Rancangbangun hukum dalam pengelolaan pulau pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara

(1)

PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR

KASUS PULAU MARORE DAN PULAU MIANGAS

PROVINSI SULAWESI UTARA

DENNY BENJAMIN ALBRECHT KARWUR

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Rancangbangun hukum dalam Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar: Kasus Pulau Marore dan Pulau Miangas, Provinsi Sulawesi Utara adalah benar karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk cetakan dan atau bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun di dalam dan di luar negeri. Sumber informasi yang bersumber atau dikutip dari karya yang diterbitkan dan atau tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam tulisan dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir disertasi ini.

Bogor, Agustus 2010

Denny Benjamin Albrecht Karwur NIM C251030051


(3)

ABSTRACT

DENNY BENJAMIN ALBRECHT KARWUR. Law Design in Managing Outermost Small Islands in the North Sulawesi Province. Under the supervision DIETRIECH G. BENGEN, ROKHMIN DAHURI, DANIEL R. MONINTJA, VICTOR PH. NIKIJULUW, and MARIA F. INDRATI.

Small islands border region has a tremendous potential in supporting national development. The determination of management policy is very important because of the strategic of border marine resources existence. The islands in the border regions of the country are vulnerable to the intervention of other countries and transnational crimes. The concept of development policy of small islands in Indonesia must be planned and implemented in an integrated manner for the development and welfare of the nation.

The northern regions, i.e. the North Sulawesi Province, that locates next to the Philippines is important for the integrity of the management of small islands and border areas and of law enforcement in Indonesia. Target elements, elements and strategies explain the delimitation of the nation borders between Indonesia and the Philippines, in particular the Exclusive Economic Zone (EEZ) that overlaps each other, to optimize the management of natural resources.

Draft of Law of Small Islands State Border and the provision of local government authority to carry out assistance duty of border management and stating Small Islands in the border regions as state islands and given a special certificate.

Keywords: Coastal Law, Delimitation of EEZ of Indonesia, Law Enforcement, Management for Small Island State Border, Defense and security of state border, and Certificate of State Island


(4)

RINGKASAN

DENNY BENJAMIN ALBRECHT KARWUR, Rancangbangun Hukum dalam Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar di Provinsi Sulawesi Utara. Dibimbing oleh DIETRIECH G. BENGEN, ROKHMIN DAHURI, DANIEL R. MONINTJA, VICTOR PH. NIKIJULUW, dan MARIA F. INDRATI.

Pulau-pulau kecil wilayah perbatasan memiliki potensi sangat besar dalam menunjang pembangunan nasional. Penentuan kebijakan pengelolaan merupakan hal yang sangat penting, karena keberadaan (eksistensi) sumberdaya kelautan perbatasan sangat strategis. Pulau-pulau di daerah perbatasan wilayah negara rentan terhadap intervensi negara lain, dan kejahatan transnasional. Konsep kebijakan pembangunan pulau-pulau kecil di Indonesia harus direncanakan dan dilaksanakan secara terpadu untuk pembangunan kesejahteraan bangsa dan negara Indonesia.

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Indonesia bagian utara yang berbatasan dengan negara Filipina, Provinsi Sulawesi Utara. Penelitian ini mengkaji keterpaduan pengelolaan pulau kecil didaerah perbatasan dan penegakan hukum Indonesia dengan perangkat peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan elemen sasaran, elemen dan strategi menunjukkan bahwa penetapan batas negara (delimitasi) khususnya Zona Ekonomi Eksklusif, antara negara Indonesia dan Filipina yang tumpang tindih sehingga tidak mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya alam secara maksimal.

Rancangbangun hukum diarahkan pada hubungan diplomatik antar kedua negara dengan pertemuan bilateral untuk menyelesaikan batas wilayah negara, pengakuan wilayah secara bersama dan melaporkan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam bentuk Undang-Undang Perbatasan Negara dan lampiran Peta Batas Negara. Pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah melaksanakan tugas pembantuan pengelolaan wilayah perbatasan. Pulau-Pulau Kecil di perbatasan wilayah negara di tuangkan dalam bentuk Sertifikat Pulau Negara.

