Analisis Faktor-faktor Penyebab Kerusakan dan Perubahan Kesesuaian Peruntukan Ekosistem Mangrove di Wilayah Pesisir Kabupaten Serdang Bedagai

(1)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KERUSAKAN

DAN PERUBAHAN KESESUAIAN PERUNTUKAN

EKOSISTEM MANGROVE DI WILAYAH PESISIR

KABUPATEN SERDANG BEDAGAI

WAHYUNI SIMBOLON 061201026

DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KERUSAKAN

DAN PERUBAHAN KESESUAIAN PERUNTUKAN

EKOSISTEM MANGROVE DI WILAYAH PESISIR

KABUPATEN SERDANG BEDAGAI

SKRIPSI

Oleh :

WAHYUNI SIMBOLON 061201026

DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(3)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KERUSAKAN

DAN PERUBAHAN KESESUAIAN PERUNTUKAN

EKOSISTEM MANGROVE DI WILAYAH PESISIR

KABUPATEN SERDANG BEDAGAI

SKRIPSI

Oleh :

WAHYUNI SIMBOLON 061201026/MANAJEMEN HUTAN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(4)

Judul Penelitian : Analisis Faktor-faktor Penyebab Kerusakan dan Perubahan Kesesuaian Peruntukan Ekosistem Mangrove di Wilayah Pesisir Kabupaten Serdang Bedagai

Nama Mahasiswa : Wahyuni Simbolon

NIM : 061201026

Departemen : Kehutanan

Program Studi : Manajemen Hutan

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Agus Purwoko S.Hut, M.Si Pindi Patana S.Hut, M.Sc

Ketua Anggota

Mengetahui

Dr. Ir Edi Batara Mulya Siregar SP, MP Ketua Departemen Kehutanan


(5)

ABSTRACT

WAHYUNI SIMBOLON: Analysis of Factors Causes Damage And Conformity Appropriation Changes of Mangrove Ecosystems in Coastal Serdang Bedagai. Supervised by AGUS PURWOKO and PINDI PATANA.

Indonesia is a country with vast coastal areas. Ease access to coastal areas tends to increase the rate of utilization of coastal areas in the future, both in terms of economic resources and space utilization that effect and changes the suitability of mangrove ecosystem in many coastal areas. This research was conducted in March-April 2010 including coastal areas in same district Serdang Bedagai. The analysis used multiple linear regression and determination of model validation using by F test and t test through in-depth interview with key persons approach method.

The results showed that the factors cause damage was the lack of security activities and changes in of the suitability of coastal mangrove ecosystem in Serdang Bedagai is the presence of aquaculture activities and the presence of non governmental organization.


(6)

ABSTRAK

WAHYUNI SIMBOLON : Analisis Faktor-Faktor Penyebab Kerusakan dan Perubahan Kesesuaian Peruntukan Ekosistem Mangrove di Wilayah Pesisir Kabupaten Serdang Bedagai. Dibimbing oleh AGUS PURWOKO dan PINDI PATANA.

Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas. Kemudahan akses terhadap kawasan pesisir cenderung meningkatkan laju pemanfaatan wilayah pesisir di tahun-tahun mendatang, baik dalam hal pemanfaatan sumber daya ekonomi maupun pemanfaatan ruang yang menyebabkan terjadinya kerusakan dan perubahan kesesuaian peruntukan ekosistem mangrove diberbagai wilayah pesisir. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret - April 2010 di kecamatan-kecamatan yang termasuk wilayah pesisir di Kabupaten Serdang Bedagai. Analisis yang digunakan adalah regresi linier berganda dan penentuan validasi model dilakukan dengan uji F dan uji t melalui metode wawancara mendalam dengan pendekatan key person method.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor penyebab kerusakan adalah adanya kegiatan pengamanan sedangkan faktor-faktor penyebab perubahan kesesuaian peruntukan ekosistem mangrove di wilayah pesisir kabupaten serdang bedagai adalah adanya kegiatan pertambakan dan keberadaan lembaga swadaya masyarakat.


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Padangsidimpuan pada tanggal 01 Juni 1989 dari ayah Drs. Pamusuk Simbolon dan ibu Dewi Harahap. Penulis merupakan puteri keempat dari empat bersaudara.

Tahun 2006 penulis lulus dari MAN 1 Padangsidimpuan dan pada tahun yang sama masuk ke Fakultas Pertanian USU melalui jalur Pemanduan Minat dan Prestasi (PMP-USU). Penulis memilih program studi Manajemen Hutan Departemen Kehutanan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota Himpunan Mahasiswa silva, sebagai asisten praktikum di Laboratorium Ilmu Ukur Kayu dan Praktikum Ekologi Hutan. Selain itu juga aktif dalam organisasi Baitul asyjar /Badan Kenadziran Musholla (BKM).

Penulis melaksanakan praktek kerja lapangan (PKL) di KPH Bandung Selatan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat-Banten dari tanggal 2 Januari sampai 2 Februari 2010.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis Faktor-Faktor Penyebab Kerusakan dan Perubahan Kesesuaian Peruntukan Ekosistem Mangrove di Wilayah Pesisir Kabupaten Serdang Bedagai.

Pada kesempatan ini penulis menghaturkan pernyataan terima kasih sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis yang telah membesarkan, memelihara dan mendidik penulis selama ini. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Agus Purwoko S.Hut, M.Si dan Bapak Pindi Patana S.Hut, M.Sc selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah membimbing dan memberikan berbagai masukan berharga kepada penulis dari mulai menetapkan judul, melakukan penelitian, sampai pada ujian akhir.

Di samping itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua staf pengajar dan pegawai di Program Studi Manajemen Hutan Departemen Kehutanan, serta semua rekan mahasiswa yang tak dapat disebutkan satu per satu di sini yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat.

Medan, September 2010


(9)

DAFTAR ISI

Hal.

ABSTRACT ... ii

ABSTRAK ... iii

RIWAYAT HIDUP ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Hipotesis Penelitian ... 3

Kegunaan Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan Ciri-ciri Hutan Mangrove ... 4

Manfaat Hutan Mangrove ... 5

Gambaran Kerusakan Ekosistem Mangrove ... 8

Dampak Kerusakan Ekosistem Mangrove ... 12

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ... 13

Bahan dan Alat ... 13

Populasi dan Sampel ... 13

Metode Pengambil Data ... 14

Data Primer ... 14

Data Sekunder ... 14

Analisis Data ... 14

Uji Hipotesisi ... 16

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi umum ... 18

Letak Wilayah ... 18

Iklim ... 19

penduduk ... 19

Tenaga Kerja ... 19

Administrasi ... 20


(10)

Hal.

Karakteristik Responden ... 21

Umur ... 21

Mata Pencaharian ... 22

Pendidikan ... 23

Pendapatan ... 25

Analisis Regresi Linier Berganda ... 25

Uji Hipótesis ... 27

Tingkat Kerusakan Ekosistem Mangrove ... 28

Tingkat Perubahan Kesesuaian Peruntukkan Ekosistem Mangrove ... 30

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 34

Saran ... 34

DAFTAR PUSTAKA ... 35

LAMPIRAN ... 38


(11)

DAFTAR TABEL

No. Hal.

1. Kriteria Interpretasi Skor ... 16

2. Distribusi Responden Berdasarkan Umur ... 21

3. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Mata Pencaharian ... 23

4. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 24

5. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan ... 25

6. Tingkat Kerusakan Ekosistem Mangrove (Y1) ... 28


(12)

LAMPIRAN

No. Hal.

1. Peta Lokasi Penelitian ... 40

2. Kuisioner Penelitian ... 41

3. Data Primer Penelitian ... 43

4. Output SPSS metode Enter (Y1) ... 50

5. Output SPSS metode Enter (Y2) ... 53

6. Kondisi Kerusakan dan Perubahan Kesesuaian Peruntukan Hutan Mangrove ... 55


(13)

ABSTRACT

WAHYUNI SIMBOLON: Analysis of Factors Causes Damage And Conformity Appropriation Changes of Mangrove Ecosystems in Coastal Serdang Bedagai. Supervised by AGUS PURWOKO and PINDI PATANA.

Indonesia is a country with vast coastal areas. Ease access to coastal areas tends to increase the rate of utilization of coastal areas in the future, both in terms of economic resources and space utilization that effect and changes the suitability of mangrove ecosystem in many coastal areas. This research was conducted in March-April 2010 including coastal areas in same district Serdang Bedagai. The analysis used multiple linear regression and determination of model validation using by F test and t test through in-depth interview with key persons approach method.

The results showed that the factors cause damage was the lack of security activities and changes in of the suitability of coastal mangrove ecosystem in Serdang Bedagai is the presence of aquaculture activities and the presence of non governmental organization.


(14)

ABSTRAK

WAHYUNI SIMBOLON : Analisis Faktor-Faktor Penyebab Kerusakan dan Perubahan Kesesuaian Peruntukan Ekosistem Mangrove di Wilayah Pesisir Kabupaten Serdang Bedagai. Dibimbing oleh AGUS PURWOKO dan PINDI PATANA.

Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas. Kemudahan akses terhadap kawasan pesisir cenderung meningkatkan laju pemanfaatan wilayah pesisir di tahun-tahun mendatang, baik dalam hal pemanfaatan sumber daya ekonomi maupun pemanfaatan ruang yang menyebabkan terjadinya kerusakan dan perubahan kesesuaian peruntukan ekosistem mangrove diberbagai wilayah pesisir. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret - April 2010 di kecamatan-kecamatan yang termasuk wilayah pesisir di Kabupaten Serdang Bedagai. Analisis yang digunakan adalah regresi linier berganda dan penentuan validasi model dilakukan dengan uji F dan uji t melalui metode wawancara mendalam dengan pendekatan key person method.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor penyebab kerusakan adalah adanya kegiatan pengamanan sedangkan faktor-faktor penyebab perubahan kesesuaian peruntukan ekosistem mangrove di wilayah pesisir kabupaten serdang bedagai adalah adanya kegiatan pertambakan dan keberadaan lembaga swadaya masyarakat.


(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan negara kepulauan dengan garis pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain menempati wilayah yang sangat luas, kawasan pesisir yang terdiri dari berbagai ekosistem pendukung seperti ekosistem hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun dan lahan basah tersebut memiliki keanekaragaman hayati dan berbagai sumberdaya alam seperti ikan, dan bahan-bahan tambang yang bernilai tinggi. Kemudahan akses terhadap kawasan pesisir cenderung meningkatkan laju pemanfaatan wilayah pesisir di tahun-tahun mendatang, baik dalam hal pemanfaatan sumberdaya ekonomi maupun pemanfaatan ruang. Selain itu, hal lain yang tidak boleh diabaikan adalah fakta yang menunjukkan bahwa tidak kurang dari 60% penduduk Indonesia bermukim di kawasan pesisir (DKP, 2002).

Kawasan pantai timur Sumatera Utara telah terjadi berbagai bentuk kerusakan ekosistem hutan mangrove. Kerusakan yang terjadi berupa penebangan liar, perambahan, pengambilan biota laut yang tidak terkendali, perburuan liar, pencemaran sungai dan konversi menjadi pemukiman. Hal ini dilaporkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (2006). Penebangan hutan mangrove secara besar-besaran untuk dikonversikan menjadi usaha pertambakan dapat menyebabkan terputusnya siklus hidup sumberdaya ikan dan udang di sekitarnya. Berkurangnya ikan dan udang di daerah ini berarti mengurangi pendapatan nelayan-nelayan kecil yang biasanya beroperasi di sekitar pantai, penyudu udang, pencari kepiting dan penjala ikan. Di pesisir timur Sumatera Utara, berkurangnya ikan hasil tangkapan


(16)

menyebabkan sebagian nelayan beralih profesi sebagai penebang kayu di hutan mangrove, atau setidaknya menebang kayu tersebut menjadi aktivitas alternatif pada saat musim tidak melaut. Rusak atau hilangnya hutan mangrove mengakibatkan pula abrasi pantai yang dapat menyapu pemukiman penduduk dan pada akhirnya justru akan menghancurkan usaha pertambakan itu sendiri di kemudian hari. Selain itu dengan hilangnya mangrove, intrusi air laut akan semakin mudah meluas ke arah daratan dan menyebabkan sumur-sumur air tawar tidak lagi dapat dimanfaatkan.

