POLA KOMUNIKASI PASANGAN SUAMI ISTRI ARAB DENGAN NON ARAB DI DALAM KELUARGA (Studi Pada Pasangan Suami dan Istri Arab-Non Arab di Bandar Lampung)

(1)

ABSTRACT

COMMUNICATION PATTERN OF THE COUPLE ARAB AND NON ARABIC CULTURE IN THE FAMILY

(Study On Couples Arab-Non Arabic In Bandar Lampung)

By

Malani

From the researah, the raised of the problem in these multicultural marriages by the difference levels of education and experience from each couple cause different way in solving the problems that arise. But the culture of each personal remains one of support in solving the existing problems. A variety of factors that supporting each partner in solving the problem turned out to be less than the impact of cultural factors of each couples.

Due to cultural factors that have the greatest role in this study with a variety of differences in upbringing and cultural differences and also the experience of each couple tend to be more dominant to Arab culture. So that the communication patterus made by both husband and wife of these different cultures refer to the upside communication patterus that refer to A. DeVito, where their maariage can only survive at least will survive because both parties feel they have contributed to one another.


(2)

ABSTRAK

POLA KOMUNIKASI PASANGAN SUAMI ISTRI ARAB DENGAN NON ARAB DI DALAM KELUARGA

(Studi Pada Pasangan Suami dan Istri Arab-Non Arab di Bandar Lampung)

Oleh

Malani

Indonesia merupakan Negara multikultural yang memiliki keberagaman budaya, termasuk adanya pengaruh budaya lain. Fenomena masuknya etnik Arab ini ke Lampung, ermigrasi hingga berbaur dengan masyarakat sekitar sampai akirnya menikahi masyarakat setempat- banyak terjadi. Sehingga dari fenomena tersebut munculah berbagai kenyataan pada etnik ini karena telah menikahi masyarakat lokal memberikan berbagai macam masalah baru, maka akan dijabarkan mengenai berbagai kenyataan serta masalah-masalahnya dan membentuk harapan-harapan dair berbagai penelitian yang akan dilakukan serta dapat membentuk kesenjangan yang terjadi pada dua etnik yang berbeda ini.

Dari hasil penelitian timbulnya masalah-masalah pada perkawinan campur ini dengan adanya tingkatan pendidikan serta pengalaman yang berbeda-beda dari setiap pasangan membuat masing-masing pasangan ini sendiri memiliki cara yang berbeda-beda dalam penyelesaian masalah-masalah yang timbul. Tetapi budaya dari masing-masing personal tetap menjadi salah satu penunjang di dalam penyelesaian masalah-masalah yang ada. Beragam faktor yang menjadi penunjang masing-masing pasangan di dalam menyelesaikan masalah ternyatan berdampak lebih kurang dibandingkan faktor budaya dari masing-masing pasangan ini. Budaya Arab yang lebih mendominasi sehingga pola komunikasi yang dilakukan oleh kedua pasangan suami dan istri yang berbeda budaya ini merujuk kepada ketiga pola yaitu: Pola Komunikasi satu Arah dengan Keseimbangan Terbalik, Pola Komunikasi satu arah dengan keseimbangan, dan Pola Komunikasi satu arah dengan Pola Komunikasi Pemisah Tidak Seimbang.


(3)

DENGAN NON ARAB DI DALAM KELUARGA

(Studi Pada Pasangan Suami Istri Arab-Non Arab Di Bandar Lampung)

Oleh MALANI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA ILMU KOMUNIKASI

Pada

Jurusan Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(4)

POLA KOMUNIKASI PASANGAN SUAMI ISTRI ARAB DENGAN NON ARAB DI DALAM KELUARGA

(Studi Pada Pasangan Suami Istri Arab-Non Arab Di Bandar Lampung)

(Skripsi)

Oleh

Malani

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(5)

(6)

(7)

(8)

MOTO


(9)

Dengan tulis dan cinta kasih, kupersembahkan skripsi ini untuk Allah SWT yang telah memberikan cobaan berarti dalam hidupku

Kepada orang tuaku...

Papa papa dan Mami atas cinta, kasih sayang, kepercayaan, kesabaran, dukungannya untuk Lani yang selalu siap setiap saat

Saudari dan Saudaraku....

Mba Laras (riri), Apollwn dan Azka atas cinta kasih kalian, kesabaran, dukungan serta nasihat-nasihatnya.

Kepada keempat sahabatku....

Sakti, Feby, Sandra, Dan Mega, atas kesetiaan kalian dukungan mental dan berbagai dukungan lainnya, banyak terimakasih atas semua bantuan

kalian.

Dan yang terakhir ....

Ibu Nina selaku dosen pembimbingku yang selalu siap membantu dan mendukung moral dan mental memberikan semangat yang tidak pernah

putus, terimakasih bu, sungguh sangat berarti hal itu bagiku.


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Malani Kiki Zanetou. Penulis dilahirkan di Kota Bandar Lampung pada tanggal 11 Februari 1993. Penulis merupakan putri dari pasangan Bapak Theoktistos Zanetos dan Ibu Kartika Sari.

Riwayat pendidikan penulis dimulai pada tahun 1998 sampai 1999 di Taman Kanak-kanak Fransiskus Tanggamus. Setelah itu melanjutkan di Sekolah Dasar Fransiskus di Tanggamus pada tahun 1999 dan tamat pada tahun 2005. Pada tahun yang sama pula, penulis melanjutkan sekolah di SMA AL-AZHAR 3 Bandar Lampung.

Setelah tamat dari SMA tahun 2011 penulis melanjutkan Studi pada Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Lampung.


(11)

SANWACANA

Alhamdulillahhirobbilalamin, segala puji hanya milik Allah SWT semata, karena hanya dengan izin kehendaknya semata maka penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul : Pola Komunikasi Pasangan Suami-Istri Arab-Non Arab di Dalam Keluarga (Studi Kasus pada Pasangan Suami-Istri Arab-Non Arab Di Bandar Lampung).

Skripsi ini disusun sebagai persyaratan untuk mendapat gelar sarjana Ilmu Komunikasi Pada Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Drs. Hi. Agus Hadiawan, M. Si., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik di Universitas Lampung.

2. Bapak Drs. Teguh Budi Raharjo, M.Si selaku ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

3. Bapak Drs. Sarwoko, M. Si., selaku dosen pembahas, terimakasih atas dukungan mental serta telah sabar mengajarkan dan mengarahkan saya selama ini.

4. Ibu Dr. Nina Yudha Aryanti, S.Sos, M.Si., selaku dosen pembimbing yang tidak henti memberikan semangat serta saran yang sangat membantu dalam penyusunan skripsi ini, terimakasih banyak bu.

5. Bapak dan Ibu Dosen FISIP umumnya dosen Jurusan Ilmu Komunikasi atas segala ilmu yang telah diberikan kepada penulis.

6. Papa dan mamiku yang selalu mendoakan dan memberi dukungan baik secara moral maupun materil serta cinta kasih dan sayang.

7. Oldsis, Kak Laras kakak tertuaku atas cinta, doa, dan saran semangat yang telah diberikan.


(12)

9. Sahabatku Feby, Sandra, Sakti, dan Mega yang tidak henti memberikan dukungan, kesetiaan, dan kasih sayang serta berbagai bantuannya selama ini, sungguh sangat berarti.

10.Terimakasih kepada mas Gigih atas bantuan dan dukungannya.

11.Kepada seorang teman dekat yang pernah hadir memberikan banyak arti selama tujuh tahun lamanya.

12.Kepada seorang teman yang selama satu tahun lebih ini memberikan banyak masukan serta didikan keras yang dirasa sangat membantu di dalam perubahan keseharianku, terimakasih.

13.Teman-teman seperjuanganku Ilmu Komunikasi angkatan 2011 yang kurang lebih selama empat tahun memberikan bergitu banyk warna di dalam kehidupan yang indah ini, terimakasih kawan akhirnya perjuangan kita semua telah selesai pada tahap pertama ini, membentuk awalan baru, terimakasih.

14.Terimakasih kepada semua informan yang telah bekerja sama dengan baik. 15.Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terimakasih atas

seluruh dukungan selama ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak jauh dari sempurna. Atas kekurangan yang ada, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya, karena memang tidak ada seorangpun yang sempurna di dunia ini.

Akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak,kususnya rekan-rekan mahasiswa/i Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

Bandar Lampung, Januari 2016 Penulis,


(13)

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ABSTRAK HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERSETUUAN RIWAYAT HIDUP MOTTO PERSEMBAHAN SANWACANA DAFTAR ISI DAFTAR BAGAN DAFTAR TABEL

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Kegunaan Penelitian... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka ... 7

2.1.1 Tabel Penelitian Terdahulu ... 8

2.2 Tinjauan Tentang Pola Komunikasi ... 10

2.3. Komunikasi Antar Pribadi ( Komunikasi Keluarga Sebagai Kelompok Sosial) ... 12

2.1.1 Perspektif Komponensial ... 12

2.1.2 Perspektif Proses Pengembangannya ... 14

2.1.3 Perspektif Relasional ... 14

2.4. Pengertian Keluarga ... 15

2.4.1 Fungsi Keluarga ... 15

2.4.2 Geneologi (Sistem Kekerabatan), Patrilineal dan Matrilineal 17 2.4.3 Patriarki dan Matriakat ... 20

2.5. Pengertian Pernikahan ... 23

2.5.1 Pengertian, Kewajiban dan Peran Suami Istri ... 24

2.6. Tinjauan Tentang Komunikasi Antar Budaya... 25

2.6.1 Prinsip-Prinsip Komunkasi Antarbudaya ... 27

2.6.2 Hambatan Komunikasi Antarbudaya ... 30

2.7 Tinjauan Tentang Budaya ... 32


(14)

2.10 Kerangka Pikir ... 45

METODE PENELITIAN BAB III 3.1 Tipe Penelitian ... 47

3.2 Definisi Konsep ... 48

3.3 Fokus Penelitian ... 49

3.4 Sumber Informasi ... 50

3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 50

3.6 Teknik Analisa Data ... 51

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Sejarah Singkat Kota Bandar Lampung ... 53

4.1.1 Keadaan Geografi Kota Bandar Lampung ... 55

4.1.2 Keadaan Topografi Kota Bandar Lampung ... 56

4.2 Keadaan Penduduk Kota Bandar Lampung ... 56

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1. Profil Informan ... 58

5.1.2 Tabel Identitas Informan ... 59

5.2 Informasi Keluarga... 60

5.3 Hasil Wawancara dan Observasi ... 64

5.4.Tabel Rekapitulasi Hasil Penelitian ... 75

5.4.1 Pembahasan ... 82

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 87

6.2 Saran ... 88 DAFTAR PUSTAKA


(15)

DAFTAR BAGAN


(16)

DAFTAR TABEL

Tabel

1. Table Penelitian Terdahulu ... 8

2. Tabel Kependudukan ... 57

3. Tabel Identitas Informan ... 59


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara multikultural yang memiliki keberagaman budaya, termasuk etnis Arab yang mempengaruhi Negara Indonesia sejak 100 tahun sebelum masuknya zaman penjajahan Belanda dahulu. Lampung adalah salah satu daerah strategis dekat Tanjung Priok, pintu masuknya jalur perdagangan bebas sejak zaman dahulu. Bangsa Arab merupakan bangsa yang keberadaannya tidak sedikit di Indonesia. Bangsa Arab yang telah bermigrasi ke Lampung, berbaur dengan masyarakat sekitar, berinteraksi antar bangsa dan antar budaya yang dimunculkan oleh etnik Arab itu sendiri kepada masyarakat sekitar. Fenomena masuknya etnik Arab ini ke Lampung, bermigrasi hingga berbaur dengan masyarakat sekitar sampai akhirnya menikah dengan masyarakat setempat telah banyak terjadi. Saat ini di Indonesia pernikahan dengan perbedaan etnis tidak terlalu sulit untuk ditemui, termasuk pernikahan beda budaya antara Arab dengan Indonesia, karena telah terjadi interaksi antar budaya dan bangsa. Fenomena tersebut menimbulkan berbagai kenyataan pada etnik ini yang telah menikah masyarakat lokal, dengan memberikan masalah baru sehingga penulis akan menjabarkan tentang berbagai kenyataan serta masalah-masalahnya dan membentuk harapan-harapan, dari berbagai penelitian yang telah dilakukan, serta


(18)

dapat membentuk kesenjangan yang terjadi pada kedua etnik yang berbeda ini (Pra riset pada bulan Mei di daerah Teluk dengan pasangan suami istri beretnis Arab yang tertua).

