Analisa Hukum Mengenai Eksistensi Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi Pasca Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003/PUU-IV/2006

(1)

ANALISA HUKUM MENGENAI EKSISTENSI SIFAT MELAWAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PASCA KELUARNYA

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR: 003/PUU-IV/2006

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

NIM: 090200093

ARRAHMAN

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ANALISA HUKUM MENGENAI EKSISTENSI SIFAT MELAWAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PASCA KELUARNYA

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR: 003/PUU-IV/2006

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh : NIM: 090200093

ARRAHMAN

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui Oleh:

Ketua Departemen Hukum Pidana

NIP: 195703261986011001 Dr. M. Hamdan. SH, M.H

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Syafruddin Kalo. SH, M. Hum. Edi Yunara. SH, M.Hum.

NIP: 195102061980021001 NIP: 196012221986031003

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini untuk dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. Shalawat serta salam tak lupa Penulis kirimkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW yang telah menuntun umatnya dari alam kebodohan kepada alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti sekarang ini.

Skripsi ini ditulis untuk memenuhi syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Adapun skripsi ini berjudul “ANALISA HUKUM MENGENAI EKSISTENSI SIFAT MELAWAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PASCA KELUARNYA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR: 003/PUU-IV/2006”.

Penulis telah berusaha semaksimal mungkin dan bekerja keras dalam menyusun skripsi ini. Namun, Penulis masih Menyadari masih banyak kekurangan dari segi isi maupun penulisan dari skripsi ini. Oleh karenannya Penulis sangat berharapkan atas kritik dan saran yang sifatnya untuk membangun guna menuju kearah perbaikan dan penyempurnaan dimasa yang akan datang.

Melalui kesempatan ini Penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Untuk semua ini, Penulis mengucapkan terima kasih kepada :


(4)

1. Orang tua, Kakak, Abang, dan Saudara Kembar Penulis serta seluruh anggota keluarga besar Penulis atas perhatian dan doanya selama ini.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH. M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. M.Hum selaku Pembantu Dekan I, Bapak Syafruddin Hasibuan, SH. M.Hum. DFM selaku Pembantu Dekan II dan Bapak M. Husni, SH. M. Hum selaku Pembantu Dekan III.

3. Bapak Dr. M. Hamdan, SH. M.H selaku Ketua Departemen Hukum Pidana yang telah memberikan bimbingan maupun arahan kepada Penulis

4. Ibu Liza Erwina, SH. M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana.

5. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo SH. M.Hum, selaku dosen Pembimbing I dalam penulisan skripsi ini, telah meluangkan waktu untuk membimbing, dan mengarahkan dan memeriksa skripsi ini agar menjadi lebih baik. 6. Bapak Edi Yunara SH. M.Hum, Selaku dosen Pembimbing II dalam

penulisan skripsi ini, telah meluangkan waktu untuk membimbing, dan mengarahkan dan memeriksa skripsi ini agar menjadi lebih baik.

7. Bapak Alwan SH. M.Hum selaku Dosen Wali Penulis.

8. Seluruh dosen, Staf Administrasi dan pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Buat Kawan-Kawan Terdekat, Taufik Nuariansyah, Abdul Hadi, Anggia Putri Rambe, Amanda Nandatama, Sari Ramadhani Lubis dan kawan


(5)

seperjuangan dalam membuat skripsi Ivansyah Hasan serta Kawan-Kawan di grup “BADAK” yang selalu membantu dan memotivasi penulis semoga kelak kita bertemu lagi.

10.Buat kawan-kawan grup C stambuk 2009 dan kawan-kawan stambuk 2009 lainnya yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu.

11.Buat keluarga besar HMI Komisariat FH-USU yang merupakan organisasi tercinta Penulis, yang membantu Penulis dalam pengembangan jati diri dan bakat serta keterampilan Penulis

12.Buat “GEMBEL” dan BTM Aladinsyah, SH yang membantu Penulis dalam bidang akademis dan dalam bidang dakwa islam kampus

13.UKM Kobakum dan sepak bola yang menjadi sarana tempat Penulis berolahraga dan menelurkan hobi.

14.Untuk semua pihak yang telah Membantu Penulis dalam menyelesaikan skripsi Ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Besar harapan Penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi Perkembangan Ilmu Hukum, khususnya hukum pidana, bagi Penulis sendiri dan bagi Pembaca semua.

Medan, 2013 Penulis,


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iv

ABSTRAKSI... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Masalah... 10

C. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan... 10

D. Keaslian Penulisan... 11

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Sifat Melawan Hukum dan Unsur-Unsur Sifat Melawan Hukum... 13

2. Pengertian Tindak Pidana dan Unsur Tindak Pidana... 18

3. Pengertian Korupsi dan Tindak Pidana Korupsi... 24

F. Metode Penelitian... 28

G. Sistematika Penulisan... 31

BAB II KONSEP SIFAT MELAWAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA DI INDONESIA A. Sejarah dan Teori Mengenai Sifat Melawan Hukum dalam Tindak Pidana... 33

B. Macam-Macam Sifat Melawan Hukum dalam Tindak Pidana 1. Sifat Melawan Hukum Formil... 44

2. Sifat Melawan Hukum Materiil... 45

C. Sifat Melawan Hukum dalam Tindak Pidana Korupsi yang Diakui Oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia ... 48


(7)

BAB III ANALISA EKSISTENSI SIFAT MELAWAN HUKUM

DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PASCA

KELUARNYA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR: 003/PUU-IV/2006

A. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003/PUU-IV/2006.... 57 B. Sikap Mahkamah Agung Pasca Keluarnya Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor: 003/PUU-IV/2006... 61 C. Analisa Terhadap Penerapan Sifat Melawan Hukum dalam

Tindak Pidana Korupsi Pasca Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003/PUU-IV/2006... 69

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan... 78 B. Saran... 80


(8)

ABSTRAKSI *) Arrahman **) Syafruddin Kalo

***) Edi Yunara

Masalah korupsi di Indonesia bukan lagi merupakan masalah baru bahkan masalah korupsi ini telah ada pada masa VOC sampai mengakibat VOC bubar hingga sekarang ini masalah korupsi tetap merupakan hal yang harus diatas keberadaaannya. Oleh karenanya dibutuhkan hukum untuk mengatasi permasalahan ini, namun dengan munculnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003/PUU-IV/2006 telah meniadakan sifat melawan hukum materiil dalam tindak pidana korupsi yang terdapat dalam penjelasan pasal 2 ayat 1 kalimat pertama Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, padahal Masalah korupsi ini dalam perkembangannya pun terus meningkat dari tahun ke tahun kualitas tindak pidana korupsi yamg dilakukan semakin rapi dan sistematis dengan lingkup yang sudah memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat, salah satunya di lingkungan pemerintahan. Dengan demikian semakin susah para penegak hukum dalam mengatasi masalah tindak pidana korupsi karena tidak adanya payung hukum yang kuat untuk mengatasi permasalahan ini.

Adapun rumusan permasalahannya yang akan dibahas didalam skripsi ini adalah bagaimana konsep sifat melawan hukum dalam tindak pidana dan bagaimana eksistensi sifat melawan hukum dalam tindak pidana korupsi pasca keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003/PUU-IV/2006. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian yang dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisa terhadap permasalahan melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan-perundang-undangan, dimana pengumpulan data dilakukan dengan Library research

(penelitian Kepustakaan) yakni melakukan penelitian dengan menggunakan data dari berbagai sumber bacaan seperti peraturan perundang-undangan,buku-buku dan internet yang di nilai relevan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini.

Dalam hukum pidana di Indonesia dikenal dua macam sifat melawan hukum yaitu sifat melawan hukum formil dan sifat melawan hukum materiil. Dalam perkembangannya, ternyata pasca keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003/PUU-IV/2006, Mahkamah Agung RI dalam prakteknya ada yang menerapkan Putusan Mahkamah Konstiitsi tersebut, tapi ada pula dalam beberapa putusannya ternyata tetap menerapkan sifat melawan hukum materiil dalam tindak pidana korupsi berdasarkan sumber hukum formil, Doktrin “Sen-Clair” atau “La doctrine du Sen-Clair” dan Yurisprudensi yang diakui oleh Mahkamah Agung RI. *) Mahasiswa Fakultas Hukum USU

**) Dosen Pembimbing I, selaku Staf Pengajar Fakultas Hukum USU ***) Dosen Pembimbing II, selaku Staf Pengajar Fakultas Hukum USU


(9)

ABSTRAKSI *) Arrahman **) Syafruddin Kalo

***) Edi Yunara

Masalah korupsi di Indonesia bukan lagi merupakan masalah baru bahkan masalah korupsi ini telah ada pada masa VOC sampai mengakibat VOC bubar hingga sekarang ini masalah korupsi tetap merupakan hal yang harus diatas keberadaaannya. Oleh karenanya dibutuhkan hukum untuk mengatasi permasalahan ini, namun dengan munculnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003/PUU-IV/2006 telah meniadakan sifat melawan hukum materiil dalam tindak pidana korupsi yang terdapat dalam penjelasan pasal 2 ayat 1 kalimat pertama Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, padahal Masalah korupsi ini dalam perkembangannya pun terus meningkat dari tahun ke tahun kualitas tindak pidana korupsi yamg dilakukan semakin rapi dan sistematis dengan lingkup yang sudah memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat, salah satunya di lingkungan pemerintahan. Dengan demikian semakin susah para penegak hukum dalam mengatasi masalah tindak pidana korupsi karena tidak adanya payung hukum yang kuat untuk mengatasi permasalahan ini.

Adapun rumusan permasalahannya yang akan dibahas didalam skripsi ini adalah bagaimana konsep sifat melawan hukum dalam tindak pidana dan bagaimana eksistensi sifat melawan hukum dalam tindak pidana korupsi pasca keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003/PUU-IV/2006. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian yang dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisa terhadap permasalahan melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan-perundang-undangan, dimana pengumpulan data dilakukan dengan Library research

(penelitian Kepustakaan) yakni melakukan penelitian dengan menggunakan data dari berbagai sumber bacaan seperti peraturan perundang-undangan,buku-buku dan internet yang di nilai relevan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini.