Kerusakan ekosistem mangrove juga terjadi pada kawasan pesisir Kabupaten Serdang Bedagai. Potensi ekosistem mangrove di daerah ini yang cukup besar memberikan peluang yang besar pula terhadap terciptanya berbagai bentuk pemanfaatan secara ekonomi. Bentuk-bentuk pemanfaatan secara ekonomi tersebut misalnya usaha pertambakan, pertanian, perindustrian, pemukiman, pariwisata, pertambangan dan penangkapan ikan. Fakta ini merupakan kondisi umum di kawasan pesisir Sumatera Utara. Salah satu indikatornya sebagaimana yang dilaporkan oleh Lindawati (2007) yang menyebutkan bahwa sekitar 85 % kondisi tempat tinggal keluarga nelayan pada umumnya belum memadai, dimana ukuran rumah sempit (rata-rata 35m2), lantai rumah 67% masih beralaskan papan,

dinding rumah umumnya dari sisa olahan kayu dan dari bambu, atap rumah umumnya masih dari rumbia dan sedikit yang menggunakan seng (15%). Oleh karena itu perlu adanya analisis mengenai faktor-faktor yang menyebabkan kerusakan dan perubahan kesesuaian peruntukan ekosistem mangrove yang terjadi di wilayah pesisir Kabupaten Serdang Bedagai untuk mencegah dan mengatasi penyebabnya secara efektif (tepat sasaran).


(17)

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini diuraikan sebagai berikut :

1. Menganalisis faktor-faktor penyebab kerusakan ekosistem mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai.

2. Menganalisis faktor-faktor penyebab perubahan kesesuaian peruntukan ekosistem mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai.

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan latar belakang dapat dirumuskan hipotesis penelitian yaitu faktor-faktor intensitas pengamanan, penebangan kayu bakau, kegiatan pertambakan, kegiatan perkebunan dan pertanian, pemanfaatan hasil hutan non kayu, intensitas penyuluhan atau sosialisasi, kedekatan dengan industri pengolahan kayu bakau, keberadaan kelompok swadaya masyarakat, keberadaan lembaga swadaya masyarakat, tingkat pemahaman masyarakat terhadap lingkungan berpengaruh terhadap kerusakan dan kesesuaian peruntukan ekosistem mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan luaran baik bagi para stakeholder pengelolaan ekosistem mangrove dan pengembangan wilayah pesisir di Kabupaten Serdang Bedagai maupun bagi kalangan akademisi dan dunia ilmu pengetahuan dengan diketahuinya faktor-faktor yang mempengaruhi kerusakan dan perubahan kesesuaian peruntukan lahan mangrove yang terjadi di kawasan pesisir sebagai data yang sangat berguna bagi upaya untuk mencegah dan mengatasi penyebabnya secara efektif (tepat sasaran).


(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian dan Ciri-Ciri Hutan Mangrove

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Bengen, 2000). Selanjutnya menurut Nybakken (1988), kata mangrove berasal dari perpaduan antara bahasa portugis, Mangue dan bahasa Inggris, Grove. Pengertian mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuhan pada tanah galian.

Hutan mangrove sering disebut hutan bakau, hutan pasang surut dan hutan payau. Istilah hutan bakau sebenarnya hanya merupakan nama dari salah satu tumbuhan yang terdapat pada hutan mangrove yaitu jenis Rhizophora spp, oleh karena itu hutan mangrove lebih dikenal dan telah ditetapkan sebagai mangrove forest. Hutan mangrove umumnya banyak terdapat di daerah pesisir, seperti pantai-pantai yang terlindung dari aktivitas gelombang besar dan arus pasang surut air laut dan tumbuh optimal di wilayah pantai yang memiliki muara sungai besar serta estuaria dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur (Dahuri et al, 1996).

Mangrove merupakan salah satu ekosistem langka, karena luasnya hanya 2% permukaan bumi. Indonesia merupakan kawasan ekosistem mangrove terluas di dunia. Ekosistem ini memiliki peranan ekologi, sosial-ekonomi, dan


(19)

sosia-budaya yang sangat penting, misalnya menjaga menjaga stabilitas pantai dari abrasi, sumber ikan, udang dan keanekaragaman hayati lainnya, sumber kayu bakar dan kayu bangunan, serta memiliki fungsi konservasi, pendidikan, ekoturisme dan identitas budaya. Tingkat kerusakan ekosistem mangrove dunia, termasuk Indonesia sangat cepat akibat pembukaan tambak, penebangan hutan mangrove, pencemaran lingkungan, reklamasi dan sedimentasi, pertambangan, sebab-sebab alam seperti badai atau tsunami, dan lain-lain. Restorasi mangrove mendapat perhatian luas mengingat tingginya nilai sosial-ekonomi dan ekologi ekosistem ini. Restorasi dapat menaikkan nilai sumberdaya hayati mangrove, memberi mata pencaharian penduduk, mencegah kerusakan pantai, menjaga biodiversitas, produksi perikanan, dan lain-lain (Setyawan, 2006).

Manfaat Hutan Mangrove

Wilayah pesisir terdiri dari berbagai tipe ekosistem yang satu sama lainnya saling berkait dan saling memiliki ketergantungan. Salah satu bentuk ekosistem dan merupakan ekosistem terestrial yang utama di wilayah pesisir adalah ekosistem mangrove. Salah satu karakteristik hutan dan sumberdaya alam lainnya menurut Suparmoko (1989) adalah bahwa hutan mempunyai banyak manfaat (multilple use). Hal ini disebabkan karena selain sebagai produsen kayu, hutan juga mempunyai berbagai fungsi penting lainnya. Sehingga, dalam pengambilan keputusan mengenai macam penggunaan dan pengelolaan hutan perlu diperhatikan bahwa tidak semua lahan cocok untuk semua bentuk pemanfaatan.

Berdasarkan bentuk dan wujudnya, manfaat hutan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu : manfaat tangibel dan manfaat intangibel. Manfaat tangibel antara lain : kayu, hasil hutan ikutan dan lain-lain. Sementara manfaat


(20)

intangibel antara lain : pengaturan tata air, rekreasi, pendidikan dan lain-lain. Secara teoritis menurut Davies, Claridge dan Nararita (1995) hutan mangrove memiliki fungsi-fungsi dan manfaat sebagai berikut :

1. Habitat satwa langka. Hutan bakau sering menjadi habitat jenis-jenis satwa endemik seperti Bekantan (Nasalis larvatus) yang endemik di Kalimantan, Beruk Mentawai (Macacapagensis) yang endemik di Kepulauan Mentawai dan Tuntong (Batagur baska) yang endemik di Sumatera. Lebih dari 100 jenis burung hidup di sini, dan daratan lumpur yang luas yang berbatasan dengan hutan bakau merupakan tempat mendaratnya ribuan burung pantai migran, termasuk jenis burung langka blekok Asia (Limnodromus semipalmatus).

2. Pelindung terhadap bencana alam.Vegetasi hutan bakau dapat melindungi bangunan, tanaman pertanian atau vegetasi alami dari kerusakan akibat badai atau angin yang bermuatan garam.

3. Pengendapan lumpur. Sifat fisik tanaman pada hutan bakau membantu proses pengendapan lumpur. Pengendapan lumpur berhubungan erat dengan penghilangan racun dan unsur hara dari air, karena bahan-bahan tersebut seringkali terikat pada partikel lumpur.

4. Penambat unsur hara. Sifat fisik hutan bakau cenderung memperlambat aliran air dan terjadi pengendapan. Seiring dengan proses pengendapan ini terjadi pengendapan unsur hara yang berasal dari berbagai sumber, termasuk pencucian dari areal pertanian.

5. Penambat racun. Banyak racun yang memasuki ekosistem perairan dalam keadaan terikat pada permukaan lumpur atau terdapat di antara kisi-kisi molekul partikel tanah liat. Beberapa spesies tertentu dalam hutan bakau bahkan melakukan proses penambatan racun secara aktif.


(21)

6. Sumber Alam dalam Kawasan (In-Situ) dan Luar Kawasan (Ex-Situ). Hasil alam in-situ mencakup semua fauna, flora dan hasil pertambangan atau mineral yang dapat dimanfaatkan secara langsung di dalam kawasan. Sedangkan sumber alam ex-situ meliputi produk-produk yang dihasilkan oleh proses-proses alamiah di hutan mangrove dan berpindah ke tempat lain yang kemudian digunakan oleh masyarakat di daerah tersebut, menjadi sumber makanan bagi organisme lain atau menyediakan fungsi lain seperti menambah luas pantai karena pemindahan pasir dan lumpur.

7. Transportasi. Pada beberapa hutan mangrove, transportasi melalui air merupakan cara yang paling efisien dan paling sesuai dengan lingkungan. 8. Sumber plasma nutfah. Plasma nutfah dari kehidupan liar sangat besar

manfaatnya baik bagi perbaikan jenis-jenis satwa komersial maupun untuk memelihara populasi hidupan liar itu sendiri.

9. Rekreasi dan Pariwisata. Hutan mangrove memiliki potensi nilai estetika, baik dari faktor alamnya maupun dari hidupan yang ada di dalamnya.

10.Sarana pendidikan dan penelitian. Upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan laboratorium lapang yang baik untuk kegiatan penelitian dan pendidikan.

11.Memelihara proses-proses dan sistem alami. Hutan mangrove sangat tinggi peranannya dalam mendukung berlangsungnya proses-proses ekologi, geomorfologi atau geologi di dalamnya.

12.Penyerapan karbon. Proses fotosintesis mengubah karbon anorganik (dari CO2) menjadi karbon organik dalam bentuk bahan vegetasi. Pada sebagian besar ekosistem, bahan ini membusuk dan melepaskan karbon kembali ke


(22)

atmosfer sebagai CO2. Akan tetapi hutan mangrove justru mengandung sejumlah besar bahan organik yang tidak membusuk. Karena itu, hutan mangrove lebih berfungsi sebagai penyerap karbon dibandingkan sebagai sumber karbon.

13.Memelihara iklim mikro. Evapotranspirasi dari hutan mampu menjaga kelembaban dan curah hujan kawasan tersebut, sehingga keseimbangan iklim mikro terjaga.

14.Mencegah berkembangnya tanah sulfat masam. Keberadaan hutan mangrove dapat mencegah teroksidasinya lapisan pirit dan menghalangi berkembangnya kondisi asam.

Gambaran Kerusakan Ekosistem Mangrove

Dasawarsa ini terjadi penurunan luasan dan kualitas hutan mangrove secara drastis. Ironinya, sampai sekarang tidak ada data aktual yang pasti mengenai luasan hutan mangrove, baik yang kondisinya baik, rusak maupun telah berubah bentang lahannya, karena umumnya hutan mangrove tidak memiliki

boundary yang jelas. Estimasi kehilangan hutan selama tahun 1985 s.d. tahun

1997 untuk pulau Sumatera sebesar 3.391.400 ha atau sebesar 61 %. Contoh kasus lokal di kawasan Hutan Mangrove Kabupaten Langkat dan Deli Serdang (termasuk Serdang Bedagai) yang diteliti dilaporkan oleh Purwoko dan Onziral (2002) yang menyatakan bahwa berdasarkan kondisi ekosistem yang dijumpai tersebut, kawasan mangrove tersebut sudah tidak memungkinkan lagi bagi vegetasi dan satwa untuk berlindung dan beregenerasi secara alami.

