PENERAPAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 73/PUUIX/2011 TERHADAP PEJABAT NEGARA YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA

(1)

ABSTRAK

PENERAPAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 73/PUU-IX/2011 TERHADAP PEJABAT NEGARA YANG MELAKUKAN TINDAK

PIDANA

Oleh

ELSA SEPTA BALLINI

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menentukan suatu mekanisme khusus berupa perijinan yang harus ditempuh oleh penyidik apabila tindak pidana yang terjadi diduga dilakukan atau melibatkan para penyelenggara negara. Mekanisme perijinan tersebut masih menemui berbagai kendala yaitu salah satunya izin yang tidak keluar. Ketentuan ini memberikan perlakuan yang berbeda antara pejabat negara dan warga negara biasa, sehingga tidak sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan didepan hukum (equality before the law) dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 serta ketentuan perundang-undangan lain. Lalu diajukan permohonan pengujian undang-undang sehingga Mahkamah Konstitusi menjatuhkan Putusan Nomor 73/PUU-IX/2011, putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menyatakan tidak perlunya izin kepada Presiden apabila melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap pejabat negara yang melakukan tindak pidana, tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan terhadap pejabat negara memerlukan persetujuan tertulis dari presiden dan apabila persetujuan tertulis dimaksud tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya surat permohonan maka proses penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan dapat langsung dilakukan. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini bagaimana penerapan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011 dan apakah yang menjadi kendala dalam penerapan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.

Metode penelitian yang dipakai dalam membahas permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris guna mendapatkan suatu hasil penelitian yang benar.


(2)

Elsa Septa Ballini Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa penerapan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011 pihak Kejaksaan dan Kepolisian belum menerapkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, karena belum adanya perkara yang berkaitan dengan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Dalam menerapkan putusan Mahkamah Konstitusi tidak menemui kendala atau hambatan karena prinsip dari Kejaksaan dan Kepolisian apabila ada undang atau putusan akan dilaksanakan jadi dari segi undang-undang atau aparatur penegak hukum tidak ditemui kendala.

Saran dalam penelitian ini adalah terkait putusan Mahkamah Konstitusi ini diharapkan para aparat penegak hukum dapat melaksanakan atau menerapkan putusan Mahkamah Konstitusi ini dengan baik tanpa menemui kendala atau hambatan dalam penerapannya dan dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut jangan menjadi timbulnya sikap semena-mena bagi aparat penegak hukum dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap pejabat negara, aparat penegak hukum harus tetap profesional, proporsional dan yuridis. Jadi Mahkamah Konstitusi dalam putusannya tersebut memberikan kemudahan kepada aparat penegak hukum dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap pejabat negara yang melakukan tindak pidana.


(3)

PENERAPAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 73/PUU-IX/2011 TERHADAP PEJABAT NEGARA YANG

MELAKUKAN TINDAK PIDANA

Oleh

ELSA SEPTA BALLINI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Pidana Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2013


(4)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 8

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual... 9

E. Sistematika Penulisan... 16

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Penerapan... 18

B. Tinjauan Umum Tentang Mahkamah Konstitusi... 20

1. Fungsi//Tugas Mahkamah Konstitusi... 20

2. Wewenangan Mahkamah Konstitusi... 21

3. Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945... 22

C. Tinjauan Umum Tentang Pejabat Negara... 27

D. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana... 32

1. Pengertian Tindak Pidana... 32

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana... 33

3. Jenis-Jenis Tindak Pidana... 34


(5)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah... ... 40

B. Sumber dan Jenis Data... ... 40

C. Penentuan Populasi dan Sample... ... 42

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data... 43

E. Analisis Data... ... 43

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden... ... 44

B. Gambaran Umum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX//2011... 45

C. Penerapan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX//2011... ... 47

D. Kendala-Kendala Penerapan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX//2011... 53

V. PENUTUP A. Simpulan... ... 58

B. Saran... 59


(6)

Judul Skripsi : PENERAPAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 73/PUU-IX/2011 TERHADAP PEJABAT NEGARA YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA

Nama Mahasiswa : Elsa Septa Ballini No. Pokok Mahasiswa : 0912011137

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Diah Gustiniati M, S.H.,M.Hum Eko Raharjo,S.H., M.H. NIP. 196208171987032003 NIP. 196104061989031003

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustiniati M, S.H.,M.Hum NIP. 196208171987032003


(7)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Diah Gustiniati Maulani, S.H.,M.Hum ...

Sekretaris/Anggota : Hj. Firganefi, S.H., M.H. ...

Penguji Utama : Hj. Firganefi, S.H., M.H. ...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S. NIP. 196211091987031003


(8)

MOTTO

Kebanggaan kita yang terbesar adalah bukan tidak pernah gagal, tetapi bangkit kembali setiap kali kita jatuh

Kegembiraan sejati tidak berasal dari kemudahan yang menyertai kekayaan, atau dari puji-pujian, tetapi dari melakukan sesuatu yang berguna


(9)

PERSEMBAHAN

Dengan rasa syukur kepada Allah SWT

Kupersembahkan Karya Tulisku ini kepada

Papi dan Mamiku yang senantiasa

membantu penulis baik moril dan materiil,

ini adalah persembahan pertama dari putri kalian,

semua ini tiada sebanding dengan perjuangan dan pengorbanan

yang Papi dan Mami berikan selama ini,

mudah–mudahan ini menjadi langkah awal bagi putri kalian

untuk membalas budi baik yang sangat besar yang telah

kalian berikan selama ini, Amien...

Untuk Adik-adikku tersayang Roynaldo Okta Ballini, Clara Salsa Ballini

dan untuk seluruh keluarga besarku yang selalu menantikan keberhasilanku

Untuk teman-temanku yg selalu ada di sampingku dan

Untuk almamater UNILA yang selalu kubanggakan,

Serta untuk hidupku kedepan yang lebih baik lagi.


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tulung Pasik pada tanggal 13 September 1991, putri pertama dari tiga bersaudara pasangan Basnal dan Samini.

Penulis memulai pendidikan formalnya di Sekolah Dasar Negeri I Srigading diselesaikan pada tahun 2003. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 2 Labuhan Maringgai diselesaikan pada tahun 2006. Sekolah Menengah Atas Al-Kautsar Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2009.

Pada tahun 2009, penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung. Penulis mengkonsentrasikan diri pada bagian Hukum Pidana. Pada bulan Januari 2012 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Menanga Jaya, Kecamatan Banjit, Kabupaten Way Kanan


(11)

SANWACANA

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini guna memenuhi tugas akhir yang diwajibkan untuk mencapai gelar kesarjanaan pada Fakultas Hukum Universitas Lampung, dengan judul “PENERAPAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 73/PUU-IX/2011 TERHADAP PEJABAT NEGARA YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak lepas dari kelemahan dan kekurangan meskipun penulis telah berusaha semaksimal mungkin, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak akan penulis terima dengan senang hati.

Keberhasilan dalam menyelesaikan Skripsi ini, tentu tidak terlepas dari bantuan, arahan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Heryandi, S.H., M.S selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung


(12)

2. Ibu Diah Gustiniati M, S.H., M.Hum selaku Ketua Bagian Hukum Pidana sekaligus Pembimbing I yang telah banyak memberikan masukan dan saran dalam penulisan skripsi ini

3. Bapak Eko Raharjo S.H., M.H selaku Pembimbing II yang telah meluangkan waktu serta memberikan masukan dalam penulisan skripsi ini

4. Ibu Hj.Firganefi, S.H., M.H selaku Pembahas I 5. Bapak Budi Rizki S.H., M.H selaku Pembahas II

6. Segenap Dosen Fakultas Hukum pada umumnya dan Dosen Pidana pada khususnya, terima kasih atas segala ilmu yang telah kalian berikan

7. Segenap staf serta civitas akademika Fakultas Hukum Universitas Lampung 8. Kepada orang tua saya, Papi dan Mami tanpa segala kontribusi besar dari

mereka penulis tidak akan mungkin bisa menyelesaikan kuliah dan skripsi ini 9. Adik-adikku serta keluarga besarku yang telah banyak memberikan dorongan,

bantuan dan motivasi

10. Untuk sahabat-sahabatku; Anisa Fauziah yang telah banyak membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini, Irmalia Murniati, Meria Yulita Sapitri, Annisa Desmasari, Clara Novianti terima kasih kalian telah banyak membimbing dan membantu penulis dalam hal apapun dan membuat penulis sangat beruntung memiliki sahabat seperti kalian yang tidak ternilai dengan apapun

11. Untuk kawan-kawanku; Vika Trisanti yang sangat membantu sekali dalam penyelesaian skripsi ini, Tri Zaskia, Maria, Chandra Evita, Indah, Danar, Helda, Novia, Bujung, Rintar, Elvira, Ani, Fitri, serta kawan-kawan yang


(13)

namanya tidak disebutkan penulis mohon maaf, terima kasih atas dukungannya yang telah kalian berikan kepada penulis

12. Untuk teman-temanku di KKN; Bang Anton, Indah, Tama, Wulan, Reza, Nopen, Eva, dan Guruh terima kasih atas bimbingan dan kepedulian kalian sehingga penulis merasa sangat beruntung dapat bekerja satu tim dengan kalian dan dipertemukan di Desa Menanga Jaya Kecamatan Banjit Kabupaten Way Kanan.