Dari fenomena tersebut maka pernikahan yang berbeda etnis ini akan banyak menimbulkan masalah-masalah. Dari kasus ini, pernikahan berbeda etnis ternyata dengan berjalannya seiring waktu menjadi sangat sulit dan rumit dijalani. Dengan banyaknya perbedaan latar belakang, perbedaan-perbedaan kultur, bahasa, pola pikir, konsep diri, perilaku, kebiasaan-kebiasaan, tata bicara (volume suara), perbedaan bahasa, gaya hidup, tradisi dari budaya masing-masing, perbedaan-perbedaan nilai, batas geografis untuk pasangan yang berjarak jauh, luar wilayah yang mempengaruhi pergaulan, bahkan pergaulan anak dan tentang siapa yang akan bertanggung jawab atas apa yang akan dipelajari oleh anak, akan menimbulkan berbagai masalah dan rusaknya hubungan bahkan berakhirnya pernikahan.

Sulitnya menghadapi perbedaan, ketidaksiapan pemahaman tentang budaya dan etnik satu sama lain bisa jadi perbedaan yang sangat besar dari dua pribadi yang berlainan budaya, membuat harapan-harapan tidak sesuai kenyataan tanpa sadar ataupun tidak, akan menimbulkan banyak masalah tekanan yang berujung pada masalah perceraian, yang sebelumnya pernikahan ini yang telah diperkirakan akan bertahan ternyata pupus.

Harapan penulis seharusnya, pasangan yang berani dalam memutuskan untuk menikah dengan adanya perbedaan etnis memiliki kesabaran dan energi ekstra dalam menghadapi berbagai kondisi yang akan terjadi di dalam rumah tangga.


(19)

Pasangan satu sama lain dapat bersikap sebagai seorang yang mampu mengamati, mempelajari adat istiadat dari budaya masing-masing, mampu mendengar nasihat dari berbagai pihak maupun pasangannya sendiri mengenai berbagai hal, tidak malu untuk bertanya tentang suatu hal yang tidak dimengerti, memiliki ketangguhan, mampu menjalani dengan sepenuh hati, mampu menyikapi dan mengatasi masalah dengan kepala dingin serta komunikasi yang baik.

Perbedaan adalah hal yang wajar bahkan bukan masalah yang perlu diperdebatkan. Pasangan membutuhkan penghormatan terhadap masing-masing nilai serta adat istiadat, tetapi jangan pula kita melupakan adat istiadat kita sendiri. Dengan adanya kemampuan dalam menyikapi dan mengatasi berbagai perbedaan dan masalah antar pasangan, akan menimbulkan hubungan yang sinergi serta sehat.

Berbagai kesenjangan yang terjadi pada masing-masing pasangan adalah tidak mahirnya berkomunikasi yang baik antar satu sama lain mengenai budaya, adat istiadat, pola pikir, luar wilayah (peran geografis), konsep diri, bahasa, perilaku, kebiasaan etnik masing-masing budaya, tata bicara (volume suara), perbedaan kultur, hubungan jarak jauh, tradisi, gaya hidup, dan bermacam hal lainnya akan menimbulkan rusaknya hubungan dalam jangka waktu yang sebentar. Ketidaksiapan jiwa dalam menyikapi berbagai macam perbedaan membuat rusaknya hubungan dalam skala cepat, serta kerasnya pemikiran satu sama lain, besarnya ego menimbulkan berbagai macam hal baru. Masalah kecil menjadi besar maupun malah sebaliknya. Tidak semua dapat berkomunikasi dengan baik. Bahwa tidak semudah teori , bahkan praktiknya sulit sekali


(20)

oleh sebagian masyarakat, terutama pada masyarakat-masyarakat yang tidak memiliki pendidikan tinggi, atau yang berpengalaman. Pemikiran yang malas dan ego yang tinggi pada masing-masing pasangan yang tidak mau mempelajari, menghargai, menghormati, bertanya, bahkan bejalar kebudayaan dari pasangan masing-masing, membuat daftar panjang konflik yang terjadi, dan menjadikan rusaknya hubungan yang akhirnya menyebabkan kegagalan atau perceraian oleh kedua pasangan yang berbeda etnis ini, serta merusak semua yang telah diperjuangkan ketahap pernikahan yang telah disiapkan dan diimpikan oleh kedua pasangan.

Di Lampung penduduk dengan darah kebangsaan Arab dapat kita temui di daerah Teluk. Pra riset dalam pengembangan fenomena ini mencari migrasinya etnik Arab ke Lampung dimulai dari daerah Teluk tepatnya pada bulan Mei 2014, lokasi dimana peneliti akan melakukan penelitian yang selanjutnya mengenai Pola Komunikasi yang digunakan Pasangan Suami-Istrti Arab dan Non Arab di dalam keluarga. Migrasi masyarakat Arab ke Lampung, yang berdagang dan sebagian laki-laki masih lajang ataupun laki-laki yang sudah menikah memulai perdagangannya di kota Bandar Lampung. Dengan adanya migrasi masyarakat Arab untuk berdagang sekaligus dalam menyebarkan agama Islam terutama di Bandar Lampung, masyarakat Arab ini memulai membaur dan menikah dengan etnik setempat. Perbedaan kasta dari kedua sebutan masyarakat Arab yang berbeda ini pun dimulai. Masyarakat Arab Alawiyah harus menikahi sesama Alawiyah. Sedangkan untuk Arab Yaman kebebasan dalam menentukan pasangan sesama Arab diperbolehkan.


(21)

Fenomena yang telah terjadi ini membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian mendalam mengenai pernikahan etnik Arab dan masyarakat setempat yaitu masyarakat yang berkebudayaan Indonesia pada lokasi pencarian data dan wawancara.

Alasan memilih budaya Arab ini dalam penelitian adalah demi membangun sebuah penelitian baru di luar budaya Indonesia, yang sebelumnya budaya lainnya yaitu budaya Indonesia telah banyak dikaji dan diteliti oleh sebagian mahasiswa/i Universitas Lampung. Sedangkan budaya Arab sendiri belum pernah ada yang mengkaji atau meneliti sebelumnya. Serta menambah wawasan dan guna membantu penelitian yang baru mengenai pola komunikasi pernikahan berbeda budaya.

1.2.Rumusan Masalah

Berdasarkan Latar belakang masalah yang ada, maka rumusan masalah dari penelitian yang akan peneliti kaji lebih dalam adalah apa saja pola komunikasi yang digunakan oleh pasangan suami istri Arab dengan Non Arab dalam keluarga?

1.3.Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk menemukan pola komunikasi yang digunakan oleh pasangan suami istri Arab dengan Non Arab di dalam keluarga (Suami yang beretnis Arab beristri Indonesia dengan Istri yang beretnis Arab dengan suami yang beretnis Indonesia).


(22)

1.4.Kegunaan Penelitian

1. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu komunikasi dan juga diharapkan dapat menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya, khususnya yang berkaitan dengan pola komunikasi yang digunakan oleh pasangan suami dan istri yang berbeda budaya Arab dengan Non Arab di dalam keluarga.

2. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran, pengetahuan, gambaran dan informasi akan keseimbangan pola komunikasi yang digunakan oleh suami dan istri Arab dengan Non Arab di dalam keluarga.

3. Menambah karya tulis sebagai bahan referensi penelitian serupa di Universitas Lampung.


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Tinjauan Penelitian Terdahulu

Peneliti harus belajar dari peneliti lain, untuk menghindari duplikasi dan pengulangan penelitian atau kesalahan yang sama seperti yang dibuat oleh peneliti sebelumnya. Penelitian terdahulu dalam tinjauan pustaka memudahkan penulis dalam menentukan langkah-langkah yang sistematis dari teori maupun konseptual. Berikut ini adalah penelitian terdahulu yang menjadi acuan dan bahan referensi yang menunjang penulis untuk melakukan penelitian terkait tentang pola komunikasi dalam kelompok.


(24)

2.1.1 Tabel Penelitian Terdahulu

No Penulis Judul Metode Hasil Penelitian Kontribusi

Penelitian

Perbedaan Penelitian 1 Afdi

Maulfianti, mahasiswi Universitas Lampung jurusan Ilmu Komunikasi tahun 2011. Pola Komunikasi Sosial Masyarakat Suku Primitive Baduy Luar Dengan Masyarakat Luar Baduy Kabupaten Rangkasbitung Provinsi Banten.

Kualitatif Menganalisis tentang Masalah yang menjadi pokok bahasasan di dalam skripsi ini menyangkut bagaimanakah pola komunikasi yang terjadi antara masyarakat suku primitive Baduy Luar dan masyarakat yang bukan suku Baduy. Pada hasil penelitian ini, menjelaskan bahwa masyarakat suku primitive Baduy Luar tetap

berinteraksi dan berkomunikasi dengan kelompoknya maupun dengan yang bukan masyarakat baduy sendiri dengan menggunakan bahasa Sunda Banten. Pada penelitian ini pola komunikasi yang telah dijabarkan membantu penulis menemukan ide-ide Berta informasi tentang sumber ataupun bahasan mengenai pola komunikasi yang juga tertera atau dipakai penulis dalam penelitian yang selanjutnya. Penelitian ini hanya menerangkan mengenai pola komunikasi yang dipakai oleh kelompok Suku Primitive Suku Baduy Luar dan masyarakat yang bukan Suku Baduy. Sedangkan penelitian yang akan dilakukan selanjutnya oleh penulis melainkan Pola Komunikasi Pada Pasangan Suami dan Istri Arab dan Non Arab di dalam keluarga tentu berbeda .


(25)

fokus. 2 Sheila Bayu

Hapsari, Jurusan Manajement Komunikasi Eksistensi Fakultas Komunikasi Unpad 2011. Pola Komunikasi Dalam Lingkungan Suami Istri Pada Perkawinan Campuran antara, Budaya Makasar dan Budaya Sunda di Bandung.