Gambaran kerusakan ekosistem pesisir juga bisa dilihat dari kemerosotan sumberdaya alam yang signifikan di kawasan pesisir, baik pada ekosistem hutan


(23)

pantai, ekosistem perairan, fisik lahan dan lain-lain, yang berakibat langsung pada menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir. Kasus-kasus adanya keluhan penurunan hasil tangkapan oleh nelayan menurut laporan Ramli dan Purwoko (2005) terjadi di beberapa tempat seperti di Pantai Cermin, Pantai Labu, Sei Canggang, Pantai Pandan dan Sei Berombang.

Di Kabupaten Serdang Bedagai, hutan mangrove umumnya memiliki tingkat keterbukaan wilayah yang tinggi dan relatif dekat dengan sentra-sentra kegiatan perekonomian masyarakat. Kondisi ini membuat hutan mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai memiliki interaksi sosio-ekosistem yang tinggi. Menurut Purwoko & Onrizal (2002), interaksi yang tinggi antara masyarakat dengan kawasan hutan biasanya membawa dampak yang cukup serius terhadap ekosistem kawasan maupun terhadap fungsi dan keunikannya. Dari satu sisi, hal ini mengindikasikan bahwa keterlibatan sektor kehutanan dalam perekonomian dan kontribusinya terhadap perekonomian rakyat sudah cukup intensif. Namun di sisi yang lain, dampak degradasi ekosistem mangrovenya terhadap perekonomian wilayah pesisir secara keseluruhan jauh lebih serius. Padahal kelestarian ekosistem mangrove mutlak harus tetap dipelihara sebagai satu-satunya cara untuk mempertahankan peran, fungsi serta keseimbangan ekosistem kehidupan di sekitar kawasan pesisir.

Terkait dengan faktor-faktor penyebab kerusakan ekosistem mangrove, Kusmana (2003) menambahkan ada tiga faktor utama penyebab kerusakan mangrove, yaitu (1) pencemaran, (2) konversi hutan mangrove yang kurang memperhatikan faktor lingkungan dan (3) penebangan yang berlebihan. Pencemaran seperti pencemaran minyak, logam berat. Konversi lahan untuk


(24)

budidaya perikanan (tambak), pertanian (sawah, perkebunan), jalan raya, industri, produksi garam dan pemukiman, pertambangan dan penggalian pasir.

Bengen (2001) menjelaskan bahwa kerusakan di atas dikarenakan adanya fakta bahwa sebagian manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan mengintervensi ekosistem mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan (mangrove) menjadi tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya maupun penebangan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan. Hal itu dikarenakan memang pada dasarnya hutan mangrove memiliki fungsi ekonomi antara lain sebagai penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit. Akan tetapi, dampak ekologis akibat berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove adalah hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove, yang dalam jangka panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove khususnya dan ekosistem pesisir umumnya. Oleh karena itu, Bengen (2001) menyarankan agar isu sosial ekonomi mencakup aspek kebiasaan manusia (terutama masyarakat sekitar hutan mangrove) dalam memanfaatkan sumberdaya mangrove. Begitu pula kegiatan industri, tambak, perikanan tangkap, pembuangan limbah, dan sebagainya di sekitar hutan mangrove harus diidentifikasi dengan baik.

Selain oleh faktor-faktor fisik lingkungan, kerusakan hutan mangrove juga bisa disebabkan faktor sosial ekonomi masyarakat setempat. Menurut Dephut (2002), parameter sosial ekonomi yang sering digunakan untuk mengkaji kerusakan ekosistem mangrove adalah jumlah penduduk, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan persepsi masyarakat terhadap hutan mangrove. Oleh karena itu, pendekatan kelembagaan masyarakat juga perlu diperhatikan dalam


(25)

penanggulangan kerusakan ekositem mangrove. Dahuri (2001) menjelaskan ahwa keberadaan kelompok swadaya masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat sangat diperlukan dalam pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. Demikian juga dengan Wantasen (2002), menyatakan bahwa adanya kelembagaan pengelolaan yang melibatkan semua elemen stakeholder biasa mencegah terjadinya kerusakan mangrove. Studi kasus pada pengelolaan Cagar Alam Mutiara Hijau di Teluk Bintuni juga menyimpulkan bahwa peranan Lembaga Swadaya Masyarakat merupakan salah satu stakeholder penting dalam pengelolaan kawasan hutan (Sihite, 2005).

Ekosistem mangrove memiliki berbagai potensi manfaat baik langsung maupun tidak langsung. Hutan mangrove juga merupakan sumber bahan baku berbagai jenis industri dan habitat berbagai jenis fauna (Zaitunah, 2005). Namun kenyataan di lapangan menunjukkan adanya kerusakan hutan mangrove yang cukup memprihatinkan. Kerusakan tersebut terutama disebabkan oleh adanya kegiatan di lingkungan mangrove, seperti perubahan hutan mangrove menjadi penggunaan lain (tambak, pemukiman, dan lain-lain), pencemaran lingkungan (minyak, sampah, dan lain-lain), atau kegiatan lain tanpa memperhatikan kelestariannya. Savitri dan Khazali (1999) menjelaskan, penebangan hutan mangrove secara besar-besaran untuk dikonversikan menjadi usaha pertambakan dapat menyebabkan terputusnya siklus hidup sumberdaya ikan dan udang di sekitarnya. Berkurangnya ikan dan udang di daerah ini berarti mengurangi pendapatan nelayan-nelayan kecil yang biasanya beroperasi di sekitar pantai, penyudu udang, pencari kepiting dan penjala ikan. Secara khusus Pasaribu (2004) menyatakan bahwa kerusakan ekosistem mangrove di Provinsi Sumatera Utara


(26)

dilatarbelakangi oleh faktor-faktor tingkat pendapatan masyarakat yang relatif rendah, penebangan liar (illegal logging), pembukaan tambak udang secara liar, persepsi yang keliru tentang mangrove dan lemahnya penegakan hukum.

Dampak Kerusakan Ekosistem Mangrove

Potensi manfaat ekonomi, sosial dan kemasyarakatan dari kawasan tersebut akan terus menurun atau bahkan hilang, baik pada tingkat spesies maupun tingkat ekosistem apabila bentuk pengelolaan dan relasi sosial ekonomi yang dibangun antara ekosistem dengan masyarakat sekitar kawasan tidak mengalami perubahan. Ditambah lagi dengan fenomena bahwa sampai dengan saat ini belum terbentuk sistem pengelolaan kawasan mangrove yang efektif dan efisien di Pantai Timur Sumatera Utara dengan berbasis pada potensi kawasan yang ada. Fenomena di atas secara langsung menimbulkan akibat berupa sumber daya alam akan terus menurun, polusi akan meningkat hingga ke tingkat yang sulit dikendalikan, jumlah petani dan nelayan miskin akan terus meningkat, tingkat kesehatan masyarakat akan terus menurun, tingkat hubungan antara kriminal dan kemiskinan akan terus meningkat (Siregar dan Purwoko, 2002).


(27)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kecamatan-kecamatan yang termasuk dalam wilayah pesisir Kabupaten Serdang Bedagai. Ruang lingkup wilayah penelitian ini meliputi seluruh wilayah kecamatan-kecamatan di Kabupaten Serdang Bedagai yang berada di kawasan pesisir, yaitu Kecamatan Pantai Cermin, Kecamatan Teluk Mengkudu, Kecamatan Perbaungan, Kecamatan Tanjung Beringin dan Kecamatan Bandar Khalipah. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret-April 2010.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah lembar kuisioner sebagai bahan wawancara terhadap masyarakat desa di wilayah pesisir sedangkan alat yang digunakan adalah kamera untuk dokumentasi, alat tulis untuk mencatat data dilapangan, Soft

Ware Statistic Package for Social Science (SPSS) versi 16.0 dan perangkat

komputer untuk mengolah data.

Populasi dan Sampel

Populasi data dilakukan pada desa-desa di kecamatan-kecamatan yang terpilih yang memiliki ekosistem mangrove. Unit analisis akan dilakukan dengan skala desa atau kelurahan. Dalam hal ini, seluruh desa atau kelurahan yang memenuhi kriteria di atas akan dijadikan sebagai unit sampel penelitian. Dari 5 Kecamatan ada 30 desa yang menjadi sampel dari setiap masing-masing desa diambil 5-6 responden.


(28)

Data yang diperoleh melalui wawancara responden terpilih dan dikoleksi melalui metode wawancara mendalam/indepth interview (Bungin, 2008). Responden yang merupakan key person yang direncanakan adalah wakil masyarakat pesisir, pimpinan organisasi profesi nelayan desa, pelaku usaha, tokoh masyarakat, pimpinan desa.

Metode Pengambil Data

Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder dengan mempergunakan metode pengumpulan data sebagai berikut: Data primer

Data primer diperoleh melalui survei lapangan, kuisioner dan wawancara. Wawancara yang dilakukan di lapangan terbagi dua yaitu wawancara terstruktur dan wawancara tidak terstruktur, dimana sebelum wawancara terlebih dahulu dipersiapkan daftar pertanyaan sebagai panduan yang akan dijawab oleh responden sedangkan wawancara tidak terstruktur, dimana tidak menggunakan daftar pertanyaan sebagaimana termasuk pada wawancara terstruktur.

Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari berbagai lembaga atau instansi yang terkait dengan masalah yang diteliti, misalnya kantor statistik, kantor Camat dan Kantor Desa. Seperti data jumlah penduduk, batas-batas wilayah dan lain sebagainya.

Analisis Data

Faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap tingkat kerusakan ekosistem mangrove antara lain, intensitas pengamanan, penebangan kayu bakau, kegiatan pertambakan, kegiatan perkebunan, pemanfaatan hasil hutan non kayu,


(29)

intensitas penyuluhan atau sosialisasi, kedekatan dengan industri pengolahan kayu bakau, keberadaan kelompok swadaya masyarakat, keberadaan lembaga swadaya masyarakat, tingkat pemahaman masyarakat terhadap lingkungan.

Analisis yang digunakan untuk menguji faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kerusakan dan perubahan kesesuaian peruntukan ekosistem mangrove adalah analisis regresi linier berganda. Regresi linier berganda merupakan suatu metode analisis statistik yang mempelajari pola hubungan antara dua atau lebih variabel (Soleh, 2005). Analisis regresi digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel-variabel penduga (Xi) terhadap tingkat kerusakan ekosistem mangrove (Y1) dan perubahan peruntukkan ekosistem mangrove (Y2). Model regresi yang digunakan sebagai berikut:

Y1 = a1 + b1.1 X1 + b1.2 X2 + b1.3 X3 + b1.4 X4 + b1.5 X5 + b1.6 X6 + b1.7X7 + b1.8 X8 + b1.9 X9 + b1.10 X10 + e1

Y2 = a2 + b2.1 X1 + b2.2 X2 + b2.3 X3 + b2.4 X4 + b2.5 X5 + b2.6 X6 + b2.7X7 + b2.8 X8 + b2.9 X9 + b2.10 X10 + e2

Dimana :

Y1 = Tingkat kerusakan ekosistem mangrove

Y2 = Perubahan kesesuaian peruntukkan ekosistem mangrove X1 = Intensitas pengamanan

X2 = Penebangan kayu bakau X3 = Kegiatan pertambakan

X4 = Kegiatan perkebunan dan pertanian X5 = Pemanfaatan hasil hutan non kayu


(30)

X6 = Intensitas penyuluhan atau sosialisasi

X7 = Kedekatan dengan industri pengolahan kayu bakau X8 = Keberadaan kelompok swadaya masyarakat

X9 = Keberadaan lembaga swadaya masyarakat

X10 = Tingkat pemahaman masyarakat terhadap lingkungan a1, a2 = Konstanta

e1, e2 = residual

Menurut Riduwan (2005) skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau kelompok tentang kejadian atau gejala sosial. Kriteria atau indikator yang digunakan untuk mengetahui tingkat kerusakan dan perubahan kesesuaian peruntukan di wilayah peisisr Kabupaten Serdang Bedagai yaitu, sebagai berikut :

Tabel 1. Kriteria Interpretasi Skor

Indikator Tingkat kerusakan Tingkat perubahan kesesuaian peruntukan 0%–9% Sangat tidak rusak Sangat sesuai

20% - 39% Tidak rusak Sesuai

40% -59% Sedang Sedang

60% -79% Rusak Tidak sesuai

≥ 80% Sangat rusak Sangat tidak sesuai Uji Hipotesis

Penentuan validitas model secara bersama-sama dilakukan dengan uji-F (dengan membandingkan nilai F-hitung dengan F-tabel). Sedangkan secara parsial atau sendiri-sendiri digunakan uji-t.