13. Untuk seseorang di sana yang sampai saat ini masih berperan penting sebagai penyemangat dan motivator, terima kasih atas semua yang telah diberikan

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini betapapun kecilnya, kiranya dapat bermanfaat bagi penulis khususnya pembaca pada umumnya

Bandar Lampung, Maret 2013 Penulis


(14)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat yang dalam pelaksanaannya menganut prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Untuk melaksanakan amanat tersebut, dibentuklah lembaga-lembaga yang mampu mengejawantahkan nilai-nilai demokrasi serta dapat menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat agar sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Lembaga-lembaga tersebut merupakan lembaga penyelenggara negara yang mewakili kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.1

1

Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktis dan Permasalahannya,(Bandung: P.T. Alumni, 2007), hlm. 54.


(15)

Lembaga penyelenggara negara dalam operasionalisasinya dilakukan oleh para penyelenggara negara yang mempunyai peran penting dalam mewujudkan cita-cita perjuangan bangsa. Penyelenggara negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Para penyelenggara negara, dalam melaksanakan tugasnya, tidak jarang melakukan penyimpangan. Penyimpangan tersebut dapat berupa penyimpangan dalam bentuk pelanggaran administrasi maupun tindak pidana. Guna mendukung penerapan prinsip-prinsip good governance dalam penyelenggaraan negara, segala bentuk penyimpangan yang diduga dilakukan oleh atau melibatkan para penyelenggara negara tetap harus ditindak tegas. 2Untuk pelanggaran administrasi, mereka dapat diproses dan dijatuhkan sanksi internal di institusi atau lembaga masing-masing sesuai ketentuan yang berlaku, sedangkan untuk tindak pidana, mereka tetap mengikuti prosedur hukum pidana yang berlaku di Indonesia , yaitu melalui penyidikan, penuntutan dan pengadilan bahkan dijatuhi hukuman apabila terbukti bersalah telah melakukan perbuatan pidana yang disangkakan kepada mereka.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah secara jelas menentukan suatu mekanisme khusus berupa perijinan yang harus ditempuh oleh penyidik apabila tindak pidana yang terjadi diduga dilakukan atau melibatkan para penyelenggara negara. Meskipun telah diatur secara tegas,

2Srijanti, dkk. “Pendidikan Kewarganegaraan untuk Mahasiswa”.

(Jakarta: Graha Ilmu 2009). Hlm. 20


(16)

mekanisme perijinan tersebut masih menemui berbagai kendala. Kendala-kendala tersebut ditemui oleh penyidik yang sedang melakukan penyidikan tindak pidana yang diduga dilakukan atau melibatkan pejabat penyelenggara negara. Salah satu penyebabnya adalah izin penahanan yang tidak keluar. Adanya beberapa pihak yang dirugikan hak konstitusionalnya dan dilanggar maka ada upaya untuk mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Pemda tersebut. pengakuan hak setiap warga negara Indonesia untuk mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 merupakan satu indikator perkembangan ketatanegaraan yang positif yang merefleksikan adanya kemajuan bagi penguatan prinsip-prinsip negara hukum. Mahkamah Konstitusi, berfungsi antara lain sebagai "guardian" dari "constitutional rights” setiap warga Negara Republik Indonesia3. Mahkamah Konstitusi merupakan badan yudisial yang bertugas menjaga hak asasi manusia sebagai hak konstitusional dan hak hukum setiap warga negara. Dengan kesadaran inilah beberapa pihak kemudian, memutuskan untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 36 Undang-Undang Pemda yang bertentangan dengan semangat dan jiwa serta pasal-pasal yang dimuat dalam UUD 1945.

Ketentuan ini memberikan perlakuan yang berbeda (diskriminasi) antara pejabat negara tertentu dan warga negara biasa, sehingga tidak sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan didepan hukum (equality before the law) dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 serta ketentuan perundang-undangan lain. Prinsip ini mengharuskan negara tidak melakukan diskriminasi terhadap warga

3Maruarar Siahaan, “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia”,

jakarta: Sinar Grafika, Hlm. 60


(17)

negaranya, baik dalam proses peradilan maupun pemerintahan. Ketika pejabat negara harus berhadapan dengan proses hukum, baik sebagai saksi ataupun sebagai tersangka, dia wajib diperlakukan sama, tanpa melihat status ekonomi, kedudukan maupun jabatannya.

Menurut Mahkamah, persetujuan tertulis pada tahap penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah atau pejabat negara manapun tidak memiliki rasionalitas hukum yang cukup, dan akan memperlakukan warga negara secara berbeda di hadapan hukum4. Terhadap adagium yang menyatakan bahwa terhadap sesuatu yang berbeda seharusnya diperlakukan berbeda, dan terhadap sesuatu yang sama harus diperlakukan sama, menurut Mahkamah, pejabat negara dalam menjalankan tugas dan kewenangannya terkait jabatan negara yang diembannya memang berbeda dengan warga negara lain yang bukan pejabat negara, namun pejabat negara juga merupakan warga negara. Sebagai subjek hukum terlepas dari jabatannya, kepala daerah pun harus diperlakukan sama di hadapan hukum5. Oleh karena itu persetujuan tertulis dari Presiden tidak boleh menjadi hambatan bagi proses penyelidikan dan penyidikan kepala daerah yang bersangkutan, karena esensi dari persetujuan tertulis Presiden hanyalah agar Presiden sebagai pimpinan dari para kepala daerah mengetahui bahwa pimpinan dari suatu daerah akan mengalami proses hukum yang membatasi ruang geraknya, sehingga yang bersangkutan tidak dapat menjalankan tugas pemerintahan dengan baik, dan akan berakibat pada terjadinya kekosongan pimpinan daerah.

4

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011 Hlm. 55

5


(18)

Berdasarkan hal itu Presiden melalui Menteri dalam Negeri segera dapat mengambil langkah-langkah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum, dan demi pembangunan di bidang hukum maka diadakan suatu usaha peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional dengan mengadakan pembaharuan kodifikasi serta unifikasi hukum dalam rangkuman pelaksanaan secara nyata dari wawasan nusantara yang kemudian Mahkamah Konstitusi menjatuhkan Putusan Nomor 73/PUU-IX/2011 dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Pesatnya perkembangan masyarakat, teknologi dan informasi pada abad ke dua puluh dan umumnya sulit di ikuti, sektor hukum telah menyebabkan orang berpikir ulang tentang hukum. Dengan mulai memutuskan perhatiannya terhadap interaksi antara sektor hukum dan masyarakat. Dimana hukum tersebut di terapkan, namun masalah kesadaran hukum masyarakat masih menjadi salah satu faktor terpenting dari efektifitas suatu hukum yang diperlukan dalam suatu Negara. Sering di sebutkan bahwa hukum haruslah sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat. Artinya, hukum tersebut haruslah mengikuti kehendak dari masyarakat. Disamping itu hukum yang baik adalah hukum yang baik sesuai dengan perasaan hukum manusia (pelarangan). Maksudnya sebenarnya sama, hanya jika kesadaran hukum dikaitkan dengan masyarakat. Sementara perasaan hukum dikaitkan dengan manusia.


(19)

Pembaharuan hukum menuntut adanya pembaharuan ideologi hukum yaitu sistem nilai yang dijadikan spirit dalam perangkat hukum tersebut. Hal ini, mendorong masyarakat sebagai stakeholder dalam penerapan hukum, masyarakat selalu di tuntut partisipasi aktifnya dalam realita kehidupan masyarakat dan memberikan arah bagi perjalanan peradaban bangsa. Sehingga masyarakat yang sehat selalu menyediakan bahan bakar keadilan yaitu kejujuran dan keberanian, agar perjalanan masyarakat dan Negara tidak menyimpang dari tujuan bersama. Hukum mempunyai peranan sangat besar dalam pergaulan hidup di tengah–tengah masyarakat. Hal ini dapat di lihat dari ketertiban, ketentraman, dan tidak terjadinya ketegangan di dalam masyarakat, karena hukum mengatur menentukan hak dan kewajiban serta melindungi kepentingan individu dan kepentingan sosial. Dari uraian di diatas yang akan dibahas penulis adalah bagaimana penerapan Putusan Nomor 73/PUU-IX/2011 dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan apakah yang menjadi kendala dalam penerapan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Tujuan yang hendak dicapai adalah untuk mengetahui dan memahami penerapan Putusan Nomor 73/PUU-IX/2011 dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Beranjak dari uraian pada latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan kemudian membahasnya lebih lanjut dalam bentuk skripsi yang berjudul “Penerapan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU -IX/2011 Terhadap Pejabat Negara yang Melakukan Tindak Pidana”


(20)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan Penelitian

Untuk menguraikan dan menganalisis lebih lanjut dalam bentuk pembahasan bertitik tolak dari latar belakang, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah penerapan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011 terhadap pejabat negara yang melakukan tindak pidana?

