ANALISA MAKNA PERISTILAHAN HUKUM DALAM B

ANALISA MAKNA PERISTILAHAN HUKUM DALAM BAHASA HUKUM
INDONESIA

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah :
Bahasa Indonesia

Disusun Oleh :

NAMA

: ZANUAR DWI R.

NIM

: A.131.11.0079

UNIVERSITAS SEMARANG
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
2012


BAB I

PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal
1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini menunjukkan bahwa hukum merupakan
elemen penting adanya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Supremasi hukum merupakan
suatu keniscayaan agar jalannya pemerintahan bernegara berada dalam koridor hukum.
Seperti kita ketahui bersama bahwa hukum di Indonesia masih banyak yang materinya
berasal dari hukum peninggalan Belanda, dimana hal ini mendapatkan pijakan yang kokoh
secara hukum melalui Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyatakan bahwa segala
badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang
baru menurut Undang-Undang Dasar ini. Secara faktual hingga saat ini juga masih banyak
dijumpai lembaga-lembaga hukum peninggalan Belanda yang dipraktikan dalam kehidupan
sehari-hari, baik pada sektor legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Dalam bahasa sehari-hari pun sering kita dengar masih familiarnya penggunaan istilahistilah tentang hukum, baik oleh praktisi hukum maupun masyarakat awam. Walaupun
demikian terkadang dalam penggunaannya kurang sesuai dengan makna dari istilah yang
bersangkutan diukur dari kacamata teori-teori ilmu pengetahuan.
Peristilahan hukum yang muncul saat ini, ternyata tidak hanya peristilahan hukum dari
bahasa Belanda, beberapa dari bahasa lain baik dari negara-negara Eropa Kontinental, Anglo

Saxon, bahkan perkembangan terbaru banyak muncul peristilahan dari bahasa Arab yang
lebih banyak dipraktikkan dalam Hukum Lembaga Keuangan. Istilah hukum sendiri
sebenarnya berasal dari Bahasa Arab hukum, yang kemudian telah diserap ke dalam bahasa
Indonesia menjadi hukum, termasuk juga istilah keadilan dan kemanfaatan.
Contoh peristilahan dari bahasa Belanda yang masih perlu dipertanyakan kebenarannya
misalnya

setiap

orang

dianggap

tahu

undang-undang

atau

yang


lebih

dikenal

dengan fictie hukum, lebih baik tidak menghukum orang yang bersalah daripada menghukum
orang yang tidak bersalah, tegakkanlah hukum meskipun langit akan runtuh (fiat justicia roat
coelum), lex specialis derogat legi generali, putusan hakim selalu dianggap benar (res
judicata pro veritate habetur) dan sebagainya. Sementara dari Anglo Saxon Systemdikenal
adanya istilah Memorandum of Understanding (MoU) yang dalam realitas empiris sering
dipersamakan dengan perjanjian. Kemudian peristilahan dari bahasa Arab yang saat ini marak
terjadi di masyarakat khusunya di bidang hukum ekonomi dan keuangan misalnya mengenai
pembiayaan mudharabah,

pembiayaanmurabahah,

pembiayaan qardh, dan sebagainya.

pembiayaan musyarakah,


Beberapa peristilahan tersebut jika ditinjau makna dan penggunaannya sering kali
kurang tepat, sukar diterapkan, dan beberapa menjadi tidak logis serta cenderung hiperbolis.
Penggunaan yang tidak tepat misalnya penyamaan antara MoU dengan perjanjian, sementara
istilah yang sukar penerapannya misalnya adagium lex specialis derogat legi generali, dan
penggunaan istilah yang tidak logis dan hiperbolis misalnya hukum harus ditegakkan
meskipun langit runtuh (fiat justitia roat coelum).
Penggunaan-penggunaan istilah dimaksud ada yang tepat ketika diimplementasikan
dalam realitas praktik, pun beberapa dirasa kurang tepat terutama jika ditinjau dari teori
kebenaran dan teori keadilan. Kebenaran dan keadilan merupakan unsur yang hendak dituju
oleh hukum. Oleh karena itu ketika berbicara tentang hukum orientasi kita adalah pada
kebenaran dan keadilan.
Berbicara mengenai istilah atau peristilahan berarti kita masuk pembahasan mengenai
bahasa, lebih khusus lagi dalam konteks ini adalah bahasa hukum. Sementara ketika kita
hendak menggali maknanya kita akan masuk ke ranah filsafat ilmu, dan untuk mencari
kebenaran dari istilah dan penggunaannya kita akan menggunakan teori kebenaran. Setelah
itu untuk mengetahui dampak dari penggunaan istilah tertentu kita akan menggunakan teori
keadilan.
Menurut Kusumadi Pudjosewojo bahwa bahasa hukum Indonesia masih mencari
gayanya sendiri. Istilah-istilahnya masih belum tetap dan sebagian besar masih merupakan
terjemahan belaka dari istilah hukum Belanda. Dengan demikian istilah atau kalimat

Indonesia itu masih mencerminkan pengertian hukum Belanda dan alam pikiran hukum
Belanda. Lanjut Beliau bahwa bahasa hukum berlainan daripada bahasa sehari-hari atau
bahasa kesusasteraan.1
Karakteristik bahasa hukum Indonesia selain terletak pada komposisi, dan gaya bahasa
yang khusus dengan kandungan arti yang khusus, juga terletak pada istilah-istilah yang
dipakai.2 Hal ini disebabkan dalam merumuskan, menyusun, menjabarkan ketentuanketentuan hukum para ahli hukum demi kepentingan hukum itu sendiri perlu menggunakan
kata, istilah atau ungkapan-ungkapan yang jelas, teliti, pasti, seragam, dan bersistem.
Kamus Bahasa Indonesia sendiri tidak memuat secara defenitif mengenai pengertian
istilah tersebut, tetapi dalam buku yang berjudul Bahasa Hukum Indonesia yang disusun oleh
Badan Pembinaan Hukum Nasional dapat diambil kesimpulan bahwa istilah merupakan satu
atau beberapa kata yang digunakan untuk mengungkapkan sebuah konsep. Mengingat istilah
1 Kusumadi Pudjosewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia,Cetakan kedelapan, Jakarta: Sinar
Grafika, 1997, Hal 52.
2