Dalam hukum pidana di Indonesia dikenal dua macam sifat melawan hukum yaitu sifat melawan hukum formil dan sifat melawan hukum materiil. Dalam perkembangannya, ternyata pasca keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003/PUU-IV/2006, Mahkamah Agung RI dalam prakteknya ada yang menerapkan Putusan Mahkamah Konstiitsi tersebut, tapi ada pula dalam beberapa putusannya ternyata tetap menerapkan sifat melawan hukum materiil dalam tindak pidana korupsi berdasarkan sumber hukum formil, Doktrin “Sen-Clair” atau “La doctrine du Sen-Clair” dan Yurisprudensi yang diakui oleh Mahkamah Agung RI. *) Mahasiswa Fakultas Hukum USU

**) Dosen Pembimbing I, selaku Staf Pengajar Fakultas Hukum USU ***) Dosen Pembimbing II, selaku Staf Pengajar Fakultas Hukum USU


(10)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Didalam kehidupan bernegara dan berbangsa, permasalahan penegak hukum merupakan suatu dinamika sosial yang pasti akan ditemukan oleh sebuah negara tak terkecuali negara apapun itu termasuk Indonesia. Permasalahan ini biasanya selalu diikuti dengan adanya suatu norma sebagai solusi dalam mengatasi masalah tersebut. Jauh sebelumnya, seorang filsuf yang bernama Cicero mengatakan “Ubi Societas, Ibi Ius, Ibi Crimen ” (ada masyarakat, ada hukum dan ada kejahatan). Masyarakat saling menilai, menjalin interkasi dan komunikasi, tidak jarang timbul konflik atau pertikaian.1

Korupsi merupakan budaya peninggalan masa lalu. Ini merupakan suatu budaya yang sulit dirubah karena melekat pada diri manusia itu sendiri. Hal ini bisa dilihat dari hasil penelitian dari tahun ke tahun, Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) selalu mencoba mengembangkan inovasi atau strategi penindakan, sembari terus meningkatkan metode sebelumnya. Dalam rentang waktu dari tahun

2008-Satu dari sekian banyak permasalahan penegakan hukum yang terjadi khusunya di Indonesia adalah tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi bukan hal baru di Indonesia. Sejak zaman VOC sampai bubarnya VOC karena korupsi, korupsi sudah lama dikenal. Upeti dizaman kerajaan dimasa lalu adalah salah satu bentuk korupsi.

1

Mien Rukmini, Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi (sebuah bunga rampai), (Bandung: PT Alumni, 2006), hal. 94.


(11)

2011, rata-rata capaian perkara yang disidik KPK pertahun berkisar antara 35-40 kasus, dan pelaku korupsi yang berhasil divonis penjara (inkracht) antara 30-35 orang. Sedangkan di tahun 2012 (hingga per Agustus 2012), dilakukan penyelidikan 53 perkara, penyidikan 43 perkara, penuntutan 22 perkara, inkracht

16 perkara, dan eksekusi 20 perkara2

Ada beberapa kasus korupsi yang sampai sekarang tidak diketahui ujung pangkalnya. Salah satunya adalah kasus korupsi yang dilakukan oleh seorang pegawai pajak golongan IIIA yaitu Gayus Tambunan. Apa yang telah dilakukan oleh Gayus Tambunan adalah suatu hal sangat tidak yang wajar. Karena apabila melihat dari statusnya yang hanyalah seorang pegawai negeri biasa, tetapi memiliki tabungan yang begitu banyak, senilai Rp. 25 Miliar, tentu saja hal ini

Hal ini menunjukan kalau permasalahan korupsi yang sedang di hadapi negeri ini bagaikan sebuah penyakit yang tidak akan pernah sembuh. Berbagai fakta dan kenyataan yang diungkapkan oleh media seolah-olah merepresentasikan jati diri bangsa yang dapat dilihat dari budaya korupsi yang telah menjadi hal yang biasa bagi semua kalangan, mulai dari bawah hingga kaum elite. Mungkin banyak yang tidak sadar kalau budaya korupsi bisa terjadi dirumah, sekolah, masyarakat, maupun di intansi-instansi dan dalam pemerintahan. Mereka yang melakukan korupsi terkadang menganggap remeh hal yang dilakukan itu. Hal ini sangat mengkhawatirkan, sebab bagaimanapun, apabila suatu organisasi dibangun dari korupsi akan dapat merusaknya.

2

KPK, statistik penanganan tindak pidana korupsi berdasarkan tahun,


(12)

mengundang tanya bagi siapapun Apalagi kalau bukan korupsi. Padahal, pekerjaan Gayus sehari-hari cuma menjadi penelaah keberatan pajak (banding) perorangan dan badan hukum di Kantor Pusat Direktorat Pajak.3

Apabila di perhatikan, Korupsi yang terjadi di Indonesia pada saat sekarang bukanlah suatu korupsi yang terjadi secara kebetulan dalam pengelolaan uang negara oleh oknum-oknum penyelenggara negara/instansi Pemerintah/Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), tetapi adalah suatu korupsi yang sudah terencana atau direncankan dengan matang jauh-jauh hari pada tahap proses perencanaan maupun awal pelaksanaan anggaran. Sudah sejak dekade tahun delepan puluhan begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo mengatakan bahwa tingkat kebocoran dalam pengelolaan keuangan negara mencapai tiga puluh persen. Kebocoran yang tinggi tersebut terus berlanjut sampai sekarang ini.4

Padahal sudah ada Undang-Undang yang mengatur mengenai Tindak Pidana korupsi ini yaitu Undang Nomor: 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengantikan Undang-Undang Nomor: 3 tahun 1997 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam bagian pertimbangan Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi butir c menyatakan “bahwa Undang-Undang Nomor: 3 Tahun 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan

3

Manshurzikri, faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi mengacu kepada kasus korupsi gayus tambunan, http://manshurzikri.wordpress.com, diakses tanggal 20 Januari 2013.

4

Surachmin., dan Suhandi Cahaya, Strategi & Teknik Korupsi Mengetahui untuk Mencegah, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), hal. 38


(13)

Tindak Pidana Korupsi sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat, karena itu perlu diganti dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang baru sehingga diharapkan lebih efektif dalam pencegahan dan memberantas tindak pidana korupsi”. Namun dalam prakteknya, masih tetap banyak terjadi tindak pidana korupsi di Indonesia.

Berdasarkan hasil survey Political and Economic Risk Consultancy (PERC) Indonesia menduduki posisi pertama sebagai Negara terkorup di ASIA Pasifik pada tahun 2010. Posisi Indonesia sebagai Negara terkorup di ASIA Pasifik ini mengalahkan Kamboja dan Vietnam. Sedangkan menurut World Economic Forum (WEF) melalui survey global competitivenes index menempatkan Indonesia di ranking 44 dari 139 Negara terkorup di dunia pada tahun 2010. Data mencatat bahwa kasus korupsi yang ditangani oleh Kepolisian pada tahun 2010 sebanyak 585 perkara dengan nilai kerugian mencapai sekitar Rp 560,348 miliar. Sedangkan pada tahun 2011 polisi menangani kasus korupsi sebayak 1.323 perkara dan jumlah kasus yang diselesaikan pada 2011 sebanyak 755 kasus. Jumlah kerugian Negara akibat tindak pidana korupsi juga meningkat 258,39 persen menjadi Rp 2,007 triliun di tahun 2011. Lalu di tahun 2012, hingga bulan September polisi telah menangani sebanyak 885 kasus. Besarnya kerugian yang dialami Negara akibar korupsi mencapai Rp 1,67 triliun.5

KPK Sebagai lembaga independen pemberantasan korupsi, dalam kurun waktu 2004 sampai dengan Mei 2012, KPK telah berhasil membawa para

5

Positivego, Speed KPK dalam upaya pemberantasan krorupsi, http://positivego. blogspot.com, diakses tanggal 20 Januari 2013


(14)

koruptor ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan semuanya diputus bersalah. Mereka adalah 50 anggota DPR, 6 Menteri/Pejabat Setingkat Menteri, 8 Gubernur, 1 Gubernur Bank Indonesia, 5 Wakil Gubernur, 29 Walikota dan Bupati, 7 Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Yudisial dan Pimpinan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha), 4 Hakim, 3 Jaksa di Kejaksaan Agung, 4 Duta Besar dan 4 Konsulat Jenderal (termasuk Mantan Kapolri), Jaksa senior, Penyidik KPK, seratus lebih pejabat pemerintah eselon I dan II (Direktur Umum, Sekretaris Jenderal, Deputi, Direktur, dan lain-lain), 85 CEO, pemimpin perusahaan milik negara (BUMN) dan pihak swasta yang terlibat dalam korupsi6

6

Ibid. .

Namun dalam beberapa kasus-kasus yang ditangani baik oleh KPK ataupun POLRI yang akhirnya dilimpahkan kepengadilan, dalam beberapa kasus ada yang diputuskan bebas. Ternyara putusan tersebut ada yang tidak mengikuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 telah meniadakan sifat melawan hukum materiil didalam pasal 2 ayat 1 penjelas Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mana bunyi pasal 2 ayat (1) ini yaitu.

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)”.


(15)

Dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) kalimat pertama menyebutkan “yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana”.

Bunyi pasal dan penjelasan pasal ini di kalimat pertamanya mensyaratkan beberapa karakteristik unsur-unsur tindak pidana yang salah satunya yakni perbuatan melawan hukum yang dalam penerapannya menjadi masalah di dalam praktek sistem peradilan tindak pidana korupsi terutama menyangkut perbuatan melawan hukum materil. Konsepsi perbuatan melawan hukum materiil pada hakekatnya telah dikenal di dalam sistem peradilan pidana di Indonesia namun tidak efektif dan kurang mendapat perhatian pada sistem peradilan di Indonesia dengan pertimbangan sebagai berikut7

1. perbuatan melawan hukum yang semula diartikan secara formil (wederwettelijk) telah mengalami pergeseran dan yang dianggap sebagai terobosan baru dalam hukum pidana, karena sifat dari perbuatan itu kini diartikan juga secara materil yang meliputi setiap perbuatan yang melanggar norma-norma dalam kepatutan masyarakat atau setiap perbuatan yang dianggap tercela oleh masyarakat, sehingga terjadi

:

7

Lilik Mulyadi,Dimensi Dan Implementasi “Perbuatan Melawan Hukum Materiil” Dalam Tindak Pidana Korupsi Pada Putusan Mahkamah Agung Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, http://www.google.co.id, diakses tanggal 20 Januari 2013.


