ANALISIS MAKNA B LANGKON POLA YOGYAKARTA

(1)

(2)

ABSTRAK

ANALISIS MAKNA BLANGKON POLA YOGYAKARTA

Oleh

Ayu Lukita Tiana

Bagi orang Jawa salah satu kelengkapan berbusana adalah Blangkon. Masyarakat Jawa beranggapan bahwa kepala lelaki mempunyai arti penting, sehingga pelindung kepala lelaki sebagai penutup tubuh yang amat diutamakan, sehingga masyarakat Jawa kuno menggunakan Blangkon sebagai pakaian keseharian dan dapat dikatakan pakaian wajib. Seiring bergantinya zaman terutama pada era kolonialisme dan berlanjut ke era globalisasi seperti saat ini, banyak budaya, adat, dan segala sesuatunya masuk ke tanah Jawa khususnya Yogyakarta. Pengaruh-pengaruh tersebut telah memengaruhi pola pikir, kebiasaan, dan lain-lain. Hal itu mengakibatkan adanya suatu pergesekan budaya yang tidak bisa dihindari. Blangkon adalah salah satu budaya yang terkena dampaknya. Pada zaman dahulu Blangkon merupakan simbol kebanggaan para pria Jawa, namun telah tergeser oleh produk-produk barat yang datang dan berkembang secara cepat. Saat ini telah jarang ditemukan orang yang memakai Blangkon. Saat ini Blangkon dianggap sebagai sesuatu yang kuno dan tidak relevan untuk dipakai dalam kehidupan sehari-hari.

Bentuk Blangkon sangat sederhana, akan tetapi dibalik kesederhanaannya itu Blangkon memiliki beberapa makna yaitu makna estetika, makna martabat, dan makna etika. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah makna estetika, makna martabat, dan makna etika Blangkon pola Yogyakarta di Kraton Yogyakarta. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui makna estetika, makna martabat, dan makna etika Blangkon pola Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data observasi, wawancara dan dokumentasi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode heurmeneutika sedangkan teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data kualitatif.


(3)

Kepet. Dapat juga dilihat dari motif Blangkon pola Yogyakarta yang terdiri atas motif Blumbangan, Modang, Wirasat, Clengkewengan, Truntum, Jumputan, dan Kumitir. Bentuk yang sempurna dan adanya motif-motif membuat Blangkon pola Yogyakarta menjadi lebih indah dan memberikan kesan nyaman bagi pemakainya. Makna martabat Blangkon pola Yogyakarta terdiri atas fungsi dan kegunaan Blangkon pola Yogyakarta sebagai pembeda antara golongan masyarakat Jawa. Blangkon pola Yogyakarta dipakai oleh pria Jawa pada zaman dahulu karena memiliki fungsi dan kegunaan yang dapat menunjukan kewibawaan seorang pria. Blangkon pola Yogyakarta juga digunakan sebagai alat pembeda dalam menentukan status sosial orang Jawa. Namun demikian seiring berkembangnya zaman dan kehidupan masyarakat Jawa yang sudah demokratis, Blangkon pola Yogyakarta tidak lagi digunakan sebagai alat pembeda antara golongan sosial yang satu dengan golongan sosial lainnya. Hanya saja untuk saat ini perbedaannya terletak pada bahan dan kualitasnya. Makna etika Blangkon pola Yogyakarta terdiri dari dua bagian yaitu faktor rasa pada tradisi orang Jawa dan kepribadian orang Jawa. faktor rasa pada tradisi orang Jawa berhubungan dengan penilaian tentang baik atau buruk pantas atau tidak pantas dalam membuat suatu benda termasuk dalam membuat Blangkon pola Yogyakarta, sehingga baik untuk dipakai oleh seseorang dan sesuai dengan etika. Kepribadian orang Jawa dijelaskan apabila orang Jawa memakai suatu atribut dalam berpakaian maka secara langsung mempengaruhi tingkah laku, cara berbicara, cara berjalan, dan sebagainya. pemakaian Blangkon pola Yogyakarta di kepala terlihat lebih rapi, tingkah lakunya menjadi lebih sopan, serta tutur katanya pun lebih baik dan lemah lembut, misalnya pada Abdi Dalem di Kraton Yogyakarta.


(4)

(5)

(6)

(7)

DAFTAR ISI

DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR GAMBAR

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Analisis Masalah ... 5

1. Identifikasi Masalah ... 5

2. Pembatasan Masalah ... 5

3. Rumusan Masalah . ... 6

C. Tujuan, Kegunaan, dan Ruang Lingkup Penelitian ... 6

1. Tujuan Penelitian ... 6

2. Kegunaan Penelitian ... 7

3. Ruang Lingkup Penelitian ... . 7

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR, DAN PARADIGMA ... 8

A. Tinjauan Pustaka ... 8

1. Konsep Analisis ... 8

2. Konsep Blangkon Pola Yogyakarta . ... 9

3. Konsep Makna ... 13

4. Konsep Abdi Dalem ... 15

B. Kerangka Pikir ... 17

C. Paradigma ... 18

III. METODE PENELITIAN ... 19

A. Metode Penelitian ... 19

B. Variabel Penelitian ... 20

C. Informan ... 21

D. Teknik Pengumpulan Data ... 21

1. Teknik Dokumentasi ... 21

2. Teknik Observasi ... 22

3. Teknik Wawancara . ... 23

E. Teknik Analisis Data ... 24

1. Reduksi Data ... 24

2. Penyajian Data ... 25


(8)

2. Kehidupan Abdi Dalem di Kraton Yogyakarta ... 29

2.1 Kehidupan Abdi Dalem di Lingkungan Kraton Yogyakarta ... 29

2.2 Pakaian Abdi Dalem ... 31

3. Blangkon Pola Yogyakarta ... 36

3.1 Tujuan Dibuatnya Blangkon PolaYogyakarta ... 36

3.2 Ciri-ciri Blangkon Pola Yogyakarta ... 37

4. Makna Blangkon Pola Yogyakarta ... 40

4.1 Makna Estetika Blangkon Pola Yogyakarta ... 40

4.1.1 Bentuk Blangkon Pola Yogyakarta ... 40

4.1.2 Motif Blangkon Pola Yogyakarta ... 42

4.2 Makna Martabat Blangkon Pola Yogyakarta . ... 51

4.2.1 Fungsi Blangkon Pola Yogyakarta ... 51

4.2.2 Kegunaan Blangkon Dalam Membedakan Golongan Sosial Masyarakat Jawa ... 52

4.3 Makna Etika Blangkon Pola Yogyakarta ... 53

4.3.1 Faktor Rasa Pada Tradisi Orang Jawa ... 53

4.3.2 Kepribadian Orang Jawa ... 56

B. Pembahasan ... 59

1. Makna Estetika Blangkon Pola Yogyakarta ... 60

2. Makna Martabat Blangkon Pola Yogyakarta ... 61

3. Makna Etika Blangkon Pola Yogyakarta ... 63

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 65

A. KESIMPULAN ... 65

B. SARAN ... 67 DAFTAR PUSTAKA


(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Blangkon Pola Yogyakarta ... 39

2. Motif Celengkewengan ... 45

3. Motif Modang ... 45

4. Motif Cemungkiran ... 46

5. Motif Truntum ... 47

6. Motif Wirasat ... 47

7. Motif Byur ... 48

8. Motif Blumbangan ... 49

9. Motif Jumputan ... 49

10.Motif Kumitir ... 50

11.Motif tritik ... 50

12.Proses Pembuatan Blangkon ... 104

13.Busana Adat Jawa ... 105

14.Wawancara Dengan Abdi Dalem ... 106


(10)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah negara kesatuan yang memiliki beranekaragam kebudayaan. Budaya Indonesia yang beraneka ragam merupakan kekayaan yang perlu dilestarikan dan dikembangkan terus menerus guna meningkatkan ketahanan budaya serta dapat dimanfaatkan untuk menunjang wisata budaya. Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan-kemampuan, serta kebiasaaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia anggota masyarakat (Depdikbud, 1988: 10).