Nilai skor faktor eksternal pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara adalah 2.339. Menurut David (2004), nilai skor di bawah 2.5 mengindikasikan bahwa pemanfaatan peluang dan mengatasi ancaman belum efektif. Tingkat kepentingan yang paling atas dari faktor eksternal adalah respon pengawasan perbatasan laut antar negara, yaitu mendapat bobot 0.126. Respon pengawasan yang masih lemah ini perlu diperbaiki dengan penegakan perangkat hukum dan peningkatan kapasitas kelembagaan pada unit kerja pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dari tingkat Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi, sampai tingkat Nasional.

Pengawasan dan penegakan hukum sangat dibutuhkan agar dapat diperoleh suatu kepastian hukum dalam menjaga kepentingan negara dari gangguan asing. Bidang kelembagaan penegakan hukum pengelolaan pulau-pulau kecil terluar perlu ditingkatkan sehingga terwujud penegakan peraturan perUndang-Undangan, pengawasan, pemantauan, pengamanan, dan pertahanan keamanan baik wilayah maupun sumberdaya.


(5)

Faktor eksternal didukung oleh kebijakan pemerintah untuk membentuk kelembagaan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar yang merupakan prioritas kedua dari faktor eksternal yang dapat dimanfaatkan untuk peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di provinsi Sulawesi Utara dengan bobot 0.121. Dengan kelembagaan yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005, dan Peraturan Presiden RI Nomor 12 Tahun 2010 diharapkan setiap lembaga yang terkait mampu melakukan koordinasi kelembagaan yang efektif dan mampu memainkan peran sesuai kewenangannya. Faktor eksternal lain yang merupakan peluang dalam peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar perbatasan negara antara lain kebijakan nasional mendorong investasi, kebijakan pemerintah dalam pemberian otoritas pengelolaan wilayah, meningkatnya kebutuhan pasar lokal dan internasional terhadap hasil sumberdaya alam, konvensi Internasional terhadap hukum laut Indonesia dan kerjasama bilateral antara Indonesia dengan negara tetangga.

Faktor-faktor lain sebagai peluang dan pendukung bagi peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar, adalah peranan langsung aspek hukum dan kelembagaan. Kerjasama bilateral antara Indonesia dengan negara tetangga Filipina mampu mengkoordinasikan permasalahan wilayah perbatasan yang menjadi hak masing-masing negara.

Ancaman dalam peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar adalah belum ada penetapan batas laut yang disepakati bersama (ZEE) dengan bobot 0.113. Hal ini perlu untuk segera diselesaikan dan disepakati dengan upaya-upaya politis dan diplomatis. Namun demikian adanya konflik kepentingan antar stakeholder dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dengan bobot 0.099 dapat menjadi ancaman dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar sehingga sering menimbulkan konflik yang sulit diselesaikan karena tidak jelasnya kewenangan antar lembaga maupun antar pemerintahan pusat dan daerah. Oleh karena itu, diperlukan keterpaduan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar.

Kondisi nyata dari pulau-pulau kecil perbatasan negara, saat ini adalah pemanfaatan sumberdaya alam hanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan saat ini dan masih adanya permasalahan di bidang hukum dan kelembagaan. Bukti nyatanya adalah maraknya pencurian ikan di kawasan tersebut dan sampai saat ini diakibatkan belum ada kepastian garis batas laut dan darat antara Indonesia dan Filipina. Pada aspek sosial ekonomi juga belum menunjukkan pertumbuhan, pulau-pulau tersebut masih mengalami keterisolasian dan tingkat kesejahteraan yang rendah. Begitu juga dengan lemahnya sistem pendanaan sehingga pelaksanaan program-program pembangunan belum bisa dilaksanakan secara kontinu.

Komitmen pemerintah mengeluarkan kebijakan membentuk kelembagaan baru dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Berdasarkan Peraturan Presiden No 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar. Dalam pengelolaan perlu kelembagaan yang merupakan wadah koordinasi non struktural yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kelembagaan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dilaksanakan oleh tim koordinasi yang telah dibentuk yang terdiri dari ketua Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) dan wakil ketua I merangkap Anggota Menteri Perikanan dan


(6)

Kelautan dan Wakil Ketua II merangkap Anggota Menteri Dalam Negeri, sedangkan Sekretaris adalah Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Polhukam. Keanggotaan kelembagaan terdiri dari TNI, kepolisian, badan intelijen dan kementerian yang lain. Keberhasilan pengelolaan pulau-pulau kecil di perbatasan negara adalah pengembangan sebuah mekanisme prosedural untuk mengkoordinasikan kebijakan anggaran dan kebijakan pengelolaan.

