Beberapa Pandangan Linguistik Dalam Proses Dan Problema Translasi
BEBERAPA PANDANGAN LINGUISTIK DALAM PROSES DAN PROBLEMA TRANSLASI
Deliana
Universitas Sumatera Utara, Medan
Abstract
The study of translation as a socio-cultural phenomenon is one of the key problems of communication. Transtology, as it may be called, has now been establishing itself as a relatively autonomous (inter)discipline worthy of serious study. This is obviously not an easy task for the international world of intellectuals to deals with. Translators from various disciplines are from day to day confronted with the complex problem areas of the translation process under difficult circumstances, they may also complain about the lack of any systemic publications on “translation science” as a new discipline. This paper focuses in the process of translation at least two languages: the source language and the receptor language. In the translation process there are a number of linguistic and contextual variables involved, each of which has its own problems.
1. PENDAHULUAN Kebutuhan akan translasi di dunia
dewasa ini, tidak perlu dipertanyakan lagi. Kenyataannya sekarang ini orang menggunakan kira-kira 5500 bahasa yang berbeda, sehingga membawa kita ke dunia translasi. Pada saat orang ingin menyampaikan pesan atau mempertukarkan makna, mereka tidak menggunakan bahasa mereka masing-masing dan disinilah translasi mulai aktif. Tentu saja hal ini sangat membantu bagi setiap orang yang ingin belajar bahasa lain, selain bahasa ibu mereka. Kebutuhan akan translasi sering berhubungan dengan bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai bagian dari masyarakat moderen. Buku-buku ilmu pengetahuan dan teknologi kebanyakan ditulis dalam bahasa-bahasa Eropa khususnya bahasa Inggeris. Meskipun bahasa Inggeris telah menjadi bahasa Internasional yang digunakan oleh kira-kira 600 juta orang, translasi dari bahasa Inggeris ke bahasa lainnya merupakan kebutuhan yang tidak dapat dihindari oleh hampir
semua negara. Orang yang percaya pada Tuhan mungkin juga harus menyampaikan pesanNYA kepada semua manusia dengan mentranslasikan buku suci dari bahasa sumber ke bahasa lainnya. Translasi materi yang bersifat religius ini mungkin menjadi isu yang sangat penting. Apa yang harus dilakukan penerjemah dalam proses pengiriman makna bahasa dari Tuhan ke bahasa manusia? Dalam proses translasi, bentuk bahasa mungkin berubah tetapi makna yang ditranfer harus tetap dipertahankan dan hal ini merupakan salah satu problema translasi.
2. Bahasa dan Semiotik Konotatifnya Sebelum memulai karir sebagai seorang
penerjemah, seseorang harus mengetahui sifat bahasa terlebih dahulu. Ahli sistemik melihat bahasa sebagai sistem pembentuk makna, yaitu suatu sistem dimana makna dikomunikasikan, direalisasikan dan dipahami. Untuk memahami makna ucapan, seseorang harus memahami sistem tersebut. Halliday dan Hasan (1976) (dalam Tou,
Universitas Sumatera Utara
1989:124) menyatakan bahwa bahasa dapat diinterpretasikan dalam tiga sistem strata:semantik(makna), leksikogrammar (bentuk) dan sistem ortografi atau fonologi(ekspresi). Makna dinyatakan dalam kata dan kata dinyatakan dalam bunyi atau tulisan. Ahli sistemik beranggapan bahwa bahasa harus berhubungan dengan konteks agar dapat memahami dan menjelaskan makna. Bahasa itu sendiri tidak cukup untuk memahami dan menjelaskan hal tersebut karena keseluruhan makna teks tidak hanya bergantung pada ketiga sistem strata bahasa tetapi juga pada faktor-faktor diluar bahasa yang mempengaruhi pilihan-pilihan aktual yang dilakukan seseorang sewaktu menggunakan bahasa.
Untuk menghubungkan bahasa dengan konteks yang berkenaan dengan interaksi sistem-sistem semiotik, para penganut Halliday atau ahli sistemik dalam tahun belakangan ini menawarkan model konteks bahasa sistematis. Martin (1984) (dalam Tou, 1989: 125) mengemukakan konsep register yang berhubungan dengan konteks situasi, dan merupakan salah satu faktor pembatas diluar bahasa yang dianggapnya sebagai semiotik konotatif yang terikat. Faktor pembatas diluar bahasa selanjutnya adalah ’genre’ dan ’ideologi’. Genre berhubungan dengan konteks budaya dimana penutur terlibat sebagai anggota dari budaya yang ada. Sedangkan ideologi juga dianggap sebagai semiotik konotatif terikat. Selanjutnya Martin (1984) (dalam Tou 1989 :126) mengajukan model relasi bahasa kontekstual sebagai berikut;
Figur 1: Bahasa dalam hubungannya dengan semiotik konatatifnya
Dalam proses translasi, makna adalah variabel yang paling penting untuk mengetahui makna lengkap dari suatu teks. Dengan kata lain, jika seseorang mengetahui bahasa, register, genre, dan ideologi sebagai sistem semiotik, maka dengan definisi seseorang akan mengetahui makna teks yang ditranslasikannya.
3. PROSES
DAN
TRANSLASI
PROBLEMA
3.1 Variabel-variabel yang dipertimbangkan Pada dasarnya translasi adalah
perubahan bentuk dari bentuk bahasa sumber ke bentuk bahasa penerima .’Bentuk’ bahasa sumber membawa makna yang sebaiknya dinyatakan dan dipertahankan dalam ’bentuk’ bahasa penerima. Hal ini tidaklah mudah karena kita memiliki makna yang disandikan dan tercatat dalam kata dan bunyi atau ejaan dalam bahasa sumber. Kemudian makna ini akan dialihkan, disandikan dan dicatat dalam kata dan bunyi atau ejaan yang baru (bahasa penerima). Tetapi teks sumber, yang membentuk makna, memiliki konteks atau lingkungannya sendiri, yang harus disesuaikan dengan konteks penerima (target). Hal ini merupakan salah satu problema translasi. Lihat figur 2.
3.2 Interpretasi proses translasi. Nida dan Taber (1969) (dalam Tou
1989:129) mengusulkan tiga interpretasi proses translasi; yaitu (1) translasi langsung, (2) translasi langsung melalui struktur bahasa universal, netral dan menengah, (3) translasi tidak langsung melalui tata bahasa. Lihat figur 3.
ideologi
genre
register
language
Universitas Sumatera Utara
Figur 2. Problema penetapan makna dalam translasi
SuSmumbberer
Penerima
Teks Konteks Makna
Teks Konteks
Konstan?
Makna
Figur 3. Interpretasi Proses Translasi
(1) A (Bahasa Sumber) (2) A (Bahasa Sumber) (3) A (Bahasa Sumber)
B (Bahasa Penerima) (I) B (Bahasa Penerima)
B (Bahasa Penerima)
(Analisis)
(Rekonstruksi)
I (Transfer)
Figur 3 menunjukkan interpretasi pertama adalah translasi ‘kata demi kata’ dimana setiap satu bagian teks sumber dinyatakan kembali dalam bahasa penerima yang agak formal dan istilah-istilah literal. Interaksi ini hanya dalam teori, sulit untuk dipraktekkan karena berlawanan dengan sifat bahasa. Tetapi translasi kata demi kata ini mungkin berguna bagi seseorang yang melakukan kajian bahasa sumber.