Budaya adalah hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Segala bentuk pemikiran intelektual dan keindahan seni dapat diekspresikan melalui budaya. Pada hakikatnya manusia sebagai makhluk tertinggi diciptakan agar dapat menggunakan akal dalam beradaptasi dengan lingkungannya. Dengan berbagai keterbatasan jasmaninya, manusia harus berusaha dengan akalnya untuk menciptakan berbagai peralatan yang dapat melindungi dan mengembangkan diri. Oleh karena itu manusia lebih meningkatkan kemampuan budayanya.

Salah satu bentuk adaptasi manusia adalah pakaian. Sejak zaman pra sejarah, manusia Indonesia telah mengenal kebudayaan membuat pakaian sebagai pelindung badan dari panas, dingin, gangguan serangga, dan benda tajam. Pakaian mempunyai fungsi keindahan/estetika dengan melindungi bagian-bagian tertentu


(11)

dan dapat memberikan kenyamanan. Di samping itu pakaian juga menunjukkan atau melambangkan status dan kedudukan sosial seseorang.

Bagi orang Jawa salah satu kelengkapan berbusana adalah tutup kepala atau Blangkon. Blangkon adalah kain penutup kepala tradisional kaum pria Jawa yang digunakan sebagai pelengkap busana tradisional. Selain sebagai pelindung terhadap sinar matahari, Blangkon juga mempunyai fungsi sosial yang menunjukkan martabat atau kedudukan sosial bagi pemiliknya. Sebagian besar masyarakat Jawa menjadikan Blangkon sebagai simbol atau ciri khas dan konon dulunya digunakan sebagai pembeda antara kaum ningrat Kraton dengan masyarakat jelata yang hanya memakai iket sebagai penutup kepala. Masyarakat Jawa beranggapan bahwa kepala lelaki mempunyai arti penting, sehingga pelindung kepala lelaki sebagai penutup tubuh yang amat diutamakan, sehingga masyarakat Jawa kuno menggunakan Blangkon sebagai pakaian keseharian dan dapat dikatakan pakaian wajib (Soegeng Toekio, 1980/1981: 27). Dulu nama Blangkon adalah Iket. Iket ini wujud, guna, dan manfaatnya sama dengan Blangkon, akan tetapi masih berwujud kain motif batik tertentu. Ketika akan menggunakannya di kepala Iket tersebut dililitkan di kepala dan dibentuk sedemikian rupa (Wawancara KPH Winoto Kusuma, Senin, 15 juli 2013).

Pada perkembangannya, Blangkon menjadi sebuah simbol bagi para pria dari suku Jawa. Bentuk Blangkon sangat sederhana, akan tetapi dibalik kesederhanaannya itu Blangkon memiliki makna yang cukup tinggi. Makna estetika (keindahan, seni) tercermin dari bentuk Blangkon yang dibuat sedemikian rupa sehingga memancarkan keindahan, makna martabat tercermin dari kegunaan Blangkon


(12)

sebagai alat pembeda antara kaum ningrat Kraton dengan rakyat jelata, dan makna etika tercermin dari kehidupan dan kepribadian orang Jawa.

Seiring bergantinya zaman terutama pada era kolonialisme dan berlanjut ke era globalisasi seperti saat ini, banyak budaya, adat, dan segala sesuatunya masuk ke tanah Jawa khususnya Yogyakarta. Pengaruh-pengaruh tersebut telah memengaruhi pola pikir, kebiasaan, dan lain-lain. Hal itu mengakibatkan adanya suatu pergesekan budaya yang tidak bisa dihindari. Blangkon adalah salah satu budaya yang terkena dampaknya. Pada zaman dahulu Blangkon merupakan simbol kebanggaan para pria Jawa, namun telah tergeser oleh produk-produk barat yang datang dan berkembang secara cepat. Hanya sedikit masyarakat yang menyadari itu, sehingga saat ini telah jarang ditemukan orang yang memakai Blangkon. Pemakaian Blangkon dan topi biasa pada umumnya tidak berbeda, akan tetapi yang membedakan di antara keduanya adalah cara pandang masyarakat terhadap Blangkon.

Saat ini Blangkon dianggap sebagai sesuatu yang kuno dan tidak relevan untuk dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini berpengaruh terhadap penggunaan Blangkon yang hanya dipakai pada acara-acara tertentu yang menggunakan tema tradisional. Masyarakat memandang Blangkon hanya sebagai pakaian bagi orang-orang tradisional dan hanya dipakai pada era tradisional, selain itu mereka juga beranggapan bahwa orang yang memakai Blangkon adalah orang yang tidak bisa mengikuti perkembangan zaman dan dinilai tertinggal dalam aspek cita rasa berpakaian maupun perilakunya. Masyarakat saat ini lebih memilih menggunakan penutup kepala produksi dunia barat seperti topi. Produk tersebut dianggap lebih


(13)

relevan dan mempunyai nilai lebih baik dari sisi bentuk maupun fungsi secara fisik maupun sosial.

Kemajuan zaman yang sangat pesat berpengaruh besar terhadap pergeseran nilai budaya Jawa, tidak terkecuali di Yogyakarta yang merupakan wilayah bagian pulau Jawa yang merupakan pusat kebudayaan Jawa. Bagi masyarakat Yogyakarta keberadaan Blangkon bukan hanya sekadar untuk menutupi kepala dari panasnya matahari atau dinginnya udara malam, melainkan juga sebagai simbol status bagi pemiliknya. Selain itu fungsi Blangkon tidaklah sekedar diarahkan sebagai suatu benda yang sifatnya melindungi kepala terhadap panas sinar matahari, bahkan Blangkon merupakan suatu rias kepala yang selain dipakai sebagai pelindung rambut iapun merupakan suatu atribut di dalam lingkungan masyarakat Yogyakarta, terutama di kawasan Kraton.

Pertumbuhan penduduk yang tinggi di Yogyakarta menimbulkan berbagai macam gaya hidup, terutama masyarakat Yogyakarta yang hidup di perkotaan dan jauh dari kehidupan tradisional. Masyarakat Yogyakarta yang hidup di perkotaan cenderung berpenampilan modern, mereka juga lebih menyibukkan diri dengan dunia kerja. Blangkon tidak lagi menjadi kebanggaan bagi para pria Yogyakarta, dan saat ini masih banyak generasi muda di Yogyakarta yang kurang mengerti dan memaknai arti sebuah Blangkon bahkan enggan untuk mempergunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun demikian masih ada orang yang memakai Blangkon sebagai pakaian sehari-hari misalnya pada Abdi Dalem di Kraton Yogyakarta.Blangkon sangat perlu untuk dipertahankan demi menjaga kearifan budaya Indonesia. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, peneliti tertarik untuk menganalisis makna Blangkon.


