POLA PENGAWASAN KOMISI D DPRD KOTA BANDAR LAMPUNG DALAM PELAYANAN PUBLIK KESEHATAN (Studi Pada Pusat Kesehatan Masyarakat Kecamatan Kemiling Bandar Lampung)

(1)

ABSTRACT

THE EXECUTION OF COMMITEE SUPERVISION’S DESIGN D DPRD AT BANDAR LAMPUNG CITY IN HEALTHY’S PUBLIC

SERVICE

(Study at Society’s Healthy Centre in Kemiling District at Bandar Lampung)

BY

AHMAD NURYANI

DPRD at Bandar Lampung city as representation from society at Bandar Lampung city has functions to do the supervision to all sectors in public service. DPRD at Bandar Lampung city. Based on number in law 22 year 2003, DPRD form equipment to hold each task that determined. One of that equipment is committee D DPRD at Bandar Lampung city that has task and authority side of people’s welfare from various public services’ sectors. This research will study how does mechanism and supervision pattern of committee D DPRD at Bandar Lampung city towards health’s public service sector in Puskesmas Kemiling.

The aim and benefit of this research is to detect mechanism and supervision pattern which is done by committee D DPRD at Bandar Lampung city in healthy side at society healthy centre of (Puskesmas) at Kemiling District. These research methods is qualitative with correlation inquiry result towards observation result and document in object research that existing in committee D DPRD at Bandar Lampung city and Puskesmas Kemiling. The documents are agenda of meeting,


(2)

work visit program and committee profile D DPRD at Bandar Lampung city and profile of Puskesmas on Kemiling district.

Research result shows that supervision mechanism of committee D DPRD at Bandar Lampung city is working meeting of committee with work unit (Satker) government, work visit, Public Hearing, and society accusation. all of that mechanisms is only meeting to hear public opinion which is never be done by committee D DPRD at Bandar Lampung city that caused of meeting hear public opinion that it will involve various society element. So it feels very difficult to achieve the aim from public hearing. Supervision pattern based on research result shows that committee supervision pattern D DPRD at Bandar Lampung city done with active pattern and passive pattern according to personal institute or personal. Supervision execution obstacle from research result is not supervision agenda DPRD yet, there is not standards system with supervision standard procedure DPRD, society participation does not optimal yet. It cause the committee supervision D DPRD at Bandar Lampung city is still sporadic.


(3)

ABSTRAK

POLA PENGAWASAN KOMISI D DPRD KOTA BANDAR LAMPUNG DALAM PELAYANAN PUBLIK KESEHATAN

(Studi Pada Pusat Kesehatan Masyarakat Kecamatan Kemiling Bandar Lampung) Oleh

Ahmad Nuryani

DPRD Kota Bandar Lampung sebagai refresentasi dari masyarakat Kota Bandar Lampung salah satu fungsinya melakukan pengawasan terhadap segala sektor pelayana publik. DPRD Kota Bandar Lampung. Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003, DPRD membentuk alat kelengkapan untuk membidangi masing-masing tugas yang telah ditentukan. Salah satu alat kelengkapan tersebut adalah Komisi D DPRD Kota Bandar Lampung yang mempunyai tugas dan kewenangan membidangi kesejahteraan rakyat dari berbagai sektor pelayanan publik. Penelitian ini akan mengkaji bagaimana mekanisme dan pola pengawasan Komisi D DPRD Kota Bandar Lampung terhadap sektor pelayanan publik kesehatan pada Puskesmas Kemiling.

