Pemilihan Alternatif Model Kelembagaan Pengelolaan TPA Sampah Regional Dengan Metode Analytic Hierarcy Process (AHP) (Studi Kasus TPA Legognangka Di Kabupaten Bandung)

(1)

METODE

ANALYTIC HIERARCY PROCESS

(AHP)

(Studi Kasus: TPA Legognangka di Kabupaten Bandung)

TUGAS AKHIR

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Menempuh Gelar Sarjana Strata Satu (1) Pada Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota

Disusun Oleh : KANI MAHARDIKA

1.06.06.019

PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

FAKULTAS TEKNIK DAN ILMU KOMPUTER

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA

BANDUNG


(2)

ii

Penelitian ini dilakukan untuk menemukan model kelembagaan pengelolaan TPA Legognangka yang akan dimanfaatkan oleh 6 daerah yaitu Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi, Kabupaten Garut, dan Kabupaten Sumedang. Dalam penelitian ini diusulkan 3 (tiga) alternatif model kelembagaan yang akan dinilai berdasarkan penilaian para ahli menggunakan metode AHP. Ada pun kriteria-kriteria penentu dalam penilaian alternatif model kelembagaan tersebut adalah (1) Kemampuan Unit, (2) Pola Kerjasama dan Kewenangan, (3) Pengambilan Keputusan, (4) Pola Pengawasan, (5) Sumber Pembiayaan, dan (6) Profesionalitas.

Berdasarkan analisis yang dilakukan didapatkan hasil-hasil sebagai berikut: (1) Diantara enam kriteria yang disertakan dalam analisis, kriteria pola kerjasama dan kewenangan dianggap paling penting dalam menilai alternatif model kelembagaan yang diusulkan, (2) Hasil analisis berdasarkan 6 kriteria yang dilibatkan menunjukkan bahwa model 2 lebih baik dibandingkan model 1 dan model 3, dan (3) Dari enam kriteria yang digunakan sebagai alat analisis, model 2 memiliki keunggulan dalam 5 kriteria (Kemampuan Unit, Pola Kerjasama dan Kewenangan, Pengambilan Keputusan, Pola Pengawasan, dan Profesionalitas), sementara model 1 memiliki keunggulan pada kriteria Sumber Pembiayaan.

Dari hasil analisis, selanjutnya dapat diberikan rekomendasi sebagai berikut: (1) Penggunaan metode AHP dalam penelitian ini kurang menunjang konsensus dari penilaian responden sehingga dapat digunakan metode Delphi untuk lebih menunjang konsensus dari penilaian responden, (2) Data untuk metode AHP dalam penelitian ini mengandalkan penilaian responden terhadap kriteria-kriteria yang diajukan. Karena penilaian akan sangat bervariasi antar satu dengan yang lainnya maka penambahan jumlah responden dengan sumber yang semakin luas perlu dilakukan guna menjada konsistensi data, dan (3) Dalam penelitian ini hanya diuji 3 (tiga) buah model saja, oleh karena itu perlu ditambahkan bentuk model kelembagaan lainnya seperti BLU (Badan Layanan Umum) dan Regional Management sebagai bahan pembanding dalam pembobotan menggunakan metode AHP.


(3)

iii

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Tugas Akhir ini. Shalawat dan Salam semoga tercurah atas Rosulullah SAW, keluarga, sahabat serta para pengikutnya hingga akhir zaman. Amin.

Tugas Akhir ini merupakan syarat yang diajukan untuk melengkapi persyaratan program Strata Satu Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Komputer Indonesia.

Penulis menyadari dalam penyusunan laporan Tugas Akhir ini masih jauh dari sempurna. Akan tetapi selama penyusunan laporan Tugas Akhir ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak, baik itu berupa dorongan moril maupun materil. Oleh karena itu pada kesempatan ini, dengan tulus dan dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kedua orang tuaku tercinta, serta kedua kakak saya yang saya sayangi atas segala yang telah diberikan, mudah-mudahan bisa menjadi orang yang bisa membanggakan keluarga.

2. Dr. Ir. Eddy Soeryanto Soegoto, MSc., selaku Rektor Utama Universitas Komputer Indonesia.

3. Dr. Arry Akhmad Arman selaku Dekan Fakultas Teknik dan Ilmu Komputer 4. Ir. Romeiza Syafriharti, M.T, selaku Ketua Program Studi Perencanaan

Wilayah dan Kota serta selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk membimbing penulis dalam penyusunan laporan Tugas Akhir ini. 5. Almarhumah Ibu Dr. Endang Saraswati, terima kasih atas bimbingannya,

nasehat-nasehatnya, juga saran dan kritik yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan laporan Tugas Akhir ini.

6. Seluruh Dosen dan Sekretariat Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota 7. Seluruh pegawai dan staf di Instansi Pemerintahan yang terlibat selama proses

penyusunan laporan Tugas Akhir ini.

8. Riska Helman, yang selalu setia menemani dan memberikan dukungan serta doanya yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan laporan Tugas Akhir ini.


(4)

iv

9. Teman-teman Jurusan PWK angkatan 2006 yaitu Endi, Dira, Nunu, Yusran, Rio, Suci, Eva, Qori, Cika, yang selalu memberikan dukungan dan nasehatnya. 10. Teman-teman seperjuangan yang sama-sama menyusun Tugas Akhir yaitu

Endi, Dira, Murni, Tito, Rahadian, dan Gayatri, yang selalu menyemangati dan berbagi keluh kesah.

11. Teman-teman Jurusan PWK angkatan lainnya, terima kasih untuk kerjasama dan bantuannya semoga pertemanan ini tidak akan pernah terputus.

12. Serta pihak-pihak lainnya yang tidak bisa disebut satu per satu oleh penulis. Harapan penulis semoga apa yang disajikan dalam laporan ini memberikan manfaat yang besar khususnya bagi penulis dan bagi semua pihak yang membaca pada umumnya. Laporan ini juga tidak terlepas dari berbagai kekurangan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan berbagai masukan, kritik dan saran yang dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran yang lebih baik di masa yang akan datang.

Bandung, Agustus 2011

Kani Mahardika NIM : 1.06.06.019


(5)

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Berdasarkan pengalaman yang lalu hanya beberapa hari saja TPA Leuwigajah ditutup, sampah di Bandung Raya sudah menumpuk. Oleh karena itu sebagai solusinya Pemerintah Provinsi Jawa Barat menyiapkan sebuah TPA Sampah Regional yg bernama TPA Legoknangka. TPA Legoknangka direncanakan akan digunakan sebagai tempat pembuangan sampah dari Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi, Kabupaten Garut, dan Kabupaten Sumedang. Dengan beban menampung sampah kira-kira 1000 ton sampah per hari.

Sebagai bentuk keseriusan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam menyiapkan TPA Legognangka ini maka dengan berlandaskan RPJM Daerah Provinsi Jawa Barat, Pemerintah Provinsi Jawa Barat melakukan studi kelayakan terhadap TPA Legognangka, dimana TPA Legognangka ini akan dijadikan TPA Sampah Regional yang akan digunakan oleh Bandung Raya (Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Sumedang, dan Kabupaten Garut).

TPA Legoknangka berada di Kampung Legoknangka, Desa Ciherang, Kecamatan Nagreg, Kabupaten Bandung. Hal ini menyebabkan dibutuhkannya kerjasama antar daerah dalam hal pengelolaan atau dibuat sebuah model kelembagaan, karena TPA ini digunakan oleh beberapa kota dan kabupaten. Sehingga masing-masing daerah yang memanfaatkan TPA ini haruslah saling memberikan kontribusinya masing-masing agar tidak ada daerah yang merasa dirugikan.

Dalam kerjasama pengelolaan TPA Legoknangka belum terdapat kelembagaan pengelolaan TPA Legognangka. Sebagai daerah yang hidup berdampingan maka sangat diharapkan timbul kerjasama yang saling menguntungkan sesuai dengan prinsip otonomi daerah oleh karena itu perlu ditemukan suatu alternatif model pengelolaan TPA Legoknangka antara Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut, dan Kabupaten


(6)

Sumedang yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada saat ini. Pemahaman akan model kelembagaan yang ada dan prinsip otonomi daerah merupakan hal kunci dalam menentukan bentuk model kelembagaan yang sesuai.

Berangkat dari permasalahan tersebut, perlu kiranya ada suatu pendekatan ilmiah yang digunakan sebagai bahan untuk memutuskan alternatif model kelembagaan pengelolaan TPA Legognangka sehingga dapat mengurangi unsur subyektivitas para pengambil kebijakan. Salah metode ilmiah tersebut adalah metode analytic hierarcy process (AHP), suatu metode yang sudah dikenal dan banyak digunakan dalam bidang pengambilan keputusan.

Penelitian ini secara khusus ingin menerapkan metode AHP dalam kepentingan perumusan dan pengambilan keputusan dalam bidang teknik. Diharapkan melalui penelitian ini dapat dibuktikan bahwa metode AHP cukup handal dalam membantu para pengambil kebijakan dalam proses pengambilan keputusan yang objektif, terutama dalam memilih alternatif model kelembagaan pengelolaan TPA Legognangka, agar dapat mempertahankan TPA tersebut seefektif mungkin sehingga fungsi TPA Legoknangka akan menjadi optimal dan dapat dijadikan acuan dalam pelaksanaan pola kerjasama pengelolaan TPA Sampah Regional.

1.2 Perumusan Masalah

Dari fenomena yang terjadi, pertanyaan penelitian yang menjadi titik tolak dilakukannya studi ini adalah bagaimana bentuk kelembagaan yang cocok untuk mengelola TPA Legoknangka?

1.3 Manfaat, Tujuan, dan Sasaran Penelitian 1.3.1 Manfaat Penelitian

Manfaat-manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Penelitian ini dapat bermanfaat bagi peneliti dalam memahami lebih mendalam mengenai teori-teori dan model-model yang berhubungan dengan konsep kelembagaan atau kerjasama antar daerah dalam pengelolaan TPA.


(7)

2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan sumbangan pemikiran sebagai telaahan bagi semua pihak yang terlibat langsung mengenai permasalahan di dalam penelitian ini, serta dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam merumuskan dan memutuskan kebijakan mengenai permasalahan di dalam penelitian ini.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Dengan berlandaskan latar belakang dan rumusan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menemukan model kelembagaan pengelolaan TPA Legognangka dan melakukan penilaian terhadap model tersebut.

1.3.3 Sasaran Penelitian

Sasaran-sasaran yang ingin dicapai berkaitan dengan tujuan di atas yaitu: 1. Identifikasi Alternatif Model Kelembagaan.

2. Identifikasi Kriteria- kriteria untuk penilaian menggunakan metode AHP. 3. Penilaian terhadap Alternatif Model Kelembagaan.

1.4 Ruang Lingkup

Ruang lingkup pembahasan studi ini akan dijabarkan menjadi dua bagian, yaitu ruang lingkup penelitian dan ruang lingkup subtansi.

1.4.1 Ruang Lingkup Wilayah

Ruang lingkup studi dalam penelitian ini yaitu lingkup wilayah pelayanan sampah yang akan memanfaatkan TPA Legonangka. Lingkup wilayah yang akan terlibat dalam pelayanan sampah TPA Legognangka ini adalah (1) Kota Bandung, (2) Kota Cimahi, (3) Kabupaten Bandung, (4) Kabupaten Bandung Barat, (5) Kabupaten Garut, dan (6) Kabupaten Sumedang.


(8)

4 Gambar 1.1


(9)

1.4.2 Ruang Lingkup Subtansi

Agar lebih terarah, maka penelitian ini dibatasi pada ruang lingkup substansi sebagi berikut:

1. Model kelembagaan yang dijadikan alternatif model dibatasi hanya pada 3 (tiga) alternatif model kelembagaan yang diusulkan oleh peneliti. Alternatif model kelembagaan yang diusulkan didasarkan pada teori, model, dan studi terkait.

2. Kriteria-kriteria penilaian dibatasi hanya pada enam kriteria yang diusulkan dalam penelitian ini. Kriteria-kriteria ini dianggap penting dan berpengaruh dalam pemilihan alternatif model kelembagaan, kriteria-kriteria tersebut didasarkan pada teori dan studi terkait.

