Valuasi Ekonomi Hutan Tele Terhadap Masyarakat Di Kabupaten Samosir

(1)

VALUASI EKONOMI HUTAN TELE

DI KABUPATEN SAMOSIR

SKRIPSI

Oleh :

Dharma Yoga Putra S. 091201157

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2015


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Valuasi Ekonomi Hutan Tele Terhadap Masyarakat Di Kabupaten Samosir

Nama : Dharma Yoga Putra S.

NIM : 091201157

Program Studi : Kehutanan

Disetujui oleh, Komisi Pembimbing :

Yunus Afifuddin, S.Hut, M.Si Siti Latifah, S. Hut, M. Si, Ph.D

Ketua Anggota

Mengetahui,

Siti Latifah, S. Hut, M. Si, Ph. D Ketua Program Studi Kehutanan


(3)

ABSTRAK

DHARMA YOGA PUTRA S.: Valuasi Ekonomi Hutan Tele di Kabupaten Samosir. Dibimbing oleh YUNUS AFIFUDDIN dan SITI LATIFAH.

Hutan Tele sebagian besar dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar hutan, namun masyarakat kurang mengetahui nilai-nilai penting dan arti hutan yang sebenarnya bagi kehidupan, mereka pada umumnya hanya mengetahui cara mengambil atau memanfaatkan hasil-hasil hutan berdasarkan pengetahuan mereka sendiri secara turun-temurun, tanpa mengetahui cara yang tepat untuk menjaga kelestarian dan eksistensi hutan. Oleh karena itu perlu adanya suatu evaluasi untuk mengetahui arti penting hutan bagi masyarakat, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dan bagaimana strategi pengembangan terhadap pelestarian hutan Tele. Untuk itu, penelitian tentang Valuasi Ekonomi Hutan Tele di kabupaten Samosir telah dilakukan pada bulan November sampai dengan Desember 2014.

Penelitian ini menggunakan metode wawancara dan pengukuran langsung di lapangan untuk mengetahui nilai ekonomi hutan dan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhinya. Data yang diperoleh dari responden ditabulasikan, kemudian digunakan sebagai analisis untuk mengetahui nilai ekonomi total hutan

dan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhinya. Nilai

ekonomi total hutan Tele adalah sebesar Rp 806.357.253.000/tahun atau Rp 11.962.692/tahun/hektar. Nilai-nilai ekonomi yang terdapat di hutan Tele

adalah manfaat hutan langsung berupa kayu bakar, anggrek, andaliman dan manfaat hutan tidak langsung berupa nilai air rumah tangga, nilai air irigasi, nilai penyerapan karbon serta nilai pilihan dan nilai keberadaan.


(4)

ABSTRACT

DHARMA YOGA PUTRA S .: The Valuation of Forest Economy in Samosir Tele. Guided by YUNUS Afifuddin and SITI Latifah.

Tele forest mostly used by people around the forest, but the public are not informed about important values and meaning to the lives of real forest, they generally only know how to take or make use of forest products based on their own knowledge from generation to generation, without knowing the proper way to preserve forests and existence. Hence the need for an evaluation to determine the importance of forests to society, the values contained in it and how the development strategy for forest conservation Tele. To that end, research on the Economic Valuation of Forest Tele Samosir district has been carried out in November to December 2014.

This study using interviews and direct measurements in the field to determine the economic value of forests and determine the factors that influence it. Data obtained from respondents are tabulated, then used as an analysis to determine the total economic value of forests and to determine the factors that influence it. Tele total economic value of forests is Rp 806.357.253.000/tahun or Rp 11,962,692 / year / ha. Economic values contained in the woods Tele is a direct benefit in the form of firewood forests, orchids, andaliman and indirect forest benefits such as the value of household water, irrigation water value, the value of carbon sequestration as well as the option value and existence value.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan anugerahNya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Valuasi Ekonomi Hutan Tele Terhadap Masyarakat di Kabupaten Samosir”. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk melakukan penelitian.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada orangtua penulis yang telah membimbing, mendidik dan memberikan semangat serta mendukung penulis untuk doa dan materil. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada ketua komisi pembimbing Bapak Yunus Afifuddin, S.Hut, M.Si. dan anggota komisi pembimbing Ibu Siti Latifah S.Hut, M.Si, Ph.D. yang terus membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam mengerjakan menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari penulisan maupun isi. Penulis berharap kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan terutama bagi pengembangan ilmu kehutanan.


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

Manfaat Penelitian ... 2

TINJAUAN PUSTAKA Hutan ... 3

Manfaat Hutan ... 3

Nilai Ekonomi Hutan ... 5

Nilai Penyerapan Karbon ... 6

Penilaian Sumber Daya Hutan ... 7

Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 9

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ... 10

Alat dan Bahan Penelitian ... 10

Prosedur Penelitian... 10

Teknik Pengumpulan Data ... 11

Pengolahan data ... 11

HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai Guna Langsung ... 18

Metode Harga Pasar ... 19

Metode harga Pengganti ... 20

Nilai Guna Tidak Langsung ... 21

Nilai Air Rumah Tangga ... 21

Nilai Air untuk Irigasi ... 21

Nilai Penyerapan Karbon ... 23

Nilai Pilihan ... 25

Nilai Keberadaan ... 26


(7)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... 30

Saran ... 30

DAFTAR PUSTAKA ...31


(8)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Jenis dan total pengambilan hasil hutan secara langsung per tahun ... 19

2. Hasil perhitungan nilai guna langsung dengan metode harga pasar ... 19

3. Hasil perhitungan nilai biaya pengadaan air per orang per tahun ... 22

4. Nilai air irigasi di wilayah Tele ... 23

5. Perhitungan nilai penyerapan karbon Hutan Tele ... 24


(9)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Kerangka Pemikiran tentang Jasa Lingkungan Hutan bagi Masyarakat

Lokal dan Valuasi Ekonominya dengan Metode Willingness to Pay (WTP) ... 9

2. Bagan Nilai Ekonomi Hutan Total ... 12

3. Kayu Bakar ... 20

4. Tumbuhan Andaliman ... 21

5. Buah Andaliman ... 21


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Rekap Data Responden Penelitian ... 33

2. Perhitungan Nilai Ekonomi Total Hutan Tele ... 35

3. Dokumentasi Penelitian ... 38


(11)

ABSTRAK

DHARMA YOGA PUTRA S.: Valuasi Ekonomi Hutan Tele di Kabupaten Samosir. Dibimbing oleh YUNUS AFIFUDDIN dan SITI LATIFAH.

Hutan Tele sebagian besar dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar hutan, namun masyarakat kurang mengetahui nilai-nilai penting dan arti hutan yang sebenarnya bagi kehidupan, mereka pada umumnya hanya mengetahui cara mengambil atau memanfaatkan hasil-hasil hutan berdasarkan pengetahuan mereka sendiri secara turun-temurun, tanpa mengetahui cara yang tepat untuk menjaga kelestarian dan eksistensi hutan. Oleh karena itu perlu adanya suatu evaluasi untuk mengetahui arti penting hutan bagi masyarakat, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dan bagaimana strategi pengembangan terhadap pelestarian hutan Tele. Untuk itu, penelitian tentang Valuasi Ekonomi Hutan Tele di kabupaten Samosir telah dilakukan pada bulan November sampai dengan Desember 2014.

Penelitian ini menggunakan metode wawancara dan pengukuran langsung di lapangan untuk mengetahui nilai ekonomi hutan dan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhinya. Data yang diperoleh dari responden ditabulasikan, kemudian digunakan sebagai analisis untuk mengetahui nilai ekonomi total hutan

dan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhinya. Nilai

ekonomi total hutan Tele adalah sebesar Rp 806.357.253.000/tahun atau Rp 11.962.692/tahun/hektar. Nilai-nilai ekonomi yang terdapat di hutan Tele

adalah manfaat hutan langsung berupa kayu bakar, anggrek, andaliman dan manfaat hutan tidak langsung berupa nilai air rumah tangga, nilai air irigasi, nilai penyerapan karbon serta nilai pilihan dan nilai keberadaan.


(12)

ABSTRACT

DHARMA YOGA PUTRA S .: The Valuation of Forest Economy in Samosir Tele. Guided by YUNUS Afifuddin and SITI Latifah.

Tele forest mostly used by people around the forest, but the public are not informed about important values and meaning to the lives of real forest, they generally only know how to take or make use of forest products based on their own knowledge from generation to generation, without knowing the proper way to preserve forests and existence. Hence the need for an evaluation to determine the importance of forests to society, the values contained in it and how the development strategy for forest conservation Tele. To that end, research on the Economic Valuation of Forest Tele Samosir district has been carried out in November to December 2014.

This study using interviews and direct measurements in the field to determine the economic value of forests and determine the factors that influence it. Data obtained from respondents are tabulated, then used as an analysis to determine the total economic value of forests and to determine the factors that influence it. Tele total economic value of forests is Rp 806.357.253.000/tahun or Rp 11,962,692 / year / ha. Economic values contained in the woods Tele is a direct benefit in the form of firewood forests, orchids, andaliman and indirect forest benefits such as the value of household water, irrigation water value, the value of carbon sequestration as well as the option value and existence value.


