Hasil Penelitian 1. Deskripsi Hasil Penelitian

4.2. Hasil Penelitian 4.2.1. Deskripsi Hasil Penelitian

4.2.1.1 Penerimaan diri

Penerimaan diri adalah sebuah proses yang dialami oleh partisipan. Ada bermacam-macam reaksi partisipan saat mengetahui anaknya merupakan anak berkebutuhan khusus ABK. Reaksi-reaksi dari partisipan ini merupakan proses untuk penerimaan diri. Beberapa partisipan mengalami perasaan menolak keadaan anak. Lihat dalam tabel kategorisasi, lampiran 5. Penolakan ini merupakan proses untuk penerimaan diri. Reaksi penolakan yang timbul adalah perasaan-perasaan kecewa, malu, ketakutan. Selain itu, partisipan juga mengalami perasaan “down” saat mengetahui anaknya merupakan anak spesial. Ada juga partisipan yang mengalami stres saat awal mengetahui kondisi anak. Setiap partisipan mengalami perasaan menolak sampai menerima keadaan anaknya dalam waktu yang berbeda-beda. Lama waktu ibu untuk menerima anaknya ini dipengaruhi juga oleh dukungan dari orang di sekitarnya. Semakin ibu merasa mendapat dukungan dari orang lain maka dapat semakin cepat ibu dapat menerima kehadiran anaknya. Pada P1 reaksi penolakan yang dialami terekspresikan dengan perasaan kecewa dan takut. P1 mengalami perasaan malu, kecewa dan ketakutan. P1 mengatakan ia menangis setiap hari dari awal mengetahui anaknya adalah ABK seperti terdapat dalam kalimat “…memang saya nangis terus saya nangis terus karna sebelum dia lahir setelah diberitahu anak ini akan diberikan down syndrome saya nangis setiap kali ke gereja saya melihat foto kami dengan peta dunia saya dan suami saya di Indonesia saya nangis karna kami tidak tahu boleh kembali atau tidak. Sepertinya impian kami memang hancur jadi saya nangis terus …” P1, 136-139 Pada saat P1 mengalami penolakan dalam dirinya, orang di sekitar P1 selalu memberikan dukungan untuknya. P1 akhirnya menyadari bahwa anaknya merupakan pemberian Tuhan dan mulai terbuka untuk menerima anaknya. Saat P1 mulai terbuka untuk menerima anaknya, P1 merasa ada jalan terbuka untuk semua yang terjadi padanya. Sedangkan pada P2 proses penolakan sedikit terlihat dari cerita partisipan saat wawancara, sebelum P2 mendapatkan saran dari temannya, P2 tidak pernah membawa anaknya untuk bersosialisasi dengan lingkungan. P2 dapat membawa anaknya untuk bersosialisasi setelah mendapat dukungan dari teman-temannya. P2 mengatakan menerima anaknya dari awal karena memang anak tersebut merupakan anaknya dan juga menerimanya sebagai takdir. P2 menganggap keadaan anaknya merupakan kehendak Tuhan dan bukan hukuman untuknya. Hal tersebut disebutkan oleh P2 seperti dalam kalimat “…saya cuma mengikuti kehendak Tuhan aja gimana harusnya kalo saya mau sih pengennya anak saya sehat dan normal seperti orang lain tapi Tuhan kan berkehendak lain jadi saya cuma mengikuti seperti i tu.” P2, 268-270 Pada P3 dan P5 proses penolakan itu terlihat dari hasil wawancara yaitu, partisipan merasa stres saat awal mengurus anaknya yang spesial tersebut. Perasaan stres itu ada karena segala usaha yang partisipan lakukan untuk anaknya tidak ada perkembangan apa-apa. Namun akhirnya partisipan dapat menerima keadaan anak karena penerimaan dari ibu yang membuat anak berkembang menjadi lebih baik, ini sesuai dengan yang disebutkan dalam kalimat “…waktu pertama-tama ya stress to ka kalo udah dibawa ke sana ke sini kesana ke sini kok perkembangane ga begitu…” P3, 384-385 “…pernah stress ya pas awal-awal terapi itu dia kan masih lari sana lari sini …” P5, 310 Pada P4 juga terlihat adanya proses penolakan. Penolakan tersebut terlihat dalam hasil wawancara dimana partisipan mengatakan merasa “down” saat mengetahui partisipan memiliki anak spesial. Partisipan merasa memiliki anak spesial itu adalah beban. Partisipan lalu mendapatkan dukungan dari orang sekitar yang membuat partisipan akhirnya menerima anaknya. Dukungan yang diberikan itu berupa nasihat dan masukkan dari orang tua yang juga memiliki ABK, bahwa memiliki ABK bukanlah beban tapi merupakan titipan dari Tuhan yang harus dibanggakan. Seperti disebutkan dalam kalimat “Awalnya down sih mbak, kok saya dikasih apa cobaan seperti ini kok saya apa dikasih ehmmm beban seperti ini gitu…” P4, 11-12

