Studi Kelarutan Kitin Dalam Larutan Asam Fosfat
STUDI KELARUTAN KITIN DALAM
LARUTAN ASAM FOSFAT (H
3PO
4)
OLEH
NORA ANGGREINI
080822018
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2010
(2)
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Sains Bidang Ilmu Kimia Pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Sumatera Utara
OLEH
NORA ANGGREINI 080822018
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(3)
PERSETUJUAN
Judul : STUDI KELARUTAN KITIN DALAM LARUTAN ASAM FOSFAT (H3PO4)
Kategori : SKRIPSI
Nama : NORA ANGGREINI
Nomor Induk Mahasiswa : 080822018
Program Studi : SARJANA (S-1) KIMIA EKSTENSI
Departemen : KIMIA
Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Disetujui di
Medan, Agustus 2010 Komisi Pembimbing :
Pembimbing II Pembimbing I
Prof. Dr. Zul Alfian, M.Sc. Prof. Dr. Harry Agusnar, M.Sc, M.Pill. NIP.195504051983031002 NIP. 195308171983031002
Diketahui/Disetujui oleh
Departemen Kimia FMIPA USU Ketua,
DR. Rumondang Bulan Nst, MS. NIP. 195408301985032001
(4)
PERNYATAAN
STUDI KELARUTAN KITIN DALAM LARUTAN ASAM FOSFAT (H3PO4)
SKRIPSI
Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.
Medan, Agustus 2010
NORA ANGGREINI 080822018
(5)
PENGHARGAAN
Bismillahirrahmaanirrahim, segala puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat ALLAH SWT, atas rahmat dan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Studi Kelarutan Kitin Dalam Larutan Asam Fosfat”.
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan khusus kepada kedua orangtua tercinta, Ayahanda H.Roddani Hasibuan dan Ibunda Hj.Syafrida Iriani Sitompul yang telah memberikan motivasi baik moral, materil dan perhatian dan kasih sayang yang tulus kepada penulis sepanjang perkuliahan sampai selesai skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Kakanda Fery Kurniawan S.Pd, M.Si; Ismail Saleh S.Kom serta Adinda Ahmad Surya Hatorangan Hasibuan yang selalu memberi semangat dan dukungan yang sangat berarti pada penulis.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak memperoleh bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof.Dr.Harry Agusnar, M.Sc., M.Pill selaku dosen pembimbing 1 yang telah memberikan judul skripsi ini dan waktunya untuk membimbing serta mengarahkan penulis sehingga selesai penulisan skripsi ini.
2. Bapak Prof.Dr.Zul Alfian, M.Sc selaku dosen pembimbing 2 yang juga telah memberikan waktunya untuk membimbing serta mengarahkan penulis sehingga selesai penulisan skripsi ini.
3. Ibu DR. Rumondang Bulan Nst, MS, dan Bapak Drs Firman Sebayang, MS, yang telah membantu mensyahkan skripsi ini.
4. Bapak/Ibu Dosen serta staff Pegawai Program Studi Kimia Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara yang telah membimbing saya sewaktu di bangku perkuliahan.
5. Sahabat-sahabat penulis senasib dan seperjuangan; Fitria Permatasari Situmorang, S.Si; Yeni Mardhia, S.Si; Anggia murni, Mila Amelia yang selalu memberi dorongan dan semangat dalam suka dan duka demi
(6)
penyelesaian skripsi ini sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik dan semoga tetap menjadi sahabatku yang paling terbaik.
6. Terima kasih juga penulis ucapkan pada Nur Indah Ritonga, Riri Mardawati, Evi juwita, Dita, Mawaddah, Kak Noni, Kak Nathalin, Bang Husni, Bang Sulwan, Bang Dani yang telah memberikan semangat dan saran-sarannya. Dan kepada teman-teman lainnya yang tidak dapat penulis sebut namanya satu persatu
7. Semua pihak yang telah berperan serta baik langsung ataupun tidak langsung sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Kiranya hanya Allah SWT yang akan membalas semua kebaikan yang telah diberikan secara tulus kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini.
Akhir kata saya berharap semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Agustus 2010
(7)
ABSTRAK
Kitin merupakan poli (2-asetamido-2-deoksi-β-(1→4)-D-glukopiranosa) dengan rumus molekul (C8H13NO5)n yang tersusun atas 47% C, 6% H, 7% N, dan 40% O.
Untuk melarutkan kitin tidak mudah, sehingga perlu disesuaikan konsentrasi pelarut yang sesuai untuk melarutkan kitin. Larutan asam fosfat (H3PO4) digunakan untuk
melarutkan kitin dengan variasi berat 0,5g; 1,0g; 1,5g; 2,0g; dan 2,5g dengan variasi konsentrasi pelarut 85%; 75%; 70%; 65% dan 60%. Dimana didapatkan hasil kelarutan yang paling baik pada konsentrasi larutan asam fosfat (H3PO4) 85% dengan
waktu 40, 60, 90, 130, 180 dan 230 menit. Semakin rendah konsentrasi asam fosfat (H3PO4) yang digunakan dan semakin berat kitin yang digunakan maka semakin sukar
pelarut tersebut untuk melarutkan kitin. Hasil FTIR kitin didapati tidak sesuai dengan spektrum dari Muzzarelli (1977). Ini menunjukkan larutan asam fosfat sangat baik untuk melarutkan kitin.