(16)

perubahan arti menjadi wederrechtelijk, khususnya perbuatan melawan hukum materil dalam hukum pidana.

2. wederrechtelijk mendapat pengaruh yang kuat sekali dari pengertian perbuatan melawan hukum secara luas dalam hukum perdata melalui

arrest Cohen-Lindenbaum tanggal 31 Januari 1919.

Oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan permohonan Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor: 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor: 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang diajukan oleh DAWUD DJATMIKO selaku Pemohon. Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya bagian mengadili menyebutkan sebagai berikut:

1. Menyatakan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor: 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor: 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor: 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor: 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor: 4150) sepanjang frasa yang berbunyi, ”Yang dimaksud dengan ’secara melawan hukum’ dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Menyatakan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor: 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor: 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor: 31 Tahun


(17)

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor: 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor: 4150) sepanjang frasa yang berbunyi, ”Yang dimaksud dengan ’secara melawan hukum’ dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.8

Namun disamping itu, dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi ini secara langsung maupun secara tidak langsung telah memberikan batasan dalam penerapan hukum bagi para penegak hukum dalam mengatasi permasalahan korupsi. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa korupsi yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang ini telah mengalami kemajuan dalam cara, pelaksanaan, maupun bentuknya sehingga dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi ini mengakibat bahwa seseorang hanya dapat di hukum apabila unsur-unsur melawan hukum formilnya terpernuhi atau apabila perbuatan tersebut bertentangan dengan hukum tertulis dan alasan-alasan pengecualiannya harus di cari dalam hukum tertulis juga. Sedang Mahkamah Agung dalam beberapa Yurisprudensinya mengakui mengenai sifat melawan hukum materil dalam tindak pidana Korupsi. Oleh karenanya dalam beberapa Putusan Mahkamah Agung pasca keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tetap mempergunakan ajaran sifat melawan hukum materiil. Hal ini menimbulkan ketidakjelasaan karena pada tataran aplikasi di dunia penegakan hukum, penggunaan unsur melawan hukum berdampak terhadap proses peradilan pidana. Apakah seseorang itu bisa dipidana atau tidak, hal ini tergantung pada sifat melawan hukum yang dikenakan

8


(18)

kepada seseorang karena seseorang tidak akan pernah dijatuhkan pidana apabila pada dirinya tidak melekat unsur melawan hukum pidana.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis terdorong untuk mengangkat dan membahas kedalam skripsi yang diberi judul: ANALISA HUKUM MENGENAI EKSISTENSI SIFAT MELAWAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PASCA KELUARNYA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR: 003/PUU-IV/2006”.


(19)

B. Perumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini.Agar pembahasan dalam skripsi ini tidak menyimpang dari pokok materi yang ada dan lebih terarah, maka Penulis membatasi lingkup pembahasan dalam skripsi ini dengan tujuan agar lebih mudah dipahami dan dimengerti

Atas dasar itulah, Penulismembatasi ruang lingkup kajian permasalahan yang ada sebagai berikut:

1. Bagaimana konsep sifat melawan hukum dalam tindak pidana di Indonesia ?

2. Bagaimana eksistensi sifat melawan hukum dalam tindak pidana korupsi pasca keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003/PUU-IV/2006?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan perumusan masalah yang telah penulis kemukakan diatas, maka tujuan dari penulisan ini adalah:

1. Untuk mengetahui konsep sifat melawan hukum dalam tindak pidana; 2. Untuk mengetahui eksistensi sifat melawan hukum dalam tindak

pidana korupsi pasca keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003/PUU-IV/2006.


(20)

Adapun manfaat dari penulisan ini adalah: 1. Secara Teoritis

Secara teoritis skripsi ini di harapkan akan memberikan masukan dan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya, dan ilmu hukum pidana khususnya.

2. Secara Praktis

Secara praktis skripsi ini ditujukan sebagai bahan masukan serta untuk memberikan kontribusi pemikiran kepada aparatur penegak hukum dan memberikan informasi kepada masyarakat serta mahasiswa mengenai eksistensi sifat melawan hukum dalam tindak pidana korupsi pasca keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003/PUU-IV/2006.

D. Keaslian Penulisan

Adapun penulisan skripsi yang berjudul “Analisa Hukum Mengenai Eksistensi Sifat Melawan Hukum dalam Tindak Pidana Korupsi Pasca Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006” berdasarkan pemeriksaan dan hasil- hasil penelitian yang ada di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) belum pernah ada judul yang sama dengan skripsi ini, sehingga penulisan skripsi ini masih asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan akademik. Hal ini dapat dilihat berdasarkan Tabel Judul yang ada pada Perpustakaan Universitas Sumatera Utara Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara / Pusat Dokumentasi dan


(21)

Informasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara melalui surat tertanggal 10 Januari 2013 (terlampir) yang mana telah di ACC (diterima) sebagai judul skripsi Penulis.

Adapun beberapa judul yang memiliki sedikit kesamaan berdasarkan Tabel Judul yang ada pada Perpustakaan Universitas Sumatera Utara Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara / Pusat Dokumentasi dan Informasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara melalui surat tertanggal 10 Januari 2013 (terlampir) antara lain:

1. Pelaksanaa Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 Terhadap Tindak Pidana

Menggunakan Narkotika Secara Tanpa Hak dan Melawan Hukum (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Medan) (disusun oleh Eddy Budianto Manalu / 020200073);

2. Dampak dari Putusan Mahkmah Konstitusi Mengenai Pembatalan

Penjelasan Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Terhadap Penegakan Hukum di Indonesia Khususnya korupsi (disusun oleh Mada Putra Marpaung / 050200346).

E. Tinjauan Kepustakaan

Penulisan skripsi ini berkisar tentang Analisa Hukum Mengenai Eksistensi Sifat Melawan Hukum dalam Tindak Pidana Korupsi Pasca Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006. Adapun Tinjauan Kepustakaan mengenai skripsi ini adalah sebagai berikut:


(22)

1. Pengertian Sifat Melawan Hukum dan Unsur-Unsur Sifat Melawan Hukum

Pembahasan tentang persoalan sifat melawan hukum dalam hukum pidana merupakan pembahasan yang sangat urgen dan sangat mendasar. Urgensi pembahasan “sifat melawan hukum” dalam hukum pidana bertolak dari kenyataan, bahwa dalam hukum pidana yang menjadi perhatian adalah perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan hukum saja. Perbuatan-perbuatan-perbuatan inilah yang dilarang dan diancam dengan pidana, yang dalam konteks hukum pidana disebut sebagai perbuatan pidana atau tindak pidana. Dengan konstruksi pemikiran yang demikian, maka dilarangnya suatu perbuatan itulah baik oleh hukum tertulis (Undang-Undang) maupun oleh hukum tidak tertulis yang menjadi dasar untuk menentukan apakah perbuatan itu dikatakan bersifat melawan hukum atau tidak. Dengan demikian, suatu perbuatan yang tidak dilarang, baik oleh hukum tertulis maupun oleh hukum tidak tertulis, tidak dapat dianggap sebagai perbuatan yang bersifat melawan hukum.9

Terminologi wederrechtelijk lebih sering digunakan dalam bidang hukum pidana, sedangkan onrechtmatige daad dalam bahasa hukum perdata. ”In het

Kata melawan hukum adalah kata yang sudah baku digunakan untuk menterjemahkan kata dari bahasa Belanda onrechmatioge daad atau

wederrechtelijk, atau dari bahasa Inggris unlawful. Dengan demikian,

onrechtmatigheid atau wederrechtheid atau unlawfulness dapat diterjemahkan sifat melawan hukum atau bersifat melawan hukum.

9

Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan ,(Malang: UMM Press, 2009), hal. 193.


(23)

strafrecht is de term ‘wederrechtelijk’ gebruikelijker dan de t erm ’onrechtmatig’

”, (di bidang hukum pidana istilah wederrechtelijk lebih sering digunakan dari pada istilah onrechtmatig). Kata Heijder yang selanjutnya mengatakan: “Uit deze verschillende terminologie vloeit noch wetshistorich noch systematisch een verschil in betekenis voort”. (istilah itu tidak hanya menyebabkan perbedaan arti, baik secara sejarah perundang-undangan maupun sistematis).10

Dalam dogmatik hukum pidana istilah “sifat melawan hukum” tidak selalu berarti sama. Ada empat makna yang berbeda-beda tetapi yang masing-masing dinamakan sama yaitu sifat melawan hukum. Harus selalu ditanyakan dalam hubungan apa istilah itu dipakai untuk mengetahui artinya. Untuk itu perlu dibedakan:11

a. Sifat melawan hukum umum, ini diartikan sebagai syarat umum untuk dapat dipidana yang tersebut dalam rumusan pengertian perbuatan pidana: perbuatan pidana adalah kelakuan manusia yang termasuk dalam rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela.

b. Sifat melawan hukum khusus, ada kalanya kata “sifat melawan hukum” tercantum secara tertulis dalam rumusan delik. Jadi sifat melawan hukum merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidana. Sifat melwan hukum yang menjadi bagian tertulis dari rumusan delik dinamakan “sifat melawan hukum faset”.

10

Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel dalam Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2002), hal. 33-34.

11

D. Schaffmeister, N. Keijzer. dan. E. PH. Sutorius, Hukum Pidana, (Yogyakarta: Liberty, 1995), hal. 39.


(24)

c. Sifat melawan hukum formal, istilah ini berarti: semua bagian yang tertulis dari rumusan delik telah terpenuhi (jadi semua syarat tertulis untuk dapat dipidana).

d. Sifat melawan hukum materiil berarti melanggar atau membahayakan kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembentuk Undang-undang dalam rumusan delik tertentu.