(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan merupakan persekutuan hidup alam hayati atau disebut masyarakat tumbuhan yang kompleks yang terdiri atas pohon-pohon, semak, tumbuhan bawah, jasad renik tanah, hewan dan alam lingkungannya. Semua itu mempunyai keterikatan dalam hubungan ketergantungan satu sama lainnya. Uraian ini dapat disimpulkan bahwa hutan dituntut mempunyai keseimbangan sistem ekologi lingkungan hidup, menyelamatkan semua mahluk hidup didalamnya, gudang penyimpanan plasma nutfah, mempertahankan degradasi lahan dan erosi, sumber kayu industri dan gergajian lokal, sumber hasil ikutan bagi penduduk setempat serta wisata alam dan kegiatan penelitian (Arief, 2001).

Keberadaan daya dukung hutan terhadap segala aspek kehidupan sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hutan untuk dimanfaatkan dan dikelola. Hutan menjadi media hubungan timbal balik antara manusia dan makhluk hidup lainnya dengan faktorfaktor alam yang terdiri dari proses ekologi dan merupakan suatu kesatuan siklus yang dapat mendukung kehidupan (Reksohadiprojo, 2000). Masyarakat lokal yang memiliki pendidikan rendah sangat rentan terhadap pengaruh budaya luar yang konsumtif (Ngakan , 2006). Keadaan ini menyebabkan masyarakat tidak lagi memanfaatkan sumberdaya hutan secara arif dan bijaksana, namun cenderung melakukan perambahan dan eksploitasi yang tidak terkendali. Kondisi ini terjadi di hampir semua kawasan di Indonesia, khususnya hutan konservasi.

Hutan Tele sebagian besar dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar hutan, namun masyarakat kurang mengetahui nilai-nilai penting dan arti hutan yang


(14)

sebenarnya bagi kehidupan mereka. Masyarakat pada umumnya hanya mengetahui cara mengambil atau memanfaatkan hasil-hasil hutan berdasarkan pengetahuan mereka sendiri yang telah diwariskan secara turun-temurun dari leluhur mereka, tanpa mengetahui cara yang tepat untuk menjaga kelestarian dan eksistensi hutan. Oleh karena itu perlu adanya suatu evaluasi untuk mengetahui arti penting hutan bagi masyarakat, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dan bagaimana strategi pengembangan terhadap pelestarian hutan Tele. Penulis berharap hasilnya nanti dapat bermanfaat bagi masyarakat sehingga masyarakat tidak hanya sekedar tinggal di wilayah sekitar hutan dan memanfaatkannya, namun dapat mengetahui cara pemanfaatan hasil hutan yang baik, cara menjaga kelestarian hutan dan lebih menghargai hutan sebagai pendukung penting kehidupan sehari-hari masyarakat sekitar hutan.

Tujuan Penelitian

Menganalisis valuasi ekonomi hutan di wilayah Tele, desa Partungkonaginjang, Kecamatan Harian, Kabupaten Samosir.

Manfaat Penelitian

Sebagai bahan informasi dan dokumentasi bagi pengguna, baik masyarakat umum, pemerintah, lembaga, badan usaha atau organisasi yang terkait dengan pemanfaatan dan perlindungan hutan Tele di Kabupaten Samosir.


(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Hutan

Klasifikasi sumber daya alam terbagi ke dalam bentuk, yaitu: lahan pertanian, hutan dengan aneka ragam hasilnya, lahan alami untuk keindahan (rekreasi), perikanan darat dan perikanan laut, sumber mineral bahan bakar dan non bahan bakar, sumber energi non-mineral, misalnya panas bumi, angin, sumber tenaga air dan sebagainya. Hutan sebagai bagian dari sumber daya alam nasional memiliki arti dan peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan lingkungan hidup (Zain, 1997).

Hutan menurut Undang-Undang 41 tahun 1999 tentang kehutanan, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan yang berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dan persekutuan alam dan lingkungannya satu dengan yanng lainnya yang tidak dapat dipisahkan. Hutan banyak mengubah keseimbangan panas pada permukaan tanah khususnya selama periode radiasi positif bersih dan dapat mengurangi fluktuasi suhu tanah. Sehingga dapat mempengaruhi kualitas air baik secara langsung maupun tidak langsung. Pemungutan kayu dan degradasi lahan merupakan gangguan ekosistem dengan dampak-dampak yang secara potensial drastis terhadap kualitas produksi air, erosi dan percepatan sedimentasi. Gangguan terhadap ekosistem ini dapat mempengaruhi debit air pada sungai (Richard, 1990).

Manfaat Hutan

Hutan dengan penyebaran yang luas dengan struktur dan komposisi yang beragam diharapkan mampu menyediakan manfaat lingkungan yang besar bagi kehidupan manusia antara lain jasa peredaman terhadap banjir, erosi dan


(16)

sementasi serta pengendalian daur air. Semua peran vegetasi tersebut bersifat dinamik yang akan berubah dari musim ke musim dan dari tahun ke tahun. Dalam keadaaan hutan yang tetap mantap, perubahan peran hutan mungkin hanya nampak secara musiman sesuai dengan pola sebaran hujannya. Peran hutan terhadap pengendalian daur air dimulai dari peran tajuk menyimpan air sebagai intersepsi sampai pengendalian aliran. Kebanyakan persoalan distribusi sumber daya air selalu berhubungan dengan dimensi ruang dan waktu. Akhir-akhir ini sering dihadapkan pada suatu keadaan berlebihan air pada musin penghujan dan kekurangan air di musim kemarau (Suryatmojo, 2004).

Keberadaan pohon-pohon dapat dimanfaatkan dan dinikmati oleh setiap orang tanpa harus membayar manfaat yang diterima tersebut. Manfaat yang dimiliki suatu keberadaan pohon-pohon tidak dapat dipindahtangankan melalui harga-harga yang ada di pasar. Dengan kata lain, manfaat keberadaan pohon-pohon tidak dapat diperjualbelikan. Hal ini karena keberadaan pohon-pohon-pohon-pohon adalah barang publik. Keberadaan pohon-pohon yang tidak memiliki harga di pasar menyebabkan kecilnya perhatian terhadap manfaat keberadaan tegakan pohon. Keadaan seperti ini akhirnya cenderung mengakibatkan berkurangnya rangsangan untuk memberikan kontribusi terhadap penyediaan dan pengelolaan barang publik. Walaupun ada kontribusi, sumbangan yang diberikan tidaklah cukup besar untuk membiayai penyediaan barang publik yang efektif dan efisien, karena masyarakat cenderung memberikan nilai yang lebih rendah dari yang seharusnya (Nazaruddin, 1996).

Pohon memiliki pengaruh yang baik terhadap lingkungan. Hanya dalam hal-hal tertentu dapat merugikan. Sebagai contoh, membusuknya akar


(17)

tumbuhan/pohon yang mati atau setelah ditebang, maka akan memperbesar pori-pori tanah (bila bekas tebangan dibiarkan). Jika terjadi hujan, air dengan mudah berinfiltrasi ke dalam tanah. Pemilihan tipe pohon untuk kestabilan lereng sangat penting. Walaupun pohon umumnya memiliki pengaruh menguntungkan pada stabilitas lereng, namun pada kondisi tertentu pohon bisa memberikan pengaruh yang buruk (Hardiyatmo, 2006).

Nilai Ekonomi Hutan

Hasil hutan juga jelas merupakan sumberdaya ekonomi potensial yang beragam yang didalam areal kawasan hutan mampu menghasilkan hasil hutan kayu, non kayu dan hasil hutan tidak kentara (intangible) seperti perlindungan tanah, pelestarian sumberdaya air dan beragam hasil wisata. Uraian tersebut di atas terungkap bahwa hutan, kehutanan dan hasil hutan sesungguhnya menjadi sumberdaya (resources) yang mempunyai potensi menciptakan barang, jasa serta aktifitas ekonomi yang sangat bermanfaat bagi masyarakat. Kajian ekonomi akan meliputi semberdaya sendiri-sendiri atau secara majemuk sehingga disebut sumberdaya hutan (Wirahadikusumah, 2003).

Nilai valuasi ekonomi atau kuantifikasi nilai ekonomi fungsi, manfaat dan intensitas dampak kegiatan pada ekosistem hutan akan sangat bermanfaat untuk menentukan apakah ekosistem hutan di suatu lokasi dapat dimanfaatkan atau sebaiknya dipertahankan dalam kondisi alaminya. Apabila ternyata dapat dimanfaatkan, valuasi ekonomi juga dapat memberikan arahan sejauh mana pemanfaatan tersebut dapat dilaksanakan, sehingga tidak melebihi daya dukung dan bahkan mengurangi fungsi ekologisnya. Dengan demikian, konsep


(18)

pemanfaatan berkelanjutan yang mempertahankan fungsi ekonomi dan ekologis dari ekosistem hutan masih dapat terus dipertahankan (KemenLH, 2012).

Nilai Penyerapan Karbon

Sebagai komunitas tanaman berkayu yang tumbuh dan hidup dalam jangka waktu yang relatif panjang, hutan memiliki kesempatan untuk mengakumulasikan karbon dioksida (CO2) atmosfer dalam bentuk biomassa. Dengan demikian vegetasi hutan merupakan cadangan karbon (carbon stock) terestrial yang sangat penting. Oleh karena itu alih-guna lahan dari hutan ke non-hutan dan sebaliknya merupakan aktivitas manusia yang mempengaruhi kemampuan ekosistem hutan dalam melepas dan mengikat karbon atmosfer. Hutan memberikan jasa lingkungan yang sangat penting bagi penyerapan karbon. Karena kondisi vegetasinya yang relatif masih alami yang memiliki fungsi sebagai penyerap karbon, sehingga dapat mengurangi pemanasan global (Alam, dkk., 2009).