(8)
STUDY OF SOLUBILITY OF CHITIN IN SOLUTION OF PHOSPHORIC ACID (H3PO4)
ABSTRACT
Chitin is a poly (2-asetamido-2-deoksi-β-(1 → 4)-D-glucopyranose) with molecular formula (C8H13NO5) n that is composed of C 47%, H 6%, N 7%, and O 40% . To
dissolve the chitin is not easy, so it needs to be adjusted according to the concentration of solvent to dissolve the chitin. Solution of phosphoric acid (H3PO4) is used to
dissolve chitin with 0.5 g of weight variation, 1.0 g, 1.5 g, 2.0 g and 2.5 g with 85% solvent concentration, 75%, 70%, 65% and 60 %. Where to get the best results of solubility on the concentration of phosphoric acid solution (H3PO4) 85% by the time
40, 60, 90, 130, 180 and 230 minutes. The lower the concentration of phosphoric acid (H3PO4) is used and the weight of chitin is hence more difficult to use these solvents
to dissolve the chitin. FTIR results of chitin is found not in accordance with the spectrum of Muzzarelli (1977). It shows a very good solution of phosphoric acid to dissolve Chitin.
(9)
DAFTAR ISI
Halaman
Persetujuan ii
Pernyataan iii
Penghargaan iv
Abstrak vi
Abstract vii
Daftar Isi viii
Daftar Tabel x
Daftar Lampiran xi
BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Permasalahan 1
1.3 Pembatasan Masalah 2
1.4 Tujuan Penelitian 2
1.5 Manfaat Penelitian 2
1.6 Metodologi Penelitian 2
1.7 Lokasi Penelitian 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1 Kitin 3
2.1.1 Kitin dan sejarahnya 4
2.1.2 Kitin sebagai Polisakarida Tunggal 5
2.1.3 Sifat Fisik-Kimia Kitin 6
2.2 Kegunaan Kitin 6
2.2.1 Bidang Industri 8
2.2.2 Bidang Pertanian 8
2.2.3 Bidang Kedokteran 8
2.3 Penentuan Derajat Deasetilasi 9
BAB 3 METODE PENELITIAN 10
3.1 Bahan-bahan 10
3.2 Alat-alat 10
3.3 Prosedur Penelitian 10
3.3.1 Penentuan Kelarutan Kitin Dalam Asam Fosfat 10
3.4 Bagan Penelitian 11
3.4.1 Penentuan Kelarutan Kitin dalam Asam Fosfat18 11
BAB 4 DATA DAN HASIL PEMBAHASAN 12
(10)
4.2 Pembahasan 14
4.2.1 Penentuan Derajat Deasetilasi 14
4.2.2 Kelarutan Kitin dalam Larutan Asam Fosfat 15
4.2.3 Analisis Spektrum FT-IR Serbuk Kitin 15
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 16
5.1 Kesimpulan 16
5.2 Saran 16
DAFTAR PUSTAKA 17
(11)
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Kandungan Kitin Pada Berbagai Jenis Hewan dan Jamur 5
Tabel 2.2 Spesifikasi Kitin Niaga 7
Tabel 4.1 Data Hasil Penentuan Kelarutan Kitin dalam Asam Fosfat
(H3PO4) 85% 12
Tabel 4.2 Data Hasil Penentuan Kelarutan Kitin dalam Asam Fosfat
(H3PO4) 75% 12
Tabel 4.3 Data Hasil Penentuan Kelarutan Kitin dalam Asam Fosfat
(H3PO4) 70 % 13
Tabel 4.4 Data Hasil Penentuan Kelarutan Kitin dalam Asam Fosfat
(H3PO4) 65% 13
Tabel 4.5 Data Hasil Penentuan Kelarutan Kitin dalam Asam Fosfat
(12)
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
(13)
ABSTRAK
Kitin merupakan poli (2-asetamido-2-deoksi-β-(1→4)-D-glukopiranosa) dengan rumus molekul (C8H13NO5)n yang tersusun atas 47% C, 6% H, 7% N, dan 40% O.
Untuk melarutkan kitin tidak mudah, sehingga perlu disesuaikan konsentrasi pelarut yang sesuai untuk melarutkan kitin. Larutan asam fosfat (H3PO4) digunakan untuk
melarutkan kitin dengan variasi berat 0,5g; 1,0g; 1,5g; 2,0g; dan 2,5g dengan variasi konsentrasi pelarut 85%; 75%; 70%; 65% dan 60%. Dimana didapatkan hasil kelarutan yang paling baik pada konsentrasi larutan asam fosfat (H3PO4) 85% dengan
waktu 40, 60, 90, 130, 180 dan 230 menit. Semakin rendah konsentrasi asam fosfat (H3PO4) yang digunakan dan semakin berat kitin yang digunakan maka semakin sukar
pelarut tersebut untuk melarutkan kitin. Hasil FTIR kitin didapati tidak sesuai dengan spektrum dari Muzzarelli (1977). Ini menunjukkan larutan asam fosfat sangat baik untuk melarutkan kitin.