Seorang penulis (Vos) yang menganut pendirian yang materiil, memformulasikan perbuatan melawan hukum sebagai perbuatan yang oleh masyarakat tidak dibolehkan. Formulasi ini dipengaruhi oleh arrest Hoge Raad Nederland tahun 1919, yang terkenal dengan nama Lindenbaum-Cohen mengeni Perkara Perdata. Disitu Hoge Raad Belanda mengatakan: “perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) adalah bukan saja perbuatan yang bertentangan dengan wet, tetapi juga perbuatan yang dipandang dari pergaulan masyarakat tidak patut”.

Menurut Simon sifat melwan hukum timbul dari suatu kenyataan bahwa tindakan manusia bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, hingga pada dasarnya sifat tersebut bukan suatu unsur dari delik yang mempunyai arti tersendiri seperti halnya dengan unsur lain.12

12


(25)

Menurut Zevenberger mengenai melawan hukum itu bahwa semua delik tidak saja bertentangan dengan Undang-Undang, akan tetapi juga bertentangan paham kemasyarakatan.13

Sedangkan menurut Andi Hamzah melawan hukum (wederrechtelijk heid) itu adalah perbuatan yang bertentangan dengan hukum objektif, hak subjektif, kepatutan yang berlaku dalam msyarakat, tidak memunyai hak sendiri.14

a. Noyon: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hak subjektif orang lain.

Menurut Pendapat para ahli di dalam buku Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah mengenai pengertian melawan hukum antara lain adalah dari:

b. Pompe: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum dengan pengertian yang lebih luas, bukan hanya bertentangan dengan undang-undang tetapi juga dengan hukum yang tidak tertulis.

c. Van hannel: Melawan hukum adalah onrechmatig atau tanpa hak/ wewenang.

d. Hoge raad: Dari arrest-arrestnya dapat disimpulkan, menurut HR melawan hukum adalah tanpa hak atau tanpa kewenangan. (arrest 18-12-1911 W 9263).

e. Lamintang: Berpendapat, perbedaan diantara pakar tersebut antara lain disebabkan karena dalam bahasa Belanda recht dapat berarti hukum” dan dapat berarti “hak.” Ia mengatakan, dalam bahasa Indonesia kata

wederrechtelijk itu berarti “secara tidak sah” yang dapat meliputi pengertian “bertentangan dengan hukum objektif” dan “bertentangan dengan hak orang lain atau hukum subjektif”.15

Oleh karenanya, sifat melawan hukum dapat diartikan bahwa suatu perbuatan dapat dipidana apabila ia bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (melawan hukum formil) atau apabila perbuatan tersebut dianggap

13

Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, (Jakarta Sinar Grafika, 2005), hal. 46

14

Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal 163

15

Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, Politik Hukum Pidana: Kajian Kebijakan Kriminalisasai dan Deskriminalisasi. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005), hal. 31-32.


(26)

tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat (melawan hukum materiil) maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Oleh pembentuk peraturan perundang-undangan untuk menentukan seseorang dapat dipidana maka sifat melawan hukum dijadikan sebagai unsur yang tertulis. Tanpa unsur ini, rumusan peraturan perundang-undangan akan menjadi terlampau luas. Sifat ini juga dapat dicela kadang-kadang dimasukkan dalam rumusan delik culpa. Untuk menentukan apakah suatu perbuatan dikatakan perbuatan melawan hukum diperlukan unsur-unsur sebagai berikut:

a. Perbuatan tersebut melawan hukum;

b. Harus ada kesalahan pada pelaku;

c. Harus ada kerugian.16

Suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum dalam suatu perkara, misalnya faktor negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani dan terdakwa sendiri tidak mendapat untung.

16

Theodorus M. Tuanakotta, Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi. (Jakarta: Salemba Empat, 2009), hal. 73


(27)

2. Pengertian Tindak Pidana dan Unsur Tindak Pidana

Tindak Pidana ialah perbuatan yang melanggar larangan yang diatur oleh aturan hukum yang diancam dengan sanksi pidana. Dalam rumusan tersebut bahwa yang tidak boleh dilakukan adalah perbuatan yang menimbulkan akibat yang dilarang dan yang diancam sanksi pidana bagi orang yang melakukan perbuatan tersebut. Menurut Andi Hamzah tindak pidana adalah perbuaatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh Undang-Undang.17

Sedangkan menurut Teguh Prasetyo, peristiwa pidana juga disebut tindak pidana (delict) adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukum pidana18

a. Adanya kejadian yang tertentu yang menimbulkan akibat yang dilarang; Moelyatno, tidak mengunakan istilah tindak pidana rumusan diatas, tetapi mengunakan kata “perbuatan pidana” kata perbuatan dalam perbuatan pidana mempunyai arti abstrak yaitu suatu pengertian yang merujuk pada 2 kejadian yang konkret yaitu:

b. Adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian itu.19

Menurut Roeslan Saleh, perbuatan pidana juga disebut orang dengan delik adalah perbuatan yang bertentangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki

17

Andi Hamzah Op. Cit,. hal 165

18

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali Pres, 2011), hal. 16

19

Suharto R.M, Hukum Pidana Materiil: Unsur-Unsur Objektif Sebagai Dasar Dakwaan,


(28)

oleh hukum atau perbuatan yang oleh aturan pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang.20

Sedangkan pembentuk undang-undang telah menggunakan perkataan “strafbaar feit”untuk menyebutkan apa yang dikenal sebagai tindak pidana di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(KUHP) tanpamemberikan suatu penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud denganperkataan “strafbaar feit. Perkataan feit sendiri di dalam bahasa Belanda berartisebahagian dari suatu kenyataan, sedangkan strafbaar feit itu dapat diterjemahkan sebagai suatu kenyataan yang dapat dihukum, yang sudah barang tentu tidak tepat,oleh karena kelak akan diketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan atau tindakan. Hazewinkel-Suringa membuat rumusan yang umum dari strabaar feit sebagai perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak dalam sesuatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus diadakan olehhukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya.21

Menurut Simons, dalam rumusannya strafbaarfeit itu adalah “tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan

20

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana: Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Aksara Baru, 1983), hal. 13.

21

P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 1.


(29)

oleh Undang-Undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.” Alasan dari Simon mengapa strafbaarfeit harus dirumuskan seperti diatas karena:

a. Untuk adanya suatu strafbaarfeit diisyaratkan bahwa disitu terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan dengan Undang-Undang di mana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban seperti itu telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum;

b. Agar suatu tindakan seperti itu dapat dihukum maka tindakan itu harus memenuhi semua unsur-unsur dari delik seperti yang dirumuskan dengan Undang-undang;

c. Setiap strafbaarfeit sebagai pelanggaran terhadap suatu larangan atau kewajiban menurut Undang-Undang itu, pada hakikatnya merupakan tindakan melawan hukum atau suatu Onrechtmatige handeling.22

Sedangkan Utrecht menerjemahkan strafbaarfeit dengan istilah peristiwa hukum yang sering juga ia sebut delik, karena peristiwa itu perbuatan handelen

atau doen positif atau suatu melalaikan natelen negatif, maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu). Peristiwa pidana merupakan suatu peristiwa hukum (rechtfeit), yaitu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat hukum yang diatur oleh hukum.Tindakan semua unsur yang disinggung oleh suatu ketentuan pidana dijadikan unsur yang mutlak dari peristiwa pidana. Hanya sebagian yang dapat dijadikan unsur-unsur mutlak suatu tindak pidana, yaitu perilaku manusia yang bertentangan dengan hukum (unsur melawan hukum), oleh sebab itu dapat djatuhi suatu hukuman dan adanya seorang pembuat dalam arti kata tanggung jawab23

Menurut Pompe perkataan strafbaarfeit secara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu: “pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, di mana

22

Evi Hartanti, Op. Cit., Hal 5-6

23


(30)

penjatuhan hukuman terhadap pelaku itu adalah penting demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum”. Sangatlah berbahaya untuk mencari suatu penjelasan mengenai hukum positif yakni semata-mata dengan menggunakan pendapat secara teoritis. Perbedaan antara hukum positif dengan teori adalah semu. Oleh karena itu, yang terpenting dalam teori itu adalah tidak seorang pun dapat dihukum kecuali tindakannya benar-benar melanggar hukum dan telah dilakukan dalam bentuk schuld, yakni dengan sengaja atau tidak dengan sengaja. Adapun hukum kita juga mengenal adanya schuld tanpa adanya suatu

wederrechtelijk heid.

Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik (an objective of penol provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective built). Disini berlaku “tiada pidana tanpa kesalahan” (keine strafe ohne schuld atau geen straf zonder schuld atau nulla poena sine culpa). Culpa di sini dalam arti luas, meliputi juga kesengajaan.24

Vos memberi istilah tindak pidana dengan mengumukan arti delict sebagai “Tatbestandmassigheit” dan delik sebagai “Wesenschau”. Makna “Tatbestandmassigheit” merupakan kelakuan yang mencocoki lukisan ketentuan yang dirumuskan dalam Undang-Undang yang bersangkutan, maka distu telah ada

24


(31)

delik. Sedangkan makna “Wesenschau” merupakan kelakuan yang mencocoki ketentuan yang dirumuskan dalam Undang-Undang yang bersangkutan. Seperti misalnya kejahatan penadahan di situ tidak mungkin dimaksudkan seseorang yang telah membeli barangnya sendiri dari orang lain yang berhasil mencuri barang tersebut, karena hakikat penadahan mempunyai makna yang tidak untuk mengancam pidana seseorang yang membeli barangnya sendiri meskipun nampaknya kelakuannya telah mencocoki rumusan Undang-Undang.25

a. Definisi pendek memberikan pengertian “starfbaar feit” adalah suatu kejadian (feit) yang dapat diancam pidana oleh Undang-Undang;

J.E Jonkers memberikan dua pengertian mengenai strafbaar feit yaitu:

b. Definisi panjang atau lebih mendalam yang memberikan pengertian “starfbaar feit” adalah suatu kelakuan yang melawan hukum berhubung dilakukan dengan sengaja atau culpa oleh orang yang dapat di pertanggungjawabkan26

Kemudian R. Tresna mendefinisikan peristiwa pidana itu adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan Undang-Undang atau peraturan perundang-undangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.27

Menurut Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa tindak pidana itu adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. Sedangkan menurut H.J. Van Schravendijk merumuskan perbuatan yang boleh dihukum adalah kelakuan orang yang begitu bertentangan dengan keinsyafan

25

Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), hal. 90

26

Ibid, hal. 91

27

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 72


(32)

hukum sehingga kelakuan itu diancam dengan hukuman, asal dilakukan oleh seorang yang karena itu dapat dipersalahkan28

a. Unsur subjektif adalah unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.