Jasa berupa carbon credit ini memiliki nilai ekonomis yang dapat ditransfer dalam kaitannya dengan perjanjian internasional, yaitu Protokol Kyoto, dimana negara-negara industri memiliki kewajiban menurunkan emisi karbon (carbon debit) yang telah ditetapkan dalam perjanjian tersebut. Sementara ini hingga tahun 2012 kegiatan alih guna lahan hanya terbatas pada agforestasi dan reforestasi. Sedang kredit karbon yang ditransfer secara sukarela dapat melibatkan kegiatan konservasi, sehingga jasa lingkungan lainnya seperti perlindungan nilai keanekaragaman hayati dan fungsi daerah aliran sungai dapat memberikan nilai tambah yang selanjutnya dapat ditransfer dengan mekanisme pasar lainnya. Perdagangan karbon ini membuat peluang menjual hutan tanpa menebang pohon, sehigga pembangunan yang berkelanjutan dapat terwujud. Perhitungan Nilai


(19)

penyerapan karbon dilakukan dengan menentukan harga jual karbon di pasar internasional (Alam dkk, 2009).

Penilaian Sumberdaya Hutan

Menurut KemenLH (2012), manfaat melakukan valuasi ekonomi ekosistem hutan akan sangat tergantung pada tujuan valuasi itu sendiri yang akan tercermin pada pilihan komponen/penggunaan yang dihitung. Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dengan melaksanakan valuasi ekonomi yang terpadu dan terarah diantaranya adalah:

1. Mengidentifikasi nilai penting, manfaat dan permasalahan yang timbul pada ekosistem hutan.

2. Memandu arah kebijakan dan akuntabilitas pemanfaatan berkelanjutan ekosistem hutan.

3. Menyusun indikator pemanfaatan berkelanjutan ekosistem hutan.

4. Memperbaiki standar untuk mengukur pemanfaatan berkelanjutan ekosistem hutan.

Penilaian sumberdaya hutan merupakan studi tentang metodologi dan konsep penentuan nilai dari sumberdaya hutan. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, langkah pertama untuk untuk memperoleh nilai dari sumberdaya hutan adalah dengan melakukan identifikasi terhadap berbagai jenis manfaat yang dihasilkan dari sumberdaya hutan. Keberadaan setiap jenis manfaat ini merupakan indikator adanya nilai yang menjadi sasaran penilaian. Setiap indikator nilai (komponen sumberdaya hutan) ini dapat berupa barang hasil hutan, jasa dari fungsi ekosistem hutan maupun atribut yang melekat pada hutan tersebut dalam hubungannya dengan sosial budaya masyarakat (Nurfatriani, 2007).


(20)

Gambar 1. Kerangka pemikiran tentang jasa lingkungan hutan bagi masyarakat lokal dan valuasi ekonominya dengan metode willingness to pay (WTP).

Metode yang digunakan dalam CVM terdiri dua macam, yaitu willingness to pay (WTP) yang bertujuan untuk mengetahui keinginan membayar dari masyarakat terhadap perbaikan kualitas lingkungan, dan willingness to accept (WTA) untuk mengetahui keinginan menerima kerusakan lingkungan. Pemilihan teknik ini didasarkan pada hak kepemilikan. Jika individu yang ditanya tidak memiliki hak atas barang dan jasa yang dihasilkan dari sumberdaya alam, maka pengukuran yang relevan adalah willingness to pay (Fauzi, 2004).

Hutan

Manfaat non marketable (jasa lingkungan)

Manfaat marketable (kayu, pangan, obat-obatan, dll)

Off-site effect

(menyerap karbon, menjaga debit air, mencegah banjir, dll)

On-site effect

(kenyamanan, menjaga siklus hara, mencegah erosi, dll)

Persepsi dan penghargaan masyarakat terhadap hutan

Kesediaan membayar (willingness to pay)

Persepsi dan penghargaan pemilik lahan terhadap hutan

Penanaman / Rehabilitasi hutan


(21)

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Wilayah hutan Tele termasuk ke dalam desa Partungkonaginjang, Kecamatan Harian, kabupaten Samosir. Wilayah ini terletak di dataran tinggi beriklim sejuk, berkabut dan memiliki kelembaban yang cukup tinggi, berada pada ketinggian 1.875,5 meter di atas permukaan laut, dan sebagian besar wilayahnya merupakan hutan alam yang berstatus hutan negara.

Jumlah penduduk yang terdapat di Tele adalah sebanyak 204 KK, masyarakat Tele sebagian besar bermata pencaharian sebagai pedagang dan pengusaha warung atau kedai kopi serta petani yang memiliki ladang kecil di sekitar wilayah hutan. Namun pada umumnya masyarakat sekitar masih bergantung pada hutan atau memanfaatkan hasil-hasil dari hutan, misalnya sebagai penyedia sumber air, menghasilkan iklim mikro, penunjang lahan-lahan pertanian, hasil-hasil hutan yang dijual atau dikonsumsi sehari-hari seperti kayu bakar, hewan buruan, bunga dan tumbuhan-tumbuhan yang memiliki nilai eksotis tertentu dan laku dijual ke pasaran, akar-akaran dan tumbuhan obat, dan juga hasil-hasil hutan lainnya.


(22)

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November-Desember 2014 di desa Partungkonaginjang, Kecamatan Tele, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Kegiatan pengolahan data akan dilakukan di Laboratorium Manajemen Hutan, Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis, buku data, perangkat keras (komputer), dan kamera digital. Bahan yang digunakan adalah kuesioner, data primer dan data sekunder.

Prosedur Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode wawancara dan pengukuran langsung di lapangan untuk mengetahui nilai ekonomi hutan dan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhinya. Metode pengambilan sampel dilakukan dengan cara Purposive Sampling (sampel bertujuan). Untuk menentukan jumlah sampel pada penelitian digunakan metode Slovin (Sevilla, 1960:182), sebagai berikut :

n = N N.d² + 1 Dimana :

n : jumlah sampel

N : jumlah populasi (204 KK)

d : tingkat kesalahan (tingkat kesalahan 10%, dengan tingkat kepercayaan 90%)

Dengan mengambil tingkat kesalahan (d) 10 % dan jumlah populasi (N) 204 KK, maka didapatkan jumlah sampel (n) sebanyak 67 KK.


(23)

Nilai Ekonomi Total

Nilai Non Guna Nilai Guna

Nilai Guna Langsung

Nilai Guna Tidak Langsung

Nilai Pilihan Nilai Keberadaan

-Hasil Hutan Kayu -Hasil Hutan Non Kayu

- Nilai Air Rumah Tangga -Nilai Air Irigasi -Penyerapan Karbon Biaya Kesempatan Penilaian Kontingensi Teknik Pengumpulan Data

Data diperoleh dari wawancara dengan masyarakat yang dilakukan dengan cara perbincangan langsung dengan menggunakan kuesioner. Data dapat diperoleh dari masyarakat khususnya petani, baik yang melakukan usaha hutan rakyat maupun yang tidak, tokoh masyarakat dan aparat setempat (kantor desa dan kecamatan). Penentuan desa terpilih dilakukan berdasarkan informasi dari instansi setempat dan tokoh masyarakat yang memahami kondisi kehutanan di Kabupaten Samosir yaitu Dinas Kehutanan, Kantor BPDAS, kantor kecamatan, kantor desa dan ketua kelompok tani hutan, dan dari data sekunder yaitu laporan dan peta, serta dari pengamatan di lapangan.

Pengolahan Data

Data yang diperoleh dari responden ditabulasikan ke dalam tabel, kemudian digunakan sebagai analisis untuk mengetahui nilai ekonomi total hutan dan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhinya.


(24)

Sesuai dengan bagan nilai ekonomi total tersebut, maka tahapan-tahapan penilaian manfaat-manfaat hutan digunakan analisis sebagai berikut :

A. Menghitung Nilai Guna Langsung

Perhitungan ini dilakukan untuk mengetahui nilai manfaat dari hasil hutan yang digunakan secara langsung dan mempunyai nilai pasar. Pendekatan yang digunakan adalah metode harga pasar (market price) dan metode harga barang subtitusi (pengganti) atau harga barang yang sama di daerah lain. Nilai manfaat langsung ini berupa nilai hasil hutan kayu dan non kayu.

1. Metode Harga Pasar

Pasar sebagai tempat pertukaran barang atau jasa antara pembeli dan penjual pada harga yang disetujui bersama. Nilai pasar adalah harga barang dan jasa yang ditetapkan oleh penjual dan pembeli dalam keadaan kompetisi sempurna. Penilaian ekonomi manfaat hutan langsung diturunkan melalui interaksi antara produsen dan konsumen melalui permintaan dan penyediaan manfaat hutan langsung (transaksi pasar). Nilai manfaat hutan langsung untuk setiap jenis manfaat per tahun yang diperoleh masyarakat dihitung melalui proses sebagai berikut:

I. Menghitung nilai rata-rata jumlah manfaat untuk tiap jenis manfaat yang diambil per responden, rata-rata frekuensi pengambilan perjenis manfaat per responden per tahun, dan total jumlah pemungut per jenis manfaat.

II. Nilai rata-rata jumlah yang diambil dikali rata-rata frekuensi pengambilan, lalu dikali total jumlah pemungut, akan diperoleh total pengambilan per unit manfaat pertahun.