Tujuan dan manfaat dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui mekanisme dan pola pengawasan yang dilakukan Komisi D DPRD Kota Bandar Lampung dalam bidang kesehatan pada Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Kecamatan Kemiling. Metode penelitian ini adalah kualitatif dengan mengkorelasikan hasil angket terhadap hasil tinjauan langsung lapangan serta dokumen tertulis yang ada


(4)

pada objek peneitian yaitu Komisi D DPRD Kota Bandar Lampung dan Puskesmas Kemiling. Dokumen-dokumen tersebut adalah berita acara rapat, berita acara kunjungan kerja dan profil Komisi D DPRD Kota Bandar Lampung serta profil Puskesmas Kecamtan Kemiling.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mekanisme pengawasan Komisi D DPRD Kota Bandar Lampung adalah Rapat kerja komisi dengan Satuan Kerja (Satker) Pemerintah, Kunjungan Kerja, Rapat Dengar Pendapat Umum (public hearing), Pengaduan Masyarakat. Semua mekanisme tersebut hanya rapat dengar pendapat umum yang tidak pernah dilakukan Komisi D DPRD Kota Bandar Lampung dikarenakan rapat dengar pendapat umum akan melibatkan berbagai elemen masyarakat sehingga di khawatirkan sangat sulit untuk mencapai tujuan dari publik hearing. Pola pengawasan berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pola pengawasan Komisi D DPRD Kota Bandar Lampung dilakukan dengan pola aktif dan pola pasif baik secara kelembagaan maupun secara personal. Hambatan pelaksanaan pengawasan dari hasil penelitian adalah belum tersusunnya Agenda pengawasan DPRD, Belum adanya standard an sistem serta prosedur baku pengawasan DPRD, Partisipasi masyarakat belum Optimal. Hal ini menyebabkan pengawasan Komisi D DPRD Kota Bandar Lampung masih bersifat sporadik.


(5)

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan dengan adanya realita yang ada yaitu perempuan korban trafficking untuk kepentingan bisnis jasa pelayanan seksual komersial di Provinsi Lampung, terlihat bahwa daerah tersebut adalah daerah transit dan juga sebagai daerah pengirim anak perempuan.

1.Dengan karakteristik dan kondisi lingkungan sosialnya, modus operasinya, relasi yang membawanya, proses pengirimannya, cara transaksi/ pengalihannya dari traffickers kepada majikannya, perlakuan majikan terhadap perempuan korban trafficking, upaya – upaya yang dilakukan korban trafficking ketika berada ditempat majikannya, serta bentuk bantuan sosial psikologis yang diinginkan perempuan korban trafficking dalam menyelesaikan masalah. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga korban berasal dari keluarga miskin dengan latar belakang pendidikan yang sangat minim dan juga pada saat perekrutan umur korban yang masih sangat belia menyebabkan perempuan korban trafficking menjadi sangat rentan terhadap praktik trafficking.

2. Dengan modus yang digunakan yaitu menipu, menjerat korban, memacari,

menjanjikan berbagai kemewahan dengan ancaman, pemaksaan, atau penculikan dan relasi yang membawanya merupakan jaringan yang cukup luas, transportasi yang digunakan yaitu menggunakan kapal, ataupun kendaraan roda empat yaitu mobil, perlakuan yang sangat kasar yang didapat oleh korban trafficking ketika berada ditempat majikan yaitu mencoba melarikan diri dan berusaha mengadukan aparat yang berwajib. Bantuan yang dibutuhkan korban trafficking dalam menyelesaikannya masalahnya adalah


(6)

perlindungan hukum dan menghukum pelaku trafficking sesuai dengan undang – undang dan perlindungan korban serta pemulihan psikis korban.

Kelima perempuan korban trafficking mengalami prosedur yang tidak memihak dimana mereka dijadikan korban utuk kedua kalinya ( viktimidasi ) dan ketika mereka mengadukan kasusnya ke pihak yang berwajib mereka diperlakukan sebagai pelanggar hukum ( deskriminasi ) sementara para pelaku trafficking terlepas dari jeratan hukuman. Kekerasan yang dialami kelima perempuan korban trafficking baik kekerasan fisik, mental ataupun psikis membuat mereka takut umengulangi yang telah mereka lakukan seperti mencoba melarikan diri ataupun berontak dengan mengurung dikamar. Cara – cara tersebut adalah hal yang biasanya dilakukan untuk membuat perempuan menjadi takut mengambil keputusan penting untuk hidupnya. Sampai saat ini kelima korban mengakui mereka masih bingung dengan masa depannya.