ini dalam konteks istilah hukum, maka konsep yang diungkapkan tesebut merupakan sebuah
konsep tentang hukum. Sehingga, dapat dikatakan bahwa istilah hukum adalah satu atau
beberapa kata yang dipergunakan untuk mengungkapkan sebuah konsep hukum.
Dalam filsafat ilmu dipertanyakan mengenai apakah ilmu bebas nilai ataukah tidak dan
jawaban atas pertanyaan tersebut dapat membawa perdebatan panjang namun hakikat ilmu

tidaklah bebas nilai. Satu hal yang ingin dihindari oleh kebanyakan ilmuwan namun
kehadirannya sulit untuk di tolak adalah kekuasaan. Kekuasaan memainkan peran besar
dalam perkembangan ilmu – baik secara langsung maupun tidak – karena para ilmuwan sulit
untuk memancangkan bendera otonomi ilmiah di dalam suatu negara yang meletakkan
kekuasaan sebagai faktor yang dominan dalam mengambil suatu kebijakan. Kemungkinan
timbulnya konflik kepentingan antara ke dua belah pihak-ilmuwan dengan klaim kebenaran
(truth claim-nya) berpeluang untuk terjadi.3
Bidang dari filsafat ilmu yang membicarakan ukuran benar atau tidaknya pengetahuan
yaitu Epistemologi yang secara etimologis berarti teori pengetahuan. Adapun obyek material
dari epistemologi adalah pengetahuan, sedangkan obyek formalnya adalah hakikat ilmu
pengetahuan itu sendiri. Dengan demikian epistemologi sangat berguna bagi upaya untuk
menganalisis kebenaran dari suatu obyek, yang dalam hal ini adalah peristilahan hukum.
Sementara dengan menggunakan analisis teori kebenaran, maka akan dipakai teori
kebenaran korespondensi, teori kebenaran koherensi, dan teori kebenaran pragmatis.
Kemudian karena dalam penggunaan peristilahan tertentu sering kali berdampak pada unsur
esensial dari hukum yaitu keadilan, maka teori keadilan juga akan menjadi pisau analisis
beberapa peristilahan hukum tertentu, seperti adanya fiksi hukum bahwa setiap orang
dianggap tahu hukumnya dan ketidaktahuan terhadap hukum bukan merupakan alasan
pemaaf.
Era reformasi membawa banyak perubahan demikian juga dalam pola pemakaian

bahasa dan pemilihan istilah, misalnya semakin banyaknya istilah hukum dan lembaga
hukum dari negara lain yang masuk dan digunakan dalam praktik hukum di Indonesia.
Dengan demikian akhir-akhir ini makin dirasakan betapa pentingnya fungsi bahasa
sebagai media komunikasi. Pada kenyataannya dewasa ini, selain ahli-ahli bahasa semua ahli
yang bergerak dalam bidang pengetahuan semakin memperdalam dirinya dalam mempelajari
teori dan praktik bahasa.
Bahasa dan hukum merupakan satu kesatuan. Bahasa hukum harus memenuhi syaratsyarat serta kaidah-kaidah bahasa karena bahasa hukum mempunyai karakteristik tersendiri
3 Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, Hal 171-172.

yang menyebabkan sulitnya masyarakat untuk memahaminya. Rumitnya struktur bahasa
hukum ini dipengaruhi oleh bahasa-bahasa asing terutama bahasa Belanda dan juga
kurangnya pengetahuan dari pembuat undang-undang akan tata bahasa Indonesia sendiri. Di
samping itu juga karena masih adanya anggapan-anggapan bahwa dunia hukum itu terlalu
formal dan kompleks serta adanya ketidakpercayaan terhadap hukum pada umumnya.
Berdasarkan pada pemaparan di atas, maka Penulis mempunyai ketertarikan untuk
membahas mengenai peristilahan hukum dalam konteks bahasa hukum Indonesia, sehingga
makalah ini Penulis beri judul “Menggali Makna Peristilahan Hukum dalam Bahasa Hukum
Indonesia”.

BAB II

PERMASALAHAN
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut di atas, maka berbagai masalah
dapat dirumuskan antara lain sebagai berikut:
1. Bagaimana pemaknaan peristilahan hukum dalam praktik di masyarakat?
2. Bagaimana jika pemaknaan dimaksud ditinjau dari teori kebenaran dan teori keadilan?

BAB III
PEMBAHASAN
1. Peristilahan Hukum dalam Praktik di Masyarakat
Bahasa, Bahasa Hukum, dan Bahasa Hukum Indonesia
Bahasa adalah kata-kata yang digunakan sebagai alat bagi manusia untuk menyatakan
atau melukiskan suatu kehendak, perasaan, fikiran, pengalaman, terutama dalam
hubungannya dengan manusia lain.4 Bahasa memiliki peran yang sangat penting dalam
4 Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, Bandung : Penerbit Alumni, 1992, Hal 8.

kehidupan bermasyarakat. Sering dikatakan pula bahwa bahasa merupakan penjelmaan dari
kehidupan manusia dalam masyarakat. Dalam pergaulan manusia bahasa menjadi alat
penghubung yang mampu menyampaikan berbagai pesan. Pesan yang disampaikan tersebut
berupa simbol-simbol kebahasaan.
Sudjito mengungkapkan bahwa diantara simbol-simbol tersebut ada yang berbentuk