(25)

III. Harga manfaat hutan langsung diperoleh dari wawancara dengan pendekatan metode harga pasar. Harga dihitung dari nilai rata - rata hasil wawancara terhadap responden terpilih.

IV. Nilai ekonomi hasil/manfaat hutan langsung per jenis manfaat per tahun dihitung dari perkalian antara total pengambilan per jenis per tahun manfaat dikalikan harga pasar (Affandi dkk, 2004).

Dengan rumus:

NEi = TP x HP ...…. (Affandi dkk, 2004)

Keterangan :

NEi : Nilai Ekonomi Tiap Jenis (Rp/Tahun)

TP : Total Pengambilan/Pemungutan Manfaat Hutan Langsung (satuan disesuaikan dengan

jenis manfaat hutan/Tahun)

HP : Harga Pasar Tiap Jenis (Rp)

2. Metode Harga Pengganti

Harga manfaat hutan langsung yang tidak mempunyai pasar, diperoleh melalui pendekatan harga pengganti. Metode ini berdasarkan pada kenyataan bahwa nilai sumberdaya hutan yang tidak memiliki harga pasar dapat tergambarkan secara tidak langsung pada pengeluaran konsumen (Bioshop, 1999) dalam Ginogo, dkk (2007). Harga pengganti dihitung dari nilai waktu yang dibutuhkan untuk mengambil manfaat hutan langsung tersebut dari hutan.

Waktu yang dimaksudkan adalah rata-rata waktu yang dibutuhkan dari hasil wawancara terhadap responden terpilih. Nilai waktu diperoleh dari nilai upah tenaga kerja buruh tani di daerah sampel. Nilai manfaat hutan langsung tersebut, dapat dihitung melalui proses sebagai berikut:


(26)

I. Menghitung nilai rata-rata jumlah manfaat untuk tiap jenis manfaat yang diambil per responden, rata-rata frekuensi pengambilan perjenis manfaat per responden per tahun, dan total jumlah pemungut per jenis manfaat.

II. Nilai rata-rata jumlah yang diambil dikali rata-rata frekuensi pengambilan, lalu dikali total jumlah pemungut, akan diperoleh total pengambilan per unit manfaat pertahun.

III. Harga manfaat hutan langsung diperoleh melalui pendekatan harga pengganti. Harga pengganti dihitung dari nilai waktu yang dibutuhkan untuk mengambil manfaat hutan langsung tersebut dari hutan. Nilai waktu diperoleh dari nilai rata-rata upah tenaga kerja buruh tani di daerah sampel. Waktu dihitung dari nilai rata - rata hasil wawancara terhadap responden terpilih.

IV. Nilai ekonomi manfaat hutan langsung per jenis manfaat per tahun dihitung dari perkalian antara total waktu pengambilan per jenis manfaat dikalikan nilai waktu.

Dengan rumus:

NEi = LW x NW …… (Affandi dkk, 2004)

Keterangan :

Nei : Nilai Ekonomi Tiap Jenis (Rp/Tahun)

LW : Lama Waktu Pengambilan (Jam)

NW : Nilai Waktu / Upah Buruh (Rp/Jam)

B. Menghitung Nilai Guna Tidak Langsung 1. Nilai Air Rumah Tangga

Konsumsi air untuk kebutuhan rumah tangga meliputi air minum, air mandi dan air untuk keperluan mencuci didasarkan atas pendekatan biaya pengadaan, yaitu korbanan yang harus dikeluarkan untuk dapat mengkonsumsi atau menggunakan air tersebut dengan menggunakan rumus sebagai berikut :


(27)

HADI = BPADI / KDI .….……… (Alam, 2007)

Dimana :

HADI = Harga/biaya pengadaan air per orang (Rp/thn)

BPADI = Biaya pengadaan air seluruh responden (Rp/thn)

KDI = Total anggota keluarga seluruh responden (orang)

Total nilai ekonomi air rumah tangga didasarkan pada konsumsi air domestik per kapita sehingga pengganda yang digunakan adalah jumlah penduduk di lokasi penelitian yang air domestiknya bersumber dari hutan.

2. Nilai Air untuk Irigasi

Areal pertanian yang dihitung nilai airnya adalah sawah/ladang yang sumber airnya berasal dari irigasi dan merupakan fungsi dari keberadaan hutan (bukan sawah tadah hujan), baik yang berada di daerah hulu maupun daerah hilir. Penentuan harga air dilakukan dengan pendekatan biaya produksi pengadaan air irigasi pada sawah tadah hujan, dengan rumus:

NAP = Hst x Lsi ….……… (Alam, 2007)

Dimana :

NAP = Nilai air pertanian (Rp/tahun)

Hst = Biaya pengadaan air pada sawah tadah hujan (Rp/ha)

Lsi = Luas sawah irigasi

3. Nilai Penyerapan Karbon

Penentuan nilai karbon difokuskan pada hutan primer dan hutan sekunder, vegetasi kawasan hutan di kelompokkan ke hutan sekunder. Untuk nilai karbon digunakan pendekatan harga karbon yang berlaku di pasar internasional. Perhitungan Nilai penyerapan karbon dilakukan dengan menentukan harga jual karbon di pasar internasional serta kandungan karbon setiap jenis hutan. Menurut


(28)

Borwn dan Pearce (1994) dalam Widada (2004), hutan alam primer, hutan sekunder dan hutan terbuka memiliki kemampuan menyimpan karbon masing-masing sebesar 283 ton, 194 ton per hektar dan 115 ton per hektar. Adapun nilai karbon adalah sebesar $ 30 US. Sedangkan menurut Fahri (2002) dalam Alif (2005) harga karbon masih bervariasi, yaitu antar $ 1 US sampai $ 30 US per ton karbon. Untuk menghindari penilaian yang terlalu tinggi digunakan asumsi harga $ 5 US per ton (Alam, 2007).

Penentuan nilai karbon digunakan rumus sebagai berikut :

NPc = L x Kc x Hc ….……… (Alam, 2007)

Dimana :

NPc = Nilai penyerapan karbon hutan (Rp/thn)

L = Luas hutan (67.406 ha)

Kc = Kemampuan menyerap karbon hutan (Hutan sekunder, 194 ton/ha/thn)

Hc = Harga karbon (US$ 5/ton)

C Menghitung Nilai Pilihan

Menggunakan metode pendekatan biaya kesempatan (Opportunity Costs) Apabila data mengenai harga atau upah tidak cukup tersedia, biaya kesempatan atau pendapatan yang hilang dari penggunaan SDA dapat digunakan sebagai pendekatan. Pendekatan ini digunakan untuk menghitung biaya yang harus dikeluarkan guna melestarikan suatu manfaat, dan bukannya untuk memberikan nilai terhadap manfaat itu sendiri. Sebagai contoh, untuk menilai besaran manfaat ekonomi yang harus dikorbankan jika terjadi perubahan sehingga kualitas lingkungan tidak dapat dikembalikan seperti keadaan semula (Khulfi, 2013).

Manfaat pilihan konservasi hutan dalam analisa ini diperhitungkan berdasarkan manfaat keanekaragaman hayati yang dapat didekati dari keberadaan


(29)

hutan. Nilai manfaat keanekaragaman hayati hutan sebesar US$ 9.45/ha/tahun apabila keberadaan hutan tersebut secara ekologis penting dan tetap terpelihara relatif alami (KemenLH, 2012).

D. Menghitung Nilai Keberadaan

Nilai Keberadaan adalah nilai yang diberikan oleh rumah tangga masyarakat di daerah penelitian terhadap keberadaan kawasan hutan atas manfaat spiritual, estetika dan kultural. Nilai spiritual ditunjukan dengan adanya kekayaan dan keindahan kawasan membangkitkan rasa syukur terhadap Tuhan. Nilai keberadaan kawasan hutan Tele ditentukan melalui pendekatan kesediaan membayar (WTP) dari rumah tangga masyarakat Tele untuk menyumbang dalam rangka mempertahankan keberadaan kawasan. Pendekatan yang digunakan dengan Metoda Kontingensi atau Contingent Valuation Methods (CVM).Metode valuasi kontingensi digunakan untuk mengestimasi nilai ekonomi untuk berbagai macam ekosistem dan jasa lingkungan yang tidak memiliki pasar, misal jasa keindahan. Metode ini menggunakan pendekatan kesediaan untuk membayar atau menerima ganti rugi agar sumber daya alam tersebut tidak rusak. Metode ini juga dapat digunakan untuk menduga nilai guna dan nilai non guna. Metode ini merupakan teknik dalam menyatakan preferensi, karena menanyakan orang untuk menyatakan penilaian, penghargaan mereka. Pendekatan ini juga memperlihatkan seberapa besar kepedulian terhadap suatu barang dan jasa lingkungan yang dilihat dari manfaatnya yang besar bagi semua pihak sehingga upaya pelestarian diperlukan agar tidak kehilangan manfaat itu (Septiani, 2012).


(30)

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Nilai Guna Langsung 1. Metode Harga Pasar

Hasil hutan yang dimanfaatkan masyarakat sekitar Hutan Tele adalah sebanyak 3 jenis yaitu kayu bakar, anggrek dan andaliman. Total pengambilan yang dimanfaatkan secara langsung oleh masyarakat dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Jenis dan total pengambilan hasil hutan secara langsung per tahun.