Kualitatif Penelitian ini adalah adanya perkawinan campuran antaretnik antara budaya Makasar dan Sunda di Bandung yang memunculkan suatu keunikan tersendiri. Karakteristik yang berbeda dari masing-masing budaya dapat memicu suatu konflik. Proses penyesuaian dan bentuk komunikasi dalam melakukan penyesuaian serta hambatan- hambatan yang terjadi pada

perkawinan campuran antar budaya Makasar dan Sunda. Hasil yang didapat pada penelitian ini adalah perbedaan karakteristik• diantara lingkungan suami istri yang berbeda kebudayaan antara budaya Makasar dan Sunda dapat disatukan melalui suatu proses penyesuaian. Pada, pasangan ini memiliki bentuk komunikasi penyesuaian tersendiri dalam menyelesaikan konflik yang ada diantara mereka. Hambatan- hambatan yang terjadi diantara

mereka terdapat pada perbedaan selera dan karakteristik.

Banyak bahasan dari penelitian ini yang sama dengan penelitian yang akan dilanjutkan oleh penulis. Sumber-sumber yang begitu banyak membuat kontribusi sendiri terhadap penulis mengenai penelitiannya. Penelitian ini berbeda fokus antara perkawinan campuran antar etnik dalam Negeri sedangkan peneliti akan meneliti tentang perkawinan campuran beds etnik yaitu Arab dan Non arab.


(26)

2.2 Tinjauan Tentang Pola Komunikasi

Pola komunikasi diartikan sebagai bentuk atau pola hubungan dua orang atau lebih dalam proses pengiriman pesan dan penerimaan cara yang tepat sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. Dimensi pola komunikasi terdiri dari dua macam, yaitu pola yang berorientasi pada konsep dan pola yang berorientasi pada sosial yang mempunyai hubungan yang berlainan.

Tubbs dan Moss mengatakan bahwa "pola komunikasi atau hubungan itu dapat dicirikan oleh komplementaris atau simetris. Dalam hubungan komplementer satu bentuk dominan dari satu partisipan mendatangkan perilaku tunduk dan lainnya. Dalam simetri, tingkatan sejauh mana orang berinteraksi atas, dasar kesamaan. Dominasi bertemu dengan dominasi atau kepatuhan dengan kepatuhan" (Tubbs, Moss, 2001: 26). Disini kita mulai melihat bagaimana proses interaksi menciptakan struktur sistem. Bagaimana orang merespon satu sama lain menentukan jenis hubungan yang mereka miliki.

Dari pengertian tersebut maka suatu pola komunikasi adalah bentuk atas pola hubungan antara dua orang atau lebih dalam proses pengiriman dan penerimaan pesan yang dikaitkan oleh dua kompenen, yaitu gambaran atau rencana yang meliputi langkah-langkah pola suatu aktifitas dengan komponen-komponen yang merupakan bagian penting dari sebuah hubungan komunikasi antar manusia atau kelompok dan organisasi.

Terdapat empat pola komunikasi antar suami dan istri menurut Joseph A. Devitto, (2007: 277-278) ialah:


(27)

1. Pola Keseimbangan

Pola keseimbangan ini lebih terlihat pada teori daripada prakteknya, tetapi ini merupakan awal yang bagus untuk melihat komunikasi pada hubungan yang penting. Komunikasi yang terjalin antara suami istri sangat terbuka, jujur, langsung, dan bebas.

Contoh: Jika suami dan istri dihadapkan pada konflik, maka dalam memecahkan konflik tersebut suami atau istri menyelesaikan masalah di dalam rumahtangganya dengan berkomunikasi secara langsung dengan sangat terbuka, bebas dan jujur.

2. Pola Keseimbangan Terbalik

Dalam pola keseimbangan terbalik, masing-masing anggota keluarga (suami-istri), dianggap bukan ancaman oleh si suami atau si istri karena keduanya memiliki keahlian sendiri-sendiri untuk menyelesaikannya.

Contoh: Pada pola keseimbangan terbalik ini, dalam memecahkan konflik yang terjadi suami ataupun istri memiliki keahliannya tersendiri dalam berkomunikasi sehingga konflik dapat terselesaikan dengan baik.

3. Pola Pemisah Tidak Seimbang

Satu orang dalam keluarga (si suami atau si istri) mendominasi.

Contoh: Pada konflik yang terjadi dominasi yang dilakukan oleh suami atau istri memiliki dua arti yang positif dan negatif. Arti positif suami ataupun istri memiliki keahlian tersendiri karena berbagai faktor tertentu, seperti keahlian dalam berkomunikasi ataupun tingkat pendidikan yang dapat menjadi pemecahan pada konflik rumahtangga ini. Sedangkan arti negatif suami


(28)

ataupun istri merasa mendominasi karena memiliki keahlian yang lebih dalam komunikasi sebagai pemecahan konflik yang terjadi di dalam keluarga.

4. Pola Monopoli

Si suami atau si istri sama-sama menganggap dirinya sebagai penguasa. Keduanya (si suami atau si istri) lebih suka memberi nasihat daripada berkomunikasi untuk saling bertukar pendapat.

Contohnya: Suami ataupun istri memiliki keahlian yang lebih, sehingga salah satunya hanya harus menjadi pendengan dan pengikut saja. (Tingkat ego sangat tinggi).

2.3 Komunikasi Antar Pribadi ( Komunikasi Keluarga Sebagai Kelompok Sosial)

Komunikasi antar pribadi sebagai proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang atau diantara sekelompok kecil orang-orang, dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika.

Memahami Komunikasi antar pribadi ada tiga persektif, yaitu: 2.3.1 Perspektif Komponensial

Dengan mengacu pada model komunikasi Harold Lasswell, komponen-komponen yang terdapat dalam komunikasi antar pribadi adalah sebagai berikut:

a. Pengirim-Penerima

Komunikasi antar pribadi paling tidak melibatkan dua orang. Istilah pengirim-penerima digunakan untuk menekankan bahwa fungsi


(29)

pengirim dan penerima ini dilakukan oleh setiap orang yang terlibat dalam komunikasi antar pribadi. Memproduksi dan mengirim pesan sekaligus menerima dan memahami pesan.

b. Encoding-Decoding

Encoding adalah tindakan menghasilkan pesan. Artinya pesan-pesan yang akan disampaikan di kode atau diinformasikan terlebih dahulu dengan kata-kata, simbol, dan sebagainya. Sedangkan decoding adalah tindakan untuk menginterpretasikan dan memahami pesan-pesan yang diterima.

c. Pesan-Pesan

Dalam komunikasi antarpribadi, pesan-pesan ini dapat berupa verbal maupun non-verbal, atau gabungan verbal dan non-verbal.

d. Saluran

Komunikasi antar pribadi lazimnya para perilaku bertemu secara tatap muka, atau sebaliknya menggunakan suatu media seperti telepon atau email.

e. Gangguan (Noise)

Gangguan adalah segala sesuatu yang mengganggu kejernihan pesan dalam proses komunikasi, sehingga sering kali pesan-pesan yang disampaikan berbeda pada pesan-pesan yang diterima.

f. Umpan Balik

Umpan balik memainkan pesan sangat penting dalam proses komunikasi antarpribadi, karena pengiriman dan penerimaan pesan secara, terus


(30)

menerus dan secara bergantian memberikan umpan balik dalam berbagai cara baik verbal maupun nonverbal. Umpan balik bisa positif, netral, ataupun negatif.

g. Bidang pengalaman (Field Of Exsperience)

Bidang pengalaman merupakan faktor penting dalam komunikasi. Komunikasi akan semakin efektif apabila para pelaku mempunyai bidang pengalaman yang sama. Sebaliknya komunikasi akan menjadi sulit ketika para pelakunya memiliki pengalaman bidang yang tidak sama.

h. Efek

Proses komunikasi selalu mempunyai berbagai akibat, baik positif maupun negatif pada salah satu atau keduanya.

2.3.2 Perspektif Proses Pengembangannya

Menurut perspektif ini komunikasi adalah suatu proses yang berkembang, yaitu dari yang bersifat impersonal menjadi interpersonal atau intim. Artinya ada peningkatan antara, perilaku yang terlibat dalam komunikasi. 2.3.3 Perspektif Relasional

Menurut pandangan ini, komunikasi antarpribadi didefinisikan sebagai komunikasi yang terjadi diantara dua orang yang mempunyai hubungan yang terlihat jelas diantara, mereka. Misalnya komunikasi antarpribadi yang mencakup disini adalah suami dan istri.


(31)

2.4. Pengertian Keluarga

Istilah keluarga biasanya digunakan untuk menunjukan unit sosial terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang belum menikah

(nuclear family). Namun istilah keluarga juga digunakan untuk menunjukkan unit

sosial yang lebih luas, yang tidak terlepas dari terbatas ayah, ibu, dan anak saja tetapi mencakup kakek-nenek, paman-bibi, keponakan, dan sanak keluarga lainnya (extended family). Yang terkecil sebagai unit sosial atau sel masyarakat mempunyai peran yang sangat menentukan, boleh dikatakan sejahtera atau tidaknya suatu masyarakat tergantung pada sejahtera tidaknya keluarga-keluarga yang ada didalam masyarakat tersebut.

Namun pada penelitian ini keluarga inti atau sosial terkecil di dalam keluarga yang terbentuk di dalam masyarakat yang kecil dalam membangun kesejahteraan dan kasih sayang satu sama lain atau dengan kata lain adalah nuclear family yang akan dikaji atau diwawancarai lebih lanjut perihal tentang penelitian pasangan suami istri yang berbeda budaya Arab dengan Non Arab.

2.4.1 Fungsi Keluarga

Beberapa fungsi keluarga dari sudut pandang sosiologis, Fungsi keluarga dapat diklasifikasikan kedalam fungsi-fungsi sebagai berikut:

1. Fungsi Biologis

Keluarga dipandang sebagai penata sosial yang memberikan legalitas, kesempatan dan kemudahan bagi para anggotanya untuk memenuhi kebutuhan dasar biologisnya. Kebutuhan ini meliputi (a) pandang, sangan, pagan, (b)


(32)

hubungan seksual suami istri dan (c) reproduksi atau pengembangan keturunan.

2. Fungsi Ekonomis

Keluarga merupakan unit ekonomi dasar dalam sebagian besar masyarakat primitif. Para anggota keluarga bekerja sebagai tim untuk menghasilkan sesuatu.

3. Fungsi Pendidikan

Keluarga merupakan lingkungan pendidikan pertama dan utama. Keluarga befungsi sebagai "transmiter budaya atau mediator" sosial budaya. Fungsi keluarga dalam pendidikan adalah menyangkut penanaman, pembimbingan atau pembiasaan nilai-nilai agama, budaya, dan keterampilan yang bermanfaat bagi anggota keluarga.

4. Fungsi Sosialisasi

Lingkungan keluarga adalah faktor penentu (determinant factor) yang sangat mempengaruhi kualitas generasi yang akan datang. Keluarga befungsi sebagai miniatur masyarakat yang mensosialisasikan nilai-nilai atau peran-peran hidup dalam bermasyarakat yang harus dilaksanakan oleh para anggotanya. Keluarga merupakan lembaga yang mempengaruhi perkembangan kemampuan untuk menaati peraturan (disiplin), mau bekerja dengan orang lain, mau bertanggung jawab, dan bersikap matang dalam kehidupan yang heterogen (etnis, ras, agama, dan budaya).