kata-kata (lisan), ada yang berbentuk tulisan, dan ada pula yang berbentuk perlambang.
Rangkaian dari simbol-simbol itulah yang kemudian menjadikan sebuah bahasa terbentuk
dan mempunyai makna. Hanya dengan bahasa dan melalui bahasa proses pengenalan dan
proses komunikasi dapat berlangsung.
Jika dilihat dari sejarah pertumbuhan bahasa sejak awal hingga sekarang, maka fungsi
bahasa secara garis besarnya adalah sebagai berikut :
1) Untuk menyatakan ekspresi diri
Sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri secara terbuka segala sesuatu yang tersirat dalam
diri manusia, sekurang-kurangnya memaklumkan keberadaannya.
2) Sebagai alat komunikasi
Sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan saluran perumusan maksud kita, melahirkan
perasaan dan memungkinkan manusia menciptakan kerja sama sesama warga.
3) Sebagai alat menyatakan integrasi dan adaptasi sosial
Disamping sebagai salah satu unsur kebudayaan, dengan bahasa memungkinkan pula bagi
manusia memanfaatkan pengalaman-pengalaman mereka, mempelajari dan mengambil
bagian dalam pengalaman-pengalaman tersebut, serta belajar berkenalan dengan anggota
masyarakat, dapat mempelajari dan mengenal segala adat istiadat, tingkah laku dan tata
krama masyarakat lain.
4) Sebagai alat untuk melakukan kontrol sosial
Kontrol sosial maksudnya adalah usaha untuk mempengaruhi tingkah laku dan tindak-tanduk

orang lain. Tingkah laku itu dapat bersifat terbuka (overt yaitu tingkah laku yang dapat
diamati atau diobservasi), maupun yang bersifat tertutup (covert yaitu tingkah laku yang tidak
dapat diobservasi). Seluruh kegiatan sosial akan berjalan dengan baik karena dapat diatur
dengan menggunakan bahasa. Dalam mengadakan kontrol sosial, bahasa mempunyai
hubungan dengan proses-proses sosialisasi suatu masyarakat.
Berkaitan dengan fungsi bahasa secara umum, maka melalui bahasa pula penggalian,
penguasaan, dan penyebaran ilmu pengetahuan dapat menjadi lebih efektif. Bahasa yang
dipelajari dan dipakai dalam dunia ilmu pengetahuan adalah bahasa ilmiah atau bahasa

keilmuan. Bahasa ilmiah mempunyai ciri-ciri dan sifat-sifat sebagaimana dikemukakan Anton
M. Moeliono:
1) Lugas dan eksak karena menghindari kesamaran dan ketaksaan;
2) Obyektif dan menekan prasangka pribadi;
3) Memberikan definisi yang cermat tentang nama, sifat dan kategori yang diselidikinya untuk
menghindari kesimpangsiuran;
4) Tidak beremosi dan menjauhi tafsiran yang bersensasi;
5) Cenderung membakukan makna kata-katanya, ungkapannya dan gaya paparannya berdasarkan
konvensi.
6) Tidak dogmatik atau fanatik;
7) Bercorak hemat, hanya kata yang diperlukan yang dipakai;

8) Bentuk, makna dan fungsinya lebih mantap dan stabil daripada yang dimiliki kata biasa.
Bahasa dan hukum memiliki kaitan yang erat. Hal tersebut dapat diketahui dengan
mengacu pada pendapat Sutan Takdir Alisyahbana yang dikutip Harkristuti Harkrisnowo
bahwa baik bahasa maupun hukum merupakan penjelasan kehidupan manusia dalam
masyarakat dan merupakan sebagian dari penjelmaan suatu kebudayaan pada suatu tempat
dan waktu. Bahasa dan hukum itu saling berhubungan, saling pengaruh, bahkan dianggap
sebagai penjelmaan masyarakat dan kebudayaan, yang sebaliknya pula dipengaruhi baik oleh
bahasa maupun oleh hukum. [9] Dengan kata lain, ada hubungan yang erat antara bahasa dan
hukum. Sebagaimana diketahui bahwa hukum merupakan salah satu sarana untuk
menciptakan keteraturan dan ketertiban sosial masyarakat. Ketentuan hukum tersebut
utamanya dirumuskan melalui bahasa, khususnya bahasa hukum.
Bahasa hukum adalah bahasa (kata-kata) yang digunakan untuk merumuskan dan
menyatakan hukum dalam suatu masyarakat tertentu. 5 Hukum hanya dapat berjalan efektif
manakala ia dirumuskan melalui bahasa hukum yang tegas dan mencerminkan nilai-nilai
yang hidup dalam suatu masyarakat, dan harus dapat dikomunikasikan dengan baik pada
subyek-subyek hukum yang dituju.
Sebagai ilmu, bahasa hukum mempunyai obyek, metode dan tujuan tertentu. Obyek
garapan bahasa hukum adalah berupa tanda-tanda kebahasaan yang biasa digunakan dalam
hukum, meliputi bahasa verbal (lisan), bahasa visual (tulisan), gerak/isyarat, benda-benda,
dan warna tertentu. Ciri khas bahasa hukum sebagai pengetahuan keilmuan terletak pada
landasan ontologis yang mengacu pada obyek garapan dan apa yang ingin diketahui dari
5 Sabarudin Mahadi, Pembinaan Bahasa Hukum Indonesia, Bandung : Rosda Offset, 1979, Hal 50.