Interpretasi kedua berdasarkan aplikasi kaidah-kaidah yang universal, dimana semua bahasa mungkin berhubungan dengan pentransferan yang lebih ekonomis, yang disebut juga struktur luar bahasa. Kaidah-kaidah universal, netral dan menengah dianggap sebagai bahasa perantara dimana bahasa sumber ditranslasikandan darimana penyelesaian translasi diperoleh, apakah dari bahasa alami lainnya atau sama sekali bahasa artifisial
I
Nida dan Taber (1969) (dalam Tou 1989:129). Interpretasi ketiga adalah sesuatu yang dikerjakan secara menyeluruh. Menurut Nida dan Taber (1969) interpretasi proses translasi ini memiliki prosedur yang lebih terperinci lagi yang terdiri dari tiga langkah : (1) analisis, yaitu bentuk-bentuk ekspresi yang merealisasikan pesan dari sumber dianalisis berdasarkan (a) hubungan gramatika, dan (b) makna kata dan kombinasi kata; (2) pemindahan, yaitu materi yang dianalisis dipindahkan dari pikiran penerjemah dari sumber ke penerima, (3) menstruktur kembali, yaitu materi yang dipindahkan distuktur kembali agar pesan yang disampaikan benar-benar berterima dalam bahasa penerima.
Mengikuti Martin (1984), dalam istilah fungsional sistemik kita mungkin memiliki model interpretasi dari proses translasi, seperti terlihat pada figur 4;
Universitas Sumatera Utara
Figur 4: Model interpretasi fungsional sistemik pada proses translasi
sumber
penerima
ideologi
genre
register
bahasa
hahasa
register
genre
ideologi
wacana ‘teks’
Leksikogrammar
‘kata/ klausa’
Fonologi ‘silabel’
Wacana ‘teks’
Leksikogrammar
‘kata/ klausa’
Fonologi ‘silabel’
Analisis makna
Re-ekspresi makna
Penemuan makna
Transfer makna
MAKNA
Larson (1984)(dalam Tou 1989:131) mengklasifikasikan translasi kedalam dua jenis, yaitu; bentuk dasar dan bentuk makna. Translasi bentuk dasar pada umumnya dianggap sebagai ’translasi literal’ sedangkan translasi bentuk makna dikenal sebagai ’translasi idiomatik’, dimana makna teks sumber dinyatakan dalam bentukbentuk alami dari bahasa penerima. Sebenarnya translasi literal itu tidak lazim kecuali dipakai untuk tanslasi interlinear yang mungkin sangat berguna untuk studi linguistik bahasa sumber. Bahkan para penerjemah yang cenderung mengikuti translasi literal masih menggunakan modifikasi terhadap bahasa sumber. Oleh karena itu munculah ’translasi literal yang dimodifikasi’ dimana para penerjemah membuat penyesuaian-penyesuaian untuk menghindari makna yang salah dan tidak
masuk akal, tetapi ketidak alamiahan masih tetap saja muncul.
Translasi idiomatik menggunakan bentuk-bentuk alami bahasa penerima seperti konstruksi gramatika dan pilihanpihan leksikal. Bentuk-bentuk ini seolah-olah ditulis secara asli dalam bahasa penerima. Menurut Larson (1984) tujuan dari suatu translasi yang baik adalah menerjemahkan secara idiomatik. Tetapi dalam pelaksanaannya sangatlah sulit untuk tetap konsisten menterjemah secara idiomatik. Translasi sering merupakan gabungan dari bentuk-bentuk literal dan idiomatik pada bahasa. Larson menyarankan bahwasanya translasi masuk kedalam kontinum dari yang sangat literal ke yang terlalu bebas. Lihat figur 5.
Universitas Sumatera Utara
sangat literal literal yang penggabungan mendekati idiomatik terlalu
literal
dimodifikasi yang tidak tetap idiomatik
bebas
sasaran/tujuan penerjemah
Translasi yang terlalu bebas tidak dapat diterima untuk tujuan apapun.. Menurut Larson (1984) (dalam Tou: 133), translasi yang terlalu bebas memiliki karekteristik sebagai berikut ; (1) jika terdapat informasi yang tidak ada berhubungan dengan teks, (2) jika terdapat beberapa perubahan makna dari teks sumber, (3) jika terdapat distorsi fakta sejarah dan kebudayaan dari teks sumber.Berdasarkan kenyataan, apa yang benar-benar dikomunikasikan antara pembicara dan pendengar adalah makna yang terdapat dalam budaya, oleh karena itu translasi seharusnya berdasarkan makna. Mengambil makna sebagai objek mendasar penyelidikan bahasa, maka penerjemah harus memulai arah dari makna ke bentuk bukan sebaliknya. Bahasa sebagai semiotik denotatif tidak diinterpretasikan sebagai sistem bentuk tempat makna dituangkan, tetapi sebagai sistem makna berikut bentuk dimana makna tersebut direalisasikan. (Martin 1984, Halliday 1978, 1985 dan 1981) (dalam Tou :134)
3.3 Analisis Sumber
3.3.1 Teks sumber yang terekspresi
Pada prinsipnya analisis teks sumber
meliputi proses penemuan makna sumber
dan bagaimana mereka diungkapkan dalam
bahasa. Dalam proses translasi yang
sebenarnya, kadang-kadang terdapat kasus
dimana
suatu
ekspresi
dapat
diinterpretasikan secara berbeda. Hal ini bisa
terjadi bila dikaitkan dengan interpretasi
dari struktur informasi yang bentuk-bentuk
khusus teks lisan direalisasikan melalui
sistem intonasi dalam fonologi, melalui teks
tulisan yang jarang menggunakan penanda
paragrafologikal sebagai bentuk realisasi
dari struktur informasi bahasa tulisan.
Pengamatan klausa dapat dilihat dari sudut
fungsi ideasionalnya yang berhubungan
dengan struktur informasi, misalnya klausa ‘the tower is Ahab’ bermakna ambigu dan dapat diinterpretasikan sebagai berikut :
(1) Makna aktif berpotensi
Fokus the tower is
Tak ber- Identified Proses
AHAB Identifier
markah Token
Value
Fokus Pemarkah
‘the tower means Ahab’
The tower is
Ahab
Identifier Process Identified
Token
Value
‘Ahab can be recognized in the tower’
(2) Makna pasif berpotensi
Fokus the tower is
AHAB
Tak ber- Identified Process Identifier
markah Value
Token
‘the tower can be recognized in Ahab’
Fokus the tower is
Ahab
Pemarkah Identifier Process Identified
Value
Token
‘the tower, that’s what Ahab means’
Figur 6. Teks, konteks dan Makna (Halliday dan Hasan 1985)
TTEEXXTT ::
MMeteatifadufenuacntticiootinnoaanllal TT interpersonal teixdteuaatlional
↔
CONTEXT : Situational field tenor mode
Cultural institutional ideological
Intertextual inter-related text
Intratextual coherence cohesion
MMEEAANNININGG
Konsep konteks situasional dianggap
sebagai ‘register’ oleh Halliday (1978) dan
Halliday dan Hasan (1985). Konsep ini
adalah konsep semantik, yang didefinisikan
sebagai suatu konfigurasi makna, yang
diasosiasikan dengan konfigurasi tertentu
dari field, mode, and tenor. Register membuat
makna dengan pilihan-pilihan yang tidak
sebenarnya
dalam bahasa, sewaktu
Universitas Sumatera Utara
memproduksi pola-pola dalam teks. Contohnya, pemilihan kata ‘anda’ dan ‘pak’, ini adalah bentuk register yang dianggap sebagai pola-pola pilihan, yang muncul menjadi teks. Oleh karena itu, ‘I’ misalnya, dalam teks bahasa Inggeris dapat diekspresikan kembali menjadi ‘aku’ , ‘kulo’ atau ‘dalem’ dalam bahasa Jawa, dan hal ini bergantung pada konteks tertentu dari situasi (register) teks tersebut. Konteks situasional adalah lingkungan yang terdekat dari konteks tersebut. Dan konteks yang selebihnya adalah konteks budaya. Sekolah merupakan contoh yang baik dari suatu ‘antar-muka’ antara konteks situasi dan konteks budaya. Untuk setiap ’teks’ disekolah (misalnya, percakapan guru di kelas) akan selalu terdapat konteks situasi (misalnya, mata pelajaran; atau hubungan antara murid dan guru). Halliday and Hasan (1985).
