Pengertian dan Perkembangan Fiksi Indonesia

BAB II PERKEM BA NGA N FIKSI DA N ISU KESETARA AN GENDER DALA M

FIKSI INDO NESIA A . TUJUAN PEM BELAJA RA N Setelah membaca dan memahami materi ini diharapkan mahasiswa mendapatkan pengetahuan dan mampu menjelaskan perkembangan fiksi Indonesia dan isu-isu kesetaraan gender dalam fiksi Indonesia.

B. M ATERI PEM BELA JA RA N

1. Pengertian dan Perkembangan Fiksi Indonesia

Istilah fiksi fiction dalam teori sastra mengacu pada jenis karya sastra yang unsur naratif cerita-nya dominan. Selanjutnya, fiksi dibedakan menjadi dua jenis, yaitu cerita perdek cerpen dan novel. Perbedaan kedua jenis karya sastra tersebut secara sederhana dapat dilihat dari panjang pendeknya cerita. Seperti dikemukakan o leh Sayuti 2000:7, ditinjau dari segi “ panjangnya” , cerpen relatif lebih pendek dari- pada novel, walaupun ada pula cerpen yang panjang dan novel yang pendek. Secara lebih spesifik, istilah cerpen biasanya diterapkan pada prosa fiksi yang panjangnya antara seribu sampai lima ribu kata, sedangkan novel umumnya berisi empat puluh lima ribu kata atau lebih. Prosa fiksi yang berkisar antara lima belas ribu hingga empat puluh lima ribu kata biasanya disebut novela atau novelet. Pertimbangan dari segi panjang cerita tersebut pada dasarnya terlampau bersifat teknis dan mekanis, tetapi beberapa kualitas penting kedua genre prosa fiksi tersebut memang berkaitan erat dengan panjang pendeknya. Sebuah cerpen bukanlah sebuah novel yang dipendekkan dan juga bukan bagian dari novel yang belum dituliskan. Sangat boleh jadi bahwa karya yang semula diterbitkan sebagai cerpen, akhirnya diolah kembali dan diterbitkan sebagai novel, atau bagian dari novel tertentu, atau dijadikan dasar penulisan skenario sinetro n dan film. Dalam hal ini, Pagar Kawat Berduri karya Trisnoyuwono dapat dijadikan conto h kasus. A kan tetapi, hal itu tentu melibatkan penulisan kembali atau revisi yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan tertentu. Panjang pendeknya sebuah cerpen yang bagus merupakan bagian dari pengalaman cerita itu yang paling esensial. A da yang mengatakan bahwa cerpen merupakan karya prosa fiksi yang dapat selesai dibaca dalam sekali duduk dan ceritanya cukup dapat membangkitkan efek tertentu dalam diri pembaca. Dengan kata lain, sebuah kesan tunggal dapat diperoleh dalam sebuah cerpen dalam sekali baca. A kan tetapi, bagaimanakah cerpen dapat memberikan efek atau kesan yang tunggal itu? Sebuah cerpen biasanya memiliki plo t yang diarahkan pada insiden atau peristiwa tunggal. Sebuah cerpen biasanya didasarkan pada insiden tunggal yang memiliki signifikansi besar bagi tokohnya. Misalnya saja dalam Bawuk, sebuah cerpen panjang karya Umar Kayam, tampak pada keputusan Bawuk menitipkan anak-anaknya kepada Nyo nya Suryo dan dia tokoh Bawuk sendiri tetap akan mencari dan mengikuti suaminya, Hasan, yang komunis. Di samping hal tersebut, kualitas watak tokoh dalam cerpen jarang dikembangkan secara penuh karena pengembangan semacam itu membutuhkan waktu, sementara pengarang sendiri sering kurang memiliki kesempatan untuk itu. Tokoh dalam cerpen biasanya langsung ditunjukkan karakternya. Artinya, hanya ditunjukkan tahapan tertentu perkembangan karakter tokohnya. Karakter dalam cerpen lebih merupakan “ penunjukan” daripada hasil “ pengembangan” . Selanjutnya, dimensi waktu dalam cerpen juga cenderung terbatas walaupun dijumpai pula cerpen-cerpen yang menunjukkan dimensi waktu yang relatif luas. Sebuah cerpen menunjukkan kualitas yang bersifat compression ‘pemadatan’, concentration ‘ pemusatan’, dan intensity ‘pendalaman’, yang se- muanya berkaitan dengan panjang cerita dan kualitas struktural yang diisyaratkan oleh panjang cerita itu. Hampir berkebalikan dengan cerpen yang bersifat memadatkan, no vel cenderung bersifat expands “ meluas” . Jika cerpen lebih mengutamakan intensitas, novel