(14)

B. Analisis Masalah

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, peneliti mengidentifikasikan masalah-masalah sebagai berikut :

1. Makna estetika Blangkon pola Yogyakarta pada Abdi Dalem di Kraton Yogyakarta

2. Makna martabat Blangkon pola Yogyakarta pada Abdi Dalem di Kraton Yogyakarta

3. Makna etika Blangkon pola Yogyakarta pada Abdi Dalem di Kraton Yogyakarta

2. Pembatasan Masalah

Mengingat makna Blangkon yang cukup tinggi, maka dalam penelitian ini ketiga identifikasi masalah di atas dijadikan sebagai masalah yaitu : makna estetika, makna martabat, dan makna etika Blangkon pola Yogyakarta pada Abdi Dalem di Kraton Yogyakarta. Diharapkan dengan pembatasan masalah tersebut, peneliti dapat memfokuskan pada pokok kajian yang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian.


(15)

3. Rumusan Masalah

Sesuai dengan pembatasan masalah di atas maka rumusan masalah pada penelitian ini yaitu :

1. Apakah makna estetika Blangkon pola Yogyakarta pada Abdi Dalem di Kraton Yogyakarta

2. Apakah makna martabat Blangkon pola Yogyakarta pada Abdi Dalem di Kraton Yogyakarta

3. Apakah makna etika Blangkon pola Yogyakarta pada Abdi Dalem di Kraton Yogyakarta

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas maka tujuan dilakukannya penelitian skripsi ini antara lain :

1. Untuk mengetahui makna estetika Blangkon pola Yogyakarta pada Abdi Dalem di Kraton Yogyakarta.

2. Untuk mengetahui makna martabat Blangkon pola Yogyakarta pada Abdi Dalem di Kraton Yogyakarta.

3. Untuk mengetahui makna etika Blangkon pola Yogyakarta pada Abdi Dalem di Kraton Yogyakarta.


(16)

D. Kegunaan Penelitian

Setiap penelitian tentunya akan dapat memberikan berbagai manfaat bagi semua orang yang membutuhkan informasi tentang masalah yang penulis teliti, adapun kegunaan dari penelitian ini adalah:

a. Secara teoritis, adalah menjadi bahan sumbangan pengetahuan dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu-ilmu sosial dan budaya mengenai kebudayaan Jawa tentang Blangkon pada masyarakat Yogyakarta. b. Secara praktis, dapat dijadikan sebagai bahan informasi kepada peminat

kebudayaan yang ingin mengetahui makna Blangkon serta menambah wawasan bagi penulis dan pembaca tentang Blangkon yang digunakan pada masyarakat Yogyakarta

E. Ruang Lingkup Penelitian

Pada ruang lingkup yang menjadi subjek dalam penelitian ini adalah Blangkon yang digunakan pada masyarakat Yogyakarta, dan yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah makna Blangkon meliputi makna estetika, makna martabat, dan makna etika. Penelitian ini akan dilakukan di Kraton Yogyakarta, karena sebagian besar Abdi Dalem pada Kraton Yogyakarta menggunakan Blangkon. Waktu penelitian adalah tahun 2013, dan bidang ilmu yang sesuai dengan penelitian ini adalah antropologi budaya karena yang menjadi kajiannya adalah masyarakat dan kebudayaan.


(17)

REFERENSI

Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1988. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara 1. Jakarta: Departemen Pendidikan & Kebudayaan. 246 halaman.

Soegeng, Toekio. 1980/1981. Tutup Kepala Tradisional Jawa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 170 halaman


(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR, DAN PARADIGMA

A. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka dilakukan untuk menyeleksi masalah-masalah yang akan menjadi topik penelitian. Dimana dalam penelitian ini akan dicari konsep-konsep yang dapat dijadikan landasan teori bagi penelitian yang akan dilakukan. Adapun tinjauan pustaka dalam penelitian ini adalah :

1. Konsep Analisis

Analisis berasal dari kata analys yaitu istilah asing yang diserap ke dalam Bahasa Indonesia. Apabila diartikan ke dalam Bahasa Indonesia maka memiliki arti sebagai suatu uraian. Analisis adalah “segenap rangkaian perbuatan pikiran yang menelaah suatu hal secara mendalam, terutama mempelajari bagian-bagian daripada suatu kebulatan untuk mengetahui ciri-ciri masing-masing bagian, hubungannnya satu sama lain dan perannya dalam keseluruhan yang bulat itu” (Gie, 1984:106). Analisis bermakna suatu kegiatan memisahkan secara abstrak/kongkrit suatu objek studi/penelitian ke dalam bagian-bagian unsur pokoknya (menjadi berupa indikator-indikator) agar dapat dikaji: (a) sifatnya, (b) hubungan kaitan antar bagian itu, dan (c) hubungan kaitan antara bagian dan keseluruhannya. Analisis diartikan jugasebagai penafsiran fakta, data, dan/atau informasi secara sistematis (Pustaka Unpad, 2010:1).


(19)

untuk mengetahui keadaan yang sebenar-benarnya (sebab musabab, duduk perkara, dsb) atau juga penguraian suatu pokok atas berbagai bagian itu sendiri serta hubungan antara bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan (Poerwadarminta, 1990:32).

Berdasarkan pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa analisis adalah uraian ataupun penelaahan lebih lanjut secara mendalam terhadap objek/penelitian dengan menafsirkan objek tersebut dengan informasi dan data-data secara sistematis.

2. KonsepBlangkonPola Yogyakarta

Blangkon berasal dari kata Blangko yang berarti mencetak kosong, adalah suatu nama yang diberikan pada jenis-jenis iket yang telah dicetak (Soegeng T, 1980/1981:113). Blangkon adalah kain penutup kepala yang dibentuk rapi sebagai kopiah; ketu udeng; bendo; destar. Blangkon adalah tutup kepala yang dibuat dari batik dan digunakan oleh kaum pria sebagai bagian dari pakaian tradisional Jawa. Blangkon sebenarnya bentuk praktis dari iket yang merupakan tutup kepala yang dibuat dari batik (Wikipedia, 2010:1). Iket atau destar atau Blangkon adalah tutup kepala yang dapat langsung dibuat sendiri di kepala atau bantuan orang lain. Bentuk kain iket adalah berbentuk bujur sangkar dengan sisinya 45 cm. Ada juga iket hanya separuhnya saja dengan sudut siku-siku 80 derajat dan sudut sama kaki masing-masing 45 derajat (Thomas Wiyasa Bratawijaya, 2006:206).


(20)

Yogyakarta menyebut nya Iket Blangkon. Ada perbedaan yang menyolok antara Blangkon model Yogyakarta dan Surakarta. Perbedaan yang mencolok itu merupakan ciri khas atau identitas gaya kedaerahan dari Iket Blangkon, sebab biasanya kedua daerah pakaian adat mereka terdiri dari setelan yang asli dan kompak. Mereka menamakan model itu gaya atau corak, misalnya dari Yogyakarta disebut corak Mataraman, dan Surakarta disebut corak Surakarta.

Khusus mengenai Blangkon corak Mataraman terdapat spesifikasi yang mencolok, yang disebut dengan Cengkokan atau Tunjungan. Cengkokan berupa bundar di bagian bawah sebelah belakang Blangkon yang disebut Mondholan. Bentuk Mondholan menyerupai telor itik, selain itu bentuknya juga menyerupai tembolok ayam yang berisi penuh makanan.