(31)

a. Uji t

Uji t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu variabel bebas secara individual dalam menerangkan variasi variabel terikat. Formula hipotesis : Ho : b1 = 0, artinya variabel bebas bukan merupakan penjelas yang signifikan terhadap variabel terikat. Ha : b1 ≠ 0, artinya variabel bebas merupakan penjelas yang signifikan terhadap variabel terikat.

Kriteria :

1. Jika t hitung > t tabel maka ada pengaruh signifikan antara variabel X dan variabel Y

2. Jika t hitung < t tabel maka tidak ada pengaruh signifikan antara variabel X dan Y

b. Uji F

Uji F dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas secara bersama-sama terhadap variabel terikat. Rumusan hipotesis yang diuji. Ho : b1.1 = b1.2 = b1.3 = …b1.10 = 0, berarti secara bersama-sama tidak ada pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Ha : b1.1 ≠ b1.2 ≠ b1.3 ≠ …b1.10 = 0, berarti secara bersama-sama ada pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Kriteria :

1. Jika F hitung > F tabel maka Ho ditolak 2. Jika F hitung < F tabel maka Ho diterima


(32)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Letak Wilayah

Kabupaten Serdang Bedagai merupakan salah satu Kabupaten yang berada di kawasan Pantai Timur Sumatera Utara. Secara geografis Kabupaten Serdang Bedagai terletak pada posisi 03°01’57” LU -3°40’48”LU dan 98°45’00”BT-99°18’36”BT dengan ketinggian berkisar 0-500 meter di atas permukaan laut.

Kabupaten Serdang Bedagai memiliki area seluas 1.900,22 Km2 yang

terdiri dari 17 Kecamatan dan 243 Desa/Kelurahan Definitif. Wilayah Kabupaten Serdang Bedagai di sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah selatan dengan Kabupaten Simalungun, sebelah timur dengan Kabupaten Batu Bara dan Kabupaten Simalungun, serta sebelah barat dengan Kabupaten Deli Serdang

(BPS Kabupaten Serdang Bedagai, 2009).

Iklim

Kabupaten Serdang Bedagai memilki iklim tropis dimana kondisi iklimnya hampir sama dengan Kabupaten Deli Serdang sebagai kabupaten induk. Pengamatan Stasiun Sampali menunjukkan rata-rata kelembapan udara per bulan sekitar 84%, curah hujan berkisar antara 15 sampai dengan 438 mm perbulan dengan periodik tertinggi pada bulan Oktober 2008, hari hujan per bulan berkisar 5-23 hari dengan periode hari hujan yang besar pada bulan September dan November 2008. Rata-rata kecepatan angin berkisar 1,4 m/dt dengan tingkat penguapan sekitar 3,8 temperatur is 23,9°C. maksimum 31,3°C (BPS Kabupaten Serdang Bedagai, 2009).


(33)

Penduduk

Kabupaten Serdang Bedagai merupakan Kabupaten baru yang merupakan hasil pemekaran dari wilayah Kabupaten Deli Serdang. Jumlah penduduk Kabupaten Serdang Bedagai pada tahun 2008 berjumlah penduduk laki-laki 316.745 jiwa dan perempuan 313.983 jiwa. Jumlah rumah tangga mencapai 149.702 RT dan rata-rata penduduk per rumah tangga sebanyak 4 orang.

Kepadatan pnduduk Kabupaten Serdang Bedagai pada tahun 2008 adalah sebesar 332 jiwa/km2. Kepadatan penduduk terbesar adalah dikecamatan

Perbaungan yaitu sebesar 905 jiwa/km, sedangkan kecamatan dengan kepadatan penduduk terendah adalah kecamatan Kotarih 111 jiwa/km2 dan kecamatan

Bintang Bayu 134 jiwa/km2.

Ditinjau dari segi persebaran penduduk, jumlah penduduk terbesar adalah di kecamatan perbaungan yaitu sebesar 101.052 jiwa atau sebesar 16,02 % dari seluruh penduduk Kabupaten Serdang Bedagai. Jumlah penduduk terendah ada di Kecamatan Kotarih yaitu sebesar 8.649 jiwa.

Dilihat dari segi umur, persentase penduduk usia 0-14 tahun sebesar 27,21 persen, 15-59 tahun sebesar 67,06 persen, dan 60 tahun keatas sebesar 5,73 persen yang berarti jumlah penduduk usia produktif lebih besar dibandingkan usia non produktif dengan rasio beban ketergantungan sebesar 49,12 artinya setiap 100 orang penduduk usia produktif menanggung 49 orang penduduk usia non produktif (BPS Kabupaten Serdang Bedagai, 2009).

Tenaga Kerja

Jumlah penduduk Kabupaten Serdang Bedagai yang merupakan angkatan kerja sebanyak 292.112 orang, terdiri dari 271.879 orang berstatus bekerja dan


(34)

20.233 orang yang menganggur. Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) sebesar 63,62 persen dan tingkat pengangguran terbuka (TPT) mencapai 6,93 persen (BPS Kabupaten Serdang Bedagai, 2009).

Administrasi

Wilayah administrasi Kabupaten Serdang Bedagai terdiri dari 17 kecamatan dan 237 desa dan 6 kelurahan. Kecamatan yang paling banyak jumlah desa/kelurahan adalah kecamatan yang paling sedikit jumlah desa/kelurahannya adalah kecamatan Bandar Khalipah sebanyak 5 desa/kelurahan. Kabupaten Serdang Bedagai didiami oleh penduduk dari beragam etnis/suku bangsa, agama dan budaya. Suku-suku tersebut antara lain Karo, Melayu, Tapanuli, Simalungun, Jawa dan lain-lain (BPS Kabupaten Serdang Bedagai, 2009).

Pendidikan dan Kebudayaan

Upaya untuk meningkatkan partisipasi sekolah dan kualitas pendidikan masyarakat adalah dengan menyediakan sarana fisik pendidikan dengan jumlah guru yang memadai. Pada tahun 2008 terdapat 457 Sekolah Dasar (SD) dengan jumlah murid 77.655 orang dan jumlah guru 4.831 orang. Untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) terdapat 83 sekolah 23.738 murid dan 1.738 orang guru. Sementara itu untuk Sekolah Menengah Umum (SMU) terdapat 38 sekolah, jumlah murid dan guru masing-masing 10.025 orang dan 881 orang. Pada tahun yang sama, SLTA Kejuruan terdapat 28 sekolah, 448 guru dan 5.541 siswa (BPS Kabupaten Serdang Bedagai, 2009).


(35)

Karakteristik Responden

Responden dalam penelitian ini meliputi wakil masyarakat pesisir, pimpinan organisasi profesi nelayan desa, pelaku usaha, tokoh masyarakat desa, pimpinan desa. Kerusakan hutan mangrove juga bisa disebabkan faktor sosial ekonomi masyarakat setempat. Menurut Dephut 2002, parameter sosial ekonomi yang sering digunakan untuk mengkaji kerusakan ekosistem mangrove adalah jumlah penduduk, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan persepsi masyarakat terhadap hutan mangrove. Oleh karena itu, pendekatan kelembagaan masyarakat juga perlu diperhatikan dalam penanggulangan kerusakan mangrove. Karakteristik responden dapat digolongkan dalam beberapa aspek yaitu umur, mata pencaharian, pendidikan dan pendapatan.

Umur

Kelompok umur responden dalam penelitian ini yang paling banyak adalah antara umur 41-50 tahun yaitu 71 orang dengan proporsi 39,44%, sementara kelompok umur responden yang paling sedikit adalah antara umur 20-30 tahun yaitu 5 orang selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan Umur

No Kelompok Umur (Tahun) Frekuensi Proporsi (%)

1 20 – 30 5 2,78

2 31 – 40 57 31,67

3 41 – 50 71 39,44

4 51 – 60 38 21,11

5 >60 9 5

Jumlah 180 100

Sumber : Data primer, 2010

Rata-rata umur responden dalam penelitian ini adalah 45 tahun. Hal ini sesuai dengan Mantra (2004) yang menyatakan bahwa usia produktif tenaga kerja berada dalam kelas umur 15-64 tahun dapat disimpulkan bahwa rata-rata


(36)

masyarakat yang menjadi responden berada pada usia produktif, semakin produktif usia seseorang maka pemikirannya semakin maju dan kebutuhannya pun akan semakin bertambah sehingga akan selalu tertuju kepada kebutuhan kesejahteraan hidupnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bengen (2001) yang menyatakan bahwa kerusakan hutan mangrove dikarenakan adanya fakta bahwa sebagian manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan mengintervensi ekosistem mangrove. Terkadang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari masyarakat sering melupakan kelestarian hutan mangrove itu sendiri.

Mata Pencaharian

Jenis mata pencaharian responden yang lebih dominan adalah sebagai petani yaitu 52,2% mengingat bahwa sumbangan yang terbesar dari pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Serdang Bedagai ini adalah diperoleh dari sektor pertanian sebesar 47,45 %. Selain itu responden juga bermata pencaharian karyawan/buruh (15,56%), Pedagang (12,22%), Perangkat Desa (7,78%), Nelayan (9,44%) dan PNS (2,78%). Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Mata Pencaharian

No. Jenis Mata Pencaharian Frekuensi Proporsi (%)

1 Petani 94 52,22

2 Pedagang 22 12,22

3 Karyawan/Buruh 28 15,56

4 Perangkat Desa 14 7,78

5 Nelayan 17 9,44

6 PNS 5 2,78

Jumlah 180 100

Sumber : Data primer, 2010

Responden dalam penelitian ini lebih memilih untuk bertani karena melihat kondisi hutan mangrove pada saat sekarang sangat memprihatinkan sehingga tidak banyak responden yang memilih untuk menjadi nelayan, sehingga semakin baik mata pencaharian seseorang maka kemungkinan untuk


(37)

memanfaatkan hutan mangrove akan semakin sedikit. Akan tetapi apabila jenis pekerjaan yang selalu berhubungan dengan hutan maka kemungkinan untuk merusak hutan juga akan semakin besar karena frekuensi untuk berinteraksi dengan hutan lebih banyak.

Pendidikan

Tingkat pendidikan di Kabupaten Serdang Bedagai ini cukup baik, dapat dilihat pada Tabel 4. bahwa tingkat pendidikan yang paling banyak adalah SLTA/SMU/SMK yaitu 37.22% sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin tinggi kemampuannya dalam menyerap informasi.