2. Apakah yang menjadi kendala dalam melakukan penerapan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011 terhadap pejabat negara yang melakukan tindak pidana?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang diajukan agar tidak terlalu luas dan tidak terjadi kerancuan dalam pembahasan pemasalahan, maka ruang lingkup dalam penulisan skripsi ini hanya terbatas pada permasalahan penerapan Putusan Nomor 73/PUU-IX/2011 terhadap pejabat negara yang melakukan tindak pidana, dengan penelitian yang berlokasi di Kejaksaan Tinggi Lampung dan Polda Lampung Tahun 2013.


(21)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Sebagaimana rumusan diatas, penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut :

1. Mengetahui penerapan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011 terhadap pejabat negara yang melakukan tindak pidana;

2. Mengetahui apa yang menjadi kendala dalam penerapan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011 terhadap pejabat negara yang melakukan tindak pidana;

2. Kegunaan Penelitian

Adapun yang menjadi kegunaan penelitian ini adalah: a. Kegunaan Teoritis

Penelitian ini berguna sebagai bahan masukan dalam rangka penyempurnaan peraturan-peraturan untuk pembentukan hukum nasional terutama hukum pidana, khususnya tindak pidana korupsi.

b. Kegunaan Praktis

Memberikan manfaat sebagai bahan informasi dan acuan untuk instansi-instansi terkait di dalam menghadapi perkara tindak pidana korupsi.


(22)

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil-hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi yang dianggap relevan oleh peneliti.6

Ilmu dan teori hukum di dalam berbagai aspek termasuk di dalamnya pada konsepsi teoritik dan penerapan hukum maupun dalam kaitannya dengan perspektif disiplin ilmu lainnya mempunyai peran yang sangat strategis. Untuk meningkatkan kualitas dan menjadikan putusan itu berfungsi sesuai tujuan putusan maka putusan Majelis Mahkamah seharusnya menggunakan berbagai teori hukum sebagai dasar legalitasnya dalam membangun suatu konstruksi hukum atas permohonan atau sengketa yang diajukan kepadanya. Teori hukum juga penting sebagai usaha yang terus menerus untuk mempelajari hukum positif guna membuat jernih suatu postulat hukum hingga landasan filosofis yang tertinggi. Teori hukum ini juga menjadi penting karena dapat dijadikan dasar paradigmatis atas dinamika yang berkembang di masyarakat.

Azas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (yang menggantikan Undang-Undang Nomor 35 tahun 1999 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 35 tahun 1999) yang dalam pasal 4 ayat (2) menyatakan, bahwa peradilan

6

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Press, 1986, Jakarta, hlm 125


(23)

dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan, selanjutnya dalam pasal 5 ayat (2) dinyatakan, bahwa Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Selanjutnya dalam penjelasan pasal 4 ayat (2) menyatakan, bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk memenuhi harapan para pencari keadilan. Dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, secara ekplisit tidak dijumpai redaksi cepat, sederhana dan biaya ringan, namun azas yang mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat martabat manusia yang telah diletakkan di dalam Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yaitu Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970. Selanjutnya dinyatakan, bahwa azas tersebut antara lain peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkatan peradilan. Adapun pengertian sederhana dan biaya ringan hanya dijumpai dalam penjelasan pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 yang menyebutkan, bahwa yang dimaksud sederhana adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan acara efisien dan efektif, dan yang dimaksud biaya ringan adalah biaya perkara yang dapat dipikul oleh rakyat. Sedangkan yang dimaksud dengan cepat tidak dijumpai dalam penjelasan tersebut, untuk itu kiranya dapat diukur berdasar kelaziman yang dapat dirasakan oleh masyarakat atas dasar perlakuan wajar dan seharusnya dari aparat penegak hukum.7

7Fuad usfa., “Peradilan Cepat, sederhana dan Biaya Ringan Dalam Peradilan Pidana”.,

Media Bawean, 15 Mei 2009


(24)

Soerjono Soekanto menjelaskan bahwa penegakan hukum terletak pada faktor faktor yang mungkin mempengaruhi hukum tersebut, faktor-faktor tersebut ialah:8

1. Faktor undang-undang

Dalam praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal ini disebabkan oleh konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Justru itu, suatu kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya berdasar hukum merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum. Maka pada hakikatnya penyelenggaraan hukum bukan hanya mencakup low enforcement saja, namun juga peace maintenance, karena penyelenggaraan hukum sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara nilai kaedah dan pola perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian. Dengan demikian, tidak berarti setiap permasalahan sosial hanya dapat diselesaikan dengan hukum yang tertulis, karena tidak mungkin ada peraturan perundang-undangan yang dapat mengatur seluruh tingkah laku manusia, yang isinya jelas bagi setiap warga masyarakat yang diaturnya dan serasi antara kebutuhan untuk menerapkan peraturan dengan fasilitas yang mendukungnya.

8Soerjono Soekanto, “

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum”., Jakarta: Rajawali., Hlm. 101


(25)

2. Faktor aparat penegak hukum

Dalam berfungsinya hukum, mentalitas atau kepribadian aparat penegak hukum memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik, ada masalah. Oleh karena itu, salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian aparat penegak hukum menurut J. E. Sahetapy yang mengatakan: “Dalam rangka penegakan hukum dan penerapan penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebijakan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam kerangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegakan hukum (inklusif manusianya) keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, harus terasa dan terlihat, harus diaktualisasikan”. Di dalam konteks di atas yang menyangkut kepribadian dan mentalitas penegak hukum, bahwa selama ini ada kecenderungan yang kuat dikalangan masyarakat untuk mengartikan hukum sebagai petugas atau penegak hukum, artinya hukum diidentikkan dengan tingkah laku nyata petugas atau penegak hukum. Sayangnya dalam melaksanakan wewenangnya sering timbul persoalan karena sikap atau perlakuan yang dipandang melampaui wewenang atau perbuatan lainnya yang dianggap melunturkan citra dan wibawa penegak hukum, hal ini disebabkan oleh kualitas yang rendah dari aparat penegak hukum tersebut. Hal ini dapat berakibat tidak memahami batas-batas kewenangan, karena kurang pemahaman terhadap hukum, sehingga terjadi penyalahgunaan wewenang dalam melakukan tugas penyidikan dan tugas kepolisian lainnya. Masalah peningkatan kualitas ini merupakan salah satu kendala yang


(26)

dialami diberbagai instansi, tetapi khusus bagi aparat yang melaksanakan tugas wewenangnya menyangkut hak asasi manusia (dalam hal ini aparat penegak hukum) seharusnya mendapat prioritas. Walaupun disadari bahwa dalam hal peningkatan mutu berkaitan erat dengan anggaran lainnya yang selama ini bagi Polri selalu kurang dan sangat minim.

3. Faktor sarana dan prasarana

Faktor sarana dan prasarana pendukung mencakup perangkat lunak dan perangkat keras, salah satu contoh perangkat lunak adalah pendidikan. Pendidikan yang diterima oleh Polisi dewasa ini cenderung pada hal-hal yang praktis konvensional, sehingga dalam banyak hal polisi mengalami hambatan didalam tujuannya. Walaupun disadari pula bahwa tugas yang harus diemban oleh polisi begitu luas dan banyak. Masalah perangkat keras dalam hal ini adalah sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung. Sebab apabila sarana fisik seperti kertas tidak ada dan karbon kurang cukup dan mesin tik yang kurang baik, bagaimana petugas dapat membuat berita acara mengenai suatu kejahatan. Menurut Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah pernah mengemukakan bahwa bagaimana polisi dapat bekerja dengan baik, apabila tidak dilengkapi dengan kendaraan dan alat-alat komunikasi yang proporsional? Oleh karena itu, sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting di dalam penerapan putusan Mahkamah Konstitusi. Tanpa adanya sarana dan prasarana tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual.


(27)

4. Faktor masyarakat

Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum, persoalan yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang, atau kurang. Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan. Sikap masyarakat yang kurang menyadari tugas polisi, tidak mendukung, dan malahan kebanyakan bersikap apatis serta menganggap tugas penegakan hukum semata-mata urusan polisi, serta keengganan terlibat sebagai saksi dan sebagainya. Hal ini menjadi salah satu faktor penghambat dalam penegakan hukum.

5. Faktor kebudayaan

Dalam kebudayaan sehari-hari, orang begitu sering membicarakan soal kebudayaan. Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto, mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang perikelakuan yang menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang.