Wiron atau lipatan kain Blangkon untuk tunjungan (gaya Yogyakarta, cengkok Ngayogyakarta) bagian atas menyamping (jepiping, Jawa) dan di wiru (dilipat) pada bagian kiri dan kanan menghadap ke atas disebutiket keprok.

Ciri khas Blangkon Yogyakarta selain ditandai dengan adanya Mondholan dan wirunya, ciri khas lainnya adalah Shintingan. Shintingan tersebut bentuknya seperti daun yang terletak di kiri kanan Mondholan. Blangkon corak Yogyakarta memiliki Shintingan yang membedakan nama-nama tiap-tiap Blangkon. Nama Blangkon misalnya : Kamicucen, Nyinthing, Njebeh, Asu Nguyuh, Nyekok, Ngobis, Kagok, danMenduran.


(21)

Sinthingan Blangkon Kamicucen” berbentuk kecil, ukuran simetris (sama). Shintingan dipasang pada Mondholan. Biasanya yang mengenakan Blangkon ini adalah para sesepuh atau orang tua.

2) Nyinthing

Sinthing pada gaya “Nyinthing” bentuk nya tidak sepertiKamicucen, tetapi diikat dengan kuat (tali pati, Jawa). Semua Sinthingan dilekuk tepat pada sebelah kiri dan kanan Cekokan. Dilihat dari cara mengenakan Blangkon Nyinthing ada suatu keunikan, yaitu bila yang mengenakan Blangkon ini orang biasa, Sinthingan bagian kiri harus ditarik ke bawah sehingga posisinya menjadi tidak berimbang (asimetris) orang Jawa menyebutnya Sengkleh Siji, akan tetapi jika yang mengenakan orang-orang tua dan yang memiliki status sosial tinggi maka semua Sinthingannya mekar (jepiping, Jawa) menghadap ke atas tetapi yang lainnya menyerong ke kanan. Pada jaman dahulu biasanya yang mengenakan corak Nyinthing yang menyerong tersebut adalah para Abdi Dalem Bedaya (para penari klasik Keraton).

3) Njebeh

Kata Njebehberasal dari bahasa Jawa yang berarti ditarik ke kiri kanan, sehingga bentuknya melebar dan terbuka. Di Jebeh (Jawa berarti di Jereng Jrebebeh; di tarik melebar) besar Sinthingannya sama dan dipasang atau diletakkan secara simetris pada kiri kanan Cekokan. Dulu Blangkon dengan gaya Njebeh dikenakan olehAbdi Dalem Kadipaten.


(22)

Blangkon yang disebut Asu Nguyuh bentuk Sinthingnya tidak sama, bagian kiri lebih kecil dibanding dengan bagian kanan nya yang lebih besar. Disebut demikian karena Blangkon gayaAsu Nguyuh mengingatkan kita pada gaya anjing jantan yang sedang kencing yang kaki kiri sebelah kiri diangkat ke samping sehingga seolah-olah kaki kiri itu lebih kecil dan menggantung.

5) Nyekok

Gaya Blangkon Nyekok, kedua Sinthingnya dililitkan pada tangkai Cekokan atau Mondholan. Gaya yang demikian menyebabkan Blangkon berbentuk kecil, kelihatan praktis, kuat, dan jantan. Dulu Blangkon Nyekok dikenakan untuk para petugas yang mengenakan seragam militer. Oleh karena ituBlangkon Nyekok juga dikenakan sebagai kelengkapan seragam militer Keraton.

6) Ngobis

Sinthingan Blangkon gayaNgobisberbentuk lebar (Njrebebeh, Jawa) mengelilingi Cekokan. Blangkon ini lazimnya dikenakan untuk seragam upacara-upacara saja atau Pasamuwan, di samping itu karena bentuknya yang kelihatan formal, maka Blangkon Ngobis dipakai oleh para penari Lawung yang sedang menarikan tari Gagahan, misalnya tari perang-perangan dan wayang orang lakon menak dan tarian lainnya yang patriotik, misalnya tarianTrunajaya.

Kegemaran mengenakan Blangkon sebagai tutup kepala memiliki arti simbolis tersendiri, misalnya Blangkon jenis Jenthitan yang hanya dikenakan oleh golongan bangsawan, Blangkon dengan hiasan huruf Arab dikenakan oleh para


(23)

Tempen dikenakan oleh para Lurah (Depdikbud, 1990:80).

3. Konsep Makna

Makna adalah suatu konsep atau pengertian yang terkandung dalam sebuah kata ataupun benda (G.Sitindoan, 1984:128). Makna dapat diartikan sebagai arti dari sebuah kata atau benda, makna muncul pada saat bahasa dipergunakan karena peranan bahasa dalam komunikasi dan proses berpikir, serta khususnya dalam persoalan yang menyangkut bagaimana mengidentifikasi, memahami ataupun meyakini (Sumaryono, 1993:131). Menurut J.S. Badudu dan Sultan Muhammad Zaini dalam Kamus Bahasa Indonesia pengertian makna adalah: arti, pengertian, atau maksud yang dikemukakan sangat dalam (J.S. Badudu dan Sultan Muhammad Zaini, 1994;944).

Makna adalah arti atau maksud antara lain dapat merujuk pada hal-hal berikut :

1. Makna Estetika

Makna estetika atau keindahan adalah berasal dari kata indah, artinya bagus, permai, cantik, elok, molek dan sebagainya. Benda yang mempunyai sifat indah ialah segala hasil seni, meskipun tidak semua hasil seni indah, atau sifat-sifat yang merujuk kepada sesuatu yang indah di mana manusia mengekspresikan perasaan indah tersebut melalui berbagai hal yang mengandung unsur estetis yang dinilai secara umum oleh masyarakat (Khairi, 2010:1).


(24)

Martabat adalah tingkatan harkat kemanusiaan dan kedudukan yang terhormat. Martabat dapat menjadikan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna diantara makhluk-makhluk yang lain karena manusia dikaruniai potensi berpikir, rasa dan cipta,kodrat yang sama sebagai mahluk pribadi ( individu ) dan sebagai mahluk masyarakat ( sosial ). Dengan adanya persamaan harkat, derajat, dan martabat manusia , setiap orang harus mengakui serta menghormati akan adanya hak–hak. derajat dan martabat manusia (Khairi, 2010:2).

3. Makna Etika

Etika dipahami secara umum adalah seperangkat aturan tak tertulis yang disepakati bersama yang bertujuan agar manusia melakukan hal-hal atau yang perbuatan yang dianggap baik, terkadang masyarakat menyamakannya dengan norma (Yana MH, 2012:150). Menurut Rosita noer, etika adalah ajaran (normatif) dan pengetahuan (positif) tentang yang baik dan yang buruk, menjadi tuntutan untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Etika (Yunani Kuno: "ethikos", berarti "timbul dari kebiasaan") adalah cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab(Yoggi, Andrian 2009:1).

Dari pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa makna adalah arti dari sebuah kata atau benda. Dalam hal ini makna yang dimaksud penulis dalam penelitian adalah makna estetika, makna martabat, dan makna etika dari sebuah Blangkonpola Yogyakarta.