Pelaksanaan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah Negara, telah ditetapkan organisasi Badan Nasional Pengelola Perbatasan dalam Peraturan Presiden. Menurut Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP). BNPP sesuai Pasal 3, mempunyai tugas : penyusunan dan penetapan rencana induk dan rencana aksi pembangunan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan; pengoordinasian penetapan kebijakan dan pelaksanaan pembangunan, pengelolaan serta pemanfaatan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan; pengelolaan dan fasilitasi penegasan, pemeliharaan dan pengamanan Batas Wilayah Negara; inventarisasi potensi sumber daya dan rekomendasi penetapan zona pengembangan ekonomi, pertahanan, sosial budaya, lingkungan hidup dan zona lainnya di Kawasan Perbatasan; penyusunan program dan kebijakan pembangunan sarana dan prasarana perhubungan dan sarana lainnya di Kawasan Perbatasan; penyusunan anggaran pembangunan dan pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan sesuai dengan skala prioritas; pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan serta evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan. Badan Nasional Pengelola Perbatasan sebagai pelaksana tugas dan fungsi adalah Menteri Dalam Negeri.

Mekanisme koordinasi dalam pembuatan keputusan mengenai pengelolaan perbatasan negara dan konservasi sumberdaya pulau-pulau kecil perbatasan negara: (1) koordinasi antara pemerintah dan kalangan swasta; (2) koordinasi vertikal antara berbagai tingkatan pemerintah, kabupaten/kota, provinsi dan pusat; dan (3) koordinasi horizontal antara berbagai sektor pada tiap tingkatan pemerintahan.

Kata Kunci : Hukum Pesisir, Delimitasi ZEEI, Penegakan Hukum, Pengelolaan Pulau Kecil Perbatasan Negara, Pertahan dan Keamanan Perbatasan Negara, Sertifikat Pulau Negara.


(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(8)

RANCANGBANGUN HUKUM DALAM

PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR

DI PROVINSI SULAWESI UTARA

DENNY BENJAMIN ALBRECHT KARWUR

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(9)

Judul Disertasi : Rancangbangun Hukum dalam Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar di Provinsi Sulawesi Utara

Nama : Denny Benjamin Albrecht Karwur NIM : C261030051

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr.Ir. Dietriech G. Bengen, DEA. Ketua

Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, M.S. Prof.Dr. Ir. Daniel R. Monintja

Anggota Anggota

Dr. Ir. Victor Ph. Nikijuluw, M.Sc. Prof.Dr. Maria F. Indrati, S.H, M.H.

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya

Pesisir dan Lautan

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S. Tanggal Ujian : Tanggal Lulus :


(10)

PRAKATA

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Allah, Yang Maha Esa, karena hanya kemurahan dan bimbinganNya sehingga saya dapat menyelesaikan disertasi sebagai karya ilmiah, dengan judul : Rancangbangun hukum dalam Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar di Provinsi Sulawesi Utara. Pelaksanaan penelitian dilakukan di Pulau Marore Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Pulau Miangas Kabupaten Kepulauan Talaud di Provinsi Sulawesi Utara. Data primer, sekunder dan informasi dari ekspert yang berasal dari berbagai sumber yaitu Pemerintahan, Swasta, Perguruan Tinggi dan pihak terkait lain.

Terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis ucapkan kepada :

1 Prof. Dr. Ir. Dietricht G. Bengen, DEA, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS, Prof.Dr. Ir. Daniel R. Monintja, Dr. Victor Ph. Nikijuluw, MSc, dan Prof.Dr.Maria F. Indrati, SH,MH, selaku Komisi Pembimbing, atas segala bimbingan, arahan selama penulis melakukan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini

2 Prof Dr. Indra Jaya, M.Sc dan Dr. Ir. Agus Oman Sudrajat, M.Sc, selaku Dekan dan Wakil Dekan beserta semua Staf Administrasi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor

3 Prof.Dr. Mennofatria Boer, DEA, dan Dr.Ir. Luky Adrianto, M.Sc selaku Ketua dan Sekretaris beserta semua Staf Administrasi, Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor

4 Dr.Ir. Luky Adrianto, MSc dan Dr. Ir. Achmad Fahrudin, MSi selaku Penguji luar komisi pada Ujian Tertutup, dan Prof.Dr. Hasjim Djalal, SH, MA dan Prof.Dr.Ir. Alex S.W Retraubun, MSc selaku Penguji luar komisi pada Ujian Terbuka.

5 Drs. Sinyo H. Sarundajang, Gubernur Sulawesi Utara, dr. Elly E. Lasut, MM, selalu Bupati Kepulauan Talaud, Drs. Winsulangi Salindeho, selaku Bupati Kepulauan Sangihe yang telah membantu dana, data dan informasi

6 Dirjen Pendidikan Tinggi yang telah memberikan kesempatan dan biaya pendidikan (BPPS) dan Hibah Doktor untuk melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan Strata 3 di Institut Pertanian Bogor

7 Rektor dan mantan Rektor Universitas Sam Ratulangi, Dekan dan mantan Dekan Fakultas Hukum beserta seluruh Staf Dosen dan Staf Administrasi.

8 Ineke Togas, S.Sos, Istri, dengan penuh kesabaran mendampingi dan mendorong, dan tercinta anak-anak Arthur L.M. Karwur, SE, MSi dan Fera D. Mait, S.Pi (menantu), Mercy C.B. Karwur, SE dan Audy Opit SE (menantu), Grace M.F. Karwur, SH, MH dan Lucky Tompunu, ST (menantu) serta cucu-cucu Kenneth dan Rogelio, Adik Leenda, adik ipar Drs. Tonny Rasuh, anak-anak Daryl dan Kevyn, kalian semua dengan setia selalu mendorong, mendoakan keberhasilan menyeselesaikan studi


(11)

9 Para nara sumber di Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, Kementerian Luar Negeri RI, Kementerian Dalam Negeri RI, Kementerian Sumberdaya Energi dan Mineral RI, Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Utara, Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Sangihe, Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Talaud yang telah membantu data dan informasi

10 Teman-teman angkatan ke-8 dan teman-teman pada Program Studi SPL serta semua mahasiswa asal Sulawesi Utara yang menempuh pendidikan di IPB Bogor 11 Serta semua pihak yang tidak dapat penulis disebutkan satu persatu yang telah

membantu selama studi, mengumpulkan data dan informasi serta membantu menganalisis data.

Penulis menyadari hasil karya disertasi ini perlu masukan demi penyempurnaannya, kiranya karya tulis ini bermanfaat dan memperkaya literatur ilmu pengetahuan khususnya Ilmu Hukum dan Ilmu tentang Pengelolaan Pesisir dan Lautan di Indonesia.

Bogor, Juli 2010 Denny Benjamin Albrecht Karwur


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tomohon, Sulawesi Utara pada tanggal 28 November 1955 sebagai anak pertama dari ayah John Robert Karwur (almarhum) dan bunda Dety Neltje Jansje Raintung (almarhumah), menikah pada tanggal 22 September 1977 dengan Ineke Togas, dan dikaruniai tiga orang anak yaitu Arthur, Mercy dan Grace.

Pendidikan Strata Satu (S1) di tempuh pada Fakultas Teknik Sipil Unsrat tahun 1975-1978 (tidak dilanjutkan) kemudian pindah tahun 1980 pada Program Studi Ilmu Hukum/ Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, lulus tahun 1987. Melanjutkan pendidikan Program Pendidikan Strata Dua (S2) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pembangunan / Hukum Lingkungan, Pesisir dan Lautan, Universitas Sam Ratulangi, lulus pada tahun 1998.

