perempuan juga pernah dikumpulkan ke dalam antologi cerpen oleh Korrie Layun Rampan, Dunia Ibu: Antologi Cerita Pendek W anita Cerpenis Indonesia
1997, di dalamnya antara lain terdapat cerpen karya Abidah el-Khalieqy, Dorothea Rosa Herliany, Helvy Tiana Rosa, Lea Pamungkas, Mona Sylvinia,
Rainy M.P. Hutabarat, Rani Rachmani Moediarta, dan Oka Rusmini.
6. Keberadaan Penulis Fiksi Perempuan di Tengah Budaya Patriarki
Walaupun dari data di atas ditunjukkan bahwa keberadaan perempuan dalam penulisan fiksi Indonesia cukup intens, namun kreativitas
para pengarang laki-laki cenderung mendapatkan perhatian yang cukup dalam buku-buku sejarah sastra. Perhatian terhadap kehadiran para
pengarang perempuan dalam penulisan sastra Indo nesia lebih terbatas. Keadaan ini tidak terlepas dari konteks sosial budaya Indo nesia yang
patriarkis. Dalam masyakat yang berdasarkan pada budaya patriarki, laki-laki
dianggap sebagai superior dan memiliki peran dalam sektor publik, sementara perempuan inferior dengan peran di sektor domestik. Pekerjaan
menulis karya sastra, apalagi ketika dianggap sebagai profesi yang patut diperhitungkan dalam peradaban masyarakat, sehingga patut dicatat dalam
buku-buku sejarah sastra, dianalogikan sebagai aktivitas di sektor publik, maka pekerjaan tersebut lebih pantas dilakukan oleh para laki-laki.
Sebaliknya, ketika perempuan ditempatkan dalam sektor domestik, maka aktivitasnya di dalam lingkung rumah tangga bersolek untuk meman-
cing perhatian lawan jenis, mengurus anak-anak, dan melayani suami. Kalau perempuan bekerja, maka dianggap sebagai pekerjaan sambilan atau
membantu suami, karena nafkah dianggap sebagai tugas suami Fakih, 2006:16. Kalau ada perempuan yang masuk dalam aktivitas penulisan
sastra, secara kualitas karyanya dianggap lebih rendah dari karya penulis pria.
A pakah para pengarang perempuan periode 2000, juga kurang mendapatkan perhatian dari masyarakat, khususnya kritikus sastra dan para
penulis sejarah sastra? Sejak kemunculannya sebagai novel terbaik Sayembara Penulisan Novel Dewan Kesenai Jakarta 1998, Saman karya A yu
Utami, disusul dengan pemunculan penulis perempuan lainnya, telah mendapatkan berbagai tanggapan dari masyarakat pembaca, kritikus,
bahkan juga sesama penulis perempuan maupun pria. Tanggapan tersebut ada yang memuji, tetapi juga mencaci-maki. Hal tersebut menunjukkan
bahwa para pengarang perempuan periode 2000 lebih mendapatkan tempat dari pada para seniornya. Di samping tanggapan dan sambutan yang
berapresiasi positif seperti yang dilontarkan Damono di atas, tanggapan po sitif juga kesampaikan o leh kritikus Ibnu Wahyudi Srintil, 2005, yang
menyatakan bahwa munculnya sejumlah nama pengarang perempuan mengindikasikan akan munculnya generasi baru para perempuan pengarang
di Indonesia yang mampu melepaskan diri dari anggapan atau stereotipe- stereotipe yang merendahkan mereka.
Selama ini, menurut Wahyudi, para perempuan pengarang cenderung dianggap hanya mampu memghasilkan karya-karya popular yang berbicara
mengenai lingkup do mestik dan tidak lebih sekedar menawarkan “ pelarian” atau mimpi-mimpi sejenak dari rutinitas keseharian yang menghasilkan
sejumlah fiksi yang dimuat di majalah-majalah po luler seperti Femina, Gadis, dan Kartini. Oleh karena itu, dengan tampilnya A yu Utami dengan karyanya
Saman menurut Wahyudi 2005 telah mampu mendobrak serta menerobo s
mitos-mito s yang cenderung merendahkan atau bahkan menafikan para perempuan pengarang itu.
Beberapa tanggapan yang cenderung bernada negatif terhadap kreativitas para penulis perempuan periode 2000, antara lain disampaikan
o leh, pertama, Sito k Srengenge yang menganggap kemunculan perempuan sastrawan, tak lebih sebagai sebuah tren belaka. Menurutnya, heboh yang
terjadi kebanyakan bukan oleh kualitas yang mereka tunjukkan, melainkan
o leh faktor-faktor lain yang berada di luar kesusastraan. Sito k mencontohkan A yu Utami dengan karyanya Saman Suara Merdeka, 2 Maret 2006.
Kedua, Faruk seperti dikutip Kompas, 7 Maret 2004 menganggap munculnya para penulis perempuan berhubungan dengan perkembangan
masyakarat industri. Setelah industri berkembang semakin maju, kebanyakan kaum lelaki yang cerdas dan berwawasan luas tidak berminat
menekuni sastra. Industrialisasi membuat kaum lelaki menjadi sangat sibuk. Begitu banyak sektor yang lebih menantang dibanding sektor sastra.