kajian terhadap obyek tersebut, landasan epistemologis yang menentukan metode yang
dipakai untuk memperoleh dan menggarap obyek yang ditentukan, sehingga hasil garapan
tersebut mempunyai makna dan landasan aksiologis yang menelaah tujuan dari segenap
aktivitas keilmuan dan pemanfaatannya.
Secara garis besar penggarapan metode pengolahan tanda-tanda kebahasaan itu dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu menyusun, merangkai, atau mengorganisisr tanda-tanda
kebahasaan tersebut sehingga terwujud sebuah susunan atau bangunan baru yang punya
struktur sehingga bisa disebut sebagai bahasa hukum dan berusaha menafsirkan (menangkap
atau mencari makna) yang terkandung pada tanda-tanda kebahasaan yang telah ada dan hadir
dihadapan kita, sehingga kita tahu persis mengenai tujuan dan kemanfaatannya, baik bagi diri
sendiri maupun orang lain, dalam konteks asal dan aslinya maupun dalam konteks keperluan
penafsirnya. Sedangkan tujuan bahasa hukum adalah menyampaikan pesan tentang kebenaran
dan keadilan dari subyek yang menggarap tanda-tanda kebahasaan kepada subyek lain.
Simposium bahasa dan hukum tahun 1974 yang diselenggarakan Badan Pembinaan
Hukum Nasional menghasilkan rumusan mengenai apa yang dimaksud dengan bahasa hukum
Indonesia. Bahasa hukum Indonesia merupakan bahasa Indonesia yang dipergunakan dalam
bidang hukum, yang mengingat fungsinya mempunyai karakteristik sendiri. Oleh karena itu
bahasa hukum Indonesia haruslah memenuhi syarat-syarat dan kaedah-kaedah bahasa
Indonesia.6 Jadi, dapat dikatakan bahwa bahasa hukum Indonesia sebenarnya merupakan
bagian dari bahasa Indonesia.
Bahasa hukum adalah bahasa aturan dan peraturan yang bertujuan untuk mewujudkan
ketertiban dan keadilan, untuk mempertahankan kepentingan umum dan kepentingan pribadi
di dalam masyarakat. Namun dikarenakan bahasa hukum adalah bagian dari bahasa Indonesia
yang modern, maka dalam penggunaannya ia harus tetap, terang, monosemantik, dan
memenuhi syarat estetika bahasa Indonesia.7 Sebagai bagian dari bahasa Indonesia, bahasa
hukum selayaknya juga mengikuti kaidah bahasa Indonesia secara umum. Hal tersebut
dimaksudkan supaya tidak membuka peluang interpretasi ganda. Hal yang disebut terakhir ini
sangat penting untuk menghindari agar kepastian hukum dapat dijamin.
Sebagian besar masyarakat masih merasa bahwa bahasa hukum kita merupakan bahasa
yang sulit dimengerti atau sulit dipahami. Hal tersebut dapat saja terjadi karena bahasa
6 Hilman Hadikusuma, Op. Cit, Hal. 194.
7 Ibid, Hal. 3.

hukum memiliki karakteristik tersendiri yaitu yang terletak pada istilah-istilah, komposisi,
serta gaya bahasanya yang khusus dan kandungan artinya yang khusus pula.
Selain sulit dimengerti atau sulit dipahami, bahasa Indonesia yang dipakai dalam dunia
hukum ternyata seringkali tidak berhasil memancarkan kandungan atau isi hukum dengan
baik, sehingga mengakibatkan seseorang menemui kesulitan menangkap makna hukum
dalam sebuah perjanjian atau peraturan. Bahasa hukum Indonesia yang masih dipergunakan
hingga saat ini semantik katanya masih belum baik, sehingga terkadang ditemukan istilahistilah yang tidak tetap dan kurang jelas.
Jika melihat kembali pada fungsi dasar bahasa yaitu sebagai alat menyampaikan pesan
dan tujuan bahasa hukum yaitu menyampaikan kebenaran dan keadilan, maka bahasa hukum
Indonesia masih memiliki kekurangsempurnaan, khususnya dalam semantik kata (pemaknaan
kata). Nampaknya memang tidak ada salahnya apabila mulai sekarang bahasa hukum dibuat
lebih sederhana, tidak menimbulkan multi interpretasi, sehingga tidak menimbulkan
kebingungan masyarakat awam, baik dalam pemaknaan maupun penerapan.
Teori Kebenaran dan Teori Keadilan
Pengetahuan dipandang dari jenis pengetahuan yang dibangun dapat dibedakan sebagai
berikut:
1) Pengetahuan biasa (ordinary knowledge/Common Sense Knowledge). Pengertian seperti ini
bersifat subyektif, artinya amat terikat pada subyek yang mengenal. Dengan demikian
pengetahuan jenis pertama ini memiliki sifat yang selalu benar, sejauh sarana untuk
memperoleh pengetahuan itu bersifat normal atau tidak ada penyimpangan.
2) Pengetahuan ilmiah, yaitu pengetahuan yang telah menetapkan obyek yang khas atau spesifik
dengan menerapkan pendekatan metodologis yang khas pula, artinya metodologi yang telah
mendapatkan kesepakatan di antara para ahli yang sejenis. Kebenaran yang terkandung dalam
pengetahuan ilmiah bersifat relatif, karena kandungan jenis pengetahuan ilmiah selalu
mendapatkan revisi dan diperkaya oleh hasil penemuan yang paling mutakhir. Dengan
demikian, kebenaran dalam pengetahuan ilmiah selalu mengalami pembaharuan sesuai
dengan hasil penelitian yang paling akhir dan mendapatkan persetujuan (agreement) oleh
para ilmuwan sejenis.
3) Pengetahuan filsafati, yaitu jenis pengetahuan yang pendekatannya melalui metodologi
pemikiran filsafati. Sifat pengetahuan ini mendasarkan dan menyeluruh dengan model
pemikiran yang analitis, kritis, dan spekulatif. Sifat kebenarannya adalah absolutintersubjektif. Maksudnya ialah nilai kebenaran yang terkandung pada jenis pengetahuan
filsafat selalu merupakan pendapat yang selalu melekat pada pandangan dari seorang filsuf

serta selalu mendapat pembenaran dan filsuf kemudian yang menggunakan metodologi
pemikiran yang sama pula.
4) Pengetahuan agama, yaitu jenis pengetahuan yang didasarkan pada keyakinan dan ajaran
agama tertentu. Pengetahuan agama memiliki sifat dogmatis, artinya pernyataan dalam suatu
agama selalu didasarkan pada keyakinan yang telah tertentu, sehingga pernyataan-pernyataan
dalam ayat-ayat kitab suci agama memiliki nilai kebenaran sesuai dengan keyakinan yang
digunakan untuk memahaminya itu. Implikasi makna dari kandungan kitab suci itu dapat
berkembang secara dinamik sesuai dengan perkembangan waktu, akan tetapi kandungan
dimaksud dari ayat kitab suci itu tidak dapat dirubah dan sifatnya absolut.
Dengan demikian sebuah pengetahuan memiliki kadar kebenaran yang berbeda-beda.
Berdasarkan pada pengklasifikasian di atas maka hanya pengetahuan agama yang nilai
kebenarannya bersifat absolut, karena berasal dari yang Maha Benar. Sementara untuk
pengetahuan jenis lain memiliki kebenaran yang sifatnya relatif. Untuk pengetahuan yang
sifat kebenarannya relatif ini perlu ditinjau dan dianalisis melalui perangkat tertentu untuk
mendapatkan kebenaran yang dituju. Adapun teori yang berbicara mengenai kebenaran antara
lain adalah sebagai berikut:
1) Teori kebenaran korespondensi, yaitu bahwa sesuatu dianggap benar jika ada kesesuaian
dengan fakta empiris, dalam artian bisa ditangkap oleh panca indra manusia.
2) Teori kebenaran koherensi, yaitu menyatakan bahwa suatu pernyataan dianggap benar
manakala