(33)

5. Fungsi Perlindungan

Sebagai pelindung bagi para anggota keluarganya dari gangguan ancaman atau kondisi yang menimbulkan ketidaknyamanan (fisik-psikologis) bagi para anggotanya.

6. Fungsi Rekreatif

Keluarga harus diciptakan sebagai lingkungan yang memberikan kenyamanan, keceriaan, kehangatan, dan penuh semangat bagi anggotanya. Maka dari itu, muka keluarga harus ditata sedemikian rupa, seperti menyangkut aspek dekorasi interior rumah, komunikasi yang tidak kaku, makan bersama, bercengkrama dengan suasana humor dan sebagainya.

7. Fungsi Agama

Keluarga berfungsi sebagai penanaman nilai-nilai agama kepada anggotanya agar mereka memiliki pedoman hidup yang benar. Keluarga berkewajiban mengajar, membimbing atau membiasakan anggotanya untuk mempelajari dan mengamalkan ajaran agamanya.

2.4.2. Geneologi (Sistem Kekerabatan), Patrilineal dan Matrilineal

Sebelum kita membahas tentang sistem kekerabatan patrilineal dan matrilineal, perlu kita ketahui pengertian dari kekerabatan atau dengan kata lain geneologi. Kekerabatan (genealogi) berasal dari kata kerabat yang artinya yang dekat (pertalian keluarga), sedarah sedaging, keluarga, sanak saudara, atau keturunan yang sama. Jadi, Kekerabatan (genealogi) merupakan hubungan kekeluargaan


(34)

seseorang dengan orang lain yang mempunyai hubungan darah atau keturunan yang sama dalam satu keluarga.

Patrilineal adalah suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ayah. Patrilineal berasal dari dua kata bahasa Latin, yaitu pater yang artinya ayah, dan Linea yang berarti garis. Jadi, patrilineal berarti mengikuti garis keturunan yang ditarik dari pihak ayah. Penganut adat patrilineat di Indonesia antara lain adalah suku Batak, suku rejang dan suku Gayo, dari luar sendiri ada bangsa Arab yang menganut sistem patrilineal ini.

Sedangkan matrilineal adalah suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ibu. Matrilineal berasal dari kata mater yang artinya ibu dan linea yang artinya garis. Jadi, matrilineal berarti mengikuti garis keturunan yang ditarik dari pihak ibu. Penganut adat matrilineal di Indonesia diantaranya suku minangkabau dan dari luar yang menganut sistem ini adalah suku Indian.

Menurut sistem patrilineal, kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dalam pembagian warisan daripada kedudukan wanita sehingga anak laki-laki yang akan menjadi ahli waris. Sebaliknya dalam sistem matrilineal kedudukan wanita lebih menonjol dibandingkan kedudukan pria dalam pewarisan. Ahli waris dalam sistem matrilineal adalah mereka yang ada pada garis ibu yakni anak laki-laki dan anak perempuan, saudara laki-laki dan saudara perempuan, nenek beserta saudara-saudaranya baik laki-laki maupun perempuan. Antara sistem keturunan yang satu dengan yang lain dapat berlaku dalam bentuk percampuran atau pergantian sistem, hal ini dikarenakan adanya hubungan perkawinan. Suatu masyarakat yang


(35)

menganut sistem patrilineal dan matrilineal mengenal bentuk perkawinan eksogami yakni prinsip perkawinan yang mengharuskan orang mencari jodoh di luar lingkungan sosialnya, seperti di luar lingkungan kerabat, kelompok adat, golongan sosial, dan lingkungan pemukiman. Dalam sistem patrilineal masyarakat Batak Toba, perkawinan eksogami ini berbentuk perkawinan jujur yang mana pihak laki-laki menarik pihak perempuan untuk masuk ke dalam klan (kelompok) nya disertai dengan pemberian barang-barang bernilai kepada pihak perempuan sebagai pengganti kedudukan perempuan tersebut dalam klan nya (perempuan). Dalam sistem matrilineal suku Minangkabau, berbentuk kawin bertandang (dimana kedudukan pria hanya sebagai tamu dan tidak berhak atas anaknya serta harta benda, dalam rumah tangga), kawin menetap, (suami istri tinggal dalam satu rumah dan membentuk keluarga sendiri) dan kawin bebas (setiap orang bebas memilih pasangannya masing-masing tanpa terikat kondisi khusus yaitu hukum adat dalam kelompok). Kawin bebas berlaku bagi mereka yang telah melakukan perpindahan tempat tinggal atau bermigrasi. Di Indonesia sendiri, telah mengarah pada sistem parental atau bilateral yaitu sistem keturunan yang ditarik dari garis ayah dan ibu (orang tua) sehingga tidak ada perbedaan kedudukan antara pria dan wanita dalam memperoleh warisan. Namun demikian, masih banyak juga suku-suku masyarakat pedesaan yang tetap mempertahankan sistem keturunan dan kekerabatan patrilineal maupun matrilineal.


(36)

2.4.3. Patriarki dan Matriakat

Patriarki adalah sistem pengelompokan masyarakat sosial yang mementingkan garis keturunan bapak/ laki-laki. Patrilineal adalah hubungan keturunan melalui garis keturunan kerabat pria atau bapak. Patriarki juga dapat dijelaskan dimana keadaan masyarakat yang menempatkan kedudukan dan posisi laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan dalam segala aspek kehidupan sosial, budaya dan ekonomi. Di negara-negara barat, Eropa barat termasuk Indonesia, budaya dan ideologi patriarki masih sangat kental mewarnai berbagai aspek kehidupan dan struktur masyarakat. Bila dilihat dari garis keturunan, masyarakat Sumatera Utara lebih cenderung sebagai masyarakat yang patrilineal yang dalam hal ini posisi ayah atau bapak (laki-laki) lebih dominan dibandingkan dengan posisi ibu (perempuan). Pada tatanan kehidupan sosial, konsep patriarki sebagai landasan ideologis, pola hubungan gender dalam masyarakat secara sistematik dalam praktiknya dengan pranata-pranata sosial lainnya. Faktor budaya merupakan salah satu penyebeb meningkatnya angka kekerasan terhadap perempuan. Hal ini dikarenakan terlalu diprioritaskannya laki-laki (maskulin).

Perbedaan gender sebetulnya tidak menjadi masalah selama tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun temyata perbedaan gender baik melalui mitos-mitos, sosialisai, kultur, dan kebijakan pemerintah telah melahirkan hukum yang tidak adil bagi perempuan. Pada masyarakat patriarki, nilai-nilai kultur yang berkaitan dengan seksualitas perempuan mencerminkan ketidaksetaraan gender menempatkan perempuan pada posisi yang tidak adil. Sikap masyarakat patriarki yang kuat ini mengakibatkan masyarakat cenderung tidak menanggapi atau


(37)

berempati terhadap segala tindak kekerasan yang menimpa perempuan. Sering dijumpai masyarakat lebih banyak komentar dan menunjukkan sikap yang menyudutkan perempuan.

Yang mengakibatkan timbulnya ketimpangan pada budaya patriarki adalah : 1. Maskulinitas.

Maskulinitas adalah stereotip tentang laki-laki yang dapat dipertentangkan dengan feminitas sebagai steretotip perempuan maskulin bersifat jantan jenis laki-laki. Maskulinitas adalah kejantanan seorang laki-laki yang dihubungkan dengan kualitas seksual. Hegemoni dalam laki-laki dalam masyarakat tampaknya merupakan fenomena universal dalam sejarah peradaban manusia di masyarakat manapun di dunia, yang tertata dalam masyarakat patriarki. Pada masyarakat seperti ini, laki-laki diposisikan superior terhadap perempuan di berbagai sektor kehidupan baik domistik maupun publik. Hegemoni laki-laki atas perempuan memperoleh legitimasi dari nilai-nilai sosial, agama, hukum tersosialisasi secara turun menurun dari generasi ke generasi.

Laki-laki juga cenderung mendominasi menyubordinasi dan melakukan deskriminasi terhadap perempuan. Dikarenakan patriarki merupakan dominasi atau kontrol laki-laki atas perempuan, atas badannya, seksualitasnya, pekerjaannya, peran dan statusnya, baik dalam keluarga maupun masyarakat dan segala bidang kehidupan yang bersifat ankolentrisme berpusat pada laki-laki dan perempuan. Bahwa timbulnya kemaskulinitasan pada budaya patriarki karena adanya anggapan bahwa laki-laki menjadi sejati jika ia berhasil menunjukkan kekuasaannya atas perempuan. Sementara itu dalam


(38)

budaya patriarki pola pengasuhan terhadap perempuan juga masih didominasi dan penekanan pada pembagian kerja berdasarkan gender.

Maskulinitas juga tampak dalam kelahiran, tindakan-tindakan masyarakat yakni dalam upacara kelahiran bayi (Jagong), kalau bayinya perempuan maka pemberian hadiah lebih sedikit daripada bayi laki-laki. Banyaknya anak gadis usia sekolah putus sekolah disebabkan orangtuanya lebih memprioritaskan anak laki-lakinya karena pemikiran anak laki-laki nantinya harus menjadi kepala keluarga dan pencari nafkah. Dalam mengerjakan pekerjaan rumah anak laki-laki mendapat bagian yang sedikit dari perempuan karena perempuan diwajibkan melayani dan mengerjakan pekerjaan rumah dan membersihkan rumah. Sehingga pengharapan mempunyai anak laki-laki tampak sangat jelas daripada perempuan pada unsur-unsur budaya patriarki. 2. Otoritas dalam pengambilan keputusan.

Keputusan adalah suatu reaksi terhadap solusi alternatif yang dilakukan secara sadar dengan cara menganalisa kemungkinan-kemungkinan dari alternatif tersebut bersama konsekuensinya. Setiap keputusan akan membuat pilihan terakhir dapat berupa tindakan atau opini. Itu semua bermula ketika kita perlu untuk melakukan sesuatu tetapi tidak tahu apa yang harus dilakukan. Untuk itu keputusan dapat dirasakan rasional atau irasional dan dapat berdasarkan asumsi kuat atau asumsi lemah. Kesejahteraan gender salah satunya dapat diukur dari kesamaan hak pengambilan keputusan dan masih dominannya suami dalam pengambilan keputusan termasuk dalam mengambil keputusan dalam keluarga berencana. Perempuan berada di strata


(39)

bawah sehingga takut otonominya berbeda dalam keluarga sedangkan pengertian otonomi adalah kemampuan untuk bertindak melakukan kegiatan, mengambil keputusan untuk bertindak atas kemauan sendiri.