(14)
STUDY OF SOLUBILITY OF CHITIN IN SOLUTION OF PHOSPHORIC ACID (H3PO4)
ABSTRACT
Chitin is a poly (2-asetamido-2-deoksi-β-(1 → 4)-D-glucopyranose) with molecular formula (C8H13NO5) n that is composed of C 47%, H 6%, N 7%, and O 40% . To
dissolve the chitin is not easy, so it needs to be adjusted according to the concentration of solvent to dissolve the chitin. Solution of phosphoric acid (H3PO4) is used to
dissolve chitin with 0.5 g of weight variation, 1.0 g, 1.5 g, 2.0 g and 2.5 g with 85% solvent concentration, 75%, 70%, 65% and 60 %. Where to get the best results of solubility on the concentration of phosphoric acid solution (H3PO4) 85% by the time
40, 60, 90, 130, 180 and 230 minutes. The lower the concentration of phosphoric acid (H3PO4) is used and the weight of chitin is hence more difficult to use these solvents
to dissolve the chitin. FTIR results of chitin is found not in accordance with the spectrum of Muzzarelli (1977). It shows a very good solution of phosphoric acid to dissolve Chitin.
(15)
BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Kitin pertama sekali ditemukan oleh Bracannot pada tahun 1811. Pada umumnya kitin banyak terdapat pada kulit luar krustasea, annelida, moluska, serangga dan anthropoda. ( Muzarelli, 1998).
Robert ( 1990 ) melaporkan bahwa kitin tidak dapat larut dalam air, asam encer dan alkali dingin, jika dibiarkan terlalu lama dalam pelarut alkali, kitin hanya sebagian yang mengambang dan tidak larut.
Permukaan kitin didapati kurang aktif dan dapat diresapi air apabila bersentuhan dengan air. Interaksi kitin dengan asam mineral pekat dapat mengakibatkan pemutusan pada kitin seperti asam khlorida. ( Muzarelli, 1998 )
Austin ( 1998 ) melaporkan bahwa 1-Kloro-2 Propanol atau dengan asam organik adalah pelarut yang baik untuk melarutkan kitin. Campuran pelarut dari asam trikloroasetat dan diklorometana dapat melarutkan kitin dengan cepat dan memberikan larutan dengan viskositas yang baik. ( Robert, 1999 )
Selama ini kitin dilarutkan pada pelarut campuran, seperti campuran asam triklorometana dan diklorometana, juga dengan pelarut campuran N,N- Dimetilasetamida dan Litium Khlorida. ( Muzarell, 1998 )
Berdasarkan data diatas belum ada penggunaan pelarut kitin yang tidak dalam bentuk campuran. Untuk itu peneliti ingin menggunakan asam fosfat ( H3PO4 ) untuk
melarutkan kitin dengan menggunakan variasi konsentrasi pelarut asam fosfat ( H3PO4 ) dengan melihat karakteristik kitin.
I.2. Permasalahan
Bagaimana pengaruh kelarutan kitin dalam variasi konsentrasi asam fosfat (H3PO4)
(16)
I.3. Pembatasan Masalah
Penelitian ini dibatasi pada penentuan kelarutan kitin dalam variasi asam fosfat (H3PO4) 85%, (H3PO4) 75%, (H3PO4) 70%, (H3PO4) 65%, (H3PO4) 60% dengan
variasi berat kitin 0,5 g, 1,0 g, 1,5 g, 2,0 g, 2,5 g.
I.4. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui pengaruh kelarutan kitin dalam variasi asam fosfat (H3PO4).
I.5. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap ilmu pengetahuan tentang penggunaan asam fosfat sebagai salah satu pelarut organik yang dapat melarutkan kitin dengan homogen.
1.6 Lokasi Penelitian
Pembuatan larutan kitin yang homogen dilakukan di Laboratorium Penelitian FMIPA USU-Medan.
1.7 Metodologi Penelitian
Penelitian ini dilakukan melalui eksperimen laboratorium dimana asam fosfat (H3PO4) merupakan produk dari E’Merck sedangkan untuk kitin diperoleh secara
(17)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kitin
2.1.1 Kitin dan Sejarahnya
Kitin berasal dari bahasa Yunani yang berarti baju rantai besi yang pertama kali diteliti oleh Bracanot pada tahun 1811 dalam residu ekstrak jamur yang dinamakan fungi. Kemudian pada tahun 1823 Odiers mengisolasi suatu zat dari sari kutikula serangga jenis elytra dan mengusulkan nama kitin. (Rudall,1973)
Kitin merupakan poli (2-asetamido-2-deoksi-β-(1→4)-D-glukopiranosa) dengan rumus molekul (C8H13NO5)n yang tersusun atas 47% C, 6% H, 7% N, dan
40% O. Struktur kitin menyerupai struktur selulosa dan hanya berbeda pada gugus yang terikat di posisi atom C-2. Gugus pada C-2 selulosa adalah gugus hidroksil, sedangkan pada C-2 kitin adalah gugus N-asetil (-NHOCH3, asetamida)
( Hirano,1986).
Gambar 2.1 struktur kitin
Sumbe
Struktur kitin hampir sama dengan selulosa hanya berbeda pada gugus yang terikat pada atom karbon nomor-2 dan hal ini menyebabkan sifat kimia kitin berbeda
(18)
dengan selulosa dimana secara umum kitin kurang reaktif dibandingkan selulosa, sehingga dalam pemanfaatannya kitin biasanya terlebih dahulu dilakukan modifikasi kimia misalnya, deasetilasi, asilasi karboksimetilasi, sulfasi dan lain-lain.