Trauma psikologis bisa juga timbul akibat trauma fisik atau tanpa ada trauma fisik sekalipun. Penyebab trauma psikologis antara lain pelecehan seksual,

kekerasan, ancaman, atau bencana. Namun tidak semua penyebab tersebut punya efek sama terhadap tiap orang. Ada orang yang bisa mengatasi masalah tersebut, namun ada pula yang tidak bisa mengatasi emosi dan ingatan pada peristiwa traumatik yang dialami. Gejala dan Perawatan trauma psikologis dapat diantisipasi sebagai berikut:

1. Gejala, Penderita trauma biasanya menghindari tiap hal yang memicu timbulnya ingatan akan penyebab trauma. Jika mereka melihat pemicu, apapun jenisnya, mereka akan panik, depresi, marah-marah, atau disosiasi.

2. Perawatan, Perawatan untuk penderita trauma psikologis atara lain meliputi:

a. Membangun kepercayaan dengan orang lain. b. Belajar mengatur emosi.


(7)

c. Terapi proses yang berhubungan dengan kenangan dan perasaan

B. Saran

Dengan maraknya kasus trafficking perempuan di Indonesia umumnya dan di Provinsi Lampung khususnya yang menimbulkan dampak cukup komplek bagi para korban, beberapa langkah aksi penanggulangan trafficking perempuan untuk tujuan kepentingan pelayanan jasa seksual komersil.

Pertama, hendak nya masyarakat lebih takut akan jeratan hukum dan lebih menekankan lagi pada Undang – Undang khususnya tentang penanggulangan trafficking yaitu Undang – Undang Anti Perdagangan Terhadap Perempuan, yang bersifat menjerat para aktor pelaku dan pelanggan dengan melindungi korban berdasarkan situasi, kondisi serta kebutuhan korban.

Kedua, kepada masyarakat sebaiknya jangan memusuhi dan memvonis para pekerja seks yang sudah kembali ke tengah – tengah masyarakat sebagai manusia yang hina. Justru masyarakat seharusnya merangkul mereka dengan memahami bahwa mereka adalah korban bukan pelaku kejahatan, mereka melakukan pekerjaan tersebut bukan karena keinginan mereka tetapi dikondisikan untuk seperti itu. Dan untuk masyarakat luas sebaiknya berhati – hati terhadap para pelaku trafficking perempuan yang melakukan berbagai cara untuk menarik atau menjerat korbannya yaitu dengan janji – janjinya menawarkan pekerjaan dan berpura – pura menjadi pacar.


(8)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di Provinsi Lampung, tepatnya di Kampung Karang Jaya, Kelurahan Karang Maritim, Kecamatan Panjang, selama tahun 2001 kejadian trafficking - perempuan dan anak perempuan - untuk kepentingan bisnis pelayanan jasa seksual komersial sebanyak lima orang. Kelima korban trafficking itu adalah yang terpantau dan terekspose di media massa lokal. Di antara kelima korban trafficking itu ada seorang korban (14 tahun) yang sampai saat ini belum diketahui keberadaannya. Berita terakhir (14 Januari 2003) yang diterima oleh keluarga korban melalui telpon yang diterima oleh bibinya menunjukkan bahwa korban, saat ini, berada di Tawau, Malaysia. Hanya seorang – di antara kelima korban - yang melaporkan kejadiannya serta memproses perkaranya dengan berakhir pada dijatuhkannya putusan pengadilan selama 3,5 tahun bagi pelaku karena melanggar pasal 55 KUHP jo pasal 328 KUHP sebagai dakwaan primair dan pasal 55 jo pasal 330 KUHP dan pasal 55 jo pasal 247 sebagai dakwaan subsidair dan lebih subsidair.