2.5. Pengertian Pernikahan

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami dan istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari batasan ini jelaslah bahwa tujuan perkawinan bukanlah kebahagiaan tetapi kesatuan, dengan adanya ikatan lahir batin antara suami dan istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya mencapai kesejahteraan spiritual dan material. Dalam usaha memupuk kesatuan itulah suami istri mengalami kebahagiaan. Pernikahan merupakan ikatan diantara dua insan yang mempunyai banyak perbedaan, baik dari segi fisik, asuhan keluarga, pergaulan, cara berfikir (mental), pendidikan dan lain-lain. Dalam pandangan Islam, pernikahan merupakan ikatan yang amat suci dimana dua insan yang berlainan jenis dapat hidup bersama dengan direstui agama, kerabat, dan mayarakat. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia sejahtera dan kekal selamanya. Pernikahan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum perkawinan masing-masing agama dan kepercayaan serta tercatat oleh lembanga yang berwenang menurut perundang-undangan yang berlaku. (www.worganisasi.org).


(40)

2.5.1.Pengertian, Kewajiban dan Peran Suami Istri

Suami dapat diibaratkan sebagai tiang dalam keluarga karena suami yang bertanggung jawab penuh kepada keluarga terutama kepada istri dan anak. Suami pula yang bertanggung jawab atas biaya hidup keluarga, sehingga setiap orang ingin hidup bahagia secara lahir dan batin. Istri merupakan pasangan dari suami, sedangkan suami adalah pasangan dari istri. Istri adalah perempuan yang mesti menjadi pendamping dan mendampingi suami dalam bahtera rumah tangganya. Istri juga harus mampu menjadi sahabat dan kawan dalam suka maupun lara bagi suaminya. Kewajiban dan tugas seorang istri adalah menjadi "psikolog" bagi suami dan anaknya saat sedang resah, stress dan depresi saat dalam persaingan dan kompetensi bisnis dan pekerjaan sekolah begitu pula dengan kondisi sekolah bagi anaknya. Begitu pentingnya fungsi seorang istri sebagai pendamping kebahagiaan seorang suami.

Adapun perannya masing-masing suami dan istri dalam keluarga adalah: a. Peran Suami

1. Sumber kekuasaan dan dasar identifikasi 2. Penghubung dengan dunia luar.

3. Pelindung terhadap ancaman dari luar. 4. Pendidik segi rasional.

b. Peran Istri

1. Memberi aman dan sumber kasih sayang 2. Tempat mencurahkan isi hati.


(41)

4. Pembimbing kehidupan rumah tangga. 5. Pendidik segi emosional.

6. Penyimpan tradisi.

Adapun kewajiban bersama suami istri adalah: 1. Menegakkan rumah tangga.

2. Harus mempunyai tempat kediaman yang tetap

3. Saling mencintai, menghormati, setia dan memberikan bantuan lahir batin. 4. Saling memelihara kepercayaan dan tidak saling membuka rahasia pribadi. 5. Sabar dan real atas kekurangan dan kelemahan masing-masing.

6. Selalu bermusyawarah untuk kepentingan bersama. 7. Memelihara dan memiliki anak penuh tanggung jawab. 8. Menghormati orang tua dan keluarga, kedua belah pihak. 9. Menjaga hubungan baik bertetanggaan dan bermasyarakat.

Sumber : (Buku pernikahan Kantor Urusan Agama Tanjung Karang Pusat) 2.6. Tinjauan Tentang Komunikasi Antar Budaya

Komunikasi antarbudaya dalam pandangan DeVito (2001: 53) merupakan komunikasi yang secara budaya memiliki perbedaan kepercayaan, nilai dan cara bertindak. Semua pesan berawal dari konteks budaya yang unik dan spesifik, dan konteks tersebut akan mempengaruhi isi dan bentuk komunikasi. DeVito juga menyatakan, bahwa budaya akan mempengaruhi setiap aspek pengalaman manusia dalam berkomunikasi. Seseorang melakukan komunikasi dengan cara-cara seperti yang dilakukan oleh budayanya. Hal inilah yang disebut oleh Koester


(42)

(2003: 84) sebagai sebuah mindset yang secara tidak sadar akan menuntun seseorang ketika menilai suatu situasi ataupun mempersepsi suatu keadaan. Seseorang juga akan menerima pesan yang telah disaring oleh konteks budayanya. Konteks tersebut akan mempengaruhi apa yang akan diterima dan bagaimana menerimanya. Budaya merujuk pada kepercayaan akan supremasi keberadaan, sikap terhadap kesuksesan dan kebahagiaan, dan nilai-nilai yang ditanamkan dalam persahabatan, hubungan cinta, keluarga atau uang. Budaya memberikan pengaruh besar pada perilaku individu, termasuk di dalamnya perilaku berkomunikasi.

Karena informasi yang diperoleh seseorang dan pengetahuan seseorang tentang dunia fisik dan sosial diperoleh melalui proses perseptual, persepsi merupakan hal pokok dalam studi komunikasi antarbudaya. Ketika melakukan komunikasi, fungsi pola budaya (kepercayaan, nilai dan norma) dapat diterapkan oleh semua budaya. Kluckhon dan Strodtbeck dalam (Lustig & Koester, 2003: 91) mengklasifikasikan alasan-alasan perlunya menerapkan pola budaya. Pertama, setiap manusia dari budaya yang berbeda menghadapi masalah yang umumnya sama dan mereka harus menemukan penyelesaiannya. Kedua, jumlah pilihan untuk menyelesaikan problematika budaya sangat terbatas. Ketiga, di dalam satu budaya, solusi permasalahan yang tersedia akan dipilih yang sesuai dengan budaya tersebut tetapi anggotanya bisa jadi akan lebih memilih solusi yang lain. Dan keempat, seiring berjalannya waktu, solusi yang telah dipilih akan membentuk asumsi-asumsi budaya yang berhubungan dengan kepercayaan, nilai dan norma. Brian H. Spitzberg dalam (Samovar & Porter, 2000: 375)


(43)

mengungkapkan, komunikasi dalam konteks antarbudaya dikatakan berhasil jika tujuan komunikator tercapai dan cara yang digunakan sesuai dengan konteks. Konteks yang dimaksud meliputi budaya, hubungan, tempat dan fungsi. Budaya merupakan aspek penting dalam memanfaatkan dan mengevaluasi perilaku. Kemampuan perilaku jugs tergantung pada bentuk hubungan antara orang-orang yang terlibat di dalamnya. Apa yang sesuai dilakukan dalam hubungan dengan pasangan tidak selalu berlaku dalam hubungan pertemanan atau hubungan kerja. Perilaku merupakan suatu bentuk reaksi terhadap persepsi seseorang mengenai kondisi di sekitarnya. Perilaku (behavior) merupakan hasil dari mempelajari dan kondisi budaya (Samovar, 1998: 58). Kepercayaan, nilai dan norma berbeda yang dimiliki oleh masing-masing budaya, akan memberikan pengaruh pada persepsi dan cara berkomunikasi. Dengan memahami perbedaan kepercayaan, nilai dan norma budaya lain, seseorang akan mampu mendefinisikan komunikasi yang dilakukan oleh orang lain dan mampu menyesuaikan perilaku dengan definisi tersebut.

2.6.1. Prinsip-Prinsip Komunkasi Antarbudaya

Prinsip-Prinsip Komunkasi Antarbudaya menurut Liliweri (2007: 45) dapat dibagi menjadi 6 bagian yaitu:

a. Relativitas Bahasa

Gagasan umum bahwa bahasa mempengaruhi pemikiran dan perilaku paling banyak disuarakan oleh para antropologis linguistik. Pada akhir tahun 1920-an dan disepanjang tahun 1930-an, dirumuskan bahwa karakteristik bahasa


(44)

mempengaruhi proses kognitif kita. Dan karena bahasa-bahasa di dunia sangat berbeda-beda dalam hal karakteristik semantik dan strukturnya, tampaknya masuk akal untuk mengatakan bahwa orang yang menggunakan bahasa yang berbeda juga akan berbeda dalam cara mereka memandang dan berpikir tentang dunia.

b. Bahasa Sebagai Cermin Budaya

Bahasa mencerminkan budaya. Makin besar perbedaan budaya, makin perbedaan komunikasi baik dalam bahasa maupun dalam isyarat-isyarat nonverbal. Makin besar perbedaan antara budaya (dan, karenanya, makin besar perbedaan komunikasi), makin sulit komunikasi dilakukan. Kesulitan ini dapat mengakibatkan, misalnya, lebih banyak kesalahan komunikasi, lebih banyak kesalahan kalimat, lebih besar kemungkinan salah paham, makin banyak salah persepsi, dan makin banyak potong kompas (bypassing).

c. Mengurangi Ketidak-pastian

Makin besar perbedaan antarbudaya, makin besarlah ketidak-pastian dan ambiguitas dalam komunikasi. Banyak dari komunikasi kita berusaha mengurangi ketidak-pastian ini sehingga kita dapat lebih baik menguraikan, memprediksi, dan menjelaskan perilaku orang lain. Karena ketidak-pastian dan ambiguitas yang lebih besar ini, diperlukan lebih banyak waktu dan upaya untuk mengurangi ketidak-pastian dan untuk berkomunikasi secara lebih bermakna.


(45)

d. Kesadaran Diri dan Perbedaan Antarbudaya

Makin besar perbedaan antarbudaya, makin besar kesadaran diri (mindfulness) para partisipan selama komunikasi. Ini mempunyai konsekuensi positif dan negatif. Positifnya, kesadaran diri ini barangkali membuat kita lebih waspada. Ini mencegah kita mengatakan hal-hal yang mungkin terasa tidak peka atau tidak patut. Negatifnya, ini membuat kita terlalu berhati-hati, tidak spontan, dan kurang percaya diri.

e. Interaksi Awal dan Perbedaan Antarbudaya

Perbedaan antarbudaya terutama penting dalam interaksi awal dan secara berangsur berkurang tingkat kepentingannya ketika hubungan menjadi lebih akrab. Walaupun kita selalu menghadapi kemungkinan salah persepsidan salah menilai orang lain, kemungkinan ini khususnya besar dalam situasi komunikasi antarbudaya.

f. Memaksimalkan Hasil Interaksi

Dalam komunikasi antarbudaya seperti dalam semua komunikasi kita berusaha memaksimalkan hasil interaksi. Tiga konsekuensi yang mengisyaratkan implikasi yang penting bagi komunikasi antarbudaya. Sebagai contoh, orang akan berintraksi dengan orang lain yang mereka perkirakan akan memberikan hasil positif. Karen komunikasi antarbudaya itu sulit, anda mungkin menghindarinya. Dengan demikian, misalnya anda akan memilih berbicara dengan rekan sekelas yang banyak kemiripannya dengan anda ketimbang orang yang sangat berbeda.


(46)

2.6.2. Hambatan Komunikasi Antarbudaya

Komunikasi antarbudaya sebagai interaksi dari komunikator dan komunikan yang berbeda budaya tentunya terdapat beberapa hambatan karna perbedaan yang ada diantara keduanya. Chaney & Martin (2004: 11) memberikan sembilan jenis hambatan dalam komunikasi antarbudaya. Hambatan-hambatan tersebut adalah: 1. Fisik (Physical)

Hambatan komunikasi semacam ini berasal dari hambatan waktu, lingkungan, kebutuhan diri, dan juga media fisik.

2. Budaya (Cultural)

Hambatan ini berasal dari etnik yang berbeda, agama, dan juga perbedaan sosial yang ada, antara budaya yang satu dengan yang lainnya.