(28)

1. Konseptual

a. Penerapan

Penerapan adalah suatu perbuatan mempraktekkan suatu teori, metode, dan hal lain untuk mencapai tujuan tertentu dan untuk suatu kepentingan yang diinginkan oleh suatu kelompok atau golongan yang telah terencana dan tersusun sebelumnya.9

b. Putusan

Putusan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (kontentius).10

c. Mahkamah

Mahkamah adalah badan tempat memutuskan hukum atas suatu perkara atau pelanggaran; pengadilan.11

d. Konstitusi

Konstitusi adalah segala ketentuan dan aturan ketatanegaraan (undang-undang dasar dsb); (undang-undang-(undang-undang dasar suatu negara.12

e. Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung.13

9

http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20111118181316AAUOHb1, diakses 29 januari 2013, pukul 18:15 WIB

10

http://jojogaolsh.wordpress.com/2010/10/12/pengertian-dan-macam-macam-putusan/ diakses 29 januari 2013, pukul 19:00 WIB

11

Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990, Hlm 40

12

Ibid Hlm35

13Munafrizal Manan, “Penemuan Hukum oleh Mahkamah Konstitusi”,

Mandar Maju, Bandung, 2012 Hlm33


(29)

f. Pejabat Negara

Pejabat Negara adalah Pimpinan dan anggota lembaga tertinggi/tinggi negara sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-undang Dasar 1945 dan Pejabat Negara yang ditentukan oleh Undang-Undang.14

g. Tindak Pidana

Tindak Pidana adalah adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.15

E. Sistematika penulisan

Sistematika penulisan memuat uraian keseluruhan yang akan disajikan dengan tujuan mempermudah pemahaman terhadap skripsi ini secara keseluruhan. Sistematikanya sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Merupakan bab yang menguraikan latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

14 Hukum Online, “UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (“UU43/1999”):” http://www.hukumonline.com kategori-penyelenggara-negara,-pejabat-negara,-dan-pegawai-negeri, diakses pada Senin,26 November 2012, pukul 21:45:09 WIB.

15

Chairul huda,Dari Tiada Pidana Tanpa kesalahan Menuju Kepada Tiada pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan,Prenada Media.Jakarta.2006 .hal 28


(30)

Merupakan bab pengantar yang menguraikan pengertian-pengertian umum dari pokok bahasan yang memuat tinjauan mengenai penerapan putusan mahkamah konstitusi.

III. METODE PENELITIAN

Merupakan bab yang membahas tentang metode yang digunakan, meliputi pendekatan masalah, sumber dan jenis data, populasi dan sampel, pengumpulan dan pengelolahan data serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Merupakan penjelasan dan pembahasan yang mengemukakan hasil penelitian mengenai penerapan putusan mahkamah konstitusi.

V. PENUTUP

Merupakan bab terakhir yang berisikan kesimpulan dan saran dari penelitian yang telah dilakukan yang dapat membantu para pihak yang memerlukan. DAFTAR PUSTAKA

Berisi keseluruhan literatur dan referensi serta pengarang yang telah dijadikan acuan oleh penulis dalam penulisan skripsi.


(31)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Penerapan

Penerapan adalah suatu perbuatan mempraktekkan suatu teori, metode, dan hal lain untuk mencapai tujuan tertentu dan untuk suatu kepentingan yang diinginkan oleh suatu kelompok atau golongan yang telah terencana dan tersusun sebelumnya. Hukum mempunyai peranan sangat besar dalam pergaulan hidup di tengah-tengah masyarakat. Hal ini dapat di lihat dari ketertiban, ketentraman dan tidak terjadinya ketegangan di dalam masyarakat, karena hukum mengatur menentukan hak dan kewajiban serta mengatur, menentukan hak dan kewajiban serta melindungi kepentingan individu dan kepentingan sosial.

Menurut J.F. Glastra Van Loon,1 fungsi dan penerapan hukum di masyarakat adalah:

a. Menertibkan masyarakat dan pengaturan pergaulan hidup. b. Menyelesaikan pertikaian.

c. Memelihara dan mempertahankan tata tertib dan aturan-aturan jika perlu dengan kekerasan.

d. Memelihara dan mempertahankan hak tersebut.

1

JF. Glastra Van Loon, dalam Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000. Hlm.100


(32)

e. Mengubah tata tertib dan aturan-aturan dalam rangka penyesuaian dengan kebutuhan masyarakat.

f. Memenuhi tuntutan keadilan dan kepastian hukum dengan cara merealisasi fungsi-fungsi di atas.

Sedangkan menurut Prof.Dr. Soerjono Soekanto2 adalah :

a. Alat ketertiban dan ketentraman masyarakat,

b. Sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir bathin. c. Sarana penggerak pembangunan.

Fungsi kritis hukum dewasa ini adalah Daya kerja hukum tidak semata-mata pengawasan pada aparatur pemerintah (petugas), tetapi termasuk juga aparatur penegak hukum. Dengan demikian hukum harus memiliki fungsi-fungsi yang sedemikian rupa, sehingga dalam masyarakat dapat diwujudkan ketertiban, keteraturan, keadilan dan perkembangan. Agar hukum dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, maka bagi pelaksanaan penegak hukum dituntut kemampuan untuk melaksanakan atau menerapkan hukum, dengan seninya masing-masing, antara lain dengan menafsirkan hukum sedemikian rupa sesuai keadaan dan posisi pihak-pihak. Bila perlu dengan menerapkan analogis atau menentukan kebijaksanaan untuk hal yang sama, atau hampir sama, serta penghalusan hukum (Rechtsfervinjing). Di samping itu perlu diperhatikan faktor pelaksana penegak hukum, bahwa yang dibutuhkan adalah kecekatan, ketangkasan dan keterampilannya. Ingat adagium : The singer not a song atau The most important is not the system, but the man behind the system Dalam hal ini si

2


(33)

penyanyi adalah semua insan di mana hukum berlaku, baik warga masyarakat maupun para pejabat, termasuk para penegak hukum3.

B. Tinjauan Umum Tentang Mahkamah Konstitusi

1. Fungsi/Tugas Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi mempunyai fungsi untuk mengawal (to guard) konstitusi, agar dilaksanakan dan dihormati baik penyelenggara kekuasaan negara maupun warga negara. Mahkamah Konstitusi juga menjadi penafsir akhir konstitusi. Di beberapa negara bahkan dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi juga menjadi pelindung (protector) konstitusi. Sejak di inkorporasi- kannya hak-hak asasi manusia dalam UUD 1945, hemat kami fungsi pelindung (protector) konstitusi dalam arti melindungi hak-hak asasi manusia (fundamental rights) juga benar adanya. Akan tetapi, dalam penjelasan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dikatakan sebagai berikut:4

“salah satu substansi penting perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan tafsir ganda terhadap konstitusi.”

3

Soejono D, Penanggulangan Kejahatan (crime prevention), Bandung: Alumni, 1983. Hlm. 155

4Dr. Maruarar Siahaan, S.H. “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia”

, Jakarta:Sinar Grafika 2011, Hlm. 7


(34)

Lebih jelas Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. menguraikan sebagai berikut:5

“dalam konteks ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. Mahkamah Konstitusi bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggung jawab. Di tengah kelemahan sistem konstitusi yang ada, Mahkamah Konstitusi berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan mewarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat.”

2. Wewenang Mahkamah Konstitusi

Pasal 24 C ayat (1) dan ayat (2) menggariskan wewenang Mahkamah Konstitusi sebagai berikut:6

1. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu.

2. Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut secara khusus diatur lagi dalam Pasal 10 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dengan merinci sebagai berikut:7

a. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).

b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.

c. Memutus pembubaran partai politik

d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

e. Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi

5

Cetak Biru, Membangun Mahkamah Konstitusi, sebagai Institusi Peradilan Konstitusi yang Modern dan Terpercaya, Sekretariat Jenderal MKRI, 2004, Hlm. Iv.

6

Op. Cit., hlm. 11

7


(35)

syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945.

3. Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945

a. Kelengkapan Permohonan

Permohonan yang memuat uraian yang jelas dalam bahasa Indonesia disampaikan sebanyak 12 (dua belas) rangkap. Permohonan memuat bagian:

(i) Identitas pemohon

(ii) Uraian tentang duduk perkara atau dasar permohonan (posita) (iii) Pengujian yang diminta formal atau materiil, dan

(iv) Pokok tuntutan yang diminta (petitum).