Tabel 4. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

No. Tingkat Pendidikan Frekuensi Proporsi (%)

1 SD/SR 48 26,67

2 SLTP/SMP 57 31,67

3 SLTA/SMU/SMK 67 37,22

4 Perguruan Tinggi (D1, D2, D3, Akademi, Sarjana Muda, Sarjana)

8 4,44

Jumlah 180 100

Sumber : Data primer, 2010

Tingkat pendidikan merupakan salah satu indikator yang sering digunakan untuk mengukur kualitas sumberdaya manusia. Menurut Cline dan Harnian (1976)

dalam Musyafar (2005) pendidikan merupakan faktor yang penting pengaruhnya

terhadap perubahan sikap dan perilaku dalam masyarakat untuk dapat mengerti tentang pentingnya manfaat dan fungsi hutan mangrove. Oleh karena itu, orang yang lebih tinggi tingkat pendidikannya diharapkan berjiwa lebih kritis, lebih obyektif, dan lebih inovatif dalam menilai manfaat dan dampak negatif ekosistem mangrove terhadap lingkungan dan masyarakat di wilayah pesisir.


(38)

Berdasarkan hasil yang diperoleh bahwa tingkat pendidikan di Kabupaten Serdang Bedagai ini cukup baik, hal ini dilihat dari responden yang berada pada daerah yang merupakan daerah akses untuk menuju ke wilayah pesisir sedangkan responden yang berada di wilayah pesisir itu sendiri tingkat pendidikannya masih rendah hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti biaya pendidikan yang tinggi dan tidak terjangkau oleh masyarakat. Disamping itu, lokasi sekolah yang jauh dari tempat tinggal merupakan salah satu alasan bagi masyarakat untuk memilih tidak bersekolah. Sekolah yang ada di wilayah pesisir hanya sampai pada tingkat SD bagi masyarakat yang ingin melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi harus ke luar daerah tersebut sedangkan masyarakat yang berada pada daerah yang merupakan akses menuju wilayah pesisir ini tingkat pendidikannya lebih baik. Dikarenakan lokasi sekolah yang tidak jauh dan memiliki mata pencaharian yang cukup untuk kesejahteraan hidupnya.

Responden yang berada pada wilayah pesisir kebanyakan bekerja sebagai nelayan karena dari penghasilan yang tidak menentu dan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari serta pemahaman masyarakat yang lebih mengutamakan bekerja dari pada sekolah sehingga besar kemungkinan dilihat dari tingkat pendidikan bahwa kesadaran masyarakat akan pentingnya kelestarian hutan masih kurang.

Pendapatan

Berdasarkan Tabel 5. Tingkat pendapatan responden lebih banyak antara Rp.1.000.000 – Rp. 1.999.000 adalah 76 orang, karena dilihat dari mata pencaharian responden lebih banyak sebagai petani dan rata-rata penghasilan antara Rp.1.000.000 – Rp. 1.999.000 yaitu 42,22%. Perbedaan pendapatan yang


(39)

diterima responden dilokasi penelitian pada dasarnya ditentukan oleh perbedaan jumlah dan jenis aktivitas yang dilakukan responden. Responden yang memiliki pekerjaan pokok dan pekerjaan sampingan cenderung mempunyai pendapatan lebih tinggi.

Tabel 5. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan

No. Tingkat Pendapatan (Rp) Frekuensi Proporsi (%)

1 <Rp 1.000.000 64 35,56

2 Rp. 1.000.000 – Rp. 1.999.000 76 42,22

3 Rp. 2.000.000 – Rp. 2.999.000 22 12,22

4 Rp. 3.000.000 – Rp. 3.999.000 8 4,44

5 > Rp. 4.000.000 10 5,56

Jumlah 180 100

Sumber : Data primer, 2010

Pendapatan responden yang berada di wilayah pesisir sebagian merupakan hasil dari pemanfaatan ekosistem mangrove, dan ada juga responden yang menambah pendapatannya dari sumber lain selain dari pekerjaan pokok yaitu pekerjaan sampingan lainnya. Dilihat dari pendapatan masyarakat pesisir yang rendah sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari masyarakat memanfaatkan hasil hutan mangrove akan tetapi demi kesejahteraan hidupnya masyarakat sering melupakan kelesatarian hutan mangrove tersebut.

Analisis Regresi Linier Berganda

Menyatakan hubungan antara tingkat kerusakan ekosistem mangrove (Y1) dan perubahan kesesuaian peruntukan ekosistem mangrove (Y2) dengan intensitas pengamanan (X1), penebangan kayu bakau (X2), kegiatan pertambakan (X3), kegiatan perkebunan dan pertanian (X4), pemanfaatan hasil hutan non kayu (X5), intensitas penyuluhan atau sosialisasi (X6), kedekatan dengan industri pengolahan kayu bakau (X7), keberadaan kelompok swadaya masyarakat (X8), keberadaan lembaga swadaya masyarakat (X9), tingkat pemahaman masyarakat terhadap


(40)

lingkungan (X10) dilakukan analisis regresi linier berganda dengan metode enter yaitu merupakan suatu metode dalam pembentukan taksiran model regresi dimana semua variabel bebas dilibatkan dalam pembentukan persamaan regresinya. Dalam satuan persamaan linier berganda, diperoleh persamaan hubungan dari variabel terikat dan variabel bebas adalah sebagai berikut :

Y1 = 4.604 + 0.310 X1 + 0.059 X2 - 0.097 X3 - 0.042 X4 – 0.080 X5 + 0.189 X6 - 0.429 X7 – 0.261 X8 – 0.051 X9 + 0.015 X10...(1)

Y2 = -1.583 + 0.300 X1 + 0.253 X2 + 0.482 X3 + 0.113 X4 - 0.133 X5 + 0.213 X6 + 0.115 X7 - 0.094 X8 + 0.667 X9 – 0.139 X10...(2)

Persamaan (1) di atas tampak nilai konstanta sebesar 4.604, secara matematis nilai konstanta ini menyatakan bahwa pada saat variabel X bernilai nol (0), maka tingkat kerusakan (Y1) memiliki nilai 4.604. Nilai b1 = 0.310, b2 = 0.059, b6 = 0.189, b10= 0.015 untuk variabel x1, x2, x6, x10 yang bertanda positif berarti memiliki hubungan yang searah artinya bahwa setiap vatiabel naik sebesar 100% akan meningkatkan 31%, 5.9 %, 18.9%, 1.5%. Nilai b3 = 0.097, b4 = -0.042, b5 = -0.080, b7 = -0.429, b8 = -0.261 , b9 = -0.051 untuk variabel x1, x5, x8, b9 yang bertanda negatif berarti memiliki hubungan yang tidak searah sedangkan persamaan (2) tampak nilai konstanta sebesar -1.583, secara matematis nilai konstanta ini menyatakan bahwa pada saat variabel X bernilai nol (0), maka tingkat perubahan kesesuaian peruntukan (Y2) memiliki nilai -1.583. Nilai b1 = 0,300, b2 = 0.253, b3 = 0.482, b4 = 0.113, b6 =0.213, b7 =0.115, b9 = 0.667, untuk variabel x1, x2, x3, x4, x6, x7, x9, yang bertanda positif berarti memiliki hubungan yang searah artinya bahwa setiap vatiabel naik sebesar 100% akan meningkatkan 30%, 25.3 %, 48.2%, 11.3%, 21.3%, 11.5%, 66.7% nilai b5 =


(41)

-0.113, b8 = -0.094, b10 = -0.139 untuk variabel x5, x8, x10 yang bertanda negatif berarti memiliki hubungan yang tidak searah. Untuk lebih jelasnya hasil perhitungan dapat dilihat pada lampiran 4 dan 5.

Berdasarkan hasil perhitungan (Lampiran 4 dan 5), diperoleh R pada Y1 adalah 0.505 berarti (50.5%) dan Y2 adalah 0.417 berarti (41.7%) hubungan antara variabel X terhadap Y1 dan Y2 cukup erat. Karena semakin besar R berarti hubungan semakin erat. R Square untuk Y1 adalah 0.211 dan Y2 adalah 0.174 berarti faktor-faktor Y1 hanya dapat dijelaskan 21.1% dan Y2 yaitu 17.4% sedangkan sisanya oleh faktor-faktor lain yang tidak di teliti oleh penelitian ini yaitu 78.9 % dan 82.6%.

Tingkat signifikansi dari variabel bebas (X) terhadap variabel (Y) dapat dilihat dari angka probabilitas (nilai signifikansi). Jika nilai signifikansi masing-masing variabel (> 0.05 atau 5 %) maka variabel tersebut tidak signifikan pengaruhnya. Demikian sebaliknya, jika nilai signifikansi masing-masing variabel (< 0.05 atau 5 %) maka variabel tersebut dinyatakan signifikan atau nyata pengaruhnya. Variabel X yang signifikan terhadap Y1 adalah x1 yaitu 0.003. sedangkan X yang berpengaruh secara signifikan terhadap Y2 adalah x3 dan x9 yaitu 0.000 dan 0.002 sedangkan yang tidak signifikan adalah x1, x2, x4, x5, x6, x7, x8, x10 karena nilai signifikannya > 0.05 atau 5%.

Uji Hipotesis

Uji t menguji apakah hipotesis yang diajukan diterima atau ditolak digunakan statistik t (uji t). Jika t hitung < t tabel, maka Ho diterima atau Ha ditolak, sedangkan jika t hitung > t tabel, maka Ho ditolak Ha diterima. Jika tingkat signifikan di bawah 0.05 maka Ho ditolak dan Ha diterima. Variabel bebas


(42)

(X) berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap variabel terikat Y1 yaitu x1, nilai t hitung (2.999) > t tabel (1.740). Sedangkan Y2 yaitu x3 dan x9 dari nilai signifikan 0.000 < 0.05 dan nilai t hitung (4.138) > t tabel (1.740) dan 0.002 < 0.05 dan nilai t hitung (3.117) > t tabel (1.740) maka Ho ditolak dan Ha diterima.

Dari uji ANOVA dapat diketahui pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat dilakukan dengan penentuan validitas model secara bersama-sama dilakukan dengan uji-F (dengan membandingkan nilai F-hitung dengan F-tabel). variabel Y1 diperoleh F hitung sebesar 5.778 dengan tingkat signifikan 0.000. maka diperoleh F hitung > F tabel yaitu 5.778 > 2.45 atau sig F < 5% (0.000 < 0.05).Variabel Y2 diperoleh F hitung 3.561 dengan tingkat signifikan 0.000 maka Fhitung > F tabel yaitu 3.561 > 2.45 hal ini menunjukkan bahwa pengaruh variabel independen secara serempak adalah signifikan terhadap variabel terikat.

Tingkat Kerusakan Ekosistem Mangrove (Y1)

Tingkat kerusakan ekosistem mangrove adalah kondisi kerusakan fisik ekosistem mangrove yang diukur berdasarkan indikator-indikator tertentu yang digunakan sesuai dengan peringkatnya. Tingkat kerusakan yang terjadi di wilayah pesisir Kabupaten Serdang Bedagai adalah rusak yaitu 43.33 % selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Tingkat Kerusakan Ekosistem Mangrove (Y1)

Nilai Tingkat kerusakan Indikator Frekuensi Proporsi (%)

1 Sangat tidak rusak 0-19 % - -

2 Tidak Rusak 20-39 % 3 10

3 Sedang 40-59 % 4 13.33

4 Rusak 60-79 % 13 43.33

5 Sangat rusak > 80 % 10 33.33

Jumlah 30 100


(43)

Berdasarkan tabel diatas menjelaskan bahwa tingkat kerusakan yang terjadi adalah rusak dengan indikator 60-79% artinya keadaan formasi hutan mangrove yang tidak sempurna lagi misalnya bagian luar didominasi Avicennia,

Sonneratia dan Rhizophora , komunitas fauna tidak sempurna dan komunitas

ekologis tidak sempurna misalnya hutan mangrove tidak lagi sebagai penahan ombak sehingga tidak dapat menjaga garis pantai tetap stabil.

Kerusakan yang terjadi di wilayah pesisir Kabupaten Serdang Bedagai disebabkan karena ekosistem pesisir memiliki karakteristik, potensi manfaat, masalah dan pola pengelolaan yang berbeda. Berdasarkan nilai, manfaat dan fungsi kawasan pesisir maka dapat dikatakan bahwa kawasan pesisir mempunyai tingkat produktivitas dan potensi ekonomi yang sangat tinggi. Akibatnya adalah terjadi konsentrasi aktivitas dan populasi manusia yang cukup tinggi karena kawasan pesisir dapat dijadikan kegiatan pembangunan dan investasi, sehingga terjadi tekanan yang merugikan terhadap kawasan pesisir yang tidak diperhitungkan.

Hasil yang diperoleh berdasarkan analisis regresi linier berganda menunjukkan bahwa yang berpengaruh atau yang signifikan terhadap tingkat kerusakan ekosistem mangrove (Y1) di Kabupaten Serdang Bedagai adalah intensitas pengamanan (X3) yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat maupun lembaga swadaya. Dari hasil wawancara dengan responden mengatakan bahwa ada kegiatan pengamanan tetapi dilakukan oleh satu pihak saja yaitu masyarakat yang peduli terhadap kelestarian hutan itu sendiri dan ada juga dari pihak pemerintah namun dalam hal pengamanan masih kurang terprogram dan jadwalnya tidak teratur.


(44)

Pengamanan ekosistem yang kurang terprogram mengakibatkan tingkat kerusakan semakin bertambah, sehingga terjadi adanya kegiatan pembukaan tambak, penebangan hutan mangrove, pencemaran lingkungan, reklamasi dan sedimentasi, pertambangan. Hal ini sesuai dengan Setyawan (2006) yang menyatakan bahwa apabila kegiatan pengamanan ekosistem mangrove dilakukan oleh semua pihak, baik pemerintah, masyarakat maupun lembaga swadaya maka tingkat kerusakan yang terjadi bisa dihindari. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pentingnya pengamanan dalam menjaga hutan tersebut agar tetap lestari.

Tingkat Perubahan Kesesuaian Peruntukkan Ekosistem Mangrove (Y2)

Perubahan peruntukan ekosistem mangrove adalah kondisi eksisting peruntukan ekosistem mangrove yang telah mengalami perubahan dari peruntukan semula dan tidak sesuai dengan peruntukan sesuai dengan konsep dan peraturan yang berlaku. Tingkat kesesuaian yang terjadi di kawasan pesisir Kabupaten Serdang Berdagai adalah 43.33 % dapat dilihat pada Tabel 7. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesesuaian yang terjadi adalah sangat tidak sesuai Tabel 7. Tingkat Perubahan Kesesuaian Peruntukkan Ekosistem Mangrove (Y2)

Nilai Tingkat Kesesuaian Indikator Frekuensi Proporsi (100%) 1 2 3 4 5 Sangat sesuai Sesuai Sedang Tidak Sesuai Sangat tidak sesuai

0-19 % 20-39 % 40-59 % 60-79 % > 80 %

5 6 3 3 13 16.67 20 10 10 43.33

Jumlah 30 100

Sumber : Data primer, 2010

Berdasarkan tabel diatas menjelaskan bahwa tingkat perubahan kesesuaian peruntukan yang terjadi adalah sangat tidak sesuai dengan indikator ≥ 8 0 % artinya perubahan kesesuaian peruntukan yang terjadi di wilayah pesisir


(45)

Kabupaten Serdang Bedagai mengalami perubahan dari peruntukan semula dan tidak sesuai dengan peruntukan sesuai dengan konsep dan peraturan yang berlaku.

Perubahan kesesuaian peruntukan juga terjadi di wilayah pesisir Kabupaten Serdang Bedagai disebabkan karena ekosistem mangrove pada dasarnya memiliki fungsi ekonomi, melihat potensi ekosistem mangrove di daerah ini cukup besar sehingga memberikan peluang yang besar juga terhadap terciptanya berbagai bentuk pemanfaatan secara ekonomi seperti perubahan hutan mangrove menjadi penggunaan lain (tambak, pemukiman, dan lain-lain), pencemaran lingkungan (minyak, sampah, dan lain-lain), atau kegiatan lain tanpa memperhatikan kelestariannya. Savitri dan Khazali (1999) menjelaskan, penebangan hutan mangrove secara besar-besaran untuk dikonversikan menjadi usaha pertambakan dapat menyebabkan terputusnya siklus hidup sumberdaya ikan dan udang di sekitarnya. Berkurangnya ikan dan udang di daerah ini berarti mengurangi pendapatan nelayan-nelayan kecil yang biasanya beroperasi di sekitar pantai, penyudu udang, pencari kepiting dan penjala ikan. Beragamnya kepentingan dan pengaruh tersebut terhadap kawasan pesisir mengakibatkan kawasan pesisir sangat rentan terhadap bentuk pengelolaan yang bersifat merusak maupun merubah fungsi lahan. Hal ini juga disebabkan karena persepsi yang keliru tentang mangrove dan lemahnya penegakan hukum.

Berdasarkan hasil yang diperoleh dengan analisis regresi linier berganda menunjukkan bahwa perubahan kesesuaian peruntukan dipengaruhi oleh adanya kegiatan pertambakan dan keberadaan lembaga swadaya masyarakat. Sesuai dengan pendapat masyarakat yang merupakan responden dalam penelitian ini menyatakan bahwa kegiatan pertambakan pada tahun-tahun sebelumnya banyak


(46)

dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan maupun lembaga usaha. Kegiatan pertambakan yang dilakukan oleh masyarakat kebanyakan hanya dalam jumlah kecil dengan pola wanamina, akan tetapi ada juga ditemukan tambak dalam jumlah yang besar dilakukan oleh masyarakat setempat dan lembaga usaha dengan pola tambak intensif. Hal ini mengakibatkan perubahan kesesuaian peruntukan yang terjadi di Kabupaten Serdang Bedagai.

Perubahan kesesuaian peruntukan ekosistem hutan mangrove juga disebabkan karena menurunnya pendapatan masyarakat pesisir, berkurangnya kesempatan bekerja, berkurangnya kesempatan berusaha, ketersediaan mendapatkan bahan baku dan menurunnya aksesibilitas ekonomi masyarakat terhadap sumber daya mangrove sehingga menyebabkan adanya kegiatan pertambakan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bengen (2001) menjelaskan bahwa kerusakan dan perubahan kesesuaian peruntukan dikarenakan adanya fakta bahwa sebagian manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mengintervensi ekosistem mangrove sehingga terjadi alih fungsi lahan seperti pertambakan, pemukiman, industri dan sebagainya. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Pasaribu (2004) yang menyatakan bahwa kerusakan ekosistem mangrove di Provinsi Sumatera Utara dilatarbelakangi oleh faktor-faktor tingkat pendapatan masyarakat yang relatif rendah, penebangan liar (illegal logging), pembukaan tambak udang secara liar.

Hal yang bersifat kelembagaan juga diduga turut berpengaruh terhadap tingkat kerusakkan ekosistem mangrove adalah intensitas penyuluhan atau sosialisasi, keberadaan kelompok swadaya masyarakat yang berbasis masyarakat pesisir itu sendiri, lembaga swadaya masyarakat yang terkait dengan pengelolaan


(47)

ekosistem mangrove. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden menyatakan bahwa keberadaan lembaga swadaya masyarakat yang terkait dengan pengelolaan ekosistem mangrove di wilayah pesisir tersebut tidak ada dan tidak pernah berperan dalam pengelolaan mangrove dan ada juga yang mengatakan pernah terdapat 1 lembaga swadaya masyarakat yang berperan sesekali dalam pengelolaan mangrove. Namun kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa lembaga swadaya tersebut tidak terprogram dalam pengelolaan mangrove sehingga terjadi persepsi yang keliru tentang mangrove dan lemahnya penegakan hukum. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dahuri (2001) menjelaskan bahwa keberadaan kelompok swadaya masyarakat dan lembaga swadaya/profesi masyarakat sangat diperlukan dalam pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. Demikian juga dengan Wantasen (2002) menyatakan bahwa adanya kelembagaan pengelolaan yang melibatkan semua elemen stakeholder biasa mencegah terjadinya kerusakan mangrove sehingga di daerah pesisir Kabupaten Serdang Bedagai ini tingkat kerusakan dan perubahan kesesuaian peruntukan sering terjadi karena kurangnya tingkat pemahaman masyarakat terhadap aspek lingkungan.

Faktor-faktor yang tidak signifikan terhadap tingkat kerusakan dan perubahan kesesuaian peruntukan kemungkinan di pengaruhi oleh faktor lain sesuai dengan pernyataan Kusmana (2003) yaitu faktor penyebab kerusakan ekosistem mangrove, ada tiga faktor utama penyebab kerusakan mangrove, yaitu pencemaran, konversi hutan mangrove yang kurang memperhatikan faktor lingkungan dan penebangan yang berlebihan selain itu mungkin dipengaruhi oleh perambahan, pengambilan biota laut yang tidak terkendali, reklamasi dan sedimentasi, pertambangan dan penurunan hasil tangkapan.


(48)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat ditarik kesimpulan, yaitu :

1. Faktor-faktor penyebab kerusakan ekosistem mangrove (Y1) di wilayah pesisir Kabupaten Serdang Berdagai ádalah intensitas pengamanan (X1).

2. Faktor-faktor penyebab perubahan kesesuaian peruntukan ekosistem mangrove (Y2) di wilayah pesisir Kabupaten Serdang Bedagai adalah adalah kegiatan pertambakan (X3) dan keberadaan lembaga swadaya masyarakat (X9).

Saran

Adapun saran dari penelitian ini adalah :

1. Kegiatan pengamanan ekosistem mangrove agar dilakukan oleh semua pihak secara teratur dan terprogram.

2. Kegiatan pertambakan agar lebih diperhatikan lagi dan diolah dengan baik. 3. Keberadaan lembaga swadaya masyarakat agar berperan aktif dengan program

terpadu dalam pengelolaan ekosistem mangrove.

4. Perlu adanya penelitian lanjutan mengenai analisis mencegah/mengurangi kerusakan dan perubahan kesesuaian peruntukan lahan di Kabupaten Serdang Bedagai.


(49)

DAFTAR PUSTAKA

Bengen, D.G. 2000. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB. Bogor.

---, 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-Institut Pertanian Bogor. Bogor.

[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Serdang Bedagai, 2009. Kabupaten Serdang Bedagai dalam Angka 2009. Badan Pusat Statistik Kabupaten Serdang Bedagai. Sei Rampah.

Bungin, M.B. 2008. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial Lainnya. Kencana Prenada Media Group. Jakarta. ---. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan

Publik dan Ilmu Sosial Lainnya. Kencana Prenada Media Group. Jakarta. Dahuri, R. 1996. Pengembangan Rencana Pengelolaan Pemanfaatan Berganda

Hutan Mangrove di Sumatera. PPLH Institusi Pertanian Bogor. Bogor. Dahuri R, Rais., J. Ginting, S.P. dan Sitepu, M.J. 1996 dan 2001. Pengelolaan

Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Saptodadi. Jakarta.

Davies, J.G. Claridge dan Natarita, E. 1995. Manfaat Lahan Basah, Potensi Lahan Basah dalam Mendukung dan Memelihara Pembangunan. Ditjend. Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Departemen Kehutanan-Asian Wetland Buereau Indonesia (AWB). Jakarta.

Departemen Kelutan dan Perikanan. 2002. Pedoman Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Ditjend. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil DKP Jakarta.

Dephut. 2002. Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove. Direktorat Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Lahan Departemen Kehutanan RI. Jakarta.

Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP). 2006. Rencana Strategis Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Provinsi Sumatera Utara tahun 2005-2010. DPK Sumut. Medan.