Membantu Program UCE/CEPI – Indonesia-Canada tahun 1995-1997 dalam Program Lingkungan Hidup di Manado, selanjutnya sebagai Konsultan Hukum pada Proyek Pesisir/Mitra Pesisir/ CRMP I-II /USAID, tahun 2003-2005 dengan kegiatan penyusunan Rancangan/Penetapan Peraturan Kampung/Desa Pesisir dan Peraturan Daerah Kabupate Minahasa / Provinsi Sulawesi Utara tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Berbasis Masyarakat, dan pada tahun 2005-2007 membantu Program MCRMP dan COREMAP/DKP, tahun 2005-2007, dalam kegiatan penyusunan Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang No. 27 Tahun 2007, serta membantu di 15 Provinsi dan 42 Kabupaten Kota dalam penyusunan Rancangan/Penetapan Peraturan Daerah Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut.

Tahun 2003 diterima untuk melanjutkan Pendidikan Strata Tiga (S3) pada Program Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor, dengan biaya pendidikan dari Departemen Pendidikan Nasional

Penulis diangkat sebagai Staf Pengajar / Pegawai Negeri Sipil sejak tahun 1988 sampai saat ini, pada Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi Manado.


(13)

Bersama penulis lainnya, tulisan telah diterbitkan dalam buku yang berjudul : Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia, telah dipublikasikan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia bekerja sama dengan Coastal Resources Management Project II (USAID) / Mitra Pesisir, Jakarta September 2005.

Sebuah artikel ilmiah berjudul : Delimitasi Zona Ekonomi Eksklusif sebagai Strategi Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar di Provinsi Sulawesi Utara, telah di publikasikan pada jurnal Masalah-masalah Hukum, Jilid 38 Nomor 4 Desember 2009, diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang.


(14)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR GAMBAR... x

DAFTAR LAMPIRAN... xi

1 PENDAHULUAN……….. 1

1.1 Latar Belakang……… 1

1.2 Perumusan Masalah………... 4

1.3 Kerangka Pemikiran ………. 7

1.4 Ruang Lingkup Penelitian……… 9

1.5 Tujuan Penelitian……….. 12

1.6 Manfaat Penelitian……….... 13

2 TINJAUAN PUSTAKA……….. 15

2.1 Batasan Laut, Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil……… 15

2.1.1 Laut………. 15

2.1.2 Wilayah pesisir……… 15

2.1.3 Pulau-pulau kecil……… 16

2.2 Potensi Pulau-Pulau Kecil Terluar di Perbatasan Negara... 17

2.3 Hukum Laut Indonesia………. 19

2.4 Pembangunan Wilayah Perbatasan……… 21

2.5 Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu ………. 25

2.6 Prinsip Dasar Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu…………... 27

2.6.1 Prinsip keterpaduan……….... 28

2.6.2 Prinsip pembangunan berkelanjutan……....………... 29

2.6.3 Prinsip keterbukaan, peran serta dan pemberdayaan masyarakat... 29

2.7 Hak-Hak pada Sumberdaya Properti Bersama ……….. 30


(15)

2.9 Dimensi Sosial Ekonomi Pulau-Pulau Kecil... 32

2.10 Aspek Yuridis Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Perbatasan Negara... 32

2.11 Penanganan Pulau-Pulau Kecil Perbatsan Negara... 35

2.12 Kebijakan Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Perbatasan... 36

2.13 Kejahatan Wilayah Perbatasan... 38

2.14 Dimensi Hukum Pengelolaan Wilayah Perbatasan... 38

3 METODE... 43

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian... 43

3.2 Rancangan Penelitian... 43

3.3 Tahapan Penelitian Analisis Data... 44

3.4 Metode Analisis... 47

3.4.1 Analisis Hierarchi Proses (AHP)... 48

3.4.2 Analisis SWOT ... 51

3.4.3 Analisis diagnosa dan terapi hukum (Diagnosis and Theraphy.... Analisys of Law/DTAL) ... 53

4 GAMBARAN UMUM DAN POTENSI WILAYAH... 58

4.1 Gambaran Umum Wilayah... 58

4.1.1 Kabupaten Kepulauan Sangihe... 60

4.1.1.1 Klaster pulau-pulau perbatasan ... 61

4.1.1.2 Wilayah administrasi... 63

4.1.1.3 Kependudukan... 65

4.1.1.4 Perekonomian wilayah... 66

4.1.2 Kabupaten Kepulauan Talaud... 66

4.1.2.1 Klaster pulau-pulau perbatasan... 67

4.1.2.2 Wilayah administrasi... 68

4.1.2.3 Kependudukan... 69

4.1.2.4 Perekonomian wilayah... 70

4.2 Potensi Wilayah... 71


(16)