No. Nilai guna langsung

Responden Frekuensi pengambilan per tahun

Ʃ Tiap pengambilan Total pengambilan (Satuan/tahun) Kayu Bakar

1 12 30 360 ikat

1 2 12 30 360 ikat

3 12 30 360 ikat

4 12 150 1800 ikat

Total pengambilan kayu bakar

2880 ikat/tahun

2 Anggrek 1 12 10 120 tangkai

Total pengambilan anggrek

120

tangkai/tahun

3 Andaliman 1 12 5 60 kg

Total pengambilan andaliman

60 kg/tahun

Hasil perhitungan nilai guna langsung dengan menggunakan metode harga pasar terhadap beberapa komoditi hasil hutan yang dimanfaatkan masyarakat sekitar hutan Tele dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Hasil perhitungan nilai guna langsung dengan metode harga pasar No Jenis Hasil

Hutan

Total pengambilan (Satuan/Tahun)

Harga Pasar (Rp)

Nilai ekonomi jenis (Rp/Tahun) 1 Kayu bakar 2880 Ikat 5.000 14.400.000 2 Anggrek 120 Tangkai 25.000 3.000.000 3 Andaliman 60 Kg 200.000 12.000.000 Total 29.400.000

Berdasarkan data yang tertera pada Tabel 2 diketahui bahwa total nilai guna langsung hutan Tele adalah sebesar Rp 29.400.000/tahun. Hasil hutan yang


(31)

paling banyak dimanfaatkan masyarakat adalah kayu bakar (Gambar 3) dengan nilai ekonomi sebesar Rp 14.400.000/tahun. Sebagian besar masyarakat mengambil kayu bakar dari hutan Tele hanya untuk dikonsumsi sendiri sebagai bahan bakar untuk memasak di rumah dan sebagian kecil ada juga yang mengambil kayu bakar untuk dijual.

Gambar 3. Kayu bakar

Komoditi anggrek dimanfaatkan oleh masyarakat yang diambil dari hutan untuk ditanam di pekarangan rumah, selain itu dapat dijual apabila kondisi anggrek dilihat baik atau memiiki nilai jual atau memiliki nilai estetika yang dipandang menjanjikan. Demikian juga dengan komoditi andaliman masyarakat mengambilnya dengan tujuan untuk dikonsumsi sendiri atau bila harga andaliman sedang naik maka akan dijual ke pasar.

Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium) adalah bumbu masak khas Asia yang berasal dari kulit luar buah. Di Indonesia, andaliman banyak tumbuh di daerah dataran tinggi sumatera utara. Andaliman juga sering disebut "merica batak", kemungkinan karena bentuknya yang mirip merica, banyak tumbuh di Sumatera Utara dan juga digunakan untuk bumbu masakan khas batak. Andaliman memiliki aroma seperti jeruk yang lembut namun "menggigit" sehingga menimbulkan sensasi kelu atau rasa lain di lidah, meskipun tidak


(32)

sepedas cabai atau lada. Tumbuhan andaliman dapat dilihat pada Gambar 4 dan buah andaliman yang biasa dijadikan bumbu masak dapat dilihat pada Gambar 5 .

Gambar 4. Tumbuhan andaliman Gambar 5. Buah andaliman

Nilai guna langsung Rp 29.400.000/tahun masih termasuk ke dalam kategori kecil. Karena hanya sebagian kecil masyarakat saja yang masih berinteraksi dengan hutan Tele untuk memungut hasil hutannya, sementara sebagian besar masyarakat tidak lagi memanfaatkan hasil hutan secara langsung. Hal ini mengindikasikan bahwa hutan Tele tidak banyak memberikan manfaat atau nilai guna langsung terhadap masyarakat setempat, namun hal ini dapat dikatakan positif karena hanya sedikit interaksi (pengambilan atau pemanfaatan) yang terjadi antara masyarakat dengan hutan secara langsung, karena interaksi yang berlebihan dapat mengakibatkan dampak yang cukup besar bahkan dampak negatif terhadap kawasan hutan.

2. Metode Harga Pengganti

Metode harga pengganti ini biasanya digunakan untuk menggantikan metode harga pasar apabila manfaat hutan langsung yang diperoleh tidak memiliki harga pasar. Namun dalam penelitian ini semua manfaat hutan langsung yang didapat telah memiliki harga pasar, sehingga metode ini tidak digunakan.


(33)

B. Nilai Guna Tidak Langsung 1. Nilai Air Rumah Tangga

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di daerah Tele, ternyata ditemukan fakta bahwa masyarakat daerah tersebut tidak menggunakan instalasi air dari PDAM setempat. Masyarakat sekitar hutan Tele yang menjadi responden terdiri dari 36 Kepala Keluarga (KK) atau 108 jiwa ini memasang sendiri instalasi air untuk rumah tangga mereka dengan memanfaatkan sumber-sumber air terdekat yang berada di hutan Tele. Biaya pengadaan air per orang per tahun (HADI) dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil perhitungan biaya pengadaan air per orang per tahun

Jumlah responden Biaya

pengadaan air/KK tahun 2014 (c) Biaya pengadaan air seluruh responden (d = a x c)

Biaya pengadaan air /orang/tahun (d/b) Kepala Keluarga (a) Anggota keluarga (b)

36 KK 108 orang Rp 1.760.000 Rp 63.360.000 Rp 586.667

Data biaya pengadaan air per kepala keluarga didapat dari hasil wawancara dengan kepala PDAM Kabupaten Samosir menyatakan bahwa standar biaya pengadaan sambungan air minum di wilayah Kabupaten Samosir tahun 2014 adalah sebesar Rp. 1.760.000/rumah tangga. Maka dengan berpatokan pada biaya pengadaan tersebut diperoleh nilai air rumah tangga per orang di sekitar Hutan Tele adalah sebesar Rp 586.667/orang/tahun. Nilai total air untuk rumah tangga masyarakat sekitar Hutan Tele adalah sebesar Rp 63.360.000/tahun.

2. Nilai Air untuk Irigasi

Air untuk irigasi persawahan pada kecamatan Harian pada umumnya berasal dari kaki bukit kawasan hutan Tele. Kualitas air yang terlihat termasuk cukup baik dan jernih dan mengalir sepanjang tahun, namun debit air tidak


(34)

sepanjang tahun sama atau tetap, terutama pada musim kemarau. Pada musim kemarau debit air berkurang namun tidak sampai berhenti mengalir. Pemandangan sawah milik masyarakat air irigasinya bersumber dari hutan Tele dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Areal persawahan milik masyarakat

Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala Dinas Pertanian Kabupaten Samosir, diketahui bahwa sejak tahun 2005 sampai tahun 2014 telah dibangun irigasi di Kabupaten Samosir, khususnya Kecamatan Harian yang terdiri dari 3 (tiga) jenis irigasi, yaitu irigasi primer, irigasi sekunder dan irigasi tersier. Irigasi ini dibangun oleh instansi pemerintah dan program pemerintah baik pusat maupun daerah. Rincian instansi dan program pemerintah serta jenis dan jumlah biaya dalam pembangunan irigasi di wilayah Tele dapat dilihat pada Tabel 4 berikut.

Tabel 4. Nilai air irigasi di wilayah Tele

No. Nama Instansi/Badan Jumlah Biaya Keterangan 1. Dinas Pertanian Rp. 8.164.000.000 Irigasi Sekunder 2. Dinas Pekerjaan Umum (PU) Rp 3.740.000.000 Irigasi Primer 3. PNPM Rp 2. 109.262.600 Irigasi Tersier

Total Biaya Rp.14.013.262.600

Berdasarkan hasil wawancara tersebut telah didapat juga data luas sawah irigasi di kecamatan Harian kabupaten Samosir yaitu seluas 534 hektar. Dengan demikian dari hasil perhitungan diperoleh nilai total air untuk irigasi di wilayah Tele adalah sebesar Rp. 14.013.262.600 / tahun. Nilai ini menunjukkan bahwa air


(35)

dari hutan Tele merupakan sesuatu yang sangat penting dan berharga bagi irigasi pertanian masyarakat. Ariyanto (2008) mengatakan bahwa air dalam pertanian merupakan kebutuhan pokok, terutama dalam budidaya tanaman padi atau persawahan. Seringkali terdengar berita mengenai konflik air antar petani atau bahkan antara petani dengan pengguna air lainnya, seperti perusahaan air minum, petani kolam atau perikanan, dan sebagainya. Hal ini karena air semakin hari semakin memiliki nilai ekonomi yang mahal baik dari segi kuantitas maupun kualitas.

3. Nilai Penyerapan Karbon

Setelah melakukan wawancara dengan salah satu pegawai di Dinas Kehutanan kabupaten Samosir didapat luas kawasan hutan di kabupaten Samosir yaitu 67.406 hektar. Menurut keterangan dari responden diketahui bahwa terdapat beberapa sumber data tentang luas kawasan hutan Tele, antara lain Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 44 dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 579 serta data milik Dinas Kehutanan Kabupaten Samosir dan hingga waktu wawancara dilakukan masih terjadi konflik atau ketidaksepahaman dengan tentang luas hutan yang sesuai. Namun, menurut responden pemerintah daerah melalui perundingan internal daerah dan pemerintah pusat sepakat untuk menetapkan luas kawasan hutan yaitu seluas 67.406 hektar dan data ini sesuai dengan Surat Keputusan (SK) Nomor 579/Menhut-II/2014. Perhitungan nilai penyerapan karbon di Hutan Tele dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah ini.

