambil bagian-bagian tumbuhan yang dapat dijadikan kunci
identifikasi, seperti daun, ranting, bunga, dan buah. Sementara untuk tumbuhan
bawah seluruh bagian diambil sebagai spesimen. Menurut Onrizal (2009) tahapantahapan yang dilakukan dalam pembuatan herbarium ini adalah:
a. Mengambil contoh spesimen herbarium yang terdiri dari ranting lengkap
dengan daunnya, jika ada bunga dan buahnya juga diambil. Pengambilan
contoh herbarium dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan kegiatan analisis
vegetasi.
b. Contoh spesimen herbarium dipotong dan disesuaikan dengan ukuran kertas
koran dan diberi label yang berisi nama lokal dan lokasi perjumpaan.
c. Spesimen herbarium disusun disusun didalam plastik dan di siram
menggunakan alokol 70% sampai basah. Setelah itu tutup dengan rapat plastik
dengan isolasi.
d. Setelah dilakukan perlakuan di lapangan, langkah selanjutnya adalah
pengeringan. Seluruh spesimen dari lapangan dikeluarkan dari plastik, dan
setiap spesimen herbarium dimasukkan ke dalam kertas koran. Sekitar 10-15
spesimen yang sudah dimasukkan ke dalam koran diapit dalam sasak ukuran
50 x 35 cm, untuk buah-buahan besar dipisah, dimasukkan kantong, dan diberi
label. Pengovenan dilakukan dengan suhu ± 65oC, ± selama 4 hari.
e. Spesimen herbarium yang sudah kering selanjutnya diserahkan ke LIPI untuk
kegiatan identifikasi.
2. Keanekaragaman Satwaliar
Inventarisasi keanekaragaman jenis mamalia dilakukan dengan
menggunakan metode transek garis (line transect). Inventarisasi mamalia
dilakukan pada 4 tipe tutupan lahan yaitu SM (sawit muda), ST (sawit tua), NKT,
dan HS. Panjang jalur yaitu 1 km dengan lebar 100 m. Pengamatan dilakukan

15
pagi (06:00-08:00 WIB) dan sore (15:30-17:30 WIB) sebanyak 3 kali pengulangan.
Data yang dicatat meliputi: jam perjumpaan dan jumlah individu setiap jenis.
Pengamatan dilakukan dengan bantuan binokuler pada satwa yang berjarak jauh
untuk membantu dalam identifikasinya. Data dicatat dalam tallysheet secara lengkap
dan struktur. Objek yang ditemukan di dokumentasikan menggunakan kamera digital.
Dokumentasi digunakan sebagai acuan untuk identifikasi jenis mamalia dan burung
yang belum dapat teridentifikasi secara langsung.
Pengambilan data jenis satwa kupu-kupu dilakukan dengan menggunakan
metode time search yaitu modifikasi dari metode transek garis dimana plot
pengamatan tidak dibatasi oleh jarak/luasan tertentu, melainkan waktu (menit).
Pengamatan pada setiap jalur di