Setelah melihat berbagai definisi diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa yang disebut dengan tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarangan dan diancam pidana, dimana pengertian perbuatan di sini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum) juga perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatau yang sebenarnya diharuskan oleh hukum).

Tindak Pidana atau strafbaar feit dalam Kamus Hukum artinya adalah suatu perbuatan yang merupakan suatu tindak pidana yang dapat dijatuhi hukuman.28 Tiap-tiap perbuatan pidana harus terdiri atas unsur-unsur lahir, oleh karena itu perbuatan yang mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan adalah suatu kejadian dalam alam lahir. Disamping kelakuan dan akibat untuk adanya perbuatan pidana, biasanya diperlukan juga adanya hal ihwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan.

Unsur-unsur tindak pidana terdiri atas dua macam, yaitu:

b. Unsur objektif adalah unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu dalam keadaan ketika tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.

28


(33)

Unsur-unsur subjektif dari suatu tindakan adalah: 1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa).

2) Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging.

3) Berbagai maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan.

4) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad, seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan

5) Perasaan takut seperti antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.

Sedangkan unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah: 1) Sifat melawan hukum atau wederrechtlijkheid.

2) Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai serorang pegawai negeri dalam kejahatan menurut Pasal 415 KUHP.

3) Kualitas yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.29

3. Pengertian Korupsi dan Tindak Pidana Korupsi

Tidak ada definisi baku dari tindak pidana korupsi (tipikor). Akan tetapi secara umum, pengertian Tipikor adalah suatu perbuatan curang yang merugikan

29


(34)

keuangan negara atau penyelewengan atau pengelapan uang negara untuk kepentingan pribadi dan orang lain30

Menurut Lilik Mulyadi, di dalam bukunya, tindak pidana korupsi adalah merupakan salah satu bagian dari hukum pidana khusus di samping mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana umum, seperti adanya penyimpangan hukum acara serta apabila ditinjau dari materi yang diatur, tindak pidana korupsi secara langsung maupun tidak langsung dimaksudkan menekan seminimal mungkin terjadinya kebocoran dan penyimpangan terhadap keuangan dan perekonomian negara.31

a. Inggris, yaitu corruption, corrupt;

Secara estimologi kata tindak pidana korupsi terdiri dari dua kata yaitu tindak pidana dan korupsi. Mengenai istilah tindak pidana didalam skripsi ini telah di uraikan terlebih dahulu di halaman-halaman sebelumnya. Sedangkan pengertian atau asal kata korupsi menurut Fockema Andreae, kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus yang selanjutnya disebutkan bahwa

corruptio itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata dalam bahasa latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti:

b. Prancis, yaitu corruptio;

c. Belanda, yaitu corruptie (korruptie).

30

Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 15.

31

Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana: Perspektif, Teoretis dan Praktis,


(35)

Dapat atau patut diduga istilah korupsi berasal dari bahasa Belanda dan menjadi bahasa Indonesia, yaitu “korupsi”. Dalam kamus umum Belanda Inonesia yang disusun oleh Wijosasito, corruptie yang juga disalin menjadi corruptien

dalam bahasa Belanda mengandung arti perbuatan korup, penyuapan.32

Pengertian dari korupsi secara harfiah menurut John M. Echols dan Hasan Shadaly, berarti jahat atau busuk, sedangkan menurut A.I.N Kramer SR mengartikan kata korupsi sebagai: busuk, rusak, atau dapat disuap. Dalam The Lexicon Webster Dictionary, kata korupsi berarti kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah, seperti dapat dibaca dalam The Lexicon Webster Dictionary sebagai berikut:33

(korupsi tersebut meliputi kegiatan-kegiatan yang tidak patut yang berkaitan dengan kekuasaan, aktivitas-aktivitas pemerintah, atau usaha-usaha tertentu untuk memperoleh kedudukan secara tidak patut, serta kegiatan lainnya seperti penyogokan).

Corruption {L.corruption (n-)} The act of corruption or the state of being corrupt; futrefactive decomposition, pitrid matter; moral perversion; depravity, perversion of integrity; corrupt or dishonest proceedings, bribery; perversion from state of purity; debasement as of a language; a debased from of a word (The Lexion 1978)

Pengertian korupsi menurut Gurnar Myrdal dalam bukunya berjudul Asian Drama, Volume II adalah:

To include not only all forms of improper or selfish exercise of power and influence attached to a public officer or the special position one occupties in the public life but also the activity of the bribers.

32

Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK Kajian Yuridis Normatif UU Nomor 31 Tahun 1999 Juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 Versi UU Nomor 30 Tahun 2002,

(Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 6

33


(36)

Kalau Gurnar Myrdal tampak mengunakan istilah korupsi dalam arti luas yang meliputi juga kolusi dan nepotisme, maka helbert Edelherz suka mengunakan istilah white collar crime untuk perbuatan pidana korupsi. Di dalam buku helbert Edelherz berjudul The Investigation of White Collar Crime, A Manual for Law Enforcement Agencies, perbuatan pidana korupsi disebut sebagai berikut:34

Kemudian arti korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia, disimpulkan oleh Poerwadarminta: “korupsi ialah perbuatan perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya”.

White collar crime: an illegal act or services of illegal acts committed by nonphysical means and by concealment or guile, to obtain or property, to avoid the payment or loss of money or property, to obtain business or personal advantage.

(Kejahatan kerah putih: suatu perbuatan atau serentetan perbuatan yang bersifat ilegal yang dilakukan secara fisik, tetapi dengan akal bulus/terselubung untuk mendapatkan uang atau kekayaan serta menghindari pembayaran/pengeluaran uang atau kekayaan atau untuk mendapat bisnis/keuntungan pribadi).

35

Sedangkan pengertian tindak pidana korupsi pada Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terdapat dalam pasal 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9,10, 11, 12, 12 B, dan 13., 14, 15, 16. Pasal-pasal ini juga meliputi jenis tindak pidana korupsi. Namun di sini Penulis hanya menjelaskan pengertian tindak pidana korupsi

34

Ibid, hal. 7

35


(37)

menurut Pasal 2 ayat (1) dikarenakan putusan pengadilan pada skripsi ini dikenakan pada pasal tersebut. Adapun isi dari Pasal 2 ayat (1) antara lain:

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar Rupiah)”.

F. Metode Penelitian

Pengumpulan data dan informasi untuk penulisan skripsi ini telah dilakukan melalui pengumpulan data-data yang diperlukan untuk dapat mendukung penulisan skripsi ini sehingga hasil yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Untuk dapat merampungkan penyajian skripsi ini agar dapat memenuhi kriteria sebagai tulisan ilmiah diperlukan data yang relevan dengan skripsi ini. Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan itu, maka penulisan skripsi ini metode yang dipakai adalah sebagai berikut:

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yakni merupakan penelitian yang dilakukan dan ditujukan pada berbagai peraturan perundang-undangan tertulis dan berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi (law in book). Penelitian hukum normatif ini disebut juga dengan penelitian doktrinal (doctrinal research) atau


(38)

hukum dikonsepkan sebagai kaedah atau norma yang merupakan patokan perilaku manusia yang dianggap pantas.36

2. Data dan Sumber Data

Data yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya.37

a. Bahan hukum primer

Data sekunder diperoleh dari:

Yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Dalam tulisan ini di antaranya adalah Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, undang Nomor: 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor: 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait.

b. Bahan Hukum Sekunder

Yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti dokumen-dokumen yang merupakan informasi dan artikel-artikel yang berkaitan dengan eksistensi sifat melawan hukum dalam Tindak

36

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), hal. 118.

37


(39)

Pidana Korupsi pasca keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003/PUU-IV/2006 melalui jurnal-jurnal hukum, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan di atas. c. Bahan Hukum Tersier

Yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti: kamus, ensiklopedia, jurnal ilmiah, dan bahan-bahan lain yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel yang berkaitan dengan objek penelitian, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan. Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut:

a. melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan objek penelitian.


(40)

b. melakukan penelusuran kepustakaan melalui, artikel-artikel media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan perundang-undangan.

c. mengelompokan data-data yang relevan dengan permasalahan.

d. menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian.

4. Analisa data

Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan metode induktif dilakukan dengan menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa Bab, dimana dalam bab terdiri dari beberapa sub bab. Adapun sistematika penulisan yang terdapat dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam Bab ini akan diuraikan tentang uraian umum seperti penelitian pada umumnya yaitu, Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian


(41)

Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan serta Sistematika Penulisan.

BAB II : KONSEP SIFAT MELAWAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA DI INDONESIA

Bab ini akan membahas tentang sejarah, teori dan macam-macam sifat melawan hukum dalam tindak pidana serta sifat melawan hukum dalam tidak pidana yang diakui oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia.

BAB III : ANALISA EKSISTENSI SIFAT MELAWAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PASCA KELUAR-NYA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 003/PUU-IV/2006

Bab ini akan membahas tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006, sikap Mahkamah Agung pasca keluarnya Keputusan Mahkamah konstitusi tersebut dan analisa terhadap penerapan sifat melawan hukum dalam tindak pidana korupsi pasca keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006.