3. Teori tentang metode AHP untuk melakukan penilaian terhadap alternatif model kelembagaan.

4. Penilaian terhadap model kelembagaan yang diusulkan didasarkan hanya pada pendapat para ahli / expert yang dalam penelitian ini disebut responden. Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 10 orang dan berasal dari instansi pemerintahan (6 orang) dan ahli / expert independen (4 orang).

1.5 Metodologi Penelitian

Untuk mencapai tujuan penelitian diperlukan metode dan pendekatan yang tepat agar dapat memperoleh data yang relevan serta pelaksanaan penelitian yang tepat. Oleh karena itu, pelaksanaan penelitian menggunakan beberapa teknik metode penelitian, yaitu :

1.5.1 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan yaitu dengan inventarisasi data sekunder dan survei data primer. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel berikut ini:


(10)

Tabel 1.1 Kebutuhan Data

No. Kebutuhan Data Jenis

Data Sumber Data

Cara Memperoleh

Data 1. Data terkait lingkup

subtansi:

•Pengelolaan Persampahan •Eksisting TPA

Legognangka

Sekunder • Distarkim Provinsi Jawa Barat • Dinas Tata Ruang dan

Permukiman Provinsi Jawa Barat • PD. Kebersihan Kota Bandung • Dinas Kebersihan Kab. Bandung • Kantor Lingkungan Hidup Kab.

Bandung Barat • Dinas Penyehatan dan

Lingkungan Kebersihan Kota Cimahi

• Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup Kabupaten Sumedang • Badan Lingkungan Hidup dan

Kebersihan Kabupaten Garut

Survey Instansi

2. Data untuk Penilaian menggunakan metode AHP

Primer • Perwakilan dari PD. Kebersihan Kota Bandung

• Perwakilan dari Dinas Kebersihan Kab. Bandung • Perwakilan dari Kantor

Lingkungan Hidup Kab. Bandung Barat

• Perwakilan dari Dinas Penyehatan dan Lingkungan Kebersihan Kota Cimahi • Perwakilan dari Dinas

Pengelolaan Lingkungan Hidup Kabupaten Sumedang

• Perwakilan dari Badan Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kabupaten Garut • Ahli Independen

Wawancara dan kuesioner


(11)

1.5.2 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan kuantitatif.Pendekatan umum yang dilakukan pada analisis kualitatif adalah deskriptif dan deskriptif komparatif, yaitu dengan menggambarkan secara tertulis data-data yang telah didapat dan diolah, dengan menguraikan dan menafsirkan data-data tersebut serta melakukan perbandingan (komparatif). Artinya, analasis kualitatif adalah memberikan gambaran penjelasan tentang keadaan atau fenomena yang ada dalam ruang lingkup wilayah studi dengan sejelas-jelasnya. Pada penelitian ini tahapan analisis menggunakan analisis deskriptif kualitatif dan deskriptif komparatif. Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam analisis kuantitatif adalah metode AHP atau disebut juga Analytic Hierarchy Process.

Metode analisis AHP dalam penelitian ini digunakan untuk melakukan pembobotan terhadap tiga buah alternatif model kelembagaan pengelolaan TPA Legoknangka yang diusulkan, sehingga nantinya akan dihasilkan sebuah alternatif model kelembagaan untuk mengelola TPA Legognangka. Proses Hierarki Analitik (AHP) dikembangkan oleh Saaty (1993) dan dipergunakan untuk melakukan pengambilan keputusan. Secara umum hirarki dalam AHP dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu:

a. Hirarki struktural, yaitu masalah yang kompleks diuraikan menjadi bagian-bagiannya atau elemen-elemennya menurut ciri atau besaran tertentu. Hirarki ini erat kaitannya dengan menganalisa masalah yang kompleks melalui pembagian obyek yang diamati menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil.

b. Hirarki fungsional, menguraikan masalah yang kompleks menjadi bagian-bagiannya sesuai hubungan esensialnya. Hirarki ini membantu mengatasi masalah atau mempengaruhi sistem yang kompleks untuk mencapai tujuan yang diinginkannya seperti penentuan prioritas tindakan, alokasi sumber daya. Konsistensi matriks yaitu inkonsitensi sebesar 10% ke bawah ialah tingkat inkonsistensi yang masih bisa diterima.


(12)

1.5.3 Kerangka Pemikiran

Prosedur penelitian ini mengikuti kerangka pemikiran sebagaimana tercantum dalam gambar 1.2 dan dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Permasalahan yang menjadi latar belakang penelitian ini adalah TPA Legognangka yang akan dimanfaatkan oleh daerah yaitu Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi, Kabupaten Sumedang, dan Kabupaten Garut.

b. Berangkat dari latar belakang kemudian diketahui bahwa isu utama dari permasalahan dalam penilitian ini adalah belum ada lembaga pengelola TPA Legognangka, sementara nantinya TPA Legognangka akan digunakan oleh 6 daerah sehingga perlu ditemukan sebuah bentuk model kelembagaan pengelolaan TPA Legognangka.

c. Melakukan identifikasi kriteria-kriteria yang berpengaruh dalam kelembagaan pengelolaan TPA Regional. Identifikasi ini didapatkan melalui penelusuran kajian pustaka dan studi terkait.

d. Untuk menemukan sebuah alternatif model yang tepat diperlukan penelusuran kajian pustaka dan studi yang terkait sebagai upaya untuk memahami dasar-dasar yang menunjang dalam menemukan sebuah alternatif model serta sebagai bahan acuan dan pembanding.

e. Dari hasil penelusuran kajian pustaka dan studi yang terkait maka diidentifikasi tiga alternatif model kelembagaan pengelolaan TPA Legognangka yang akan diusulkan dalam penelitian ini.

f. Ketiga alternatif model tersebut akan diuji menggunakan metode AHP. Untuk itu perlu dikumpulkan data-data dari responden yang terkait dengan permasalahan dalam penilitian ini. Data yang telah diperoleh kemudian diolah dan dianalisis menggunakan metode AHP.

g. Terpilih satu alternatif model dari tiga alternatif model tersebut, alternatif model yang terpilih adalah alternatif model yang terbaik berdasarkan pada penilaian Analytical Hierarcy Process (AHP).


(13)

Gambar 1.2

Bagan Kerangka Pemikiran Belum ada lembaga Pengelola

TPA Legognangka

Pengujian 3 Alternatif Model Kelembagaan Pengelolaan

TPA Legognangka

Model Kelembagaan Pengelolaan TPA Legognangka Terpilih

Identifikasi Kriteria Penilaian RPJM Daerah Provinsi Jawa Barat

2008 - 2013

Identifikasi Alternatif Model Kelembagaan

TPA Legognangka


(14)

1.6 Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan penelitian mengenai “Alternatif Model Kelembagaan Pengelolaan TPA Sampah Regional (Studi Kasus: TPA Legognangka di Kabupaten Bandung”. Studi ini terdiri dari 5 (lima) bab dengan uraian sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini membahas mengenai gambaran umum penelitian yang meliputi latar belakang, perumusan permasalahan, manfaat, tujuan dan sasaran penelitian, ruang lingkup penelitian, metodologi penelitian, kerangka pemikiran, dan sistematika pembahasan.

BAB II TINJAUAN TEORETIS DAN KEBIJAKAN

Bab ini membahas mengenai pengertian umum dari sampah dan TPA, Teori kerjasama antar daerah, konsep dan model kerjasama antar daerah, Konsep dan model kelembagaan, Studi terkait, Metode AHP, Identifikasi Kriteria Penilaian Alternatif Model, Alternatif Model Kelembagaan yang diusulkan, dan kebijakan yang terkait.

BAB III GAMBARAN UMUM

Bab ini membahas mengenai gambaran umum profil pelayanan persampahan, aspek pengumpulan dan pengangkutan sampah, aspek institusi, serta kebijakan peraturan daerah yang terkait mengenai pengelolaan sampah / TPA.

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN ANALISIS

Bab ini membahas mengenai hasil penelitian meliputi proses dan hasil penilaian tiga alternatif model kelembagaan pengelolaan TPA legognangka menggunakan metode AHP.

BAB V KESIMPULAN

Bab 5 berisi mengenai kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan dan rekomendasi.


(15)

11 2.1 Pengertian dari Sampah

Azwar (1990) mengatakan bahwa sampah adalah sebagian dari sesuatu yang tidak terpakai, tidak disenangi atau sesuatu yang dibuang, umumnya berasal dari kegiatan manusia dan bersifat padat. Definisi lain dikemukakan oleh Hadiwijoto (1983), sampah adalah sisa-sisa bahan yang telah mengalami perlakuan baik telah diambil bagian utamanya, telah mengalami pengolahan, dan sudah tidak bermanfaat, dari segi ekonomi sudah tidak ada harganya serta dari segi lingkungan dapat menyebabkan pencemaran atau gangguan kelestarian alam.

Murtadho dan Gumbira (1988) membedakan sampah atas sampah organik dan sampah anorganik. Sampah organik meliputi limbah padat semi basah berupa bahan-bahan organik yang umumnya berasal dari limbah hasil pertanian. Sampah ini memiliki sifat mudah terurai oleh mikroorganisme dan mudah membusuk karena memiliki rantai karbon relatif pendek. Sedangkan sampah anorganik berupa sampah padat yang cukup kering dan sulit terurai oleh mikroorganisme karena memiliki rantai karbon yang panjang dan kompleks seperti kaca, besi, plastik, dan lain-lain.

Kategori sumber penghasil sampah yang sering digunakan adalah : (1) sampah domestik, yaitu sampah yang berasal dari pemukiman; 2) sampah komersial, yaitu sampah yang berasal dari lingkungan perdagangan atau jasa komersial berupa toko, pasar, rumah makan, dan kantor; 3) sampah industri, yaitu sampah yang berasal dari suatu proses produksi; dan 4) sampah yang berasal selain dari yang telah disebutkan diatas misalnya sampah dari pepohonan, sapuan jalan, dan bencana alam (Hadiwijoto, 1983).

2.2 Pengertian dari TPA

Menurut Sidik (1985), pengolahan sampah metoda pembuangan akhir dilakukan dengan teknik penimbunan sampah. Tujuan utama penimbunan akhir adalah menyimpan sampah padat dengan cara-cara yang tepat dan menjamin


(16)

keamanan lingkungan, menstabilkan sampah (mengkonversi menjadi tanah), dan merubahnya kedalam siklus metabolisme alam. Ditinjau dari segi teknis, proses ini merupakan pengisian tanah dengan menggunakan sampah. Lokasi penimbunan harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. Ekonomis dan dapat menampung sampah yang ditargetkan b. Mudah dicapai oleh kendaraan-kendaraan pengangkut sampah c. Aman terhadap lingkungan sekitarnya.

Ada dua teknik yang dikemukakan oleh Salvato (1982) yang termasuk dalam kategori TPA, yaitu teknik open dumping dan sanitary landfill. Teknik open dumping adalah cara pembuangan sampah yang sederhana, yaitu sampah dihamparkan disuatu lokasi dan dibiarkan terbuka begitu saja. Setelah lokasi penuh dengan sampah, maka ditinggalkan. Teknik ini sering menimbulkan masalah berupa munculnya bau busuk, menimbulkan pemandangan tidak indah, menjadi tempat bersarangnya tikus, lalat, dan berbagai kutu lainnya, menimbulkan bahaya kebakaran, bahkan sering juga menimbulkan masalah pencemaran air. Oleh karena itu, teknik open dumping sebaiknya tidak perlu dikembangkan, melainkan diganti dengan teknik sanitarylandfill.