5 HASIL DAN PEMBAHASAN... 74

5.1 Kejahatan di Perbatasan Negara... 75

5.2 Batas Maritim Negara Indonesia dan Filipina belum disepakati... 79

5.3 Hak Berdaulat Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen Indonesia 85 5.4 Perbandingan antara ketentuan undang-Undang tentang... Zona Ekonomi Ekslusif dan Undang-Undang tentang Pengesahan... UNCLOS 1982 ... 94

5.5 Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia... 95

5.6 Keterpaduan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil... 97

5.7 Pengesahan UNCLOS Tahun 1982... 101

5.8 Perairan Indonesia... 102

5.8.1 Perikanan ... 104

5.8.2 Pemerintahan Daerah... 105

5.8.3 Penataan Ruang... 107

5.8.4 Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil... 108

5.8.5 Wilayah Negara... 109

5.8.6 Persetujuan Pelaksanaan Ketentuan- Ketentuan Konvensi... PBB tentang Hukum Laut yangberkaitan dengan Konservasi... dan Pengelolaan Sediaan Ikan yang beruaya terbatas dan... sediaan ikan yang beruaya jauh... 110

5.8.7 Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal... Kepulauan Indonesia... 113

5.8.8 Peraturan Presiden Pengelolaan Pulau Kecil Terluar... 115

5.8.9 Pedoman Umum Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil... 116

5.9 Penetapan Batas Zona Ekonomi Eksklusif... 119

5.10 Kebijakan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan Filipina... 125

5.11 Prinsip Penetapan Batas ZEE Indonesia-Filipina... 130

5.12 Prinsip Sama Jarak Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia-Filipina... 132

5.13 Kendala dalam Penetapan Batas ZEE Indonesia dan Filipina... 135


(17)

5.15 Kebijakan pengambilan keputusan masyarakat... 138

5.16 Dasar kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil... 139

5.17 Analisis Hierarki Proses Rancangbangun hukum pengelolaan... Pulau-pulau kecil... 153

5.17.1 Faktor eksternal... 153

5.17.1.1 Peluang dalam peningkatan pengelolaan... pulau-pulau kecil terluar... 153

5.17.1.2 Ancaman dalam peningkatan pengelolaan... pulau-pulau kecil terluar... 154

5.17.2 Faktor Internal... 155

5.17.2.1 Kekuatan dalam peningkatan pengelolaan... pulau-pulau kecil terluar... 155

5.17.2.2 Kelemahan dalam peningktan pengelolaan... pulau-pulau kecil terluar... 156

5.18 Hasil Evaluasi Faktor Ekternal dan Internal... 158

5.18.1 Evaluasi faktor ekternal... 158

5.18.2 Evaluasi faktor internal... ... 161

5.19 Evaluasi Gabungan Faktor Strategis Ekternal dan Internal... 163

5.20 Analisis SWOT Rancanganbangun Hukum Pengelolaan ... Pulau-Pulau Kecil... 165

5.21 Strategi Kekuatan – Peluang (Strength – Opportunities S-O)... 167

5.21.1 Pelaksanaan program pengelolaan SDA dan... jasa lingkungan kelautan... 167

5.21.2 Peningkatan kerjasama bilateral dan internasional... 168

5.21.3 Penataan ruang wilayah pulau-pulau kecil terluar... 168

5.21.4 Penetapan batas wilayah yang disepakati Indonesia dan... Filipina... 169

5.22 Strategi Kekuatan dan Ancaman (Strength – Threats (S-T) ... 169


(18)