(McNelly, 1959)
Kitin tersebar luas di alam dan merupakan senyawa organik kedua yang sangat melimpah di bumi. Kitin adalah bagian konstituen organik yang sangat penting pada kerangka hewan golongan Antropoda, Annelida, Molusca, Coelentrata, Nematoda, beberapa kelas serangga dan jamur. Keberadaan kitin di alam umumnya terikat dengan protein, mineral, dan berbagai acam pigmen. Sebagai contoh, kulit udang mengandung 25-40% protein, 40-50% CaCO3, dan 15-20% kitin, tetapi besarnya
komponen tersebut masih bergantung pada jenis udangnya. (Altschul, 1976)
Sedangkan kulit kepiting mengandung protein (15,60-23,90%), kalsium karbonat (53,70-78,40%) dan kitin (18,70-32,20%), hal ini tergantung pada jenis kepiting tempat hidupnya. Kandungan kitin dalam kulit udang lebih sedikit dari kulit kepiting tetapi kulit udang lebih mudah didapatkan dan tersedia dalam jumlah yang lebih banyak sebagai limbah. (Focher, 1992)
Sebagian besar kelompok Crustacea seperti, udang dan lobster, merupakan sumber utama kitin komersial. Di dunia, kitin yang di produksi secara komersial 120 ribu ton pertahun. Kitin yang berasal dari kepiting dan udang sebesar 39 ribu ton (32,5%) dan dari jamur 32 ribu ton (26,7%). (Knorr, 1991)
Dari semua polisakarida yang terdapat melimpah di alam, hanya kitin yang telah digunakan secara meluas dalam kuantitas yang besar. Kitin menempati urutan kedua terbanyak sebagai biopolimer alami yang diperoleh dari eksoskeleton
crustacean dan juga dinding sel dari fungi dan serangga. Setiap tahun, sekitar 5
hingga 1oo miliar ton kitin dihasilkan dari crustaceans, mollusca, serangga dan fungi. Kitin merupakan sumber daya biologis yang paling diskplitasi di bumi, meskipun setelah USDFA mengumumkan kitin sebagai zat adiktif makanan pada tahun 1983. (Warrand,J., 2006)
(19)
akan mengeras ketika dilapisi dengan garam kalsium karbonat. Kitin membentuk serat mirip selulosa yang tidak dapat dicerna oleh vertebrata.
Pada umumnya kitin di alam tidak terdapat dalam keadaan bebas, akan tetapi berikatan dengan protein, mineral dan berbagai macam pigmen. Keterikatannya untuk berbagai jenis hewan berbeda, meskipun keterikatannya berbeda tetapi struktur kitin yang dihasilkan umumnya sama. (Carroad, 1978) Kitin dapat dibuat dari kulit udang atau kulit kepiting atau bahkan dari kulit insekta.
Tabel 2.1 Kandungan Kitin Pada Berbagai Jenis Hewan dan Jamur (Knorr, 1984)
No Jenis Organisme Kandungan Kitin (%)
1 Crustaceae
- Kepiting 72,1a
- Lobster : - Nephops 69,8a
- Homarus (60,8-77.0)a
2 Serangga
- Kecoa 18,4a
- Lebah (27-35)a
- Ulat sutra 44,2a
3 Molusca
- Kulit remis 6,1
- Kulit tiram 3,6
4 Jamur
- Aspergillus niger 42,0b
- Penicillium Chrysogenium 20,1b
- Saccharomyceae Cereviciae 2,9b
- Lactarius Vellereus (Mushroom) 19,0 Keterangan:
a = berat organik dari kutikula b = berat kering dari dinding sel
2.1.2 Kitin sebagai Polisakarida Struktural
(20)
Kitin adalah komponen struktural utama dinding sel khamir dan cendawan berfilamen. Jumlah kitin pada khamir dan cendawan berfilamen cukup jauh berbeda. Kitin pada khamir Saccharomyces cerevisiae mencapai 1-2% dari bobot kering dinding sel, sedangkan proporsi pada cendawan berfilamen bervariasi antara 10-30% dari bobot kering dinding sel.
Kitin sintesa
Kitin sintesa adalah gabungan berbagai enzim yang digunakan oleh semua organisme penghasil kitin untuk membentuk polimer dari rantai beta 1-4 N-asetilglukosamin. Kemiripan enzim kitin sintesa ini pada berbagai organisme menunjukkan adanya kesamaan nenek moyang organisme eukariotik. Enzim kitin sintesa terdapat di dalam membrane sel dan persimpangan membran sehingga monomer N-asetilglukosamin dapat ditambahkan membentuk polimer sambil ditransportasikan melewati membran. Analisis filogenetik menunjukkan bahwa kitin sintesa menghasilkan kitin pada berbagai lokasi sel dan untuk berbagai fungsi. Oleh karena itu, suatu organisme dapat memiliki beberapa jenis enzim kitin sintesa.
2.1.3 Sifat Fisik-Kimia pada Kitin
Kitin merupakan padatan yang berbentuk amorf, tidak larut dalan air, asam encer, alkali pekat maupun encer, alkohol dan pelarut-pelarut organik lainnya. Tetapi kitin dapat larut dalam HCL,H2SO4 pekat, dan H3PO4. Untuk melarutkan kitin tidak
mudah, sehingga perlu disesuaikan konsentrasi pelarut yang sesuai untuk melarutkan kitin. (Anonim, 1976)
Kitin merupakan bahan yang tidak beracun dan bahkan mudah terurai secara hayati (biodegradable). Bentuk fisiknya merupakan padatan amorf yang berwarna
(21)
heksafluoroisopropil alkohol, heksafluoroaseton dan campuran 1,2-dikloroetana-asam trikloroasetat dengan nisbah 35:65 (%[v/v]). (Hirano,1986).
Kitin juga larut dalam asam mineral pekat seperti H2SO4,HNO3, dan H3PO4
sekaligus menyebabkan rantai panjang kitin terdegradasi menjadi satu-satuan yang lebih kecil. (Bastaman, 1989).