Tabel 5. Perhitungan nilai penyerapan karbon Hutan Tele Luas hutan

(L)

Kemampuan hutan menyerap karbon (Kc)

Harga karbon (Hc) Nilai penyerapan karbon (NPc=LxKcxHc)


(36)

Kemampuan hutan menyerap karbon dapat dibagi menjadi 3 jenis sesuai pernyataan Borwn dan Pearce (1994) dalam Widada (2004), hutan alam primer, hutan sekunder dan hutan terbuka memiliki kemampuan menyimpan karbon masing-masing sebesar 283 ton, 194 ton per hektar dan 115 ton per hektar. Hutan Tele dikategorikan sebagai hutan sekunder dengan kemampuan menyerap karbon sebesar 194 ton/hektar karena Hutan Tele tumbuh kembali secara alami dari yang sebelumnya pernah mengalami kerusakan yang cukup luas karena terbakar. Hal ini didukung oleh pernyataan Djemari (2011) yang menyatakan bahwa hutan sekunder adalah hutan yang tumbuh kembali secara alami setelah ditebang atau kerusakan yang cukup luas. Akibatnya pepohonan di hutan sekunder sering terlihat lebih pendek dan kecil. Adapun nilai karbon adalah sebesar $ 30 US. Sedangkan menurut Fahri (2002) dalam Alif (2005) harga karbon masih bervariasi, yaitu antar $ 1 US sampai $ 30 US per ton karbon. Untuk menghindari penilaian yang terlalu tinggi digunakan asumsi harga $ 5 US per ton sesuai dengan pernyataan Alam (2007). Berdasarkan hasil perhitungan (kurs saat ini $ 1 US = Rp. 12.000,-), telah didapat bahwa nilai penyerapan karbon di kawasan hutan Tele Kabupaten Samosir adalah sebesar Rp 784.605.840.000/tahun.

Menurut Mubarak dan Thamrin (2011), total serapan karbon hutan sekunder wisata Dumai dengan luas hutan 3.298 hektar, dan harga karbon $ 10 US (kurs saat itu $ 1 = Rp. 9.000,-) yaitu sebesar Rp. 51.824.772.000,- menyatakan bahwa nilai total serapan karbon hutan wisata Dumai masih tergolong kecil bila dibandingkan nilai total serapan karbon hutan Tele dengan luas total 67.406 hektar yaitu sebesar Rp 784.605.840.000/tahun.


(37)

Kondisi vegetasi hutan Tele yang masih alami juga memiliki fungsi sebagai penyerap karbon. Adanya isu perdagangan karbon dapat berdampak positif karena memberikan peluang bagi kita untuk tetap mendapat keuntungan dari hutan tanpa harus menebang pohon. Hal ini sesuai dengan pernyataan Alam., dkk (2009) yaitu hutan memberikan jasa lingkungan yang sangat penting bagi penyerapan karbon, sehingga dapat mengurangi pemanasan global. Perdagangan karbon ini membuat peluang menjual hutan tanpa menebang pohon, sehingga pembangunan yang berkelanjutan dapat terwujud. Perhitungan nilai penyerapan karbon dilakukan dengan menentukan harga jual karbon di pasar internasional.

C. Nilai Pilihan

Manfaat pilihan konservasi hutan dalam penelitian ini diperhitungkan berdasarkan manfaat keanekaragaman hayati yang dapat didekati dari pentingnya keberadaan hutan. Menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia No.15 tahun 2012 tentang panduan valuasi ekonomi ekosistem hutan, Nilai manfaat keanekaragaman hayati hutan adalah sebesar US$ 9.45/ha/tahun apabila keberadaan hutan tersebut secara ekologis penting dan tetap terpelihara relatif alami.

Surat Keputusan (SK) Nomor 579 / Menhut-II / 2014 menetapkan bahwa luas kawasan hutan Tele yaitu 67.406 hektar. Berdasarkan data luas hutan tersebut diperoleh hasil perhitungan nilai pilihan (manfaat keanekaragaman hayati) untuk hutan Tele adalah sebesar Rp 7.643.840.400/tahun (kurs US$ 1 = Rp. 12.000). Santosa (2008) mengatakan tingginya kualitas dan kuantitas keanekaragaman hayati yang dimiliki hutan alam Indonesia merupakan sebuah fakta yang tidak terbantahkan. Hal ini terbukti dengan peringkat lima besar dunia yang disandang


(38)

oleh Indonesia dalam hal keanekaragaman flora yaitu memiliki lebih dari 38.000 spesies, dimana 55% diantaranya bersifat endemik. Keanekaragaman palem Indonesia menempati urutan pertama, dan lebih dari setengah total keseluruhan spesies atau sekitar 350 jenis pohon penghasil kayu bernilai ekonomi penting, yaitu yang termasuk famili Dipterocarpaceae terdapat di Indonesia.

D. Nilai Keberadaan

Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat setempat, diketahui bahwa sebagian besar masyarakat sekitar hutan Tele tidak bersedia membayar apabila sewaktu-waktu diminta atau ditanyakan kesediaannya untuk ikut berpartisipasi dalam menjaga keberlangsungan ekosistem hutan sekitar danau Toba, karena bagi masyarakat sekitar hutan sudah banyak sebagian besar rusak dan tidak banyak memberikan hasil yang dapat diambil atau dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagian kecil masyarakat ada juga yang bersedia membayar dengan kisaran sebasar Rp 10.000 – Rp 200.000. Kebanyakan dari mereka bersedia membayar sebesar Rp 30.000 dan Rp 50.000. Total kesediaan membayar dari sebagian kecil masyarakat ini adalah sebesar Rp 1.550.000 / tahun (dapat dilihat pada lampiran). Masyarakat yang bersedia membayar ini umumnya mereka yang pendidikan terakhirnya SMA dan Perguruan tinggi, memiliki penghasilan yang memadai, dan yang masih berinteraksi secara langsung dengan hutan Tele seperti mengambil kayu bakar.

Perihal pengetahuan tentang manfaat hutan sebagai sumber air, pencegah erosi dan bencana alam lainnya, hampir semua dari masyarakat di sekitar hutan Tele mengetahui akan manfaat manfaat, namun tetap saja sebagian besar dari


(39)

mereka enggan bahkan tidak bersedia membayar. Masyarakat tetap beranggapan bahwa yang dikatakan memanfaatkan itu ialah mengambil hasil hutan secara langsung, sementara untuk manfaat tidak langsung itu tidak perlu diperhitungkan nilainya. Hasil wawancara dengan masyarakat sekitar hutan Tele menunjukkan bahwa apresiasi masyarakat terhadap hutan Tele dan manfaatnya masih tergolong rendah meskipun mereka telah mengetahui manfaat hutan Tele tersebut baik itu manfaat langsung maupun tidak langsungnya.

E. Nilai Ekonomi Total Hutan Tele

Nilai ekonomi total hutan Tele adalah sebesar Rp 806.357.253.000/tahun atau Rp. 11.962.692/tahun/hektar. Nilai ekonomi total ini diperoleh dari hasil menjumlahkan nilai guna langsung sebesar Rp 29.400.000/tahun dengan nilai guna tidak langsung yaitu nilai air rumah tangga sebesar Rp 63.360.000/tahun dan nilai air irigasi sebesar Rp 14.013.262.600/tahun, nilai penyerapan karbon sebesar Rp 784.605.840.000/tahun, nilai pilihan sebesar Rp 7.643.840.400 serta nilai keberadaaan dengan metode kesediaan membayar sebesar Rp 1.550.000/tahun. Perincian ini seperti tertera pada Tabel 6 berikut.

Tabel 6. Perincian nilai ekonomi total hutan Tele (67.406 ha) No Jenis Manfaat Nilai ekonomi (Rp/tahun) 1 Nilai guna langsung 29.400.000 2 Nilai air rumah tangga 63.360.000 3 Nilai air irigasi 14.013.262.600 4 Nilai penyerapan karbon 784.605.840.000 5 Nilai pilihan 7.643.840.400

6 Nilai keberadaan 1.550.000 Total 806.357.253.000

Hasil perhitungan ini dengan jelas menunjukkan bahwa nilai ekonomi hutan Tele dari nilai guna tidak langsung jauh lebih besar dari pada nilai guna langsungnya. Hal ini disebabkan karena tidak banyak lagi nilai guna atau hasil


(40)

hutan langsung yang dapat diambil dan dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar hutan. Wirahadikusumah (2003) mengatakan bahwa hasil hutan juga jelas merupakan sumberdaya ekonomi potensial yang beragam yang didalam areal kawasan hutan mampu menghasilkan hasil hutan kayu, non kayu dan hasil hutan tidak kentara (intangible) seperti perlindungan tanah, pelestarian sumberdaya air dan beragam hasil wisata. Uraian tersebut di atas terungkap bahwa hutan, kehutanan dan hasil hutan sesungguhnya menjadi sumberdaya (resources) yang mempunyai potensi menciptakan barang, jasa serta aktifitas ekonomi yang sangat bermanfaat bagi masyarakat.

Hutan Tele dewasa ini telah mengalami laju deforestasi yang cukup besar, sehingga menyebabkan berkurangnya output / produk yang dapat dihasilkan dibandingkan dengan hutan yang masih terjaga atau belum rusak. Kerusakan hutan ini disebabkan oleh kurangnya kesadaran masyarakat akan arti penting hutan, sehingga masyarakat melakukan pembalakan liar, eksploitasi tanpa izin, pembakaran hutan, dan lainnya.