Bersamaan dengan itu, pendidikan yang telah tersedia luas baik bagi laki- laki maupun perempuan sejak tahun 1950, mulai memiliki efek. Di akhir
tahun 1960-an, kaum perempuan, sebagai kelo mpo k no nproduktif alias konsumtif, merupakan pangsa pasar potensial yang besar bagi dunia perce-
takan. Karena bagi mayoritas perempuan membaca adalah kegiatan pengisi luang: mereka membaca untuk hiburan. Banyaknya waktu luang yang
dimiliki perempuan membuat mereka tergerak untuk menulis. Namun karya-karya yang dihasilkan berasal dari catatan harian mereka. Maka dari
itu, mereka banyak berbicara mengenai anak-anak dan kaum perempuan. Ketiga, David Krisna A lka Sinar Harapan, 7 Maret 2004 “ Sastra
Indonesia, Bukan Gaya Seks Tanggapan untuk S. Yoga” , yang mengatakan karya-karya Ayu Utami, Djenar, dan teman-temannya sebagai karya yang
antiintelektualisme , karena karya-karya tersebut menjadikan imaji seks begitu
liar dan jauh dari kesantunan, seakan tak ada bahan lain yang lebih mencerdaskan dan menyadarkan daripada mengarang seputar daerah
selangkangan. Keempat, nada yang sama juga dilontarkan oleh seorang sastrawan
dan kritikus senior, Sunaryono Basuki K.S. Kompas, 4 A pril 2004, “ Seks, Sastra, Kita” , yang menanggapi karya-karya sastrawan perempuan seperti
A yu Utami, Djenar, Oka Rusmini, dan teman-temanya yang memilih mengeksploitasi seks dan tubuh mereka agar cepat po pular dan dikenal
secara luas. Dalam hal ini Basuki juga menyarankan agar para sastrawan
perempuan muda tersebut juga mengeksploitasi masalah-masalah sosial yang tak kunjung tuntas. Di samping itu, ada juga yang menyebut karya-
karya para perempuan tersebut sebagai “ sastra wangi” atau “ sastra lendir” , dengan kono tasi yang cenderung meremehkan Budiman, 2005.
Munculnya berbagai tanggapan negatif terhadap kreativitas dan karya para penulis perempuan tersebut, menunjukkan masih dominannya
kultur patriarki, sehingga mereka belum rela memberikan pengkuan terhadap kreativitas perempuan di sektor publik. Ketidakadilan jender
tampak jelas pada tanggapan-tanggapan tersebut. Dalam masyarakat yang sadar gender, keadaan semacam itu seharusnya tidak perlu terjadi. Melalui
kritik sastra feminis, para kritikus, sejarawan sastra, dan ilmuwan sastra hendaknya melawan ketidakadilan gender tersebut.
Kritik sastra feminis merupakan salah satu ragam kritik sastra kajian sastra yang mendasarkan pada pemikiran feminisme yang menginginkan
adanya keadilan dalam memandang eksistensi perempuan, baik sebagai penulis maupun dalam karya sastra-karya sastranya. Lahirnya kritik sastra
feminis tidak dapat dipisahkan dari gerakan feminisme yang pada awalnya muncul di Amerika Serikat pada tahun 1700-an Madsen, 2000:1.
Karena melawan ketidakadilan gender yang terekspresi dalam berbagai tanggapan dan penilaian terhadap kreativitas dan karya-karya para
penulis perempuan, maka dalam paradigma perkembangan kritik sastra, kritik sastra feminis dianggap sebagai kritik yang bersifat revolusioner yang
ingin menumbangkan wacana do minan yang dibentuk o leh suara tradisio nal yang bersifat patriarki Ruthven, 1985:6. Sejak kebangkitan kembali gerakan
feminis tahun 1960-an di A merika, para ilmuwan feminis sadar bahwa studi dan penelitian sosial selama ini cenderung male bias dan mengusung
pendekatan kuantitatif ko nvensional yang sama sekali tidak mengungkap persoalan yang dihadapi perempuan Sihite, 2007:85.
A liran feminisme mengritik ilmu pengetahuan sosial konvensio nal sebagai androsentris dan bias laki-laki. Ilmu so sial mengungkapkan data dan
menganalisisnya melalui sudut pandang laki-laki; menggeneralisikan temuan mereka sebagai relevan untuk semua o rang tanpa memperhatikan
jender, ras, atau kelas Holzenr, via Sihite, 2007:86. Seperti dikemukakan o leh Reinhartz 2005:221 bahwa penelitian feminis memiliki tujuan untuk
mengindentifikasi penghilangan, penghapusan, dan informasi yang hilang tentang perempuan secara umum. Reinhartz 2005:67 juga menegaskan
bahwa memahami perempuan dari perspektif feminis adalah memahami pengalaman dari sudut pandang perempuan sendiri, yang akan mem-
perbaiki ketimpangan utama cara pandang no nfeminis yang meremehkan aktivitas dan pemikiran perempuan, atau menafsirkannya dari sudut
pandang laki-laki di masyarakat atau peneliti laki-laki.
7. Isu Gender dalam Fiksi Indonesia