berhubungan

dengan

pernyataan

sebelumnya

sehingga

ada

pernyataan

berkesinambungan dan terjaga konsistensinya.
3) Teori kebenaran pragmatis, yaitu menyatakan bahwa suatu pengetahuan dianggap benar
manakala hal tertentu itu bermanfaat secara praktis bagi dirinya sendiri.
Unsur berikutnya yang dituju oleh hukum, termasuk bahasa hukum sebagai bagian dari
ilmu hukum adalah keadilan. Mengenai keadilan ini mengalami perkembangan dari masa ke
masa, bahwa adil bagi orang atau kelompok tertentu belum tentu dirasa adil bagi orang atau
kelompok lain. Ukuran keadilan menjadi relatif ketika dihadapkan pada peristiwa konkrit.
Hukum sangat erat hubungannya dengan keadilan. Bahkan ada orang yang
berpandangan bahwa hukum harus digabungkan dengan keadilan, supaya sungguh-sungguh
berarti sebagai hukum. Pernyataan ini ada sangkut pautnya dengan tanggapan bahwa hukum
merupakan bagian usaha manusia menciptakan suatu ko-eksistensi etis di dunia ini. Hanya
melalui suatu tata hukum yang adil orang-orang dapat hidup dengan damai menuju suatu
kesejahteraan jasmani maupun rohani.

Arsitoteles dalam The Ethics of Aristoteles, terjemahan J.A.KThomson, yang
disunting oleh S. Tasrif, menyatakan bahwa bila orang berbicara tentang keadilan, yang
mereka anggap secara pasti adalah adanya suatu keadaan pikiran yang mendorong mereka
untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang adil, untuk bersikap secara adil, dan untuk tidak
menginginkan hal yang tidak adil.
Aristoteles

juga

membedakan

adanya

dua

macam

keadilan,

yaitu justitia

distributiva dan justitia commutativa. Justitia distributivamenuntut bahwa setiap orang
mendapat apa yang menjadi hak atau jatahnya, sedangkan justitia commutativa memberi
kepada setiap orang sama banyaknya.
Menurut Tasrif, ada empat syarat minimum agar keadilan mendapat pernyataannya,
yaitu: Pertama, yang adil itu adalah sekaligus tengah-tengah dan kesebandingan. Kedua,
dalam sifatnya sebagai tengah-tengah, ia harus mempunyai dua ujung, dan di antara kedua
ujung itu ia berada. Ketiga, dalam sifatnya sebagai yang sebanding dari apa yang
dibagi. Keempat, dalam sifatnya sebagai yang adil, harus ada orang-orang tertentu untuk
siapa hal itu adil.
Jadi, pengertian adil itu menurut Tasrif adalah kebajikan yang sempurna karena ia
melaksanakan kebajikan yang sempurna, yaitu bahwa orang yang memiliki keadilan itu
mampu menerapkannya terhadap pihak lain dan bukan hanya dalam keadaan yang mengenai
dirinya sendiri.
2. Pemaknaan Peristilahan Hukum Ditinjau dari Teori Kebenaran dan Teori Keadilan
Penggunaan peristilahan hukum terutama yang berasal dari istilah asing sebagaimana
telah disebut pada bagian sebelumnya sering kali tidak tepat ditinjau dari maknanya dan
dampaknya ketika istilah itu digunakan dalam praktik hukum di masyarakat. Pada bagian ini
akan dikemukakan beberapa istilah hukum ditinjau dari dua pisau analisis yaitu teori
kebenaran dan teori keadilan. Beberapa istilah hukum yang akan dianalisis pada bagian ini
adalah mengenaiMemorandum of Understanding (MoU), teori fiksi hukum, dan adagium
hukum yaitu lex specialis derogat legi generali.
Pertama, Istilah Memorandum of Understanding (MoU) berasal dari dua kata,
yaitu memorandum dan understanding.

Dalam

Black’s

Law

Dictionary

diartikan

memorandum adalah “dasar untuk memulai penyusunan kontrak secara formal pada masa
datang” (is to serve as the basis of future formal contract). Sedangkan understandingdiartikan
sebagai “pernyataan persetujuan secara tidak langsung terhadap hubungannya dengan
persetujuan lain, baik secara lisan maupun secara tertulis” (an implied agreement resulting
from the express term of another agreement, whether written or oral).

Sehingga dirumuskan pengertian MoU adalah dasar penyusunan kontrak pada masa
datang yang didasarkan pada hasil permufakatan para pihak, baik secara tertulis maupun
lisan. Secara gramatikal MoUbiasa diartikan sebagai nota kesepahaman.
Beberapa pendapat memberi arti yang berbeda pula tentang MoU, misalnya Munir
Fuady mengartikan MoU adalah “perjanjian pendahuluan, dalam arti nantinya akan diikuti
dan dijabarkan dalam perjanjian lain yang mengaturnya secara detail, karena itu MoU
berisikan hal-hal yang pokok saja. Adapun mengenai lain-lain aspek dari MoU relatif sama
dengan perjanjian-perjanjian lain”.
Erman Rajagukguk mengartikan MoU sebagai “dokumen yang memuat saling
pengertian di antara para pihak sebelum perjanjian dibuat. Isi dari MoU harus dimasukkan ke
dalam kontrak, sehingga ia mempunyai kekuatan mengikat”.
Sehingga dari keseluruhan pengertian tersebut dapat disimpulkan unsur-unsur MoU,
yaitu: bersifat sebagai perjanjian pendahuluan, dibuat oleh para pihak yang merupakan
subyek hukum, wilayah keberlakuan bisa meliputi regional, nasional, maupun internasional,
substansi MoU adalah kerjasama dalam berbagai aspek, jangka waktunya tertentu.
MoU sebenarnya