3. Persepsi (Perceptual)

Jenis hambatan ini muncul dikarenakan setiap orang memiliki persepsi yang berbeda-beda mengenai suatu hal. Sehingga untuk mengartikan sesuatu setiap budaya akan mempunyai pemikiran yang berbeda-beda.

4. Motivasi (Motivational)

Hambatan semacam ini berkaitan dengan tingkat motivasi dari pendengar, maksudnya adalah apakah pendengar yang menerima pesan ingin menerima pesan tersebut atau apakah pendengar tersebut sedang malas dan tidak punya motivasi sehingga dapat menjadi hambatan komunikasi.


(47)

5. Pengalaman (Experiantial)

Experiental adalah jenis hambatan yang terjadi karena setiap individu tidak memiliki pengalaman hidup yang sama sehingga setiap individu mempunyai persepsi dan juga konsep yang berbeda-beda dalam melihat sesuatu.

6. Emosi (Emotional)

Hal ini berkaitan dengan emosi atau perasaan pribadi dari pendengar. Apabila emosi pendengar sedang buruk maka hambatan komunikasi yang terjadi akan semakin besar dan sulit untuk dilalui.

7. Bahasa (Linguistic)

Hambatan komunikasi yang berikut ini terjadi apabila pengirim pesan (sender) dan penerima pesan (receiver) menggunakan bahasa yang berbeda atau penggunaan kata-kata yang tidak dimengerti oleh penerima pesan.

8. Nonverbal

Hambatan nonverbal adalah hambatan komunikasi yang tidak berbentuk kata-kata tetapi dapat menjadi hambatan komunikasi. Contohnya adalah wajah marah yang dibuat oleh penerima pesan (receiver) ketika pengirim pesan

(sender) melakukan komunikasi. Wajah marah yang dibuat tersebut dapat

menjadi penghambat komunikasi karena mungkin saja pengirim pesan akan merasa tidak maksimal atau takut untuk mengirimkan pesan kepada penerima pesan.


(48)

9. Kompetisi (Competition)

Hambatan semacam ini muncul apabila penerima pesan sedang melakukan kegiatan lain sambil mendengarkan. Contohnya adalah menerima telepon selular sambil menyetir, karena melakukan 2 (dua) kegiatan sekaligus maka penerima pesan tidak akan mendengarkan pesan yang disampaikan melalui telepon selularnya secara maksimal.

2.7. Tinjauan Tentang Budaya

Kebudayaan berasal dari kata sansekerta buddayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi, yang berarti budi atau akal. Dengan demikian, kebudayaan berarti hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Adapun ahli antropologi yang merumuskan definisi tentang kebudayaan secara sistematis dan ilmiah adalah Taylor, yang menulis dalam bukunya: "Primitive Culture", bahwa kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan kemampuan lain, serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Goodenough mengemukakan, bahwa kebudayaan adalah suatu sistem kognitif, yaitu suatu sistem yang terdiri dari pengetahuan, kepercayaan, dan nilai yang berada dalam pikiran anggota-anggota individual masyarakat.

Dengan kata lain, kebudayaan berada dalam tatanan kenyataan yang ideasional. Atau, kebudayaan merupakan perlengkapan mental yang oleh anggota-anggota masyarakat dipergunakan dalam proses orientasi, transaksi, pertemuan, perumusan, gagasan, penggolongan, dan penafsiran perilaku sosial nyata dalam masyarakat mereka.


(49)

Soemardjan dan Soernardi merumuskan, kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah (material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya agar kekuatan serta hasilnya dapat diabadikan untuk keperluan masyarakat. Roucek dan Warren mengatakan, bahwa kebudayaan bukan saja merupakan seni dalam hidup, tetapi juga benda-benda yang terdapat disekeliling manusia yang dibuat manusia. Dengan demikian ia mendefinisikan kebudayaan sebagai cara hidup yang dikembangkan oleh sebuah masyarakat guna memenuhi keperluan dasarnya untuk dapat bertahan hidup, meneruskan keturunan dan mengatur pengalaman sosialnya. Hal-hal tersebut adalah pengumpulan bahanbahan kebendaan, pola organisasi sosial, cara tingkah laku yang dipelajari, ilmu pengetahuan, kepercayaan dan kegiatan lain yang berkembang dalam pergaulan manusia.

2.8. Tinjauan Tentang Perkawinan Campur

Perkawinan merupakan penyatuan dua pribadi yang unik, dengan membawa sistem keyakinan masing-masing berdasarkan latar belakang budaya serta pengalamannya. Perbedaan-perbedaan yang ada perlu disesuaikan satu sama lain untuk membentuk sistem keyakinan baru bagi sebuah keluarga. Proses inilah yang seringkali menimbulkan ketegangan. Anna Fitzpatrick dalam (Verderber & Verderber, 1998: 383) mengidentifikasi tiga dimensi yang dapat membedakan tipe-tipe perkawinan. Pertama, tipe ketergantungan, yaitu adanya kebutuhan untuk berbagi rasa satu sama lain. Kedua, tipe ideologi, yaitu perkawinan berjalan sesuai dengan kepercayaan tradisional dan nilai-nilai yang dianut oleh pasangan. Dan


(50)

ketiga, tipe komunikasi, yaitu cara yang dilakukan oleh pasangan untuk mengatasi konflik dalam per alanan perkawinan.

Selanjutnya R. Verderber dan K. Verderber (1998: 383-387) menyoroti tentang persoalan yang dapat muncul dalam sebuah relasi intim. Menurut mereka, terdapat beberapa elemen yang menjadi persoalan dalam hubungan yang dikategorikan sebagai relasi intim:

1. Elemen verbal

Tidak setiap orang memiliki pemahaman yang sama terhadap kata-kata yang terucap. Setiap orang berasumsi, bahwa orang yang diajak bicara memiliki pengertian yang sama tentang satu hal, juga bahwa manusia cenderung mengungkapkan ekspresi berbeda meskipun dengan maksud yang sama. 2. Elemen nonverbal

Seringkali manusia mengalami kesulitan dalam mengirim dan menterjemahkan kode pesan nonverbal. Dalam kehidupan perkawinan, kebanyakan mengandalkan pesan visual dalam menentukan perasaan pasangan.

3. Kecemburuan

Dapat dimaknai sebagi bentuk kecurigaan akan munculnya ketidaksetiaan. Kecemburuan bisa dipicu adanya ketidakpercayaan diri, sehingga justru bisa menyebabkan pasangannya tidak setia.

4. Perbedaan pria dan wanita

Pria dan wanita memiliki peran yang terus menerus melekat, dapat dimaknai sebagai stereotip. Komunikasi dalam perkawinan dapat terjalin harmonis, jika


(51)

masing-masing keluar dari peran stereotip tersebut dan memiliki keinginan yang sama untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi satu sama lain. Proses penyatuan akan lebih sulit jika berada dalam konteks perkawinan campuran. Perkawinan campuran dimaksudkan sebagai sebuah perkawinan yang berlangsung antara individu dalam kelompok etnis yang berbeda, atau dengan istilah lain disebut amalgamasi. Amalgamasi ini merupakan peristiwa bertemunya sepasang suami istri yang berlainan etnis, yang sama-sama bermaksud membentuk suatu rumah tangga (keluarga) berdasarkan kasih sayang, yang disahkan secara resmi dengan upacara tertentu.

Perkawinan campuran dikatakan sebagai puncak dari bentuk asimilasi, yang diistilahkan sebagai asimilasi perkawinan. Asimilasi perkawinan memberi pengertian tentang bersatunya jiwa, kepribadian, sifat dan perilaku dari dua insan (yang berlawanan jenis kelamin) yang memiliki perbedaan etnis. Segala apa yang ada pada pasangan hidupnya, dengan segala latar belakang yang berbeda dapat diterima untuk kemudian berjalan bersama-sama secara serasi menjadi teman hidup untuk selamanya dalam satu wadah rumah tangga yang sama.

Studi tentang pasangan antarbudaya, memunculkan tema seputar pengalaman pasangan kawin campur dalam usaha untuk saling menyesuaikan diri ketika menghadapi persoalan perkawinan pada, umumnya dan penyesuaian diri ketika menghadapi persoalan yang menyangkut budaya. Bahwa dalam keluarga kawin campur komunikasi merupakan isu utama yang lazim muncul.


(52)

Karena itu, Rohrlich memberikan beberapa alternatif dalam upaya penyesuaian:

1. Penyesuaian satu arah (one way adjustment) salah satu mengadopsi pola budaya pasangannya. 2. Penyesuaian alternatif (alternative adjustment)

pada satu kesempatan salah satu budaya diterapkan, tapi pada kesempatan lain budaya lainnya diterapkan.

3. Kompromi midpoin (midpoint compromise)

kedua pihak sepakat untuk menentukan posisi masing-masing sebagai jalan keluar.

4. Penyesuaian campuran (mixing adjustment)

kombinasi dari dua budaya yang sepakat untuk diadaptasi. 5. Penyesuaian kreatif (creative adjustment)

kedua pihak memutuskan untuk tidak mengadopsi budaya masing-masing tetapi mencari pola perilaku yang baru.

Dalam upaya saling menyesuaikan diri, pasangan kawin campur dipengaruhi oleh beragam kondisi. Tergolong dalam delapan kategori:

1. Efek Romeo dan Juliet

Konsep ini merujuk pada pasangan kawin campur yang saling tertarik, meskipun keluarga masing-masing tidak memberikan restu. Sayangnya, seiring waktu, pasangan akan menemui beragam persoalan, seperti tidak diterima oleh komunitas, munculnya kritik dari orang-orang terdekat, orangtua


(53)

melakukan intervensi. Hal ini akan menurunkan kepercayaan individu terhadap pasangannya.

2. Peran yang diharapkan

Beberapa studi memperlihatkan, bahwa para istri merasa dipaksa untuk menerima budaya suaminya. Para istri yang seringkali mengalami tekanan untuk melakukan penyesuaian diri terhadap budaya para suami. Hal ini mengakibatkan turunnya kepuasan dalam berkomunikasi.

3. Gangguan dari keluarga besar

Bagi keluarga kawin campur, persoalan seputar ikut campurnya atau evaluasi oleh keluarga besar lebih sering dijumpai dibandingkan dengan keluarga, yang menikah dalam satu budaya.

4. Budaya kolektif-individualistik.

Beberapa budaya menganut pendekatan saling berbagi sesuai dengan komitmen dan tanggung jawab dalam kelompok (keluarga besar). Tetapi terdapat pula budaya yang lebih memperhatikan kebutuhan keluarganya sendiri dan lebih individualistik.

5. Bahasa dan kesalahpahaman

Ketika dua bahasa, yang berbeda dipakai dalam kehidupan sehari-hari keluarga kawin campur, seringkali menghasilkan konflik, paling tidak persoalan kesalahpahaman terhadap kata-kata, bahasa yang dipilih untuk dipakai sehari-hari, atau kekuasaan psikologis yang akan mengontrol rumah


(54)

tangga. Sebagai catatan, jika seorang anak dipaksa untuk memilih identitas kulturalnya, cenderung akan memilih budaya ibunya.

6. Model konflik

Perbedaan dalam cara memecahkan konflik juga merupakan poin penting kehidupan pasangan kawin campur. Directness-indirectness, budaya konteks tinggi-konteks rendah, monokronik-polikronik dan jarak kekuasaan merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan konflik dalam keluarga kawin campur.