Martin (1981) memperkenalkan suatu model linguistik dari konteks kebudayaan melalui nosi ’genrenya’ sebagai tahapan tujuan, proses orientasi sosial. Untuk setiap teks, lisan dan tulisan, selalu ada tujuan yang harus dicapai. Genre sebagai suatu tahapan proses sosial yang terikat oleh sistem kebudayaan masyarakat yang ada, diorientasikan pada tujuan yang harus diselesaikan. Hal pertama yang harus dilakukan seorang penerjemah adalah mengidentifikasi genre wacana dari teks sumber yang akan diterjemahkan . Ada sejumlah perbedaan antara genre-genre tersebut yang dapat terlihat dengan cara memikirkan tujuan pembicaraan atau tulisan. Larson (1984) telah mengidentifikasi enam perbedaan dasar genre; (1) naratif, (2) prosedural, (3) ekspositori, (4) hortatori, (5) deskriptif; dan (6) ketepatan (repartee). Genre direalisasikan secara probabilistik dan indeksikal. Dengan mengambil naratif sebagai contoh, maka dua realisasi indeksikal naratif dalam bahasa Inggeris adalah kata pembukaan, “Once upon a time” dan kata penutup, ‘And they lived happily ever after”. Realisasi probabilistik yang khas dalam naratif bisa saja memiliki struktur tingkatan yang berbeda, sebagai berikut : (1) Orientasi; (2) Komplikasi; (3)
Resolusi; dan (4) Koda. Martin (1981) merujuk struktur teks awal – tengah – akhir, sama halnya “struktur skematik” dan sistem semiotik yang mendasari “genre”. Dalam proses translasi, dari suatu teks sumber kedalam teks penerima, harus ada dalam pikiran bahwasanya struktur teks sumber mungkin perlu untuk dirubah pada teks penerima. Menurut istilah Larson (1984) urutan informasi yang dipresentasikan dalam teks sumber bisa saja berubah dalam teks penerima.
Variabel konteks berikutnya adalah “intertekstualitas”. Untuk memahami teks yang diberikan, seseorang harus menghubungkan teks tersebut pada teks lainnya yang datang sebelumnya. Selama teks terdahulu memiliki nilai sebagai suatu teks dan sebagai suatu konteks dari teks yang ada, dengan cara yang sama sebagaimana teks yang ada, yang memiliki nilai sebagai suatu teks dan sebagai suatu konteks untuk sejumlah teks lainnya yang muncul kemudian, maka setiap teks yang ada, mungkin memerlukan “intertekstual” yang terkontekstual agar dapat memahami makna tersebut sepenuhnya. Seminar Teflin memberikan suatu contoh yang cukup jelas dari jenis teks intertekstualitas. Forum keterlembagaan ini dapat dilihat sebagai suatu teks yang panjang, yang bergerak dari satu tahun ke tahun berikutnya dan dari satu tahapan perubahan makna ke tahapan selanjutnya. Makna dari teks ini hanya dapat terlihat jika kita dapat menghubungkannya pada teks sebelumnya dan untuk sejumlah teks lainnya dapat diprediksi kemunculan berikutnya. Jadi, istilah yang lebih praktis , sewaktu ketua seminar mengatakan “TEFLIN Seminar XXXIII” dalam teksnya pada konteks yang panjang ini, kita mengetahui maksud yang sebenarnya karena kita mengintertekstualiskannya. Apa yang dikatakannya sekarang berhubungan dengan apa yang dikatakannya sebelumnya dan apa yang akan dikatakan selanjutnya. Dengan kata lain, makna teksnya berasal dari hubungan intertekstualnya.
Melihat pada teks itu sendiri, setiap teks juga merupakan konteks dari teks itu sendiri. Suatu teks bergantung satu sama
Universitas Sumatera Utara
lainnya, dikarekterisasikan oleh koherensi. Koherensi suatu teks dapat direalisasikan melalui “kohesi” dimana setiap bahasa merupakan bagian dari metafungsi tekstual. Dalam bahasa Inggeris, relasi semantik yang memungkinkan satu bagian dari teks berfungsi sebagai konteks untuk bahagian lainnya dapat diaktualisasikan melalui sistem referensi, substitusi, dan elipsis, konjungsi, dan kohesi leksikal (Halliday dan Hasan 1976 dan 1985). Nosi dari konteks “intratextual” dihubungkan dengan koherensi dalam teks tersebut. “Ideologi” sebagai suatu variabel konteks dapat diperoleh baik secara sinopsis maupun dinamis yang memperlakukannya sebagai suatu produk atau proses. Martin (1984) mengusulkan suatu model kerja ideologi dilihat dari perspektif dinamis linguistik, dimana dia menghubungkan ideologi dengan bahasa , register dan genre.
Sebagai kesimpulan, ada lima variabel konteks yang utama dimana suatu teks dikaitkan, yaitu; situasi, kultural, ideologikal, intertekstual, dan konteks intratekstual. Untuk menemukan makna lengkap dari suatu teks sumber, seorang penerjemah harus mengikut sertakan semua variabelvariabel ini.
3.3.2 Makna Sumber Menemukan makna sumber sangatlah
penting dalam proses translasi. Ada beberapa cara yang berbeda dalam menafsirkan makna. Melihat makna sebagai fenomena multi-level, Candlin et. al. (1978) mengidentifikasi empat level makna: (1) nosional, (2) referensial proposisional atau literal, (3) pragmatik, dan (4) wacana.
Nida dan Taber (1969) mempertahankan bahwasanya ada tiga tipe makna untuk menentukan analisis makna teks sumber; (1) makna gramatikal, (2) makna referensial, (3) makna konotatif. Teori Halliday menekankan pada “makna yang mendasari bentuk-bentuk linguistik”. Konsepsi abstraknya tentang bahasa sebagai fenomena tiga-strata, yaitu; berisikan makna, susunan kata, susunan bunyi atau tulisan, yang kesemuanya harus dianggap sebagai suatu potensial total. Metafungsi bahasa
Halliday adalah mode makna yang dipergunakan sehari-hari dalam setiap konteks sosial, yaitu; makna ideasional, interpersonal dan tekstual (Halliday 1978 dan 1985).