Interaksi masyarakat dengan hutan yang bersifat konsumtif tanpa memperdulikan kelestariannya hanya akan merusak hutan. Untuk itu diharapkan masyarakat dapat lebih bijak dalam memanfaatkan hutan dan hasil hutannya. Hal ini sesuai pernyataan Ngakan (2006) yang menyatakan masyarakat lokal yang memiliki pendidikan rendah sangat rentan terhadap pengaruh budaya luar yang konsumtif. Nurrani dan Tabba (2012) juga mengatakan bahwa keadaan ini menyebabkan masyarakat tidak lagi memanfaatkan sumberdaya hutan secara arif dan bijaksana, namun cenderung melakukan perambahan dan eksploitasi yang tidak terkendali. Menurut Nurrani dan Tabba (2012), manusia dan hutan memiliki


(41)

hubungan yang unik, dimana manusia merupakan bagian dari ekosistem hutan itu sendiri. Hubungan timbal balik antara manusia dan hutan merupakan interaksi yang saling mempengaruhi. Jika hutan rusak maka kehidupan manusia terancam, sebaliknya jika manusia terpenuhi kesejahteraannya maka kelestarian hutan terjaga pula.

Kerusakan hutan ini tentu menjadi perhatian serius bagi pemerintah daerah, masyarakat yang masih peduli pentingnya keberadaan hutan, serta organisasi dan lembaga lainnya, sehingga mulai bergerak dan mengambil tindakan dengan saling berkoordinasi menjaga dan mengawasi hutan serta aktivitas yang terjadi di dalamnya. Batas-batas hutan lindung pun ditetapkan melalui pemerintah pusat (Surat Keputusan Nomor 579 / Menhut-II / 2014) serta aturan-aturan yang terkait dan mengikat di dalamnya, walaupun pada pelaksanaannya masih terjadi konflik dengan masyakat sekitar ataupun perusahaan pemilik HPH (hak pengusahaan hutan) di wilayah Tele.

Untuk memulai pengembangan Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL), dibutuhkan informasi awal berupa valuasi ekonomi jasa lingkungan yang menimbulkan eksternalitas. Kawasan Hutan Tele yang memiliki potensi untuk pengembangan PJL, belum memiliki informasi awal mengenai valuasi jasa lingkungan tersebut. Menurut Wunder (2005), pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) dinilai sebagai salah satu solusi yang melibatkan masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan, dengan penerapan insentif/disinsentif ekonomi. Mekanisme PJL tersebut bukan saja sebagai usaha pelestarian lingkungan, namun juga pengentasan kemiskinan masyarakat desa sekitar hutan..


(42)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Nilai ekonomi total hutan Tele adalah sebesar Rp 806.357.253.000/tahun atau Rp. 11.962.692/tahun/hektar.

2. Nilai-nilai ekonomi yang terdapat di hutan Tele adalah manfaat hutan langsung berupa kayu bakar, anggrek, andaliman dan manfaat hutan tidak langsung berupa nilai air rumah tangga, nilai air irigasi, nilai penyerapan karbon serta nilai pilihan dan nilai keberadaan.

Saran

Diperlukan perhatian lebih terhadap daerah kawasan hutan khususnya di daerah sekitar danau Toba, karena pengelolaan kawasan hutan yang baik dapat menjaga kelestarian daerah sekitar danau Toba dan biodiversitas yang terkandung di dalamnya. Masyarakat setempat, pemerintah daerah, dan badan atau LSM lainnya diharapkan dapat berperan serta di dalam menjaga keberlangsungan dan kelestarian daerah sekitar danau Toba.


(43)

DAFTAR PUSTAKA

Affandi, O. dan Pindi, P. 2004. Perhitungan Nilai Ekonomi Pemanfaatannya Hasil Hutan Non-Marketable Oleh Masyarakat Desa Sekitar Hutan. Alam, S., Supratman., M. Alif. 2009. Buku Ajar Ekonomi Sumberdaya

Hutan.Laboratorium Kebijakan dan Kewirausahaan Kehutanan, Fakultas Kehutanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Kanisius. Yogjakarta.

Ariyanto, D. P. 2008. Sistem pemberian kebutuhan air untuk lahan pertanian : Studi kasus jarigan irigasi Sempor. [Makalah]Universitas gadjah Mada. Yogyakarta.

Bappenas. 2000. Laporan Proyek Pengendalian Hutan. Jakarta.

Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Teori dan Aplikasi. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Hairiah, K. dan Rahayu S. 2007. Pengukuran Karbon Tersimpan di Berbagai Macam Penggunaan Lahan. World Agroforestry Centre- ICRAF. Bogor. Hardiyatmo. 2006. Penanganan Tanah Longsor dan Erosi. Gadjah Mada

University Press. Yogyakarta.

Kementerian Lingkungan Hidup. 2012. [Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2012 tentang Panduan valuasi ekonomi ekosistem hutan].

Khulfi. 2013. Konsep Metode Valuasi Ekonomi / Penilaian Ekosistem Hutan.

Lakitan, Benyamin. 1997. Dasar-Dasar Klimatologi. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Montalambert, M.R. de, F. Schmithusen. 1993. Policy and legal aspect of sustainable forest management. Unasylva. Vol.44, No.175, pp 3-9.

Mubarak, N.A. dan Thamrin. Valuasi Hutan Wisata Kota Dumai Provinsi Riau. [Jurnal Bumi Lestari, Volume 11 No.2 Agustus 2011, Hal. 315 - 322]. Nazaruddin. 1996. Penghijauan Kota. Penebar Swadaya. Jakarta.

Ngakan. 2006. Ketergantungan, Persepsi dan Partisipasi Masyarakat terhadap Sumberdaya Hayati Hutan Studi Kasus di Dusun Pampli Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Center for International Forestry Research.


(44)

Nurrani , L. dan S. Tabba. 2012. Persepsi dan tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya alam taman nasional aketajawe lolobata di provinsi maluku utara. [Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 1 Maret 2013, Hal. 61 - 73].

Nurfatriani, F dan Nugroho, I. A. 2007. Manfaat hidrologis hutan di hulu DAS Citarum sebagai jasa lingkungan bernilai ekonomi. Info Sosial dan Ekonomi Kehutanan. Vol. 7, No. 3, pp 175-194.

Richard, L. 1990. Hidrologi Hutan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Santosa, A (Ed). 2008. Konservasi Indonesia, Sebuah Potret Pengelolaan dan

Kebijakan. Perpustakaan Nasional. Jakarta.

Septiani, D.S.E. 2012. Valuasi Ekonomi Di Cagar Alam Saobi.

Sevilla, C. G. (2007). Research Methods. Rex Printing Company. Quezon City. Soekartawi. 1995. Analisis Usaha Tani. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Suryatmojo, H. 2004. Peran Hutan Pinus Sebagai Penyedia Jasa Lingkungan

Melalui Penyimpanan Karbon dan Penyediaan Sumber Daya Air. Jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan UGM. Yoygakaarta.

Thoha, A.S. 2013. Peluang Hutan Komunitas Dalam Perdagangan Karbon. http://www.latin.or.id/index.php/berita-redd/44-peluang-hutan-komunitas-dan-perdagangan-karbon.html [13 Oktober 2014].

Yudilasdiantoro, C. 2009. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Air Dari Hutan Lindung untuk Rumah Tangga Studi Kasus di Hulu DAS Palu, Sulawesi Tengah. Balai Penelitian Kehutanan Mataram.

Wirakusumah, S. 2003. Mendambakan Kelestarian Sumber Daya Hutan Bagi Sebesar-Besarnya Kemakmuran Rakyat. Indonesia University Press. Jakarta.

Wunder, Sven. (2005). Payments for environmental services: some nuts and bolts: CIFOR Jakarta.

Zain, A.S. 1998. Aspek Pembinaan Kawasan Hutan dan Stratifikasi Hutan Rakyat. Rineka Cipta. Jakarta.


(1)

mereka enggan bahkan tidak bersedia membayar. Masyarakat tetap beranggapan bahwa yang dikatakan memanfaatkan itu ialah mengambil hasil hutan secara langsung, sementara untuk manfaat tidak langsung itu tidak perlu diperhitungkan nilainya. Hasil wawancara dengan masyarakat sekitar hutan Tele menunjukkan bahwa apresiasi masyarakat terhadap hutan Tele dan manfaatnya masih tergolong rendah meskipun mereka telah mengetahui manfaat hutan Tele tersebut baik itu manfaat langsung maupun tidak langsungnya.

E. Nilai Ekonomi Total Hutan Tele

Nilai ekonomi total hutan Tele adalah sebesar Rp 806.357.253.000/tahun atau Rp. 11.962.692/tahun/hektar. Nilai ekonomi total ini diperoleh dari hasil menjumlahkan nilai guna langsung sebesar Rp 29.400.000/tahun dengan nilai guna tidak langsung yaitu nilai air rumah tangga sebesar Rp 63.360.000/tahun dan nilai air irigasi sebesar Rp 14.013.262.600/tahun, nilai penyerapan karbon sebesar Rp 784.605.840.000/tahun, nilai pilihan sebesar Rp 7.643.840.400 serta nilai keberadaaan dengan metode kesediaan membayar sebesar Rp 1.550.000/tahun. Perincian ini seperti tertera pada Tabel 6 berikut.