7. Cara membesarkan anak

Perilaku terhadap anak dan cara mendidik anak merepresentasikan perbedaan budaya yang lain dalam keluarga kawin campur. Beberapa budaya menganut pemberlakuan aturan yang ketat dibandingkan budaya lain, yang akan menghasilkan nilai budaya yang berbeda, sekaligus perbedaan cara nilai-nilai tersebut dikomunikasikan dan diberlakukan kepada anak-anak.

8. Pandangan negatif dari komunitas

Bizman (salah satu peneliti) mengajukan pertanyaan kepada 549 orang tentang perkawinan orang Yahudi; Yahudi Barat dengan Yahudi Barat, Yahudi Timur dengan Yahudi Timur dan Yahudi Barat dengan Yahudi Timur. Hasilnya, 25 persen beranggapan, bahwa perkawinanantara orang Yahudi Barat dengan Yahudi Timur tidak akan berhasil dalam perkawinannya.

Kebanyakan ahli setuju, bahwa salah pengertian mengenai ekspektasi budaya merupakan latar belakang munculnya sejumlah konflik. Dengan mengidentifikasi


(55)

konflik-konflik budaya, akan dapat meningkatkan kewaspadaan dan kemampuan diri dalam berkomunikasi. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengelola konflik antarbudaya. Pertama, menggunakan komunikasi untuk mengurangi ketidaksepahaman dalam konflik tersebut. Kedua, menggunakan model-model kepemimpinan dan model-model komunikasi untuk mengelola konflik. Ketiga, menggunakan metafora untuk mencegah konflik antarbudaya.

Keempat, menggunakan sistem yang proaktif untuk mencegah konflik. Kelima,

memahami lebih dalam nilai-nilai yang dianut sebuah budaya. Keenam, mempraktikkan hubungan yang berdasarkan empati.

Martin dan Nakayama (2004: 372) berpendapat, bahwa memahami konflik antarbudaya sangat penting karena konflik dan budaya memiliki hubungan yang erat. Perbedaan budaya dapat menyebabkan konflik, dan ketika konflik terjadi latar belakang budaya dan pengalaman dapat berpengaruh pada bagaimana seseorang mencari solusi. Menurut Wilmot dan Hockey dalam (Martin & Nakayama, 2004: 376-378), konflik dapat dilihat sebagai sebuah kesempatan, yang dianggap sebagai ketidaksesuaian tujuan, nilai-nilai, harapan, proses ataupun hasil di antara dua atau lebih individu maupun kelompok. Konflik merupakan sebuah proses yang rumit, tetapi menawarkan kesempatan untuk lebih menguatkan relasi. Meskipun kebanyakan orang tidak menikmati adanya konflik, tetapi konflik dapat memunculkan aspek positif yang potensial.

Dengan melihat konflik sebagai sebuah kesempatan, berarti seseorang dapat memperoleh informasi baru mengenai orang lain, menyebarkan isu-isu serius dan meingkatkan rasa kebersamaan. Dengan mengalami konflik, seseorang dapat


(56)

dipaksa untuk berpikir kreatif, bahkan berpikir jauh ke depan, untuk mencari solusi. Dalam proses ini, konflik dapat dianggap sebagai sebuah representasi dari negosiasi ulang atas kesepakatan dua pihak. Sebagian budaya, memandang konflik sebagai sesuatu yang jelas tidak produktif bagi sebuah hubungan (Martin & Nakayama, 2004: 378-380). Karna konflik dapat mengganggu suasana damai dan ketenangan anggota suatu kelompok budaya. Seharusnya, sistem sosial tidak perlu selalu berusaha mengakomodasi kepentingan setiap, anggota kelompok, sebaliknya yang perlu melakukan penyesuaian adalah anggota, kelompok. Konfrontasi antar individu akan menumbuhkan perasaan sakit hati dan kondisi yang tidak efektif.

Menurut Rahim dan Magner dalam (Martin & Nakayama, 2004: 382-385), paling tidak terdapat lima model bagaimana mengelola konflik:

1) dominating-,

2) integrating;

3) compromising;

4) obliging-, dan

5) avoiding.

Tipe dominasi merefleksikan perhatian yang besar terhadap diri sendiri dibandingkan terhadap pasangan. Solusi yang ditawarkan adalah orientasi winlose dan pemaksaan kehendak untuk menang dari pasangannya. Tipe integrasi memberikan perhatian besar kepada diri sendiri dan pasangan dalam situasi penuh keterbukaan. Keduanya, akan saling bertukar informasi dalam usaha untuk memperoleh solusi yang diterima oleh kedua pihak. Tipe kompromi merupakan


(57)

pemecahan sebuah konflik ketika satu pihak mencapai tingkat keputusasaan sehingga menyerahkan penyelesaian pada pasangannya. Pada tipe ini kebanyakan individu kurang memiliki kornitmen terhadap solusi, karena merasa ada unsur keterpaksaan. Tipe obliging berorientasi pada satu pihak yang merasa lebih menaruh perhatian pada keberlangsungan hubungan, dibandingkan pasangannya. Hal ini dikarenakan pihak tersebut merasa memiliki kewajiban untuk memperhatikan dan mencari solusi konflik. Tipe avoiding akan diterapkan pada pasangan yang memiliki perhatian rendah pada diri sendiri dan pasangannya. Pada budaya tertentu, cara ini justru dapat menghasilkan hubungan yang harmonis karena hampir tidak ada konflik yang dijumpai.

2.9. Landasan Teori Sosial Exchange (Teori Pertukaran Sosial)

Pada dasarnya, manusia sebagai makhluk sosial selalu membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Manusia hidup tidak sebagai mahluk tunggal atau individu melainkan sebagai bagian dari sebuah masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan interaksi untuk memenuhi kebutuhan masing-masing individu. Interaksi yang terjadi menjadi sebuah proses komunikasi untuk mencapai tujuan atau kebutuhannya tersebut. Dalam proses itu terdapat unsur ganjaran, pengorbanan dan keuntungan. Unsur-unsur ini mucul dalam teori pertukaran sosial (Social Exchange) yang akan membantu peneliti dalam menemukan dan menganalisis penelitian ini.

Teori pertukaran sosial menelaah kontribusi seseorang dalam suatu hubungan mempengaruhi kontribusi orang lainnya. Dengan mempertimbangkan konsekuensinya, khususnya terhadap ganjaran yang diperoleh dan upaya yang


(58)

telah dilakukan, orang akan memutuskan untuk tetap tinggal dalam hubungan tersebut atau meninggalkannya. Sedangkan menurut Nina Syam, teori ini melihat hubungan antara perilaku dengan lingkungan hubungan yang saling mempengaruhi (reciprocal) (Syam, 2012: 12: 67).

Asumsi tentang perhitungan antara ganjaran dan keuntungan (untung-rugi) tidak berarti bahwa orang selalu berusaha untuk saling mengeksploitasi, tetapi bahwa orang lebih memilih lingkungan dan hubungan yang dapat memberikan hasil yang diinginkannya.

Dalam teori pertukaran sosial, interaksi manusia layaknya sebuah transaksi ekonomi: anda mencoba untuk memaksimalkan manfaat dan memperkecil biaya. (John, 2011: 292). Jadi perilaku sosial terdiri atas pertukaran paling sedikit antar dua orang berdasarkan perhitungan untung-rugi. Ukuran bagi keseimbangan pertukaran antara untung dan rugi dengan orang laian disebut comparison levels (Bungin: 2006, 263).

2.9.1. Pertukaran Sosial serta Kajiannya 1. Teori Pertukaran Sosial Thibaut dan Kelly

Pada umumnya, hubungan sosial terdiri daripada masyarakat, maka kita dan masyarakat lain dilihat mempunyai perilaku yang saling mempengaruhi dalam hubungan tersebut, yang terdapat unsur ganjaran (reward), pengorbanan (cost) dan keuntungan (profit).

Menurut Thibault dan Kelley, empat konsep pokok dari teori ini adalah: ganjaran, biaya, laba dan tingkat perbandingan.


(59)

a. Ganjaran adalah setiap akibat yang dinilai (+) yang diperoleh seseorang dalam suatu hubungan. Kita akan menyukai orang yang menyukai kita, kita akan menyenangi orang yang memuji kita (Rakhmat, 2000: 115). b. Biaya adalah akibat yang dinilai (-) yang terjadi dalam suatu hubungan.

Biaya dapat berupa waktu, usaha, konflik, kecemasan dan keruntuhan harga diri.

c. Laba atau hasil adalah ganjaran yang dikurangi biaya.

d. Tingkat perbandingan menunjukkan ukuran baku yang dipakai sebagai kriteria, dalam menilai hubungan individu.

Thibault dan Kelly merasa yakin bahwa usaha memahami tingkah laku yang kompleks dari kelompok-kelompok besar mungkin dapat diperoleh cara menggali pola hubungan 2 (dua) orang.

Dalam teori pertukaran sosial, interaksi manusia layaknya sebuah transaksi ekonomi: anda mencoba untuk memaksimalkan manfaat dan memperkecil biaya (John, 2011: 292). Jadi perilaku sosial terdiri atas pertukaran paling sedikit antar dua orang berdasarkan perhitungan untung-rugi. Ukuran bagi keseimbangan pertukaran antara untung dan rugi dengan orang lain disebut comparison levels (Bungin, 2006: 263).

2.9.2. Asumsi Dasar Teori Pertukaran sosial

Asumsi-asumsi yang dibuat oleh teori pertukaran sosial mengenai sifat dasar dari suatu hubungan :


(60)

1. Hubungan memiliki sifat saling ketergantungan. Dalam suatu hubungan ketika seorang partisipan mengambil suatu tindakan, baik partisipan yang satu maupun hubungan mereka secara keseluruhan akan terkena akibat.

2. Kehidupan berhubungan adalah sebuah proses. Pentingnya waktu dan perubahan dalam kehidupan suatu hubungan. Secara khusus waktu mempengaruhi pertukaran karena pengalaman-pengalaman masa lalu menuntun penilaian mengenai penghargaan dan pengorbanan, dan penilaian ini mempengaruhi pertukaran-pertukaran selanjutnya.

Teori ini bisa digunakan untuk meneliti fenomena hubungan sosial seseorang atau kelompok yang pindah atau berganti teman atau afiliasi kelompok. Tinggal di kelompok kemudian keluar dan masuk dengan menggunakan konsep-konsep dasar terebut sebagai variabel independen dan tindakan pindah atau berganti sebagai variabel dependen.

"The reward and cost interactive relationships may be determined by several factor. As we have noted previously, some of these factors are external to the stream of interaction (exogeneous factors) and others are depends upon the stream of interaction (endogenous factors). Exogenous factors are abilities, similiarity, proximity, complementarily. Endogenous factors when optimal, facilitate the maximization of positive outcomes for the participants in an interaction; when they are less than optimal, they alternate potential outcomes (Shaw and Costarizo: 198Z 86) "

Pahala dan hubungan interaktif biaya dapat ditentukan oleh beberapa faktor. sebagaimana telah kita catat sebelumnya, beberapa faktor eksternal ke aliran interaksi (faktor exogeneous) dan lain-lain yang tergantung pada aliran interaksi (faktor endogenous). Faktor Exogenous adalah kemampuan, kesamaan, kedekatan, saling melengkapi. Endogenous faktor ketika optimal, memfasilitasi


(61)

maksimalisasi hasil positif bagi para peserta dalam interaksi, ketika mereka kurang optimal, mereka hasil potensial alternatif.