(25)

4. Konsep Abdi Dalem

Kraton Yogyakarta adalah lambang kejayaan yang mempunyai makna filosofis, religius dan budaya. Dalam menjalankan pemerintahannya Kesultanan Yogyakarta dibantu oleh Abdi Dalem. Abdi Dalem adalah seluruh pegawai atau karyawan Kraton, yang umumnya tinggal di sekitar Kraton (Depdikbud, 1990:37). Abdi Dalem berarti pengabdian terhadap kanjeng sinuwun yaitu abdinya Raja atau Ratu dan dapat diartikan sebagai kesetiaan terhadap Sultan sebagai Raja Keraton Yogyakarta (Afrianto, 2002 : 39).

Menurut Morisson (2002 : 186), Abdi Dalem mempunyai pengertian : pegawai Kraton yang mengenakan pakaian tradisional Jawa yang bertugas menjaga dan merawat kompleks Kraton (bangunan, ruangan, ukiran, tanaman, atau apapun yang terdapat didalam kompleks Keraton yang penuh makna, perlambang, simbol, termasuk tradisi dan budaya Jawa.Abdi Dalemmerupakan soko guru Kraton yang keempat setelah Ngarso Dalematau Sultan, juga Keluarga saudara-saudara Ngarso Dalem dan kerabat kesultanan sejak Hamengku Buwono pertama. Abdi Dalem Kraton Yogyakarta memiliki sebuah tatanan kedudukan atau pangkat dalam melaksanakan tugasnya. Pertama Abdi Dalem luhur, adalah mereka yang berpangkat wafadana, hingga kedudukan patih. Sedangkan mereka yang berpangkat rendah, mulai dari kedudukanjajar / bekel /sampai lurah(Mahasuara Post, 2012:1).

Pakaian bagiAbdi Dalem memiliki makna tersendiri, mulai dari warna garis corak lurik ¾ biru, kancing di leher yang berjumlah enam, dan kancing lengan tangan yang berjumlah lima, serta Blangkon yang dikenakan di kepala. Corak lurik ¾


(26)

leher berjumlah enam itu menandakan rukun iman. Kancing lengan tangan yang berjumlah lima itu mendandakan rukun Islam yang berjumlah lima, sedangkan Blangkon menjadi penutup bagian tubuh yang paling suci bagi kaum lelaki yaitu kepala.

Pakaian mereka terdiri dari dua macam, yakni Sikep Alit dan Langenarjan. Perangkat pakaian Sikep Alit terdiri dari kain batiksawitan, baju hitam dari bahan laken (dengan kancing dari tembaga atau kuningan yang disepuh emas, berjumlah 7 hingga 9 buah), penutup kepala Blangkon, keris model Gayaman (diletakan di pinggang sebelah kanan belakang), selop hitam, topi pet hitam dengan pasmen emas. Pakaian model ini dikenakan untuk keperluan sehari-hari. Sementara pakaian model Langeran merupakan seperangkat pakaian dengan perlengkapan kain batik, baju Bukakan yang yang dibuat dari bahan laken warna hitam, kemeja putih dengan kerah model berdiri, destar sama dengan model pakaian Sikepan Alit, keris model LadranganatauGayaman, dipakai di pinggang sebelah belakang kanan, dasi berwarna putih model kupu-kupu, serta selop berwarna hitam. Jenis pakaian ini pada umumnya dikenakan pada waktu malam untuk menghadiri suatu pertemuan dan jamuan makan malam dalam satu pesta khusus (Depdikbud, 1990:38).


(27)

Blangkon pola Yogyakarta merupakan tutup kepala tradisional masyarakat Jawa khususnya Yogyakarta yang dipergunakan oleh para kaum lelaki. Pada masyarakat Jawa kuno, Blangkon pola Yogyakarta bahkan digunakan sebagai pakaian keseharian dan dapat dikatakan pakaian wajib. Blangkonpola Yogyakarta tidak pernah terlepas dari kepala apabila terdapat ritual seperti upacara adat dan lain sebagainya,.

Bentuk Blangkon pola Yogyakarta memang sederhana, namun dibalik kesederhanaannya itu Blangkon Blangkon pola Yogyakarta memiliki arti atau makna yang cukup tinggi. Blangkon pola Yogyakarta terdiri dari tiga makna antara lain makna estetika, makna martabat, dan makna etika.

Blangkon tak sedikitpun lepas dari pemaknaan tentang dirinya. Makna estetika terletak pada bentuk Blangkonpola Yogyakarta yang dibuat sedemikian rupa dan motif Blangkon pola Yogyakarta yang beraneka ragam sehingga memancarkan keindahan apabila dilihat oleh orang lain. Makna martabat Blangkon pola Yogyakarta dapat terlihat pada fungsi dan kegunaan Blangkon pola Yogyakarta sebagai alat pembeda pada golongan-golongan sosial pada masyarakat Jawa. Makna etika Blangkon pola Yogyakarta terdiri dari faktor rasa pada tradisi Jawa dan kepribadian orang Jawa.


(28)

C. Paradigma MAKNA BLANGKON POLA YOGYAKARTA Makna Estetika Blangkonpola Yogyakarta Makna Martabat Blangkonpola Yogyakarta Makna Etika Blangkonpola Yogyakarta

BentukBlangkon pola YogyakartaMotifBlangkon

pola Yogyakarta

FungsiBlangkonpola Yogyakarta

Kegunaan Blangkon pola Yogyakarta sebagai alat pembeda golongan sosial masyarakat Jawa

Faktor rasa pada tradisi Jawa

Kepribadian Orang Jawa

= Garis Aktivitas


(29)

REFERENSI

Afrianto, Cahyo Donny. 2002. Abdi Dalem Sebuah Pengabdian Dalam Pelestarian Kebudayaan. Yogyakarta: Gramedia. 39 halaman.

Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1990. Pakaian Adat Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 160 halaman.

Poerwadarminta. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, Departemen Pendidikan Nasional. 32 halaman.

B, Soelarto. 1993.Garebeg di Kesultanan Yogyakarta. Yogyakarta: Kanisius. 139 halaman.

Soegeng, Toekio. 1980/1981. Tutup Kepala Tradisional Jawa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 170 halaman.

Thomas, WB. 2006. Upacara Perkawinan Adat Jawa. Jakarta: Pustaka sinar Harapan. 236 halaman.

MH, Yana. 2012.Falsafah dan Pandangan Hidup Orang Jawa. Jakarta: Bintang Cemerlang. 246 halaman.

Sumber Lain:

Edukashihary.Blogspot.com diaksese tanggal 5 Maret pukul 09.00 Wib. Mahasuara.blogspot.com diakses tanggal 10 April pukul 11.00 Wib

Wikipedia.blangkon.com diakses tanggal 31 Januari 2013 pukul 09.05 Wib Pustaka.unpad.ac.id diakses tanggal 5 Februari 2013 pukul 10.00 Wib


(30)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Metode merupakan suatu hal yang menjadi sangat penting untuk keberhasilan dalam suatu penelitian. Metode merupakan prosedur atau cara untuk mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah sistematis (Hunaini Usman, Purnomo, 2008:41). Sedangkan menurut pendapat lain, metode merupakan cara utama yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan, misalnya dengan menggunakan dan menguji serangkaian hipotesa dengan dengan teknik serta alat-alat tertentu (Winarno Surachmad, 1998:32).

Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa metode adalah cara kerja yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan dengan menggunakan langkah-langkah sistematis. Dalam penelitian metode yang digunakan adalah metode Heurmeneutika. Metode ini digunakan untuk mengetahui makna dari simbol-simbol. Seperti dikemukakan oleh Imam Chanafie (1999:38), Heurmeneutika bertujuan menghilangkan misteri yang terdapat dalam sebuah simbol dengan cara membuka selubung daya-daya yang belum diketahui dan tersembunyi dalam simbol-simbol.