Tabel 6. Perincian nilai ekonomi total hutan Tele (67.406 ha) No Jenis Manfaat Nilai ekonomi (Rp/tahun)

1 Nilai guna langsung 29.400.000

2 Nilai air rumah tangga 63.360.000 3 Nilai air irigasi 14.013.262.600 4 Nilai penyerapan karbon 784.605.840.000

5 Nilai pilihan 7.643.840.400

6 Nilai keberadaan 1.550.000

Total 806.357.253.000

Hasil perhitungan ini dengan jelas menunjukkan bahwa nilai ekonomi hutan Tele dari nilai guna tidak langsung jauh lebih besar dari pada nilai guna langsungnya. Hal ini disebabkan karena tidak banyak lagi nilai guna atau hasil


(2)

hutan langsung yang dapat diambil dan dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar hutan. Wirahadikusumah (2003) mengatakan bahwa hasil hutan juga jelas merupakan sumberdaya ekonomi potensial yang beragam yang didalam areal kawasan hutan mampu menghasilkan hasil hutan kayu, non kayu dan hasil hutan tidak kentara (intangible) seperti perlindungan tanah, pelestarian sumberdaya air dan beragam hasil wisata. Uraian tersebut di atas terungkap bahwa hutan, kehutanan dan hasil hutan sesungguhnya menjadi sumberdaya (resources) yang mempunyai potensi menciptakan barang, jasa serta aktifitas ekonomi yang sangat bermanfaat bagi masyarakat.

Hutan Tele dewasa ini telah mengalami laju deforestasi yang cukup besar, sehingga menyebabkan berkurangnya output / produk yang dapat dihasilkan dibandingkan dengan hutan yang masih terjaga atau belum rusak. Kerusakan hutan ini disebabkan oleh kurangnya kesadaran masyarakat akan arti penting hutan, sehingga masyarakat melakukan pembalakan liar, eksploitasi tanpa izin, pembakaran hutan, dan lainnya.

Interaksi masyarakat dengan hutan yang bersifat konsumtif tanpa memperdulikan kelestariannya hanya akan merusak hutan. Untuk itu diharapkan masyarakat dapat lebih bijak dalam memanfaatkan hutan dan hasil hutannya. Hal ini sesuai pernyataan Ngakan (2006) yang menyatakan masyarakat lokal yang memiliki pendidikan rendah sangat rentan terhadap pengaruh budaya luar yang konsumtif. Nurrani dan Tabba (2012) juga mengatakan bahwa keadaan ini menyebabkan masyarakat tidak lagi memanfaatkan sumberdaya hutan secara arif dan bijaksana, namun cenderung melakukan perambahan dan eksploitasi yang tidak terkendali. Menurut Nurrani dan Tabba (2012), manusia dan hutan memiliki


(3)

hubungan yang unik, dimana manusia merupakan bagian dari ekosistem hutan itu sendiri. Hubungan timbal balik antara manusia dan hutan merupakan interaksi yang saling mempengaruhi. Jika hutan rusak maka kehidupan manusia terancam, sebaliknya jika manusia terpenuhi kesejahteraannya maka kelestarian hutan terjaga pula.

Kerusakan hutan ini tentu menjadi perhatian serius bagi pemerintah daerah, masyarakat yang masih peduli pentingnya keberadaan hutan, serta organisasi dan lembaga lainnya, sehingga mulai bergerak dan mengambil tindakan dengan saling berkoordinasi menjaga dan mengawasi hutan serta aktivitas yang terjadi di dalamnya. Batas-batas hutan lindung pun ditetapkan melalui pemerintah pusat (Surat Keputusan Nomor 579 / Menhut-II / 2014) serta aturan-aturan yang terkait dan mengikat di dalamnya, walaupun pada pelaksanaannya masih terjadi konflik dengan masyakat sekitar ataupun perusahaan pemilik HPH (hak pengusahaan hutan) di wilayah Tele.

Untuk memulai pengembangan Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL), dibutuhkan informasi awal berupa valuasi ekonomi jasa lingkungan yang menimbulkan eksternalitas. Kawasan Hutan Tele yang memiliki potensi untuk pengembangan PJL, belum memiliki informasi awal mengenai valuasi jasa lingkungan tersebut. Menurut Wunder (2005), pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) dinilai sebagai salah satu solusi yang melibatkan masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan, dengan penerapan insentif/disinsentif ekonomi. Mekanisme PJL tersebut bukan saja sebagai usaha pelestarian lingkungan, namun juga pengentasan kemiskinan masyarakat desa sekitar hutan..


(4)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Nilai ekonomi total hutan Tele adalah sebesar Rp 806.357.253.000/tahun atau Rp. 11.962.692/tahun/hektar.

2. Nilai-nilai ekonomi yang terdapat di hutan Tele adalah manfaat hutan langsung berupa kayu bakar, anggrek, andaliman dan manfaat hutan tidak langsung berupa nilai air rumah tangga, nilai air irigasi, nilai penyerapan karbon serta nilai pilihan dan nilai keberadaan.

Saran

Diperlukan perhatian lebih terhadap daerah kawasan hutan khususnya di daerah sekitar danau Toba, karena pengelolaan kawasan hutan yang baik dapat menjaga kelestarian daerah sekitar danau Toba dan biodiversitas yang terkandung di dalamnya. Masyarakat setempat, pemerintah daerah, dan badan atau LSM lainnya diharapkan dapat berperan serta di dalam menjaga keberlangsungan dan kelestarian daerah sekitar danau Toba.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Affandi, O. dan Pindi, P. 2004. Perhitungan Nilai Ekonomi Pemanfaatannya Hasil Hutan Non-Marketable Oleh Masyarakat Desa Sekitar Hutan. Alam, S., Supratman., M. Alif. 2009. Buku Ajar Ekonomi Sumberdaya

Hutan.Laboratorium Kebijakan dan Kewirausahaan Kehutanan, Fakultas Kehutanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Kanisius. Yogjakarta.

Ariyanto, D. P. 2008. Sistem pemberian kebutuhan air untuk lahan pertanian : Studi kasus jarigan irigasi Sempor. [Makalah]Universitas gadjah Mada. Yogyakarta.

Bappenas. 2000. Laporan Proyek Pengendalian Hutan. Jakarta.

Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Teori dan Aplikasi. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Hairiah, K. dan Rahayu S. 2007. Pengukuran Karbon Tersimpan di Berbagai Macam Penggunaan Lahan. World Agroforestry Centre- ICRAF. Bogor. Hardiyatmo. 2006. Penanganan Tanah Longsor dan Erosi. Gadjah Mada

University Press. Yogyakarta.

Kementerian Lingkungan Hidup. 2012. [Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2012 tentang Panduan valuasi ekonomi ekosistem hutan].

Khulfi. 2013. Konsep Metode Valuasi Ekonomi / Penilaian Ekosistem Hutan.

Lakitan, Benyamin. 1997. Dasar-Dasar Klimatologi. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Montalambert, M.R. de, F. Schmithusen. 1993. Policy and legal aspect of sustainable forest management. Unasylva. Vol.44, No.175, pp 3-9.

Mubarak, N.A. dan Thamrin. Valuasi Hutan Wisata Kota Dumai Provinsi Riau. [Jurnal Bumi Lestari, Volume 11 No.2 Agustus 2011, Hal. 315 - 322]. Nazaruddin. 1996. Penghijauan Kota. Penebar Swadaya. Jakarta.

Ngakan. 2006. Ketergantungan, Persepsi dan Partisipasi Masyarakat terhadap Sumberdaya Hayati Hutan Studi Kasus di Dusun Pampli Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Center for International Forestry Research.


(6)

Nurrani , L. dan S. Tabba. 2012. Persepsi dan tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya alam taman nasional aketajawe lolobata di provinsi maluku utara. [Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 1 Maret 2013, Hal. 61 - 73].

Nurfatriani, F dan Nugroho, I. A. 2007. Manfaat hidrologis hutan di hulu DAS Citarum sebagai jasa lingkungan bernilai ekonomi. Info Sosial dan Ekonomi Kehutanan. Vol. 7, No. 3, pp 175-194.

Richard, L. 1990. Hidrologi Hutan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Santosa, A (Ed). 2008. Konservasi Indonesia, Sebuah Potret Pengelolaan dan

Kebijakan. Perpustakaan Nasional. Jakarta.

Septiani, D.S.E. 2012. Valuasi Ekonomi Di Cagar Alam Saobi.

Sevilla, C. G. (2007). Research Methods. Rex Printing Company. Quezon City. Soekartawi. 1995. Analisis Usaha Tani. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Suryatmojo, H. 2004. Peran Hutan Pinus Sebagai Penyedia Jasa Lingkungan

Melalui Penyimpanan Karbon dan Penyediaan Sumber Daya Air. Jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan UGM. Yoygakaarta.

Thoha, A.S. 2013. Peluang Hutan Komunitas Dalam Perdagangan Karbon. http://www.latin.or.id/index.php/berita-redd/44-peluang-hutan-komunitas-dan-perdagangan-karbon.html [13 Oktober 2014].

Yudilasdiantoro, C. 2009. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Air Dari Hutan Lindung untuk Rumah Tangga Studi Kasus di Hulu DAS Palu, Sulawesi Tengah. Balai Penelitian Kehutanan Mataram.

Wirakusumah, S. 2003. Mendambakan Kelestarian Sumber Daya Hutan Bagi Sebesar-Besarnya Kemakmuran Rakyat. Indonesia University Press. Jakarta.

Wunder, Sven. (2005). Payments for environmental services: some nuts and bolts: CIFOR Jakarta.

Zain, A.S. 1998. Aspek Pembinaan Kawasan Hutan dan Stratifikasi Hutan Rakyat. Rineka Cipta. Jakarta.