Permohonan tersebut harus sudah dilengkapi alat bukti yang dapat berupa salinan yang disahkan setelah dibubuhi materai seccukupnya.

b. Pembentukan Panel Hakim

Pasal 28 ayat (4) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi memberi kewwenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk membentuk panel hakim yang anggotanya terdiri atas sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim konstitusi yang tugas-tugasnya ditentukan oleh pleno itu sendiri. Tugas panel adalah sebagai berikut: 1. Melaksanakan pemeriksaan pendahuluan

2. Memeriksa alat-alat bukti

3. Memeriksa saksi dan ahli yang secara khusus ditugaskan pleno untuk dilaksanakan oleh panel

4. Memberi laporan hasil pemeriksaan pendahuluan, yang menyatakan kesiapan untuk pemeriksaan pleno


(36)

5. Memberi rekomendasi langkah yang akan dilakukan pleno atas perkara permohonan yang bersangkutan

6. Memberi laporan posisi perkara yang telah selesai diperiksa dalam persidangan pleno

7. Menyusun (drafting) putusan yang telah selesai dimusyawarahkan dan telah mencapai keputusan. Apabila semua anggota panel berada dalam posisi minoritas seluruhnya, maka drafter putusan akan ditunjuk kembali di antara hakim konstitusi yang turut menyetujui pendapat mayoritas.

c. Pemeriksaan Pendahuluan

Empat belas hari sejak permohonan dicatat dalam BRPK, hakim/ketua panel harus telah menetapkan sidang pertama. Jadwal sidang tersebut harus diberitahukan pada pemohon atau kuasanya paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari persidangan. Pemberitahuan dimaksud adalah dalam bentuk panggilan yang dapat dilakukan melalui juru panggil (di peradilan biasa disebut dengan juru sita) dan dapat juga dilakukan melalui sarana surat, telepon, atau faximile. Dalam pemeriksaan pendahuluan panel hakim akan melakukan hal-hal sebagai berikut: 1. Memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan, yang meliputi

kewenangan, legal standing, dan pokok permohonan

2. Memberi nasihat kepada pemohon dan/atau kuasanya untuk melengkapi atau meperbaiki permohonan dalam tempo 14 (empat belas) hari

3. Mencocokkan alat-alat bukti yang diajukan dan menanyakan perolehan alat bukti yang secara hukum dapat dipertanggungjawabkan

4. Menunda dan/atau melanjutkan pemeriksaan pendahuluan untuk memeriksa perbaikan permohonan dan kelengkapannya


(37)

d. Pihak-Pihak dalam Perkara Pengujian Undang-Undang

Dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi disebutkan bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi digerakkan oleh adanya permohonan yang diajukan pihak. Kualifikasi pihak-pihak tersebut sebagaimana telah diuraikan di atas berdasar Pasal 51 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, yaitu baik perorangan, lembaga negara, badan hukum publik atau privat, dan masyarakat hukum adat yang hak atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya satu undang-undang.

e. Jenis-jenis Judicial Review

Jimly Asshiddiqie membagi dua jenis judicial review, yaitu concrete norm review dan abstact norm review.8 Concrete norm review tersebut dapat berupa:

1. Pengujian terhadap norma konkret terhadap keputusan-keputusan yang bersifat administrative (beschikking), seperti dalam PTUN (Peradilan Tata Usaha Negara)

2. Pengujian terhadap norma konkret dalam jenjang peradilan umum, seperti pengujian putusan peradilan tingkat pertama oleh peradilan banding, pengujian putusan peradilan banding oleh peradilan kasasi serta pengujian putusan peradilan kasasi oleh MA.9

Jenis judicial review yang kedua adalah abstract norm review, yaitu kewenangan pengujian produk perundang-undangan yang menjadi tugas dari MK. Sebagian dari kewenangan abstract norm review ini masih diserahkan kepada MA berupa kewenangan pengujian produk perundang-undangan di bawah undang-undang.

8

Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia-Pasca Reformasi, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer (BIP), 2007, hlm.590

9


(38)

f. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon

Pasal 51 ayat (1) UU MK menyatakan bahwa pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:

a. Perorangan warga negara Indonesia

b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang

c. Badan hukum publik atau privat; atau d. Lembaga negara

Untuk dapat diterima sebagai pihak dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, kedudukan hukum, (legal standing) pemohon sebagai pihak terlebih dahulu harus:

(a) Menjelaskan kedudukannya apakah sebagai perorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum, atau lembaga negara

(b) Menjelaskan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kedudukan hukum sebagaimana dimaksud pada huruf (a) di atas.

g. Legal Standing Uji Formal

Dalam uji formal undang-undang terhadap UUD 1945, yang menjadi ukuran adalah formalitas pembentukan undang-undang yang meliputi institusi atau lembaga yang mengusulkan dan membentuk undang-undang, prosedur persiapan sampai dengan pengesahan undang-undang yang meliputi rencana dalam


(39)

prolegnas, amanat Presiden, tahap-tahap yang ditentukan dalam tata tertib DPR, serta kuorum DPR, dan pengambilan keputusan menyetujui secara aklamasi atau voting, atau tidak disetujui sama sekali.

Meskipun dikatakan bahwa kedudukan hukum (legal standing) digantungkan pada kerugian konstitusionalnya akibat berlakunya norma dalam satu undang-undang, ukuran demikian dapat berbeda dalam uji materiil dan uji formal. Dalam uji formal, yang menyangkut tidak dilaksanakan mandat wakil rakyat secara fair, jujur, dan bertanggung jawab dalam mengambil keputusan-keputusan untuk membentuk satu undang-undang atau kebijakan lain, maka setiap warga sebagai perorangan yang telah melaksanakan hak pilih sebagai pemegang kedaulatan, di samping kualifikasi lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a sampai dengan d, menurut hemat saya memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan uji formil, karena merasa dirugikan secara konstitusional oleh pemegang mandat yang dipilih rakyat, dengan mengambil keputusan tidak sesuai dengan mandat yang diperolehnya secara fiduciair.

h. Uji Formil dan Inkonstitutisionalitas UU Mahkamah Agung

Dalam pengujian formil, maka yang menjadi pokok persoalan adalah apakah lembaga pembentuk undang-undang telah membentuk undang-undang sebagaimana yang diatur oleh UUD 1945 atau menurut rumusan Pasal 51 ayat (3) UU MK:

“pengujian formil diajukan apabila pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.


(40)

C. Tinjauan Umum Tentang Pejabat Negara

Setiap orang yang berkecimpung dalam dunia pemerintahan pasti sangat familiar dengan istilah “pejabat publik”, “pejabat negara”, “pejabat politik” atau “pejabat karier”. Istilah-istilah ini amat sering dipakai secara bergantian. Namun yang menjadi persoalan adalah sebenarnya masing-masing istilah tersebut mempunyai pengertian yang amat berbeda satu sama lain.

Sebagai contoh seorang pengamat terkadang lebih sering menggunakan istilah “pejabat” saja untuk menjelaskan kedudukan dan kewenangan dari sebuah jabatan. Padahal sangat mungkin pengamat tersebut belum yakin bahwa “pejabat” yang dimaksud adalah “pejabat negara” atau bukan. Bahkan apakah termasuk “pejabat politik” atau bukan.

Sebagai penjelasan awal secara sederhana, dari segi etimologis istilah “pejabat publik” terdiri dari kata “pejabat” dan “publik”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “pejabat” berarti pegawai pemerintah yang memegang jabatan penting (unsur) pimpinan dan “publik” berarti orang banyak atau umum. Apabila dipakai kata “jabatan”, istilah “jabatan” sendiri mempunyai pengertian pekerjaan atau tugas di pemerintahan atau organisasi.10

Selain istilah pejabat publik di atas, terdapat juga istilah “pejabat politik” yang juga sering digunakan. Miftah Thoha11 menyebutkan: “istilah jabatan politik baru kita kenal setelah era reformasi ini karena banyak jabatan itu berasal dari kekuatan partai politik. Dahulu pada zaman pemerintahan Orde Baru jabatan itu dikenal

10

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1989, “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, Cetakan II, Balai Pustaka, Jakarta.

11


(41)

sampai sekarang dengan istilah jabatan negara, pejabatnya disebut pejabat negara. Ketika itu dalam pemerintahan Orde Baru tidak dikenal jabatan politik”. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa pada jaman Orde Baru jabatan politik dapat dipersamakan dengan jabatan negara (pejabat negara).

Jimly Asshiddiqie12 menyatakan bahwa: “para pejabat negara merupakan “political appointee” sedangkan pejabat negeri merupakan “administrative appointee”. Artinya para pejabat negara itu diangkat atau dipilih karena pertimbangan yang bersifat politik, sedangkan para pejabat negeri dipilih murni karena alasan administratif. Semua pejabat yang diangkat karena pertimbangan politik (political appointment) haruslah bersumber dan dalam rangka pelaksanaan prinsip kedaulatan rakyat. Karena rakyatlah yang pada pokoknya memegang kedaulatan atau kekuasaan tertinggi dalam bidang politik kenegaraan. Pejabat yang diangkat atas pertimbangan yang demikian itulah yang biasa disebut sebagai pejabat negara yang dipilih atau “elected official”.

Untuk lebih menyederhanakannya, kita bisa pakai pendapat Bagir Manan13 yang menyatakan bahwa lingkungan jabatan dalam organisasi negara dapat dibedakan dengan berbagai cara, yaitu:

(i) dibedakan antara jabatan alat kelengkapan negara (jabatan organ negara, jabatan lembaga negara), dan jabatan penyelenggara administrasi negara; (ii) dibedakan antara jabatan politik dan bukan politik;

(iii) dibedakan antara jabatan yang secara langsung bertanggungjawab dan berada dalam kendali atau pengawasan publik dan yang tidak langsung

12

Jimly Asshiddiqie. 2010, “Perihal Undang-Undang”, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 373.