tidak

dikenal

dalam

hukum

Indonesia,

tetapi

sering dipergunakan dalam praktik. MoU dianggap sebagai kontrak yang simpel dan tidak
disusun secara formal, serta dianggap sebagai pembuka suatu kesepakatan.
Dalam berbagai peraturan perundang-undangan tidak ditemukan ketentuan yang khusus
mengatur tentang MoU, namun bila diperhatikan substansi dari MoU sebagai perjanjian
pendahuluan, maka dapat disimpulkan bahwa MoU tunduk pada ketentuan perikatan pada
umumnya dalam Buku III KUH Perdata. Misalnya ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata
tentang syarat sahnya perjanjian, karena terdapat unsur kesepakatan dalam pembuatan MoU.
Selain itu dapat pula dilihat dalam Pasal 1338 KUH Perdata yaitu bahwa semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
MoU dibuat dengan memiliki tujuan-tujuan tertentu antara lain, yaitu sebagai berikut:
a. Untuk menghindari kesulitan pembatalan suatu agreementnantinya, dalam hal prospek
bisnisnya belum jelas benar dan apakah kerjasama selanjutnya akan ditindaklanjuti, sehingga
dibuatlah MoU yang mudah dibatalkan.
b. Penandatanganan kontrak masih lama karena masih dilakukan negosiasi yang alot. Karena
itu, daripada tidak ada ikatan apa-apa sebelum ditandatanganinya kontrak tersebut, maka
dibuatlah MoU yang akan berlaku sementara waktu.
c. Adanya keraguan para pihak dan masih perlu waktu untuk berfikir dalam hal
penandatanganan suatu kontrak, sehingga untuk sementara dibuatlah MoU.

d. MoU dibuat dan ditandatangani oleh pihak eksekutif teras dari suatu perusahaan, sehingga
untuk suatu perjanjian yang lebih rinci harus dirancang dan dinegosiasi khusus oleh staf yang
lebih rendah namun lebih menguasai secara teknis.
Mengingat substansi MoU dimana adanya kesepakatan kehendak untuk membuatnya,
maka dikatakan MoU mempunyai kekuatan mengikat untuk dilaksanakan layaknya sebuah
perjanjian pada umumnya. Akan tetapi bila salah satu pihak tidak memenuhi isi
memorandum, pihak lain tidak mempersoalkan hal tersebut. Sehingga para ahli pun belum
memiliki jawaban yang pasti tentang kekuatan mengikat MoU.
Ray Wijaya mengemukakan pendapatnya tentang kekuatan mengikat MoU tersebut
yaitu bahwa MoU hanya merupakan suatugentlement agreement yang tidak mempunyai
akibat hukum dan MoU merupakan suatu bukti awal telah terjadi atau tercapai saling
pengertian mengenai masalah-masalah pokok.
MoU sebagaimana tersebut di atas merupakan lembaga hukum yang berasal dari
tradisi Anglo Saxon. Ditinjau secara keilmuan hukum MoU merupakan janji untuk
mengadakan perjanjian, dengan demikian pada dasarnya belum mempunyai kekuatan
mengikat layaknya perjanjian itu sendiri. Penggunaan istilah MoU dalam tradisi Kontinental
dengan mengkaitkan pada teori kebenaran masuk ke dalam teori kebenaran pragmatis karena
didasarkan pada manfaat secara praktis dan kehadirannya dirasakan mendatangkan manfaat.
Penggunaan MoU dalam praktik hukum di masyarakat sebagaimana disinggung di atas
seringkali tidak tepat, paling tidak penggunaannya oleh masyarakat awam. Masyarakat
kebanyakan masih menyamakan MoU dengan perjanjian, sehingga dalam hal pihak lain tidak
melaksanakan apa yang termuat dalam MoU maka padanya seakan-akan dapat menggugat
pihak lain tersebut. Kalau ditinjau secara isi materi muatan yang ada di MoU seringkali
secara substansial sudah merupakan perjanjian, namun dalam kenyataannya yang dipakai
adalah istilah MoU. Adanya hal ini berpotensi menimbulkan dampak yuridis yang
berkepanjangan, sehingga bisa menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat.
Kedua teori fiksi hukum. Fiksi menurut kamus bahasa Indonesia adalah cerita rekaan,
hasil khayalan pengarang. Sedangkan hukum diartikan sebagai peraturan resmi yang menjadi
pengatur dan dikuatkan oleh pemerintah, undang-undang, peraturan, patokan (kaidah
ketentuan); mengenai peristiwa alam yang tertentu; keputusan yang dijatuhkan hakim kepada
terdakwa.
Menurut kamus hukum fiksi atau dalm bahasa aslinya (bahasa Latin) fictio adalah
angan-angan, bentuk hukum, konstruksi hukum, bangunan hukum, di samping peraturan
undang-undang.