4.2.1.2 Relasi yang baik dengan orang lain

Perasaan diterima ataupun ditolak dialami oleh partisipan secara beragam terkait partisipan memiliki ABK. Ada beberapa partisipan yang ditolak oleh keluarga maupun di lingkungan karena keadaannya. Pada P1 dan P2 mendapat penolakan dalam keluarganya. Ayah dari P1 menolak keadaan anaknya, ayahnya berpikir seharusnya P1 menggugurkan anaknya saat pertama mengetahui bahwa anak yang dikandungnya adalah ABK. Lihat dalam tabel kategorisasi, lampiran 5. Sama dengan P1, P2 juga mengalami penolakan oleh ayah anaknya yang juga mantan suaminya. Penolakan ini ditunjukkan dengan ketidakpeduliaan dengan keadaan anak pertama partisipan dan hanya menanyakan keadaan kedua anak partisipan yang lain. Namun, P1 mendapat dukungan dari lingkungan yaitu, dari orang gereja dimana dia melayani. Sedangkan P2 mendapat dukungan dari beberapa teman. Untuk lingkungan sekitar P2 beberapa masih meremehkan keadaan anak partisipan dengan mengejek anak partisipan. Seperti disebutkan dalam kalimat “di sini anak-anak pun seperti itu mengejek kalo orang tuanya mungkin memang didikan dari orang tuanya seperti itu karna orang tuanya aja melotot apalagi anak-anak ga punya akal ga diarahkan nah baru di sini saya merasa oh anak saya kok dianggap remeh sama orang” P2, 52-52 Partisipan lainnya mengalami hal yang serupa yaitu menjadi bahan pembicaraan orang lain di lingkungannya. Pembicaraan orang lain ini membuat P3 dan P4 sakit hati. Seperti terdapat dalam kalimat “…karna omongan orang yang bikin saya sakit hati.” P3, 262 “…omongan orang-orang mungkin kadang mengikis hati ya…” P4, 53 Walaupun begitu tidak ada perubahan sosial kedua partisipan. Hubungan P3 dan P4 dengan lingkungan sekitar tetap baik. Relasi P3 dengan lingkungan terlihat baik berdasarkan observasi peneliti. Para tetangga maupun anak-anak mau bermain dan berkumpul di rumah partisipan saat sore hari. Hal ini disebutkan dalam kalimat P5 mendapat dukungan dari keluarganya dalam membesarkan anaknya yang memiliki kebutuhan khusus. Relasi partisipan dengan orang lain juga baik walaupun ada juga orang yang memandang negatif dan menyisihkan anak partisipan. Dari observasi peneliti terlihat P5 memiliki relasi yang baik dengan sekitarnya, tetangga partisipan mau mengobrol dan bermain dengan anak partisipan tanpa merasa aneh. Ini disebutkan dalam kalimat “Orang itu kan pada dasarnya sama saja to mbak macem-macem pola pikirnya ya mbak jadi ada yang mendukung anak saya ada yang engga mau sama anak saya kan dimana aja sama saja to kayak ibu-ibu yang di sini banyak kan yang mendukung anak saya.” P5, 440-442