BAB IV : PENUTUP

Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran mengenai permasalahan yang dibahas.


(42)

BAB II

KONSEP SIFAT MELAWAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA DI INDONESIA

A. Sejarah dan Teori Mengenai Sifat Melawan Hukum dalam Tindak Pidana

Kalau kita diteliti pasal-pasal KUHP dan ketentuan-ketentuan perundang-undangan pidana di luarnya, maka ternyata bahwa ada pasal dan ketentuan yang mencantumkan kata melawan hukum, umumnya para sarjana hukum pidana menyatakan, bahwa melawan hukum merupakan unsur tiap-tiap delik, dinyatakan secara eksplisit atau tidak.

Apabila tidak dicantumkan hal ini dilakukan oleh pembuat Undang-Undang, dalam beberapa hal:

1. Bilamana dari rumus Undang-Undang, Perbuatan yang dicantumkan sudah sedemikian wajar sifat melawan hukumnya, sehingga tidak perlu dinyatakan secara eksplisit;

2. Perbuatan melawan hukum berarti bahwa perbuatan seseorang melanggar atau bertentangan dengan kaidah materieel yang berlaku baginya, orang karena itu dengan sendirinya berarti bahwa memidana orang yang tidak melakukan perbuatan pidana adalah onzinning, atau tidak masuk akal. Sifat melawan hukumnya perbuatan merupakan salah syarat pemidanaan Misalnya pasal 338 KUHP tidak mengandung kata melawan hukum, namun setiap orang normal memandang bahwa menghilangkan nyawa orang


(43)

lainadalah melawan hukum, bertentangan tidak saja dengan hukum, tetapi semua kaidah-kaidah sosial dan agama.38

Sedangkan alasan apabila dicantumkan kata melawan hukum bisa dilihat di dalam Memorie van Toelichting (memori penjelas Wetboek van Strafrecht Nederland ), yang menyatakan bahwa dicantumkannya unsur itu secara tegas dalam beberapa pasal tertentu, oleh karena dipidananya orang yang melaksanakan haknya yang melakukan suatu “strafbaar feit” yang sesuai dengan rumus atau uraian Undang-Undang. Dengan kata lain, bahwa dalam hal seseorang mengunakan haknya, maka unsur melawan hukum itu tidak ada. Namun perlu diingatkan, bahwa uraian tersebut tidak berarti bahwa melawan hukum sama dengan tanpa hak. Yang terakhir memang termasuk melawan hukum, tetapi pengertiannya lebih sempit, yaitu yang bersangkutan tidak mempunyai hak, atau hukum subyektif. Hukum meliputi baik norma maupun hak dan kalau pengertian yang lebih luas karena meliputi juga hukum tidak tertulis39

Dari sejarahnya, pasal tersebut meminjam pasal 1382 code civil Prancis yang berbunyi: “Tout fait quelconque de i’homme, qui cause un dommage, oblige

.

Seperti telah dikemukakan bahwa arti melawan hukum di bidang hukum pidana, menurut Van Bemmelen, tidak ada bedanya dengan arti melawan hukum di bidang hukum perdata, seperti termuat dala pasal 1401 BW (pasal 1365 KUHP). Perkembangan dalam bidang hukum perdata ini sangat besar pengaruhnya bagi hukum pidana.

38

H.A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal. 239-240

39


(44)

celui par la faute duguel il est arrive, a reparer”. Teks pasal 1401 BW Belanda berbunyi: “Eike onrechtmatige daad, waardoor aan een ander schade wordt toegebrachtstelt dengene door wiens schuld die schade veroorzaakt is in de verplichting om dezelfde te goeden ”, atau dalam terjemahan Subekti, pasal 1365 KUHPerdata berbunyi: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Dengan membandingkan kedua pasal tersebut, terlihat langsung bahwa teks bahasa Belanda berisikan ketentuan onrechtmatige daad yang tidak ada dalam contoh Prancis”.40

Pendapat pertama, yang disebut berpandangan sempit mengatakan bahwa yang dimaksud melawan hukum adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan hak subjektif seseorang (hetzij met eens anders subjectief recht), atau bertentangan dengan kewajibannya sendiri menurut Undang-Undang (hetzij met desdaders eigen wettelijke plicht). Jadi, sebagai dasar adalah hak seseorang yang berdasarkan undang-undang atau kewajiban seseorang menurut Undang-Undang.

Mengenai pengertian melawan hukum ini terdapat dua pendapat yang saling bertentang mengenai hal ini:

41

Karena itu, menurut Hoffman menyimpulkan bahwa melawan hukum, menurut pandangan ini, adalah bertentangan dengan Undang-Undang. Suatu Perbuatan yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang, walaupun juga dapat

40

Komariah Emong Sapardjaja, Op. Cit., hal. 33-34.

41


(45)

bertentangan dengan sesuatu yang menurut pergaulan kemasyarakatan adalah tidak patut, tidak merupakan perbuatan melawan hukum.42

1. code civil Prancis, pasal 1382, memuat perkataan “tout fait quelconque de i’homme”. Pembuat Undang-Undang Belandalah yang dengan sengaja mengubah perkataan wederrechtelijk dengan perkataan onrechtmatig,

untuk menegaskan bahwa tidak setiap perbuatan yang mengakibatkan kerugian kepada seseorang adalah melawan hukum

Baik Hoffaman maupun Wolfsbergen merujuk pada pendapat Land yang mengatakan bahwa pandangan sempit ini didasarkan pada dua alasan yaitu sebagai berikut:

2. Pasal 1401 NBW tersebut sama sekali meminjam pasal 1382 code civil

Prancis, yang menurut Domat mengingatkannya terutama kepada

Romeinshe actio Legis Aquillae uit dammun iniuria datum dimana perbuatan yang bertentangan dengan lalu lintas pergaulan masyarakat tidak termasuk di dalamnya.

Menurut Land selanjutnya, pembuat Undang-Undang menyimpang dari apa yang dikatakan Domat, sejauh terhadap pasal-pasal yang berkenaan dengan hal itu, tetapi tidak karenanya pembuat Undang-Undang bermaksud mengubah arti onrechtmatige daad dengan in strijd met de wet, yang juga tidak dikatakannya secara jelas dalam teks Undang-Undang.43

Pendapat kedua, yang berpandangan luas, diperkenalkan pertama kali oleh Molengraaff, yang menyatakan bahwa seseorang melakukan perbuatan melawan hukum: “Wie anders handelt, dat in het maatschappelijk verkeer den eenenmensch tegenover den ander betaamt, anders dan men met het oog op zijn

42

Ibid, hal. 36.

43


(46)

medeburgers behoort te behandelen”. (seseorang yang berbuat kepada orang lain, yang tidak patut menurut lalu lintas pergaulan masyarakat).

Menurut Hofmann pendapat Molengraaff tersebut menunjukan pada dua hal yaitu:

1. Onrechtmatig adalah setara dengan tidak diperkenankan (ongeoorloofd), tidak dengan yang dilarang oleh Undang-Undang (niet van door de wet verboden), karena dalam teks pasal 1428 Kitab Undang-Undang Prancis tahun 1830 disebutkan: tout fait illicite de I’home.

2. Pasal 1402 tidak membicarakan onrechtmatige daad, bahkan jika mau menerangkan onrechtmatig sebagai onwetmatig, sesungguhnya apa yang bertentangan dengan moral dan lalu lintas pergaulan hukum masyarakat termasuk dalam pasal 1402 ini.44

Dalam praktek pradilan di Belanda dalam arrest Hoge RaadNederlandtahun 1919, yang terkenal dengan nama lindenbeum Cohen Arrest

mengenai perkara Perdata. Di situ Hoge Raad Belanda mengatakan: “Perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) adalah bukan saja perbuatan yang bertentangan dengan wet, tetapi juga perbuatan yang dipandang dari pergaulan masyarakat tidak patut”. Duduknya perkara sebagaimana diuraikan oleh Mr. Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Perbuatan Melanggar Hukum adalah sebagai berikut:

Ada dua kantor percetakan, yang satu kepunyaan Cohen dan yang lain kepunyaan Lindenbaum. Mereka bersaing hebat satu sama lain. Pada suatu hari seorang pegawai dari Lindenbaum dibujuk oleh Cohen dengan macam-macam pemberian hadiah dan kesanggupan supaya memberikan kepadanya (Cohen) turunan dari penawaran-penawaran yang dilakukan Lindenbaum dan memberikan pula nama-nama dari orang-orang yang mengadakan pesanan kepada kantor Lindenbaum atau yang minta keterangan tentang harga-harga cetak. Dengan tindakan ini Cohen tentunya bermaksud akan mempergunakan hal-hal yang dapat diketahui itu untuk menetapkan suatu siasat agar supaya khalayak ramai lebih suka datang kepadanya dari pada ke kantor Lindebaum. Tapi perbuatan Cohen ini

44


(47)

diketahui oleh Lindebaum yang karena merasa dirugikan. Maka dari itu dia digugat di pengadilan Amsterdam, sebagai telah melakukan perbuatan melanggar hukum terhadapnya sehingga berdasar atas pasal 1401 (1365 KUHPerdata) BW minta ganti kerugian.