(31)

untuk menafsirkan simbol berupa teks atau sesuatu yang diperlukan sebagai teks untuk dicari arti dan maknanya, dimana metode ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudian dibawa ke masa sekarang. Berdasarkan pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa metode Heurmeneutika dipakai untuk mengetahui makna estetika, makna martabat, dan makna etikaBlangkonpola Yogyakarta.

B. Variabel Penelitian

Variabel penelitian merupakan konsep dari gejala yang bervariasi yaitu objek penelitian. Variable dapat diartikan sebagai gejala sesuatu yang akan menjadi objek pengamatan (Sumardi Suryabrata, 2000;126). Sedangkan Suharsimi Arikunto mengemukakan, bahwa variable adalah objek penelitian atau apa yang menjadi inti perhatian suatu penelitian. (Suharsimi Arikunto, 1989;91). Pendapat lain mengatakan bahwa variable adalah segala faktor yang menyebabkan aneka perubahan pada fakta-fakta suatu gejala tentang kehidupan (Ariyono Suyono, 1985;431).

Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan variable adalah suatu gejala yang menjadi objek penelitian. Variable dalam penelitian ini adalah makna estetika, makna martabat, dan makna etikaBlangkonpola Yogyakarta.

C. Informan

Dalam penelitian ini, untuk memperoleh lebih banyak informasi mengenai Blangkon maka penulis menggunakan informan. Supaya lebih terbukti informasinya, peneliti menetapkan informasi dengan kriteria sebagai berikut :


(32)

1. Individu yang bersangkutan merupakan orang yang sehari-harinya memakai Blangkonpola Yogyakarta.

2. Individu yang bersangkutan memiliki pengetahuan yang luas mengenai masalah yang akan diteliti.

3. Individu yang bersangkutan memiliki kesediaan dan waktu yang cukup. 4. Individu yang bersangkutan sehat jasmani dan rohani.

5. Individu yang bersangkutan telah berusia dewasa.

Kriteria yang digunakan untuk memilih informan adalah para Abdi Dalem di Kraton Yogyakarta yang memahami tentang makna estetika, makna martabat, dan makna etikaBlangkonpola Yogyakarta.

D. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa teknik, hal ini dilakukan untuk memperoleh data yang diinginkan lebih akurat. Teknik pendukung dalam pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah :

1. Teknik Dokumentasi

Teknik dokumentasi adalah suatu yang memberikan bukti dimana dipergunakan sebagai alat pembukti atau bahan-bahan untuk membandingkan suatu keterangan atau informasi penjelasan atau dokumentasi dalam naskah atau informasi yang tertulis (Komaruddin, 1997;50). Menurut M. Hadari Nawawi mengemukakan bahwa; dokumentasi adalah cara pengumpulan data melalui peninggalan tertulis, terutama berupa arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku tentang pendapat, teori,


(33)

dalil/hukum-Nawawi, 1993;133).

Maka dengan menggunakan teknik dokumentasi peneliti berusaha untuk mengumpulkan informasi tertulis maupun lisan yang berkaitan dengan makna estetika, makna martabat, dan makna etikaBlangkonpola Yogyakarta.

2. Teknik Observasi

Observasi bisa diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian (Hadari Nawawi, 1993;100). Sedangkan pendapat lain menyatakan bahwa, observasi adalah pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap gejala-gejala yang diteliti (Husaini Usman Purnomo, 2008;52).

Dalam penelitian ini peneliti melakukan pengamatan secara langsung terhadap objek yang diteliti yaitu makna estetika, makna martabat, dan makna etika Blangkon pola Yogyakarta..

3. Teknik Wawancara

Wawancara juga merupakan salah satu teknik pengumpulan data dari penelitian ini. Interview yang sering disebut dengan wawancara atau kuesioner lisan adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara (interviewer) untuk memperoleh informasi dari terwawancara (Suharsimi Arikunto, 1989;121). Wawancara atau metode interview, mencakup cara yang dipergunakan kalau seseorang, untuk tujuan suatu


(34)

tugas tertentu, mencoba mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari seorang responden, dengan bercakap-cakap berhadapan muka dengan orang itu (Koentjaraningrat, 1983;162).

Menurut Maryaeni (2005;70), wawancara merupakan salah satu pengambilan data yang dilakukan melalui kegiatan komunikasi lisan dalam bentuk terstruktur, semi terstruktur, dan tak terstruktur.

a. Wawancara Terstruktur

Dalam wawancara terstruktur pewawancara menyampaikan beberapa pertanyaan yang sudah disiapkan pewawancara sebelumnya (Esther Kuntjara, 2006;68), jadi wawancara terstruktur adalah wawancara yang dilakukan dengan terlebih dahulu membuat pertanyaan dan kemudian menyusun pertanyaan dalam bentuk daftar-daftar pertanyaan yang akan diajukan kepada informan.

Jawaban akan muncul biasanya telah dibatasi. Hal ini dilakukan agar ketika informan memberikan keterangan yang diberikan tidak melantur terlalu jauh dari pertanyaan. Menyusun daftar pertanyaan dilakukan agar dapat mempermudah peneliti dalam mengingat hal-hal yang akan ditanyakan pada informan. Sehingga melalui wawancara terstruktur informasi yang hendak dicari dapat tersusun dengan baik dan kemungkinan pertanyaan yang terlewatkan menjadi sedikit sehingga informasi yang diperoleh bisa diperoleh lebih lengkap.


(35)

b. Wawancara Tidak Terstruktur

Wawancara tidak terstruktur dilakukan pada awal penelitian, karena terkadang informan memberikan keterangan kadang muncul jawaban yang tidak terduga yang tidak akan muncul pada saat wawancara terarah dilakukan, dan hal itu bisa menambah informasi yang diperoleh terkait informasi yang akan diteliti. Berdasarkan pernyataan tersebut maka teknik wawancara tidak terstruktur digunakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan informasi secara langsung melalui Tanya-jawab dengan informan, sehingga mendapat informasi yang lebih jelas mengenai makna estetika, makna martabat, dan makna etikaBlangkonpola Yogyakarta.

E. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini data-data yang diperoleh tidak berupa angka-angka sehingga penelitian ini menggunakan teknik analisis data kualitatif. Adapun langkah-langkah dalam menganalisis data dalam suatu penelitian adalah sebagai berikut

1. Reduksi Data

Data yang diperoleh kemudian dituangkan dalam bentuk laporan, selanjutnya adalah proses mengubah rekaman data ke dalam pola, kategori dan disusun secara sistematis. Proses pemilihan, pemusatan perhatian, pengabstrakan, dan transformasi data di lapangan. Proses ini dilakukan selama penelitian berlangsung. Fungsi dari reduksi data ini adalah menajamkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisir sehingga interpretasi nisa ditarik. Data yang direduksi akan


(36)

memberikan gambaran mengenai hasil pengamatan yang mempermudah peneliti dalam mencari kembali data yang diperoleh jika diperlukan.

2. Penyajian Data

Penyajian data adalah penampilan sekumpulan data yang memberikan kemungkinan untuk menarik kesimpulan dari pengambilan tindakan. Bentuk penyajiannya antara lain dengan cara memasukkan data ke dalam sebuah matrik, grafik, dan bagan yang diinginkan atau bisa juga hanya dalam bentuk naratif saja.