Kejadian yang hampir sama terjadi juga di Desa Tanjung Ratu, Kecamatan Katibung, Provinsi Lampung pada tahun 2003, dengan korban yang jumlahnya lebih banyak lagi (9 orang) yang direkrut oleh Maas Setiawan dengan cara dijanjikan untuk bekerja di restauran yang ada di Bangka Belitung. Tetapi dalam proses menuju Bangka Belitung salah satu korban diperkosa oleh Maas Setiawan. Di samping itu, janji untuk dipekerjakan sebagai pelayan kafe milik Asnita dan Herman alias Manlago yang berada di Kecamatan Toboali, Kepulauan Bangka Belitung tidak hanya sebagai pelayan tetapi juga melayani tamu yang ingin melakukan hubungan seks. Atas kejadian ini, Maas Setiawan didakwa oleh jaksa penuntut umum dengan dakwaan pidana sebagaimana diatur dalam pasal 332 ayat (1) ke-2 KUHP


(9)

primair, dan subsidair pasal 332 ayat (1) ke-1 KUHP, atau lebih subsidair pasal 297 KUHP dengan tuntutan pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun. Pada 23 Juni 2003 persidangan dengan pelaku Maas berakhir dengan dijatuhkannya putusan pengadilan selama 4 (empat) tahun, 6 (enam) bulan.

Isu dan Wacana trafficking di Provinsi Lampung dapat dikatakan relatif baru menjadi isu dan wacana, meskipun sebenarnya kriminalisasi perdagangan manusia sendiri bukanlah masalah yang baru dan cukup banyak kejadian yang pernah dipaparkan di media massa dan telah ada beberapa kasus yang dapat diputuskan di pengadilan. Hal ini tercermin dari telah adanya perangkat hukum (KUHP Pasal 297) yang isinya pemidanaan atau mengancam akan menjatuhkan hukuman paling lama enam tahun penjara bagi siapa pun yang memperdagangkan perempuan (usia tidak ditentukan) dan anak laki-laki yang belum cukup umur.

Trafficking yang sebenarnya merupakan isu lokal yang kemudian ditarik menjadi isu global dan memperoleh perhatian pemerintah pusat – dengan telah dirumuskannya program kerja melawan trafficking oleh beberapa departemen dengan koordinasi kementerian negara pemberdayaan perempuan - setelah Indonesia dimasukkan ke dalam kelompok negara-negara Tier-3. Negara yang masuk kategori Tier-3 dianggap tidak sepenuhnya memenuhi (not fully comply) standar penanganan trafficking yang seperti yang ada dalam The Trafficking Victim Protection Act of 2000, dan tidak melakukan usaha-usaha yang berarti (significant efforts) untuk memenuhi standar tersebut.

Usaha-usaha yang semestinya dilakukan oleh pemerintah mencakup 3 kegiatan, yaitu (a) pencegahan (prevention) di mana pemerintah perlu melakukan kampanye dan dapat juga pendidikan “melawan trafficking”, (b) perlindungan (protection) di mana pemerintah melindungi dan memberikan bantuan kepada korban trafficking serta memastikan korban


(10)

tidak dipidana, (c) penindakan hukum (prosecution) di mana pemerintah dengan sungguh-sumgguh menyelidiki dan menindak kegiatan trafficking, termasuk pejabat publik yang terlibat, memfasilitasi atau membiarkan terjadinya trafficking. Tentunya, sebelum merumuskan kembali program/kegiatan untuk menaikkan peringkat yang lebih baik dalam penanganan trafficking perlu dilakukan kajian berdasarkan situasi, kondisi, dan kebutuhan korban.

Kajian life herstory korban trafficking dapat menggambarkan korban trafficking berdasarkan situasi dan kondisi yang menjadi akselerasi terjadinya trafficking dan kebutuhan korban sebelum kejadian, pada saat kejadian, dan setelah menjadi korban trafficking. Hanya saja belum banyak dan sulit diperoleh hasil kajiannya – untuk mengatakan tidak ada yang telah dipublikasikan dan hanya dilakukan untuk kajian komunitas/wilayah tertentu. Kekosongan atau kelangkaan kajian lifeherstory perempuan dan anak perempuan korban trafficking menjadi minat peneliti untuk dikaji dengan tujuan mengungkap situasi dan kondisi serta kebutuhan perempuan dan anak perempuan korban trafficking yang berasal dari Provinsi Lampung.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian pada latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana karakteristik perempuan korban trafficking serta kondisi

lingkungan sosialnya?