Dalam putusan hakim tingkat pertama Cohen dikalahkan tapi dalam tingkat banding dimuka Gerechtshot Amsterdam Inden Baum dikalahkan yaitu berdasar Yurisprudensi yang dituruti pasal tersebut. Perbuatan Cohen tidak dianggap sebagai perbuatan melawan hukum. Karena tidak ditunjukkan sesuatu pasal dari Undang-Undang yang dilanggar oleh Cohen

Lindenbaum mohon kasasi kepada Hoge Raad dengan alasan bahwa putusan tersebut melanggar pasal 1401 BW. Akhirnya H.R. dengan menyampingkan jurisprudensi sebagaimana diikuti dalam putusan Hof

Amsterdam memutuskan pada tanggal 31 Desember 1919, Bahwa Perbuatan Cohen adalah perbuatan melanggar hukum, seperti sebut di atas.45

Masalah persaingan tidak sehat antara dua perusahaan percetakan, “Lindenbaum” dan “Cohen”, yang mempunyai pendapat formal antara lain adalah Simons yang menyatakan “untuk dapat dipidananya sesuatu perbuatan haruslah mencocoki rumusan delik, sebagaimana dilukiskan dari tindak pidana dalam Undang-Undang. Jika sudah demikian, biasanya tidak perlu lagi untuk diselidiki, apakah perbuatan itu melawan hukum atau tidak”. menurut pendapatnya itu, tentang sifat melawan hukum materiil tidak dapat diterima, karena mereka yang menganut ajaran ini, menempatkan kehendak pembentuk Undang-Undang yang sudah dinyatakan dalam hukum positif, di bawah pengawasan keyakinan hukum dari hakim pribadi. Memang betul, menurut pendapat formal ini, bahwa tidak selalu perbuatan yang mencocoki rumusan delik (dalam Undang-Undang) adalah bersifat melawan hukum, akan tetapi pengecualian itu, hanya boleh diterima, apabila mempunyai dasarnya dalam hukum positif pula.46

45

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1993), hal. 131-132

46

R. Achmad S. Soema di Pradja, Hukum Pidana dalam Yurisprudensi, (Bandung: CV. Armico, 1990), hal. 68.


(48)

Sebelum tahun 1919, Hoge Raad tidak berpendapat demikian, yang dinamakan onrechtmatig hanyalah apabila perbuatan bertentangan dengan wet

saja. Ini ternyata dari arrest (putusan mengenai Nona dari kota Zutfen). Hoge Raad dalam arrestnya itu menganggap, bahwa perbuatan Nona tersebut tidak bersifat melawan hukum karena perbuatannya tidak melanggar ketentuan wet.

Dalam perkara ini duduk perkaranya adalah Nona tersebut tinggal di bagian atas (loteng), sedangkan di bagian bawah ditempati orang lain. Ketika musim dingin menghebat, maka pipa saluran air pecah dan air mengalir ke bagian bawah. Kraan yang dapat memberhentikan mengalirnya air ada di bagian atas dalam kamar Nona tadi. Meskipun sudah diminta oleh penghuni di bagian bawah untuk menutup kraan, namun Nona tidak menghiraukannya, sehingga air menggenangi bagian bawah. Nona lalu digugat untuk membayar kerugian yang timbul karena genangan air. Tapi dalam tingkat kasasi gugatan tersebut ditolak oleh Hoge Raad karena perbuatan Nona tidak melanggar suatu aturan wet.47

Dalam tahun 1911 disodorkan Rancangan Undang-Undang yang di dalamnya memperhatikan keinginan masyarakat. Teks Rancangan

Undang-Terhadap pertanyaan-pertanyaan yang sering diajukan kepada hakim tertinggi belanda tersebut, apakah perbuatan yang bertentangan dengan lalu lintas pergaulan hukum masyarakat adalah juga melawan hukum, sebelum arrest 1919 yang terkenal itu selalu dijawab “tidak” walaupun di dalam masyarakat sudah diingatkan pendapat yang luas.

47


(49)

Undang 1911 itu diubah dalam Rancangan Undang-Undang tahun 1913. Akan tetapi, seperti juga rancangan-rancangan lain, Rancangan Undang-Undang-Rancangan Undang-Uundang ini tidak pernah sampai disahkan sehingga dengan

arrest Hoge Raad 31 Januari 1919 yang terkenal itu, Hoge Raad dianggap telah mengambil tugas pembuat Undang-Undang dengan menerapakan pendapat yang luas tadi. Dengan demikian, menurut pendapat Hoffmann:48

(Land mengatakan dalam tinjauannya mengenai perbuatan melawan hukum tentang bahaya pandangan yang luas ini, bahwa penilaian moral akan mengantikan jawabanya terhadap pertanyaan sifat melawan hukum). Akan tetapi, kaidah yang ditarik dari arrest 31 Januari 1919 inilah sampai sekarang dipakai dan selalu dirujuk untuk menerangkan arti melawan hukum.

Volgens de ruime opvatting daartegen is onrechtmatige daad gelijkwaardig aan ongeoorlofd. Onrechtmatig is naar deze leer niet slecht wat in strijd is met eens anders wettelijk recht of des daders eigen wettelijken plicht, maar ook wat indruisch tegen de eischen van de moraal of het maatschappelijk verkeer.

(penyangkalan terhadap pendapat yang luas karena bersifat melawan hukum berarti sama dengan tidak diperkenankan. Melawan hukum menurut ajaran ini tidak hanya bertentangan dengan hak orang lain menurut Undang-Undang atau kewajiban hukum orang lain, tetapi juga bertentangan dengan tujuan moral dalam lalu lintas pergaulan masyarakat).

Ini juga yang merupakan keberatan Land terhadap pendapat yang luas, seperti yang dikutip oleh Wolfsbergern:

land noemt in zijn bekende beschouwing over onrechtmatige daad als gevaar voor de ruime opvatting juist, dat de morele beoordeling in de plaats zal komen van de beantwoording der onrechtmatigheidsvraag

49

Rudolf Stamler dalam tahun 1902 dalam bukunya berjudul “Die Lehre von dem Richtigen Recht”, telah menyatakan pada penilaian tentang ketepatan suatu

48

Komariah Emong Sapardjaja, Op. Cit,. hal. 38.

49


(50)

kaidah hukum selalu tergantung pada waktu dan tempat tertentu. Penganut terkemuka Freirechtsbewegung, yaitu antara lain Gnaeus Flavius alias Herman Kantorowicz menyatakan juga bahwa Undang-Undang mengandung banyak kekosongan dan merupakan tugas hakim untuk mengisinya. Penganut aliran ini membela mati-matian pemakaian pergertian itikad baik, adat istiadat baik, pendapat masyarakat.

Di bidang hukum pidana dianut asas legalitas yang tercantum di dalam pasal 1 ayat (1) KUHP, yang mensyaratkan bahwa disamping penilaian materiil juga diwajibkan untuk menganut paham formeel.

Dikatakan formeel, karena Undang-Undang pidana melarang atau memerintahkan perbuatan itu disertai ancaman sanksi bagi barangsiapa yang melanggar atau mengabaikannya. Disebut materieel, oleh karena sekalipun suatu perbuatan telah sesuai dengan uraian di dalam Undang-Undang, masih harusdi teliti tentang penilaian masyarakat apakah perbuatan itu memang tercela, ataupun dipandang sifatnya terlampau kurang celaannya sehingga pembuatnya tak perlu dijatuhi sanksi hukum pidana, tetapi cukup dikenakan sanksi kaidah-kaidah hukum lain atau kaidah sosial lain. Tinjauan demikian menurut Moeljatno sesuai dengan asas Kemanusia Yang Adil dan Beradap yang merupakan sendi negara dan bangsa50

Pandangan formil terhadap sifat melawan hukum dianut oleh Simon yang berpendapat, bahwa untuk dapat dipidana maka peristiwa yang dilakukan harus

.

50


(51)

dicakup oleh uraian Undang-Undang, sesuai dengan isi delik berdasarkan ketentuan pidana di dalam Undang-Undang. Dalam hal terjadi demikian maka pada umumnya tidaklah lagi tepat untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang sifat melawan hukum. Bilamana suatu perbuatan memenuhi syarat uraian delik, maka per definitionem telah ada perlawanan hukum.

Van Bemmelen tidak menyetujui pendapat Simon, oleh karena pemenuhan uaraian delik tidaklah dengan sendirinya menimbulkan peristiwa pidana. Undang-Undang mengenal beberapa dasar peniadaan pidana berupa dasar pembenar yang mengakibatkan suatu perbuatan hilang sifat melawan hukumnnya. Misalnya pasal 41 lid 1 (pasal 49 ayat (1), pasal 42 dan pasal 50 KUHP). Ajaran Simons dapat diimplikasikan bahwa suatu perbuatan yang memenuhi uraian strafbaar feit

semata-mata tanpa adanya dasar pembenar adalah pada umumnya telah melawan hukum.51

Dalam pasal 82 Veetwet (Undang-Undang mengenai hewan) orang dilarang untuk menempatkan hewan dalam keadaan yang merugikan (in verdachte

Sedangkan pandangan materiil dianut oleh banyak sarjana hukum di Nederland antara lain Van Bemmelen yang mengemukakan bahwa dasar pembenaran diluar Undang-Undang pertama kali di Nederland dikemukan oleh Hoge Raad dalam arrest yang paling terkenal yang dalam kepustakaan dikenal dan disebut vee-artsarrest tanggal 20 Februari 1933 yang biasanya atau dikenal dengan nama arrest dokter hewan dari kota Huizen. Duduk perkara sebagai berikut:

51


(52)

toestand bregen) hal mana diancam dengan pidana penjara 1 tahun. Di sekita kota Huizen ketika itu di antara hewan terjangkit penyakit mulut dan kuku. Ada tujuh ekor sapi yang belum terkena penyakit tersebut. Karena menurut dokter hewan sapi-sapi yang sehat itu nantinya toh akan kena penyakit juga, maka lebih baik kalau dikenakan penyakit sekarang, mumpung belum mengeluarkan air susu dari pada di kemudian hari kalau sudah mengeluarkan. Karena itu sapi-sapi yang sehat tadi diperintahkan supaya dimasukan dalam kandang bersama-sama dengan sapi-sapi yang telah sakit. Rupanya yang punya hewan tadi tidak menerima tindakan tersebut sehingga dokter hewan dituntut karena melanggar pasal 82 veewet tadi. Oleh dokter hewan tindakan yang telah dilakukan itu adalah yang dianggap tepat menurut ilmu dokter hewan. Sebab kalau sapi-sapi diserang penyakit ketika mengeluarkan air susu, maka hal itu menyebabkan lebih sakit baginya dan juga lebih menularkan penyakitnya karena air susunya. Jadi untuk kepentingan pemiliknya dan hewan-hewan lainpada umumnya, maka dilakukan tindakan diatas.