Van Apeldoorn berpendapat mengenai fictie atau fiksi yaitu keadaan dimana kita
menerima sesuatu yang tidak benar sebagai sesuatu hal yang benar. Atau dengan kata lain kita
menerima apa yang sebenarnya tidak ada sebagai ada atau yang sebenarnya ada sebagai tidak
ada.
Namun sebenarnya fiksi perundang-undangan itu bukan fiksi sebenarnya, melainkan
dirumuskan belaka sebagai fiksi. Fiksi dipahami dari sudut hasrat pembentuk undang-undang
untuk memperoleh perumusan yang singkat, yaitu sebagai alat penolong untuk menghemat
jumlah peraturan dan pengertian.
Fiksi hukum yang menyatakan bahwa “setiap orang dianggap tahu akan undangundang”. Hal ini didasarkan pada suatu alasan, bahwa manusia mempunyai kepentingan sejak
lahir sampai mati. Setiap kepentingan manusia tersebut selalu diancam oleh bahaya di
sekelilingnya. Oleh karena itu manusia memerlukan perlindungan kepentingan, yang
dipenuhi oleh berbagai kaidah sosial yang salah satunya adalah kaidah hukum. Karena kaidah
hukum melindungi kepentingan manusia, maka harus dipatuhi manusia lainnya. Sehingga
timbul kesadaran untuk mematuhi peraturan hukum, supaya kepentingannya sendiri
terlindungi. Dengan demikian ketidaktahuan akan undang-undang tidak merupakan alasan
pemaaf atau “ignorantia legis excusat neminem”.
Jadi fiksi perundang-undangan itu sebenarnya bukanlah tidak dapat dibuang. Akan
tetapi bahwa ia sering dipakai terutama dapat dipahami dari sudut hasrat pembentuk undangundang untuk memperoleh perumusan yang singkat. Adakalanya juga pembentuk undangundang memakai fiksi, padahal pemakaian fiksi itu dapat dihindarinya. Hukum yang
tugasnya mengatur kehidupan masyarakat sebenarnya tidak boleh dijelmakan dalam
peraturan-peraturan yang dalam perumusannya jelas bertentangan dengan kenyataan. Adalah
kewajiban ajaran hukum untuk sebanyak mungkin mengeluarkan fiksi dari perundangundangan, dengan kata lain, mempersiapkan peraturan-peraturan yang sederhana.
Sebenarnya pemakaian fiksi hukum dalam perundang-undangan dan dalam ajaran
hukum menyebabkan kerugian yang besar. Pemakaian fiksi hukum tersebut mengakibatkan
kebiasaan para ahli hukum memakai fiksi dengan tidak semestinya. Karena dalam undangundang dan dalam literatur ilmu pengetahuan hukum, ahli hukum seringkali mempergunakan
fiksi hukum. Akhirnya ahli hukum, karena terbiasa dengan penggunaan fiksi hukum tersebut,
menjadi sangat lancar mempergunakannya. Itulah sebabnya, fiksi hukum memegang peranan
juga dalam pengadilan dan terkadang memegang peran yang sangat berbahaya. Untuk hakim,
fiksi adalah alat yang memikat, karena fiksi memberikan hakim kemampuan untuk mencapai
suatu keadaan yang diinginkannya. Dengan fiksi, kita dapat menghitamkan yang putih

maupun sebaliknya. Hal itu membahayakan dalam proses menemukan kebenaran dan
keadilan. Misalnya dalam persangkaan. Persangkaan harus dipisahkan dari fiksi. Fiksi adalah
ketidakbenaran suatu ciptaan saja, persangkaan mungkin benar, mungkin tidak. Peranan yang
penting yang dipegang oleh persangkaan ini tidak akan ditinjau lebih lanjut.
Kebenaran penggunaan fiksi hukum patut diragukan jika ditinjau dari teori-teori
kebenaran yang ada. Secara logis adanya juga tidak dapat dibenarkan secara ilmiah, karena
kenyataannya justru sebaliknya walaupun peraturan hukum dimaksud dituangkan dalam
Lembaran Negara. Aparat penegak hukum pun mungkin banyak juga yang tidak mengerti
mengenai peraturan-peraturan hukum tertentu, karena jumlahnya yang sangat banyak.
Ditinjau dari teori keadilan penggunaan fiksi hukum berpeluang menimbulkan
ketidakadilan, karena orang yang benar-benar tidak mengetahui peraturannya dikenai
hukuman yang sama dengan orang yang tahu. Jika ditinjau dari aspek kepastian hukum fiksi
hukum ini justru diperlukan sehingga tidak ada peluang seseorang berkelit dari jerat hukum.
Ketiga, asas lex

specialis derogat

legi

generali artinya

peraturan

yang

bersifat umum dikesampingkan oleh peraturan yang bersifat khusus dengan syarat peraturan
dimaksud berada dalam hierarki yang sejajar. Maksud dari asas ini adalah bahwa terhadap
peristiwa khusus wajib diperlakukan undang-undang yang menyebut peristiwa itu, walaupun
untuk peristiwa khusus tersebut dapat pula diperlakukan undang-undang yang menyebut
peristiwa yang lebih luas atau lebih umum yang dapat juga mencakup peristiwa khusus
tersebut.
Contoh pengakuan terhadap asas lex specialis derogat legi generali dalam hukum
pidana materiil dapat dilihat dalam Pasal 103 KUHP yang menyatakan: “Ketentuan dalam
Bab I sampai dengan Bab VII buku ini berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan
perundang-undangan yang lain diancam pidana, kecuali jika oleh undang-undang itu
ditentukan lain”. Sedangkan dalam hukum pidana formil, nampak di dalam isi Pasal 284 ayat
(2) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang menyatakan bahwa “(2)
Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua
perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara
mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang
tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi”. Memang benar
bahwa sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) butir i Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana, “(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a
karena kewajibannya mempunyai wewenang mengadakan penghentian penyidikan.

