Isu Gender dalam Sejarah Drama Indonesia

bentuk teater. Tapi lebih sebuah tribut dan sosialisasi pemikiran Pram tentang perempuan. Oleh Seno Joko Suyono Sumber: Tempo, No. 26 XXXVI 20-26 A gustus 2007

4. Isu Gender dalam Sejarah Drama Indonesia

Drama Indo nesia yang pertama masih menjadi perdebatan. A da sejumlah kritikus yang menyatakan bahwa Bebasari karya Roestam Effendi yang terbit pada 1926 sebagai drama pertama Indo nesia. Ada yang menyebut Lelakon Raden Beiy Surio Retno karya F. Wiggers terbit 1901 sebagai karya drama yang pertama , bukan Bebasari. Dalam lampiran karya drama buku Jakob Soemardjo 1992: 373 malah Boekoe Komidi Terpake bagi Komidi Stamboel karya H. Kraft tertulis pada 1893, lebih tua lagi. Selain itu, berbeda dengan karya sastra berbentuk puisi ataupun pro sa novel dan cerpen yang banyak terdokumentasi dan banyak diapresiasi masyarakat, karya drama sebagai karya sastra mengalami kendala tersendiri manakala akan dilacak keberadaannya. Drama, berbeda dengan teater, termasuk anak tiri dari karya sastra. Keberadaannya hanya sekedar catatan historis, keberadaannya mungkin lebih memprihatinkan lagi. Karya drama seringkali tenggelam manakala naskah tersebut dipentaskan dalam pertunjukan teater. Ketika pembahasan mengenai isu gender dalam drama hendak dianalisis, kendala pertama tidak hanya sulitnya mendapatkan drama tersebut, tetapi info rmasi historis tentang drama tersebut tergolo ng minim. Tidak mudah mendapatkan data yang terkait dengan to pik isu gender dalam drama Indonesia, apalagi jika dikaitkan dengan kesadaran gender atau isu feminisme dalam karya drama Indonesia. Perempuan sebagai tema sentral drama Indonesia bukanlah hal yang baru ataupun hal yang asing. Bahkan jauh sebelum masuknya pengaruh modernisme, termasuk dalam drama, teater-teater tradisio nal banyak menampilkan so sok perempuan atau hal-hal yang terkait dengan perempuan. Cerita Panji yang populer dalam cerita Jawa Pertengahan melibatkan toko h perempuan semacam Candra Kirana yang dalam petualangannya berusaha mencari pasangannya, Panji A smoro Bangun. Dalam petualangan pencarian ini, to koh perempuan ini menyamar menjadi laki-laki. Cerita Ande-Ande Lumut dan cerita sejenisnya juga menampilkan sosok-so sok perempuan dalam “ memperebutkan laki-laki” . Cerita Jawa pada awal abad ke-11 atau ke-12 di Singasari tidak hanya berkisah tentang Ken A rok, tetapi malah lebih berpusat pada Ken Dedes, perempuan yang menjadi sumber perebutan tahta dan pembunuhan balas dendam seputar keluarganya. Tidak hanya Pramoedya Ananta Toer yang menuliskan peristiwa Singasari ini ke dalam karya sastra novel. Ada sejumlah penulis drama Indo nesia yang menuliskan peristiwa historis ini ke dalam karyanya seperti Muhamad Yamin dengan judul Ken Arok dan Ken Dedes 1934 dan Slamet Muljana dengan judul Ken Dedes 1951. Cerita tentang peran perempuan sebagai ibu juga tampak dari sejumlah judul yang mengacu pada to koh-toko h yang melegenda seperti Dayang Sumbi ataupun Masyito h. Dayang Sumbi adalah perempuan yang melahirkan Sangkuriang yang kemudian setelah terpisah sekian tahun menjadi kekasih anaknya. Dayang Sumbi berasal dari legenda Sunda. Sementara Masyitoh adalah perempuan yang disiksa oleh majikannya karena koko h dengan keyakinan. Cerita ini berasal dari Timur Tengah. Kisah Sangkuriang dengan Dayang Sumbi diangkat menjadi naskah drama setidaknya oleh Utuy Tatang Sontani yang berjudul Sangkuriang Dayang Sumbi 1953. Kisah Masyitoh pernah ditulis oleh Junan Helmy Nasutio n berjudul Dewi M asyitoh 1962 dan A jip Ro sidi berjudul Masyitoh 1965. Pada periode awal kesusastraan Indonesia, khususnya pada awal abad ke-20 banyak dikisahkan tokoh-toko h perempuan sebagai ibu, baik sebagai to koh teladan maupun tokoh hujatan. Cerita-cerita drama berikut ini setidaknya menggambarkan peran perempuan sebagai ibu dalam drama Indonesia: 1 Cerita Satu Ibu Tiri yang Pinter Ajar Anak karya A nonim 1917, 2 Satu Ibu Tiri yang Kejam karya Khoe Tiong Ham 1920, 3 Lady Yen Mei karya Njoo Cheo ng Seng 1922. Selain itu juga karya-karya seperti: 4 Ibu atawa Isteri dan Pramuan dan Dapur , keduanya karya Oen Tjhing Tiauw 1930, 5 Ibu, Anak, Mantu karya Ong Ping Lo k 1935, 6 karya-karya A rmijn Pane seperti Nyi Lenggang Kencana 1939, Kami, Perempuan 1942, 7 karya Motinggo Busje seperti Nyonya dan Nyonya 1963, 8 karya Kuntowijoyo yang berjudul Tak ada W aktu bagi Nyonya Fatma 1972. Cerita gadis remaja dengan kekasihnya seperti Romeo dan Juliet juga banyak dikisahkan dalam sejumlah drama. Karya Shakespeare ini setidaknya ditulis ulang menjadi Romeo dan Juliet A nonim, 1936 dan oleh Nano Riantiarno dari Teater Koma pada akhir abad ke-20. To ko h-tokoh gadis remaja sebagai pusat cerita juga banyak dikisahkan dalam sejumlah drama. Bebasari karya Roestam Effendi pada 1926 berkisah tentang perempuan yang disekap oleh raksasa, mirip seperti penyekapan Sinta oleh Rahwana. Meski demikian, cerita drama Bebasari merupakan gambaran simbolik akan cengkeraman penjajah terhadap Indonesia yang digambarkan sebagai gadis cantik yang tak berdaya. Cerita-cerita drama lainnya dalam sejumlah karya berikut menggambarkan toko h gadis remaja sebagai pusat penceritaan seperti terdapat pada: Gadis Modern karya A dlin A ffandi 1941, Bunga Rumah Makan 1947, Awal dan Mira 1951 karya Utuy Tatang Sontani, lalu Nona Marjam karya Kirdjomuljo 1955, Siti Djamilah karya Joebaar Ajoeb: 1956, ataupun karya-karya D. Suradji pada 1957 Extrimis Manis, dan Bunga Desa, Tema perselingkuhan oleh perempuan juga menjadi salah satu tema yang diangkat oleh Mo tinggoe Busje dalam dramanya yang berjudul Malam Jahanam 1959. Tema pelacuran juga menjadi tema yang menggambarkan perempuan-perempuan pinggiran seperti yang terdapat dalam drama- drama: Orang-orang di Tikungan Jalan W.S. Rendra, 1954, Mimi Pelacurku Jasso Winarto, 1972, Opera Kecoa N. Riantiarno, 1985 atau Opera Julini N. Riantiarno, 1986. Dalam Opera Julini, Nano Riantiarno tidak hanya mengangkat kehidupan para pelacur tetapi juga mengungkap kaum waria. Yang menarik dari data-data yang ada, sangat sedikit sekali penulis drama Indonesia dari kalangan perempuan. Berdasarkan data lampiran Jakob Soemardjo ataupun lampiran penelitian Nurhadi, tidak tampak adanya penulis drama perempuan. Hanya Ratna Sarumpaet yang menulis sejumlah naskah untuk pementasan kelompok teaternya seperti monolog ” Marsinah Menggugat” pernah dipentaskan di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki, 28-10-1997, ” Luka Serambi Mekah” dipentaskan di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 2000, dan ” A nak-Anak Kegelapan” dipentaskan di Graha Bhakti Budaya, 25-30 September 2003. To koh-toko h perempuan yang bergiat dalam teater ataupun drama masih berada dalam bayang-bayang laki-laki, baik sebagai penulis drama atau dalam kepemimpinan teater. Belum ditemukan penulis drama perempuan, yang mengusung tema- tema tentang isu gender apalagi yang menyuarakan paham feminisme. Dalam sejarah perteateran Indonesia, baru hanya sebatas drama terjemahan saja yang menyuarakan gerakan feminisme seperti pada naskah Perempuan di Titik Nol karya Nawal Saadawi asal Mesir dan naskah The Vagina Monologue karya Eve Ensler asal Amerika Serikat. Naskah Saadawi pernah dipentaskan di TIM Jakarta A pril 2002 oleh kelompok teater so lidaritas Perempuan yang disutradarai oleh Daniel Hariman Jakob; sementara naskah Ensler pernah dipentaskan di TIM Jakarta Maret 2002 oleh Ayu Azhari dkk di bawah arahan sutradara Jajang C. Noer. Patut dipertanyakan mengapa dalam perkembangan perteateran, khususnya dalam penulisan naskah drama, tidak muncul penulis dari kalangan perempuan. Kalau ada, perbandingannya sangat sedikit di bandingkan dengan penulis laki-laki. Tema-tema perempuan dan pro blematika yang terkait dengan perempuan baru dikemukakan oleh para penulis drama laki-laki. Memang tidak semua penulis laki-laki oto matis menggambarkan bias gender terhadap perempuan. Dalam sejumlah kasus ada sejumlah penulis laki-laki yang sadar gender dan memperjuangkan kepentingan perempuan, sebaliknya tidak sedikit penulis perempuan yang mengukuhkan praktik patriarki. Permasalahannya mengapa penulis perem- puan tidak memilih bentuk karya drama?

C. RANGKUM A N