2. Bagaimanakah modus operasi trafficking perempuan untuk kepentingan bisnis pelayanan jasa seksual komersial yang digunakan oleh traffickers dan bentuk bantuan sosial psikologis penangan korban ?


(11)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang dan perumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk memperoleh karakteristik perempuan korban trafficking serta gambaran kondisi lingkungan sosialnya.

2. Untuk memperoleh gambaran tentang modus operasi trafficking perempuan untuk kepentingan bisnis pelayanan jasa seksual komersial yang sering digunakan oleh traffickers dalam menjerat korbannya.

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian tentang trafficking perempuan sebagai pekerja seks diharapkan memiliki kegunaan, secara praktis, untuk menambah atau memulai dilakukan diskursus/wacana trafficking perempuan dengan perspektif sosiologis psikologis yang menekankan pada kebutuhan korban yang hingga kini belum begitu banyak dilakukan oleh para akademisi, maupun pengamat masalah sosial. Adapun kegunaan lainnya, secara strategis, di antaranya sebagai masukan dalam penyusunan program maupun kegiatan sehingga pemerintah memiliki formula (contents, structure, culture) anti trafficking agar Indonesia dapat memenuhi standar penanganan trafficking seperti yang ada dalam The Trafficking Victim Protection Act of 2000 dan juga dapat merubah tingkatannya, saat ini ada pada tingkkatan tier 3, kelompok negara-negara yang tidak memiliki program atau kebijakan penanganan dan perlawanan terhadap trafficking.


(1)

perlindungan hukum dan menghukum pelaku trafficking sesuai dengan undang – undang dan perlindungan korban serta pemulihan psikis korban.

Kelima perempuan korban trafficking mengalami prosedur yang tidak memihak dimana mereka dijadikan korban utuk kedua kalinya ( viktimidasi ) dan ketika mereka mengadukan kasusnya ke pihak yang berwajib mereka diperlakukan sebagai pelanggar hukum ( deskriminasi ) sementara para pelaku trafficking terlepas dari jeratan hukuman. Kekerasan yang dialami kelima perempuan korban trafficking baik kekerasan fisik, mental ataupun psikis membuat mereka takut umengulangi yang telah mereka lakukan seperti mencoba melarikan diri ataupun berontak dengan mengurung dikamar. Cara – cara tersebut adalah hal yang biasanya dilakukan untuk membuat perempuan menjadi takut mengambil keputusan penting untuk hidupnya. Sampai saat ini kelima korban mengakui mereka masih bingung dengan masa depannya.

Trauma psikologis bisa juga timbul akibat trauma fisik atau tanpa ada trauma fisik sekalipun. Penyebab trauma psikologis antara lain pelecehan seksual,

kekerasan, ancaman, atau bencana. Namun tidak semua penyebab tersebut punya efek sama terhadap tiap orang. Ada orang yang bisa mengatasi masalah tersebut, namun ada pula yang tidak bisa mengatasi emosi dan ingatan pada peristiwa traumatik yang dialami. Gejala dan Perawatan trauma psikologis dapat diantisipasi sebagai berikut:

1. Gejala, Penderita trauma biasanya menghindari tiap hal yang memicu timbulnya ingatan akan penyebab trauma. Jika mereka melihat pemicu, apapun jenisnya, mereka akan panik, depresi, marah-marah, atau disosiasi.

2. Perawatan, Perawatan untuk penderita trauma psikologis atara lain meliputi:

a. Membangun kepercayaan dengan orang lain. b. Belajar mengatur emosi.


(2)

c. Terapi proses yang berhubungan dengan kenangan dan perasaan

B. Saran

Dengan maraknya kasus trafficking perempuan di Indonesia umumnya dan di Provinsi Lampung khususnya yang menimbulkan dampak cukup komplek bagi para korban, beberapa langkah aksi penanggulangan trafficking perempuan untuk tujuan kepentingan pelayanan jasa seksual komersil.