yang baik cenderung menitikberatkan munculnya complexity “ kompleksitas” . Sebuah novel jelas tidak akan dapat selesai dibaca dalam sekali duduk. Karena panjangnya, sebuah novel secara khusus memiliki peluang yang cukup untuk mempermasalahkan karakter tokoh dalam sebuah perjalanan waktu, kronolo gi, dan hal ini tidak mungkin dilakukan pengarang dalam dan melalui cerpen. Adalah sangat mungkin bagi Ahmad Tohari untuk mengembangkan karakter toko h Srintil dan Rasus dalam Ronggeng Dukuh Paruk dalam suatu perjalanan waktu tertentu. Hal yang sama tidak mungkin dilakukannya dalam karya cerpennya, “ Jasa-jasa Buat Sanwirya” . Jadi, salah satu efek perjalanan waktu dalam no vel ialah pengembangan karakter tokoh. Novel memungkinkan pembaca untuk menangkap perkembangan itu, misalnya yang sering menjadi kesu- kaan pengarang novel adalah pertumbuhan toko h sejak anak-anak hingga dewasa, bahkan seringkali dalam no vel tradisio nal, hingga akhir hayatnya. Novel juga memungkinkan adanya penyajian secara panjang lebar mengenai tempat ruang tertentu. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika po sisi manusia dalam masyarakat menjadi poko k permasalahan yang selalu menarik perhatian para novelis. Masyarakat memiliki dimensi ruang dan waktu. Sebuah masyarakat jelas berhubungan dengan dimensi tempat, tetapi peranan seseorang baca: toko h dalam masyarakat berubah dan ber- kembang dalam waktu. Karena panjangnya, novel memungkinkan untuk itu. Jika umumnya cerpen mencapai keutuhan unity secara eksklusi exclusion, dengan membiarkan hal-hal yang dianggap tidak esensial; novel mencapai keutuhannya secara inklusi inclusion, yakni bahwa novelis mengukuhkan keseluruhannya dengan kendali tema karyanya. Dalam kaitan ini, harus dicatat bahwa berbagai hal yang sudah dikemukakan tersebut cenderung dapat dijumpai pada fiksi konvensional. A da dua kelo mpok pengamat dan ilmuwan yang mengemukakan pendapatnya ketika membicarakan perkembangan fiksi Indonesia. Kelompok pertama yang mengatakan bahwa fiksi diawali oleh terbitnya no vel-novel dan beberapa kumpulan cerpen karya sastrawan pribumi melalui penerbit Balai Pustaka. Penganut pendapat ini adalah A . Teeuw dan Umar Junus. Di samping itu, ada yang berpendapat bahwa fiksi Indonesia telah ditulis dan diterbitkan beberapa orang Indonesia sebelum ada penerbit Balai Pustaka, seperti dikemukakan oleh Jakob Sumardjo dan Bakri Siregar. Karya-karya kelo mpo k pertama biasanya disebut sebagai tradisi Balai Pustaka, sementara kelompok kedua disebut sastra non-Balai Pustaka. Untuk mengetahui perkembangan fiksi Indonesia dapat digunakan sejumlah sumber data, yaitu Bibliografi Sastra Indonesia Pamusuk Eneste, 2001, Buku Pintar Sastra Indonesia: Biografi Pengarang dan Karyanya, M ajalah sastra, Penerbit Sastra, Penerjemahan, Lembaga Sastra, dan Daftar Hadiah dan Penghargaan Pamusuk Eneste, 2000, Leksikon Susastra Indonesia Korrie Layun Rampan, 2000, dan berbagai buku sejarah sastra yang telah ditulis para sejarawan sebelumnya, seperti Pokok dan Tokoh dalam Sastra Indonesia A. Teeuw, 1955, Sastra Baru Indonesia A. Teeuw, 1980, Sastra Indonesia Modern II A . Teeuw, 1987, Ensiklopedi Sastra Indonesia Modern Dendy Sugono, 2003, Perkembangan Novel Indonesia Umar Junus, 1974, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia Ajip Rosidi, 1969, dan buku-buku sejarah sastra lainnya. Di samping itu, juga digunakan data-data yang berasal dari majalah sastra, seperti Horison, surat kabar Kompas, Republika, Suara Pembaharuan, serta no vel-novel yang telah diterbitkan. Karya fiksi baca: novel dan ceria pendek berjudul apa sajakah yang telah ditulis oleh para penulis fiksi Indonesia? Bagaimanakah tanggapan masyarakat terhadap karya-karya tersebut? Dengan mengungkap informasi ini, maka sejarah fiksi Indonesia tentu dapat dipahami.

2. Dominasi Penulis Laki-laki dalam Perkembangan Fiksi Indonesia