2.10. Kerangka Pikir

Manusia sebagai makhluk sosial pasti melakukan kegiatan komunikasi dengan orang lain. Menjalin komunikasi dengan orang lain sudah menjadi kebutuhan dalam hidup kita. Di dalam komunikasi antar pribadi dibutuhkan proses timbal balik yang aktif akan terjalin saling pengertian diantara kedua belah pihak, sehingga informasi yang disampaikan dan didapat akan baik pula. Demikian juga pada komunikasi suami dan istri yang beda budaya, dibutuhkan adanya saling pengertian dan pemahaman tentang masing-masing budaya dengan baik agar informasi yang disampaikanpun terjalin dengan baik. Namum tidak semua pasangan bisa melakukan komunikasi dan interaksi dengan baik, karena pada pasangan yang berbeda budaya, proses komunikasi terkadang berjalan kurang baik. Suatu perbedaan budaya pada pasangan bisa menyebabkan perubahan komunikasi, begitu juga komunikasi pada pasangan suami istri ini.

Cara berkomunikasi yang dilakukan pada pasangan suami dan istri yang berbeda budaya ini pun terkadang berbeda. pasangan suami dan istri ini memerlukan komunikasi antar pribadi berdasarkan keterbukaan, kepercayaan, dan perilaku sportif terhadap budaya yang berbeda satu sama lain. Karena dengan adanya keterbukaan, kepercayaan, dan perilaku sportif terhadap budaya satu sama lain maka komunikasi antar pribadi akan berjalan baik. Untuk lebih jelasnya proses


(62)

komunikasi antar pribadi dan komunikasi antar budaya pada pasangan suami istri dapat dilihat dalam bagan kerangka pikir di bawah ini:

KAB & KAP DI DlALAM KELUARGA

SUAMI ISTRI


(63)

(64)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian ini adalah tipe kualitatif Penelitian kualitatif merupakan proses penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur analisis statistik cara kuantifikasi lainnya. Penelitian kualitatif didasarkan pada upaya membangun pandangan mereka yang diteliti yang rinci, dibentuk dengan kata-kata, gambaran holistik dan rumit. Dengan menggunakan tipe penelitian deskriptif kualitatif, maka membantu penulis untuk dapat melaksanakan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana Pola Komunikasi Pasangan Suami Istri Arab dengan Non Arab di dalam keluarga. Penelitian kualitatif objeknya adalah manusia atau gejala sesuatu yang dipengaruhi oleh manusia, objek yang diteliti dalam kondisi sebagaimana adanya atau dalam kondisi sebagaimana adanya atau dalam keadaan sewajarnya atau secara naturalistik (natural setting). Penelitian kualitatif sebagai tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasannya dan dalam peristilahannya. Penelitian deskriptif ini digunakan untuk meneliti suatu objek dengan cara menghimpun data, menyusun secara sistematis, faktual dan teliti. Tipe penelitian ini dianggap relevan untuk dipakai karena


(1)

57

masyarakatnya. Demikian pula dengan pertumbuhan penduduk yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan sensus BPS, kota ini memiliki populasi penduduk sebanyak 1.446.160 jiwa (sensus 2012), dengan luas wilayah sekitar 197,22 km2, maka Bandar Lampung memiliki kepadatan penduduk 8.546 jiwa/km2 dan tingkat pertumbuhan penduduk 1,79% per tahun. Berikut adalah tabel jumlah penduduk dari tahun ke tahun :

Tabel 1 Kependudukan

Banyaknya Penduduk Provinsi Lampung menurut Kabupaten/Kota dan Jenis Kelamin Hasil Registrasi Penduduk, 2014

Kabupaten / Kota

Penduduk Rasio

Jenis Kelamin Laki-laki Perempua

n Jumlah

(1) (2) (3) (4) (5)

01. Lampung Barat 155 992 141 261 297 253 110

02. Tanggamus 329 846 305 243 635 089 108

03. Lampung Selatan 652 791 607 344 1 260 135 107 04. Lampung Timur 571 332 534 658 1 105 990 107 05. Lampung Tengah 749 328 700 523 1 449 851 107 06. Lampung Utara 455 519 423 355 878 874 108 07. Way Kanan 243 728 229 087 472 815 106 08. Tulang Bawang 214 003 201 598 415 601 106

09. Pesawaran 282 446 260 898 543 344 108

10. Pringsewu 234 771 218 751 453 522 107

11. Mesuji 161 163 141 567 302 730 114

12. Tulang Bawang Barat 129 418 121 788 251 206 106 13. Pesisir Barat 80 588 73 150 153 738 110 71. Bandar Lampung 608 081 559 020 1 167 101 109

72. Metro 82 029 79 801 161 830 103

Lampung 4 951 035 4 598 044 9 549 079 108


(2)

87

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat disimpulkan pola komunikasi yang digunakan pasangan suami istri Arab dan Non Arab ini dikategorikan dalam ketiga pola yaitu:

1. Pola Komunikasi I: Pola Komunikasi satu Arah dengan Keseimbangan Terbalik.

Maksud pola komunikasi satu arah dengan keseimbangan terbalik ini adalah suami ataupun istri dalam proses penyampaian pesan cukup ahli dan dianggap bukan ancaman karena keduanya memiliki keahlian komunikasi tersebut.

2. Pola Komunikasi II: Pola Komunikasi satu arah dengan keseimbangan. Pola komunikasi satu arah dengan keseimbangan ini suami ataupun istri dalam proses berkomunikasi memiliki keahliannya tersendiri, sehingga tidak harus dengan umpan balik dan juga bersifat jujur, langsung, dan sangat terbuka.

3. Pola Komunikasi III: Pola Komunikasi satu arah dengan Pola Komunikasi Pemisah Tidak Seimbang.


(3)

88

Pola Komunikasi ketiga ini berarti salah satunya mendominasi, yang berarti dimana suami atau istri mendominasi, merasa bahwa seharusnya hanya satu pihak saja yang dapat memecahkan konflik yang terjadi dengan berbagai macam faktor yaitu seperti perbedaan dalam keahlian berkomunikasi yang didapat dari berbagai macam faktor yaitu lingkungan, didikan keluarga, perbedaan tingkat pendidikan, dan lain-lain.

6.2 Saran

Meskipun berbeda etnis yang ekstrim dengan adanya keterampilan komunikasi yang baik maka pola komunikasi tidak dapat dipengaruhi oleh perbedaan etnis itu sendiri, melainkan dapat berimbang sehingga konflik pasti dapat diselesaikan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Bungin, Burhan. 2006. Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana.

DeVito, Joseph A. 2001. The Interpersonal Communication Book (Ninth Edition). New York: Addison Wesley Longman, Inc.

---2007. Komunikasi Antarmanusia. Kuliah Dasar. Jakarta. Professional Books.

Hamidi. 2007. Metode Penelitian dan Teori Komunikasi .Pendekatan Praktis

Penulisan Proposal dan Laporan Penelitian. Malang: Univ.

Muhammadiyah Malang.

Rakhmat, Jalaludin. 1994. Psikologi Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya. ---2003. Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi

dengan Orang-orang Berbeda Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya. Komala, Lukiati. 2009. Ilmu Komunikasi: Perspektif, Proses dan Konteks.

Bandung: Widya Padjajaran.

Koentaraningrat. 1998. Pengantar antropologi 11 pokok-pokok etnografi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Littlejohn. 1999. Theories of Human Communication, Belmont, California: Wadaworth Publishing Company.

Littlejohn, Stephen W. 2011. Karena A. Foss. Teori Komunikasi. Jakarta: Salemba Humanika.

---2002. Theories of Human Communication (Seventh Edition).Belmont, CA.: Wadaworth Publishing Company, Inc.

Liliweri Alo. 2001. Gatra-gatra Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

---2003. Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya-.Yogyakarta: LKIS.

---2004. Dasar-dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: PustakaPelajar.


(5)

Lustig-Myron-Koester, Jolene. 2003. Intercultural Competence, Interpersonal Communication Across Cultures (Fourth Edition). USA: Allyn & Bacon Pub.

Martin-Judith N-Nakayama, Thomas K. 2003. Intercultural Communication in Contexts., United States: The McGraw-Hill Companies.

---2004. Intercultural Communication in Contexts (Third Edition). New York: The McGraw-1-1i'll. Companies, Inc.

Moleong, Lexy, 2007. Metodologi Penelitian Kuafitafif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mulyana-Deddy-Rakhmat, Jalaludin. 1993. Komunikasi Antarbudaya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Richard E. Potter-Samovar, Larry. A. 1993. Suatu Pendekatan terhadap KAB, dalam buku Komunikasi Antarbudaya, Penyunting: Deddy Mulyana. dan Jalaludin Rakhmat., PT Remaja Rosdakarya, Bandung.

Rogers-Everett M-Thomas M. Steinfatt. 1999. Intercultural Communication, Illinois: Waveland Press, Inc,

Samovar, Larry A. and Richard E. Porter, 1994. Intercultural Communication A Reader. 7th Edition. Belmont, CA: Wadaworth Publishing Company. ---2000. Intercultural Communication

(Ninth Edition). USA: Wadaworth Publishing Company, dkk. Communication Between Cultures (Third Edition). USA: Wadaworth Publishing Company, 1998.

Samovar, Larry A., Richard E. Porter and Lisa A. Stefan, 1998. Communication Between Cultures. Third Edition. Belmont, CA: Wadaworth Publishing Company

Senjadjaja, S. Djuarsa, 2002. Teori Komunikasi. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.

Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss. 1996. Human Communication :Konteks-konteks Komunikasi. Bandung. Remaja Rosdakarya.

Syam, Nina W. 2012. Psikologi Sosial Sebagai Akar Ilmu Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Verderber, Rudolph F., dan Kathleen S. Verderber. 1998 Inter-Act Using

Interpersonal Communication Skill /Eight Edition). California:


(6)

httpJldhonykampoesbiroe_blogspot.com/2010/06/teori pertukaran-sosial -social - exchange.html

http-//taraderifatoni.woTdpress.com/2010/11/14/teori-peA&aran-sosial-social-exchange-theory/

http:lltaraderifatoni.wordpress.coml2O1011lll4lteori-pertukaran-sosial-social-exchange-theory/

(http://wa2ni)o3nya.blogspot.com/2008/02/apa-itu-komunikasi- antarbudaya.htm]) http://id.wikipedia.org/wiki/Patrilineal

http://i&wikipedia.org/wiki/Matrilineal

http://mafia-huk-am.blogspot.com/2012/03/hukum-adat-1

http://oneedex.blogspot.com/2012/07/hukum–waris-adat-dalam-mempertahankan- eksistensi-masyarakat-genealogis.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami dan istri (www.organisasi.org)

Sumber : Buku pernikahan Kantor Urusan Agama Tanjungkarang Pusat. Sumber: Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi Lampung.