Kusmana, C, S. Wilarso, I. Hilwan, P. Pamoengkas, C. Wibowo, T. Tiryana, A. Triswanto, Yunasfi dan Hamzah. 2003. Teknik Rehabilitasi Mangrove. Fakultas Kehutanan-Institut Pertanian Bogor. Bogor.


(50)

Lindawati, 2007. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peluang Berusaha dan Kegiatan Ekonomi Rumah Tangga Istri Nelayan Pekerja di Kecamatan Medan Belawan. Jurnal Wahana Hijau Vol.3 No.1. Program Doktor Perencanaan Wilayah SPS USU. Medan.

Musyafar, 2005. Analisis Perilaku Masyarakat Pesisir dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi dalam Melestarikan Ekosistem Mangrove di Pesisir Barat Sulawesi Selatan. Dari http//www.depdiknas.go.id/publikasi/balitbang/03_2009/j03_05.pdf (21 Agustus 2010).

Nybakken, J.W., 1988. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia. Jakarta.

Pasaribu, N. 2004. Krisis Hutan Mangrove di Sumatera Utara dan Alternatif Solusinya. Makalah. Program Doktor SPS IPB. Bogor.

Purwoko dan Onrizal, 2002. Identifikasi Potensi Sosial Ekonomi Hutan Mangrove di SM KGLTL. Makalah Seminar Nasional Hasil-hasil Penelitian Dosen Muda dan Kajian Wanita, Ditjend DIKTI. Jakarta.

Ramli dan Purwoko, A. 2005. Peran dan Fungsi Hutan Mangrove dalam Pengelolaan Kawasan Pesisir Terpadu. Makalah pada Lokakarya Antar Sektor dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut di Kabupaten Deli Serdang. Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Deli Serdang. T. Morawa. Riduwan, 2005. Skala Pengukuran Variabel-variabel Penelitian. Cetakan ke-3.

Penerbit Alfabeta. Bandung.

Savitri, L. A. dan Khazali, M. 1999. Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir. PSKPL-IPB. Bogor.

Setyawan, A.D. dan Winarno, K. 2006. Permasalahan Konservasi Ekosistem Mangrove di Pesisir Kabupaten Rembang, Jawa Tengah (Conservation problems of mangrove ecosystem in coastal area of Rembang Regency, Central Java). Jurnal Biodiversitas Vol 7 No. 2. Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Sihite, J, Lense, O, Surartri, R, Gustiar, C, dan Kosamah, S. 2005. The Nature Conservancy (TNC). Southeast Asia Center for Marine Protected Areas (SEA CMPA). Bali.

Siregar, EBM dan Agus Purwoko, 2002. Pengelolaan Ekosistem dan Lingkungan Pesisir. Makalah pada Lokakarya Partisipasi Publik dalam Pengelolaan Pesisir dan Laut, 28-30 Oktober 2002. Kerjasama Pemkab Deli Serdang dan dengan LPPM USU. Tanjung Morawa.


(51)

Soleh, A, Z, 2005. Ilmu Statistik Pendekatan Teoritis dan Aplikatif disertai Contoh Penggunaan SPSS. Penerbit : Rekayasa Sains Bandung.

Suparmoko, 1989. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Pusat Antar Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Wantasen, A. 2002. Kajian Potensi Sumberdaya Hutan Mangrove di Desa Talise, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Disertasi. Program Doktor SPS Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Zaitunah, A. 2005. Meninjau Keberadaan Hutan Mangrove di Indonesia. Program Doktor SPS IPB. Bogor.


(52)

Lampiran 1. Kuisioner

A. IDENTITAS RESPONDEN

1. Nama :

2. Umur : tahun

3. Jenis Kelamin : *laki-laki/perempuan 4. Pendidikan Terakhir : a. Tidak tamat SD

b. SD/sederajat c. SMP/sederajat d. SMU/STM/SMK e. Perguruan Tinggi 5. Lama Bermukim : a. < 1 tahun

b. 1- < 5 tahun c. 5 - < 10 tahun d. 10 - < 15 tahun e. > 15 tahun 6. Pekerjaan

a. Utama/Pokok :

b. Sampingan :

7. Asal Kecamatan/Desa : 8. Kelompok Responden : (*Coret yang tidak perlu)

B. PERTANYAAN PANDUAN (mohon melingkari atau yang Bpk/Ibu anggap benar)

No .

Pertanyaan

1. Menurut Bapak/Ibu, bagaimanakah kegiatan pengamanan ekosistem mangrove di desa Bapak/Ibu?

a. Tidak ada dilakukan sama sekali (tidak oleh pemerintah, masyarakat maupun lembaga swadaya)

b. Ada, namun hanya sesekali dan dilakukan oleh salah satu pihak saja

c. Ada dan dilakukan oleh salah satu pihak, namun kegiatannya belum terprogram dan jadwalnya tidak teratur (hanya jika diperlukan saja)

d. Ada dan dilakukan oleh semua pihak, namun belum terprogram dan jadwalnya tidak teratur (hanya jika diperlukan saja)

e. Ada dan dilakukan oleh semua pihak secara teratur dan terprogram 2. Bagaimana kegiatan penebangan kayu bakau di kawasan hutan mangrove

di desa Bapak/Ibu?

a. Tidak pernah dilakukan penebangan kayu bakau oleh semua pihak. b. Pernah dilakukan penebangan sesekali (frekuensi kecil) oleh

masyarakat lokal untuk memenuhi kebutuhan sendiri

c. Selama ini dilakukan penebangan oleh masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan sendiria atas kayu


(53)

d. Selama ini dilakukan penebangan baik oleh masyarakat maupun lembaga usaha dan digunakan untuk tujuan komersil.

e. Selama ini dilakukan penebangan tanpa kendali baik oleh masyarakat maupun usaha tanpa ada pengawasan yang bisa mencegahnya.

3. Adakah kegiatan pertambakan yang dilakukan di dalam kawasan hutan mangrove di desa Bapak/Ibu?

a. Tidak ada kegiatan pertambakan apapun yang dilakukan oleh masyarakat maupun lembaga usaha

b. Ada ditemukan satu jenis saja kegiatan pertambakan dalam jumlah yang sangat kecil dan hanya dilakukan oleh masyarakat setempat dengan pola wanamina

c. Ada ditemukan beberapa jenis kegiatan pertambakan dalam jumlah kecil dan hanya dilakukan oleh masayarakat setempat dengan pola wanamina.

d. Ada ditemukan beberapa jenis kegiatan pertambakan dalam jumlah cukup besar dan hanya dilakukan oleh masayarakat setempat maupun lembaga usaha dengan pola tambak semi intensif.

e. Ada ditemukan kegiatan pertambakan dalam jumlah sangat besar dan dilakukan oleh masyarakat setempat dan lembaga usaha dengan pola tambak intensif.

4. Adakah kegiatan pertanian/perkebunan yang dilakukan di dalam kawasan hutan mangrove?

a. Tidak ada kegiatan pertanian/perkebunan dengan yang dilakukan oleh masyarakat setempat maupun lembaga usaha

b. Ada ditemukan kegiatan pertanian/perkebunan dalam jumlah kecil dan dilakukan oleh masyarakat setempat dengan tujuan pemenuhan kebutuhan sendiri

c. Ada ditemukan kegiatan pertanian/perkebunan dengan beberapa jenis dalam jumlah kecil dan dilakukan oleh masyarakat setempat dengan tujuan pemenuhan kebutuhan sendiri.

d. Kegiatan pertanian/perkebunan dengan beberapa jenis tanaman dalam jumlah cukup besar dan dilakukan oleh masyarakat setempat maupun lembaga usaha dengan pola budidaya semi intensif

e. Kegiatan pertanian/perkebunan dengan beberapa jenis tanaman dalam jumlah sangat besar dan dilakukan oleh masyarakat setempat dan lembaga usaha dengan pola budidaya intensif

5. Apakah pernah dilakukan pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHNK) seperti buah, getah, satwa hutan, maupun tumbuhan bawah di sekitar kawasan hutan mangrove?

a. Tidak pernah dilakukan pemungutan HHNK oleh masyarakat setempat maupun lembaga usaha

b. Pernah dilakukan pemungutan HHNK sesekali oleh masyarakat setempat untuk kebutuhan sendiri

c. Sering dilakukan pemungutan HHNK oleh masyarakat setempat untuk kebutuhan sendiri.


(54)

lembaga usaha dan digunakan untuk tujuan komersial (dijual)

e. Dilakukan pemungutan HHNK tanpa kendali baik oleh masyarakat setempat maupun lembaga usaha tanpa adanya pengawasan

6. Bagaimanakah kegiatan sosialisasi/penyuluhan kepada masyarakat tentang pengelolaan hutan mangrove?

a. Tidak pernah dilakukan penyuluhan/sosialisasi.

b. Pernah dilakukan penyuluan/sosialisasi sesekali oleh salah satu elemen saja, misalnya pemerintah.

c. Kadang-kadang dilakukan penyuluhan/sosialisasi sedikitnya oleh salah satu pihak (pemerintah, lembaga masyarakat maupun elemen lainnya) secara parsial dan tidak terpadu.

d. Penyuluhan/sosialisasi dilakukan baik oleh pemerintah, lembaga swadaya maupun elemn kelembagaan lainnya namun kurang teratur dan kurang terprogram

e. Sangat sering dilakukan penyuluhan/sosialisasi baik oleh pemerintah, lembaga swadaya maupun lembaga lainnya serta dilakukan secara teratur dan terprogram

7. Bagaimanakah keberadaan industri pengolahan kayu bakau di desa Bpk/Ibu?

a. Tidak ada, dan harus di bawa ke industri pengolahan kayu bakau di kecamatan yang berbeda dengan waktu lebih dari 1 jam.

b. Tidak ada, dan harus dibawa ke industri pengolahan kayu bakau di desa yang berbeda dengan waktu maksimal 1 jam.

c. Terdapat industri pengolahan kayu bakau di sekitar kawasan ekosistem mangrove di desanya namun membutuhkan biaya transportasi tambahan

d. Terdapat industri pengolahan kayu bakau di sekitar kawasan ekosistem mangrove di desanya tanpa membutuhkan biaya transportasi tambahan

e. Terdapat industri pengolahan kayu bakau di sekitar kawasan ekosistem mangrove dan terdapat pilihan industri

8. Adakah kelompok/perkumpulan swadaya masyarakat di desa Bpk/Ibu yang terkait dengan pengelolaan ekosistem mangrove?

a. Tidak ada kelompok masyarakat dan tidak pernah berperan dalam pengelolaan mangrove

b. Terdapat 1 kelompok masyarakat namun tidak berperan dalam pengelolaan mangrove

c. Terdapat sedikitnya 1 kelompok masyarakat yang sesekali berperan dalam pengelolaan mangrove

d. Ada beberapa kelompok masyarakat dan berperan aktif dengan program masing-masing dalam pengelolaan mangrove

e. Ada beberapa kelompok masyarakat dan berperan sangat intensif dengan program yang terpadu dalam pengelolaan mangrove

9. Adakah lembaga swadaya masyarakat yang terkait dengan pengelolaan ekosistem mangrove?

a. Tidak ada lembaga swadaya masyarakat dan tidak pernah berperan dalam pengelolaan mangrove


(55)

b. Terdapat 1 lembaga swadaya masyarakat yang berperan sesekali dalam pengelolaan mangrove

c. Terdapat sedikitnya 1 lembaga swadaya masyarakat yang berperan secara insidentil dalam pengelolaan mangrove

d. Ada beberapa lembaga swadaya masyarakat dan berperan aktif dengan program masing-masing dalam pengelolaan mangrove e. Ada beberapa lembaga masyarakat dan berperan sangat intensif

dengan program yang terpadu dalam pengelolaan mangrove 10. Ibu mohon mengisi Ya/Tdk sesuai pertanyaan di

ah ini :

Ya Tdk

1. Ekosistem mangrove memiliki manfaat sebagai tempat berkembang biaknya berbagai jenis komoditi perikanan tangkap 2. Apabila hutan mangrove ditebang

menyebabkan penurunan sumber mata dan pendapatan pencaharian nelayan

3. Saya tahu dan bias menjelaskan bahwa pepohonan di hutan mangrove berperan dalam mencegah banjir dan perubahan iklim

4. Saya tahu dan bias menjelaskan bahwa air asin/payau yang tidak sampai ke perkampungan/areal pertanian dikarenakan adanya hutan manrove di sepanjang pantai 5. Saya tahu bagaimana cara memanfaatkan

kayu dari hutan mangrove tanpa menyebabkan hutannya rusak.