3.4 Transfer Dengan menemukan makna sumber
yang dapat diklasifikasikan secara luas baik makna linguistik maupun makna kontekstual, langkah berikutnya adalah mentransfer makna yang ditemukan kedalam pikiran penerjemah dari bahasa sumber kedalam bahasa penerima. Dalam tahap ini penerjemah memainkan peranan penting. Masalah yang berkaitan dengan kualitas penerjemah bergantung pada pertanyaan berikut ini: (1) Bagaimana kirakira kemampuan pengetahuan penutur dalam kedua bahasa, khususnya dalam hal sistem makna berhubungan dengan sistem bentuk teks; dan (2) bagaimana keahlian penerjemah menempatkan pengetahuannya dalam pelaksanaan analisis, penemuan, transfer, dan pengungkapan makna kembali, dalam proses meninggalkan sumber dan sampai pada penerima.
3.5 Re-Ekspresi
Re-ekspresi ini merupakan tahap
terakhir dari proses translasi: re-ekspresi
makna sumber dalam bentuk bahasa
penerima. Hal ini merupakan aktualisasi dari
apa yang telah diperjuangkan penerjemah
melalui masalah dan proses yang rumit dan
panjang. Disini penerjemah menciptakan
teks yang baru untuk mempertahankan
keorisinalan berkenaan dengan struktur
bahasa dan isi makna bila memungkinkan
dan membuat penyesuaian serealistik
mungkin bila diperlukan. Disini dapat
dilihat, penerjemah yang berbeda
menghasilkan translasi yang berbeda
meskipun
penerjemah
mungkin
berhubungan dengan teks sumber yang
sama dan bahasa penerima dimana teks
sumber ditranslasikan. Nida dan Taber
(1969) menyarankan bahwasanya ada empat
poin utama untuk diperhatikan sehubungan
dengan proses re-ekspresi (’restruktur’
dalam istilah mereka): (1) setiap bahasa
Universitas Sumatera Utara
Bahasa sumber
Bahasa penerima
Konteks kultural
Konteks kultural
Konteks situasional
Konteks situasional
Teks yang Leksikon Struktur
diekspresi
gramati
kan kal
Teks yang diekspres ikan
Leksikon
Struktur gramati
kal
Analisis makna
Re-ekspresi makna
Penemuan makna
Transfer makna
MAKNA
memiliki keunggulannya sendiri (termasuk konteksnya sendiri); (2) untuk berkomunikasi secara efektif seseorang harus menghargai keunggulan dari setiap bahasa; (3) sesuatu yang dapat dikatakan dalam satu bahasa dapat dikatakan dalam bahasa yang lain; dan (4)untuk mempertahankan isi pesan, bentuk harus atau kemungkin besar akan dirubah. Lihat figur 6 untuk model proses translasi interpretasi yang diajukan.
4. KESIMPULAN
Translasi meliputi paling sedikit dua bahasa : bahasa sumber dan bahasa penerima. Setiap bahasa memilikiciri-ciri konteksnya masing-masing. Dalam proses translasi ada sejumlah variabel kontekstual dan bahasa yang terlibat, yang masingmasing memiliki problemanya sendiri. Translasi adalah perobahan bentuk dan pengiriman makna bahasa sumber ke bahasa penerima, dengan kata lain, dalam translasi bentuk berubah dari satu bahasa ke bahasa lain, tetapi makna harus konstan. Oleh karena itu pada prinsipnya, seharusnya tidak ada informasi yang tidak berhubungan,
perubahan makna, atau penyimpangan fakta dari teks sumber. Terdapat interpretasi proses translasi yang berbeda, berdasarkan bentuk atau makna. Tujuan penerjemah adalah suatu translasi idiomatik yang mereproduksi kembali makna bahsa sumber dalam bentuk-bentuk alami bahasa penerima. Terdapat empat tahap penerima dengan maksud untuk memindahkan bahasa sumber kedalam bahasa penerima, yaitu: analisis makna, pencarian makna, pengiriman makna, mengekespresikan kembali makna dari bahasa sumber ke bahasa penerima.
Analisis teks sumber secara luas berhubungan dengan linguistik, semantik, dan aspek-aspek kontekstual teks. Hal pertama yang harus dilakukan untuk melakukan proses translasi adalah memahami sepenuhnya makna teks sumber. Cara pertama untuk memahami makna tersebut adalah melalui bahasa itu sendiri sebagai salah satu sistem pembuat makna.Sistem ini memiliki tiga tingkat pengkodean: tingkat makna, tingkat susunan kata, dan tingkat penyusunan bunyi atau tulisan.
Universitas Sumatera Utara
Untuk memahami makna sumber harus melibatkan lebih banyak kata dari apa yang dirujuk kata tersebut. Bahasa harus berhubungan dengan konteks agar kita benar-benar memahami teks.Ada sejumlah sistem pembentuk makna lain untuk dipertimbangkan dalam memahami teks dengan sepenuhnya, yaitu konteks situasional, kultural, ideologi, intertekstual, dan intretekstual.
Pada tahap pengiriman, penerjemah harus mampu mentransfer melalui him atau her sebagai makna variabel yang ditemukan dari sumber ke penerima. Masalah yang terlibat dalam prosesnya bisa jadi, personal, linguistik, semantik, dan kontekstual.
Pada tahap re-ekspresi, apa yang ada dipikiran penerjemah diaktualisasikan dalam bahasa penerima. Untuk mengaktualisasikan makna sumber berdasarkan bahasa penerima, penerjemah harus mengikuti petunjuk berikut ini : melihat bahwasanya bahasa itu memiliki geniusnya sendiri, untuk dapat berkomunikasi secara efektif seseorang harus menghargai genius setiap bahasa, apa saja yang dapat dikatakan dalam satu bahasa dapat juga dikatakan dalam bahasa lain, dan untuk mempertahankan suatu pesan makna, bentuknya mungkin saja harus dirubah.
DAFTAR PUSTAKA
Halliday, M.A.K. 1964. “ Syntax and the consumer”, in Halliday, M.A.K. and Martin, J.R. (eds.) 1981, Reading in Systemic, Linguistics. London: Batsford Academic and Educational, Ltd.
______________ and Hasan, R. 1976. Cohesion in English, English Language Series 9. London: Longman Group, Ltd.
______________ 1978. Language as social semiotic, The social interpretation of language and meaning. London: Edward Arnlod (Publisher), Ltd.
______________ 1985. Spoken and written language, EC805 Specialized Curriculum:Language and Learning. Victoria 217: Deakin University Press.
______________ 1985. An Introduction to Functional Grammar. London: Edward Arnold (publisher), Ltd.
Halliday, M.A.K and Hasan, R. 1985. Language, contexts, and text: Aspects of
language in a social-semiotic perspective. Victoria 3217: Deakin University Press.
Larson, M.L. 1984. Meaning – Based Translation, A guide to CrossLanguage Equivalence. MD 20706: University Press of America.
Martin, J.R. 1984. “Language, register and genre, in Christie, F. (ed), Children Writing: Readers, ECT412Children Writing. Victoria 217: Deakin University Press.
__________1984. Grammaticalizing Ecology: The politics of baby seals and kangaroos”. In Threadgold, T.,Grosz, E.a., Krees, G. R and Halliday, M.A.K. (eds) 1986, semiotics, Ideplogy, Language, The Sydney Association for Studies in Society and Culture, No.3. Sydney: Pathfinder Press (Australia), Pty. Ltd., pp. 225-67.
Nida, E.A. 1964. Toward a science of Translating. Leiden: E. J. Brill.
________ and Taber, C.R. (1969), The Theory and Practice of Translation. Leiden: J. Brill.
Poynton, C. 1985. Language and Gender: Making the Difference. Victoria 3217: Deakin University Press.