4.2.1.3 Otonomi

Memiliki anak berkebutuhan khusus membuat orang tua khususnya ibu memberikan waktunya secara penuh untuk perkembangan anaknya. Semua partisipan memiliki usahanya masing-masing agar anaknya menjadi lebih baik. P1, P3, P4 dan P5 bekerja sama dengan suaminya dalam melakukan usaha-usaha tersebut. Lihat dalam tabel kategorisasi, lampiran 5. Berbeda dengan partisipan yang lain, P2 merupakan seorang single parents dimana itu berarti partisipan mengusahakan segala sesuatu untuk anaknya seorang diri. Dengan keadaan seperti ini bukan berarti menjadi kelemahan partisipan, keadaanya malah membuatnya semakin berusaha lagi. P2 berusaha terus untuk kebaikan anaknya dengan membawa anaknya terapi maupun memberikan terapi kembali saat sudah berada di rumah. Sama dengan P2, partisipan lainnya seperti P3, P4 dan P5 juga melakukan hal yang sama yaitu membawa anaknya untuk terapi. Para partisipan juga mengulang kembali apa yang sudah diajarkan diterapi setelah berada di rumah. Partisipan juga menyekolahkan anaknya agar perkembangan anak dapat maksimal. Partisipan juga mengerti keadaan dan kebutuhan untuk anaknya. P1 sendiri bersedia untuk menjadi guru dan pendamping untuk anaknya di sekolah setelah diberitahu bahwa anaknya sudah tidak dapat bersekolah di sekolah tersebut karena tidak ada guru yang mampu mengajar ABK. Seperti disebutkan dalam kalimat “...jadi mulai kelas 2 SD saya menjadi guru anak saya setiap hari saya ke sekolah dan saya mendidik anak saya tetap diterima di kelas itu...” P1, 361-362

4.2.1.4 Penguasaan lingkungan

Dalam penguasaan lingkungan setiap partisipan memiliki cara yang berbeda-beda sesuai kemampuannya. Semua partisipan memiliki penguasaan lingkungan yang baik. Para partisipan dapat menciptakan keadaan lingkungan agar sesuai dengan anak mereka. Lihat dalam tabel kategorisasi, lampiran 5. Para partisipan memiliki cara yang berbeda dalam menunjukkan penguasaan llingkungannya. P1, partisipan mengajarkan anaknya menghafal A-Z dan membaca sejak dini, sehingga orang tidak akan tahu kondisi anaknya karena anaknya sudah dapat membaca sejak kecil. Seperti disebutkan dalam kalimat “saya selalu mendidik anak saya membaca buku saya punya foto anak saya waktu usia 2 tahun dia sudah hafal A B C D sampai Z dia sudah usia 4 tahun dia sudah mulai baca ” P1, 311-313 Dalam kesehariannya, P2 membawa anaknya keluar hanya pada saat akan terapi. Partisipan tidak pernah membawa anak keluar untuk bersosialisasi. Suatu ketika P2 mendapatkan saran dari temannya untuk membawa anaknya keluar agar orang lain melihat anaknya. P2 akhirnya memikirkan itu dan sekarang partisipan membawa anaknya keluar untuk berjalan-jalan, sehingga anak P2 dapat bersosialisasi dengan orang sekitarnya. Seperti disebutkan dalam kalimat “…ndak papa setiap tetangga yang dekat saya kunjungi semua anak saya bawa kadang-kadang sore juga ngerumpi saya bawa anak saya gitu.” P2, 122-125 Cara P3 menguasai lingkungan adalah dengan membuktikan bahwa anaknya bukanlah idiot. P3 selalu membiasakan anaknya keluar untuk bersosialisasi dengan lingkungannya setelah anaknya bisa berjalan dan berbicara pada usia 4 tahun. Seperti yang disebutkan dalam kalimat “…omongan orang ternyata anakmu idiot itu yang saya buktikan oh ternyata anak saya engga makanya anak saya tak saya keluarkan terus” P3, 110-111 P4 lebih tidak memperdulikan pembicaraan orang lain tentang kondisi anaknya. P4 menguasai lingkungan dengan menjelaskan bagaimana kondisi anaknya setiap kali ada yang menanyakan anaknya, sehingga orang lain mengerti kondisi anaknya. Seperti terdapat dalam kalimat “Kadang nanya kok belom bisa ngomong gitu iya ini belom waktunya terapi terus ini.” P4, 109 Anak P5 memiliki tingkah laku yang hiperaktif untuk itu partisipan harus memberitahu anaknya secara terus menerus untuk tidak melakukan hal mengganggu tetangganya. Hal ini dilakukan untuk menguasai lingkungan sehingga anaknya dapat diterima dan tidak mendapat perilaku buruk. Partisipan hanya mendiamkan saja pembicaraan orang lain tentang anaknya dan membawa anaknya hanya ke orang-orang yang dapat menerima anaknya saja agar pertumbuhan serta perkembangan anaknya tidak terganggu dengan lingkungan yang menolaknya. Seperti disebutkan dalam kalimat “Ya orang kan ada yang welcome sama anak saya sama ada yang engga ya saya ngajak anak saya bergaul sama yang welcome aja kalo yang engga yaudah gausah” P5, 468-469