5.21.2 Penetapan batas wilayah yang disepakati Indonesia dan...

Filipina... 170

5.23 Strategi Kelemahan – Peluang (Weakness – Opportunities (W-O) ... 170

5.23.1 Pembangunan sistem dan sinergi kelembagaan ... pengelolaan pulau-pulau kecil terluar... 170

5.23.2 Pembangunan sarana dan prasarana wilayah... 171

5.23.3 Peningkatan kekuatan sistem pendanaan... 172

5.24 Stategi Kelemahan – Ancaman (Weakness – Threats (W–T)... 172

5.24.1 Perumusan hukum dan peraturan pengelolaan ... pulau pulau kecil terluar... 172

5.24.2 Peningkatan keterpaduan antar stakeholders dalam... pengelolaan pulau-pulau kecil terluar... 172

5.25 Hirarki Rancangbangun Hukum Pesisir... 173

5.26 Kriteria... 174

5.27 Expert Judgment... 174

5.28 Penilaian Kriteria... 175

5.29 Skenario Strategi Peningkatan Pengelolaan... Pulau-Pulau Kecil Terluar... 181

5.30 Sintesis... 187

5.31 Sensitivitas Analisis... 188

5.32 Sensitivitas dinamis... 188

5.33 Analisis head to head... 189

5.34 Penentuan Prioritas Strategi Pengelolaan... Pulau-Pulau Kecil Terluar... 190

5.35 Elemen sasaran... 191

5.35.1 Elemen faktor... 191

5.35.2 Elemen strategi... 191

5.36 Rancangbangun hukum menurut Pemerintah... 192

5.37 Rancangbangun hukum menurut Akademisi... 192


(19)

5.39 Rancangbangun hukum menurut Budaya Lokal... 194

5.40 Rancangbangun hukum menurut Penataan Batas Wilayah Negara... 194

5.41 Rekomendasi Rancangbangun Hukum Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil 195 5.42 Landasan Formil dan Materiil Konstitusional... 199

5.43 Dasar Penetapan Batas Laut dan Penanangganan Hukum... 208

5.44 Politik dan Pertahanan Keamanan... 210

5.45 Prinsip dan Mekanisme Rancangbangun Hukum Pengelolaan... Pulau-Pulau Kecil Terluar... 210

5.46 Prinsip Keterpaduan... 211

5.46.1 Keterpaduan antar ekosistem darat dan laut……… 212

5.46.2 Keterpaduan antara ilmu pengetahuan dan manajemen……….. 212

5.46.3 Keterpaduan program antar negara………. 212

5.47 Prinsip pembangunan berkelanjutan sumberdaya perbatasan………. 212

5.47.1 Prinsip partisipasi dan keterbukaan……… 213

5.47.2 Prinsip kepastian hukum……… 214

5.48 Objek dan Ruang Lingkup Pengaturan……… 215

5.48.1 Mekanisme koordinasi pada tingkat pusat……… 215

5.48.2 Fasilitasi dan konsultasi dari pemerintah ke pemerintah daerah.. 218

5.49 Penegakan Hukum dan Sanksi……… 218

5.50 Penyelesaian konflik……….. 220

5.51 Mekanisme pentaatan dan penegakan hukum……… 223

5.52 Mekanisme Sistem Kelembagaan……… 225

5.53 Kelembagaan………. 227

5.53.1 Pelaksanaan mekanisme………228

5.53.2 Peran daerah dalam pengelolaan wilayah pesisir dan …………. pulau-pulau kecil sebagai pelaksanaan otonomi daerah………. 230

5.53.3 Integrasi stakeholders di daerah bagi pengelolaan pesisir dan … pulau-pulau kecil secara terpadu……… 231


(20)

5.54 Pembentukan institusi lintas sektoral bagi pengelolaan…………...

pulau-pulau kecil terluar……….. 231

5.54.1 Peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir………... 231

5.54.2 Peran aktif masyarakat dalam identifikasi potensi sumberdaya bagi Perencanaan pengelolaan pulau kecil perbatasan……….. 232

5.54.3 Edukasi dan percontohan tentang pengelolaan dan pemanfaatan yang Berkelanjutan bagi masyarakat pesisir……….. 232

5.54.4 Permodaln dan investasi……… 232

5.55 Kebutuhan Pengaturan bagi Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil………….. Perbatasan Negara……… 233

5.56 Rekomendasi Hal-Hal Pokok bagi Rancangabangun Hukum dalam… Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil ….……… 234