Sifat fisika dan kimia kitin diatas telah dijadikan bagian dalam spesifikasi kitin niaga (Tabel 2.2).
Tabel 2.2 Spesifikasi Kitin Niaga (Anonim, 1987)
Parameter Ciri
Ukuran partikel Serpihan sampai bubuk
Kadar air (%) ≤ 10,0
Kadar abu (%) ≤ 2,0
N-deasetilasi (%) ≥ 15,0
Kelarutan dalam:
- air Tidak larut
- asam encer Tidak larut
- pelarut organik Tidak larut
- LiCL2/dimetilasetamida Sebagian larut
Enzim pemecah Lisozim dan kitinase
Kitin mempunyai reaktivitas kimia yang lebih rendah dibandingkan dengan selulosa dan kitosan sehingga dalam pemanfaatannya kitin biasanya terlebih dahulu dilakukan modifikasi kimia seperti deasetilasi, asilasi, karboksimetilasi, sulfasi dan lain-lain. Modifikasi yang sering dilakukan adalah deasetilasi yang dapat dilakukan dengan cara kimiawi maupun enzimatik. Proses deasetilasi secara kimiawi digunakan dengan menggunakan basa misalnya NaOH, yang dapat menghasilkan kitosan dengan derajat deasitilasi yang tinggi, yaitu mencapai 85-93%. (Tsigos et al ,2000)
Namun, proses kimiawi menghasilkan kitosan dengan bobot molekul yang beragam dan deasetilasinya juga sangat acak, sehingga sifat fisik dan kimia kitosan tidak seragam. Selain itu, proses kimiawi juga dapat menimbulkan pencemaran lingkungan, sulit dikendalikan, dan melibatkan banyak reaksi samping yang dapat menurunkan rendemen. Proses enzimatik dapat menutupi kekurangan proses kimiawi. Dimana deasetilasi secara enzimatik bersifat selektif dan tidak merusak struktur rantai, sehingga menghasilkan kitosan yang lebih seragam agar dapat memperluas bidang aplikasinya. (Tokuyasu et al., 1997)
(22)
Deasetilasi kitin secara enzimatik dapat diawali dengan pengamatan proses pengubahan kitin menjadi kitosan pada mikrob. Kitin deasetilasi memiliki aktivitas
optimum pada suhu sekitar 500C pada pH yang beragam, bergantung pada
mikroorganismenya. Umpamanya, kitin deasetilasi yang berasal dari M. rouxii optimum pada pH sekitar 4,5 (Kafetzopoulos, 1993), sedangkan yang berasal dari A.
nidulans optimum pada pH 7,0. (Alfonso et al, 1995). Enzim lain yang aktivitasnya
sama ialah lisozim yang terdapat dalam putih telur. (Kurita et al, 2000)
2.2 Kegunaan Kitin
2.2.1 Bidang Industri
Aplikasi kitin dan kitosan sangat banyak dan meluas. Di bidang industri, kitin, dan kitosan berperan antara lain sebagai koagulan polielektrolit pengolahan limbah cair, pengikat dan penyerap ion logam, mikroorganisme, mikroalga, pewarna, residu pestisida, lemak, tanin, PCB(Poliklorinasi Bifenil). mineral dan asam organik, media kromatografi afinitas, gel dan pertukaran ion, penyalut berbagai serat alami dan sintetik, pembentuk film dan membran mudah terurai, meningkatkan kualitas kertas, pulp dan produksi tekstil.
2.3.2 Bidang Pertanian
Sementara di bidang pertanian dan pangan, kitin dan kitosan digunakan antara lain untuk pencampur rasum pakan ternak, antimikrob, antijamur, serat bahan pangan, penstabil, pembentuk gel, pembentuk tekstur, pengental dan pengemulsi produk olahan pangan, pembawa zat aditif makanan, flavor, zat gizi, pestisida, herbisida, virusida tanaman, dan deasifikasi buah-buahan, sayuran dan penjernih sari buah. Fungsinya sebagai antimikrob dan antijamur juga diterapkan di bidang kedokteran.
2.3.2 Bidang Kedokteran
(23)
luka dan benang bedah yang mudah diserap, serta mempertinngi daya kekebalan dan antiinfeksi. (Rao, 1993).
2.4 Penentuan Derajat Deasetilasi
Derajat desetilasi dapat diukur dengan berbagai metode dan yang paling lazim digunakan adalah metode garis dasar spektroskopi IR transformasi Fourier (FTIR) yang pertama kali diajukan oleh Moore dan Robert pada tahun 1977. Teknik ini memberikan beberapa keuntungan, yaitu relatif cepat, contoh tidak perlu murni, dan tingkat ketelitian tinggi dengan kisaran derajat deasetilasi contoh yang luas, dibandingkan dengan teknik tritimetri dan metode spektoskopi lainnya. Nilai yang digunakan untuk menghitung derajat deasetilasi sangat bergantung pada nisbah pita serapan yang digunakan untuk menghitungnya. Tiga nisbah yang diajukan ialah A1655/A2867, A1550/A2878, dan A1655/A3450. Dua nisbah pertama memberikan keakuratan pada % N asetilasi rendah, sedangkan A1655/A3450 lebih akurat pada % N deasetilasi tinggi. % DD kitin dan kitosan dapat dihitung sebagai berikut:
% 100 33 , 1 1 1 % 3450 1655 × × − = A A DD
(24)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Bahan-bahan
- Kitin
- Asam Fosfat (E’Merck)
3.2 Alat-alat
- Neraca Analitis Chyo Electronic Balance
- Gelas Beaker Pyrex
- Magnetik stirer - Plat kaca
3.3 Prosedur Penelitian
3.3.1 Penentuan Kelarutan Kitin dalam Asam Fosfat 85%
- Ditimbang 0,5 g kitin kemudian dimasukkan ke dalam gelas beaker - Dilarutkan dalam 100 mL asam fosfat 85% sambil diaduk dengan menggunakan pengaduk magnet pada suhu kamar.