Sebagai alasan dari penghentian penyidikan perhatikan isi Pasal 109 ayat (2) yang
menyatakan: “(2) Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup
bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penghentian
penyidikan demi hukum (Pasal 76; 77; 78 dan 79 KUHP), maka penyidik memberitahukan
kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya. Memang benar sesuai dengan Pasal 14
huruf h dinyatakan bahwa Penuntut umum mempunyai wewenang “h. Menutup perkara demi
kepentingan hukum Sebagai alasan dari penghentian penuntutan”. Perhatikan isi Pasal 140
ayat (2) “a. Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penunutan karena
tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana
atau perkara ditutup demi hukum penuntut umum menuangkan dalam surat ketetapan”.
Dari dua produk hukum tersebut diberikan dasar hukum untuk adanya pengaturan yang
berbeda terhadap apa yang telah diatur dalam undang-undang generalisnya. Dapatlah disebut
mulai dari Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sampai dengan Undang-undang Tindak Pidana
Pencucian Uang (dalam posisi Lex specialis). Kesemuanya mempunyai materi hukum pidana
materiil dan hukum pidana formil) yang berbeda dengan apa yang diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (legi generali).
Satu lagi contoh pertentangan antara undang-undang yang tidak dapat diselesaikan
hanya dengan mengembalikan kepada asas hukum lex specialis derogat legi generali yakni
antara Undang-Undang Pokok Agraria dengan Undang-Undang Penanaman Modal.Dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) salah satu
pasalnya bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yakni pada pasal yang mengatur tentang pemberian hak
atas tanah dengan jangka waktu yang lebih lama (dalam UUPM) dibandingkan dengan jangka
waktu yang diatur oleh UUPA. Padahal sudah jelas, bahwa Undang-Undang Pokok Agraria,
konsepsi awalnya adalah Undang-Undang Payung (umbrella act) atau Undang-undang
pokok. Undang-undang ini juga bersifat sektoral, dimana terdapat dua sektor yang saling
bertentangan, yakni sektor pertanahan (Badan Pertanahan Nasional) dan sektor Investasi
(Badan Koordinasi Penanaman Modal). Pengaturan masing-masing undang-undang juga
tidak membuka kemungkinan untuk merujuk pada suatu aturan yang lebih khusus. Sehingga
pasal yang saling bertentangan tersebut menjadi tidak dapat berlaku (invalid).
Berdasarkan pada kondisi ini tampak bahwa peristilahan hukum berupa asas hukum lex
specialis derogat legi generali tidak implementatif ketika diberlakukan. Munculnya Undang-

undang Penanaman Modal tersebut untuk alasan praktis dapat dibenarkan, yaitu untuk
menciptakan iklim investasi yang kondusif sehingga arus investasi akan masuk dan pada
akhirnya ditujukan untuk kepentingan pembangunan.
Fenomena ini jika ditinjau dari teori keadilan berpotensi menimbulkan kondisi tidak
adil, karena kebijakan yang tadinya ditujukan untuk kepentingan rakyat dalam realitas praktis
justru hanya menguntungkan investor. Hanya investor dengan permodalan (capital) kuatlah
yang akan melakukan eksploitasi terhadap kekayaan bangsa ini.

BAB IV
PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan pada pembahasan mengenai peristilahan hukum dalam bahasa hukum
Indoensia tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
a. Pemaknaan peristilahan hukum dalam praktik di masyarakat ternyata tidak selalu tepat, bahkan
ada beberapa istilah yang penggunaannya sama sekali tidak tepat sehingga makna
sesungguhnya menjadi hilang sama sekali.
b. Dari sisi teori kebenaran dan keadilan beberapa peristilahan hukum ada yang dapat
dibenarkan, namun banyak yang tidak dapat dibenarkan karena sangat kontekstual tergantung
dari sudut mana kita memandangnya dan standar apa yang kita pakai untuk mengukur
kebenarannya.
2. Saran
Beberapa saran yang dapat disampaikan adalah perlu adanya perhatian dari
pemerintah untuk meluruskan istilah yang dimaknai salah dalam praktik, misalnya dengan
membuat undang-undang sebagai pedoman. Disamping itu peran serta masyarakat juga masih
diperlukan, misalnya dari kalangan akademisi dan profesional yang memang mengetahui
makna istilah tersebut untuk memberikan sosialisasi kepada masyarakat. Diharapkan
kalangan praktisi tidak turut melestarikan penggunaan istilah yang salah kaprah, hanya
karena dunia praktis sudah terlanjur terus menerus menggunakan suatu istilah dengan tidak
tepat.
DAFTAR PUSTAKA

Apeldoorn, L.J. Van. Pengantar Ilmu Hukum. Cetakan kedua puluh sembilan. Jakarta:
Pradnya Paramita. 2001.
Black, Henry Campbell. Black’s Law Dictionary, Sixth Edition. USA: West Publishing
Company. 1990.
Dahlan, M. Shodiq. Hukum Alam dan Keadilan. Bandung: Remaja Karya. 1989.
Fajri, EM Zul, dkk. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Difa Publisher.
Fuady, Munir. Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktik. Buku Keempat. Bandung: Citra Aditya
Bakti. 1997.
Hamzah, Andi. 1986.Kamus Hukum Jakarta: Ghalia Indonesia.
Harkrisnowo,Harkristuti.

Bahasa Indonesia Sebagai Sarana Pengembangan Hukum

Nasional. 2004.
Huijbers, Theo. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 1995.
Mahadi, Sabarudin. Pembinaan Bahasa Hukum Indonesia, Bandung : Rosda Offset. 1979.
Mertokusumo, Sudikno R.M. (b). Teori dan Politik Hukum. Bahan Ajar Magister Ilmu
Hukum Universitas Gadjah Mada.
Mertokusumo, Sudikno. (a). Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Liberty.
1999.
Mustansyir, Rizal dan Misnar Munir, Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2006.
Pudjosewojo,

Kusumadi.

Pedoman

Pelajaran

Tata

Hukum

Indonesia.Cetakan

kedelapan. Jakarta: Sinar Grafika. 1997.
Purbacaraka, Purnadi, dkk. Perundang-undangan dan Yurisprudensi. Bandung: Alumni.
1979.
Rajagukguk, Erman. Kontrak Dagang Internasional dalam Praktik di Indonesia. Jakarta:
Universitas Inonesia. 1994.
Salim HS, H. (a). Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU). Jakarta:
Sinar Grafika. 2007.
Salim HS, H. (b). Hukum Kontrak. Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak.Cetakan ketiga.
Jakarta: Sinar Grafika. 2006.
Siregar, Mustafa. Bahasa Hukum. Artikel pada Jurnal Compendium Ilmu Hukum dan
Kenotariatan, Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan USU. Medan. 2003.
Wijaya, I. G. Ray. Merancang Suatu Kontrak (Contract Drafting) Teori dan Praktik. Edisi
Revisi. Jakarta: Kasaint Blanc. 2003.