13


(42)

bertanggungjawab dan tidak langsung berada dalam pengawasan atau kendali publik;

(iv) dibedakan pula antara jabatan yang secara langsung melakukan pelayanan umum dan tidak secara langsung melakukan pelayanan umum.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian “pejabat publik” berbeda secara substansial dengan istilah “pejabat politik”, sebab jabatan publik tidak selalu diisi melalui proses pemilihan umum atau layaknya mekanisme pemilihan pejabat melalui proses politik. Namun dapat juga diisi melalui pengangkatan dengan model dan prosedur tertentu.

Mengenai pengertian istilah “pejabat negara”, dalam literatur lain, juga dikenal istilah ini. Sepintas memang istilah ini amat dekat atau sama dengan pengertian istilah “pejabat publik”. Dalam Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme diberikan batasan istilah “pejabat negara”. Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa penyelenggara negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Definisi lain dapat ditemukan dalam Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Dalam Pasal 1 ayat (4) diatur bahwa “pejabat negara” adalah pimpinan dan anggota lembaga tertinggi/tinggi negara sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 dan pejabat negara yang ditentukan oleh undang-undang. Oleh


(43)

karena beragamnya istilah tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya istilah “pejabat publik” berbeda dengan pengertian “pejabat negara” dan “pejabat politik”. Sebab cakupan pengertian “pejabat publik” lebih luas dari kedua istilah lainnya, dan mencakup kedua istilah tersebut.

Sebagai perbandingan, tidak selalu seseorang yang diangkat melalui proses politik melalui pemilihan umum (pejabat politik) dapat dikategorikan sebagai “pejabat negara”. Hal tersebut dapat dicontohkan dengan kedudukan anggota DPRD dan Bupati yang tidak dikategorikan sebagai pejabat negara. Namun ada pejabat negara yang diangkat tidak melalui proses politik yang sebagaimana lazimnya dikenal melalui proses pemilu, seperti pejabat komisi negara, yaitu anggota KPK.

Selain itu, penulis menyimpulkan, terdapat kesan bahwa seseorang yang duduk sebagai “pejabat karir eksekutif” (PNS senior) di sebuah kementerian dianggap sebagai “pejabat negara”. Meskipun secara yuridis tidak demikian, sebab kedudukannya hanya sebagai pejabat karir di lingkungan PNS.

Oleh karena itu, Penulis beranggapan bahwa lebih tepat jika menggunakan istilah “pejabat publik” dengan tujuan untuk mengakomodasi semua jenis jabatan publik yang lain. Hal inilah yang menjadi salah satu sebab mengapa kemudian istilah ”pejabat publik” menjadi lebih populer dipakai oleh berbagai kalangan. Kemudian, di dalam Pasal 2 UU 28/1999 dijelaskan siapa saja yang termasuk penyelenggara negara, yaitu:

1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara; 2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;


(44)

3. Menteri; 4. Gubernur; 5. Hakim;

6. Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan

7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan ketentuan ini, anggota dewan komisaris atau direksi dari anak perusahaan Badan Usaha Milik Negara (“BUMN”) tidak termasuk sebagai


(45)

penyelenggara Negara. Yang termasuk pejabat negara dijelaskan dalam Pasal 11 ayat (1), yaitu:

a. Presiden dan Wakil Presiden;

b. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat;

d. Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta Ketua, Wakil Ketua dan Hakim pada semua Badan Peradilan; e. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung;

f. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan; g. Menteri, dan jabatan yang setingkat Menteri;

h. Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh;

i. Gubernur dan Wakil Gubernur;

j. Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/ Wakil Walikota; dan k. Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-undang.

D. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Hingga saat ini belum ada kesepakatan para sarjana tentang pengertian Tindak pidana (strafbaar feit). Menurut Prof. Moeljatno S.H., Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai


(46)

ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut. Terdapat 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan14 :

1. Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana.

2. Larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian ini.

3. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan erat pula. “Kejadian tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya”.

Selanjutnya Moeljatno membedakan dengan tegas dapat dipidananya perbuatan (die strafbaarheid van het feit) dan dapat dipidananya orang (strafbaarheid van den person). Sejalan dengan itu memisahkan pengertian perbuatan pidana (criminal act) dan pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility). Pandangan ini disebut pandangan dualistis yang sering dihadapkan dengan pandangan monistis yang tidak membedakan keduanya15.

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Dalam suatu peraturan perundang-undangan pidana selalu mengatur tentang tindak pidana. Sedangkan menurut Moeljatno “Tindak pidana adalah perbuatan

14

Moeljatno.”Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana”, Yogyakarta, 1969 Hal:56

15


(47)

yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut”.16

Untuk mengetahui adanya tindak pidana, maka pada umumnya dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan pidana tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dan disertai dengan sanksi. Dalam rumusan tersebut ditentukan beberapa unsur atau syarat yang menjadi ciri atau sifat khas dari larangan tadi sehingga dengan jelas dapat dibedakan dari perbuatan lain yang tidak dilarang. Perbuatan pidana menunjuk kepada sifat perbuatannya saja, yaitu dapat dilarang dengan ancaman pidana kalau dilanggar.

Menurut Simons, unsur-unsur tindak pidana (strafbaar feit) adalah 17:

a. Perbuatan manusia (positif atau negative, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan).

b. Diancam dengan pidana (statbaar gesteld) c. Melawan hukum (onrechtmatig)

d. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand)

e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatoaar person).

3. Jenis-Jenis Tindak Pidana

Di bawah ini akan disebut berbagai pembagian jenis delik : 1. Kejahatan dan Pelanggaran

Pembagian delik atas kejahatan dan pelanggaran digunakan oleh KUHP, yaitu Buku II mengenai Kejahatan (Misdrijven) dan Buku III mengenai Pelanggaran (Overtredingen). Konsep KUHP 2008 tidak menganut perbedaan tindak pidana

16

Ibid

17


(48)

menjadi Kejahatan dan Pelanggaran sebagaimana diikuti oleh KUHP. Materi yang diatur dalam Konsep KUHP 2008 dibagi menjadi 2 (dua) Buku I tentang Ketentuan Umum dan Buku II tentang Tindak Pidana.18 Berkaitan dengan pembedaan antara kejahatan dengan pelanggaran, maka ada 2 (dua) pendapat mengenai pembedaan tersebut, yaitu:

a. Perbedaan secara kualitatif:

1. Kejahatan adalah Rechtsdelicten, artinya perbuatan yang bertentangan dengan keadilan. Pertentangan ini terlepas perbuatan itu diancam pidana dalam suatu perundang-undangan atau tidak. Jadi perbuatan itu benar-benar dirasakan masyarakat sebagai bertentangan dengan keadilan.

2. Pelanggaran adalah Wetsdelicten, artnya perbuatan yang disadari oleh masyarakat sebagai suatu tindak pidana karena undang-undang menyebutkan sebagai delik. Delik semacam, ini disebut pelanggaran (mala quia prohibita).

b. Perbedaan secara Kuantitatif:

Perbedaan ini didasarkan pada aspek kriminologis, yaitu pelanggaran lebih ringan dibandingkan dengan kejahatan.

2. Delik formil dan delik materiil

Delik formil itu adalah delik yang perumusannya dititikberatkan kepada perbuatan yang dilarang. Delik tersebut telah selesai dengan dilakukannya perbuatan seperti tercantum dalam rumusan delik. Misal : penghasutan (pasal 160 KUHP), di muka

18


(49)

umum menyatakan perasaan kebencian, permusuhan atau penghinaan kepada salah satu atau lebih golongan rakyat di Indonesia (pasal 156 KUHP); penyuapan (pasal 209, 210 KUHP); sumpah palsu (pasal 242 KUHP); pemalsuan surat (pasal 263 KUHP); pencurian (pasal 362 KUHP).

Delik materiil adalah delik yang perumusannya dititikberatkan kepada akibat yang tidak dikehendaki (dilarang). Delik ini baru selesai apabila akibat yang tidak dikehendaki itu telah terjadi. Kalau belum maka paling banyak hanya ada percobaan. Misal : pembakaran (pasal 187 KUHP), penipuan (pasal 378 KUHP), pembunuhan (pasal 338 KUHP). Batas antara delik formil dan materiil tidak tajam misalnya pasal 36219.

3. Delik commisionis, delik ommisionis dan delik commisionis per ommisionen commissa

Delik commisionis : delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, ialah berbuat sesuatu yang dilarang, pencurian, penggelapan, penipuan.

Delik ommisionis : delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah, ialah tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan / yang diharuskan, misal : tidak menghadap sebagai saksi di muka pengadilan (pasal 522 KUHP), tidak menolong orang yang memerlukan pertolongan (pasal 531 KUHP).