Teknik sanitary landfill adalah cara penimbunan sampah padat pada suatu hamparan lahan dengan memperhatikan keamanan lingkungan karena telah ada perlakuan terhadap sampah. Pada teknik ini sampah dihamparkan hingga mencapai ketebalan tertentu lalu dipadatkan untuk kemudian dilapisi dengan tanah dan dipadatkan kembali. Pada bagian atas timbunan tanah tersebut dapat dihamparkan lagi sampah yang kemudian ditimbun lagi dengan tanah. Demikian seterusnya hingga terbentuk lapisan-lapisan sampah dan tanah. Pada bagian dasar dari konstruksi sanitary landfill dibangun suatu lapisan kedap air yang dilengkapi dengan pipa-pipa pengumpul dan penyalur air lindi (leachate) serta pipa penyalur gas yang terbentuk dari hasil penguraian sampah-sampah organik yang ditimbun. Menurut Sidik (1985) penimbunan sampah yang sesuai dengan persyaratan teknis akan membuat stabilisasi lapisan tanah lebih cepat dicapai.

Dasar dari pelaksanaannya adalah meratakan setiap lapisan sampah, memadatkan sampah dengan menggunakan compactor, dan menutupnya setiap


(17)

hari dengan tanah yang juga dipadatkan. Ketebalan lapisan sampah umumnya sekitar 2 meter, namun boleh juga lebih atau kurang dari 2 meter bergantung pada sifat sampah, metoda penimbunan, peralatan yang digunakan, topografi lokasi penimbunan, pemanfaatan tanah bekas penimbunan, kondisi lingkungan sekitarnya, dan sebagainya. Adapun fungsi lapisan penutup tersebut sebagai berikut :

a. Mencegah berkembangnya vektor penyakit b. Mencegah penyebaran debu dan sampah ringan c. Mencegah tersebarnya bau dan gas yang timbul d. Mencegah kebakaran

e. Menjaga agar pemandangan tetap indah

f. Menciptakan stabilisasi lokasi penimbunan sampah g. Mengurangi volume lindi

Hal yang sangat penting diperhatikan sehubungan dengan pembangunan TPA dengan teknik sanitary landfill adalah kemungkinan timbulnya pencemaran lingkungan di areal TPA tersebut. Sidik (1985) mengatakan bahwa ada beberapa jenis pencemaran di lahan penimbunan sampah (TPA) yaitu :

a. Air lindi, yang keluar dari dalam tumpukan sampah karena masuknya rembesan air hujan ke dalam tumpukan sampah lalu bersenyawa dengan komponen-komponen hasil penguraian sampah.

b. Pembentukan gas, penguraian bahan organik secara aerobik akan menghasilkan gas CO2, sedangkan penguraian bahan organik pada kondisi anaerobik akan menghasilkan gas CH4, H2S, dan NH3. Gas CH4 perlu ditangani karena merupakan salah satu gas rumah kaca serta sifatnya mudah terbakar. Sedangkan gas H2S, dan NH3 merupakan sumber bau yang tidak enak.

2.2.1 Metode Teknik Pembuangan Akhir Sampah

Proses akhir dari rangkaian penanganan sampah yang biasa dijumpai di Indonesia dilaksanakan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Pada umumnya metode pembuangan akhir sampah yang dilaksanakan di TPA berupa proses landfilling (pengurugan).


(18)

Terdapat beberapa alasan yang menyebabkan proses pengurugan (landfilling) tidak dapat tergantikan atau dihilangkan dalam sistem pengelolaan sampah perkotaan, antara lain:

a. Teknologi pengelolaan limbah seperti reduksi di sumber, daur – ulang, daur – pakai atau minimasi sampah, tidak dapat menyingkirkan sampah secara menyeluruh,

b. Tidak semua limbah mempunyai nilai ekonomis untuk di daur ulang,

c. Teknologi pengolahan limbah seperti insinerator atau pengolahan secara biologi dan atau kimia tetap menghasilkan residu yang harus ditangani lebih lanjut,

d. Kadangkala sebuah limbah sulit untuk diuraikan secara biologis, atau sulit untuk dibakar, atau sulit untuk diolah secara kimia. (Damanhuri, 1995)

Secara umum, berdasarkan sistem operasionalnya, terdapat tiga metode pembuangan akhir sampah, yaitu sanitary landfill, controlled landfill dan open dumping.

3. Skema sanitary landfill

Merupakan lahan urug yang telah memperhatikan aspek sanitasi lingkungan. Sampah diletakkan pada lokasi cekung, kemudian sampah dihamparkan hingga lalu dipadatkan untuk kemudian dilapisi dengan tanah penutup harian setiap hari akhir operasi dan dipadatkan kembali setebal 10% -15% dari ketebalan lapisan sampah untuk mencegah berkembangnya vektor penyakit, penyebaran debu dan sampah ringan yang dapat mencemari lingkungan sekitarnya. Lalu pada bagian atas timbunan tanah penutup harian tersebut dapat dihamparkan lagi sampah yang kemudian ditimbun lagi dengan tanah penutup harian. Demikian seterusnya hingga terbentuk lapisan-lapisan sampah dan tanah. Bagian dasar konstruksi sanitary landfill dibuat lapisan kedap air yang dilengkapi dengan pipa pengumpul dan penyalur air lindi (leachate) yang terbentuk dari proses penguraian sampah organik. Terdapat juga saluran penyalur gas untuk mengolah gas metan yang dihasilkan dari proses degradasi limbah organik, lebih jelas lihat Gambar 2.5. Metode ini merupakan cara yang ideal namun memerlukan biaya investasi dan operasional yang tinggi.


(19)

2. Skema controlled landfill

Controlled landfill atau lahan urug terkendali diperkenalkan oleh Departemen Pekerjaan Umum pada awal tahun 1990-an merupakan perbaikan atau peningkatan dari cara open dumping tetapi belum sebaik sanitary landfill. Pada skema ini pelapis dasar berupa lapisan geomembran. Aplikasi tanah penutup harian dilakukan setiap 5-7 hari. Setelah masa layan habis, dilakukan penutupan akhir. Tetapi sampai saat ini metode controlled landfill masih dianggap mahal.

3. Skema open dumping

Skema open dumping ini paling banyak diterapkan di Indonesia. Prinsip kerjanya sederhana: buang, tidak ada penanganan lebih lanjut terhadap sampah. Keuntungan utama dari sistem ini adalah murah dan sederhana. Kekurangannya, sistem ini sama sekali tidak memperhatikan sanitasi lingkungan. Sampah hanya ditumpuk seperti Gambar 2.6 dan dibiarkan membusuk sehingga menjadi lahan yang subur bagi pembiakan jenis-jenis bakteri serta bibit penyakit lain, menimbulkan bau tak sedap yang dapat tercium dari puluhan bahkan ratusan meter, mengurangi nilai estetika dan keindahan lingkungan. Tabel 2.3 memaparkan kelebihan dan kekurangan dari berbagai skema pengoperasian lahan urug.

Tabel 2.1

Perbandingan Skema Lahan Urug

Skema Lahan Urug Kelebihan Kekurangan

Open Dumping •Teknis pelaksanaan

mudah.

• Personil lapangan relatif sedikit.

• Biaya operasi dan perawatan yang relatif rendah.

• Terjadi pencemaran udara oleh gas, bau dan debu. • Pencemaran air tanah oleh

air lindi.

• Resiko kebakaran cukup besar

• Mendorong tumbuhnya sarang vektor penyakit


(20)

(tikus, lalat, nyamuk). • Mengurangi estetika

lingkungan. • Lahan tidak dapat

digunakan kembali.

Controlled landfill • Dampak negatif terhadap

lingkungan dapat diperkecil.

• Lahan dapat digunakan kembali setelah dipakai. • Estetika lingkungan cukup

baik.

• Operasi lapangan relatif lebih sulit.

• Biaya operasi dan perawatan cukup besar. • Memerlukan personalia

lapangan yang cukup terlatih.

Sanitary Landfill • Timbulan gas metan dan

air lindi terkontrol dengan baik sehingga tidak mencemari lingkungan.

• Timbulan gas metan dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. • Setelah selesai

pemakaiannya, area lahan urug dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti areal parkir, lapangan golf, dan kebutuhan lain.

• Aplikasi sistem pelapisan dasar (liner) yang rumit. • Aplikasi tanah penutup

harian yang mahal. • Aplikasi sistem lapisan

penutup akhir. • Biaya aplikasi pipa

penyalur gas metan dan instalasi pengkonversian gas metan menjadi sumber energi.

• Biaya aplikasi pipa-pipa pengumpul dan penyalur air lindi (leachate) dan intalasi pengolah air lindi.

Sumber: (Damanhuri, 2004)

2.3 Teori Kerjasama Antar Daerah

Kerjasama regional dapat dirunut dalam pokok-pokok bahasan manajemen publik, khususnya intergovernmental management dalam literartur dunia.


(21)

Bahasan tentang intergovernmental management dan intergovernmental relations banyak mengemuka pada literature dan tulisan para pakar public management mulai pertengahan abad 20 (McGuire , 2006; O,Toole ,2004). Michael McGuire seorang associate professor dalam public and environmental affairs di Universitas Indiana Bloomington yang juga pengajar Public Management and Intergovernmental Management mengungkapkan bahwa “intergovernmental management is more than just intergovernmental relationships”. Pendapat yang lebih tegas menyebutkan bahwa managemen antar daerah adalah inti dari hubungan antar daerah.

Selain pendekatan manajemen dalam pengelolaan kerjasama antar daerah, terjadi transisi pendekatan dalam melihat lembaga kerjasama antar daerah. Lembaga kerjasama dalam pengeloaan program dan kegiatan untuk mencapai tujuan kerjasama seringkali masih terpengaruhi oleh paradigma klasik. Cara pandang yang melihat lembaga kerjasama antar daerah dalam kerangka intra organization, dengan pola weberian type bureaucarcy. Cara pandang ini tercermin dari 10 prinsip birokrasi Weberian seperti yang dikemukakan oleh Martin Albrow (2004). Ciri menonjol dari birokrasi Weberian ini adalah hirarkial yakni pola hubungan yang terstruktur antara beberapa level/ tingkatan. Penerapan prinsip-prinsip Weberian seperti span of controll, rasionalitas, impersonal ini cenderung inward looking atau dengan parameter intra organization. Cara pandang terhadap lembaga kerjasama antar daerah ini menjadi kurang tepat karena sifat yang terbentuk dari kerjasama antar daerah (intergovernmental management), adalah relasi horisontal yang lebih mengedepankan networking / inter organization.

Seperti dikemukakan di depan, bahwa terjadi sejumlah perubahan pandangan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Perubahan-perubahan tersebut antara lain : perubahan dari orientasi lembaga pemerintahan yang kuat, besar dan otoritarian menjadi berorientasi pada small and less government, egalitarian dan demokratis, perubahan dari orientasi sistem pemerintahan yang sarwa negara ke orientasi sistem pasar (market), perubahan dari sentralistis kekuasaan menjadi desentralisasi kewenangan, perubahan menajemen pemerintahan yang


(22)

menekankan batas-batas dan aturan yang berlaku hanya untuk satu negara saja, ke arah boundaryless organization, akibat globalisasi, perubahan dari tatanan birokrasi Weberian menjadi tatanan birokrasi yang post bureucratic government (Rouke , 1992), dan post bureucartic organization (Heckscher dan Donnellon , 1994), atau perubahan dari manajemen pemerintahan yang mengikuti struktur fisik (physical structure) ke tatanan manajemen pemerintahan yang berdasarkan logical structure (Henry Lucas, 1996 (dalam Keban,2009), dan perubahan dari a low trust society ke arah a high trust society (Fukuyama , 1995).

Karakter kerjasama antar daerah dengan relasi horisontal yang berbasis intergovernmental network pada tingkatan daerah sangat berbeda karakter dengan organisasi yang berbasis dan berpola organisasi rasional. Pola organisasi rasional menekankan pola hubungan hierarkhis yang melihat organisasi kerjasama sebagai unit yang koheren dengan tujuan yang jelas, prosesnya terstruktur dari atas, keputusan organisasi didominasi kewenangan yang terpusat. (Arie Ruhyanto dalam Pratikno, 2007;50). Kerjasama antar daerah yang berpola networking didasarkan pada inter-relasi yang dilakukan oleh daerah yang bersifat bebas dan mandiri dalam berhubungan dengan daerah lain. Dalam pola networking tidak ada struktur kewenangan sentral. Semua tujuan dihasilkan dari kesepakatan dari semua anggota yang tergabung dalam forum kerjasama antar daerah sebagai perwujudan aksi bersama (collective action) (Klijn dalam Kickert , dan kawan-kawan,1999). Perbedaan karakter organisasi ini sering rancu dalam pelaksanaan kerjasama antar daerah di Indonesia yang memiliki sejarah birokrasi sentralistis cukup lama.