Tou, A.B. 1989. Some Insight from Linguistics into the Process and Problems of Translation. TEFLIN Journal,II,I.
Universitas Sumatera Utara
Deliana
Universitas Sumatera Utara, Medan
Abstract
The study of translation as a socio-cultural phenomenon is one of the key problems of communication. Transtology, as it may be called, has now been establishing itself as a relatively autonomous (inter)discipline worthy of serious study. This is obviously not an easy task for the international world of intellectuals to deals with. Translators from various disciplines are from day to day confronted with the complex problem areas of the translation process under difficult circumstances, they may also complain about the lack of any systemic publications on “translation science” as a new discipline. This paper focuses in the process of translation at least two languages: the source language and the receptor language. In the translation process there are a number of linguistic and contextual variables involved, each of which has its own problems.
1. PENDAHULUAN Kebutuhan akan translasi di dunia
dewasa ini, tidak perlu dipertanyakan lagi. Kenyataannya sekarang ini orang menggunakan kira-kira 5500 bahasa yang berbeda, sehingga membawa kita ke dunia translasi. Pada saat orang ingin menyampaikan pesan atau mempertukarkan makna, mereka tidak menggunakan bahasa mereka masing-masing dan disinilah translasi mulai aktif. Tentu saja hal ini sangat membantu bagi setiap orang yang ingin belajar bahasa lain, selain bahasa ibu mereka. Kebutuhan akan translasi sering berhubungan dengan bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai bagian dari masyarakat moderen. Buku-buku ilmu pengetahuan dan teknologi kebanyakan ditulis dalam bahasa-bahasa Eropa khususnya bahasa Inggeris. Meskipun bahasa Inggeris telah menjadi bahasa Internasional yang digunakan oleh kira-kira 600 juta orang, translasi dari bahasa Inggeris ke bahasa lainnya merupakan kebutuhan yang tidak dapat dihindari oleh hampir
semua negara. Orang yang percaya pada Tuhan mungkin juga harus menyampaikan pesanNYA kepada semua manusia dengan mentranslasikan buku suci dari bahasa sumber ke bahasa lainnya. Translasi materi yang bersifat religius ini mungkin menjadi isu yang sangat penting. Apa yang harus dilakukan penerjemah dalam proses pengiriman makna bahasa dari Tuhan ke bahasa manusia? Dalam proses translasi, bentuk bahasa mungkin berubah tetapi makna yang ditranfer harus tetap dipertahankan dan hal ini merupakan salah satu problema translasi.
2. Bahasa dan Semiotik Konotatifnya Sebelum memulai karir sebagai seorang
penerjemah, seseorang harus mengetahui sifat bahasa terlebih dahulu. Ahli sistemik melihat bahasa sebagai sistem pembentuk makna, yaitu suatu sistem dimana makna dikomunikasikan, direalisasikan dan dipahami. Untuk memahami makna ucapan, seseorang harus memahami sistem tersebut. Halliday dan Hasan (1976) (dalam Tou,
Universitas Sumatera Utara
1989:124) menyatakan bahwa bahasa dapat diinterpretasikan dalam tiga sistem strata:semantik(makna), leksikogrammar (bentuk) dan sistem ortografi atau fonologi(ekspresi). Makna dinyatakan dalam kata dan kata dinyatakan dalam bunyi atau tulisan. Ahli sistemik beranggapan bahwa bahasa harus berhubungan dengan konteks agar dapat memahami dan menjelaskan makna. Bahasa itu sendiri tidak cukup untuk memahami dan menjelaskan hal tersebut karena keseluruhan makna teks tidak hanya bergantung pada ketiga sistem strata bahasa tetapi juga pada faktor-faktor diluar bahasa yang mempengaruhi pilihan-pilihan aktual yang dilakukan seseorang sewaktu menggunakan bahasa.
Untuk menghubungkan bahasa dengan konteks yang berkenaan dengan interaksi sistem-sistem semiotik, para penganut Halliday atau ahli sistemik dalam tahun belakangan ini menawarkan model konteks bahasa sistematis. Martin (1984) (dalam Tou, 1989: 125) mengemukakan konsep register yang berhubungan dengan konteks situasi, dan merupakan salah satu faktor pembatas diluar bahasa yang dianggapnya sebagai semiotik konotatif yang terikat. Faktor pembatas diluar bahasa selanjutnya adalah ’genre’ dan ’ideologi’. Genre berhubungan dengan konteks budaya dimana penutur terlibat sebagai anggota dari budaya yang ada. Sedangkan ideologi juga dianggap sebagai semiotik konotatif terikat. Selanjutnya Martin (1984) (dalam Tou 1989 :126) mengajukan model relasi bahasa kontekstual sebagai berikut;
Figur 1: Bahasa dalam hubungannya dengan semiotik konatatifnya
Dalam proses translasi, makna adalah variabel yang paling penting untuk mengetahui makna lengkap dari suatu teks. Dengan kata lain, jika seseorang mengetahui bahasa, register, genre, dan ideologi sebagai sistem semiotik, maka dengan definisi seseorang akan mengetahui makna teks yang ditranslasikannya.
3. PROSES
DAN
TRANSLASI
PROBLEMA
3.1 Variabel-variabel yang dipertimbangkan Pada dasarnya translasi adalah
perubahan bentuk dari bentuk bahasa sumber ke bentuk bahasa penerima .’Bentuk’ bahasa sumber membawa makna yang sebaiknya dinyatakan dan dipertahankan dalam ’bentuk’ bahasa penerima. Hal ini tidaklah mudah karena kita memiliki makna yang disandikan dan tercatat dalam kata dan bunyi atau ejaan dalam bahasa sumber. Kemudian makna ini akan dialihkan, disandikan dan dicatat dalam kata dan bunyi atau ejaan yang baru (bahasa penerima). Tetapi teks sumber, yang membentuk makna, memiliki konteks atau lingkungannya sendiri, yang harus disesuaikan dengan konteks penerima (target). Hal ini merupakan salah satu problema translasi. Lihat figur 2.
3.2 Interpretasi proses translasi. Nida dan Taber (1969) (dalam Tou
1989:129) mengusulkan tiga interpretasi proses translasi; yaitu (1) translasi langsung, (2) translasi langsung melalui struktur bahasa universal, netral dan menengah, (3) translasi tidak langsung melalui tata bahasa. Lihat figur 3.
ideologi
genre
register
language
Universitas Sumatera Utara
Figur 2. Problema penetapan makna dalam translasi
SuSmumbberer
Penerima
Teks Konteks Makna
Teks Konteks
Konstan?
Makna
Figur 3. Interpretasi Proses Translasi
(1) A (Bahasa Sumber) (2) A (Bahasa Sumber) (3) A (Bahasa Sumber)
B (Bahasa Penerima) (I) B (Bahasa Penerima)
B (Bahasa Penerima)
(Analisis)
(Rekonstruksi)
I (Transfer)
Figur 3 menunjukkan interpretasi pertama adalah translasi ‘kata demi kata’ dimana setiap satu bagian teks sumber dinyatakan kembali dalam bahasa penerima yang agak formal dan istilah-istilah literal. Interaksi ini hanya dalam teori, sulit untuk dipraktekkan karena berlawanan dengan sifat bahasa. Tetapi translasi kata demi kata ini mungkin berguna bagi seseorang yang melakukan kajian bahasa sumber.
Interpretasi kedua berdasarkan aplikasi kaidah-kaidah yang universal, dimana semua bahasa mungkin berhubungan dengan pentransferan yang lebih ekonomis, yang disebut juga struktur luar bahasa. Kaidah-kaidah universal, netral dan menengah dianggap sebagai bahasa perantara dimana bahasa sumber ditranslasikandan darimana penyelesaian translasi diperoleh, apakah dari bahasa alami lainnya atau sama sekali bahasa artifisial
I
Nida dan Taber (1969) (dalam Tou 1989:129). Interpretasi ketiga adalah sesuatu yang dikerjakan secara menyeluruh. Menurut Nida dan Taber (1969) interpretasi proses translasi ini memiliki prosedur yang lebih terperinci lagi yang terdiri dari tiga langkah : (1) analisis, yaitu bentuk-bentuk ekspresi yang merealisasikan pesan dari sumber dianalisis berdasarkan (a) hubungan gramatika, dan (b) makna kata dan kombinasi kata; (2) pemindahan, yaitu materi yang dianalisis dipindahkan dari pikiran penerjemah dari sumber ke penerima, (3) menstruktur kembali, yaitu materi yang dipindahkan distuktur kembali agar pesan yang disampaikan benar-benar berterima dalam bahasa penerima.
Mengikuti Martin (1984), dalam istilah fungsional sistemik kita mungkin memiliki model interpretasi dari proses translasi, seperti terlihat pada figur 4;
Universitas Sumatera Utara
Figur 4: Model interpretasi fungsional sistemik pada proses translasi
sumber
penerima
ideologi
genre
register
bahasa
hahasa
register
genre
ideologi
wacana ‘teks’
Leksikogrammar
‘kata/ klausa’
Fonologi ‘silabel’
Wacana ‘teks’
Leksikogrammar
‘kata/ klausa’
Fonologi ‘silabel’
Analisis makna
Re-ekspresi makna
Penemuan makna
Transfer makna
MAKNA
Larson (1984)(dalam Tou 1989:131) mengklasifikasikan translasi kedalam dua jenis, yaitu; bentuk dasar dan bentuk makna. Translasi bentuk dasar pada umumnya dianggap sebagai ’translasi literal’ sedangkan translasi bentuk makna dikenal sebagai ’translasi idiomatik’, dimana makna teks sumber dinyatakan dalam bentukbentuk alami dari bahasa penerima. Sebenarnya translasi literal itu tidak lazim kecuali dipakai untuk tanslasi interlinear yang mungkin sangat berguna untuk studi linguistik bahasa sumber. Bahkan para penerjemah yang cenderung mengikuti translasi literal masih menggunakan modifikasi terhadap bahasa sumber. Oleh karena itu munculah ’translasi literal yang dimodifikasi’ dimana para penerjemah membuat penyesuaian-penyesuaian untuk menghindari makna yang salah dan tidak
masuk akal, tetapi ketidak alamiahan masih tetap saja muncul.
Translasi idiomatik menggunakan bentuk-bentuk alami bahasa penerima seperti konstruksi gramatika dan pilihanpihan leksikal. Bentuk-bentuk ini seolah-olah ditulis secara asli dalam bahasa penerima. Menurut Larson (1984) tujuan dari suatu translasi yang baik adalah menerjemahkan secara idiomatik. Tetapi dalam pelaksanaannya sangatlah sulit untuk tetap konsisten menterjemah secara idiomatik. Translasi sering merupakan gabungan dari bentuk-bentuk literal dan idiomatik pada bahasa. Larson menyarankan bahwasanya translasi masuk kedalam kontinum dari yang sangat literal ke yang terlalu bebas. Lihat figur 5.
Universitas Sumatera Utara
sangat literal literal yang penggabungan mendekati idiomatik terlalu
literal
dimodifikasi yang tidak tetap idiomatik
bebas
sasaran/tujuan penerjemah
Translasi yang terlalu bebas tidak dapat diterima untuk tujuan apapun.. Menurut Larson (1984) (dalam Tou: 133), translasi yang terlalu bebas memiliki karekteristik sebagai berikut ; (1) jika terdapat informasi yang tidak ada berhubungan dengan teks, (2) jika terdapat beberapa perubahan makna dari teks sumber, (3) jika terdapat distorsi fakta sejarah dan kebudayaan dari teks sumber.Berdasarkan kenyataan, apa yang benar-benar dikomunikasikan antara pembicara dan pendengar adalah makna yang terdapat dalam budaya, oleh karena itu translasi seharusnya berdasarkan makna. Mengambil makna sebagai objek mendasar penyelidikan bahasa, maka penerjemah harus memulai arah dari makna ke bentuk bukan sebaliknya. Bahasa sebagai semiotik denotatif tidak diinterpretasikan sebagai sistem bentuk tempat makna dituangkan, tetapi sebagai sistem makna berikut bentuk dimana makna tersebut direalisasikan. (Martin 1984, Halliday 1978, 1985 dan 1981) (dalam Tou :134)
3.3 Analisis Sumber
3.3.1 Teks sumber yang terekspresi
Pada prinsipnya analisis teks sumber
meliputi proses penemuan makna sumber
dan bagaimana mereka diungkapkan dalam
bahasa. Dalam proses translasi yang
sebenarnya, kadang-kadang terdapat kasus
dimana
suatu
ekspresi
dapat
diinterpretasikan secara berbeda. Hal ini bisa
terjadi bila dikaitkan dengan interpretasi
dari struktur informasi yang bentuk-bentuk
khusus teks lisan direalisasikan melalui
sistem intonasi dalam fonologi, melalui teks
tulisan yang jarang menggunakan penanda
paragrafologikal sebagai bentuk realisasi
dari struktur informasi bahasa tulisan.
Pengamatan klausa dapat dilihat dari sudut
fungsi ideasionalnya yang berhubungan
dengan struktur informasi, misalnya klausa ‘the tower is Ahab’ bermakna ambigu dan dapat diinterpretasikan sebagai berikut :
(1) Makna aktif berpotensi
Fokus the tower is
Tak ber- Identified Proses
AHAB Identifier
markah Token
Value
Fokus Pemarkah
‘the tower means Ahab’
The tower is
Ahab
Identifier Process Identified
Token
Value
‘Ahab can be recognized in the tower’
(2) Makna pasif berpotensi
Fokus the tower is
AHAB
Tak ber- Identified Process Identifier
markah Value
Token
‘the tower can be recognized in Ahab’
Fokus the tower is
Ahab
Pemarkah Identifier Process Identified
Value
Token
‘the tower, that’s what Ahab means’
Figur 6. Teks, konteks dan Makna (Halliday dan Hasan 1985)
TTEEXXTT ::
MMeteatifadufenuacntticiootinnoaanllal TT interpersonal teixdteuaatlional
↔
CONTEXT : Situational field tenor mode
Cultural institutional ideological
Intertextual inter-related text
Intratextual coherence cohesion
MMEEAANNININGG
Konsep konteks situasional dianggap
sebagai ‘register’ oleh Halliday (1978) dan
Halliday dan Hasan (1985). Konsep ini
adalah konsep semantik, yang didefinisikan
sebagai suatu konfigurasi makna, yang
diasosiasikan dengan konfigurasi tertentu
dari field, mode, and tenor. Register membuat
makna dengan pilihan-pilihan yang tidak
sebenarnya
dalam bahasa, sewaktu
Universitas Sumatera Utara
memproduksi pola-pola dalam teks. Contohnya, pemilihan kata ‘anda’ dan ‘pak’, ini adalah bentuk register yang dianggap sebagai pola-pola pilihan, yang muncul menjadi teks. Oleh karena itu, ‘I’ misalnya, dalam teks bahasa Inggeris dapat diekspresikan kembali menjadi ‘aku’ , ‘kulo’ atau ‘dalem’ dalam bahasa Jawa, dan hal ini bergantung pada konteks tertentu dari situasi (register) teks tersebut. Konteks situasional adalah lingkungan yang terdekat dari konteks tersebut. Dan konteks yang selebihnya adalah konteks budaya. Sekolah merupakan contoh yang baik dari suatu ‘antar-muka’ antara konteks situasi dan konteks budaya. Untuk setiap ’teks’ disekolah (misalnya, percakapan guru di kelas) akan selalu terdapat konteks situasi (misalnya, mata pelajaran; atau hubungan antara murid dan guru). Halliday and Hasan (1985).
Martin (1981) memperkenalkan suatu model linguistik dari konteks kebudayaan melalui nosi ’genrenya’ sebagai tahapan tujuan, proses orientasi sosial. Untuk setiap teks, lisan dan tulisan, selalu ada tujuan yang harus dicapai. Genre sebagai suatu tahapan proses sosial yang terikat oleh sistem kebudayaan masyarakat yang ada, diorientasikan pada tujuan yang harus diselesaikan. Hal pertama yang harus dilakukan seorang penerjemah adalah mengidentifikasi genre wacana dari teks sumber yang akan diterjemahkan . Ada sejumlah perbedaan antara genre-genre tersebut yang dapat terlihat dengan cara memikirkan tujuan pembicaraan atau tulisan. Larson (1984) telah mengidentifikasi enam perbedaan dasar genre; (1) naratif, (2) prosedural, (3) ekspositori, (4) hortatori, (5) deskriptif; dan (6) ketepatan (repartee). Genre direalisasikan secara probabilistik dan indeksikal. Dengan mengambil naratif sebagai contoh, maka dua realisasi indeksikal naratif dalam bahasa Inggeris adalah kata pembukaan, “Once upon a time” dan kata penutup, ‘And they lived happily ever after”. Realisasi probabilistik yang khas dalam naratif bisa saja memiliki struktur tingkatan yang berbeda, sebagai berikut : (1) Orientasi; (2) Komplikasi; (3)
Resolusi; dan (4) Koda. Martin (1981) merujuk struktur teks awal – tengah – akhir, sama halnya “struktur skematik” dan sistem semiotik yang mendasari “genre”. Dalam proses translasi, dari suatu teks sumber kedalam teks penerima, harus ada dalam pikiran bahwasanya struktur teks sumber mungkin perlu untuk dirubah pada teks penerima. Menurut istilah Larson (1984) urutan informasi yang dipresentasikan dalam teks sumber bisa saja berubah dalam teks penerima.
Variabel konteks berikutnya adalah “intertekstualitas”. Untuk memahami teks yang diberikan, seseorang harus menghubungkan teks tersebut pada teks lainnya yang datang sebelumnya. Selama teks terdahulu memiliki nilai sebagai suatu teks dan sebagai suatu konteks dari teks yang ada, dengan cara yang sama sebagaimana teks yang ada, yang memiliki nilai sebagai suatu teks dan sebagai suatu konteks untuk sejumlah teks lainnya yang muncul kemudian, maka setiap teks yang ada, mungkin memerlukan “intertekstual” yang terkontekstual agar dapat memahami makna tersebut sepenuhnya. Seminar Teflin memberikan suatu contoh yang cukup jelas dari jenis teks intertekstualitas. Forum keterlembagaan ini dapat dilihat sebagai suatu teks yang panjang, yang bergerak dari satu tahun ke tahun berikutnya dan dari satu tahapan perubahan makna ke tahapan selanjutnya. Makna dari teks ini hanya dapat terlihat jika kita dapat menghubungkannya pada teks sebelumnya dan untuk sejumlah teks lainnya dapat diprediksi kemunculan berikutnya. Jadi, istilah yang lebih praktis , sewaktu ketua seminar mengatakan “TEFLIN Seminar XXXIII” dalam teksnya pada konteks yang panjang ini, kita mengetahui maksud yang sebenarnya karena kita mengintertekstualiskannya. Apa yang dikatakannya sekarang berhubungan dengan apa yang dikatakannya sebelumnya dan apa yang akan dikatakan selanjutnya. Dengan kata lain, makna teksnya berasal dari hubungan intertekstualnya.
Melihat pada teks itu sendiri, setiap teks juga merupakan konteks dari teks itu sendiri. Suatu teks bergantung satu sama
Universitas Sumatera Utara
lainnya, dikarekterisasikan oleh koherensi. Koherensi suatu teks dapat direalisasikan melalui “kohesi” dimana setiap bahasa merupakan bagian dari metafungsi tekstual. Dalam bahasa Inggeris, relasi semantik yang memungkinkan satu bagian dari teks berfungsi sebagai konteks untuk bahagian lainnya dapat diaktualisasikan melalui sistem referensi, substitusi, dan elipsis, konjungsi, dan kohesi leksikal (Halliday dan Hasan 1976 dan 1985). Nosi dari konteks “intratextual” dihubungkan dengan koherensi dalam teks tersebut. “Ideologi” sebagai suatu variabel konteks dapat diperoleh baik secara sinopsis maupun dinamis yang memperlakukannya sebagai suatu produk atau proses. Martin (1984) mengusulkan suatu model kerja ideologi dilihat dari perspektif dinamis linguistik, dimana dia menghubungkan ideologi dengan bahasa , register dan genre.
Sebagai kesimpulan, ada lima variabel konteks yang utama dimana suatu teks dikaitkan, yaitu; situasi, kultural, ideologikal, intertekstual, dan konteks intratekstual. Untuk menemukan makna lengkap dari suatu teks sumber, seorang penerjemah harus mengikut sertakan semua variabelvariabel ini.
3.3.2 Makna Sumber Menemukan makna sumber sangatlah
penting dalam proses translasi. Ada beberapa cara yang berbeda dalam menafsirkan makna. Melihat makna sebagai fenomena multi-level, Candlin et. al. (1978) mengidentifikasi empat level makna: (1) nosional, (2) referensial proposisional atau literal, (3) pragmatik, dan (4) wacana.
Nida dan Taber (1969) mempertahankan bahwasanya ada tiga tipe makna untuk menentukan analisis makna teks sumber; (1) makna gramatikal, (2) makna referensial, (3) makna konotatif. Teori Halliday menekankan pada “makna yang mendasari bentuk-bentuk linguistik”. Konsepsi abstraknya tentang bahasa sebagai fenomena tiga-strata, yaitu; berisikan makna, susunan kata, susunan bunyi atau tulisan, yang kesemuanya harus dianggap sebagai suatu potensial total. Metafungsi bahasa
Halliday adalah mode makna yang dipergunakan sehari-hari dalam setiap konteks sosial, yaitu; makna ideasional, interpersonal dan tekstual (Halliday 1978 dan 1985).
3.4 Transfer Dengan menemukan makna sumber
yang dapat diklasifikasikan secara luas baik makna linguistik maupun makna kontekstual, langkah berikutnya adalah mentransfer makna yang ditemukan kedalam pikiran penerjemah dari bahasa sumber kedalam bahasa penerima. Dalam tahap ini penerjemah memainkan peranan penting. Masalah yang berkaitan dengan kualitas penerjemah bergantung pada pertanyaan berikut ini: (1) Bagaimana kirakira kemampuan pengetahuan penutur dalam kedua bahasa, khususnya dalam hal sistem makna berhubungan dengan sistem bentuk teks; dan (2) bagaimana keahlian penerjemah menempatkan pengetahuannya dalam pelaksanaan analisis, penemuan, transfer, dan pengungkapan makna kembali, dalam proses meninggalkan sumber dan sampai pada penerima.
3.5 Re-Ekspresi
Re-ekspresi ini merupakan tahap
terakhir dari proses translasi: re-ekspresi
makna sumber dalam bentuk bahasa
penerima. Hal ini merupakan aktualisasi dari
apa yang telah diperjuangkan penerjemah
melalui masalah dan proses yang rumit dan
panjang. Disini penerjemah menciptakan
teks yang baru untuk mempertahankan
keorisinalan berkenaan dengan struktur
bahasa dan isi makna bila memungkinkan
dan membuat penyesuaian serealistik
mungkin bila diperlukan. Disini dapat
dilihat, penerjemah yang berbeda
menghasilkan translasi yang berbeda
meskipun
penerjemah
mungkin
berhubungan dengan teks sumber yang
sama dan bahasa penerima dimana teks
sumber ditranslasikan. Nida dan Taber
(1969) menyarankan bahwasanya ada empat
poin utama untuk diperhatikan sehubungan
dengan proses re-ekspresi (’restruktur’
dalam istilah mereka): (1) setiap bahasa
Universitas Sumatera Utara
Bahasa sumber
Bahasa penerima
Konteks kultural
Konteks kultural
Konteks situasional
Konteks situasional
Teks yang Leksikon Struktur
diekspresi
gramati
kan kal
Teks yang diekspres ikan
Leksikon
Struktur gramati
kal
Analisis makna
Re-ekspresi makna
Penemuan makna
Transfer makna
MAKNA
memiliki keunggulannya sendiri (termasuk konteksnya sendiri); (2) untuk berkomunikasi secara efektif seseorang harus menghargai keunggulan dari setiap bahasa; (3) sesuatu yang dapat dikatakan dalam satu bahasa dapat dikatakan dalam bahasa yang lain; dan (4)untuk mempertahankan isi pesan, bentuk harus atau kemungkin besar akan dirubah. Lihat figur 6 untuk model proses translasi interpretasi yang diajukan.
4. KESIMPULAN
Translasi meliputi paling sedikit dua bahasa : bahasa sumber dan bahasa penerima. Setiap bahasa memilikiciri-ciri konteksnya masing-masing. Dalam proses translasi ada sejumlah variabel kontekstual dan bahasa yang terlibat, yang masingmasing memiliki problemanya sendiri. Translasi adalah perobahan bentuk dan pengiriman makna bahasa sumber ke bahasa penerima, dengan kata lain, dalam translasi bentuk berubah dari satu bahasa ke bahasa lain, tetapi makna harus konstan. Oleh karena itu pada prinsipnya, seharusnya tidak ada informasi yang tidak berhubungan,
perubahan makna, atau penyimpangan fakta dari teks sumber. Terdapat interpretasi proses translasi yang berbeda, berdasarkan bentuk atau makna. Tujuan penerjemah adalah suatu translasi idiomatik yang mereproduksi kembali makna bahsa sumber dalam bentuk-bentuk alami bahasa penerima. Terdapat empat tahap penerima dengan maksud untuk memindahkan bahasa sumber kedalam bahasa penerima, yaitu: analisis makna, pencarian makna, pengiriman makna, mengekespresikan kembali makna dari bahasa sumber ke bahasa penerima.
Analisis teks sumber secara luas berhubungan dengan linguistik, semantik, dan aspek-aspek kontekstual teks. Hal pertama yang harus dilakukan untuk melakukan proses translasi adalah memahami sepenuhnya makna teks sumber. Cara pertama untuk memahami makna tersebut adalah melalui bahasa itu sendiri sebagai salah satu sistem pembuat makna.Sistem ini memiliki tiga tingkat pengkodean: tingkat makna, tingkat susunan kata, dan tingkat penyusunan bunyi atau tulisan.
Universitas Sumatera Utara
Untuk memahami makna sumber harus melibatkan lebih banyak kata dari apa yang dirujuk kata tersebut. Bahasa harus berhubungan dengan konteks agar kita benar-benar memahami teks.Ada sejumlah sistem pembentuk makna lain untuk dipertimbangkan dalam memahami teks dengan sepenuhnya, yaitu konteks situasional, kultural, ideologi, intertekstual, dan intretekstual.
Pada tahap pengiriman, penerjemah harus mampu mentransfer melalui him atau her sebagai makna variabel yang ditemukan dari sumber ke penerima. Masalah yang terlibat dalam prosesnya bisa jadi, personal, linguistik, semantik, dan kontekstual.
Pada tahap re-ekspresi, apa yang ada dipikiran penerjemah diaktualisasikan dalam bahasa penerima. Untuk mengaktualisasikan makna sumber berdasarkan bahasa penerima, penerjemah harus mengikuti petunjuk berikut ini : melihat bahwasanya bahasa itu memiliki geniusnya sendiri, untuk dapat berkomunikasi secara efektif seseorang harus menghargai genius setiap bahasa, apa saja yang dapat dikatakan dalam satu bahasa dapat juga dikatakan dalam bahasa lain, dan untuk mempertahankan suatu pesan makna, bentuknya mungkin saja harus dirubah.
DAFTAR PUSTAKA
Halliday, M.A.K. 1964. “ Syntax and the consumer”, in Halliday, M.A.K. and Martin, J.R. (eds.) 1981, Reading in Systemic, Linguistics. London: Batsford Academic and Educational, Ltd.
______________ and Hasan, R. 1976. Cohesion in English, English Language Series 9. London: Longman Group, Ltd.
______________ 1978. Language as social semiotic, The social interpretation of language and meaning. London: Edward Arnlod (Publisher), Ltd.
______________ 1985. Spoken and written language, EC805 Specialized Curriculum:Language and Learning. Victoria 217: Deakin University Press.
______________ 1985. An Introduction to Functional Grammar. London: Edward Arnold (publisher), Ltd.
Halliday, M.A.K and Hasan, R. 1985. Language, contexts, and text: Aspects of
language in a social-semiotic perspective. Victoria 3217: Deakin University Press.
Larson, M.L. 1984. Meaning – Based Translation, A guide to CrossLanguage Equivalence. MD 20706: University Press of America.
Martin, J.R. 1984. “Language, register and genre, in Christie, F. (ed), Children Writing: Readers, ECT412Children Writing. Victoria 217: Deakin University Press.
__________1984. Grammaticalizing Ecology: The politics of baby seals and kangaroos”. In Threadgold, T.,Grosz, E.a., Krees, G. R and Halliday, M.A.K. (eds) 1986, semiotics, Ideplogy, Language, The Sydney Association for Studies in Society and Culture, No.3. Sydney: Pathfinder Press (Australia), Pty. Ltd., pp. 225-67.
Nida, E.A. 1964. Toward a science of Translating. Leiden: E. J. Brill.
________ and Taber, C.R. (1969), The Theory and Practice of Translation. Leiden: J. Brill.
Poynton, C. 1985. Language and Gender: Making the Difference. Victoria 3217: Deakin University Press.
Tou, A.B. 1989. Some Insight from Linguistics into the Process and Problems of Translation. TEFLIN Journal,II,I.
Universitas Sumatera Utara