Delik commisionis per ommisionen commissa : delik yang berupa pelanggaan larangan (dus delik commissionis), akan tetapi dapa dilakukan dengan cara tidak berbuat. Misal : seorang ibu yang membunuh anaknya dengan tidak memberi air susu (pasal 338, 340 KUHP), seorang penjaga wissel yang menyebabkan

19


(50)

kecelakaan kereta api dengan sengaja tidak memindahkan wissel (pasal 194 KUHP)20.

4. Delik dolus dan delik culpa (doleuse en culpose delicten)

Delik dolus : delik yang memuat unsur kesengajaan, misal : pasal-pasal 187, 197, 245, 263, 310, 338 KUHP

Delik culpa : delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu unsur misal : pasal 195, 197, 201, 203, 231 ayat 4 dan pasal 359, 360 KUHP.

5. Delik tunggal dan delik berangkai (enkelvoudige en samenge-stelde delicten)

Delik tunggal : delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu kali.

Delik berangkai : delik yang baru merupakan delik, apabila dilakukan beberapa kali perbuatan, misal : pasal 481 (penadahan sebagai kebiasaan)

6. Delik yang berlangsung terus

Delik yang berlangsung terus : delik yang mempunyai ciri bahwa keadaan terlarang itu berlangsung terus, misal : merampas kemerdekaan seseorang (pasal 333 KUHP).

7. Delik aduan dan delik laporan (klachtdelicten en niet klacht delicten)

Delik aduan : delik yang penuntutannya hanya dilakukan apabila ada pengaduan dari pihak yang terkena (gelaedeerde partij) misal : penghinaan (pasal 310 dst. jo 319 KUHP) perzinahan (pasal 284 KUHP), chantage (pemerasan dengan ancaman pencemaran, ps. 335 ayat 1 sub 2 KUHP jo. ayat 2). Delik aduan dibedakan menurut sifatnya, sebagai :

20


(51)

a. Delik aduan yang absolut, ialah mis. : pasal 284, 310, 332. Delik-delik ini menurut sifatnya hanya dapat dituntut berdasarkan pengaduan.

b. Delik aduan yang relative ialah mis. : pasal 367, disebut relatif karena dalam delik-delik ini ada hubungan istimewa antara si pembuat dan orang yang terkena.

8. Delik sederhana dan delik yang ada pemberatannya/peringannya (envoudige dan gequalificeerde / geprevisilierde delicten)

Delik yang ada pemberatannya, misal : penganiayaan yang menyebabkan luka berat atau matinya orang (pasal 351 ayat 2, 3 KUHP), pencurian pada waktu malam hari dsb. (pasal 363). Ada delik yang ancaman pidananya diperingan karena dilakukan dalam keadaan tertentu, misal : pembunuhan kanak-kanak (pasal 341 KUHP). Delik ini disebut “geprivelegeerd delict”. Delik sederhana; misal : penganiayaan (pasal 351 KUHP), pencurian (pasal 362 KUHP).

9. Delik ekonomi (biasanya disebut tindak pidana ekonomi) dan bukan delik ekonomi

Apa yang disebut tindak pidana ekonomi itu terdapat dalam pasal 1 UU Darurat No. 7 tahun 1955, UU darurat tentang tindak pidana ekonomi.

4. Subjek Tindak Pidana

Sebagaimana diuraika terdahulu, bahwa unsur pertama tindak pidana itu adalah perbuatan orang, pada dasarnya yang dapat melakukan tindak pidana itu manusia (naturlijke personen). Ini dapat disimpulkan berdasarkan hal-hal sebagai berikut :


(52)

a. Rumusan delik dalam undang-undang lazim dimulai dengan kata-kata : “barang siapa yang …….”. Kata “barang siapa” ini tidak dapat diartikan lain dari pada “orang”.

b. Dalam pasal 10 KUHP disebutkan jenis-jenis pidana yang dapat dikenakan kepada tindak pidana, yaitu :

1. pidana pokok : a. pidana mati b. pidana penjara c. pidana kurungan

d. pidana denda, yang dapat diganti dengan pidana kurungan 2. pidana tambahan :

a. pencabutan hak-hak tertentu

b. perampasan barang-barang tertentu c. dimumkannya keputusan hakim

Sifat dari pidana tersebut adalah sedemikian rupa, sehingga pada dasarnya hanya dapat dikenakan pada manusia. Dalam pemeriksaan perkara dan juga sifat dari hukum pidana yang dilihat ada / tidaknya kesalahan pada terdakwa, memberi petunjuk bahwa yang dapat dipertanggungjawabkan itu adalah manusia. Pengertian kesalahan yang dapat berupa kesengajaan dan kealpaan itu merupakan sikap dalam batin manusia.


(53)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Metode penelitian yang dipakai dalam membahas permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris guna mendapatkan suatu hasil penelitian yang benar.

1. Pendekatan Yuridis Normatif

Pendekatan Yuridis Normatif yaitu suatu pendekatan yang dilakukan dimana pengumpulan dan penyajian data dilakukan dengan mempelajari dan menelaah konsep-konsep dan teori-teori serta peraturan-peraturan secara kepustakaan yang berkaitan dengan pokok bahasan penulisan skripsi ini.

2. Pendekatan Yuridis Empiris

Pendekatan Yuridis Empiris yaitu pendekatan yang dilakukan untuk mempelajari hukum secara langsung melalui objek penelitian, baik berupa pendapat, sikap dan perilaku hukum yang didasarkan pada identifikasi hukum dan efektifitas hukum.

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber dan jenis data dalam penelitian ini menggunakan dua sumber data yaitu data sekunder dan data primer


(54)

1. Data Primer

Data Primer adalah data yang didapat dengan melakukan studi lapangan yaitu dengan melihat fakta dan data yang ada pada objek pada penelitian. 2. Data Sekunder

Diperoleh dari bahan literatur kepustakaan dengan melakukan studi dokumen, arsip yang bersifat teoritis, konsep-konsep, doktrin dan asas-asas hukum yang berkaitan dengan pokok dengan cara membaca, mengutip dan menelaah peraturan perundang-undangan, yang berkenaan dengan permasalahan yang akan dibahas, yang terdiri antara lain :

1. Bahan Hukum Primer

Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum bersifat mengikat. Untuk penulisan skripsi ini, bahan hukum primer yang digunakan adalah :1 a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

b) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

c) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

d) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan badan hukum primer dalam hal ini yaitu teori-teori yang dikemukakan para ahli dan peraturan-peraturan pelaksana dari Undang-Undang dimaksud.

1Soerjono Soekanto, “Metode Penelitian Hukum”,


(55)

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan Hukum Tersier yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang terdiri dari :

a) Literatur-literatur b) Kamus

c) Laporan kearsipan, mass media dan lain-lain

C. Penentuan Populasi dan Sample

Populasi adalah jumlah keseluruhan dari seluruh unit analisa yang ciri-cirinya akan diduga. Karena masalah tindak pidana narkoba dan senjata api ilegal ini menyangkut masalah penegakan hukum dan eksistensi hukum pidana terhadap masyarakat, maka yang menjadi populasi adalah para penegak hukum dan instansi terkait.

Penentuan sample, digunakan metode “proposional purposive sampling”, yaitu penentuan sekelompok subjek yang didasarkan atas pertimbangan maksud dan tujuan ciri-ciri tertentu pada masing-masing responden yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri populasi. Berdasarkan metode sampling tersebut di atas, maka yang menjadi sample responden dalam penelitian ini adalah :

Kejaksaan Tinggi Lampung : 1 orang

Polda Lampung : 1 orang

Dosen Fakultas Hukum Unila : 1 orang


(56)

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1 Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data agar diperoleh hasil baik maka dilakukan dengan cara sebagai berikut :

a. Studi lapangan dilakukan dengan observasi secara langsung terhadap fenomena yang terjadi dengan menggunakan metode wawancara (interview).

b. Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data pendukung terhadap objek penelitian, dalam hal ini yaitu dokumen, arsip-arsip yang bersifat teoritis, konsep-konsep, doktrin dan asas-asas.

2 Pengolahan Data

Data yang diperoleh dianggap cukup dari hasil penelitian dilakukan metode : 1. Editing yaitu data yang diperoleh kemudian diperiksa apakah masih terdapat

kekurangan ataupun telah layak sebagai bahan penelitian

2. Sistematisasi yaitu data yang diperoleh dan telah di editing kemudian dilakukan penyusunan dan penempatan data pada tiap-tiap pokok bahasan secara sistematis.

E. Analisis Data

Analisis terhadap data yang diperoleh dilakukan dengan cara analisis kualitatif yaitu analisis yang dilakukan secara deskriftif yakni penggambaran argumentasi dari data yang diperoleh di dalam penelitian. Dari hasil analisis tersebut

dilanjutkan dengan menarik kesimpulan secara deduktif yaitu suatu cara berpikir yang didasarkan pada realitas yang bersifat umum yang kemudian disimpulkan secara khusus


(57)

1

V. PENUTUP

A. Simpulan

Dari uraian dan pembahasan di atas dapatlah diambil beberapa simpulan sebagai berikut:

1. Penerapan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011

Dalam penerapan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011 dari pihak Kejaksaan dan Kepolisian belum menerapkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, belum diterapkan karena belum adanya perkara yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara di wilayah Lampung.