(56)

Lampiran 2. Output SPSS dengan Metode Enter (Y1) Variables Entered/Removedb

Model

Variables Entered

Variables

Removed Method

1 Tkt.Pemahaman, Lem.Masyarakat, Industri, Pertanian, HHNK, Pertambakan, Penebangan, Penyuluhan, Pengamanan, Kel.Masyarakata . Enter

a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: Tkt.Kerusakan

Model Summary

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .505a .255 .211 .82939

a. Predictors: (Constant), Tkt.Pemahaman, Lem.Masyarakat, Industri, Pertanian, HHNK, Pertambakan, Penebangan, Penyuluhan,

Pengamanan, Kel.Masyarakat

ANOVAb

Model

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 39.746 10 3.975 5.778 .000a

Residual 116.254 169 .688

Total 156.000 179

a. Predictors: (Constant), Tkt.Pemahaman, Lem.Masyarakat, Industri, Pertanian, HHNK, Pertambakan, Penebangan, Penyuluhan, Pengamanan, Kel.Masyarakat


(57)

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig. B Std. Error Beta

1 (Constant) 4.604 1.654 2.783 .006

Pengamanan .310 .103 .309 2.999 .003

Penebangan .059 .099 .053 .599 .550

Pertambakan -.097 .065 -.139 -1.485 .139

Pertanian -.042 .075 -.046 -.561 .576

HHNK -.080 .096 -.066 -.837 .404

Penyuluhan .189 .111 .173 1.703 .090

Industri -.429 .304 -.101 -1.411 .160

Kel.Masyarakat -.261 .144 -.215 -1.814 .071 Lem.Masyarakat -.051 .119 -.037 -.427 .670

Tkt.Pemahaman .015 .055 .020 .276 .783


(58)

Lampiran 3. Output SPSS dengan Metode Enter (Y2)

Variables Entered/Removedb

Model

Variables Entered

Variables

Removed Method 1 Tkt.Pemahaman,

Lem.Masyarakat, Industri, Pertanian, HHNK, Pertambakan, Penebangan, Penyuluhan, Pengamanan, Kel.Masyarakata . Enter

a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: Kesesuaian

Model Summary

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .417a .174 .125 1.48662

a. Predictors: (Constant), Tkt.Pemahaman, Lem.Masyarakat, Industri, Pertanian, HHNK, Pertambakan, Penebangan, Penyuluhan,

Pengamanan, Kel.Masyarakat

ANOVAb

Model

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 78.704 10 7.870 3.561 .000a

Residual 373.496 169 2.210

Total 452.200 179

a. Predictors: (Constant), Tkt.Pemahaman, Lem.Masyarakat, Industri, Pertanian, HHNK, Pertambakan, Penebangan, Penyuluhan, Pengamanan, Kel.Masyarakat


(59)

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig. B Std. Error Beta

1 (Constant) -1.583 2.965 -.534 .594

Pengamanan .300 .185 .175 1.617 .108

Penebangan .253 .177 .133 1.424 .156

Pertambakan .482 .117 .407 4.138 .000

Pertanian .113 .134 .073 .841 .402

HHNK -.133 .171 -.064 -.775 .440

Penyuluhan .213 .199 .114 1.072 .285

Industri .115 .545 .016 .211 .834

Kel.Masyarakat -.094 .258 -.046 -.365 .716

Lem.Masyarakat .667 .214 .285 3.117 .002

Tkt.Pemahaman -.139 .098 -.110 -1.423 .157


(1)

lembaga usaha dan digunakan untuk tujuan komersial (dijual)

e. Dilakukan pemungutan HHNK tanpa kendali baik oleh masyarakat setempat maupun lembaga usaha tanpa adanya pengawasan

6. Bagaimanakah kegiatan sosialisasi/penyuluhan kepada masyarakat tentang pengelolaan hutan mangrove?

a. Tidak pernah dilakukan penyuluhan/sosialisasi.

b. Pernah dilakukan penyuluan/sosialisasi sesekali oleh salah satu elemen saja, misalnya pemerintah.

c. Kadang-kadang dilakukan penyuluhan/sosialisasi sedikitnya oleh salah satu pihak (pemerintah, lembaga masyarakat maupun elemen lainnya) secara parsial dan tidak terpadu.

d. Penyuluhan/sosialisasi dilakukan baik oleh pemerintah, lembaga swadaya maupun elemn kelembagaan lainnya namun kurang teratur dan kurang terprogram

e. Sangat sering dilakukan penyuluhan/sosialisasi baik oleh pemerintah, lembaga swadaya maupun lembaga lainnya serta dilakukan secara teratur dan terprogram

7. Bagaimanakah keberadaan industri pengolahan kayu bakau di desa Bpk/Ibu?

a. Tidak ada, dan harus di bawa ke industri pengolahan kayu bakau di kecamatan yang berbeda dengan waktu lebih dari 1 jam.

b. Tidak ada, dan harus dibawa ke industri pengolahan kayu bakau di desa yang berbeda dengan waktu maksimal 1 jam.

c. Terdapat industri pengolahan kayu bakau di sekitar kawasan ekosistem mangrove di desanya namun membutuhkan biaya transportasi tambahan

d. Terdapat industri pengolahan kayu bakau di sekitar kawasan ekosistem mangrove di desanya tanpa membutuhkan biaya transportasi tambahan

e. Terdapat industri pengolahan kayu bakau di sekitar kawasan ekosistem mangrove dan terdapat pilihan industri

8. Adakah kelompok/perkumpulan swadaya masyarakat di desa Bpk/Ibu yang terkait dengan pengelolaan ekosistem mangrove?

a. Tidak ada kelompok masyarakat dan tidak pernah berperan dalam pengelolaan mangrove

b. Terdapat 1 kelompok masyarakat namun tidak berperan dalam pengelolaan mangrove

c. Terdapat sedikitnya 1 kelompok masyarakat yang sesekali berperan dalam pengelolaan mangrove

d. Ada beberapa kelompok masyarakat dan berperan aktif dengan program masing-masing dalam pengelolaan mangrove

e. Ada beberapa kelompok masyarakat dan berperan sangat intensif dengan program yang terpadu dalam pengelolaan mangrove

9. Adakah lembaga swadaya masyarakat yang terkait dengan pengelolaan ekosistem mangrove?

a. Tidak ada lembaga swadaya masyarakat dan tidak pernah berperan dalam pengelolaan mangrove


(2)

c. Terdapat sedikitnya 1 lembaga swadaya masyarakat yang berperan secara insidentil dalam pengelolaan mangrove

d. Ada beberapa lembaga swadaya masyarakat dan berperan aktif dengan program masing-masing dalam pengelolaan mangrove e. Ada beberapa lembaga masyarakat dan berperan sangat intensif

dengan program yang terpadu dalam pengelolaan mangrove 10. Ibu mohon mengisi Ya/Tdk sesuai pertanyaan di

ah ini :

Ya Tdk

1. Ekosistem mangrove memiliki manfaat sebagai tempat berkembang biaknya berbagai jenis komoditi perikanan tangkap 2. Apabila hutan mangrove ditebang

menyebabkan penurunan sumber mata dan pendapatan pencaharian nelayan

3. Saya tahu dan bias menjelaskan bahwa pepohonan di hutan mangrove berperan dalam mencegah banjir dan perubahan iklim

4. Saya tahu dan bias menjelaskan bahwa air asin/payau yang tidak sampai ke perkampungan/areal pertanian dikarenakan adanya hutan manrove di sepanjang pantai 5. Saya tahu bagaimana cara memanfaatkan

kayu dari hutan mangrove tanpa menyebabkan hutannya rusak.


(3)

Lampiran 2. Output SPSS dengan Metode Enter (Y1)

Variables Entered/Removedb

Model

Variables Entered

Variables

Removed Method

1 Tkt.Pemahaman,

Lem.Masyarakat, Industri,

Pertanian, HHNK, Pertambakan, Penebangan, Penyuluhan, Pengamanan, Kel.Masyarakata

. Enter

a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: Tkt.Kerusakan

Model Summary

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .505a .255 .211 .82939

a. Predictors: (Constant), Tkt.Pemahaman, Lem.Masyarakat, Industri, Pertanian, HHNK, Pertambakan, Penebangan, Penyuluhan,

Pengamanan, Kel.Masyarakat

ANOVAb

Model

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 39.746 10 3.975 5.778 .000a

Residual 116.254 169 .688

Total 156.000 179

a. Predictors: (Constant), Tkt.Pemahaman, Lem.Masyarakat, Industri, Pertanian, HHNK, Pertambakan, Penebangan, Penyuluhan, Pengamanan, Kel.Masyarakat


(4)

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig.

B Std. Error Beta

1 (Constant) 4.604 1.654 2.783 .006

Pengamanan .310 .103 .309 2.999 .003

Penebangan .059 .099 .053 .599 .550

Pertambakan -.097 .065 -.139 -1.485 .139

Pertanian -.042 .075 -.046 -.561 .576

HHNK -.080 .096 -.066 -.837 .404

Penyuluhan .189 .111 .173 1.703 .090

Industri -.429 .304 -.101 -1.411 .160

Kel.Masyarakat -.261 .144 -.215 -1.814 .071

Lem.Masyarakat -.051 .119 -.037 -.427 .670

Tkt.Pemahaman .015 .055 .020 .276 .783


(5)

Lampiran 3. Output SPSS dengan Metode Enter (Y2)

Variables Entered/Removedb

Model

Variables Entered

Variables

Removed Method

1 Tkt.Pemahaman,

Lem.Masyarakat, Industri,

Pertanian, HHNK, Pertambakan, Penebangan, Penyuluhan, Pengamanan, Kel.Masyarakata

. Enter

a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: Kesesuaian

Model Summary

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .417a .174 .125 1.48662

a. Predictors: (Constant), Tkt.Pemahaman, Lem.Masyarakat, Industri, Pertanian, HHNK, Pertambakan, Penebangan, Penyuluhan,

Pengamanan, Kel.Masyarakat

ANOVAb

Model

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 78.704 10 7.870 3.561 .000a

Residual 373.496 169 2.210

Total 452.200 179

a. Predictors: (Constant), Tkt.Pemahaman, Lem.Masyarakat, Industri, Pertanian, HHNK, Pertambakan, Penebangan, Penyuluhan, Pengamanan, Kel.Masyarakat


(6)

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig.

B Std. Error Beta

1 (Constant) -1.583 2.965 -.534 .594

Pengamanan .300 .185 .175 1.617 .108

Penebangan .253 .177 .133 1.424 .156

Pertambakan .482 .117 .407 4.138 .000

Pertanian .113 .134 .073 .841 .402

HHNK -.133 .171 -.064 -.775 .440

Penyuluhan .213 .199 .114 1.072 .285

Industri .115 .545 .016 .211 .834

Kel.Masyarakat -.094 .258 -.046 -.365 .716

Lem.Masyarakat .667 .214 .285 3.117 .002

Tkt.Pemahaman -.139 .098 -.110 -1.423 .157