Pertama, hendak nya masyarakat lebih takut akan jeratan hukum dan lebih menekankan lagi pada Undang – Undang khususnya tentang penanggulangan trafficking yaitu Undang – Undang Anti Perdagangan Terhadap Perempuan, yang bersifat menjerat para aktor pelaku dan pelanggan dengan melindungi korban berdasarkan situasi, kondisi serta kebutuhan korban.

Kedua, kepada masyarakat sebaiknya jangan memusuhi dan memvonis para pekerja seks yang sudah kembali ke tengah – tengah masyarakat sebagai manusia yang hina. Justru masyarakat seharusnya merangkul mereka dengan memahami bahwa mereka adalah korban bukan pelaku kejahatan, mereka melakukan pekerjaan tersebut bukan karena keinginan mereka tetapi dikondisikan untuk seperti itu. Dan untuk masyarakat luas sebaiknya berhati – hati terhadap para pelaku trafficking perempuan yang melakukan berbagai cara untuk menarik atau menjerat korbannya yaitu dengan janji – janjinya menawarkan pekerjaan dan berpura – pura menjadi pacar.


(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di Provinsi Lampung, tepatnya di Kampung Karang Jaya, Kelurahan Karang Maritim, Kecamatan Panjang, selama tahun 2001 kejadian trafficking - perempuan dan anak perempuan - untuk kepentingan bisnis pelayanan jasa seksual komersial sebanyak lima orang. Kelima korban trafficking itu adalah yang terpantau dan terekspose di media massa lokal. Di antara kelima korban trafficking itu ada seorang korban (14 tahun) yang sampai saat ini belum diketahui keberadaannya. Berita terakhir (14 Januari 2003) yang diterima oleh keluarga korban melalui telpon yang diterima oleh bibinya menunjukkan bahwa korban, saat ini, berada di Tawau, Malaysia. Hanya seorang – di antara kelima korban - yang melaporkan kejadiannya serta memproses perkaranya dengan berakhir pada dijatuhkannya putusan pengadilan selama 3,5 tahun bagi pelaku karena melanggar pasal 55 KUHP jo pasal 328 KUHP sebagai dakwaan primair dan pasal 55 jo pasal 330 KUHP dan pasal 55 jo pasal 247 sebagai dakwaan subsidair dan lebih subsidair.

Kejadian yang hampir sama terjadi juga di Desa Tanjung Ratu, Kecamatan Katibung, Provinsi Lampung pada tahun 2003, dengan korban yang jumlahnya lebih banyak lagi (9 orang) yang direkrut oleh Maas Setiawan dengan cara dijanjikan untuk bekerja di restauran yang ada di Bangka Belitung. Tetapi dalam proses menuju Bangka Belitung salah satu korban diperkosa oleh Maas Setiawan. Di samping itu, janji untuk dipekerjakan sebagai pelayan kafe milik Asnita dan Herman alias Manlago yang berada di Kecamatan Toboali, Kepulauan Bangka Belitung tidak hanya sebagai pelayan tetapi juga melayani tamu yang ingin melakukan hubungan seks. Atas kejadian ini, Maas Setiawan didakwa oleh jaksa penuntut umum dengan dakwaan pidana sebagaimana diatur dalam pasal 332 ayat (1) ke-2 KUHP


(4)

primair, dan subsidair pasal 332 ayat (1) ke-1 KUHP, atau lebih subsidair pasal 297 KUHP dengan tuntutan pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun. Pada 23 Juni 2003 persidangan dengan pelaku Maas berakhir dengan dijatuhkannya putusan pengadilan selama 4 (empat) tahun, 6 (enam) bulan.

Isu dan Wacana trafficking di Provinsi Lampung dapat dikatakan relatif baru menjadi isu dan wacana, meskipun sebenarnya kriminalisasi perdagangan manusia sendiri bukanlah masalah yang baru dan cukup banyak kejadian yang pernah dipaparkan di media massa dan telah ada beberapa kasus yang dapat diputuskan di pengadilan. Hal ini tercermin dari telah adanya perangkat hukum (KUHP Pasal 297) yang isinya pemidanaan atau mengancam akan menjatuhkan hukuman paling lama enam tahun penjara bagi siapa pun yang memperdagangkan perempuan (usia tidak ditentukan) dan anak laki-laki yang belum cukup umur.