3. Pengambilan Kesimpulan dan Verifikasi

Setelah data direduksi kemudian data dimasukkan ke dalam bentuk bagan, matrik, dan grafik maka tindak lanjut peneliti adalah mencari arti, konfigurasi yang mungkin menjelaskan alur sebab akibat dan sebagainya. Kesimpulan harus senantiasa diuji selama penelitian berlangsung.

Langkah-langkah yang akan dilakukan peneliti dalam mengambil kesimpulan adalah :

1. Mencari data-data yang relevan dengan penelitian

2. Menyusun data-data dan menyeleksi data-data yang diperoleh dari sumber yang didapat dari lapangan

3. Setelah semua data diseleksi barulah ditarik kesimpulan dan dituangkan dalam bentuk penelitian.


(37)

REFERENSI

Suharsimi, Arikunto. 1989. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta: Bina Angkasa. 309 halaman.

Sutrisno, Hadi. 1990.Metodologi Research.Yogyakarta: Gramedia. 94 halaman. Heri, Jauhari. 2010. Panduan Penulisan Skripsi Teori dan Aplikasi. Bandung:

Pustaka Setia. 220 halaman.

Koentjaraningrat. 1983. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia. 506 halaman.

Komarudin. 1997.Metode Penelitian Masyarakat.Jakarta: Gramedia.

Hadari, Nawawi. 1993. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: GadjahMada University Press. 249 halaman

Sumardi, Suryabrata. 2000. Metodologi Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 201 halaman.


(38)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Dari hasil pembahasan yang dilakukan mengenai analisis makna estetika, makna martabat, dan makna etika Blangkon pola Yogyakarta, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. Makna estetika Blangkon pola Yogyakarta dapat dilihat dari bentuk dan motif Blangkon pola Yogyakarta. Bentuk dan motif Blangkon pola Yogyakarta adalah bagian yang saling berkaitan dan saling melengkapi serta sangat penting dalam menentukan keindahan Blangkon pola Yogyakarta. Bentuk Blangkon pola Yogyakarta yang telah dibuat hingga sempurna akan lebih indah dan menarik apabila diberi motif-motif, karena motif tersebut membuat Blangkon pola Yogyakarta lebih berwarna. Dengan demikian Blangkon pola Yogyakarta menjadi lebih indah dan memberikan kesan nyaman bagi pemakainya

2. Makna martabat Blangkonpola Yogyakarta terdiri atas fungsi dan kegunaan Blangkon pola Yogyakarta sebagai pembeda antara golongan masyarakat


(39)

karena memiliki fungsi dan kegunaan yang dapat menunjukan kewibawaan seorang pria. Blangkon pola Yogyakarta juga digunakan sebagai alat pembeda dalam menentukan status sosial orang Jawa. Namun demikian seiring berkembangnya zaman dan kehidupan masyarakat Jawa yang sudah demokratis, Blangkon pola Yogyakarta tidak lagi digunakan sebagai alat pembeda antara golongan sosial yang satu dengan golongan sosial lainnya. Hanya saja untuk saat ini perbedaannya terletak pada bahan dan kualitasnya.

3. Makna etika Blangkon pola Yogyakarta terdiri dari dua bagian yaitu faktor rasa pada tradisi orang Jawa dan kepribadian orang Jawa. faktor rasa pada tradisi orang Jawa berhubungan dengan penilaian tentang baik atau buruk pantas atau tidak pantas dalam membuat suatu benda termasuk dalam membuat Blangkon sehingga baik untuk dipakai oleh seseorang dan sesuai dengan etika. Kepribadian orang Jawa dijelaskan apabila orang Jawa memakai suatu atribut dalam berpakaian maka secara langsung mempengaruhi tingkah laku, cara berbicara, cara berjalan, dan sebagainya. pemakaian Blangkon pola Yogyakarta di kepala terlihat lebih rapi, tingkah lakunya menjadi lebih sopan, serta tutur katanya pun lebih baik dan lemah lembut, misalnya padaAbdi Dalemdi Kraton Yogyakarta.

Hubungan ketiga makna tersebut dapat disimpulkan bahwa pada bentuk dan motif Blangkon pola Yogyakarta yang indah dapat membuat si pemakainya menjadi lebih rapi dan berwibawa, dengan adanya kewibawaan tersebut maka secara langsung


(40)

mempengaruhi cara bicara, cara berjalan dan sebagainya menjadi lebih baik dan sopan sehingga sesuai dengan etika dalam kehidupan sehari-hari.

B. SARAN

Sehubungan dengan penelitian yang telah peneliti lakukan, maka ada beberapa saran yang peneliti sampaikan diantaranya :

1. Diharapkan untuk masyarakat Yogyakarta dapat membantu mempertahankan dan melestarikan kebudayaan-kebudayaan asli Yogyakarta yang sudah ada terutama dalam hal pakaian adat Jawa.

2. Diharapkan untuk Abdi Dalem untuk selalu memakai Blangkon dan memperkenalkan Blangkon kepada warga asing yang datang ke Kraton Yogyakarta. .


(41)

DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, Cahyo Donny. 2002. Abdi Dalem Sebuah Pengabdian Dalam Pelestarian Kebudayaan. Yogyakarta: Gramedia. 39 halaman.

Arikunto, Suharsimi. 1989. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta: Bina Angkasa. 309 halaman.

Asep, Rachmatullah. 2011. Filsafat Hidup Orang Jawa. Siasat Pustaka. Yogyakarta. 160 halaman.

Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1990. Pakaian Adat Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 160 halaman.

Endraswara, Suwardi. 2012. AGAMA JAWA; Menyusuri Jejak Spiritualisme Jawa. Yogyakarta: Lembu Jawa. 183 halaman.

Hadi, Sutrisno. 1990. Metodologi Research. Yogyakarta: Gramedia. 94 halaman. Herusatoto, Budiono. 2011. Mitologi Jawa. Depok: Oncor Semesta Ilmu. 152

hlm.

Jauhari, Heri. 2010. Panduan Penulisan Skripsi Teori dan Aplikasi. Bandung: Pustaka Setia. 220 halaman.

Koentjaraningrat. 1983. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia. 506 halaman.

Komarudin. 1997. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.

Nawawi, Hadari. 1993. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 249 halaman

Santosa, Imam Budi. 2012. SPIRITUALISME JAWA; Sejarah, Laku, dan Intisari Ajaran. Yogyakarta: Memayu Publishing. 264 halaman.

Soelarto, B. 1993. Garebeg di Kesultanan Yogyakarta. Yogyakarta: Kanisius. 139 halaman.


(42)

Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1988. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara 1. Jakarta: Departemen Pendidikan & Kebudayaan. 246 halaman.

Toekio, Soegeng. 1980/1981. Tutup Kepala Tradisional Jawa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 170 halaman.

WB, Thomas. 2006. Upacara Perkawinan Adat Jawa. Jakarta: Pustaka sinar Harapan. 236 halaman.

Yana, MH. 2012. Falsafah dan Pandangan Hidup Orang Jawa. Jakarta: Bintang Cemerlang. 246 halaman.

Zaairul Haq. M. 2011. Mutiara Hidup Manusia Jawa. Yogyakarta: Aditya Media Publishing. 272 halaman.