- Hitung waktu yang dibutuhkan hingga terbentuk campuran larutan yang homogen.
- Larutan tersebut dituang ke dalam plat kaca dan dikeringkan pada suhu kamar.
- Dilakukan perlakuan yang sama untuk variasi konsentrasi asam fosfat (H3PO4) 75%, 70%, 65%, 60% dengan variasi berat kitin 0,5g, 1,0g, 1,5g,
(25)
3.4 Bagan Penelitian
3.4.1 Penentuan Kelarutan 0,5g; 1,0g; 1,5g; 2,0g; 2,5g Kitin dengan pelarut Asam Fosfat 85%
Dilarutkan dengan 100 mL Asam Fosfat 85%. Diaduk dengan menggunakan pengaduk magnet
Dihitung waktu yang dibutuhkan untuk melarutkan kitin
Dituang ke dalam plat kaca yang mempunyai dinding penyangga
Didiamkan sampai kering
Dilakukan perlakuan yang sama untuk variasi konsentrasi asam fosfat (H3PO4) 75%,
70%, 65%, 60% dengan variasi berat kitin 0,5g, 1,0g, 1,5g, 2,0g, 2,5g.
Uji Analisis FTIR
0,5 g;1,0g; 1,5g; 2,0g; 2,5g kitin
Campuran Larutan Homogen
(26)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian
Data hasil penentuan kelarutan kitin dengan variasi konsentrasi asam fosfat (H3PO4)
85%, 75%, 70%, 65%, 60% dengan variasi berat kitin 0,5g, 1,0g, 1,5g, 2,0g, 2,5g dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 4.1. Data Hasil Penentuan Kelarutan Kitin dalam Asam Fosfat (H3PO4) 85%
No Kitin
(gram)
Volume Asam Fosfat (H3PO4)
85% (mL)
Waktu Pengadukan- t(menit)
Kelarutan
t1 t2 t3
1 0,5 100 80 80 80 Larut
2 1,0 100 80 80 80 Larut
3 1,5 100 85 85 85 Larut
4 2,0 100 90 90 90 Larut
5 2,5 100 90 90 90 Larut
Tabel 4.2. Data Hasil Penentuan Kelarutan Kitin dalam Asam Fosfat (H3PO4) 75%
No Kitin
(gram)
Volume Asam Fosfat (H3PO4)
75% (mL)
Waktu Pengadukan- t(menit)
Kelarutan
(27)
Tabel 4.3. Data Hasil Penentuan Kelarutan Kitin dalam Asam Fosfat (H3PO4) 70%
No Kitin
(gram)
Volume Asam Fosfat (H3PO4)
70% (mL)
Waktu Pengadukan- t(menit)
Kelarutan
t1 t2 t3
1 0,5 100 105 105 105 Sedikit Larut
2 1,0 100 105 105 105 Sedikit Larut
3 1,5 100 110 110 110 Sedikit Larut
4 2,0 100 110 110 110 Sedikit Larut
5 2,5 100 115 115 115 Sedikit Larut
Tabel 4.4. Data Hasil Penentuan Kelarutan Kitin dalam Asam Fosfat (H3PO4) 65%
No Kitin
(gram)
Volume Asam Fosfat (H3PO4)
65% (mL)
Waktu Pengadukan- t(menit)
Kelarutan
t1 t2 t3
1 0,5 100 110 110 110 Sedikit Larut
2 1,0 100 115 115 115 Sedikit Larut
3 1,5 100 115 115 115 Sedikit Larut
4 2,0 100 120 120 120 Tidak Larut
5 2,5 100 120 120 120 Tidak Larut
Tabel 4.5. Data Hasil Penentuan Kelarutan Kitin dalam Asam Fosfat (H3PO4) 60%
No Kitin
(gram)
Volume Asam Fosfat (H3PO4)
60% (mL)
Waktu Pengadukan- t(menit)
Kelarutan
t1 t2 t3
1 0,5 100 115 115 115 Sedikit Larut
2 1,0 100 115 115 115 Tidak Larut
3 1,5 100 120 120 120 Tidak Larut
4 2,0 100 120 120 120 Tidak Larut
(28)
Keterangan:
Larut : Campuran homogen antara kitin dan larutan asam fosfat yang saling melarutkan dan masing-masing zat penyusunnya tidak dapat dibedakan lagi secara fisik..
Sedikit larut : Campuran antara kitinn dengan larutan asam fosfat, dimana campuran tersebut membentuk koloid dalam larutan.
Tidak larut : Kitin tidak dapat larut secara homogen dalam larutan asam fosfat.
4.2 Pembahasan
4.2.1. Derajat Deasitilasi
Derajat Deasitilasi serbuk kitin dapat diperoleh dengan analisa kuantitatif dari spektroskopi FT-IR yang dilakukan berdasarkan spektrum Inframerah yang dihasilkan, dimana penentuan derajat deasetilasi dari kitosan menggunakan persamaan Domszy dan Robers (Khan, 2002).