2. Kendala-Kendala Penerapan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011:

Dalam menerapkan putusan Mahkamah Konstitusi tidak menemui kendala atau hambatan karena prinsip dari Kejaksaan dan Kepolisian apabila ada undang atau putusan akan dilaksanakan jadi dari segi undang-undang atau aparatur penegak hukum tidak ditemui kendala. Sampai saat ini belum ada kasus terkait pejabat negara yang melakukan tindak pidana korupsi setelah putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dikeluarkan, apabila ada kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan pejabat negara pihak Kejaksaan dan Kepolisian tidak ada kendala dalam menerapkan putusan


(58)

2

Mahkamah Konstitusi tersebut karena mekanismenya sudah jelas. Putusan Mahkamah Konstitusi sudah menjadi dasar hukum yang mengikat dan juga putusan Mahkamah Konstitusi tersebut telah lama diharapkan oleh para aparat penegak hukum.

B. Saran

Saran dalam penelitian ini adalah terkait putusan Mahkamah Konstitusi ini diharapkan para aparat penegak hukum dapat melaksanakan atau menerapkan putusan Mahkamah Konstitusi ini dengan baik tanpa menemui kendala atau hambatan dalam penerapannya dan dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut jangan menjadi timbulnya sikap semena-mena bagi aparat penegak hukum dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap pejabat negara, aparat penegak hukum harus tetap profesional, proporsional dan yuridis. Jadi Mahkamah Konstitusi dalam putusannya tersebut memberikan kemudahan kepada aparat penegak hukum dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap pejabat negara yang melakukan tindak pidana.


(59)

1

DAFTAR PUSTAKA

Asito Wojow, Kamus Bahasa Indonesia, C.V. Pengarang.

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara,C.V. Ananta, Semarang, 1994.

Chazawi Adami, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang, 2005.

Hamzah Andi, “Hukum Acara Pidana Indonesia”, Sinar Grafika, Jakarta 2012,

Huda Chairul, Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Prenada Media, Jakarta, 2006.

L. He. Hulsman, Sistem Peradilan Pidana Dalam Perspektif Perbandingan Hukum, Saduran oleh Soedjono D. (Jakarta : Rajawaqli, 1984)

Moeljatno.”Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana”, Yogyakarta, 1969

Mulyadi Mahmud, Criminal Policy dalam Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan. (Medan : Pustaka Bangsa Press, 2008)

Soerjono Soekanto, “Metode Penelitian Hukum”, 1986

Sudarto. “Hukum pidana I” , Yayasan Sudarto, Semarang, 1990

Sumitro, Inti Hukum Acara Pidana, (Surakarta : Sebelas Maret University Press, 1994)

Suriatmadja, Penangkapan dan Penahanan di Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1976.


(60)

2

Sutandyo Wignyosoebroto, Hak-hak Manusia dan Konstituante, Artikel Kompas 19 Agustus 1996, hlm. 11. Menurut Agus Salim : Kebebasan itu berarti masing-masing dapat menurut kehendaknya dan menurut kehidupan tertentu yang dipilihnya dalam masyarakat. Bachtiar Agus Salim, Hukum PIdana – Beberapa Catatan Penintetiaire Pecht di Negeri Belanda dan di Indonesia (Jakarta Timur : Fakultas Hukum USU, 1976)

Tri Andrisman, S.H., M.H., “Hukum Pidana”, Unila, 2009,

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,1998.

Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Penerapan KUHAP, Jilid I (Jakarta : Pustaka Kartini, 1993)

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah


(1)

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan Hukum Tersier yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang terdiri dari :

a) Literatur-literatur b) Kamus

c) Laporan kearsipan, mass media dan lain-lain

C. Penentuan Populasi dan Sample

Populasi adalah jumlah keseluruhan dari seluruh unit analisa yang ciri-cirinya akan diduga. Karena masalah tindak pidana narkoba dan senjata api ilegal ini menyangkut masalah penegakan hukum dan eksistensi hukum pidana terhadap masyarakat, maka yang menjadi populasi adalah para penegak hukum dan instansi terkait.

Penentuan sample, digunakan metode “proposional purposive sampling”, yaitu penentuan sekelompok subjek yang didasarkan atas pertimbangan maksud dan tujuan ciri-ciri tertentu pada masing-masing responden yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri populasi. Berdasarkan metode sampling tersebut di atas, maka yang menjadi sample responden dalam penelitian ini adalah :

Kejaksaan Tinggi Lampung : 1 orang

Polda Lampung : 1 orang

Dosen Fakultas Hukum Unila : 1 orang


(2)

fenomena yang terjadi dengan menggunakan metode wawancara (interview).

b. Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data pendukung terhadap objek penelitian, dalam hal ini yaitu dokumen, arsip-arsip yang bersifat teoritis, konsep-konsep, doktrin dan asas-asas.

2 Pengolahan Data

Data yang diperoleh dianggap cukup dari hasil penelitian dilakukan metode : 1. Editing yaitu data yang diperoleh kemudian diperiksa apakah masih terdapat

kekurangan ataupun telah layak sebagai bahan penelitian

2. Sistematisasi yaitu data yang diperoleh dan telah di editing kemudian dilakukan penyusunan dan penempatan data pada tiap-tiap pokok bahasan secara sistematis.

E. Analisis Data

Analisis terhadap data yang diperoleh dilakukan dengan cara analisis kualitatif yaitu analisis yang dilakukan secara deskriftif yakni penggambaran argumentasi dari data yang diperoleh di dalam penelitian. Dari hasil analisis tersebut

dilanjutkan dengan menarik kesimpulan secara deduktif yaitu suatu cara berpikir yang didasarkan pada realitas yang bersifat umum yang kemudian disimpulkan secara khusus


(3)

1

V. PENUTUP

A. Simpulan

Dari uraian dan pembahasan di atas dapatlah diambil beberapa simpulan sebagai berikut:

1. Penerapan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011

Dalam penerapan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011 dari pihak Kejaksaan dan Kepolisian belum menerapkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, belum diterapkan karena belum adanya perkara yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara di wilayah Lampung.

2. Kendala-Kendala Penerapan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011:

Dalam menerapkan putusan Mahkamah Konstitusi tidak menemui kendala atau hambatan karena prinsip dari Kejaksaan dan Kepolisian apabila ada undang atau putusan akan dilaksanakan jadi dari segi undang-undang atau aparatur penegak hukum tidak ditemui kendala. Sampai saat ini belum ada kasus terkait pejabat negara yang melakukan tindak pidana korupsi setelah putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dikeluarkan, apabila ada kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan pejabat negara pihak Kejaksaan dan Kepolisian tidak ada kendala dalam menerapkan putusan


(4)

aparat penegak hukum.

B. Saran

Saran dalam penelitian ini adalah terkait putusan Mahkamah Konstitusi ini diharapkan para aparat penegak hukum dapat melaksanakan atau menerapkan putusan Mahkamah Konstitusi ini dengan baik tanpa menemui kendala atau hambatan dalam penerapannya dan dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut jangan menjadi timbulnya sikap semena-mena bagi aparat penegak hukum dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap pejabat negara, aparat penegak hukum harus tetap profesional, proporsional dan yuridis. Jadi Mahkamah Konstitusi dalam putusannya tersebut memberikan kemudahan kepada aparat penegak hukum dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap pejabat negara yang melakukan tindak pidana.


(5)

1

DAFTAR PUSTAKA

Asito Wojow, Kamus Bahasa Indonesia, C.V. Pengarang.

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan

dengan Pidana Penjara,C.V. Ananta, Semarang, 1994.

Chazawi Adami, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang, 2005.

Hamzah Andi, “Hukum Acara Pidana Indonesia”, Sinar Grafika, Jakarta 2012,

Huda Chairul, Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada

Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Prenada Media, Jakarta,

2006.

L. He. Hulsman, Sistem Peradilan Pidana Dalam Perspektif Perbandingan

Hukum, Saduran oleh Soedjono D. (Jakarta : Rajawaqli, 1984)

Moeljatno.”Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana”, Yogyakarta, 1969

Mulyadi Mahmud, Criminal Policy dalam Pendekatan Integral Penal Policy dan

Non Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan. (Medan

: Pustaka Bangsa Press, 2008)

Soerjono Soekanto, “Metode Penelitian Hukum”, 1986

Sudarto. “Hukum pidana I” , Yayasan Sudarto, Semarang, 1990

Sumitro, Inti Hukum Acara Pidana, (Surakarta : Sebelas Maret University Press, 1994)

Suriatmadja, Penangkapan dan Penahanan di Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1976.


(6)

di Indonesia (Jakarta Timur : Fakultas Hukum USU, 1976)

Tri Andrisman, S.H., M.H., “Hukum Pidana”, Unila, 2009,

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,1998.

Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Penerapan KUHAP, Jilid I (Jakarta : Pustaka Kartini, 1993)

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah