Kitin sebagai Polisakarida Struktural Sifat Fisik-Kimia pada Kitin

akan mengeras ketika dilapisi dengan garam kalsium karbonat. Kitin membentuk serat mirip selulosa yang tidak dapat dicerna oleh vertebrata. Pada umumnya kitin di alam tidak terdapat dalam keadaan bebas, akan tetapi berikatan dengan protein, mineral dan berbagai macam pigmen. Keterikatannya untuk berbagai jenis hewan berbeda, meskipun keterikatannya berbeda tetapi struktur kitin yang dihasilkan umumnya sama. Carroad, 1978 Kitin dapat dibuat dari kulit udang atau kulit kepiting atau bahkan dari kulit insekta. Tabel 2.1 Kandungan Kitin Pada Berbagai Jenis Hewan dan Jamur Knorr, 1984 No Jenis Organisme Kandungan Kitin 1 Crustaceae - Kepiting 72,1 a - Lobster : - Nephops 69,8 a - Homarus 60,8-77.0 a 2 Serangga - Kecoa 18,4 a - Lebah 27-35 a - Ulat sutra 44,2 a 3 Molusca - Kulit remis 6,1 - Kulit tiram 3,6 4 Jamur - Aspergillus niger 42,0 b - Penicillium Chrysogenium 20,1 b - Saccharomyceae Cereviciae 2,9 b - Lactarius Vellereus Mushroom 19,0 Keterangan: a = berat organik dari kutikula b = berat kering dari dinding sel

2.1.2 Kitin sebagai Polisakarida Struktural

Kitin pada Cendawan Universitas Sumatera Utara Kitin adalah komponen struktural utama dinding sel khamir dan cendawan berfilamen. Jumlah kitin pada khamir dan cendawan berfilamen cukup jauh berbeda. Kitin pada khamir Saccharomyces cerevisiae mencapai 1-2 dari bobot kering dinding sel, sedangkan proporsi pada cendawan berfilamen bervariasi antara 10-30 dari bobot kering dinding sel. Kitin sintesa Kitin sintesa adalah gabungan berbagai enzim yang digunakan oleh semua organisme penghasil kitin untuk membentuk polimer dari rantai beta 1-4 N- asetilglukosamin. Kemiripan enzim kitin sintesa ini pada berbagai organisme menunjukkan adanya kesamaan nenek moyang organisme eukariotik. Enzim kitin sintesa terdapat di dalam membrane sel dan persimpangan membran sehingga monomer N-asetilglukosamin dapat ditambahkan membentuk polimer sambil ditransportasikan melewati membran. Analisis filogenetik menunjukkan bahwa kitin sintesa menghasilkan kitin pada berbagai lokasi sel dan untuk berbagai fungsi. Oleh karena itu, suatu organisme dapat memiliki beberapa jenis enzim kitin sintesa. http:id.wikipedia.orgwikiKitin, diakses 25 Mei 2010

2.1.3 Sifat Fisik-Kimia pada Kitin

Kitin merupakan padatan yang berbentuk amorf, tidak larut dalan air, asam encer, alkali pekat maupun encer, alkohol dan pelarut-pelarut organik lainnya. Tetapi kitin dapat larut dalam HCL,H 2 SO 4 pekat, dan H 3 PO 4 . Untuk melarutkan kitin tidak mudah, sehingga perlu disesuaikan konsentrasi pelarut yang sesuai untuk melarutkan kitin. Anonim, 1976 Kitin merupakan bahan yang tidak beracun dan bahkan mudah terurai secara hayati biodegradable. Bentuk fisiknya merupakan padatan amorf yang berwarna putih dengan kalor spesifik 0,373±0,03 kalg C. Knorr,1984. Dan derajat rotasi spesifik [α] D 18 +22 pada konsentrasi asam metanasulfonat 1,0. Kitin hampir tidak larut dalam air, asam encer dan basa, tetapi larut dalam asam format, asam metasulfonat, N,N-dimetilasetamida yang mengandung 5 litium klorida, Universitas Sumatera Utara heksafluoroisopropil alkohol, heksafluoroaseton dan campuran 1,2-dikloroetana-asam trikloroasetat dengan nisbah 35:65 [vv]. Hirano,1986. Kitin juga larut dalam asam mineral pekat seperti H 2 SO 4 ,HNO 3 , dan H 3 PO 4 sekaligus menyebabkan rantai panjang kitin terdegradasi menjadi satu-satuan yang lebih kecil. Bastaman, 1989. Sifat fisika dan kimia kitin diatas telah dijadikan bagian dalam spesifikasi kitin niaga Tabel 2.2. Tabel 2.2 Spesifikasi Kitin Niaga Anonim, 1987 Parameter Ciri Ukuran partikel Serpihan sampai bubuk Kadar air ≤ 10,0 Kadar abu ≤ 2,0 N-deasetilasi ≥ 15,0 Kelarutan dalam: - air Tidak larut - asam encer Tidak larut - pelarut organik Tidak larut - LiCL 2 dimetilasetamida Sebagian larut Enzim pemecah Lisozim dan kitinase Kitin mempunyai reaktivitas kimia yang lebih rendah dibandingkan dengan selulosa dan kitosan sehingga dalam pemanfaatannya kitin biasanya terlebih dahulu dilakukan modifikasi kimia seperti deasetilasi, asilasi, karboksimetilasi, sulfasi dan lain-lain. Modifikasi yang sering dilakukan adalah deasetilasi yang dapat dilakukan dengan cara kimiawi maupun enzimatik. Proses deasetilasi secara kimiawi digunakan dengan menggunakan basa misalnya NaOH, yang dapat menghasilkan kitosan dengan derajat deasitilasi yang tinggi, yaitu mencapai 85-93. Tsigos et al ,2000 Namun, proses kimiawi menghasilkan kitosan dengan bobot molekul yang beragam dan deasetilasinya juga sangat acak, sehingga sifat fisik dan kimia kitosan tidak seragam. Selain itu, proses kimiawi juga dapat menimbulkan pencemaran lingkungan, sulit dikendalikan, dan melibatkan banyak reaksi samping yang dapat menurunkan rendemen. Proses enzimatik dapat menutupi kekurangan proses kimiawi. Dimana deasetilasi secara enzimatik bersifat selektif dan tidak merusak struktur rantai, sehingga menghasilkan kitosan yang lebih seragam agar dapat memperluas bidang aplikasinya. Tokuyasu et al., 1997 Universitas Sumatera Utara Deasetilasi kitin secara enzimatik dapat diawali dengan pengamatan proses pengubahan kitin menjadi kitosan pada mikrob. Kitin deasetilasi memiliki aktivitas optimum pada suhu sekitar 50 C pada pH yang beragam, bergantung pada mikroorganismenya. Umpamanya, kitin deasetilasi yang berasal dari M. rouxii optimum pada pH sekitar 4,5 Kafetzopoulos, 1993, sedangkan yang berasal dari A. nidulans optimum pada pH 7,0. Alfonso et al, 1995. Enzim lain yang aktivitasnya sama ialah lisozim yang terdapat dalam putih telur. Kurita et al, 2000

2.2 Kegunaan Kitin