Pendapat tentang bekerjanya beberapa faktor dalam regionalisasi dan kerjasama regional dapat dirunut dari proses regionalisasi dan model komunikasi antar daerah. Dari runutan waktu dapat disebutkan beberapa pioner dalam pembahasan regionalisasi dan kerjasama antar daerah, antara lain, Goggin (1990), Weicchart (2002); O 'Toole (2004); Thomson (2006); Rendell serta Yablonsky (2006) dan Bryson, Crosby dan Stone dalam Keban (2009) , (2006). Bila Goggin belum mengidentifikasikan wujud dari faktor-faktor pendukung dan penghambat kerjasama antar daerah yang bekerja pada beberapa level pemerintahan,


(23)

Weicchart (2002) telah secara tegas menyebut antara lain : tekanan global, tekanan keterbatasan kemampuan dan potensi serta tekanan ego lokal. Elaborasi lanjut diberikan oleh O 'Toole (2004) yang menekankan pentingnya keselarasan antara stabilitas struktur organisasi dan manajerial. Pada periode waktu selanjutnya secara mengejutkan Thomson memberikan pemahaman konsep yang lebih dalam dari kerjasama antar daerah dengan mengenalkan semangat kolaborasi beserta dimensi-dimensi yang mendukungnya. Ada 5 dimensi kolaborasi antar daerah yakni pemerintahan, admininistrasi, otonomi, mutualisme dan reciprocitas. Sementara itu Rendell serta Yablonsky; Bryson, Crosby dan Stone, memberikan pengkayaan pada mekanisme kerjasama antar daerah dengan memberikan saran tentang tahapan membangun kerjasama dan unusr-unsur yang harus diperhatikan dalam kerjasama antar daerah.

Dari penelusuran praktek kerjasama antar daerah di beberapa Negara dapat ditemukan bentuk kerjasama dan pola kelembagaannya . Bentuk dan metode kerjasama antar daerah meliputi (1) intergovernmental service contract; (2) joint service agreement, dan (3) intergovernmental service transfer (Henry , 1995). Jenis kerjasama yang pertama dilakukan bila suatu daerah membayar daerah yang lain untuk melaksanakan jenis pelayanan tertentu seperti penjara, pembuangan sampah, kontrol hewan atau ternak, penaksiran pajak. Jenis kerjasama yang kedua biasanya dilakukan untuk menjalankan fungsi perencanaan, anggaran dan pemberian pelayanan tertentu kepada masyarakat daerah yang terlibat, misalnya dalam pengaturan perpustakaan wilayah, komunikasi antar polisi dan pemadam kebakaran, kontrol kebakaran, pembuangan sampah. Dan jenis kerjasama ketiga merupakan transfer permanen suatu tanggung jawab dari satu daerah ke daerah lain seperti bidang pekerjaan umum, prasarana dan sarana, kesehatan dan kesejahteraan, pemerintahan dan keuangan publik.

Pengalaman kerjasama antar daerah yang diberlakukan di: SALGA di Afrika Selatan, Sound Transit di Washington, LAA di Korsel, LCP di Philipina dan Cor di Uni Eropa memberikan beberapa kesimpulan antara lain : paradigma penyelenggaraan pemerintahan nasional sangat berpengaruh pada karakter kerjasama antar daerah. Hanya pada negara dengan praktek demokrasi yang baik,


(24)

kepentingan lokal dapat diperjuangkan pada asosiasi kerjasama antar daerah yang bersifat regional, dan kemudian dapat dicatat juga bahwa kerjasama antar daerah memerlukan payung hukum yang kuat mulai dari tingkat nasional sampai ke level daerah serta kejelasan aturan kelembagaan Sangat diperlukan dalam kesinambungan kegiatan kerjasama.

Saat ini di negara-negara maju mencanangkan kerjasama dalam konteks kolaborasi bidang perencanaan dan manajemen emergensi, bahkan menjadi fundasi penting dalam menangani bencana alam dan krisis lingkungan. Kolaborasi bahkan menjadi model alternatif untuk menggantikan model birokrasi klasik yang bersifat top down karena merupakan model yang mengandalkan jejaring yang fleksibel dan dinamis ( Waugh & Streib, 2006). Fungsi kolaborasi menjadi lebih diandalkan dari pada fungsi atau upaya melakukan adaptasi dalam menghadapi berbagai perubahan (Jenkins, 2006).

Pelajaran yang diperoleh dari praktek kerjasama antar daerah di berbagai negara tersebut adalah adanya beberapa format lembaga kerjasama yang dapat menjadi referensi bagi pengembangan kerjasama regional di Jawa Tengah, antara lain;

a. Ada dua (dua) format lembaga kerjasama, yakni : IGR dan IGM. Konsep IGR yang memungkinkan koordinasi dalam aspek umum di seluruh wilayah kerjasama (tidak disebutkan secara spesifik di Amerika, dan di Afrika Selatan), sedangkan IGM memberikan kemungkinan penyelenggaraan manajemen yang terkendali penuh dengan sektor kerjasama yang jelas (mis : pengelolaan transportasi umum di Washington State).

b. Arah pengembangan peran lembaga kerjasama berpolar dalam dua arah, yakni : sebagai interest group dari kepentingan regional terhadap pemerintah pusat (seperti Philipina) atau sebagai kepanjangan pemerintah pemerintah pusat dan sebagai pengendali kepentingan pusat di level regional (seperti di Korea Selatan). c. Ada kecenderungan menguatnya semangat kolaborasi dalam literatur dan praktek kerjasama antar daerah.


(25)

2.3.1 Model Kerjasama Antar Daerah (KAD)

Ada banyak model-model Kerjasama Antar Daerah (KAD) yang dapat disarikan dari berbagai sumber literatur. Akan tetapi, yang perlu untuk dicermati adalah prinsip-prinsip dasar yang diperlukan dari sebuah kerjasama. Model-model yang disajikan dalam tulisan ini adalah sekedar contoh. Bentuk-bentuk kerjasama itu dapat divariasikan atau bahkan digabungkan, tergantung pada karakteristik daerah yang bersangkutan, karakteristik bidang yang dikerjasamakan, serta negosiasi antar pemerintah daerah. Prinsipnya, dalam penerapan bentuk-bentuk ini, yang perlu dijaga pada daerah-daerah bersangkutan adalah :

1. Perlunya inklusivitas dalam kerjasama untuk mendekatkan pelayanan pada masyarakat dan menerapkan kaidah-kaidah partisipatif.

2. Mempertahankan komitmen dan semangat kerjasama.

3. Selalu mempelajari pilihan/alternatif, dan mengambil pilihan yang paling realistis.

4. Memperhatikan detil teknis dalam kerjasama.

5. Evaluasi secara berkala dan menjaga koridor kerjasama agar tetap mengarah pada tujuan awal kerjasama.

6. Responsif terhadap permasalahan yang muncul.

Selain itu, secara lebih khusus, ada beberapa prakondisi dalam hal keuangan/pendanaan yang perlu diperhatikan2, yaitu :

1. Kerjasama dalam pelayanan publik seharusnya diikuti juga dengan kerjasama dalam hal pendanaan pelayanan umum tersebut dan pendanaan urusan pemerintahan lainnya yang menjadi tanggung jawab bersama. 2. Sebelum kerjasama dilakukan, terlebih dahulu masing-masing daerah:

a. Memiliki komitmen yang kuat untuk pengelolaan terpadu

b. Membuka diri dan mempunyai mindset pembangunan wilayah yang sama

3. Status aset-aset yang dipergunakan dalam kerjasama perlu ditegaskan sebelum kerjasama tersebut dimulai. Masing-masing daerah hendaknya sudah mempunyai catatan atas asetnya masing-masing dan aset tersebut sudah tercatat dalam neraca daerah masing-masing.


(26)

4. Implementasi kerjasama memerlukan koordinasi yang bagus untuk menghindari konflik kepentingan karena masing-masing daerah mempunyai stakeholders. Masing-masing daerah mengurangi intervensi politik dan memperkuat koordinasi. Format kerjasama, terutama dalam hal pendanaan dan anggaran, memang perlu dibahas secara khusus oleh daerah-daerah yang bersangkutan. Pasalnya, tidak jarang faktor pendanaan dan anggaran ini menjadi faktor yang paling sensitif dalam menjaga keberlangsungan kerjasama.

Sebagai contoh, berikut ini akan disajikan beberapa model bentuk Kerjasama Antar Daerah (KAD). Bentuk-bentuk kerjasama antar pemerintah daerah dalam pelayanan publik dapat beragam, yaitu diantaranya:

1.Joint Agreements (pengusahaan bersama)

Model ini, pada dasarnya mensyaratkan adanya partisipasi atau keterlibatan dari daerah-daerah yang terlibat dalam penyediaan atau pengelolaan pelayanan publik. Pemerintah-pemerintah daerah berbagi kepemilikan kontrol, dan tanggung jawab terhadap program. Sistem ini biasanya tidak memerlukan perubahan struktur kepemerintahan daerah (menggunakan struktur yang sudah ada). Kelemahannya, dokumen perjanjian (agreement) yang dihasilkan biasanya sangat rumit dan kompleks karena harus mengakomodasi sistem birokrasi dari pemda-pemda yang bersangkutan.

2.Jointly-formed authorities (Pembentukan otoritas bersama)

Di Indonesia, sistem ini lebih populer dengan sebutan Sekretariat Bersama. Pemda-pemda yang bersangkutan setuju untuk mendelegasikan kendali, pengelolaan dan tanggung jawab terhadap satu badan yang dibentuk bersama dan biasanya terdiri dari perwakilan dari pemda-pemda yang terkait. Badan ini bisa juga diisi oleh kaum profesional yang dikontrak bersama oleh pemda-pemda yang bersangkutan. Badan ini memiliki kewenangan yang cukup untuk mengeksekusi kebijakan-kebijakan yang terkait dengan bidang pelayanan publik yang diurusnya, termasuk biasanya otonom secara politis. Kelemahannya, pemda-pemda memiliki kontrol yang lemah terhadap bidang yang diurus oleh badan tersebut.


(27)

3. Regional Bodies

Sistem ini bermaksud membentuk satu badan bersama yang menangani isu-isu umum yang lebih besar dari isu lokal satu daerah atau isu-isu kewilayahan. Seringkali, badan ini bersifat netral dan secara umum tidak memiliki otoritas yang cukup untuk mampu bergerak pada tataran implementasi langsung di tingkat lokal. Lebih jauh, apabila isu yang dibahas ternyata merugikan satu daerah, badan ini bisa dianggap kontradiktif dengan pemerintahan lokal. Di Indonesia, peranan badan ini sebenarnya bisa dijalankan oleh Pemerintah Provinsi.

2.4 Pengertian dari Kelembagaan

Menurut Douglas North, Shaffer (1995) and Coase, kelembagaan adalah peraturan formal dan informal yang mengatur atau mempengaruhi perilaku masyarakat seiring interaksi mereka dalam aktivitas politik dan ekonomi.

kelembagaan adalah produk dari aksi kolektif. Keduanya membatasi dan membebaskan perilaku dan dapat menyebabkan kerjasama maupun konflik. Suatu bentuk kelas dari kelembagaan menghasilkan keteraturan ( order ) dalam setiap kepentingan setiap orang dengan sedikit maupun tanpa pengaruh dari distribusi keuntungan dan biaya-biaya. Salah satu dari fungsi umum yang penting dalam kelembagaan adalah membuat perilaku lebih terprediksi dan mengurangi kesalahan dan konflik yang muncul dari perilaku tersebut. Banyak dari aturan tentang pasar, misalnya, mengatur perdagangan yang saling menguntungkan kedua pihak. Pada saat yang sama, hal-hal yang mendefinisikan aturan pasar- aturan yang mendefenisikan apa yang harus diperhitungkan dalam aktivitas ekonomi- bukan saja mempengaruhi organisasi ekonomi secara luas, namun juga distribusi keuntungan dan biaya dari ekonomi tersebut.

Analisis kelembagaan berhubungan dengan efek dari perilaku insitusi yang ada maupun yang belum ada. Analisis ini semakin rumit disebabkan karena pengaruh matriks institusi, sebagian formal maupun non-formal. Perubahan peraturan formal yang diharapkan dapat mengubah perilaku tertentu dapat gagal untuk menghasilkan hasil yang diharapkan karena adanya institusi informal dalam matriks tersebut. Hal yang umum tejadi adalah proses politik lebih mamu


(28)

mengubah hukum dan regulasi daripada memaksa atau menciptakan kebiasaan-kebiassan dan perilaku-perilaku yang baru.

Paradigma dasar dari analisis institusi adalah insitusi-institusi tersebut harus memiliki pengaruh yang kuat pada perilaku seseorang dan perilaku yang terbentuk memiliki pengaruh yang kuat terhadap kondisi perekonomian. Lebih khusus lagi, seseorang harus menghadapi dan merespons terhadap suatu set perubahan kesempatan, bersamaan dengan kelembagaan yang penting dalam menyusun kesempatan tersebut. Performa sangat dipengaruhi oleh jumlah dari interaksi dan respons tiap pelaku. Paradigma ini menjadi dinamis apabila perubahan dalam kesempatan dan pembelajaran diperhitungkan sebagai konsekuensi dari pola perilaku sebelumnya.

2.4.1 Model-Model Kelembagaan

Berikut ini adalah model-model kelembagaan yang akan ditinjau lebih dalam lagi dalam penelitian ini:


(29)

Gambar 2.1 Model Kelembagaan 1

(Kerjasama usaha dengan membentuk lembaga baru yang permanen)

Sumber:”Kajian Tentang Model Kerjasama Regional dan Prospek Kerjasama

Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Lintas Daerah Kabupaten / Kota di Kalimantan Timur”

PEMERINTAH DAERAH (1) PEMERINTAH DAERAH (2)


(30)

Gambar 2.2 Model Kelembagaan 2

(Kerjasama usaha dengan membentuk lembaga baru yang permanen)

Sumber:”Kajian Tentang Model Kerjasama Regional dan Prospek Kerjasama

Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Lintas Daerah Kabupaten / Kota di Kalimantan Timur”


(31)

Gambar 2.3 Model Kelembagaan 3

(Kerjasama pelayanan tanpa membentuk lembaga baru)

Sumber:”Kajian Tentang Model Kerjasama Regional dan Prospek Kerjasama

Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Lintas Daerah Kabupaten / Kota di Kalimantan Timur”

2.5 Studi Terkait

2.5.1 Perumusan Strategi Kemitraan Menggunakan Metode AHP dan SWOT

Penelitian ini dilakukan oleh Eko Nurmianto dan Arman Hakim Nasution pada tahun 2004. Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: Melakukan perumusan strategi kemitraan yang selama ini dilaksanakan di Karesidenan Madiun melalui contoh kasus pada PT. Industri Kereta Api (INKA) Madiun. Menentukan strategi kemitraan berdasarkan kriteria, visi, misi dan kebijakan


(32)

Industri Kecil Menengah (IKM). Membuat usulan model kemitraan dengan mempertimbangkan segala aspek yang mempengaruhinya sehingga diharapkan dapat memperbaiki sistem yang ada.

Perumusan strategi kemitraan PT. INKA dan Industri Kecil Menengah diteliti menggunakan AHP dan SWOT. Permasalahan adalah kriteria-kriteria yang dibutuhkan dalam menyusun dan merumuskan strategi kemitraan antara PT. INKA dan industri kecil binaan. Hasil penelitian (1) Penilaian kinerja dari model kemitraan terdapat beberapa kriteria yang digunakan yaitu: efektivitas, profesionalitas, pembinaan, pengawasan, modal, potensi pengembangan, dan prosedur birokrasi.

Dari penelitian di atas, peneliti mempelajari bagaimana pengaplikasian metode AHP ke dalam permasalahan yang ada, peneliti juga menjadikan acuan kriteria penilaian dari kriteria-kriteria yang digunakan dalam penelitian “Perumusan strategi kemitraan PT. INKA dan Industri Kecil Menengah diteliti menggunakan AHP dan SWOT.”

2.5.2 Panduan Pembentukan Organisasi Kerjasama Antar Daerah

Dalam penelitian ini peneliti mengambil dan melakukan modifikasi terhadap studi yang terkait. Studi terkait ini dilakukan oleh Thres Sanctykas pada tahun 2009 dan berjudul “Panduan Pembentukan Organisasi Kerjasama Antar Daerah”. Studi ini berisi tentang pedoman yang dibuat dengan tujuan membantu pemerintah daerah agar dapat lebih efektif di dalam melahirkan dan mengembangakan Kerja Sama Antar Daerah. Baik pada tataran perumusan Kebijakan, Penentuan model kelembagaan, Operasionalisasi kelembagaan, Implementasi program bersama, Pengelolaan pembiayaan maupun pada saat melakukan evaluasi, pengawasan terhadap pelaksanaan dan hasil Kerja Sama Antar Daerah. Selain itu jugauntuk membantu pihak-pihak lain (non pemerintah) yang memiliki konsern terhadap pengembangan pembangunan wilayah dengan menggunakan Kerja Sama Antar Daerah sebagai pendorong percepatan pembangunan daerah. Dari penelitian atas, peneliti mengkaji dan menjadikan acuan bentuk-bentuk model kelembagaan yang ada untuk memperkaya


(33)

pemahaman dan pengertian peneliti dalam merumuskan alternatif model kelembagaan dan kriteria-kriteria penentu dalam model kelembagaan pengelolaan TPA Legognangka.

2.6 Tinjauan Kebijakan

2.6.1 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Jawa Barat 2008 – 2013

Program Prioritas Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Daerah

Dalam perencanaan pembangunan lima tahunan daerah, ditetapkan program-program yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah secara umum sebagai implementasi urusan-urusan pemerintahan Provinsi sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007. Program pelaksanaan urusan pemerintahan provinsi disusun berdasarkan sasaran kelima misi dalam RPJMD. Dalam penelitian ini isu masalah didasarkan pada misi “Meningkatkan Ketersediaan dan Kualitas Infrastruktur Wilayah” di Bidang Lingkungan Hidup,

melalui kebijakan dan program sebagai berikut: Meningkatkan penanganan persampahan perkotaan, yang dilaksanakan melalui (1) Program Pengembangan Kinerja Pengelolaan Persampahan, dengan sasaran meningkatnya cakupan pelayanan persampahan di Pusat Kegiatan Nasional (PKN) dan Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) melalui, pembangunan Tempat Pemrosesan dan Pengolahan Sampah (TPPS) Regional Legok Nangka di Kabupaten Bandung, TPPS Nambo di Kabupaten Bogor, serta revitalisasi TPPS Leuwigajah di Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat, pengurangan timbulan sampah pada sumbernya dan pengembangan teknologi pemanfaatan sampah.

2.7 Alternatif Model Kelembagaan

Dalam penelitian ini disusun 3 buah model yang akan diusulkan sebagai model kelembagaan pengelolaan TPA Legognangka. Proses penyusunan model ini dilakukan melalui kajian literatur dan studi terkait serta melihat juga dari suksesnya beberapa model kelembagaan kerjasama antar daerah di Indonesia. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat alternatif model berikut ini:


(34)

2.7.1 Model 1

Dalam model ini ke enam daerah yang akan menggunakan TPA Legoknangka akan membentuk sebuah Badan Usaha Daerah Milik Bersama. Sebelum membentuk Badan Usaha Milik Bersama ke enam daerah tersebut yaitu Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi, Kabupaten Sumedang, dan Kabupaten Garut akan mengucurkan dana dalam bentuk saham sebagai bentuk kepemilikan Badan Usaha Daerah Milik Bersama yang nantinya akan dikelola oleh ke enam daerah tersebut.

Kemudian setiap daerah akan mengirimkan perwakilannya ke dalam jajaran pemegang saham, setiap perwakilan daerah tersebut akan bertanggung jawab dan berkoordinasi langsung dengan pemerintah kota / daerah masing-masing dalam bentuk laporan atau hasil rapat pemegang saham yang rutin dilakukan. Setelah terbentuk pemegang saham maka perlu dibentuk dewan komisaris.

Dewan komisaris adalah sebuah dewan yang bertugas untuk melakukan pengawasan dan memberikan nasehat kepada direktur Badan Usaha Daerah Milik Bersama (Dewan Direksi).Dewan komisaris diangkat dan diberhentikan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang kemudian akam dilaporkan ke pemerintah daerah / kota masing-masing. Dalam pengangkatan dewan komisaris diusulkan oleh anggota RUPS yang memiliki wewenang untuk mengusulkan dewan komisaris.

Dewan direksi adalah jumlah direktur yang ada dalam Badan Usaha Milik Bersama. Dewan direksi diangkat dan diberhentikan dalam RUPS yang kemudian dilaporkan kepada pemerintah daerah / kota masing-masing. Dalam pengangkatan direktur diusulkan oleh anggota RUPS yang memiliki wewenang untuk mengusulkan direktur.

Setelah semua terbentuk maka Badan Usaha Milik Bersama ini sudah dapat berjalan dan berfungsi sesuai dengan tujuan utamanya yaitu mengelola TPA Legoknangka.


(35)

TUGAS POKOK DAN FUNGSI Dewan Komisaris

• Tugas

1. Mengawasi kegiatan direksi

2. Memberikan pendapat dan saran kepada pemegang saham sebagai perwakilan dari pemerintah daerah / kota masing-masing tentang rencana pengangkatan anggota direksi.

3. Memberikan pendapat dan saran kepada pemegang saham sebagai perwakilan dari pemerintah daerah / kota masing-masing tentang program kerja yang diajukan direksi.

4. Memberikan pendapat dan saran kepada pemegang saham sebagai perwakilan dari pemerintah daerah / kota masing-masing terhadap rencana pinjaman dan ikatan hukum dengan pihak lain.

5. Memberikan pendapat dan saran kepada pemegang saham sebagai perwakilan dari pemerintah daerah / kota masing-masing terhadap laporan rencana dan perhitungan rugi / laba dari Badan Usaha.

6. Memberikan laporan kepada pemegang saham sebagai perwakilan dari pemerintah daerah / kota masing-masing secara berkala (triwulan dan tahunan) serta pada waktu yang diperlukan mengenai perkembangan Badan Usaha dan hasil pelaksanaan tugas dewan komisaris.

7. Melakukan tugas-tugas pengawasan lain yang ditentukan oleh pemegang saham sebagai perwakilan dari pemerintah daerah / kota masing-masing.

• Wewenang

1. Dewan komisaris setiap akhir tahun buku melakukan penilaian atas kinerja Badan Usaha meliputi aspek keuangan, operasional dan aspek administrasi.

2. Hasil penilaian atas prestasi kerja Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada poin (1) dijadikan dasar dalam menentukan penggolongan tingkat keberhasilan Badan Usaha.


(36)

3. Memberikan peringatan kepada Direksi yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan program kerja yang telah disetujui.

4. Memeriksa anggota Direksi yang diduga merugikan Badan Usaha. 5. Mengesahkan program kerja Badan Usaha.

6. Menerima atau menolak pertanggung jawaban keuangan dan Program Kerja Direksi tahun berjalan.

Dewan Direksi • Tugas

1. Memimpin dan Mengendalikan semua kegiatan Badan Usaha.

2. Merencanakan dan Menyusun Program Kerja Badan Usaha 5 tahunan dan tahunan.

3. Membina Pegawai.

4. Mengurus dan Mengelola Kekayaan Badan Usaha.

5. Mewakili Badan Usaha baik didalam dan diluar Pengadilan.

6. Menyampaikan Laporan berkala mengenai seluruh kegiatan termasuk , neraca dan perhitungan laba/rugi kepada dewan komisaris.

• Wewenang

1. Mengangkat dan memberhentikan pegawai dengan persetujuan pemegang saham sebagai perwakilan dari pemerintah daerah / kota masing-masing melalui dewan komisaris.

2. Mengangkat pegawai untuk menduduki jabatan dibawah Direksi. 3. Menandatangani pinjaman setelah mendapat persetujuan pemegang

saham sebagai perwakilan dari pemerintah daerah / kota masing-masing.

4. Menandatangani ikatan hukum dangan pihak lain dangan dan atau atas persetujuan pemegang saham sebagai perwakilan dari pemerintah daerah / kota masing-masing.

5. Kewenangan lain yang dilimpahkan oleh pemegang saham sebagai perwakilan dari pemerintah daerah / kota masing-masing yang diamanatkan melalui dewan komisaris.


(37)

Saham (Sumber Pembiayaan)

Saham ditentukan oleh jumlah sampah yang akan dibuang ke TPA Legoknangka, berikut ini adalah pembagian saham berdasarkan jumlah produksi sampah per hari:

1. Produksi sampah per kapita Kota bandung pada tahun 2006 per hari sebesar 7.154 m3/hari. (saham 40%)

2. Produksi sampah per kapita Kabupaten Bandung dan Bandung Barat adalah 8.320 m3/hari (saham 47%)

3. Produksi sampah per kapita Kota Cimahi tahun 2006 adalah 1.307 m3/hari (saham 7%)

4. Produksi sampah per kapita Kab. Sumedang adalah 207 m3/hari (saham 1%)

5. Produksi sampah per kapita Kab. Garut tahun 2006 adalah 912 m3/hari (saham 5%)

Total sampah 6 daerah adalah 17.900 m3/hari (tahun 2006)

Kelebihan

• Legitimasi terhadap kesepakatan bersama tinggi

• Terjamin konsistensi antara ke-enam pihak

• Potensi percepatan sistem pengelolaan dikarenakan kebijakan yang dirumuskan berdiri sendiri

• Mendukung implementasi program dan berjalannya kelembagaan program dengan baik

• Lebih dinamis

Kekurangan

• Terlalu lama jika menginginkan pengambilan keputusan yang cepat karena perlu persetujuan melalui Rapat Umum Pemegang Saham

• Menjadi kurang respon, tanggap, dan efektif karena adanya kekuatan dari Dewan Pemegang Saham, sehingga otoritas di bawah tidak dapat berbuat banyak


(38)

• Bergantung pada kebijakan / keputusan yang para Dewan Pemegang Saham

• Kewenangan dari direktur dan staf profesional yang terbatas mengakibatkan menurunnya kinerja


(39)

Gambar 4.1

Gambar 2.4 Bagan Model 1

BUMD Pemkot

Bandung

Pemkab Bandung

Pemkab Bandung

Pemkot Cimahi

Pemkab Sumedang

Pemkab Garut

Pemegang Saham

1. Pemerintah Kota Bandung 2. Pemerintah Kabupaten Bandung 3. Pemerintah Kabupaten Bandung Barat 4. Pemerintah Kota Cimahi

5. Pemerintah Kabupaten Sumedang 6. Pemerintah Kabupaten Garut

Dewan Komisaris

1. Anggota Komisaris dari Pemkot Bandung 2. Anggota Komisaris dari Pemkab Bandung 3. Anggota Komisaris dari Pemkab Bandung

Barat

4. Anggota Komisaris dari Pemkot Cimahi 5. Anggota Komisaris dari Pemkab

Sumedang

6. Anggota Komisaris dari Pemkab Garut

Dewan Direksi 1. Direktur Utama

2. Direktur Umum


(40)

2.7.2 Model 2

Dalam model ini ke enam daerah yang akan menggunakan TPA Legoknangka akan membentuk sebuah Sekretariat Bersama. Sebelum membentuk Sekretariat Bersama ke enam daerah tersebut yaitu Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi, Kabupaten Sumedang, dan Kabupaten Garut akan membentuk dewan penasehat.

Kemudian setiap daerah akan mengirimkan perwakilannya ke dalam jajaran dewan penasehat, setiap perwakilan daerah tersebut akan bertanggung jawab dan berkoordinasi langsung dengan pemerintah kota / daerah masing-masing dalam bentuk laporan atau hasil rapat dewan penasehat yang rutin dilakukan.

Dewan penasehat adalah sebuah dewan yang bertugas untuk membantu Sekretariat Bersama dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, terutama dalam memberikan nasehat-nasehat untuk langkah-langkah yang akan diambil ataupun jika ada masalah yang dihadapi oleh Sekretariat Bersama.Dewan penasehat ditunjuk langsung oleh masing-masing pemerintah daerah / kota sebagai perwakilan dari setiap daerah. Kemudian perwakilan-perwakilan ini akan duduk bersama dalam jajaran dewan penasehat.

Kemudian dewan penasehat akan mengusulkan siapa saja yang akan duduk di sekretariat bersama sebagai perwakilan dari setiap daerah. Usulan perwakilan ini kemudian akan diberikan kepada masing-masing pemerintah daerah / kota untuk disetujui.

Organisasi Sekretariat Bersama terdiri atas Ketua, Sekretaris, Bendahara, dan anggota. Dalam upaya memperlancar kegiatan, Sekretariat Bersama dapat dibantu oleh staf sesuai dengan kebutuhan. Staf tersebut dapat diangkat dari PNS atau non PNS, yang diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Sekretariat Bersama.

Setelah semua terbentuk maka Sekretariat Bersama ini sudah dapat berjalan dan berfungsi sesuai dengan tujuan utamanya yaitu mengelola TPA Legoknangka.


(41)

TUGAS POKOK DAN FUNGSI Dewan Pengarah

Memiliki tugas dan fung si merumuskan kebijakan bersama terhadap program atau kegiatan yang dapat dilakukan bersama sehingga konstribusi positif terhadap pembangunan di wilayahnya masing-masing.

Direktur

Memiliki tugas dan fungsi mengkoordinasikan, mengawal serta memfasilitasi di lapangan terkait kebijakan yang telah dirumuskan dan dimandatkan oleh dewan pengarah. Dalam pelaksanaannya direktur dibantu staf professional serta tim teknis.

Kewenangan Sekretariat Bersama

• Sekber memiliki kewenangan melakukan koordinasi dengan daerah anggota di dalam melakukan perencanaan serta pengawasan program bersama

• Melakukan fasilitasi di dalam mengidentifikasi kebutuhan serta pembagian pembiayaan di dalam operasional kegiatan.

Sumber Pembiayaan

Sumber pembiayaan bagi Sekber adalah APBD dari daerah masing-masing serta dari pihak luar.

Personil / Sumber Daya Manusia (SDM)

Sumber Daya Manusia yang dapat digunakan berasal dari PNS dan Staf Profesional. Koordinator Sekber berasal dari perwakilan setiap daerah, sedangkan untuk menjalankan operasional sehari-hari dilakukan oleh staf profesional dengan posisi sebagai direktur.


(42)

Kelebihan

• Legitimasi terhadap kesepakatan bersama tinggi

• Terjamin konsistensi antara perencanaan daerah dengan lembaga kerjasama

• Terminimalisir adanya inefesiensi / program yang sama antar sektor di daerah satu dengan daerah lain terhadap program yang akan dilaksanakan

• Mendukung implementasi program dan berjalannya kelembagaan secara baik

• Lebih stabil, karena pelaksana harian adalah tenaga profesional yang bisa lebih fokus dan tidak terbebankan oleh tanggung jawab topuksi yang melekat pada tiap sektor

Kekurangan

• Potensi inisiatif dari bawah menjadi rendah

• Pada suatu kondisi yang memerlukan sebuah respon yang cepat menjadi tidak efisien dan efektif

• Berpotensi pada lambatnya progres pengembangan terhadap suatu wilayah

• Berpotensi terhadap penyimpangan pengelolaan keuangan yang bersumber dari APBD karena regulasi pembiayaan khusu Sekber secara spesifik belum tersedia

• Disesuaikan kewenangannya, jika kewenangannya hanya sekedar menjalankan fungsi koordinasi, maka tenaga profesional yang tersedia menjadi tidak efisien

• Berpotensi tidak fokus pada pelaksanaan penyelenggaraan dikarenakan banyaknya urusan pelayanan dasar yang melekat dan menjadi kewajiban dari pemerintah daerah


(43)

39 Gambar 2.5

Bagan Model 2

Bandung Bandung Bandung Cimahi Sumedang

Dewan Penasehat 1. Perwakilan Kota Bandung

2. Perwakilan Kabupaten Bandung 3. Perwakilan Kabupaten Bandung Barat 4. Perwakilan Kota Cimahi

5. Perwakilan Kabupaten Sumedang 6. Perwakilan Kabupaten Garut

Sekretariat Bersama Dewan Pengarah

Direktur (Profesional)

Bagian Perencanaan dan

Monitoring & Evaluasi

Bagian Fasilitasi &

Advokasi

Sekretariat • Umum

• Keuangan

Struktur Dewan Pengarah Pembina

Kepala Daerah

Dewan Pengarah • Ketua


(44)

2.7.3 Model 3

Dalam model ini ke enam daerah yang akan menggunakan TPA Legoknangka akan membuat perjanjian atau MoU mengenai tata cara pengelolaan TPA Legoknangka dan aspek-aspek lainnya. Kemudian setiap daerah akan mengirimkan perwakilannya, setiap perwakilan daerah tersebut akan bertanggung jawab dan berkoordinasi langsung dengan pemerintah kota / daerah masing-masing dalam bentuk laporan atau cara lainnya.

Setelah itu akan dipilih pengelola sesuai dengan MoU yang telah disepakati sebelumnya. Pelaksana yang telah dipilih melalui kesepakatan MoU akan mengisi posisi Dewan Eksekutif, Ketua yang dibantu oleh Sekretaris, Bagian Teknis dan Operasional, dan Bagian Umum. Pelaksana pengelolaan memiliki masa jabatan, dimana masa jabatan tergantung dari kesepakatan MoU. Setiap pergantian masa jabatan seluruh laporan dan permasalahan-permasalahan yang terjadi selama masa jabatan pelaksana sebelumnya diserahkan kepada pelaksana berikutnya sebagai bahan masukan untuk mengelola TPA Legoknangka.

Setelah semua terbentuk maka Pengelola sesuai dengan MoU sudah dapat berjalan dan berfungsi sesuai dengan tujuan utamanya yaitu mengelola TPA Legoknangka.

Tugas Pokok dan Fungsi Dewan Eksekutif

Dewan eksekutif berfungsi sebagai steering committee atau sebagai pengawas. Dewan Eksekutif juga bertugas merumuskan kebijakan dan melakukan penguatan internal organisasi agar kerjasama dapat terjalin secara efektif dan efisien. Dewan eksekutif juga bisa memberikan nasehat dan masukan bagi ketua.

Ketua

Ketua adalah pemimpin badan pengelola dan memberikan arahan kepada bawahannya.

Kewenangan

Kewenangan Dewan Eksekutif


(45)

Kewenangan Ketua

Melaksanakan kebijakan yang dirumuskan Dewan Eksekutif

Sumber Pembiayaan

Sharing pendanaan berasal dari setiap Pemda dan Pemkot yang disesuaikan dengan APBD masing-masing daerah. Dana akan diberikan kepada pelaksana pengelolaan berdasarkan MoU yang telah disepakati.

Personil / Sumber Daya Manusia

Dewan Eksekutif diisi oleh personil yang berpengalaman dalam pengambilan keputusan dan perumusan kebijakan. Pengisian personil berdasarkan struktur terdiri dari PNS dari daerah yang menjadi pelaksana pengelolaan TPA.

Kelebihan

• Tidak banyak perubahan pada budaya kerja serta komunikasi kerja sehingga memudahkan di dalam melaksanakan koordinasi

• Perumusan kebijakan tidak akan tumpang tindih

• Legitimisi kesepakatan bersama tinggi karena semuanya telah disepakati sebelumnya dalam MoU

• Lebih dinamis karena tidak saling terkait dengan keinginan / kebijakan dari daerah lain

• Respon terhadap kondisi tertentu bisa lebih cepat dan efektif

Kekurangan

• Kemampuan serta kualitas kerja tidak jelas tergantung dari kompetensi dari pelaksana pengelolaan

• Terpaku kepada MoU sehingga tidak dapat melakukan eksplorasi lebih dalam

• Potensi inisiatif dari bawah rendah karena terbatasnya kewenangan

• Bergantung pada kebijakan yang dirumuskan, jika rumusan kebijakan lambat maka dapat menghambat pekerjaan


(46)

Gambar 2.6 Bagan Model 3

Perwakilan Pemkab Sumedang Pemkot

Bandung

Pemkab Bandung

Pemkab Bandung Barat

Pemkot Cimahi Pemkab

Sumedang

Pemkab Garut

Perwakilan Pemkot Bandung

Perwakilan Pemkab Bandung

Perwakilan Pemkab Bandung Barat

Perwakilan Pemkot Cimahi

Perwakilan Pemkab Garut

Pengelola Sesuai MoU

Ketua

Sekretaris

Bagian Umum Bagian

Teknik & Operasional Dewan Eksekutif


(47)

2.8 Identifikasi Kriteria-Kriteria Penilaian

Dalam pemilihan alternatif model kelembagaan pengelolaan TPA Legognangka diperlukan kriteria-kriteria penentu sebagai bahan penilaian untuk alternarif model yang diusulkan dalam penelitian ini. Penetapan kriteria-kriteria penilaian ini didasarkan atas kajian literatur (Teori Kerjasama Antar Daerah) dan studi terkait yaitu “Perumusan Strategi Kemitraan Menggunakan Metode AHP dan SWOT” (Eko Nurmianto dan Arman Hakim Nasution, 2004), “Panduan Pembentukan Organisasi Kerjasama Antar Daerah (KSAD)” (Thres Sanctykas, 2009).

Adapun kriteria-kriteria penilaian tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kemampuan Unit: Keadaan atau kemampuan unit kerja dalam melaksanakan tujuan dan sasaran dari kelembagaan.

2. Pola Kerjasama dan Kewenangan : Sistem kerjasama yang terjalin antar daerah dan seberapa besar kewenangan setiap daerah dalam kelembagaan. 3. Pengambilan Keputusan : kecepatan pengambilan keputusan dalam

situasi penting,

4. Pola Pengawasan : kegiatan pengawasan yang dimaksud adalah meliputi pengaturan, pengendalian, dan pengawasan.

5. Sumber Pembiayaan: sistem pembagian dari sumber dana yang akan digunakan.

6. Profesionalitas : Keterampilan, kehandalan, dan tanggung jawab setiap SDM dalam menjalankan pekerjaannya.

2.9 Metode Analisis AHP (Analytic Hierarchy Process)

Analitycal Hierarchy Process (AHP) Adalah metode untuk memecahkan suatu situasi yang komplek tidak terstruktur kedalam beberapa komponen dalam susunan yang hirarki, dengan memberi nilai subjektif tentang pentingnya setiap variabel secara relatif, dan menetapkan variabel mana yang memiliki prioritas paling tinggi guna mempengaruhi hasil pada situasi tersebut.

Proses pengambilan keputusan pada dasarnya adalah memilih suatu alternatif yang terbaik. Seperti melakukan penstrukturan persoalan, penentuan alternatif-alternatif, penenetapan nilai kemungkinan untuk variabel aleatori,


(48)

penetap nilai, persyaratan preferensi terhadap waktu, dan spesifikasi atas resiko. Betapapun melebarnya alternatif yang dapat ditetapkan maupun terperincinya penjajagan nilai kemungkinan, keterbatasan yang tetap melingkupi adalah dasar pembandingan berbentuk suatu kriteria yang tunggal.

Peralatan utama Analitycal Hierarchy Process (AHP) adalah memiliki sebuah hirarki fungsional dengan input utamanya persepsi manusia. Dengan hirarki, suatu masalah kompleks dan tidak terstruktur dipecahkan ke dalam kelomok-kelompoknya dan diatur menjadi suatu bentuk hirarki.

2.9.1 Kelebihan Analitycal Hierarchy Process (AHP)

Kelebihan AHP dibandingkan dengan lainnya adalah :

1. Struktur yang berhirarki, sebagai konsekwensi dari kriteria yang dipilih, sampai pada subkriteria yang paling dalam

2. Memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi inkosistensi berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh para pengambil keputusan

3. Memperhitungkan daya tahan atau ketahanan output analisis sensitivitas pengambilan keputusan.

Selain itu, AHP mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalah yang multi obyektif dan multi-kriteria yang berdasarkan pada perbandingan preferensi dari setiap elemen dalam hirarki. Jadi, model ini merupakan suatu model pengambilan keputusan yang komprehensif.

2.9.2 Prinsip Dasar Pemikiran AHP

Dalam memecahkan persoalan dengan analisis logis eksplisit, ada tiga prinsip yang mendasari pemikiran AHP, yakni : prinsip menyusun hirarki, prinsip menetapkan prioritas, dan prinsip konsistensi logis.

Prinsip Menyusun Hirarki

AHP merupakan suatu model pendukung keputusan yang dikembangkan oleh Thomas L Saaty.

Prinsip menyusun hirarki adalah dengan menggambarkan dan menguraikan secara hirarki, dengan cara memecahakan persoalan menjadi unsur-unsur yang


(49)

terpisah-pisah. Caranya dengan memperincikan pengetahuan, pikiran kita yang kompleks ke dalam bagian elemen pokoknya, lalu bagian ini ke dalam bagian-bagiannya, dan seterusnya secara hirarkis.

Penjabaran tujuan hirarki yang lebih rendah pada dasarnya ditujukan agar memperolah kriteria yang dapat diukur. Walaupun sebenarnya tidaklah selalu demikian keadaannya. Dalam beberapa hal tertentu, mungkin lebih menguntungkan bila menggunakan tujuan pada hirarki yang lebih tinggi dalam proses analisis. Semakin rendah dalam menjabarkan suatu tujuan, semakin mudah pula penentuan ukuran obyektif dan kriteria-kriterianya. Akan tetapi, ada kalanya dalam proses analisis pangambilan keputusan tidak memerlukan penjabaran yang terlalu terperinci. Maka salah satu cara untuk menyatakan ukuran pencapaiannya adalah menggunakan skala subyektif.

Prinsip Menetapkan Prioritas Keputusan

Bagaimana peranan matriks dalam menentukan prioritas dan bagaimana menetapkan konsistensi.

• Menetapkan prioritas elemen dengan membuat perbandingan berpasangan, dengan skala banding telah ditetapkan oleh Saaty ( Yan O., 1995).

Tabel 2.2

Penetapan Prioritas Elemen dengan Perbandingan Berpasangan Intensitas

Kepentingan Keterangan Penjelasan

1 Kedua elemen sama

pentingnya

Dua elemen mempunyai pengaruh yang sama besar terhadap tujuan

3

Elemen yang satu sedikit lebih penting dari pada elemen yang lainnya

Pengalaman dan penilaian sedikit menyokong satu elemen dibandingkan elemen lainnya

5

Elemen yang satu lebih penting dari pada elemen yang lainnya

Pengalaman dan penilaian sangat kuat menyokong satu elemen dibandingkan elemen lainnya

7 Satu elemen jelas lebih

penting dari pada elemen

Satu elemen yang kuat dikosong san dominan terlihat dalam praktek


(50)

lainnya

9

Satu elemen mutlak penting dari pada elemen lainnya

Bukti yang mendukung elemen yang satu terhadap elemen lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan

2,4,6,8

Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan

Nilai ini diberikan bila ada dua kompromi diantara dua pilihan

Kebalikan

Jika untuk aktivitas I mendapat satu angka disbanding dengan aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya dibanding dengan i

Perbandingan ini dilakukan dengan matriks. Misalkan untuk memilih manajer, hasil pendapat para pakar atau sudah menjadi aturan yang dasar (generic), managerial skill sedikit lebih penting daripada pendidikan, teknikal skill sama pentingnya dengan pendidikan serta personal skill berada diantara managerial dan pendidikan.

Prinsisp Konsistensi Logika

Matriks bobot yang diperoleh dari hasil perbandingan secara berpasangan tersebut, harus mempunyai hubungan kardinal dan ordinal, sebagai berikut:

• Hubungan kardinal : aij . ajk = ajk

• Hubungan ordinal : Ai>Aj>Aj>Ak, maka Ai>Ak Hubungan diatas dapat dilihat dari dua hal sebagai berikut:

1. Dengan melihat preferensi multiplikatif, misalnya jika apel lebih enak 4 kali dari jeruk dan jeruk lebih enak 2 kali dari melon, maka apel lebih enak 8 kali dari melon

2. Dengan melihat preferensi transitif, misalnya apel lebih enak dari jeruk, dan jeruk lebih enak dari melon, maka apel lebih enak dari melon

Pada keadaan sebenarnya akan terjadi beberapa penyimpangan dari hubungan tersebut, sehingga matriks tersebut tidak konsisten sempurna. Hal ini terjadi karena ketidakkonsistenan dalam preferensi seseorang.


(51)

Untuk model AHP, matriks perbandingan dapat diterima jika nilai rasio konsisten < 0.1. nilai CR < 0.1 merupakan nilai yang tingkat konsistensinya baik dan dapat dipertanggung jawabkan. Dengan demikian nilai CR merupakan ukuran bagi konsistensi suatu komparasi berpasangan dalam matriks pendapat. Jika indeks konsistensi cukup tinggi maka dapat dilakukan revisi judgement, yaitu dengan dicari deviasi RMS dari barisan (aij dan Wi / Wj ) dan merevisi judgment pada baris yang mempunyai nilai prioritas terbesar

Memang sulit untuk mendapatkan konsisten sempurna, dalam kehidupan misalnya dalam berbagai kehidupan khusus sering mempengaruhi preferensi sehingga keadaan dapat berubah. Jika buah apel lebih disuka dari pada jeruk dan jeruk lebih disukai daripada pisang, tetapi orang yang sama dapat menyukai pisang daripada apel, tergantung pada waktu, musim dan lain-lain. Namun konsistensi sampai kadar tertentu dalam menetapkan perioritas untuk setiap unsur adalah perlu sehingga memperoleh hasil yang sahih dalam dunia nyata. Rasio ketidak konsistenan maksimal yang dapat ditolerir 10 %.

Prinsip Perhitungan Pembobotan

Dalam metode AHP terdapat proses perhitungan pembobotan, perhitungan pembobotan ini dilakukan melalui beberapa tahap yaitu dengan menghitung Vektor Eigen (Eigenvector) dan Nilai Eigen (Eigenvalue) Maksimum, kemudian dilakukan pengujian rasio konsistensi dari matriks yang dihasilkan untuk mengetahui apakah matriks tersebut dapat diterima atau tidak.

Prosedur perhitungan vektor dan nilai eigen:

Dicari nilai maksimum

Dibagi dengan jumlah vektor

Dijumlahkan per baris

Dikuadratkan Matriks

Penilaian

Normalisasi Matriks

Vektor Kolom

Nilai Eigen Maksimum Vektor Eigen (Eigenvector) Vektor Kolom


(52)

Indeks konsistensi dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

CI = (Emaks – n)

n – 1 Keterangan:

Emaks= nilai eigen maksimum dari vektor eigen

n = jumlah ordo matriks

Dengan menggunakan nilai CI, selanjutnya dihitung nilai rasio konsistensi, dengan rumus sebagai berikut:

CR = CI dimana CI adalah indeks konsistensi dan RI adalah indeks RI konsistensi acak yang dapat dilihat di Tabel 2.3

Tabel 2.3

Indeks Konsistensi Acak Rata-Rata Berdasarkan pada Ordo Matriks

Ukuran Matriks Indeks Konsistensi Acak (RI)

1 0

2 0

3 0,52

4 0,89

5 1,11

6 1,25

7 1,35

8 1,40

9 1,45

10 1,49


(53)

2.9.3 Penggunaan Software Expert Choice Untuk Metode AHP

Expert Choice adalah suatu sistem yang digunakan untuk melakukan analisa, sistematis, dan pertimbangan (justifikasi) dari sebuah evaluasi keputusan yang kompleks. Expert Choice telah banyak digunakan oleh berbagai instansi bisnis dan pemerintah diseluruh dunia dalam berbagai bentuk aplikasi, antara lain:

• Pemilihan alternatif

• Alokasi sumber daya

• Keputusan evaluasi dan upah karyawan

Quality Function Deployment

• Penentuan Harga

• Perumusan Strategi Pemasaran

• Evaluasi proses akuisisi dan merger

• Dan sebagainya

Dengan menggunakan expert choice, maka tidak ada lagi metode coba-coba dalam proses pengambilan keputusan. Dengan didasari oleh Analitycal Hierarchy Process (AHP), penggunaan hirarki dalam expert choice bertujuan untuk mengorganisir perkiraan dan intuisi dalam suatu bentuk logis. Pendekatan secara hierarki ini memungkinkan pengambil keputusan untuk menganalisa seluruh pilihan untuk pengambilan keputusan yang efektif.