4.2.1.5 Tujuan hidup

Setiap orang tua memiliki harapan dan tujuan yang besar untuk anaknya. Sedangkan orang tua dengan anak spesial sama-sama memiliki satu harapan terbesar yaitu anaknya bisa menjadi seperti anak lainnya. Maksud dari anak lainnya adalah anak yang normal dapat memiliki aktivitas, kegiatan fisik yang seperti anak pada umumnya dan mampu berpikir seperti anak seusianya lihat dalam tabel kategorisasi, lampiran 5. Semua partisipan memiliki harapan untuk anaknya dapat menjadi mandiri dan dapat beraktifitas seperti anak lainnya. Seperti disebutkan dalam kalimat “Tujuan saya yang khusus sih buat anak saya buat anak saya tumbuh normal gitu…” P5, 190 P1 dan P3 memiliki harapan yang sama yaitu agar anaknya dapat lulus sekolah. Selain itu, P1 mengatakan ingin anaknya menjadi seorang yang mandiri walaupun tidak 100 maupun ingin anaknya bekerja dan menikah. Seperti disebutkan dalam kalimat “Prinsip saya gini loh ka setidaknya gitu anak gini biar bisa dapet ijazah lah jadinya kakanya sekolah adeknya tetap” P3, 319-320 P1 juga menginginkan anaknya dapat menjadi teladan bagi anak yang lainnya, seperti yang terdapat dalam kalimat “…saya merasa anak saya terpanggil tinggal di Indonesia ehm sebagai dan dia bisa menjadi teladan terus sampe dia sudah dewasa sampe dia meninggal…” P1, 415-416 Harapan untuk anaknya menjadi teladan juga disampaikan oleh P4 dan P5. Seperti disebutkan dalam kalimat “Ada harapannya anak saya bisa bertumbuh berkembang sempurna lagi seperti anak-anak yang lain dan bisa apa menjadi anak yang berguna ya mungkin buat nusa dan bangsa gitu harapannya” P4, 120-121 “…buat anak saya tumbuh normal gitu kan juga orang- orang lain yang punya anak berkebutuhan khusus biar engga sukanya diumpetke gitu mbak bukannya diterapi…” P5, 190-192 Dalam kehidupannya P2 pernah mengalami keputusasaan karena keadaan anaknya. Tetapi partisipan berpikir keputusasaan tidak membuat semuanya berubah sehingga partisipan kembali menerima keadaan anaknya. Sama seperti partisipan lainnya P2 memiliki harapan terbesar P2 adalah agar anaknya bisa normal. Seperti disebutkan dalam kalimat “…bisa normal itu harapan terbesar walaupun itu tidak mungkin tapi tetep harap” P2, 419 Para partisipan juga memiliki harapan yang lain. Harapannya adalah agar pengalaman para ibu yang sudah membesarkan anak berkebutuhan khusus ini dapat menjadi inspirasi untuk orang lain. Besar harapan juga agar orang tua yang memiliki anak seperti partisipan untuk terbuka untuk menyembuhkan anaknya bukan malah menyembunyikan anaknya. Seperti yang disebutkan dalam kalimat “..saya ingin lewat anak saya ini mungkin saya suatu saat bisa membagikan orang kan yang apa yang nasibnya seperti saya gini yan punya anak yang apa autis bisa membagikan kalo saya sudah berhasil dalam mendidik anak saya ini.” P4, 130-132