Trafficking yang sebenarnya merupakan isu lokal yang kemudian ditarik menjadi isu global dan memperoleh perhatian pemerintah pusat – dengan telah dirumuskannya program kerja melawan trafficking oleh beberapa departemen dengan koordinasi kementerian negara pemberdayaan perempuan - setelah Indonesia dimasukkan ke dalam kelompok negara-negara Tier-3. Negara yang masuk kategori Tier-3 dianggap tidak sepenuhnya memenuhi (not fully comply) standar penanganan trafficking yang seperti yang ada dalam The Trafficking Victim Protection Act of 2000, dan tidak melakukan usaha-usaha yang berarti (significant efforts) untuk memenuhi standar tersebut.

Usaha-usaha yang semestinya dilakukan oleh pemerintah mencakup 3 kegiatan, yaitu (a) pencegahan (prevention) di mana pemerintah perlu melakukan kampanye dan dapat juga pendidikan “melawan trafficking”, (b) perlindungan (protection) di mana pemerintah melindungi dan memberikan bantuan kepada korban trafficking serta memastikan korban


(5)

tidak dipidana, (c) penindakan hukum (prosecution) di mana pemerintah dengan sungguh-sumgguh menyelidiki dan menindak kegiatan trafficking, termasuk pejabat publik yang terlibat, memfasilitasi atau membiarkan terjadinya trafficking. Tentunya, sebelum merumuskan kembali program/kegiatan untuk menaikkan peringkat yang lebih baik dalam penanganan trafficking perlu dilakukan kajian berdasarkan situasi, kondisi, dan kebutuhan korban.

Kajian life herstory korban trafficking dapat menggambarkan korban trafficking berdasarkan situasi dan kondisi yang menjadi akselerasi terjadinya trafficking dan kebutuhan korban sebelum kejadian, pada saat kejadian, dan setelah menjadi korban trafficking. Hanya saja belum banyak dan sulit diperoleh hasil kajiannya – untuk mengatakan tidak ada yang telah dipublikasikan dan hanya dilakukan untuk kajian komunitas/wilayah tertentu. Kekosongan atau kelangkaan kajian lifeherstory perempuan dan anak perempuan korban trafficking menjadi minat peneliti untuk dikaji dengan tujuan mengungkap situasi dan kondisi serta kebutuhan perempuan dan anak perempuan korban trafficking yang berasal dari Provinsi Lampung.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian pada latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana karakteristik perempuan korban trafficking serta kondisi

lingkungan sosialnya?

2. Bagaimanakah modus operasi trafficking perempuan untuk kepentingan bisnis pelayanan jasa seksual komersial yang digunakan oleh traffickers dan bentuk bantuan sosial psikologis penangan korban ?


(6)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang dan perumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk memperoleh karakteristik perempuan korban trafficking serta gambaran kondisi lingkungan sosialnya.

2. Untuk memperoleh gambaran tentang modus operasi trafficking perempuan untuk kepentingan bisnis pelayanan jasa seksual komersial yang sering digunakan oleh traffickers dalam menjerat korbannya.

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian tentang trafficking perempuan sebagai pekerja seks diharapkan memiliki kegunaan, secara praktis, untuk menambah atau memulai dilakukan diskursus/wacana trafficking perempuan dengan perspektif sosiologis psikologis yang menekankan pada kebutuhan korban yang hingga kini belum begitu banyak dilakukan oleh para akademisi, maupun pengamat masalah sosial. Adapun kegunaan lainnya, secara strategis, di antaranya sebagai masukan dalam penyusunan program maupun kegiatan sehingga pemerintah memiliki formula (contents, structure, culture) anti trafficking agar Indonesia dapat memenuhi standar penanganan trafficking seperti yang ada dalam The Trafficking Victim Protection Act of 2000 dan juga dapat merubah tingkatannya, saat ini ada pada tingkkatan tier 3, kelompok negara-negara yang tidak memiliki program atau kebijakan penanganan dan perlawanan terhadap trafficking.