% 100 33 , 1 1 1 % 3450 1655 × × − = A A DD Dimana:
A1655 = absorbansi pada bilangan gelombang 1655 cm-1
A3450 = absorbansi pada bilangan gelombang 3450 cm-1
1,33 = tetapan yang diperoleh dari perbandingan A1655/A3450 untuk kitosan dengan
asetilasi penuh
Sebagai contoh perhitungan serbuk kitosan :
100%
1 1
% 1655 ×
× − = A DD
(29)
Jadi, derajat deasetilasi serbuk kitin adalah 83.8%
4.2.2. Kelarutan Kitin dalam Asam Fosfat (H3PO4)
Dari tabel 4.1; 4.2; 4.3; 4.4; dan 4.5 dapat dilihat bahwa kelarutan kitin dengan variasi berat 0,5g; 1,0g; 1,5g; 2,0g; dan 2,5g dalam larutan asam fosfat (H3PO4) dengan
variasi konsentrasi 85%; 75%; 70%; 65% dan 60% memiliki hasil kelarutan yang berbeda. Dimana asam fosfat (H3PO4) konsentrasi 85% merupakan pelarut yang
paling baik untuk melarutkan kitin karena dapat menghasilkan gel dalam waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan variasi konsentrasi asam fosfat yang lainnya.. Semakin rendah konsentrasi asam fosfat (H3PO4) yang digunakan dan semakin berat
kitin yang digunakan maka semakin sukar pelarut tersebut untuk melarutkan kitin.
4.2.3. Analisis Spektrum FT-IR Serbuk Kitosan
Hasil analisis spektrofotometri infra merah serbuk kitosan diperoleh puncak sebagai berikut: Serapan yang berada di daerah 3431,18 cm-1 menunjukkan adanya gugus hidroksi (-OH). Adanya puncak di daerah 2891,88 cm-1 menunjukkan adanya ikatan – CH2. Serapan pada daerah 1631,10 cm-1 menunjukkan adanya gugus C=O, sedangkan
pada daerah 1561,15 cm-1 menunjukkan adanya gugus N-H seperti pada gambar.
(
0,1620 100%)
1− ×
=
% 8 . 83 =
(30)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Dari data hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa asam fosfat (H3PO4) 85 %
merupakan konsentrasi yang paling baik untuk melarutkan kitin dengan variasi berat kitin 0,5g, 1,0g, 1,5g, 2,0g, 2,5g . Semakin rendah konsentrasi pelarut dan semakin berat kitin yang digunakan maka semakin sulit kitin untuk dapat larut.
5.2. Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan pelarut organik lainnya yang tidak dalam bentuk pelarut campuran. Untuk mengetahui pelarut organik yang tidak dalam bentuk campuran mana yang paling baik untuk melarutkan kitin.
(31)
DAFTAR PUSTAKA
Altschul, A.M. 1976. New Protein Food. Academic Press Ltd. London
Anonim, 1994. Pengolahan dan Pemanfaatan Limbah Hasil Perairan Seri I. Dirjen Perikanan Jakarta
Bastaman, S. 1989. Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan From Prawn Shell (Nephrops Norvegicus-Tesis). Belfast: Faculty of Engineering. The Queen’s University of Belfast
Caaroad, P. A. and R.A. Tom. 1978. Bioconvertion of Shellfish Chitin Wastes Process and Selection of Microorganism. Journal of Food Science 43:1158 Focher, B. A. Naggi. G, Tarri. A. Cossami. 1992. Structural Differences Between
Chitin Polymorphs and Their Precipitates From Solution Evidence From CP-MASS BrC-NMR.FT-IR and FT-Rahman Spectroscopy. Charbohidrat Polymer
Hirano, S. 1986. Chitin and Chitosan. In Ullman’s Encyclopedia of Industrial Chemistry. Completely Revised Edition. Weinheim. New York. Knorr, D. 1984. Use Chitinous in Food Tech. 38:85
Knorr, D. 1991. Recovery and Utilization of Chitin and Chitosan in Food Processing Waste Management Food Tech.
Mc Nelly, H. William. 1959. Chitin and Its Derivatives in Industrial Gums. Kelco Company. California
Piotr, JB. 1994. Chitin World. Sea Fishseries Institute Gdynia. Poland.
Purwatiningsih S, Ahmad. S. 2009. Kitosan: Sumber Biomaterial Masa Depan Penerbit ITB Press.
Rao AM, Van Buren JP. Cooley HJ. 1993. Rheological Changes During Gelation of High-Methoxyl Pectin/Fructose Disperaions. Effect of Tempetature and Ageing. J Food Sci 58:173-176
Rudall, K.M. and W. Kenchington. 1973. The Chitin Chitosan Biology Review Tokuyasu, K. Ono H. Kameyama MO. Hayashi K. Moil Y. 1997. Deacetilation of
Chitin Oligosaccharides of dp 2-4 by Chitin Deacetilylase From
(32)
(33)
(1)
Keterangan:
Larut : Campuran homogen antara kitin dan larutan asam fosfat yang saling melarutkan dan masing-masing zat penyusunnya tidak dapat dibedakan lagi secara fisik..
Sedikit larut : Campuran antara kitinn dengan larutan asam fosfat, dimana campuran tersebut membentuk koloid dalam larutan.
Tidak larut : Kitin tidak dapat larut secara homogen dalam larutan asam fosfat.