4.2.1.6 Pertumbuhan diri

Memiliki anak berkebutuhan khusus membuat beberapa perubahan dalam kehidupan keluarga. Perubahan ini dialami oleh semua partisipan dalam penelitian ini. Partisipan mengatakan menjadi lebih sabar setelah memiliki, merawat serta membesarkan ABK. Partisipan juga mengalami perubahan yang berbeda-beda dalam diri partisipan. Lihat dalam tabel kategorisasi, lampiran 5. P1 mengakui adanya perubahan pandangan hidup setelah memiliki anak berkebutuhan khusus. Partisipan juga mengatakan dengan kehadiran anaknya memulihkan kehidupan partisipan. “…anak saya adalah gips saya yang melatih saya berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip kerajaan Tuhan bukan prinsip-prinsip duniawi jadi anak adalah gips saya..” P1, 441-442 P2 menyadari bahwa dirinya tidak memiliki kontrol dalam kehidupan sehingga memiliki anak dengan keadaan spesial itu membuat partisipan menjadi lebih pasrah. Seperti disebutkan dalam kalimat “..saya cuma mengikuti kehendak Tuhan aja gimana harusnya kalo saya mau sih pengennya anak saya sehat dan normal seperti orang lain tapi Tuhan kan berkehendak lain jadi saya cuma mengikuti seperti itu” P2, 268-270 P3 menyadari bila menginginkan anaknya menjadi lebih baik semuanya harus dilakukan dari partisipan. Dengan ibu sendiri menerima anaknya dan mengusahakan segala sesuatu untuk anaknya, maka anaknya akan berkembang lebih baik. Seperti disebutkan dalam kalimat “…saya ngelogro cuma ngedengar tetangga bilang halah bocah idiot bocah idiot kan saya menangis anak yo ra piye-piye gitu setelah ada apa-apa saya ikut. Oh iyaya ternyata memang harus dari saya nyatanya anaksaya tambah bagus saya cuma gitu” P3, 294-296 P4 mengambil hikmah dari kejadian yang partisipan alami. Partisipan pun tahu bahwa Tuhan memberikan anak ini bukan hanya kelemahan saja tapi Tuhan juga memberikan kelebihan pada anaknya. Seperti disebutkan dalam kalimat “…kita harus bangga punya anak seperti ini juga titipan dari Tuhan gitu ya nah itu saya ambil hikmahnya dan terus apa ya gimana lagi kalo dikasih anak seperti ini kan harus tetep dijaga kita harus diapa digali mung kin kepinterannya” P4, 14-16 Setelah memiliki anak berkebutuhan khusus, P5 menjadi lebih bersyukur lagi dengan keadaan anaknya. Dalam menghadapi suatu masalah partisipan menjadi lebih tenang dan tidak mudah terpancing emosi. Seperti disebutkan dalam kalimat “..Kita kan jadi bersyukur mbak, dulu kan sudah anak saya kayak gini parah kasian gimana setelah kita tahu banyak anak-anak berkebutuhan khusus lebih lagi kan saya jadilebih bersyukur Alhamdulilah lebih bersyukur lebih baik masih banyak yang autis yang hydrocephalus” P5, 193-196

4.3. Pembahasan

Dokumen yang terkait

Gambaran Kesejahteraan Psikologis Pada Ibu Yang Memiliki Anak Tunagrahita

9 114 115

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kesejahteraan Psikologis Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita di Kota Salatiga T1 462012052 BAB I

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kesejahteraan Psikologis Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita di Kota Salatiga T1 462012052 BAB II

0 2 19

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kesejahteraan Psikologis Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita di Kota Salatiga T1 462012052 BAB V

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kesejahteraan Psikologis Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita di Kota Salatiga

0 1 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kesejahteraan Psikologis Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita di Kota Salatiga

0 2 109

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Strategi Koping pada Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahta di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Salatiga T1 462012092 BAB IV

0 0 37

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Religiusitas dengan Resiliensi pada Ibu yang Memiliki Anak Retardasi Mental T1 802007090 BAB IV

0 0 20

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan antara Gratitude dengan Psychological Well-Being Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita

0 0 2

BAB I PENDAHULUAN - Gambaran Kesejahteraan Psikologis Pada Ibu Yang Memiliki Anak Tunagrahita

0 0 15