Sumber lain :

Edukashihary.Blogspot.com diaksese tanggal 5 Maret pukul 09.00 Wib. Fatkhul-anas.blogspot.com diakses tanggal 31 Januari 2013 pukul 10.00 Wib Mahasuara.blogspot.comdiakses tanggal 10 April pukul 11.00 Wib

Pustaka.unpad.ac.id diakses tanggal 5 Februari 2013 pukul 10.00 Wib Wikipedia.blangkon.com diakses tanggal 31 Januari 2013 pukul 09.05 Wib Yogiandrian.blogspot.comdiakses tanggal 5 Maret 2013 pukul 09.00 Wib


(1)

REFERENSI

Suharsimi, Arikunto. 1989. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta: Bina Angkasa. 309 halaman.

Sutrisno, Hadi. 1990.Metodologi Research.Yogyakarta: Gramedia. 94 halaman. Heri, Jauhari. 2010. Panduan Penulisan Skripsi Teori dan Aplikasi. Bandung:

Pustaka Setia. 220 halaman.

Koentjaraningrat. 1983. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia. 506 halaman.

Komarudin. 1997.Metode Penelitian Masyarakat.Jakarta: Gramedia.

Hadari, Nawawi. 1993. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: GadjahMada University Press. 249 halaman

Sumardi, Suryabrata. 2000. Metodologi Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 201 halaman.


(2)

65

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Dari hasil pembahasan yang dilakukan mengenai analisis makna estetika, makna martabat, dan makna etika Blangkon pola Yogyakarta, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. Makna estetika Blangkon pola Yogyakarta dapat dilihat dari bentuk dan motif Blangkon pola Yogyakarta. Bentuk dan motif Blangkon pola Yogyakarta adalah bagian yang saling berkaitan dan saling melengkapi serta sangat penting dalam menentukan keindahan Blangkon pola Yogyakarta. Bentuk Blangkon pola Yogyakarta yang telah dibuat hingga sempurna akan lebih indah dan menarik apabila diberi motif-motif, karena motif tersebut membuat Blangkon pola Yogyakarta lebih berwarna. Dengan demikian

Blangkon pola Yogyakarta menjadi lebih indah dan memberikan kesan nyaman bagi pemakainya

2. Makna martabat Blangkonpola Yogyakarta terdiri atas fungsi dan kegunaan


(3)

demokratis, Blangkon pola Yogyakarta tidak lagi digunakan sebagai alat pembeda antara golongan sosial yang satu dengan golongan sosial lainnya. Hanya saja untuk saat ini perbedaannya terletak pada bahan dan kualitasnya.

3. Makna etika Blangkon pola Yogyakarta terdiri dari dua bagian yaitu faktor rasa pada tradisi orang Jawa dan kepribadian orang Jawa. faktor rasa pada tradisi orang Jawa berhubungan dengan penilaian tentang baik atau buruk pantas atau tidak pantas dalam membuat suatu benda termasuk dalam membuat Blangkon sehingga baik untuk dipakai oleh seseorang dan sesuai dengan etika. Kepribadian orang Jawa dijelaskan apabila orang Jawa memakai suatu atribut dalam berpakaian maka secara langsung mempengaruhi tingkah laku, cara berbicara, cara berjalan, dan sebagainya. pemakaian Blangkon pola Yogyakarta di kepala terlihat lebih rapi, tingkah lakunya menjadi lebih sopan, serta tutur katanya pun lebih baik dan lemah lembut, misalnya padaAbdi Dalemdi Kraton Yogyakarta.

Hubungan ketiga makna tersebut dapat disimpulkan bahwa pada bentuk dan motif

Blangkon pola Yogyakarta yang indah dapat membuat si pemakainya menjadi lebih rapi dan berwibawa, dengan adanya kewibawaan tersebut maka secara langsung


(4)

70

mempengaruhi cara bicara, cara berjalan dan sebagainya menjadi lebih baik dan sopan sehingga sesuai dengan etika dalam kehidupan sehari-hari.

B. SARAN

Sehubungan dengan penelitian yang telah peneliti lakukan, maka ada beberapa saran yang peneliti sampaikan diantaranya :

1. Diharapkan untuk masyarakat Yogyakarta dapat membantu mempertahankan dan melestarikan kebudayaan-kebudayaan asli Yogyakarta yang sudah ada terutama dalam hal pakaian adat Jawa.

2. Diharapkan untuk Abdi Dalem untuk selalu memakai Blangkon dan memperkenalkan Blangkon kepada warga asing yang datang ke Kraton Yogyakarta. .


(5)

Afrianto, Cahyo Donny. 2002. Abdi Dalem Sebuah Pengabdian Dalam Pelestarian Kebudayaan. Yogyakarta: Gramedia. 39 halaman.

Arikunto, Suharsimi. 1989. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta: Bina Angkasa. 309 halaman.

Asep, Rachmatullah. 2011. Filsafat Hidup Orang Jawa. Siasat Pustaka. Yogyakarta. 160 halaman.

Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1990. Pakaian Adat Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 160 halaman.

Endraswara, Suwardi. 2012. AGAMA JAWA; Menyusuri Jejak Spiritualisme Jawa. Yogyakarta: Lembu Jawa. 183 halaman.

Hadi, Sutrisno. 1990. Metodologi Research. Yogyakarta: Gramedia. 94 halaman. Herusatoto, Budiono. 2011. Mitologi Jawa. Depok: Oncor Semesta Ilmu. 152

hlm.

Jauhari, Heri. 2010. Panduan Penulisan Skripsi Teori dan Aplikasi. Bandung: Pustaka Setia. 220 halaman.

Koentjaraningrat. 1983. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia. 506 halaman.

Komarudin. 1997. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.

Nawawi, Hadari. 1993. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 249 halaman

Santosa, Imam Budi. 2012. SPIRITUALISME JAWA; Sejarah, Laku, dan Intisari Ajaran. Yogyakarta: Memayu Publishing. 264 halaman.

Soelarto, B. 1993. Garebeg di Kesultanan Yogyakarta. Yogyakarta: Kanisius. 139 halaman.


(6)

Suryabrata, Sumardi. 2000. Metodologi Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 201 halaman.

Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1988. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara 1. Jakarta: Departemen Pendidikan & Kebudayaan. 246 halaman.

Toekio, Soegeng. 1980/1981. Tutup Kepala Tradisional Jawa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 170 halaman.

WB, Thomas. 2006. Upacara Perkawinan Adat Jawa. Jakarta: Pustaka sinar Harapan. 236 halaman.

Yana, MH. 2012. Falsafah dan Pandangan Hidup Orang Jawa. Jakarta: Bintang Cemerlang. 246 halaman.

Zaairul Haq. M. 2011. Mutiara Hidup Manusia Jawa. Yogyakarta: Aditya Media Publishing. 272 halaman.

Sumber lain :

Edukashihary.Blogspot.com diaksese tanggal 5 Maret pukul 09.00 Wib. Fatkhul-anas.blogspot.com diakses tanggal 31 Januari 2013 pukul 10.00 Wib Mahasuara.blogspot.comdiakses tanggal 10 April pukul 11.00 Wib

Pustaka.unpad.ac.id diakses tanggal 5 Februari 2013 pukul 10.00 Wib Wikipedia.blangkon.com diakses tanggal 31 Januari 2013 pukul 09.05 Wib Yogiandrian.blogspot.comdiakses tanggal 5 Maret 2013 pukul 09.00 Wib