Pemanfaatan Hidrolisat Lignoselulosa sebagai Bioherbisida untuk Pengendalian Gulma pada Padi Sawah dan Kelapa Sawit
PEMANFAATAN HIDROLISAT LIGNOSELULOSA SEBAGAI
BIOHERBISIDA UNTUK PENGENDALIAN GULMA PADA
PADI SAWAH DAN KELAPA SAWIT
BUSTANIL ARIFIN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pemanfaatan Hidrolisat
Lignoselulosa sebagai Bioherbisida untuk Pengendalian Gulma pada Padi Sawah
Dan Kelapa Sawit adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor
Bogor, Februari 2015
Bustanil Arifin
NIM A252120051
RINGKASAN
BUSTANIL ARIFIN. Pemanfaatan Hidrolisat Lignoselulosa sebagai Bioherbisida
untuk Pengendalian Gulma pada Padi Sawah dan Kelapa Sawit. Dibimbing oleh
HERDHATA AGUSTA, DWI GUNTORO dan MUHAMMAD SYAKIR.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui potensi hidrolisat lignoselulosa
sebagai bioherbisida dalam mengendalikan gulma pada padi sawah dan kelapa
sawit. Penelitian dilaksanakan di Green House Cikabayan dan Laboratorium
Ecotoxicology Waste and Bioagent, IPB Dramaga, Bogor, Jawa Barat pada bulan
Juni 2013 sampai Juli 2014. Penelitian ini terdiri dari 2 percobaan. Percobaan
pertama disusun dalam rancangan acak kelompok satu faktor dengan 6 perlakuan.
Perlakuan yang digunakan: kontrol (air), hidrolisat jerami padi 200 g l-1, hidrolisat
sekam padi 133 g l-1 + gas SO2, hidrolisat sekam padi 150 g l-1, hidrolisat
cangkang sawit 133 g l-1 + gas SO2, dan hidrolisat bagase tebu 200 g l-1.
Perlakuan diujikan ke gulma tanaman padi sawah pada 3 fase yaitu fase
preemergence dengan 4 ulangan, sedangkan early post emergence dan post
emergence dengan 3 ulangan. Pengujian juga dilakukan terhadap padi varietas
Ciherang pada fase preemergence dan early post emergence dengan 3 ulangan.
Percobaan kedua juga disusun dalam rancangan acak kelompok satu faktor
dengan 6 perlakuan. Perlakuan yang digunakan: kontrol (air), hidrolisat gambut
saprik 100 g l-1 + gas SO2, hidrolisat tongkol jagung 100 g l-1 + gas SO2, hidrolisat
cangkang sawit 171 g l-1, hidrolisat sekam padi 200 g l-1 dan hidrolisat serbuk
kayu 200 g l-1. Perlakuan diujikan ke gulma tanaman kelapa sawit pada 3 fase
yaitu: fase preemergence dengan 4 ulangan, early post emergence dan post
emergence dengan 3 ulangan. Peubah yang diamati pada fase preemergence
adalah jumlah total gulma yang berkecambah, persen penekanan, dan jumlah
spesies gulma yang berkecambah. Peubah yang diamati pada fase early post
emergence adalah tinggi gulma, daun normal, daun rusak, dan persen kerusakan.
Peubah yang diamati pada fase post emergence adalah tinggi gulma, daun normal,
daun rusak, kerusakan visual, bobot kering dan persen penekanan.
Hasil percobaan pertama menunjukkan bahwa semua perlakuan hidrolisat
lignoselulosa berpotensi sebagai bioherbisida preemergence yang ditunjukkan
dengan adanya penghambatan perkecambahan individu gulma total dan tingginya
persen penekanan perkecambahan gulma. Hidrolisat bagase tebu 200 g l-1
menunjukkan persen penekanan tertinggi sebesar 70% pada 1 minggu setelah
aplikasi (msa) terhadap perkecambahan gulma Fimbristylis miliacea (L) Vahl.,
sedangkan hidrolisat sekam padi 150 g l-1 pada 2 dan 3 msa menunjukkan persen
penekanan sebesar 44% dan 31% terhadap perkecambahan gulma total. Hidrolisat
sekam padi 133 g l-1 + gas SO2 mempunyai kemampuan penekanan
perkecambahan gulma total yang tidak berbeda nyata dengan hidrolisat lain
namun memberikan pengaruh penekanan perkecambahan terkecil pada benih padi
var. Ciherang fase preemergence. Semua perlakuan hidrolisat lignoselulosa juga
berpotensi sebagai bioherbisida fase early post emergence. Hidrolisat jerami padi
200 g l-1 menimbulkan kerusakan daun gulma F. miliacea 21%, Ludwigia
octovalvis (Jacq.) Raven 100%, dan Leptochloa chinensis (L.) Nees 50%,
sedangkan hidrolisat sekam padi 150 g l-1 menimbulkan kerusakan daun gulma
Echinochloa crus-galli (L.) Beauv 70%.
Semua perlakuan hidrolisat
lignoselulosa tidak memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan bibit padi var.
Ciherang fase early post emergence. Perlakuan hidrolisat lignoselulosa juga
berpotensi sebagai bioherbisida post emergence terhadap gulma F. miliacea, L.
octovalvis dan L. chinensis berdasarkan kerusakan pada daun gulma dan skor
kerusakan namun tidak mempengaruhi bobot kering gulma. Kerusakan yang
ditimbulkan menyerupai kerusakan akibat herbisida kontak yang ditandai dengan
gejala kelayuan dan bercak terbakar pada daun dalam waktu yang cepat setelah
aplikasi.
Hasil percobaan kedua menunjukkan hidrolisat tongkol jagung 100 g l-1 +
gas SO2, hidrolisat cangkang sawit 171 g l-1, hidrolisat sekam padi 200 g l-1 dan
hidrolisat serbuk kayu 200 g l-1 berpotensi sebagai bioherbisida preemergence
dengan menghambat perkecambahan gulma Axonopus compressus, Paspalum
conjugatum dan Borreria alata kecuali hidrolisat gambut saprik 100 g l-1 + gas
SO2. Hidrolisat tongkol jagung 100 g l-1 + gas SO2 memperlihatkan persen
penekanan tertinggi dari perlakuan yang lain pada minggu pertama 78%, minggu
kedua 47% dan minggu ketiga 44% setelah aplikasi. Perlakuan hidrolisat
lignoselulosa juga berpotensi sebagai bioherbisida fase early post emergence
berdasarkan peubah tinggi gulma, daun rusak dan persen kerusakan pada gulma A.
compressus, Eleusine indica, Cyperus kyllingia dan B. alata kecuali perlakuan
hidrolisat gambut saprik 100 g l-1 + gas SO2. Hidrolisat tongkol jagung 100 g l-1 +
gas SO2 memperlihatkan persen kerusakan tertinggi untuk gulma A. compressus
98% dan E. indica 100%. Hidrolisat sekam padi 200 g l-1 menyebabkan
kerusakan tertinggi pada gulma C. kyllingia 81% dan hidrolisat serbuk kayu 200 g
l-1 menyebabkan kerusakan tertinggi terhadap gulma B. alata 100%. Perlakuan
hidrolisat lignoselulosa berpotensi sebagai bioherbisida post emergence
berdasarkan kerusakan pada daun gulma dan skor kerusakan pada gulma A.
compressus, C. kyllingia, A. intrusa dan B. alata. Hidrolisat gambut saprik 100 g
l-1 + gas SO2 tidak berpotensi sebagai bioherbisida terhadap gulma A. compressus,
A. intrusa dan B. alata. Semua perlakuan hidrolisat lignoselulosa tidak
berpengaruh terhadap bobot kering gulma uji. Kerusakan yang ditimbulkan
menyerupai kerusakan akibat herbisida kontak.
Keywords: cangkang sawit, early post emergence, jerami padi, lignin,
Preemergence
SUMMARY
BUSTANIL ARIFIN. Utilization of Lignocellulosic Hydrolyzate as Bioherbicide
for Weeds Control in Rice Field and Palm Oil Plant. Supervised by HERDHATA
AGUSTA, DWI GUNTORO and MUHAMMAD SYAKIR.
The purpose of the study was to determine the potential of lignocellulosic
hydrolyzate as bioherbicide for weed control in the rice field and oil palm
plantations. This experiment was conducted at Cikabayan Green House and
Ecotoxicology Waste and Bioagent Laboratory, IPB, Dramaga Bogor, West Java
from June 2013 to July 2014. This study consisted of two experiments. The first
experiment was arranged in a randomized complete block design with 6 treatment
factors. The treatments used were control (water), rice straw 200 g l-1 hydrolyzate,
rice husk 133 g l-1 + SO2 gas hydrolyzate, rice husk 150 g l-1 hydrolyzate, oil palm
shell 133 g l-1 + SO2 gas hydrolyzate, and sugarcane bagase 200 g l-1 hydrolyzate.
The treatment was tested to weed rice crops in three phases namely preemergence,
with 4 replication, early post-emergence and post-emergence with 3 replications.
Tests were also conducted on the rice plant varieties Ciherang at preemergence
and early post emergence phase with 3 replications. The second experiment was
arranged in a randomized complete block design with 6 treatment factors. The
treatments used were control (water), sapric peat 100 g l-1 + SO2 gas hydrolyzate,
corn cobs 100 g l-1 + SO2 gas hydrolyzate, oil palm shell 171 g l-1 hydrolyzate,
rice husk 200 g l-1 hydrolyzate and saw dust 200 g l-1 hydrolyzate. The treatment
was tested to weed of palm oil plant in 3 phases namely preemergence with 4
replications, early post-emergence and post-emergence with 3 replications.
Variables measured at preemergence phase were the total number of germinated
weeds, suppression percentage, and number of germinated weed species. The
observation variables in early post-emergence phase were weed height, normal
leaf, damaged leaf and percentage of damage. Parameters observed in the phase
of post-emergence were weed height, normal leaf, damaged leaf, visual
impairment, dry weight and suppression percentage.
The first experiment results showed that all lignocellulosic hydrolyzate
solution had potency as preemergence bioherbicide indicated by inhibited of total
individual weed germination and very high of percentage of suppression weed
germination. Sugarcane bagase 200 g l-1 hydrolyzate showed the highest of
suppression percentage of 70% at 1 week after application (waa), especially on the
germination of Fimbristylis miliacea (L) Vahl., while rice husks 150 g l-1
hydrolyzate at 2 and 3 waa showed the suppression percentage by 44% and 31%
of the total weed germination. Rice husk 133 g l-1 + SO2 gas hydrolyzate was not
significantly different at suppression ability of total weed germination than other
treatments but it gave smallest germination suppression effect for rice seed var.
Ciherang at preemergence phase. All lignocellulosic hydrolyzate also had
potency as bioherbicide at early post-emergence phase. Rice straw 200 g l-1
hydrolyzate caused damage 21% to weed leaf of F. miliacea, 100% of Ludwigia
octovalvis (Jacq.) Raven 100%, and 50% Leptochloa chinensis (L.) Nees, while
the rice husk 150 g l-1 hydrolyzate caused damage 70% to weed leave of
Echinochloa crus-galli leaves (L.) Beauv 70%. All lignocellulosic hydrolyzate
did not affect rice seedlings var. Ciherang growth at early post-emergence phase.
Lignocellulosic hydrolyzate also had potency as bioherbicide at post-emergence to
F. miliacea, L. octovalvis and L. chinensis weeds based on leaves weed damage
and highest score of damage but did not significantly affect the dry weight of
weeds. The bioherbicide effect had a similar mechanism as contact herbicide
which is characterized by symptoms of withering and splotches of burning on the
leaves in a short time after application.
The results of second experiment showed that corn cobs 100 g l-1 + SO2 gas
hydrolyzate, oil palm shell 171 g l-1 hydrolyzate, rice husk 200 g l-1 hydrolyzate
and saw dust 200 g l-1 hydrolyzate had potency as bioherbicide at preemergence
by inhibiting weeds germination of Axonopus compressus, Paspalum conjugatum
and Borreria alata except sapric peat 100 g l-1 + SO2 gas hydrolyzate. Corn cob
100 g l-1 + SO2 gas hydrolyzate showed the highest of suppression percentage than
other treatments of 78%, 47% and 44% at first, second, and third week after
aplication respectively. Lignocellulosic hydrolyzate treatments also had potency
as bioherbicide at early post-emergence phase based on weed height, leaves
damaged and percentage of leaves weed damage to A. compressus, Eleusine
indica, Cyperus kyllingia and B. alata weeds except sapric peat 100 gl 1 + SO2
gas hydrolyzate. Corn cob 100 g l-1 + SO2 gas hydrolyzate showed the highest of
damage percentage of A. compressus and Eleusine indica weeds by 98% and
100% respectively. Rice husk 200 g l-1 hydrolyzate caused highest damage of
Cyperus kyllingia weed by 81% and saw dust 200 g l-1 hydrolyzate caused highest
damage of B. alata weed by 100%. Lignocellulosic hydrolyzate treatments also
had potency as bioherbicide at post-emergence A. compressus, C. kyllingia, A.
intrusa and B. alata weeds based on leaves weed damage and highest score of
damage. Sapric peat 100 g l-1 + SO2 gas hydrolyzate had no potency as a postemergence bioherbicide to A. compressus, A. intrusa and B. alata weeds. All
lignocellulosic hydrolyzate treatments did not significantly affect the dry weight
of weeds. The bioherbicide effect had a similar mechanism as contact herbicide.
Keywords: early post emergence, oil palm shell, lignin, preemergence, rice straw
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PEMANFAATAN HIDROLISAT LIGNOSELULOSA SEBAGAI
BIOHERBISIDA UNTUK PENGENDALIAN GULMA PADA
PADI SAWAH DAN KELAPA SAWIT
BUSTANIL ARIFIN
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agronomi dan Hortikultura
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis :
Dr Ir Dwi Setyaningsih, MSi
Judul Tesis : Pemanfaatan Hidrolisat Lignoselulosa sebagai Bioherbisida untuk
Pengendalian Gulma pada Padi Sawah dan Kelapa Sawit
Nama
: Bustanil Arifin
NIM
: A252120051
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Herdhata Agusta
Ketua
Dr Dwi Guntoro, SP, M.Si
Anggota
Dr Ir Muhammad Syakir, MS
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Agronomi dan Hortikultura
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Maya Melati, MS, M.Sc
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 9 Januari 2015
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa
ta’ala atas limpahan karunia dan rahmat-Nya sehingga tesis ini dapat penulis
selesaikan yang berjudul “Pemanfaatan Hidrolisat Lignoselulosa sebagai
Bioherbisida untuk Pengendalian Gulma pada Padi Sawah dan Kelapa Sawit”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Ir Herdhata Agusta, Dr Dwi
Guntoro, SP, M.Si dan Dr Ir Muhammad Syakir, MS selaku pembimbing tesis
yang telah memberikan masukan dan saran untuk pelaksanaan penelitian.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua Orang Tua, saudarasaudaraku atas do’a dan dorongan semangat selama perkuliahan dan penelitian.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman Pascasarjana
Program Studi Agronomi dan Hortikultura angkatan 2012 serta kepada semua
pihak yang telah membantu namun tidak dapat disebutkan satu per satu.
Semoga karya tulis ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang
memerlukannya.
Bogor, Februari 2015
Bustanil Arifin
DAFTA R ISI
DAFTAR TABEL
i
DAFTAR GAMBAR
ii
DAFTAR LAMPIRAN
iii
RINGKASAN
iv
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Hipotesis
1
1
2
3
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
Sumber Lignoselulosa
Gulma
Alelokimia
4
4
5
6
3 METODE
Bahan
Alat
Lokasi dan Waktu Penelitian
Prosedur Analisis Data
Pelaksanaan Penelitian
8
8
8
8
9
10
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan
13
13
24
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
28
28
28
DAFTAR PUSTAKA
29
LAMPIRAN
32
RIWAYAT HIDUP
49
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Kandungan senyawa kimia larutan hidrolisat lignoselulosa berdasarkan
persen area dan gugus fungsi pada konsentrasi 67 g l-1
Pengaruh perlakuan terhadap jumlah individu gulma total tanaman padi
fase preemergence
Pengaruh perlakuan terhadap jumlah spesies gulma pada tanaman padi
fase preemergence
Pengaruh perlakuan terhadap perkecambahan benih padi var. Ciherang
fase preemergence
Pengaruh perlakuan terhadap pertumbuhan benih padi var. Ciherang
fase preemergence
Pengaruh perlakuan terhadap jumlah total gulma tanaman kelapa sawit
fase preemergence
Pengaruh perlakuan terhadap jumlah spesies gulma kelapa sawit fase
Preemergence
Pengaruh perlakuan terhadap gulma pada tanaman padi sawah fase early
post emergence
Pengaruh perlakuan terhadap bibit padi var. Ciherang pada fase early
post emergence
Pengaruh perlakuan terhadap gulma kelapa sawit fase early post
emergence
Pengaruh perlakuan terhadap gulma pada tanaman padi sawah fase post
emergence
Pengaruh perlakuan terhadap bobot kering gulma pada padi sawah fase
post emergence
Pengaruh perlakuan terhadap gulma kelapa sawit fase post emergence
Pengaruh perlakuan terhadap bobot kering gulma kelapa sawit fase post
emergence
14
16
16
16
17
18
18
19
20
20
22
22
23
24
DAFTAR GAMBAR
1
Peta sebaran persentase produksi tanaman pangan dan perkebunan pada
4 pulau besar di Indonesia (data statistik Kementan RI, 2014)
2 Persiapan bahan lignoselulosa (cangkang sawit )
3 Peralatan hidrolisis larutan lignoselulosa
4 Pengaruh perlakuan sekam padi 150 g l-1 dan kontrol
5 Pengaruh perlakuan terhadap perkecambahan benih padi var. Ciherang
pada 6 hsa
6 Pengaruh perlakuan tongkol jagung 100 g l-1 + gas SO2 dan kontrol
7 Pengaruh perlakuan terhadap pertumbuhan anakan gulma L.octovalvis
fase early post emergence pada 6 hsa
8 Pengaruh perlakuan terhadap pertumbuhan anakan gulma B. alata fase
early post emergence pada 6 hsa
9 Pengaruh perlakuan terhadap pertumbuhan anakan gulma L.chinensis
fase post emergence 6 hsa
10 Pengaruh perlakuan terhadap pertumbuhan anakan gulma A. intrusa fase
post emergence pada 6 hsa
5
10
11
15
17
18
19
21
21
23
DAFTAR LAMPIRAN
1
Produksi tanaman pangan dan perkebunan Indonesia pada Tahun 2012
(ton)
2 Kandungan senyawa kimia larutan hidrolisat lignoselulosa berdasarkan
persen area dan gugus fungsi pada konsentrasi 67 g l-1
3 Grafik waktu retensi (menit) larutan hidrolisat lignoselulosa hasil
analisis Gas Chromatography – Mass Spectrometry (GC-MS)
4 Gulma yang berkecambah pada uji larutan hidrolisat lignoselulosa fase
preemergence
5 Pengaruh larutan hidrolisat lignoselulosa terhadap gulma padi sawah
pada fase preemergence
6 Pengaruh larutan hidrolisat lignoselulosa terhadap perkecambahan benih
padi var. Ciherang pada fase preemergence
7 Pengaruh larutan hidrolisat lignoselulosa terhadap gulma pada kelapa
sawit fase preemergence
8 Pengaruh larutan hidrolisat lignoselulosa terhadap gulma F. miliacea, E.
crus-galli, L. chinensis,dan L. octovalvis fase early post emergence
9 Pengaruh perlakuan hidrolisat lignoselulosa terhadap bibit padi var.
Ciherang fase early post emergence
10 Pengaruh perlakuan hidrolisat lignoselulosa terhadap gulma A.
compressus, E. indica, C. kyllingia, dan B. alata fase early post
emergence
11 Pengaruh perlakuan hidrolisat lignoselulosa terhadap gulma F. miliacea,
L. chinensis, dan L. octovalvis fase post emergence
12 Pengaruh larutan hidrolisat lignoselulosa terhadap gulma A. compressus,
C. kyllingia, B. alata, dan A. intrusa fase post emergence
32
33
35
38
39
39
40
40
42
43
45
46
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Negara Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang memiliki lahan
pertanian yang luas. Secara statistik luasan tanaman padi mencapai 13.8 juta ha
pada tahun 2013 kemudian diikuti ubi kayu, jagung dan tanaman pangan yang lain.
Perkebunan kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan yang terluas dimana
tahun 2012 mencapai 9.5 juta ha diikuti oleh tanaman kelapa, karet dan tanaman
perkebunan yang lain (Kementan RI 2014). Peningkatan produksi Pertanian akan
diikuti dengan limbah yang dihasilkan selama panen maupun waktu pengolahan.
Limbah padat dari kegiatan pertanian terutama tanaman pangan dan perkebunan
jika tidak di tangani dengan baik dapat menjadi sumber pencemaran lingkungan
akibat dari pembakaran maupun proses dekomposisi bahan organik yang tidak
terkontrol sehingga meningkatnya pencemaran udara akibat emisi gas CH4 dan
CO2. Limbah padat tanaman pangan dan perkebunan berupa lignoselulosa
merupakan sumber bahan organik terbarukan. Lignoselulosa umumnya memiliki
komposisi selulosa sebesar 40 - 50% dari berat kering bahan, hemiselulosa
menempati 20 - 30% dan sisanya adalah lignin 10 - 25% (Saha 2004; Menon &
Rao 2012).
Ketersediaan lignoselulosa yang melimpah, terutama dari tanaman pertanian,
perkebunan dan kehutanan menjadikan bahan ini terus dicari nilai tambahnya
melalui proses konversi baik proses fisika, kimia maupun biologi. Sumber
lignoselulosa terbesar terdapat pada tanaman padi, jagung, kelapa sawit, dan tebu.
Menurut Kementan RI (2014) pada tahun 2013 produksi padi nasional mencapai
71.27 juta ton gabah kering giling, produksi jagung mencapai 18.5 juta ton
sedangkan untuk tanaman perkebunan produksi kelapa sawit nasional tahun 2012
mencapai 25.20 juta ton Tandan Buah Segar (TBS) dan tebu mencapai 2.59 juta
ton. Menurut Kim dan Dale (2004) potensi jerami kurang lebih 1.4 kali dari hasil
panen, berarti terdapat 99.7 juta ton jerami yang dihasilkan pada tahun 2013.
Menurut Richana et al. (2007) tongkol jagung diperkirakan 40 – 50% dari berat
jagung bertongkol, maka akan terdapat 8.3 juta tongkol jagung pada tahun 2013.
Menurut Misran (2005) bagase tebu yang dihasilkan oleh pabrik gula sebesar 35 40% dari setiap tebu yang diproses, maka pada tahun 2012 akan terdapat 1 juta
ton bagase tebu. Kurniati (2008) pabrik kelapa sawit menghasilkan limbah tandan
kosong sebesar 22% dari TBS yang diolah dan 7% adalah cangkang sawit maka
akan ada 388 ribu ton cangkang sawit pada tahun 2012. Potensi limbah padat
maupun cair tergantung jenis dan varietas serta proses pasca panen yang
dilakukan terhadap tanaman tersebut.
Peningkatan produksi dapat diwujudkan dengan budidaya tanaman yang
baik. Salah satu permasalahan yang terjadi pada awal penanaman sampai akhir
adalah kompetisi tanaman dengan gulma dalam pemanfaatan unsur hara yang
terbatas maupun sumber cahaya matahari sehingga kehadiran gulma dapat
menimbulkan kerugian baik secara langsung maupun tidak langsung. Kompetisi
akan terjadi ketika interaksi antara tanaman dengan gulma memperebutkan faktor
tumbuh yang kurang tersedia. Menurut Guntoro et al. (2009) gulma E. crus-galli
dengan populasi 4 gulma pot-1 menyebabkan jumlah anakan padi menurun hingga
2
53.8% dan penurunan kepadatan malai padi sebesar 50.1% kerugian yang
ditimbulkan juga tergantung dari ekotipe gulma E. crus-galli. Gulma pada
perkebunan kelapa sawit mengakibatkan terjadinya kompetisi dalam
memanfaatkan unsur hara dan air serta kemungkinan gulma menjadi tanaman
inang bagi hama atau penyakit, dapat menghambat jalan para pekerja selain itu
juga gulma akan menambah biaya produksi untuk perawatan dan pengendalian
gulma.
Berkurangnya tenaga kerja mendorong petani beralih menggunakan
herbisida sintetik dalam mengendalikan gulma karena dinilai lebih efisien, murah
dan cepat akan tetapi penggunaan herbisida sintetik yang tidak tepat dapat
berakibat buruk seperti pencemaran lingkungan, sumber air, kerusakan tanah, dan
keracunan akibat residu pestisida pada produk pertanian sehingga perlu alternatif
lain dalam pengendalian gulma, salah satunya pembuatan herbisida alami
berbahan baku lignoselulosa. Herbisida dari bahan alami merupakan suatu
alternatif yang bijaksana karena lebih mudah terurai dibandingkan dengan
senyawa sintetik, untuk mengantisipasi keadaan tersebut para peneliti mencoba
menggunakan bahan alami sebagai pengganti bahan - bahan sentetik. Senyawa
kimia yang berasal dari alam, terutama tumbuhan mempunyai peluang yang cukup
besar untuk menggantikan produk sintetik, karena senyawa dari bahan alam
mengalami degradasi lebih cepat dibandingkan dengan bahan sintetik. Beberapa
penelitan yang mendukung yaitu: El-Rokiek et al. (2010) menyatakan umbi dan
tajuk Cyperus rotundus mengandung senyawa fenolat dan menekan pertumbuhan
E. crus-galli.; dan Delsi (2012) menyatakan bahwa senyawa alelopati C. rotundus
dapat menekan perkecambahan biji gulma berdaun lebar yaitu: Asystasia
gangetica, Mimosa pigra, Borreria alata. Penggunaan senyawa alelokimia dari
degradasi lignoselulosa bermanfaatkan untuk pengendalian gulma dan berpotensi
dikembangkan sebagai bioherbisida, hal tersebut akan mendukung teknologi
budidaya tanaman ramah lingkungan.
Perumusan Masalah
Limbah pertanian berupa lignoselulosa berpotensi dimanfaatkan dalam
penyediaan senyawa kimia yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Lignoselulosa
selama ini lebih banyak dimanfaatkan sebagai sumber karbon untuk bahan bakar
dalam industri, hal ini disebabkan sulitnya memutuskan ikatan antara selulosa,
hemiselulosa dan lignin. Degradasi lignoselulosa dapat dilakukan secara fisika,
fisika kimia, kimia dan biologi metode - metode tersebut dapat mempercepat
proses hidrolisis untuk menghasilkan etanol. Hidrolisis merupakan proses
pemecahan polisakarida, yaitu selulosa dan hemiselulosa sehingga menjadi
monomer gula penyusunnya. Tahap awal dalam hidrolisis lignoselulosa terlebih
dahulu biomassa dikeringkan dan kemudian dilakukan penghalusan untuk
memperluas permukaan biomassa agar membantu pelepasan ikatan lignin
terhadap selulosa dan hemiselulosa.
Lignin merupakan senyawa yang sulit terdekomposisi secara alami, dalam
keadaan anaerob akan terdegradasi secara bertahap dan terdekomposisi
membentuk asam dan gugus fenolat. Lahan gambut adalah satu contoh proses
degradasi lignin secara lambat yang dapat ditemukan di kawasan tepi pantai di
pulau Sumatera, Kalimantan dan Papua. Produk fenolat yang dihasilkan terdiri
3
atas asam kumarat, asam ferulat, asam hidroksibensoat, dan asam vanilat.
Gambut merupakan sumber daya alam dengan kandungan lignin hingga 57%, di
daerah Air Sugihan kandungan gugus fenolat hingga 140 ppm (Agusta et al.
2002). Degradasi lignoselulosa secara anaerob akan menghasilkan beberapa
senyawa antara lain adalah asam butirat, asam format, asam laktat, CH4, H2S,
etilen, dan asam-asam organik lainnya seperti asam-asam fenolat dimana sebagian
besar asam-asam tersebut bersifat racun bagi tanaman (Tsusuki & Kondo 1995).
Menurut Ningsih et al. (2012) hidrolisis menggunakan asam sulfat pekat pada
suhu 121 OC selama 60 menit dapat memicu terbentuknya inhibitor bersifat racun
dimana glukosa akan terdegradasi membentuk hydroxymethylfurfural, sedangkan
degradasi lignin akan membentuk senyawa-senyawa fenol.
Limbah lignoselulosa (cangkang sawit, jerami padi, sekam padi, tongkol
jagung, bagase tebu, serbuk kayu dan gambut) berpotensi sebagai bahan baku
untuk memproduksi bioherbisida sebagai pengganti herbisida sintetik.
Ketersediaan lignoselulosa yang melimpah dan tersedia sepanjang tahun
merupakan potensi yang harus dapat dimanfaatkan secara maksimal. Kurangnya
informasi menjadi kendala dalam pemanfaatan limbah lignoselulosa sebagai
bahan baku bioherbisida terutama cara memproduksi senyawa fenolat yang tepat
dan efisien sebagai alternatif pengendalian gulma ramah lingkungan. Penelitian
pemanfaatan limbah lignoselulosa dengan teknik hidrolisis pada suhu 280 OC dan
gas SO2 dalam tabung reaktor vakum udara diharapkan dapat mendegradasi lignin
menjadi senyawa fenolat yang berpotensi sebagai bioherbisida.
Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan untuk mengetahui potensi hidrolisat limbah
lignoselulosa (jerami padi, sekam padi, cangkang sawit, bagase tebu, tongkol
jagung, gambut saprik dan serbuk kayu) sebagai bioherbisida untuk
mengendalikan gulma pada tanaman padi sawah dan gulma pada tanaman kelapa
sawit.
Hipotesis
Berdasarkan tujuan yang telah dirumuskan, maka disusunlah hipotesis
sebagai berikut:
1. Limbah Pertanian yang berlignoselulosa dapat dihidrolisis menjadi Bio
Herbisida.
2. Bioherbisida berbahan baku lignoselulosa dapat mengendalikan pertumbuhan
gulma baik pra tumbuh (preemergence), awal pasca tumbuh (early post
emergence) dan pasca tumbuh (post emergence).
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
Sumber Lignoselulosa
Saat ini nilai tambah dari limbah pertanian yang berupa lignoselulosa
sangat rendah sekali. Limbah lignoselulosa tanaman padi berupa jerami (batang,
daun dan tangkai malai) dan sekam padi. Tanaman jagung berupa berangkasan,
kelobot, dan tongkol jagung. Tanaman kelapa sawit berupa tandan kosong,
pelepah, batang tua, serat dan cangkang kelapa sawit sedangkan pada tanaman
tebu berupa bagase dan daun tebu. Lignoselulosa merupakan komponen struktur
utama dari tanaman berkayu dan tidak berkayu yang terdiri dari selulosa,
hemiselulosa dan lignin. Lignoselulosa merupakan komponen organik yang
melimpah di alam. Menurut Prassad et al. (2007) jerami padi memiliki
kandungan selulosa 29 – 34%, hemiselulosa 23 - 25% dan lignin 17 – 19%.
Sekam padi memiliki kandungan selulosa 28 – 35%, hemiselulosa 11 – 29% dan
lignin 15 – 20% (Abbas et al. 2010). Tongkol jagung mengandung selulosa 45%,
hemiselulosa 35% dan lignin 15% (Howard et al. 2003). Bagase tebu
mengandung selulosa 52.7%, hemiselulosa 20% dan lignin 24.2% (Samsuri et al.
2007). Cangkang kelapa sawit mengandung selulosa 26.6%, hemiselulosa 27.7%
dan lignin 29.4% (Lim et al. 2012). Limbah lignoselulosa dari tanaman berkayu
menurut Howard et al. (2003) mengandung selulosa 40 – 55%, hemiselolosa 24 –
40% dan lignin 18 – 25%. Besaran persentase kandungan senyawa selulosa,
hemiselulosa dan lignin tidak tetap karena sangat dipengaruhi usia, bagian
tanaman dan lokasi sumber bahan lignoselulosa.
Ketersedian limbah lignoselulosa yang berlimpah dan pemanfaatan tidak
menyebabkan peningkatan harga pangan merupakan suatu nilai tambah bagi
Indonesia. Menurut Kementan RI (2014) berdasarkan data statistik angka tetap
2012 terhadap produksi tanaman padi, jagung, kelapa sawit dan tebu (lampiran 1).
Produksi tanaman kelapa sawit paling tinggi terdapat di pulau Sumatera dan pulau
Kalimantan dengan persentase sebesar 71.6% dan 25.5%, pada pulau Sulawesi
persentase produksi tertinggi oleh jagung 15.2% sedangkan pulau Jawa produksi
secara persentase nasional tertinggi adalah tanaman padi 52.9%, jagung 55.3%
dan tebu 63.7%. (Gambar 1). Peningkatan produksi suatu tanaman akan selalu
diikuti oleh peningkatan limbah pertanian. Limbah pertanian yang berupa
lignoselulosa berpeluang menjadi penggerak peningkatan ekonomi rakyat
yang berbasis pertanian.
Peluang untuk meningkatkan ekonomi para petani dari limbah pertanian
didukung oleh ketersediaan sumber bahan baku yang selalu tersedia sepanjang
tahun dan tersebar hampir merata disetiap provinsi di Indonesia terutama tanaman
padi dan kelapa sawit. Pemerintah saat ini haruslah dapat melihat limbah
pertanian sebagai suatu peluang dan bukan hanya menjadikan sebuah isu politik
dalam pemberdayaan masyarakat tani. Pemerintah dituntut untuk mendukung
pengembangan pemanfaatan limbah lignoselulosa melalui riset, pelatihan praktis,
pendanaan, dan pasar sehingga konsep ekonomi kerakyatan yang berkelanjutan
dapat terwujud dengan mengedepankan produksi yang ramah lingkungan dan
komersil.
Pemanfaatan limbah lignoselulosa akan menciptakan lapangan
6
tetapi dilapangan gulma dari spesies yang sama kadangkala memberikan respon
yang berbeda terhadap herbisida tertentu akibat dari kondisi lingkungan tumbuh
yang tidak sama, ternaungi atau tidak, fase tumbuh yang tidak sama (kecambah
dan dewasa) akan memberikan respon yang berbeda apalagi antar jenis gulma
walaupun dalam satu golongan. Gulma dari spesies yang sama terkadang
menunjukkan respon yang berbeda terhadap herbisida apalagi antar jenis gulma.
Berdasarkan respon gulma terhadap herbisida tersebut, maka gulma dapat
digolongkan menjadi:
a.
Gulma rumputan (grasses)
Semua jenis gulma yang termasuk dalam famili poaceae atau gramineae
adalah kelompok rumput-rumputan dengan ciri utama yaitu tulang daun
sejajar dengan tulang daun utama, berbentuk pita, dan terletak berselang
seling pada ruas batang dengan batang berbentuk silindris beruas dan
berongga.
b.
Gulma golongan tekian (sedges)
Gulma ini termasuk dalam golongan tekian gulma yang termasuk dalam
golongan ini memiliki ciri utama letak daun berjejal pada pangkal batang,
bentuk daun seperti pita, tangkai bunga tidak beruas dan berbentuk silindris,
segi empat atau segitiga.
c.
Gulma golongan berdaun lebar (broadleaves)
Gulma yang tidak termasuk di dalam famili poaceae dan cyperaceae adalah
gulma daun lebar dimana ciri-ciri gulma ini sangat beragam tergantung
familinya akan tetapi secara umum daun gulma golongan ini adalah lonjong,
bulat menjari, atau berbentuk hati dengan akar tunjang maupun serabut
Kropff dan Moody (1992) menyatakan hasil pertanian hilang sebesar 10%
akibat terjadinya kompetisi antara gulma dengan tanaman hanya karena sumber
cahaya, jika dibiarkan tak terkendali penurunan hasil tanaman mencapai kisaran
20 - 100% tergantung jenis tanaman dan lingkungan. Gulma sebagai salah satu
komponen ekosistem pertanian memiliki pengaruh negatif terhadap tanaman
pertanian baik secara langsung maupun tidak langsung walaupun kadang kala
pengendalian gulma tidak selamanya memberikan pengaruh positif terhadap
tanaman budidaya oleh karena itulah petani diharapkan melakukan pengendalian
gulma secara bijaksana dengan memperhatikan keseimbangan ekosistem
pertanaman.
Alelokimia
Saat ini permintaan pasar terhadap produk organik semakin meningkat
seiring dengan tingginya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan. Pemerintah
melalui Kementrian Pertanian telah mencanangkan “Go Organik 2010” dengan
target capaian menjadikan Indonesia sebagai salah satu produsen organik terbesar
dunia. Budidaya organik untuk mendukung hidup sehat dan lingkungan yang
berkelanjutan dimulai dari tahap awal produksi, pemprosesan, penyimpanan,
transformasi dan distribusi sesuai sistem produksi organik yang ditetapkan oleh
pemerintah maupun organisasi internasional bagi komoditi yang akan di ekspor.
Permasalahan dalam budidaya tanaman organik adalah pengendalian Organisme
Pengganggu Tumbuhan (OPT) yang meliputi hama, penyakit dan gulma. Gulma
merupakan OPT yang sepanjang hidup tanaman utama selalu hadir dalam tiap fase
7
kehidupan tanaman utama dari pratanam sampai panen. Keterbatasan tenaga kerja
dan efisiensi menyebabkan petani meninggalkan pengendalian gulma secara
mekanik dan beralih ke pengendalian secara kimia yaitu penggunaan herbisida
sintetik. Penggunaan herbisida sintetik yang tidak sesuai dosis dan serampangan
mengakibatkan tercemarnya produk hasil pertanian sehingga tidak aman untuk
dikonsumsi. Bahan pangan organik harus diproduksi dengan tidak menggunakan
input sintetik modern seperti pestisida, pupuk anorganik dan Genetically Modified
Organism (GMO) hal inilah mendorong para peneliti untuk mencari alternatif
pengendalian gulma yang ramah terhadap lingkungan salah satunya menggunakan
senyawa alelokimia yang bersifat racun terhadap gulma.
Junaedi et al. (2006) menyatakan pada tahun 1994 telah dibentuk asosiasi
berskala internasional dengan nama International Allelopathy Society (IAS)
sehingga alelopati telah menjadi bagian keilmuan tersendiri. Alelopati berasal
dari kata allelon (saling) dan pathos (menderita), seiring dengan perkembangan
penelitian alelopati didefinisikan sebagai pengaruh langsung ataupun tidak
langsung oleh tumbuhan terhadap tumbuhan yang lain maupun terhadap
mikroorganisme, baik berupa penghambatan maupun perangsangan terhadap
pertumbuhan akibat adanya senyawa alelokimia yang dilepaskan oleh tumbuhan
ke lingkungan melalui penguapan, pencucian, eksudasi akar, dekomposisi residu
tanaman, dan proses alami lainnya berupa senyawa seperti fenolat, flavonoid,
alkaloid, terpenoid dan glikosida sianogen (Einhellig, 1995; Rice, 1995).
Senyawa alelokimia dapat dihasilkan dari gulma, tanaman pangan, tanaman
perkebunan, tanaman kehutanan dan tanaman hortikultura yang berlignoselulosa.
Beberapa penelitian mengenai senyawa alelokimia yang berpotensi sebagai
bioherbisida: Syakir (2005) menyatakan pengomposan limbah sagu selama 1 – 2
bulan menghasilkan beberapa jenis asam fenolat yaitu asam kumarat, asam phidroksibenzoat, asam vanilat, ferulat, sinapat dan siringat dimana peningkatan
senyawa tersebut maka akan diikuti dengan semakin menurunnya kandungan
lignin.; Khaliq et al. (2012) menyatakan senyawa alelopati sorgum dan bunga
matahari dapat mengendalikan gulma Euphorbia dracunculoides L.; Dilipkumar
et al. (2013) menyatakan senyawa alelopati dari daun bunga tanaman bunga
matahari dapat menghambat perkecambahan gulma; Nongmaithem et al. (2012)
melakukan pengujian senyawa alelopati dari ektrak tanaman kacang-kacangan dan
beberapa ektrak gulma seperti Ageratum conyzoides, Blumea lacera, Ocimum
sanctum, Physalis minima dan Amaranthus tricolor yang memperlihatkan
kemampuan sebagai bioherbisida.
Lignoselulosa yang tersusun atas selulosa, hemiselulosa dan lignin dapat
diproses menghasilkan banyak senyawa kimia yang bermanfaat bagi manusia.
Menurut Mosier et al. (2005) selulosa secara enzimatis dapat menjadi glukosa
sedangkan hemiselulosa akan terurai menjadi senyawa gula sederhana yaitu:
glukosa, galaktosa, mamosa dan heksosa, jika difermentasikan lebih lanjut dapat
menghasilkan etanol. Menurut Chung et al. (2002); Berendji et al. (2008) ektrak
sekam padi yang diproses secara enzimatis mengandung empat senyawa turunan
fenolat yaitu asam ferulat, asam ρ-hidroksibenzoat, asam ρ-kumarat dan asam mkumarat yang dapat menekan pertumbuhan gulma E. crus-galli. Pemanfaatan
limbah lignoselulosa pada industri dilakukan dengan teknik hidrolisis pada suhu
tertentu sehingga menghasilkan produk seperti gula, bahan kimia, bahan bakar
cair, sumber karbon, industri kertas dan energi (Riyanti 2009; Hermiati et al.
8
2010; Herawati & Wibawa 2010).
Menurut Sjostrom (1995) degradasi
lignoselulosa menjadi asam asetat dan fenol dapat dilakukan pada suhu tinggi
dengan peruraian sebagai berikut: hemiselulosa terdegradasi pada 200 – 260 OC,
selulosa pada 240 – 350 OC dan lignin pada suhu 280 - 500 OC. Lignin pada
proses hidrolisis menjadi penghambat untuk meningkatkan hasil glukosa dan gula
sederhana lainnya karena lignin mengikat kuat selulosa dan hemiselulosa dan
apabila terdegradasi lanjut akan menghasilkan senyawa fenolat. Menurut
Oudejans (1991) senyawa turunan fenolat merupakan racun oksidasi di dalam sel
yang mencegah pembentukan ATP sehingga menyebabkan membran sel larut dan
rusak. Sedangkan menurut Einhellig (1995) senyawa fenolat pada tumbuhan
dapat mempengaruhi aktivitas metabolisme meliputi pembelahan dan
pemanjangan sel, pengaturan pertumbuhan akibat terganggunya proses
pengambilan hara, fotosintesis, respirasi, pembukaan stomata, sintesis protein,
penimbunan karbon, dan sistesis pigmen, permeabilitas membran dan mengubah
fungsi enzim spesifik. Membran sel yang terkena semprotan senyawa fenolat
akan mengalami kerusakan sehingga warna daun berubah menjadi coklat terbakar
menyerupai kerusakan yang disebabkan oleh herbisida kontak.
3 METODE
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah gulma golongan rumputrumputan: Echinochloa crus-galli (L.) Beauv, Raeuschel, Leptochloa chinensis
(L.) Nees, Axonopus compressus (SW) Beauv dan Eleusine indica (L.) Gaertn;
gulma golongan teki: Cyperus kyllingia L dan Fimbristylis miliacea (L) Vahl;
gulma golongan daun lebar: Ludwigia octovalvis (Jacq.) Raven, Asystasia intrusa
Blume dan Borreria alata (Aubl) DC sedangkan hidrolisat yang digunakan
berasal dari lignoselulosa jerami dan sekam padi var. Mentik Wangi, tongkol
jagung var. SG75 (Syngenta), bagase tebu var. PS 862, cangkang sawit (PTPN 8),
serbuk kayu sengon dan gambut saprik (Riau) dengan dua perlakuan yaitu
menggunakan gas SO2 dan tidak dalam proses pembuatannya
Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian terdiri dari timbangan digital,
oven, reaktor mini, pompa vakum, cawan petri dan alat penghancur.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian berada di laboratorium Ecotoxicology waste & Bioagents
dan Green house Cikabayan. Penelitian dilaksanakan pada Juli 2013 sampai
dengan Juni 2014.
9
Prosedur Analisis Data
Analisis data gulma tanaman Padi :
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) satu faktor.
Analisis data dilakukan terpisah untuk data uji preemergence, early post
emergence dan post emergence. Perlakuan yang digunakan ada 6 perlakuan. Uji
preemergence pada gulma padi sawah dengan 4 ulangan sehingga diperoleh 24
satuan percobaan. Uji preemergence pada benih padi var. Ciherang, uji early post
emergence pada bibit padi var. Ciherang maupun gulma, dan uji post emergence
dengan 3 ulangan sehingga diperoleh 18 satuan percobaan. Uji early post
emergence pada gulma terdiri dari 10 gulma uji sedangkan pada bibit padi var.
Ciherang terdiri dari 10 bibit padi. Uji post emergence setiap satuan percobaan
terdiri dari 1 gulma uji. Perlakuan percobaan ini sebagai berikut :
P0
= kontrol
P1
= Hidrolisat jerami padi 200 g l-1
P2
= Hidrolisat sekam padi 133 g l-1 + gas SO2
P3
= Hidrolisat sekam padi 150 g l-1
P4
= Hidrolisat cangkang sawit 133 g l-1 + gas SO2
P5
= Hidrolisat bagase tebu 200 g l-1
Dengan Persamaan umum statistik untuk rancangan percobaan ini adalah :
Yij : μ + τi + ρj + εij
Dimana :
i
= larutan hidrolisat ke - 0,1,2, ...5
j
= ulangan ke - 1, 2, 3;
Yij
= respon tanaman terhadap pemberian larutan hidrolisat ke-i dan ulangan
ke-j;
μ
= rataan umum
τi
= pengaruh pemberian larutan hidrolisat
ρj
= pengaruh Kelompok ke –j
εij
= galat percobaan
Hasil analisis ragam yang berpengaruh nyata pada taraf 5 % selanjutnya di
uji lanjut dengan DMRT (Duncan’s Multiple Range Test) untuk melihat
perbedaan antar perlakuan.
Analisis data gulma tanaman Kelapa Sawit :
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) satu faktor.
Analisis data dilakukan terpisah untuk data uji preemergence, early post
emergence dan post emergence. Uji pada preemergence dengan 6 perlakuan dan
4 ulangan sehingga diperoleh 24 satuan percobaan, uji early post emergence dan
post emergence hanya dilakukan 3 ulangan sehingga di peroleh 18 satuan
percobaan. Uji early post emergence setiap satuan percobaan terdiri dari 10
gulma uji sedangkan pada post emergence setiap satuan percobaan terdiri dari 1
gulma uji. Perlakuan dalam percobaan ini adalah sebagai berikut :
L0
= Kontrol
L1
= Hidrolisat gambut saprik 100 g l-1 + gas SO2
L2
= Hidrolisat tongkol jagung 100 g l-1 + gas SO2
L3
= Hidrolisat cangkang sawit 171 g l-1
12
sedangkan pada 7 hsa peubah yang diamati tinggi plumula, panjang radikula,
jumlah akar primer dan persen penekanan pertumbuhan. Perhitungan persentase
penekanan perkecambahan pada benih padi sawah dengan rumus sebagai berikut :
Sedangkan untuk perhitungan persentase penekanan pertumbuhan plumula,
radikula dan akar primer sebagai berikut :
Uji Potensi Larutan Hidrolisat Lignoselulosa sebagai Bioherbisida Early Post
Emergence pada Gulma Padi Sawah dan Gulma Kelapa Sawit
Uji gulma fase early post emergence diawali dengan menyiapkan anakan
gulma uji. Setiap satuan percobaan terdiri dari 10 anakan gulma. Percobaan
dilakukan terhadap gulma tanaman padi yaitu: E. crus-galli, F. miliacea, L.
octovalvis dan L. chinensis, sedangkan untuk gulma tanaman kelapa sawit
menggunakan anakan gulma A. compressus, E. indica, C. kyllingia, dan B. alata
yang dikecambahkan dalam pot yang berdiameter 5.5 cm. Penyemprotan larutan
hidrolisat 4 ml dilakukan ketika gulma berusia 2 minggu. Peubah yang diamati
antara lain tinggi tanaman, daun rusak dan persen kerusakan selama 6 hsa. Uji
pada bibit padi var. Ciherang fase early post emergence dilakukan dengan 3
ulangan. Setiap satuan percobaan terdiri dari 5 bibit padi yang berumur 7 hari.
Peubah yang diamati antara lain tinggi tanaman, panjang akar, daun rusak dan
persen kerusakan selama 6 hsa, panjang akar diukur pada 14 hsa. Perhitungan
persentase kerusakan dengan rumus sebagai berikut :
Uji Potensi Larutan Hidrolisat Lignoselulosa sebagai Bioherbisida Post
Emergence pada Gulma Padi Sawah dan Gulma Kelapa Sawit
Lokasi Pengambilan gulma uji pada tanaman padi di Sawah Baru Desa
Babakan Raya Dramaga dimana gulma yang digunakan adalah L. chinensis, F.
miliacea, dan L. octovalvis. Gulma di seleksi agar pertumbuhan seragam di green
house, sedangkan pada gulma tanaman kelapa sawit lokasi pengambilan gulma uji
di lakukan di kebun kelapa sawit Cikabayan kampus IPB Dramaga dimana gulma
yang digunakan adalah A. compressus, C. kyllingia, B. alata dan A. intrusa gulma
kemudian gulma di tumbuhkan di green house. Gulma diletakkan dalam wadah
terpal (1 m x 6 m) yang telah berisi air dengan ketinggian 3 sampai 4 cm.
Aplikasi bioherbisida dilakukan setelah gulma dianggap tumbuh normal dan
seragam. Setiap gulma di semprot larutan hidrolisat lignoselulosa sebanyak 5 ml.
Peubah yang diamati meliputi: tinggi gulma,daun rusak dan skor kerusakan gulma.
13
Nilai skoring visual sebagai berikut: 0= Tidak ada keracunan, 0-5% bentuk dan
atau warna daun muda tidak normal, 1= Keracunan ringan, >5-10% bentuk dan
atau warna daun muda tidak normal, 2= Keracunan sedang, >10-20% bentuk dan
atau warna daun muda tidak normal, 3= Keracunan berat, >20-50% bentuk dan
atau warna daun muda tidak normal, 4= Keracunan sangat berat, >50% bentuk
dan atau warna daun muda tidak normal hingga mengering, rontok, dan tanaman
mati (Komisi Pestisida, 2000). (d). Bobot kering gulma diperoleh dengan cara
memanen gulma pada 6 HSA yaitu dengan memotong gulma pada permukaan
media tanam. Gulma kemudian dioven pada suhu 80 OC selama 24 jam,
kemudian ditimbang dengan menggunakan neraca analitik; (e). Nilai persen
kerusakan dihitung dengan mengkonversi data bobot kering (Bk) menjadi nilai
persen kerusakan, dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Kandungan Bahan Aktif
Dari hasil analisis Gas Chromatography – Mass Spectrometry (GC-MS) di
Lab. Kesehatan DKI Jakarta terhadap larutan hidrolisat lignoselulosa: jerami padi,
sekam padi, cangkang sawit, bagase tebu, tongkol jagung, gambut saprik dan
serbuk kayu diperoleh senyawa kimia hasil hidrolisis lignoselulosa (Tabel 1).
Senyawa aktif yang memiliki persen area terbesar yang terkandung dalam larutan
hidrolisat jerami padi yaitu: 1-(4 hydroxy-3,5 dimethoxyphenyl), ethanone sebesar
20.9%, hidrolisat sekam padi dan hidrolisat tongkol jagung yaitu 4-oxo-pentanoic
acid 11.1 dan 33.2%, hidrolisat cangkang sawit yaitu phenol 16.7%, hidrolisat
bagase tebu yaitu 2-methoxy, phenol 32.1%, hidrolisat gambut saprik yaitu
homovanillyl alcohol 28.13%, dan pada hidrolisat serbuk kayu yaitu 2,6dimethoxy, phenol 21%.
Berdasarkan gugus fungsinya senyawa yang terindentifikasi terdiri dari 3
aldehida, 5 asam karboksilat, 10 fenolat, dan 12 senyawa keton. Dari hasil
analisis terdapat dua senyawa yang ada pada tiap larutan hidrolisat yang diuji
yaitu senyawa phenol (fenolat) dan senyawa 2-(2-methoxyphenyl),ethanol (asam
karboksilat). Dua senyawa tersebut memperlihatkan nilai persen area yang
berbeda pada hidrolisat jerami padi, sekam padi, cangkang sawit, bagase tebu,
tongkol jagung, gambut saprik dan serbuk kayu. Senyawa yang tidak terdapat
pada satu larutan hidrolisat yaitu senyawa 2,6-dimethoxy, phenol (fenolat) pada
hidrolisat jerami padi, senyawa 2-methoxy, phenol (fenolat) pada hidrolisat
gambut saprik. Hasil analisis juga memperlihatkan adanya senyawa kimia yang
spesifik hanya terdapat pada hidrolisat lignoselulosa tertentu saja, berdasarkan
gugus fungsinya terdapat 3 aldehid, 1 alkena, 8 asam karboksilat, 3 ester, 15 fenol,
dan 30 keton (Lampiran 2) dan grafik waktu retensi (Lampiran 3).
14
Tabel 1 Kandungan senyawa kimia larutan hidrolisat lignoselulosa berdasarkan
persen area dan gugus fungsi pada konsentrasi 67 g l-1
Perlakuan
NO
1
2
3
4
5
6
7
8
phenol
2-(2-Methoxyphenyl)
ethanol
2,6-dimethoxy-,
phenol
2-methoxy-, phenol
4-ethyl-, phenol
2,5-hexanedione
homovanillyl alcohol
Jerami
padi
3.0
5.1
Sekam
padi
6.8
1.5
Hidrolisat lignoselulosa (% area)
Cangkang Bagase Tongkol Gambut
sawit
tebu
jagung
saprik
16.7*
6.0
4.1
0.8
1.6
0.9
1.0
1.0
Serbuk
kayu
1.3
0.8
Gugus
Fungsi
Fenol
Asam
karboksilat
Fenol
-
6.0
10.3
8.5
5.9
13.1
21.0*
7.2
4.7
-
8.6
2.6
1.5
5.6
4.2
1.5
1.2
2.2
32.1*
2.5
4.1
1.4
4.3
1.3
1.5
2.3
28.1*
9.0
3.70
-
6.9
3.2
6.8
7.3
2.7
-
-
Fenol
Fenol
Keton
Asam
karboksilat
Keton
3.1
2.6
1.3
0.7
-
10.1
-
Keton
1.2
4.5
-
2.9
-
2.7
1.8
-
3.9
12.3
11.0
Fenol
Keton
20.9*
-
4.0
-
4.6
5.7
-
Keton
0.2
3.0
-
-
5.4
-
-
Aldehida
-
1.0
0.6
1.5
-
-
-
Keton
-
0.9
0.5
0.8
-
-
-
Keton
-
1.1
-
1.2
0.3
-
1.9
Fenol
-
4
-
1.8
1.7
-
4.8
Keton
1.4
-
-
1.0
-
-
-
Keton
2.0
-
-
1.1
-
-
-
Fenol
-
11.2*
5.8
-
33.2*
-
-
-
1.8
-
-
2.7
-
-
Asam
karboksilat
Keton
-
3.3
-
-
5.6
-
-
22
2-hydroxy-3-methyl,
2-cyclopenten-1-one,
1-(4-hydroxy-3methoxyphenyl),
ethanone
1,2-benzenediol
1-(2,4,6trihydroxyphenyl), 2pentanone,
1-(4-hydroxy-3,5dimethoxyphenyl),
ethanone
4-hydroxy-3methoxy,
benzaldehyde,
3-methyl-,2cyclopenten-1-one
2-methyl-,2cyclopenten-1-one
1,2-benzenediol,3methoxy1-(4-hydroxy-3,5methoxyphenyl),
ethanone
2,3-dimethyl-2cyclopenten-1-one
1,3-cyclohexadien-1OL, acetate
4-oxo-, pentanoic
acid
1-(3-hydroxyphenyl),
ethanone
acetic acid
23
24
1,4-benzenediol
benzoic acid
-
9.5
0.3
-
-
4.8
-
3.5
-
25
3,5-dimetyl
cyclopentenolone 2hydroxy- 3,5dimethyl
4-hydroxy-3,5dimethoxy-,
benzaldehyde
-
-
0.8
0.3
-
-
-
Asam
karboksilat
Fenol
Asam
karboksilat
Keton
-
-
2.4
-
-
-
2.4
Aldehida
vanillin
-
-
-
0.4
-
-
1.2
vanilin
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
26
27
16
Hasil pengamatan terdapat 4 gulma dominan yang berkecambah yaitu: F.
miliacea, L. octovalvis, L. chinensis dan A. sessilis (Lampiran 4). Perkecambahan
gulma F. miliacea lebih rendah dibandingkan kontrol pada 1 - 3 msa namun pada
2 msa perlakuan cangkang sawit 133 g l-1 + gas SO2 dan pada 3 msa perlakuan
jerami padi 200 g l-1 tidak berbeda nyata dengan kontrol. Perkecambahan gulma
L. octovalvis pada 1 - 3 msa lebih rendah dari kontrol walaupun perlakuan jerami
padi 200 g l-1 pada 1 msa dan semua perlakuan pada 2 – 3 msa tidak berbeda nyata
dengan kontrol (Tabel 3).
Tabel 3 Pengaruh perlakuan terhadap jumlah spesies gulma pada tanaman padi
fase preemergence
-----------------------------------------------------------Gulma (rumpun)--------------------------------------------------F.miliacea
L.octovalvis
L.chinensis
A.sesilis
Gulma lain
a
2
msa
3
msa
1
msa
2
msa
3
msa
1
msa
2
msa
3
msa
1
msa
1
msa
3
msa
2
msa
3
msa
2
msa
Kontrol
Jerami padi 200 g
l-1
Sekam padi 133 g
l-1 + gas SO2
Sekam padi 150
BIOHERBISIDA UNTUK PENGENDALIAN GULMA PADA
PADI SAWAH DAN KELAPA SAWIT
BUSTANIL ARIFIN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pemanfaatan Hidrolisat
Lignoselulosa sebagai Bioherbisida untuk Pengendalian Gulma pada Padi Sawah
Dan Kelapa Sawit adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor
Bogor, Februari 2015
Bustanil Arifin
NIM A252120051
RINGKASAN
BUSTANIL ARIFIN. Pemanfaatan Hidrolisat Lignoselulosa sebagai Bioherbisida
untuk Pengendalian Gulma pada Padi Sawah dan Kelapa Sawit. Dibimbing oleh
HERDHATA AGUSTA, DWI GUNTORO dan MUHAMMAD SYAKIR.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui potensi hidrolisat lignoselulosa
sebagai bioherbisida dalam mengendalikan gulma pada padi sawah dan kelapa
sawit. Penelitian dilaksanakan di Green House Cikabayan dan Laboratorium
Ecotoxicology Waste and Bioagent, IPB Dramaga, Bogor, Jawa Barat pada bulan
Juni 2013 sampai Juli 2014. Penelitian ini terdiri dari 2 percobaan. Percobaan
pertama disusun dalam rancangan acak kelompok satu faktor dengan 6 perlakuan.
Perlakuan yang digunakan: kontrol (air), hidrolisat jerami padi 200 g l-1, hidrolisat
sekam padi 133 g l-1 + gas SO2, hidrolisat sekam padi 150 g l-1, hidrolisat
cangkang sawit 133 g l-1 + gas SO2, dan hidrolisat bagase tebu 200 g l-1.
Perlakuan diujikan ke gulma tanaman padi sawah pada 3 fase yaitu fase
preemergence dengan 4 ulangan, sedangkan early post emergence dan post
emergence dengan 3 ulangan. Pengujian juga dilakukan terhadap padi varietas
Ciherang pada fase preemergence dan early post emergence dengan 3 ulangan.
Percobaan kedua juga disusun dalam rancangan acak kelompok satu faktor
dengan 6 perlakuan. Perlakuan yang digunakan: kontrol (air), hidrolisat gambut
saprik 100 g l-1 + gas SO2, hidrolisat tongkol jagung 100 g l-1 + gas SO2, hidrolisat
cangkang sawit 171 g l-1, hidrolisat sekam padi 200 g l-1 dan hidrolisat serbuk
kayu 200 g l-1. Perlakuan diujikan ke gulma tanaman kelapa sawit pada 3 fase
yaitu: fase preemergence dengan 4 ulangan, early post emergence dan post
emergence dengan 3 ulangan. Peubah yang diamati pada fase preemergence
adalah jumlah total gulma yang berkecambah, persen penekanan, dan jumlah
spesies gulma yang berkecambah. Peubah yang diamati pada fase early post
emergence adalah tinggi gulma, daun normal, daun rusak, dan persen kerusakan.
Peubah yang diamati pada fase post emergence adalah tinggi gulma, daun normal,
daun rusak, kerusakan visual, bobot kering dan persen penekanan.
Hasil percobaan pertama menunjukkan bahwa semua perlakuan hidrolisat
lignoselulosa berpotensi sebagai bioherbisida preemergence yang ditunjukkan
dengan adanya penghambatan perkecambahan individu gulma total dan tingginya
persen penekanan perkecambahan gulma. Hidrolisat bagase tebu 200 g l-1
menunjukkan persen penekanan tertinggi sebesar 70% pada 1 minggu setelah
aplikasi (msa) terhadap perkecambahan gulma Fimbristylis miliacea (L) Vahl.,
sedangkan hidrolisat sekam padi 150 g l-1 pada 2 dan 3 msa menunjukkan persen
penekanan sebesar 44% dan 31% terhadap perkecambahan gulma total. Hidrolisat
sekam padi 133 g l-1 + gas SO2 mempunyai kemampuan penekanan
perkecambahan gulma total yang tidak berbeda nyata dengan hidrolisat lain
namun memberikan pengaruh penekanan perkecambahan terkecil pada benih padi
var. Ciherang fase preemergence. Semua perlakuan hidrolisat lignoselulosa juga
berpotensi sebagai bioherbisida fase early post emergence. Hidrolisat jerami padi
200 g l-1 menimbulkan kerusakan daun gulma F. miliacea 21%, Ludwigia
octovalvis (Jacq.) Raven 100%, dan Leptochloa chinensis (L.) Nees 50%,
sedangkan hidrolisat sekam padi 150 g l-1 menimbulkan kerusakan daun gulma
Echinochloa crus-galli (L.) Beauv 70%.
Semua perlakuan hidrolisat
lignoselulosa tidak memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan bibit padi var.
Ciherang fase early post emergence. Perlakuan hidrolisat lignoselulosa juga
berpotensi sebagai bioherbisida post emergence terhadap gulma F. miliacea, L.
octovalvis dan L. chinensis berdasarkan kerusakan pada daun gulma dan skor
kerusakan namun tidak mempengaruhi bobot kering gulma. Kerusakan yang
ditimbulkan menyerupai kerusakan akibat herbisida kontak yang ditandai dengan
gejala kelayuan dan bercak terbakar pada daun dalam waktu yang cepat setelah
aplikasi.
Hasil percobaan kedua menunjukkan hidrolisat tongkol jagung 100 g l-1 +
gas SO2, hidrolisat cangkang sawit 171 g l-1, hidrolisat sekam padi 200 g l-1 dan
hidrolisat serbuk kayu 200 g l-1 berpotensi sebagai bioherbisida preemergence
dengan menghambat perkecambahan gulma Axonopus compressus, Paspalum
conjugatum dan Borreria alata kecuali hidrolisat gambut saprik 100 g l-1 + gas
SO2. Hidrolisat tongkol jagung 100 g l-1 + gas SO2 memperlihatkan persen
penekanan tertinggi dari perlakuan yang lain pada minggu pertama 78%, minggu
kedua 47% dan minggu ketiga 44% setelah aplikasi. Perlakuan hidrolisat
lignoselulosa juga berpotensi sebagai bioherbisida fase early post emergence
berdasarkan peubah tinggi gulma, daun rusak dan persen kerusakan pada gulma A.
compressus, Eleusine indica, Cyperus kyllingia dan B. alata kecuali perlakuan
hidrolisat gambut saprik 100 g l-1 + gas SO2. Hidrolisat tongkol jagung 100 g l-1 +
gas SO2 memperlihatkan persen kerusakan tertinggi untuk gulma A. compressus
98% dan E. indica 100%. Hidrolisat sekam padi 200 g l-1 menyebabkan
kerusakan tertinggi pada gulma C. kyllingia 81% dan hidrolisat serbuk kayu 200 g
l-1 menyebabkan kerusakan tertinggi terhadap gulma B. alata 100%. Perlakuan
hidrolisat lignoselulosa berpotensi sebagai bioherbisida post emergence
berdasarkan kerusakan pada daun gulma dan skor kerusakan pada gulma A.
compressus, C. kyllingia, A. intrusa dan B. alata. Hidrolisat gambut saprik 100 g
l-1 + gas SO2 tidak berpotensi sebagai bioherbisida terhadap gulma A. compressus,
A. intrusa dan B. alata. Semua perlakuan hidrolisat lignoselulosa tidak
berpengaruh terhadap bobot kering gulma uji. Kerusakan yang ditimbulkan
menyerupai kerusakan akibat herbisida kontak.
Keywords: cangkang sawit, early post emergence, jerami padi, lignin,
Preemergence
SUMMARY
BUSTANIL ARIFIN. Utilization of Lignocellulosic Hydrolyzate as Bioherbicide
for Weeds Control in Rice Field and Palm Oil Plant. Supervised by HERDHATA
AGUSTA, DWI GUNTORO and MUHAMMAD SYAKIR.
The purpose of the study was to determine the potential of lignocellulosic
hydrolyzate as bioherbicide for weed control in the rice field and oil palm
plantations. This experiment was conducted at Cikabayan Green House and
Ecotoxicology Waste and Bioagent Laboratory, IPB, Dramaga Bogor, West Java
from June 2013 to July 2014. This study consisted of two experiments. The first
experiment was arranged in a randomized complete block design with 6 treatment
factors. The treatments used were control (water), rice straw 200 g l-1 hydrolyzate,
rice husk 133 g l-1 + SO2 gas hydrolyzate, rice husk 150 g l-1 hydrolyzate, oil palm
shell 133 g l-1 + SO2 gas hydrolyzate, and sugarcane bagase 200 g l-1 hydrolyzate.
The treatment was tested to weed rice crops in three phases namely preemergence,
with 4 replication, early post-emergence and post-emergence with 3 replications.
Tests were also conducted on the rice plant varieties Ciherang at preemergence
and early post emergence phase with 3 replications. The second experiment was
arranged in a randomized complete block design with 6 treatment factors. The
treatments used were control (water), sapric peat 100 g l-1 + SO2 gas hydrolyzate,
corn cobs 100 g l-1 + SO2 gas hydrolyzate, oil palm shell 171 g l-1 hydrolyzate,
rice husk 200 g l-1 hydrolyzate and saw dust 200 g l-1 hydrolyzate. The treatment
was tested to weed of palm oil plant in 3 phases namely preemergence with 4
replications, early post-emergence and post-emergence with 3 replications.
Variables measured at preemergence phase were the total number of germinated
weeds, suppression percentage, and number of germinated weed species. The
observation variables in early post-emergence phase were weed height, normal
leaf, damaged leaf and percentage of damage. Parameters observed in the phase
of post-emergence were weed height, normal leaf, damaged leaf, visual
impairment, dry weight and suppression percentage.
The first experiment results showed that all lignocellulosic hydrolyzate
solution had potency as preemergence bioherbicide indicated by inhibited of total
individual weed germination and very high of percentage of suppression weed
germination. Sugarcane bagase 200 g l-1 hydrolyzate showed the highest of
suppression percentage of 70% at 1 week after application (waa), especially on the
germination of Fimbristylis miliacea (L) Vahl., while rice husks 150 g l-1
hydrolyzate at 2 and 3 waa showed the suppression percentage by 44% and 31%
of the total weed germination. Rice husk 133 g l-1 + SO2 gas hydrolyzate was not
significantly different at suppression ability of total weed germination than other
treatments but it gave smallest germination suppression effect for rice seed var.
Ciherang at preemergence phase. All lignocellulosic hydrolyzate also had
potency as bioherbicide at early post-emergence phase. Rice straw 200 g l-1
hydrolyzate caused damage 21% to weed leaf of F. miliacea, 100% of Ludwigia
octovalvis (Jacq.) Raven 100%, and 50% Leptochloa chinensis (L.) Nees, while
the rice husk 150 g l-1 hydrolyzate caused damage 70% to weed leave of
Echinochloa crus-galli leaves (L.) Beauv 70%. All lignocellulosic hydrolyzate
did not affect rice seedlings var. Ciherang growth at early post-emergence phase.
Lignocellulosic hydrolyzate also had potency as bioherbicide at post-emergence to
F. miliacea, L. octovalvis and L. chinensis weeds based on leaves weed damage
and highest score of damage but did not significantly affect the dry weight of
weeds. The bioherbicide effect had a similar mechanism as contact herbicide
which is characterized by symptoms of withering and splotches of burning on the
leaves in a short time after application.
The results of second experiment showed that corn cobs 100 g l-1 + SO2 gas
hydrolyzate, oil palm shell 171 g l-1 hydrolyzate, rice husk 200 g l-1 hydrolyzate
and saw dust 200 g l-1 hydrolyzate had potency as bioherbicide at preemergence
by inhibiting weeds germination of Axonopus compressus, Paspalum conjugatum
and Borreria alata except sapric peat 100 g l-1 + SO2 gas hydrolyzate. Corn cob
100 g l-1 + SO2 gas hydrolyzate showed the highest of suppression percentage than
other treatments of 78%, 47% and 44% at first, second, and third week after
aplication respectively. Lignocellulosic hydrolyzate treatments also had potency
as bioherbicide at early post-emergence phase based on weed height, leaves
damaged and percentage of leaves weed damage to A. compressus, Eleusine
indica, Cyperus kyllingia and B. alata weeds except sapric peat 100 gl 1 + SO2
gas hydrolyzate. Corn cob 100 g l-1 + SO2 gas hydrolyzate showed the highest of
damage percentage of A. compressus and Eleusine indica weeds by 98% and
100% respectively. Rice husk 200 g l-1 hydrolyzate caused highest damage of
Cyperus kyllingia weed by 81% and saw dust 200 g l-1 hydrolyzate caused highest
damage of B. alata weed by 100%. Lignocellulosic hydrolyzate treatments also
had potency as bioherbicide at post-emergence A. compressus, C. kyllingia, A.
intrusa and B. alata weeds based on leaves weed damage and highest score of
damage. Sapric peat 100 g l-1 + SO2 gas hydrolyzate had no potency as a postemergence bioherbicide to A. compressus, A. intrusa and B. alata weeds. All
lignocellulosic hydrolyzate treatments did not significantly affect the dry weight
of weeds. The bioherbicide effect had a similar mechanism as contact herbicide.
Keywords: early post emergence, oil palm shell, lignin, preemergence, rice straw
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PEMANFAATAN HIDROLISAT LIGNOSELULOSA SEBAGAI
BIOHERBISIDA UNTUK PENGENDALIAN GULMA PADA
PADI SAWAH DAN KELAPA SAWIT
BUSTANIL ARIFIN
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agronomi dan Hortikultura
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis :
Dr Ir Dwi Setyaningsih, MSi
Judul Tesis : Pemanfaatan Hidrolisat Lignoselulosa sebagai Bioherbisida untuk
Pengendalian Gulma pada Padi Sawah dan Kelapa Sawit
Nama
: Bustanil Arifin
NIM
: A252120051
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Herdhata Agusta
Ketua
Dr Dwi Guntoro, SP, M.Si
Anggota
Dr Ir Muhammad Syakir, MS
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Agronomi dan Hortikultura
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Maya Melati, MS, M.Sc
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 9 Januari 2015
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa
ta’ala atas limpahan karunia dan rahmat-Nya sehingga tesis ini dapat penulis
selesaikan yang berjudul “Pemanfaatan Hidrolisat Lignoselulosa sebagai
Bioherbisida untuk Pengendalian Gulma pada Padi Sawah dan Kelapa Sawit”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Ir Herdhata Agusta, Dr Dwi
Guntoro, SP, M.Si dan Dr Ir Muhammad Syakir, MS selaku pembimbing tesis
yang telah memberikan masukan dan saran untuk pelaksanaan penelitian.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua Orang Tua, saudarasaudaraku atas do’a dan dorongan semangat selama perkuliahan dan penelitian.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman Pascasarjana
Program Studi Agronomi dan Hortikultura angkatan 2012 serta kepada semua
pihak yang telah membantu namun tidak dapat disebutkan satu per satu.
Semoga karya tulis ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang
memerlukannya.
Bogor, Februari 2015
Bustanil Arifin
DAFTA R ISI
DAFTAR TABEL
i
DAFTAR GAMBAR
ii
DAFTAR LAMPIRAN
iii
RINGKASAN
iv
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Hipotesis
1
1
2
3
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
Sumber Lignoselulosa
Gulma
Alelokimia
4
4
5
6
3 METODE
Bahan
Alat
Lokasi dan Waktu Penelitian
Prosedur Analisis Data
Pelaksanaan Penelitian
8
8
8
8
9
10
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan
13
13
24
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
28
28
28
DAFTAR PUSTAKA
29
LAMPIRAN
32
RIWAYAT HIDUP
49
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Kandungan senyawa kimia larutan hidrolisat lignoselulosa berdasarkan
persen area dan gugus fungsi pada konsentrasi 67 g l-1
Pengaruh perlakuan terhadap jumlah individu gulma total tanaman padi
fase preemergence
Pengaruh perlakuan terhadap jumlah spesies gulma pada tanaman padi
fase preemergence
Pengaruh perlakuan terhadap perkecambahan benih padi var. Ciherang
fase preemergence
Pengaruh perlakuan terhadap pertumbuhan benih padi var. Ciherang
fase preemergence
Pengaruh perlakuan terhadap jumlah total gulma tanaman kelapa sawit
fase preemergence
Pengaruh perlakuan terhadap jumlah spesies gulma kelapa sawit fase
Preemergence
Pengaruh perlakuan terhadap gulma pada tanaman padi sawah fase early
post emergence
Pengaruh perlakuan terhadap bibit padi var. Ciherang pada fase early
post emergence
Pengaruh perlakuan terhadap gulma kelapa sawit fase early post
emergence
Pengaruh perlakuan terhadap gulma pada tanaman padi sawah fase post
emergence
Pengaruh perlakuan terhadap bobot kering gulma pada padi sawah fase
post emergence
Pengaruh perlakuan terhadap gulma kelapa sawit fase post emergence
Pengaruh perlakuan terhadap bobot kering gulma kelapa sawit fase post
emergence
14
16
16
16
17
18
18
19
20
20
22
22
23
24
DAFTAR GAMBAR
1
Peta sebaran persentase produksi tanaman pangan dan perkebunan pada
4 pulau besar di Indonesia (data statistik Kementan RI, 2014)
2 Persiapan bahan lignoselulosa (cangkang sawit )
3 Peralatan hidrolisis larutan lignoselulosa
4 Pengaruh perlakuan sekam padi 150 g l-1 dan kontrol
5 Pengaruh perlakuan terhadap perkecambahan benih padi var. Ciherang
pada 6 hsa
6 Pengaruh perlakuan tongkol jagung 100 g l-1 + gas SO2 dan kontrol
7 Pengaruh perlakuan terhadap pertumbuhan anakan gulma L.octovalvis
fase early post emergence pada 6 hsa
8 Pengaruh perlakuan terhadap pertumbuhan anakan gulma B. alata fase
early post emergence pada 6 hsa
9 Pengaruh perlakuan terhadap pertumbuhan anakan gulma L.chinensis
fase post emergence 6 hsa
10 Pengaruh perlakuan terhadap pertumbuhan anakan gulma A. intrusa fase
post emergence pada 6 hsa
5
10
11
15
17
18
19
21
21
23
DAFTAR LAMPIRAN
1
Produksi tanaman pangan dan perkebunan Indonesia pada Tahun 2012
(ton)
2 Kandungan senyawa kimia larutan hidrolisat lignoselulosa berdasarkan
persen area dan gugus fungsi pada konsentrasi 67 g l-1
3 Grafik waktu retensi (menit) larutan hidrolisat lignoselulosa hasil
analisis Gas Chromatography – Mass Spectrometry (GC-MS)
4 Gulma yang berkecambah pada uji larutan hidrolisat lignoselulosa fase
preemergence
5 Pengaruh larutan hidrolisat lignoselulosa terhadap gulma padi sawah
pada fase preemergence
6 Pengaruh larutan hidrolisat lignoselulosa terhadap perkecambahan benih
padi var. Ciherang pada fase preemergence
7 Pengaruh larutan hidrolisat lignoselulosa terhadap gulma pada kelapa
sawit fase preemergence
8 Pengaruh larutan hidrolisat lignoselulosa terhadap gulma F. miliacea, E.
crus-galli, L. chinensis,dan L. octovalvis fase early post emergence
9 Pengaruh perlakuan hidrolisat lignoselulosa terhadap bibit padi var.
Ciherang fase early post emergence
10 Pengaruh perlakuan hidrolisat lignoselulosa terhadap gulma A.
compressus, E. indica, C. kyllingia, dan B. alata fase early post
emergence
11 Pengaruh perlakuan hidrolisat lignoselulosa terhadap gulma F. miliacea,
L. chinensis, dan L. octovalvis fase post emergence
12 Pengaruh larutan hidrolisat lignoselulosa terhadap gulma A. compressus,
C. kyllingia, B. alata, dan A. intrusa fase post emergence
32
33
35
38
39
39
40
40
42
43
45
46
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Negara Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang memiliki lahan
pertanian yang luas. Secara statistik luasan tanaman padi mencapai 13.8 juta ha
pada tahun 2013 kemudian diikuti ubi kayu, jagung dan tanaman pangan yang lain.
Perkebunan kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan yang terluas dimana
tahun 2012 mencapai 9.5 juta ha diikuti oleh tanaman kelapa, karet dan tanaman
perkebunan yang lain (Kementan RI 2014). Peningkatan produksi Pertanian akan
diikuti dengan limbah yang dihasilkan selama panen maupun waktu pengolahan.
Limbah padat dari kegiatan pertanian terutama tanaman pangan dan perkebunan
jika tidak di tangani dengan baik dapat menjadi sumber pencemaran lingkungan
akibat dari pembakaran maupun proses dekomposisi bahan organik yang tidak
terkontrol sehingga meningkatnya pencemaran udara akibat emisi gas CH4 dan
CO2. Limbah padat tanaman pangan dan perkebunan berupa lignoselulosa
merupakan sumber bahan organik terbarukan. Lignoselulosa umumnya memiliki
komposisi selulosa sebesar 40 - 50% dari berat kering bahan, hemiselulosa
menempati 20 - 30% dan sisanya adalah lignin 10 - 25% (Saha 2004; Menon &
Rao 2012).
Ketersediaan lignoselulosa yang melimpah, terutama dari tanaman pertanian,
perkebunan dan kehutanan menjadikan bahan ini terus dicari nilai tambahnya
melalui proses konversi baik proses fisika, kimia maupun biologi. Sumber
lignoselulosa terbesar terdapat pada tanaman padi, jagung, kelapa sawit, dan tebu.
Menurut Kementan RI (2014) pada tahun 2013 produksi padi nasional mencapai
71.27 juta ton gabah kering giling, produksi jagung mencapai 18.5 juta ton
sedangkan untuk tanaman perkebunan produksi kelapa sawit nasional tahun 2012
mencapai 25.20 juta ton Tandan Buah Segar (TBS) dan tebu mencapai 2.59 juta
ton. Menurut Kim dan Dale (2004) potensi jerami kurang lebih 1.4 kali dari hasil
panen, berarti terdapat 99.7 juta ton jerami yang dihasilkan pada tahun 2013.
Menurut Richana et al. (2007) tongkol jagung diperkirakan 40 – 50% dari berat
jagung bertongkol, maka akan terdapat 8.3 juta tongkol jagung pada tahun 2013.
Menurut Misran (2005) bagase tebu yang dihasilkan oleh pabrik gula sebesar 35 40% dari setiap tebu yang diproses, maka pada tahun 2012 akan terdapat 1 juta
ton bagase tebu. Kurniati (2008) pabrik kelapa sawit menghasilkan limbah tandan
kosong sebesar 22% dari TBS yang diolah dan 7% adalah cangkang sawit maka
akan ada 388 ribu ton cangkang sawit pada tahun 2012. Potensi limbah padat
maupun cair tergantung jenis dan varietas serta proses pasca panen yang
dilakukan terhadap tanaman tersebut.
Peningkatan produksi dapat diwujudkan dengan budidaya tanaman yang
baik. Salah satu permasalahan yang terjadi pada awal penanaman sampai akhir
adalah kompetisi tanaman dengan gulma dalam pemanfaatan unsur hara yang
terbatas maupun sumber cahaya matahari sehingga kehadiran gulma dapat
menimbulkan kerugian baik secara langsung maupun tidak langsung. Kompetisi
akan terjadi ketika interaksi antara tanaman dengan gulma memperebutkan faktor
tumbuh yang kurang tersedia. Menurut Guntoro et al. (2009) gulma E. crus-galli
dengan populasi 4 gulma pot-1 menyebabkan jumlah anakan padi menurun hingga
2
53.8% dan penurunan kepadatan malai padi sebesar 50.1% kerugian yang
ditimbulkan juga tergantung dari ekotipe gulma E. crus-galli. Gulma pada
perkebunan kelapa sawit mengakibatkan terjadinya kompetisi dalam
memanfaatkan unsur hara dan air serta kemungkinan gulma menjadi tanaman
inang bagi hama atau penyakit, dapat menghambat jalan para pekerja selain itu
juga gulma akan menambah biaya produksi untuk perawatan dan pengendalian
gulma.
Berkurangnya tenaga kerja mendorong petani beralih menggunakan
herbisida sintetik dalam mengendalikan gulma karena dinilai lebih efisien, murah
dan cepat akan tetapi penggunaan herbisida sintetik yang tidak tepat dapat
berakibat buruk seperti pencemaran lingkungan, sumber air, kerusakan tanah, dan
keracunan akibat residu pestisida pada produk pertanian sehingga perlu alternatif
lain dalam pengendalian gulma, salah satunya pembuatan herbisida alami
berbahan baku lignoselulosa. Herbisida dari bahan alami merupakan suatu
alternatif yang bijaksana karena lebih mudah terurai dibandingkan dengan
senyawa sintetik, untuk mengantisipasi keadaan tersebut para peneliti mencoba
menggunakan bahan alami sebagai pengganti bahan - bahan sentetik. Senyawa
kimia yang berasal dari alam, terutama tumbuhan mempunyai peluang yang cukup
besar untuk menggantikan produk sintetik, karena senyawa dari bahan alam
mengalami degradasi lebih cepat dibandingkan dengan bahan sintetik. Beberapa
penelitan yang mendukung yaitu: El-Rokiek et al. (2010) menyatakan umbi dan
tajuk Cyperus rotundus mengandung senyawa fenolat dan menekan pertumbuhan
E. crus-galli.; dan Delsi (2012) menyatakan bahwa senyawa alelopati C. rotundus
dapat menekan perkecambahan biji gulma berdaun lebar yaitu: Asystasia
gangetica, Mimosa pigra, Borreria alata. Penggunaan senyawa alelokimia dari
degradasi lignoselulosa bermanfaatkan untuk pengendalian gulma dan berpotensi
dikembangkan sebagai bioherbisida, hal tersebut akan mendukung teknologi
budidaya tanaman ramah lingkungan.
Perumusan Masalah
Limbah pertanian berupa lignoselulosa berpotensi dimanfaatkan dalam
penyediaan senyawa kimia yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Lignoselulosa
selama ini lebih banyak dimanfaatkan sebagai sumber karbon untuk bahan bakar
dalam industri, hal ini disebabkan sulitnya memutuskan ikatan antara selulosa,
hemiselulosa dan lignin. Degradasi lignoselulosa dapat dilakukan secara fisika,
fisika kimia, kimia dan biologi metode - metode tersebut dapat mempercepat
proses hidrolisis untuk menghasilkan etanol. Hidrolisis merupakan proses
pemecahan polisakarida, yaitu selulosa dan hemiselulosa sehingga menjadi
monomer gula penyusunnya. Tahap awal dalam hidrolisis lignoselulosa terlebih
dahulu biomassa dikeringkan dan kemudian dilakukan penghalusan untuk
memperluas permukaan biomassa agar membantu pelepasan ikatan lignin
terhadap selulosa dan hemiselulosa.
Lignin merupakan senyawa yang sulit terdekomposisi secara alami, dalam
keadaan anaerob akan terdegradasi secara bertahap dan terdekomposisi
membentuk asam dan gugus fenolat. Lahan gambut adalah satu contoh proses
degradasi lignin secara lambat yang dapat ditemukan di kawasan tepi pantai di
pulau Sumatera, Kalimantan dan Papua. Produk fenolat yang dihasilkan terdiri
3
atas asam kumarat, asam ferulat, asam hidroksibensoat, dan asam vanilat.
Gambut merupakan sumber daya alam dengan kandungan lignin hingga 57%, di
daerah Air Sugihan kandungan gugus fenolat hingga 140 ppm (Agusta et al.
2002). Degradasi lignoselulosa secara anaerob akan menghasilkan beberapa
senyawa antara lain adalah asam butirat, asam format, asam laktat, CH4, H2S,
etilen, dan asam-asam organik lainnya seperti asam-asam fenolat dimana sebagian
besar asam-asam tersebut bersifat racun bagi tanaman (Tsusuki & Kondo 1995).
Menurut Ningsih et al. (2012) hidrolisis menggunakan asam sulfat pekat pada
suhu 121 OC selama 60 menit dapat memicu terbentuknya inhibitor bersifat racun
dimana glukosa akan terdegradasi membentuk hydroxymethylfurfural, sedangkan
degradasi lignin akan membentuk senyawa-senyawa fenol.
Limbah lignoselulosa (cangkang sawit, jerami padi, sekam padi, tongkol
jagung, bagase tebu, serbuk kayu dan gambut) berpotensi sebagai bahan baku
untuk memproduksi bioherbisida sebagai pengganti herbisida sintetik.
Ketersediaan lignoselulosa yang melimpah dan tersedia sepanjang tahun
merupakan potensi yang harus dapat dimanfaatkan secara maksimal. Kurangnya
informasi menjadi kendala dalam pemanfaatan limbah lignoselulosa sebagai
bahan baku bioherbisida terutama cara memproduksi senyawa fenolat yang tepat
dan efisien sebagai alternatif pengendalian gulma ramah lingkungan. Penelitian
pemanfaatan limbah lignoselulosa dengan teknik hidrolisis pada suhu 280 OC dan
gas SO2 dalam tabung reaktor vakum udara diharapkan dapat mendegradasi lignin
menjadi senyawa fenolat yang berpotensi sebagai bioherbisida.
Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan untuk mengetahui potensi hidrolisat limbah
lignoselulosa (jerami padi, sekam padi, cangkang sawit, bagase tebu, tongkol
jagung, gambut saprik dan serbuk kayu) sebagai bioherbisida untuk
mengendalikan gulma pada tanaman padi sawah dan gulma pada tanaman kelapa
sawit.
Hipotesis
Berdasarkan tujuan yang telah dirumuskan, maka disusunlah hipotesis
sebagai berikut:
1. Limbah Pertanian yang berlignoselulosa dapat dihidrolisis menjadi Bio
Herbisida.
2. Bioherbisida berbahan baku lignoselulosa dapat mengendalikan pertumbuhan
gulma baik pra tumbuh (preemergence), awal pasca tumbuh (early post
emergence) dan pasca tumbuh (post emergence).
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
Sumber Lignoselulosa
Saat ini nilai tambah dari limbah pertanian yang berupa lignoselulosa
sangat rendah sekali. Limbah lignoselulosa tanaman padi berupa jerami (batang,
daun dan tangkai malai) dan sekam padi. Tanaman jagung berupa berangkasan,
kelobot, dan tongkol jagung. Tanaman kelapa sawit berupa tandan kosong,
pelepah, batang tua, serat dan cangkang kelapa sawit sedangkan pada tanaman
tebu berupa bagase dan daun tebu. Lignoselulosa merupakan komponen struktur
utama dari tanaman berkayu dan tidak berkayu yang terdiri dari selulosa,
hemiselulosa dan lignin. Lignoselulosa merupakan komponen organik yang
melimpah di alam. Menurut Prassad et al. (2007) jerami padi memiliki
kandungan selulosa 29 – 34%, hemiselulosa 23 - 25% dan lignin 17 – 19%.
Sekam padi memiliki kandungan selulosa 28 – 35%, hemiselulosa 11 – 29% dan
lignin 15 – 20% (Abbas et al. 2010). Tongkol jagung mengandung selulosa 45%,
hemiselulosa 35% dan lignin 15% (Howard et al. 2003). Bagase tebu
mengandung selulosa 52.7%, hemiselulosa 20% dan lignin 24.2% (Samsuri et al.
2007). Cangkang kelapa sawit mengandung selulosa 26.6%, hemiselulosa 27.7%
dan lignin 29.4% (Lim et al. 2012). Limbah lignoselulosa dari tanaman berkayu
menurut Howard et al. (2003) mengandung selulosa 40 – 55%, hemiselolosa 24 –
40% dan lignin 18 – 25%. Besaran persentase kandungan senyawa selulosa,
hemiselulosa dan lignin tidak tetap karena sangat dipengaruhi usia, bagian
tanaman dan lokasi sumber bahan lignoselulosa.
Ketersedian limbah lignoselulosa yang berlimpah dan pemanfaatan tidak
menyebabkan peningkatan harga pangan merupakan suatu nilai tambah bagi
Indonesia. Menurut Kementan RI (2014) berdasarkan data statistik angka tetap
2012 terhadap produksi tanaman padi, jagung, kelapa sawit dan tebu (lampiran 1).
Produksi tanaman kelapa sawit paling tinggi terdapat di pulau Sumatera dan pulau
Kalimantan dengan persentase sebesar 71.6% dan 25.5%, pada pulau Sulawesi
persentase produksi tertinggi oleh jagung 15.2% sedangkan pulau Jawa produksi
secara persentase nasional tertinggi adalah tanaman padi 52.9%, jagung 55.3%
dan tebu 63.7%. (Gambar 1). Peningkatan produksi suatu tanaman akan selalu
diikuti oleh peningkatan limbah pertanian. Limbah pertanian yang berupa
lignoselulosa berpeluang menjadi penggerak peningkatan ekonomi rakyat
yang berbasis pertanian.
Peluang untuk meningkatkan ekonomi para petani dari limbah pertanian
didukung oleh ketersediaan sumber bahan baku yang selalu tersedia sepanjang
tahun dan tersebar hampir merata disetiap provinsi di Indonesia terutama tanaman
padi dan kelapa sawit. Pemerintah saat ini haruslah dapat melihat limbah
pertanian sebagai suatu peluang dan bukan hanya menjadikan sebuah isu politik
dalam pemberdayaan masyarakat tani. Pemerintah dituntut untuk mendukung
pengembangan pemanfaatan limbah lignoselulosa melalui riset, pelatihan praktis,
pendanaan, dan pasar sehingga konsep ekonomi kerakyatan yang berkelanjutan
dapat terwujud dengan mengedepankan produksi yang ramah lingkungan dan
komersil.
Pemanfaatan limbah lignoselulosa akan menciptakan lapangan
6
tetapi dilapangan gulma dari spesies yang sama kadangkala memberikan respon
yang berbeda terhadap herbisida tertentu akibat dari kondisi lingkungan tumbuh
yang tidak sama, ternaungi atau tidak, fase tumbuh yang tidak sama (kecambah
dan dewasa) akan memberikan respon yang berbeda apalagi antar jenis gulma
walaupun dalam satu golongan. Gulma dari spesies yang sama terkadang
menunjukkan respon yang berbeda terhadap herbisida apalagi antar jenis gulma.
Berdasarkan respon gulma terhadap herbisida tersebut, maka gulma dapat
digolongkan menjadi:
a.
Gulma rumputan (grasses)
Semua jenis gulma yang termasuk dalam famili poaceae atau gramineae
adalah kelompok rumput-rumputan dengan ciri utama yaitu tulang daun
sejajar dengan tulang daun utama, berbentuk pita, dan terletak berselang
seling pada ruas batang dengan batang berbentuk silindris beruas dan
berongga.
b.
Gulma golongan tekian (sedges)
Gulma ini termasuk dalam golongan tekian gulma yang termasuk dalam
golongan ini memiliki ciri utama letak daun berjejal pada pangkal batang,
bentuk daun seperti pita, tangkai bunga tidak beruas dan berbentuk silindris,
segi empat atau segitiga.
c.
Gulma golongan berdaun lebar (broadleaves)
Gulma yang tidak termasuk di dalam famili poaceae dan cyperaceae adalah
gulma daun lebar dimana ciri-ciri gulma ini sangat beragam tergantung
familinya akan tetapi secara umum daun gulma golongan ini adalah lonjong,
bulat menjari, atau berbentuk hati dengan akar tunjang maupun serabut
Kropff dan Moody (1992) menyatakan hasil pertanian hilang sebesar 10%
akibat terjadinya kompetisi antara gulma dengan tanaman hanya karena sumber
cahaya, jika dibiarkan tak terkendali penurunan hasil tanaman mencapai kisaran
20 - 100% tergantung jenis tanaman dan lingkungan. Gulma sebagai salah satu
komponen ekosistem pertanian memiliki pengaruh negatif terhadap tanaman
pertanian baik secara langsung maupun tidak langsung walaupun kadang kala
pengendalian gulma tidak selamanya memberikan pengaruh positif terhadap
tanaman budidaya oleh karena itulah petani diharapkan melakukan pengendalian
gulma secara bijaksana dengan memperhatikan keseimbangan ekosistem
pertanaman.
Alelokimia
Saat ini permintaan pasar terhadap produk organik semakin meningkat
seiring dengan tingginya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan. Pemerintah
melalui Kementrian Pertanian telah mencanangkan “Go Organik 2010” dengan
target capaian menjadikan Indonesia sebagai salah satu produsen organik terbesar
dunia. Budidaya organik untuk mendukung hidup sehat dan lingkungan yang
berkelanjutan dimulai dari tahap awal produksi, pemprosesan, penyimpanan,
transformasi dan distribusi sesuai sistem produksi organik yang ditetapkan oleh
pemerintah maupun organisasi internasional bagi komoditi yang akan di ekspor.
Permasalahan dalam budidaya tanaman organik adalah pengendalian Organisme
Pengganggu Tumbuhan (OPT) yang meliputi hama, penyakit dan gulma. Gulma
merupakan OPT yang sepanjang hidup tanaman utama selalu hadir dalam tiap fase
7
kehidupan tanaman utama dari pratanam sampai panen. Keterbatasan tenaga kerja
dan efisiensi menyebabkan petani meninggalkan pengendalian gulma secara
mekanik dan beralih ke pengendalian secara kimia yaitu penggunaan herbisida
sintetik. Penggunaan herbisida sintetik yang tidak sesuai dosis dan serampangan
mengakibatkan tercemarnya produk hasil pertanian sehingga tidak aman untuk
dikonsumsi. Bahan pangan organik harus diproduksi dengan tidak menggunakan
input sintetik modern seperti pestisida, pupuk anorganik dan Genetically Modified
Organism (GMO) hal inilah mendorong para peneliti untuk mencari alternatif
pengendalian gulma yang ramah terhadap lingkungan salah satunya menggunakan
senyawa alelokimia yang bersifat racun terhadap gulma.
Junaedi et al. (2006) menyatakan pada tahun 1994 telah dibentuk asosiasi
berskala internasional dengan nama International Allelopathy Society (IAS)
sehingga alelopati telah menjadi bagian keilmuan tersendiri. Alelopati berasal
dari kata allelon (saling) dan pathos (menderita), seiring dengan perkembangan
penelitian alelopati didefinisikan sebagai pengaruh langsung ataupun tidak
langsung oleh tumbuhan terhadap tumbuhan yang lain maupun terhadap
mikroorganisme, baik berupa penghambatan maupun perangsangan terhadap
pertumbuhan akibat adanya senyawa alelokimia yang dilepaskan oleh tumbuhan
ke lingkungan melalui penguapan, pencucian, eksudasi akar, dekomposisi residu
tanaman, dan proses alami lainnya berupa senyawa seperti fenolat, flavonoid,
alkaloid, terpenoid dan glikosida sianogen (Einhellig, 1995; Rice, 1995).
Senyawa alelokimia dapat dihasilkan dari gulma, tanaman pangan, tanaman
perkebunan, tanaman kehutanan dan tanaman hortikultura yang berlignoselulosa.
Beberapa penelitian mengenai senyawa alelokimia yang berpotensi sebagai
bioherbisida: Syakir (2005) menyatakan pengomposan limbah sagu selama 1 – 2
bulan menghasilkan beberapa jenis asam fenolat yaitu asam kumarat, asam phidroksibenzoat, asam vanilat, ferulat, sinapat dan siringat dimana peningkatan
senyawa tersebut maka akan diikuti dengan semakin menurunnya kandungan
lignin.; Khaliq et al. (2012) menyatakan senyawa alelopati sorgum dan bunga
matahari dapat mengendalikan gulma Euphorbia dracunculoides L.; Dilipkumar
et al. (2013) menyatakan senyawa alelopati dari daun bunga tanaman bunga
matahari dapat menghambat perkecambahan gulma; Nongmaithem et al. (2012)
melakukan pengujian senyawa alelopati dari ektrak tanaman kacang-kacangan dan
beberapa ektrak gulma seperti Ageratum conyzoides, Blumea lacera, Ocimum
sanctum, Physalis minima dan Amaranthus tricolor yang memperlihatkan
kemampuan sebagai bioherbisida.
Lignoselulosa yang tersusun atas selulosa, hemiselulosa dan lignin dapat
diproses menghasilkan banyak senyawa kimia yang bermanfaat bagi manusia.
Menurut Mosier et al. (2005) selulosa secara enzimatis dapat menjadi glukosa
sedangkan hemiselulosa akan terurai menjadi senyawa gula sederhana yaitu:
glukosa, galaktosa, mamosa dan heksosa, jika difermentasikan lebih lanjut dapat
menghasilkan etanol. Menurut Chung et al. (2002); Berendji et al. (2008) ektrak
sekam padi yang diproses secara enzimatis mengandung empat senyawa turunan
fenolat yaitu asam ferulat, asam ρ-hidroksibenzoat, asam ρ-kumarat dan asam mkumarat yang dapat menekan pertumbuhan gulma E. crus-galli. Pemanfaatan
limbah lignoselulosa pada industri dilakukan dengan teknik hidrolisis pada suhu
tertentu sehingga menghasilkan produk seperti gula, bahan kimia, bahan bakar
cair, sumber karbon, industri kertas dan energi (Riyanti 2009; Hermiati et al.
8
2010; Herawati & Wibawa 2010).
Menurut Sjostrom (1995) degradasi
lignoselulosa menjadi asam asetat dan fenol dapat dilakukan pada suhu tinggi
dengan peruraian sebagai berikut: hemiselulosa terdegradasi pada 200 – 260 OC,
selulosa pada 240 – 350 OC dan lignin pada suhu 280 - 500 OC. Lignin pada
proses hidrolisis menjadi penghambat untuk meningkatkan hasil glukosa dan gula
sederhana lainnya karena lignin mengikat kuat selulosa dan hemiselulosa dan
apabila terdegradasi lanjut akan menghasilkan senyawa fenolat. Menurut
Oudejans (1991) senyawa turunan fenolat merupakan racun oksidasi di dalam sel
yang mencegah pembentukan ATP sehingga menyebabkan membran sel larut dan
rusak. Sedangkan menurut Einhellig (1995) senyawa fenolat pada tumbuhan
dapat mempengaruhi aktivitas metabolisme meliputi pembelahan dan
pemanjangan sel, pengaturan pertumbuhan akibat terganggunya proses
pengambilan hara, fotosintesis, respirasi, pembukaan stomata, sintesis protein,
penimbunan karbon, dan sistesis pigmen, permeabilitas membran dan mengubah
fungsi enzim spesifik. Membran sel yang terkena semprotan senyawa fenolat
akan mengalami kerusakan sehingga warna daun berubah menjadi coklat terbakar
menyerupai kerusakan yang disebabkan oleh herbisida kontak.
3 METODE
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah gulma golongan rumputrumputan: Echinochloa crus-galli (L.) Beauv, Raeuschel, Leptochloa chinensis
(L.) Nees, Axonopus compressus (SW) Beauv dan Eleusine indica (L.) Gaertn;
gulma golongan teki: Cyperus kyllingia L dan Fimbristylis miliacea (L) Vahl;
gulma golongan daun lebar: Ludwigia octovalvis (Jacq.) Raven, Asystasia intrusa
Blume dan Borreria alata (Aubl) DC sedangkan hidrolisat yang digunakan
berasal dari lignoselulosa jerami dan sekam padi var. Mentik Wangi, tongkol
jagung var. SG75 (Syngenta), bagase tebu var. PS 862, cangkang sawit (PTPN 8),
serbuk kayu sengon dan gambut saprik (Riau) dengan dua perlakuan yaitu
menggunakan gas SO2 dan tidak dalam proses pembuatannya
Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian terdiri dari timbangan digital,
oven, reaktor mini, pompa vakum, cawan petri dan alat penghancur.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian berada di laboratorium Ecotoxicology waste & Bioagents
dan Green house Cikabayan. Penelitian dilaksanakan pada Juli 2013 sampai
dengan Juni 2014.
9
Prosedur Analisis Data
Analisis data gulma tanaman Padi :
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) satu faktor.
Analisis data dilakukan terpisah untuk data uji preemergence, early post
emergence dan post emergence. Perlakuan yang digunakan ada 6 perlakuan. Uji
preemergence pada gulma padi sawah dengan 4 ulangan sehingga diperoleh 24
satuan percobaan. Uji preemergence pada benih padi var. Ciherang, uji early post
emergence pada bibit padi var. Ciherang maupun gulma, dan uji post emergence
dengan 3 ulangan sehingga diperoleh 18 satuan percobaan. Uji early post
emergence pada gulma terdiri dari 10 gulma uji sedangkan pada bibit padi var.
Ciherang terdiri dari 10 bibit padi. Uji post emergence setiap satuan percobaan
terdiri dari 1 gulma uji. Perlakuan percobaan ini sebagai berikut :
P0
= kontrol
P1
= Hidrolisat jerami padi 200 g l-1
P2
= Hidrolisat sekam padi 133 g l-1 + gas SO2
P3
= Hidrolisat sekam padi 150 g l-1
P4
= Hidrolisat cangkang sawit 133 g l-1 + gas SO2
P5
= Hidrolisat bagase tebu 200 g l-1
Dengan Persamaan umum statistik untuk rancangan percobaan ini adalah :
Yij : μ + τi + ρj + εij
Dimana :
i
= larutan hidrolisat ke - 0,1,2, ...5
j
= ulangan ke - 1, 2, 3;
Yij
= respon tanaman terhadap pemberian larutan hidrolisat ke-i dan ulangan
ke-j;
μ
= rataan umum
τi
= pengaruh pemberian larutan hidrolisat
ρj
= pengaruh Kelompok ke –j
εij
= galat percobaan
Hasil analisis ragam yang berpengaruh nyata pada taraf 5 % selanjutnya di
uji lanjut dengan DMRT (Duncan’s Multiple Range Test) untuk melihat
perbedaan antar perlakuan.
Analisis data gulma tanaman Kelapa Sawit :
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) satu faktor.
Analisis data dilakukan terpisah untuk data uji preemergence, early post
emergence dan post emergence. Uji pada preemergence dengan 6 perlakuan dan
4 ulangan sehingga diperoleh 24 satuan percobaan, uji early post emergence dan
post emergence hanya dilakukan 3 ulangan sehingga di peroleh 18 satuan
percobaan. Uji early post emergence setiap satuan percobaan terdiri dari 10
gulma uji sedangkan pada post emergence setiap satuan percobaan terdiri dari 1
gulma uji. Perlakuan dalam percobaan ini adalah sebagai berikut :
L0
= Kontrol
L1
= Hidrolisat gambut saprik 100 g l-1 + gas SO2
L2
= Hidrolisat tongkol jagung 100 g l-1 + gas SO2
L3
= Hidrolisat cangkang sawit 171 g l-1
12
sedangkan pada 7 hsa peubah yang diamati tinggi plumula, panjang radikula,
jumlah akar primer dan persen penekanan pertumbuhan. Perhitungan persentase
penekanan perkecambahan pada benih padi sawah dengan rumus sebagai berikut :
Sedangkan untuk perhitungan persentase penekanan pertumbuhan plumula,
radikula dan akar primer sebagai berikut :
Uji Potensi Larutan Hidrolisat Lignoselulosa sebagai Bioherbisida Early Post
Emergence pada Gulma Padi Sawah dan Gulma Kelapa Sawit
Uji gulma fase early post emergence diawali dengan menyiapkan anakan
gulma uji. Setiap satuan percobaan terdiri dari 10 anakan gulma. Percobaan
dilakukan terhadap gulma tanaman padi yaitu: E. crus-galli, F. miliacea, L.
octovalvis dan L. chinensis, sedangkan untuk gulma tanaman kelapa sawit
menggunakan anakan gulma A. compressus, E. indica, C. kyllingia, dan B. alata
yang dikecambahkan dalam pot yang berdiameter 5.5 cm. Penyemprotan larutan
hidrolisat 4 ml dilakukan ketika gulma berusia 2 minggu. Peubah yang diamati
antara lain tinggi tanaman, daun rusak dan persen kerusakan selama 6 hsa. Uji
pada bibit padi var. Ciherang fase early post emergence dilakukan dengan 3
ulangan. Setiap satuan percobaan terdiri dari 5 bibit padi yang berumur 7 hari.
Peubah yang diamati antara lain tinggi tanaman, panjang akar, daun rusak dan
persen kerusakan selama 6 hsa, panjang akar diukur pada 14 hsa. Perhitungan
persentase kerusakan dengan rumus sebagai berikut :
Uji Potensi Larutan Hidrolisat Lignoselulosa sebagai Bioherbisida Post
Emergence pada Gulma Padi Sawah dan Gulma Kelapa Sawit
Lokasi Pengambilan gulma uji pada tanaman padi di Sawah Baru Desa
Babakan Raya Dramaga dimana gulma yang digunakan adalah L. chinensis, F.
miliacea, dan L. octovalvis. Gulma di seleksi agar pertumbuhan seragam di green
house, sedangkan pada gulma tanaman kelapa sawit lokasi pengambilan gulma uji
di lakukan di kebun kelapa sawit Cikabayan kampus IPB Dramaga dimana gulma
yang digunakan adalah A. compressus, C. kyllingia, B. alata dan A. intrusa gulma
kemudian gulma di tumbuhkan di green house. Gulma diletakkan dalam wadah
terpal (1 m x 6 m) yang telah berisi air dengan ketinggian 3 sampai 4 cm.
Aplikasi bioherbisida dilakukan setelah gulma dianggap tumbuh normal dan
seragam. Setiap gulma di semprot larutan hidrolisat lignoselulosa sebanyak 5 ml.
Peubah yang diamati meliputi: tinggi gulma,daun rusak dan skor kerusakan gulma.
13
Nilai skoring visual sebagai berikut: 0= Tidak ada keracunan, 0-5% bentuk dan
atau warna daun muda tidak normal, 1= Keracunan ringan, >5-10% bentuk dan
atau warna daun muda tidak normal, 2= Keracunan sedang, >10-20% bentuk dan
atau warna daun muda tidak normal, 3= Keracunan berat, >20-50% bentuk dan
atau warna daun muda tidak normal, 4= Keracunan sangat berat, >50% bentuk
dan atau warna daun muda tidak normal hingga mengering, rontok, dan tanaman
mati (Komisi Pestisida, 2000). (d). Bobot kering gulma diperoleh dengan cara
memanen gulma pada 6 HSA yaitu dengan memotong gulma pada permukaan
media tanam. Gulma kemudian dioven pada suhu 80 OC selama 24 jam,
kemudian ditimbang dengan menggunakan neraca analitik; (e). Nilai persen
kerusakan dihitung dengan mengkonversi data bobot kering (Bk) menjadi nilai
persen kerusakan, dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Kandungan Bahan Aktif
Dari hasil analisis Gas Chromatography – Mass Spectrometry (GC-MS) di
Lab. Kesehatan DKI Jakarta terhadap larutan hidrolisat lignoselulosa: jerami padi,
sekam padi, cangkang sawit, bagase tebu, tongkol jagung, gambut saprik dan
serbuk kayu diperoleh senyawa kimia hasil hidrolisis lignoselulosa (Tabel 1).
Senyawa aktif yang memiliki persen area terbesar yang terkandung dalam larutan
hidrolisat jerami padi yaitu: 1-(4 hydroxy-3,5 dimethoxyphenyl), ethanone sebesar
20.9%, hidrolisat sekam padi dan hidrolisat tongkol jagung yaitu 4-oxo-pentanoic
acid 11.1 dan 33.2%, hidrolisat cangkang sawit yaitu phenol 16.7%, hidrolisat
bagase tebu yaitu 2-methoxy, phenol 32.1%, hidrolisat gambut saprik yaitu
homovanillyl alcohol 28.13%, dan pada hidrolisat serbuk kayu yaitu 2,6dimethoxy, phenol 21%.
Berdasarkan gugus fungsinya senyawa yang terindentifikasi terdiri dari 3
aldehida, 5 asam karboksilat, 10 fenolat, dan 12 senyawa keton. Dari hasil
analisis terdapat dua senyawa yang ada pada tiap larutan hidrolisat yang diuji
yaitu senyawa phenol (fenolat) dan senyawa 2-(2-methoxyphenyl),ethanol (asam
karboksilat). Dua senyawa tersebut memperlihatkan nilai persen area yang
berbeda pada hidrolisat jerami padi, sekam padi, cangkang sawit, bagase tebu,
tongkol jagung, gambut saprik dan serbuk kayu. Senyawa yang tidak terdapat
pada satu larutan hidrolisat yaitu senyawa 2,6-dimethoxy, phenol (fenolat) pada
hidrolisat jerami padi, senyawa 2-methoxy, phenol (fenolat) pada hidrolisat
gambut saprik. Hasil analisis juga memperlihatkan adanya senyawa kimia yang
spesifik hanya terdapat pada hidrolisat lignoselulosa tertentu saja, berdasarkan
gugus fungsinya terdapat 3 aldehid, 1 alkena, 8 asam karboksilat, 3 ester, 15 fenol,
dan 30 keton (Lampiran 2) dan grafik waktu retensi (Lampiran 3).
14
Tabel 1 Kandungan senyawa kimia larutan hidrolisat lignoselulosa berdasarkan
persen area dan gugus fungsi pada konsentrasi 67 g l-1
Perlakuan
NO
1
2
3
4
5
6
7
8
phenol
2-(2-Methoxyphenyl)
ethanol
2,6-dimethoxy-,
phenol
2-methoxy-, phenol
4-ethyl-, phenol
2,5-hexanedione
homovanillyl alcohol
Jerami
padi
3.0
5.1
Sekam
padi
6.8
1.5
Hidrolisat lignoselulosa (% area)
Cangkang Bagase Tongkol Gambut
sawit
tebu
jagung
saprik
16.7*
6.0
4.1
0.8
1.6
0.9
1.0
1.0
Serbuk
kayu
1.3
0.8
Gugus
Fungsi
Fenol
Asam
karboksilat
Fenol
-
6.0
10.3
8.5
5.9
13.1
21.0*
7.2
4.7
-
8.6
2.6
1.5
5.6
4.2
1.5
1.2
2.2
32.1*
2.5
4.1
1.4
4.3
1.3
1.5
2.3
28.1*
9.0
3.70
-
6.9
3.2
6.8
7.3
2.7
-
-
Fenol
Fenol
Keton
Asam
karboksilat
Keton
3.1
2.6
1.3
0.7
-
10.1
-
Keton
1.2
4.5
-
2.9
-
2.7
1.8
-
3.9
12.3
11.0
Fenol
Keton
20.9*
-
4.0
-
4.6
5.7
-
Keton
0.2
3.0
-
-
5.4
-
-
Aldehida
-
1.0
0.6
1.5
-
-
-
Keton
-
0.9
0.5
0.8
-
-
-
Keton
-
1.1
-
1.2
0.3
-
1.9
Fenol
-
4
-
1.8
1.7
-
4.8
Keton
1.4
-
-
1.0
-
-
-
Keton
2.0
-
-
1.1
-
-
-
Fenol
-
11.2*
5.8
-
33.2*
-
-
-
1.8
-
-
2.7
-
-
Asam
karboksilat
Keton
-
3.3
-
-
5.6
-
-
22
2-hydroxy-3-methyl,
2-cyclopenten-1-one,
1-(4-hydroxy-3methoxyphenyl),
ethanone
1,2-benzenediol
1-(2,4,6trihydroxyphenyl), 2pentanone,
1-(4-hydroxy-3,5dimethoxyphenyl),
ethanone
4-hydroxy-3methoxy,
benzaldehyde,
3-methyl-,2cyclopenten-1-one
2-methyl-,2cyclopenten-1-one
1,2-benzenediol,3methoxy1-(4-hydroxy-3,5methoxyphenyl),
ethanone
2,3-dimethyl-2cyclopenten-1-one
1,3-cyclohexadien-1OL, acetate
4-oxo-, pentanoic
acid
1-(3-hydroxyphenyl),
ethanone
acetic acid
23
24
1,4-benzenediol
benzoic acid
-
9.5
0.3
-
-
4.8
-
3.5
-
25
3,5-dimetyl
cyclopentenolone 2hydroxy- 3,5dimethyl
4-hydroxy-3,5dimethoxy-,
benzaldehyde
-
-
0.8
0.3
-
-
-
Asam
karboksilat
Fenol
Asam
karboksilat
Keton
-
-
2.4
-
-
-
2.4
Aldehida
vanillin
-
-
-
0.4
-
-
1.2
vanilin
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
26
27
16
Hasil pengamatan terdapat 4 gulma dominan yang berkecambah yaitu: F.
miliacea, L. octovalvis, L. chinensis dan A. sessilis (Lampiran 4). Perkecambahan
gulma F. miliacea lebih rendah dibandingkan kontrol pada 1 - 3 msa namun pada
2 msa perlakuan cangkang sawit 133 g l-1 + gas SO2 dan pada 3 msa perlakuan
jerami padi 200 g l-1 tidak berbeda nyata dengan kontrol. Perkecambahan gulma
L. octovalvis pada 1 - 3 msa lebih rendah dari kontrol walaupun perlakuan jerami
padi 200 g l-1 pada 1 msa dan semua perlakuan pada 2 – 3 msa tidak berbeda nyata
dengan kontrol (Tabel 3).
Tabel 3 Pengaruh perlakuan terhadap jumlah spesies gulma pada tanaman padi
fase preemergence
-----------------------------------------------------------Gulma (rumpun)--------------------------------------------------F.miliacea
L.octovalvis
L.chinensis
A.sesilis
Gulma lain
a
2
msa
3
msa
1
msa
2
msa
3
msa
1
msa
2
msa
3
msa
1
msa
1
msa
3
msa
2
msa
3
msa
2
msa
Kontrol
Jerami padi 200 g
l-1
Sekam padi 133 g
l-1 + gas SO2
Sekam padi 150