Gerechtshof di Amsterdam dalam tingkat banding menganggap bahwa alasan dokter hewan itu hanya memberikan penjelasan tentang apa yang mendorong dia untuk berbuat demikian, tetapi tidak merupakan perkecualian yang dapat menghapus pemidanaan, sehingga harus menjatuhkan pidana pada terdakwa. Dalam tingkat kasasi Hoge Raad berpendapat bahwa: menurut Hoge Raad dengan adanya wet mengenai pendidikan kedokteran hewan maka pemeliharaan kesehatan hewan dan siapa yang boleh menjalankan pekerjaan dokter hewan telah diatur.

Dengan ini telah ada petunjuk bahwa dokter hewan tidak akan melanggar ketentuan Undang-Undang, jika dia bertindak sesuai dengan ilmu yang telah dicapainya. Keadaan ini tidak dapat dibantah dengan pernyataan, bahwa manakah orang yang telah melakukan perbuatan yang diancam dengan pidana, dia pasti dipidana, kecuali jika wet itu sendiri dengan nyata-nyata mengadakan perkecualian. Sebab adalah mungkin sekali bahwa meskipun unsur melawan hukum tidak disebut tersendiri dalam rumusan delik, hakim toh tidak dapat menghukum terdakwa apabila ternyata perbuatan terdakwa tidak bersifat melawan hukum. Pancaran hewan misalnya juga dapat dipandang sebagai menempatkan hewan dalam keadaan yang mencurigakan. Tetapi hal itu juga tidak dapat dituntut karena melanggar pasal 82 veewet. Dan hal itu juga tidak karena dalam wet sendiri ada pengecualiannya, tetapi karena pencacaran hewan tak dapat dipandang sebagai perbuatan yang melawan hukum52

B. Macam-Macam Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana .

Seperti yang diuraikan di halaman-halaman sebelumnya bahwa ajaran sifat melawan hukum memiliki kedudukan yang penting dalam hukum pidana di

52


(1)

2. Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya Nomor: 003/PUU-IV/2006 telah membatalkan penjelasan kalimat pertama pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi karena dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Putusan Mahkamah Konstitusi ini membawa dampak positif dan juga negatif terhadap penegakan dan penerapan hukum dalam tindak pidana korupsi di Indonesia. Karena dengan keluarnya putusan tersebut maka yang hanya diakui eksistensi sifat melawan hukumnya dalam tindak pidana korupsi adalah sifat melawan hukum dalam arti formil saja. Pasca keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut Mahkamah Agung dalam prakteknya memang menerapkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Namun dalam beberapa kasus tenyata dalam prakteknya Mahkamah Agung juga tetap mengakui eksistensi sifat melawan hukum dalam arti materiil dalam tindak pidana korupsi. Hal ini dapat diketahui dalam beberapa putusannya antara lain yaitu: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor Nomor: 2064 K/Pid/2006 Tanggal 8 Januari 2007 atas nama terdakwa H. Fahrani Suhaimi, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 996K/Pid/2006 Tanggal 16 Agustus 2006 atas nama Terdakwa Hamdani Amin dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1974K/Pid/2006 Tanggal 13 Oktobe r2006 atas nama Terdakwa Rusadi Kantaprawira, yang ternyata dalam pertimbangannya Mahkamah Agung tetap mengakui eksistensi ajaran sifat melawan hukum materiil dalam tindak pidana korupsi dengan


(2)

berdasarkan doktrin “Sen-Clair” atau “La doctrine du Sen-Clair” dan yurisprudensi tetap (vaste jurisprudentie) Mahkamah Agung yang telah ada mengenai kasus-kasus tindak pidana korupsi tentang sifat melawan hukum dalam arti formil dan dalam arti materiil. Oleh karena itu, Mahkamah Agung RI dalam kasus tindak pidana korupsi pasca keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tetap mengakui eksistensi sifat melawan hukum baik dalam arti formil maupun dalam arti materiil.

B. Saran

Berdasarkan pemaparan dan kesimpulan yang sudah disampaikan diatas, maka terdapat beberapa hal yang disarankan oleh Penulis, yaitu:

1. Mengingat bahwa sifat melawan hukum dalam tindak pidana pada umunya dan tindak pidana korupsi pada khususnya mengharuskan seseorang itu baru dapat dipidana apabila unsur melawan hukum ini terpenuhi artinya bahwa seseorang yang tidak melanggar suatu norma yang melahirkan sifat melawan hukum tidak boleh ditangkap dan dipidana. Oleh karenanya, berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan mengingat akan sejarah dan norma hukum yang hidup di masyarakat yang tidak tertulis atau hukum adat, maka sudah seyogyanya para pembentuk Undang-Undang untuk melakukan kajian mendalam mengenai sifat melawan hukum khususnya dalam arti materil agar bisa dimasukan di dalam Peraturan perundang-undang untuk memberikan jaminan kepatian hukum, kemanfaatan dan keadilan bagi masyarakat agar keadilan itu dirasakan oleh semua


(3)

masyarakat, sehingga ia menjadi suatu keadilan yang distributif yang artinya semua masyrakat mengakui dan merasa kalau itu memang pantas atau layak. 2. Dalam penulisan skripsi ini, Penulis menemukan suatu fakta bahwa terdapat

pertentangan antara dua lembaga negara yang masing-masing memiliki kewenangan yang berbeda yaitu Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung dalam menegakan dan menerapkan hukum khususnya dalam tindak pidana koruspsi. Karena seharus apa yang diputuskan Mahkmah Konstitusi harusnya menjadi pegangan juga untuk Mahkamah Agung RI dalam mengambil suatu keputusan. Namun dalam praktek dalam tindak pidana korupsi Mahkamah Agung RI dalam beberapa putusannya tetap mengunakan sifat melawan hukum materiil yang secara legislasi pengaturannya tidak ada lagi setelah dibatalkan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003/PUU-IV/2006 dalam pertimbangannya Mahkamah Agung RI malah dengan mengunakan Doktrin dan Yurispudensinya berusaha mengenyampingi Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut yang mengakibat terjadi ketidakjelasan dalam penerapan dan penegakan mengenai sifat melawan hukum materiil ini dan seakan-akan apa yang menjadi pertimbangan Mahkamah Agung itu, menjadi alasan pembenar untuk mengenyampingkan putusan Mahkamah Kosntitusi tersebut. Oleh karena, Doktrin dan Yusriprudensi juga merupakan sumber hukum formil selain Undang-Undang sehingga menurut ilmu hukum pertimbangan Mahkamah Agung RI ini dapat di benarkan. Oleh karenanya penulis berharap mengenai hal ini akan ada yang mengkajinya lebih lanjut dalam tataran Hukum Tata Negara.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Amiruddin dan Asikin, Zainal. 2006. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rajawali Pers.

Chazawi, Adami. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Djaja, Ermansjah. 2008. Memberantas Korupsi Bersama KPK Kajian Yuridis Normatif UU Nomor 31 Tahun 1999 Juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 Versi UU Nomor 30 Tahun 2002. Jakarta: Sinar Grafik.

D.Schaffmeister, N. Keijzer. dan E. PH. Sutorius. 1995. Hukum Pidana. Yogyakarta: Liberty.

Farid, Zainal Abidin. 2007. Hukum Pidana I. Jakarta: Sinar Grafika. Hamzah, Andi. 2008. Terminologi Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika. Hartanti, Evi. 2005. Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika. Marpaung, Leden. 2005. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.

Moeljatno. 1993. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: PT Rineka Cipta. Mulyadi, Lilik. 2008. Bunga Rampai Hukum Pidana: Perspektif, Teoretis dan Praktis. Bandung: PT Alumni.

P.A.F. Lamintang. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Poernomo, Bambang. 1994.Asas-Asas Hukum Pidana.Jakarta: Ghalia Indonesia.

Prasetyo, Teguh dan Barkatullah, Abdul Hakim. 2005. Politik Hukum Pidana: Kajian Kebijakan Kriminalisasai dan Deskriminalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


(5)

R. Achmad S. Soema di Pradja. 1990. Hukum Pidana dalam Yurisprudensi. Bandung: CV. Armico.

Rukmini, Mien. 2006. Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi (Sebuah Bunga Rampai ). Bandung: PT Alumni.

Saleh, Roeslan. 1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana: Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana. Jakarta: Aksara Baru.

Sapardjaja, Komariah Emong. 2002. Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel dalam Hukum Pidana Indonesia. Bandung: PT Alumni.

Suharto R.M. 1996.Hukum Pidana Materiil: Unsur-Unsur Objektif Sebagai Dasar Dakwaan. Jakarta: Sinar Grafika.

Surachmin dan Cahaya, Suhandi. 2011. Strategi & Teknik Korupsi Mengetahui untuk Mencegah. Jakarta: Sinar Grafika

Syamsuddin, Aziz. 2011. Tindak Pidana Khusus. Jakarta: Sinar Grafika. Tongat. 2009. Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia dalam Perspektif Pembaharua. Malang: UMM Press.

Tuanakotta, Theodorus M. 2009. Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Salemba Empat.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-Undang Nomor: 4 Tahun 2004 diganti dengan Undang-Undang Nomor: 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

C. Putusan


(6)

D. Internet

KPK, statistik penanganan tindak pidana korupsi berdasarkan tahun,

Lilik Mulyadi, Dimensi Dan Implementasi “Perbuatan Melawan Hukum Materiil” Dalam Tindak Pidana Korupsi Pada Putusan Mahkamah Agung Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, http://www.google.co.id, diakses tanggal 20 Januari 2013.

Manshurzikri, faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi mengacu kepada kasus korupsi gayus tambunan, http://manshurzikri. wordpress.comdiakses tanggal 20 Januari 2013.

Ninil Eva Yustina, Perbuatan Melawan Hukum Materiil (Materiel Wederrechelijkheid) dalam Tindak Pidana Korupsi pada Praktik Peradilan Indonesia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, http://www.google.co.id, diakses tanggal 20 Januari 2013.

Positivego.blogspot.com, Speed KPK dalam upaya pemberantasan krorupsi