4.2 Pembahasan
4.2.1. Derajat Deasitilasi
Derajat Deasitilasi serbuk kitin dapat diperoleh dengan analisa kuantitatif dari spektroskopi FT-IR yang dilakukan berdasarkan spektrum Inframerah yang dihasilkan, dimana penentuan derajat deasetilasi dari kitosan menggunakan persamaan Domszy dan Robers (Khan, 2002).
% 100 33 , 1 1 1 % 3450 1655 × × − = A A DD Dimana:
A1655 = absorbansi pada bilangan gelombang 1655 cm-1
A3450 = absorbansi pada bilangan gelombang 3450 cm-1
1,33 = tetapan yang diperoleh dari perbandingan A1655/A3450 untuk kitosan dengan
asetilasi penuh
Sebagai contoh perhitungan serbuk kitosan :
(
)(
)
(
)(
)
100%33 , 1 1 3450 3631 1655 1631 1 × × − = 2699305 1 1 100% 12526950 1,33 = − × × % 100 33 , 1 1 1 % 3450 1655 × × − = A A DD
(2)
Jadi, derajat deasetilasi serbuk kitin adalah 83.8%
4.2.2. Kelarutan Kitin dalam Asam Fosfat (H3PO4)
Dari tabel 4.1; 4.2; 4.3; 4.4; dan 4.5 dapat dilihat bahwa kelarutan kitin dengan variasi berat 0,5g; 1,0g; 1,5g; 2,0g; dan 2,5g dalam larutan asam fosfat (H3PO4) dengan
variasi konsentrasi 85%; 75%; 70%; 65% dan 60% memiliki hasil kelarutan yang berbeda. Dimana asam fosfat (H3PO4) konsentrasi 85% merupakan pelarut yang
paling baik untuk melarutkan kitin karena dapat menghasilkan gel dalam waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan variasi konsentrasi asam fosfat yang lainnya.. Semakin rendah konsentrasi asam fosfat (H3PO4) yang digunakan dan semakin berat
kitin yang digunakan maka semakin sukar pelarut tersebut untuk melarutkan kitin.
4.2.3. Analisis Spektrum FT-IR Serbuk Kitosan
Hasil analisis spektrofotometri infra merah serbuk kitosan diperoleh puncak sebagai berikut: Serapan yang berada di daerah 3431,18 cm-1 menunjukkan adanya gugus hidroksi (-OH). Adanya puncak di daerah 2891,88 cm-1 menunjukkan adanya ikatan – CH2. Serapan pada daerah 1631,10 cm-1 menunjukkan adanya gugus C=O, sedangkan
pada daerah 1561,15 cm-1 menunjukkan adanya gugus N-H seperti pada gambar.
(
0,1620 100%)
1− ×
=
% 8 . 83
(3)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Dari data hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa asam fosfat (H3PO4) 85 %
merupakan konsentrasi yang paling baik untuk melarutkan kitin dengan variasi berat kitin 0,5g, 1,0g, 1,5g, 2,0g, 2,5g . Semakin rendah konsentrasi pelarut dan semakin berat kitin yang digunakan maka semakin sulit kitin untuk dapat larut.
5.2. Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan pelarut organik lainnya yang tidak dalam bentuk pelarut campuran. Untuk mengetahui pelarut organik yang tidak dalam bentuk campuran mana yang paling baik untuk melarutkan kitin.
(4)
DAFTAR PUSTAKA
Altschul, A.M. 1976. New Protein Food. Academic Press Ltd. London
Anonim, 1994. Pengolahan dan Pemanfaatan Limbah Hasil Perairan Seri I. Dirjen Perikanan Jakarta
Bastaman, S. 1989. Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan From Prawn Shell (Nephrops Norvegicus-Tesis). Belfast: Faculty of Engineering. The Queen’s University of Belfast
Caaroad, P. A. and R.A. Tom. 1978. Bioconvertion of Shellfish Chitin Wastes Process and Selection of Microorganism. Journal of Food Science 43:1158 Focher, B. A. Naggi. G, Tarri. A. Cossami. 1992. Structural Differences Between
Chitin Polymorphs and Their Precipitates From Solution Evidence From CP-MASS BrC-NMR.FT-IR and FT-Rahman Spectroscopy. Charbohidrat Polymer
Hirano, S. 1986. Chitin and Chitosan. In Ullman’s Encyclopedia of Industrial Chemistry. Completely Revised Edition. Weinheim. New York. Knorr, D. 1984. Use Chitinous in Food Tech. 38:85
Knorr, D. 1991. Recovery and Utilization of Chitin and Chitosan in Food Processing Waste Management Food Tech.
Mc Nelly, H. William. 1959. Chitin and Its Derivatives in Industrial Gums. Kelco Company. California
Piotr, JB. 1994. Chitin World. Sea Fishseries Institute Gdynia. Poland.
Purwatiningsih S, Ahmad. S. 2009. Kitosan: Sumber Biomaterial Masa Depan Penerbit ITB Press.
Rao AM, Van Buren JP. Cooley HJ. 1993. Rheological Changes During Gelation of High-Methoxyl Pectin/Fructose Disperaions. Effect of Tempetature and Ageing. J Food Sci 58:173-176
Rudall, K.M. and W. Kenchington. 1973. The Chitin Chitosan Biology Review Tokuyasu, K. Ono H. Kameyama MO. Hayashi K. Moil Y. 1997. Deacetilation of
Chitin Oligosaccharides of dp 2-4 by Chitin Deacetilylase From
(5)
(6)