2.9.4 Pembentukan Struktur Hirarki dalam Penelitian Ini

Dalam penelitian ini telah dikumpulkan kriteria – kriteria penilaian yang menjadi landasan pemilihan alternatif model kelembagaan pengelolaan TPA Legognangka. Kriteria-kriteria ini dijadikan landasan utama dalam pemilihan alternatif model kelembagaan pengelolaan sampah TPA Legognangka. Kriterita-kriteria tersebut adalah efektifitas, pola kerjasama dan kewenangan, pengambilan keputusan, pola pengawasan, sumber pembiayaan, dan profesionalitas.

Langkah-langkah dalam metoda Analityc Hierarcy Process yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tahap I (tahap awal)


(54)

- Pemindahan tingkat kepentingan verbal ke dalam tingkat kepentingan numerik untuk dimasukan ke dalam matriks perbandingan berpasangan dengan menggunakan skala 1 sampai dengan 9.

2. Tahap II

Merata-ratakan hasil jawaban kuesioner dari responden penilaian melibatkan banyak orang (group decision). Untuk menghitung rata-rata yaitu dengan menjumlahkan nilai dari setiap item pertanyaan dan dibagi dengan jumlah responden..

3. Tahap III (pengolahan data)

- Perhitungan perhitungan eigen vektor dan eigen value maksimum - Menguji konsistensi matriks perbandingan berpasangan

- Perhitungan bobot prioritas untuk setiap kriteria dan bobot global dari alternatif pada hirarki menggunakan Software Expert Choice v11.

Jika rasio konsistensi (CR) matriks kurang dari 10 persen berarti pengambil keputusan tidak konsisten dalam memberikan penilaian dalam perbandingan berpasangan. Untuk itu maka perlu dilakukan lagi penilaian ulang dengan melakukan perbandingan berpasangan lagi.


(55)

Gambar 2.7

Struktur Hirarki Pemilihan Alternatif Model Kelembagaan Pengelolaan TPA Legognangka

Pola Pengawasan Kemampuan Unit Pola Kerjasama dan

Kewengangan

Peng. Keputusan

Sumber Pembiayaan

Profesionalitas

Pemilihan Alternatif Model Kelembagaan Pengelolaan TPA

Model 1 Model 2 Model 3

TUJUAN (GOAL)

KRITERIA


(1)

99

d.

Dalam penelitian ini hanya diuji 3 (tiga) buah model saja yang

mengadopsi dari bentuk kelembagaan BUMD (Badan Usaha Milik

Daerah), Sekber (Sekretariat Bersama), dan model kerjasama berdasarkan

kesepakatan atau

MoU.

Oleh karena itu perlu ditambahkan bentuk model

kelembagaan lainnya seperti BLU (Badan Layanan Umum) dan

Regional

Management

sebagai bahan pembanding dalam pembobotan menggunakan

metode AHP.


(2)

100

DAFTAR PUSTAKA

HASIL PENELITIAN

Laporan Akhir “Studi Kelayakan Teknis Lingkungan dan Sosial Rencana Lokasi

TPA Legognangka dan Citiis” Tahun 2007, Bandung, PT. Kluster.

Laporan Akhir “Penyusunan Masterplan TPA Legognangka Kabupaten Bandung”

Tahun 2008, Bandung, Tribentang

Consultant and Engineering.

Nurmianto, Eko, et al, 2004, “Perumusan Strategi Kemitraan Menggunakan

Metode AHP dan SWOT”, Pascasarjana Manajemen Industri, ITS.

Apriyanto, Agus, 2008, “Perbandingan Kelayakan Jalan Beton dan Aspal dengan

Metode

Analitycal Hierarcy Process

(AHP)”, Tesis diterbitkan, Magister

Teknik Sipil, UNDIP.

Fatmasari, Agarika, 2010, “Penentuan Faktor-Faktor Bahaya yang Dihadapi

Perawat di RSUD Kabupaten Karanganyar dan Usulan Pencegahannya

Menggunakan Metode

Analytical Hierarcy Process

(AHP)”, Skripsi

diterbitkan, Teknik Industri, Universitas Sebelas Maret.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Jawa Barat tahun

2008 – 2013

INTERNET

Sanctyeka, Thres, 2009, “Panduan Pembentukan Organisasi Kerjasama Antar

Daerah”,

http://www.docstoc.com/docs/15960466/Panduan-Kerja-Sama-Antar-Daerah.

Website Resmi Pemerintah Kota Bandung, Pemerintahan, www.bandung.go.id

Website Resmi Pemerintah Kabupaten Bandung, Pemerintahan,

www.bandungkab.go.id

Website Resmi Pemerintah Kabupaten Bandung Barat, Pemerintahan,

www.bandungbaratkab.go.id


(3)

101

Website Resmi Pemerintah Kota Cimahi, Pemerintahan,

www.cimahikota.go.id

Website Resmi Pemerintah Kabupaten Garut, Pemerintahan,

www.garutkab.go.id

Website Resmi Pemerintah Kabupaten Sumedang, Pemerintahan,

www.sumedangkab.go.id


(4)

CURRICULUM VITAE

INFORMASI PRIBADI

Nama Lengkap Kani Mahardika

Tanggal Lahir 20 Juni 1988

Kewarganegaraan Indonesia

Jenis Kelamin Pria

Agama Islam

Status Belum menikah

Alamat Cipageran Asri Blok F1 No.3 Cimahi Jawa Barat

40511

E-mail kennymahardika@gmail.com

Hobi Membaca, menonton film, bermain game, futsal

PENDIDIKAN

2006-2011 Program Sarjana Program Studi Perencanaan

Wilayah dan Kota UNIKOM

2003-2006 SMU Negeri 9 Bandung

2000-2003 SLTP Negeri 1 Cimahi

KEMAMPUAN

Bahasa

English: Speaking (fair); Reading (excellent); Writing (fair).

Indonesia (native) Komputer

Operating System Windows

Office MS Office


(5)

PENGALAMAN KERJA

Juli 2011 – Sekarang Asisten Proyek “Penyusunan RDTRK SWK Kordon dan Derwati tahun 2011”, untuk Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Pemerintah Kota Bandung

Juli 2011 – Sekarang

Asisten Proyek “Penyusunan Model Keserasian Pengembangan Wilayah Perbatasan Antar Provinsi dan Kabupaten/Kota Wilayah II”, untuk Direktorat Pengembangan Wilayah, Ditjen Bina Pembangunan Daerah

Mei 2011 - sekarang GIS Map Drafter Tim Pertanian di Proyek “Risk and Adaption Assessment of Malang Raya”, Climate untuk GTZ-AusAID-KLH

Mei 2011 - sekarang GIS Map Drafter Tim Pertanian di Proyek “Risk and Adaption Assessment of Sumatera Selatan”, Climate untuk GTZ-AusAID-KLH

Februari 2010 – Maret 2010 Map Drafter di Proyek “Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan (RTRK) Perkotaan Baru Pantura”, untuk Pemerintah Kabupaten Tangerang

2010 Penerjemah buku fisika

Juli 2009 – September 2009 Praktik Kerja di BPKS Fakultas Geografi UGM untuk Proyek “Penyusunan Peraturan Zonasi Kota Manokwari Tahun 2009”

PENELITIAN

2011

Tugas Akhir “Pemilihan Alternatif Model Kelembagaan Pengelolaan TPA Sampah Regional dengan Metode Analytic Hierarcy Process (AHP) (Studi Kasus: TPA Legognangka di Kabupaten Bandung)”, UNIKOM 2009 Tim peneliti mengenai “Identifikasi Pembangunan Endogen (Infrastruktur) di Desa Ori Kecamatan

Kuwarasan Kabupaten Kebumen”, UNIKOM

2008 Tim peneliti mengenai “Evaluasi Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Cikole Kota Sukabumi Tahun 2009-2028”, UNIKOM

2007 Tim peneliti mengenai “Identifikasi Dampak Keberadaan Factory Outlet di Jalan Ir. H. Djuanda Bandung”, UNIKOM

PENGALAMAN ORGANISASI

2008 – 2010 Koordinator Sie. Humas Hima PWK UNIKOM

2007 – 2008 Anggota Sie. Humas Hima PWK UNIKOM

2006 – 2007 Anggota Sie. Agama Islam Hima PWK UNIKOM

TRAINING/SEMINAR/WORKSHOP

2011 Pelatihan “ArcGIS untuk Perencanaan”, Bandung,


(6)

2011 Seminar “Creative Vision @Work”, Bandung, bersertifikat

2010

Seminar “Pembangunan Infrastruktur Perkotaan Berbasis Pembiayaan Konvensional (Studi Kasus: Potensi Sukuk sebagai Sumber Pembiayaan)”, UNIKOM, Bandung

2010

Seminar “Eksplorasi Isu-Isu Perencanaan Pembangunan Terkait Aspek Ekonomi dan Pengembangan Infrastruktur Wilayah (Studi Kasus: Bandung Metropolitan Area dan Jawa Barat)”, UNIKOM, Bandung

2009 Workshop on Spatial Management Manual, Jakarta,

bersertifikat

2006 Seminar “Peranan Geologi Lingkungan Dalam

Perencanaan Wilayah dan Kota”, UNIKOM, Bandung Dengan ini saya menyatakan bahwa resume ini benar adanya

Agustus 2011,


Dokumen yang terkait

Perbandingan Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) dan Metode Preference Ranking Organization Method For Enrichment Evaluation (PROMETHEE) untuk Pemilihan Hardisk Eksternal

19 131 147

Perbandingan Metode Analytical Hierarchy Process Dan Weighted Sum Model Pada Sistem Pendukung Keputusan Pemilihan Sepeda

11 131 80

Implementasi Metode Profile Matching dan Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) pada Perekrutan Tenaga Kurir (Studi Kasus PT. JNE Cabang Medan)

16 91 137

Analisis Metode AHP (Analytical Hierarchy Process) Berdasarkan Nilai Consistency Ratio

2 46 123

Penentuan Komoditas Unggulan Pertanian Dengan Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) (Studi Kasus: Pertanian Kecamatan Parbuluan, Kabupaten Dairi)

18 117 72

Analisa Pemilihan Moda Transportasi Dengan Metode Analytic Hierarchy Process ( AHP ) Studi Kasus : Kuala Namu - Medan

22 147 107

Implementasi Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) dan Fuzzy Multi-Attribute Decision Making (Fuzzy MADM) dalam Penentuan Prioritas Pengerjaan Order di PT. Sumatera Wood Industry

6 138 175

Analisis Pemilihan Supplier Dengan Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) dan Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution (TOPSIS) di PT. Indo CafCo

12 57 78

Studi Penerapan Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) Dan Metode Technique For Order Preference By Similarity To Ideal Solution (TOPSIS) Untuk Peningkatan Kualitas Layanan Di Rumah Sakit Bina Kasih Medan-Sunggal

4 41 149

Pemilihan Alternatif Model Kelembagaan Pengelolaan TPA Sampah Regional Dengan Metode Analytic Hierarcy Process (AHP) (Studi Kasus TPA Legognangka Di Kabupaten Bandung)

8 39 108