5.56.1 Aspek biofisik……… 234

5.56.2 Aspek social, ekonomi dan budaya……… 235

5.56.3 Aspek hukum dan kelembagaan………. 236

5.57 Rekomendasi Peran bagi Pemerintah Pusat, Provinsi dan……… Kabupaten/Kota……… 237

5.58 Proses Pembuatan Peraturan PerUndang-undangan………. 239

6 KESIMPULAN DAN SARAN... 243

6.1 Kesimpulan... 243

6.2 Saran... 246

DAFTAR PUSTAKA... 248


(21)

DAFTAR TABEL

1 Daftar ekspert dan instansi responden... 47

2 Skala pendapat (nilai dan definisi)... 49

3 Nilai konsistensi random... 50

4 Penetapan alternatif sasaran rancangbangun hukum... 51

5 Pembagian klaster di Kabupaten Kepulauan Sagihe... 61

6 Jumlah kecamatan, luas kecamatan dan jumlah desa/kelurahan di Kabupaten Kepulauan Sangihe... 64

7 Jumlah dan kepadatan penduduk... ... 65

8 Pembagian klaster di Kabupaten Kepulauan Talaud... 67

9 Luas wilayah kecamatan dan jumlah kampung/kelurahan di Kabupaten... Kepulauan Talad... 69

10 Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin di Kabupaten Kepulauan Talaud 70 11 Sasaran pertumbuhan beberapa indikator makro ekonomi Kabupaten ... Kepulauan Talaud... 71

12 Tata Urutan Hukum... 137

13 Matriks evaluasi faktor eksternal... 159

14 Matriks evaluasi faktor strategis internal... 161

15 Informasi untuk analisis expert... 175

16 Hasil analisis faktor A.H.P... 176

17 Prioritas elemen faktor... 176

18 Prioritas elemen alternatif strategi... 178

19 Analisis skenario... 181

20 Akternatif skenario... 183

21 Hasil kuesioner responden... 184

22 Sosial ekonomi... 184

23 Hasil analisis A.H.P total... 185

24 Daftar peraturan perundang-undagan yang berhubungan dengan... Pengelolaan wilayah pesisir... 196


(22)

DAFTAR GAMBAR

1 Matriks kerangka berpikir... 8 2 Peta Perbatsan Indonesia – Filipina di Sulawesi Utara... 43 3 Diagram tahapan penelitian... 45 4 Diagran Venn... 46 5 Langkah umum AHP (modifikasi)... 49 6 Analisa S.W.O.T... 52 7 Penyusunan hirarki... 56 8 Bagan alir analisis rancangbangun hukum dalam pengelolaan ...

pulau-pulau kecil terluar... 57 9 Peta Provinsi Sulawesi Utara... 58 10 Peta Administrasi Kabupaten Kepulauan Sangihe... 63 11 Peta Administrasi Kabupaten Kepulauan Talaud... 68 12 Peta lokasi penelitian perbatasan negara Indonesia – Filipina... 74 13 Pelaku dan hasil kejahatan di wilayah laut perbatasan negara... 78 14 Pulau Marore... 79 15 Pulau Miangas... 80 16 Peta Perbatasan ... 82 17 Alur proses penyusunan peraturan daerah... 145 18 Matriks internal eksternal posisi pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di..

Provinsi Sulawesi Utara... 164 19 Matriks S.W.O.T... 166 20 Rancangbangun hukum pulau-pulau kecil terluar………... 173 21 Hasil analisis faktor... 176 22 Hasil analisis alternatif strategi... 178 23 Hirarki hasik analisis AHP rancanbangun hukum dalam. pengelolaan ...

pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara... 180 24 Hasil analisis faktor sosial ekonomi... 184 25 Sintesis rancangbangun penataan wilayah... 188 26 Dinamik sensitive... 189


(23)

27 Analisis head to head penataan batas wilayah dan pemerintah... 190 28 Head to head RH pemerintah... 192 29 Head to head RH.akademisi... 193 30 Head to head RH strategi perwilayahan... 193 31 Head to head RH budaya lokal... 194 32 Head to head RH penataan batas wilayah... 194 33 Rancangbangun hukum pengelolaan pulau kecil terluar 196


(24)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kriteria rancangbangun hukum pesisir... 261 2 Skema Proses Pengundangan dalam lembaran negara Republik Indonesia…..

dan tambahan lembaran negara Republik Indonesia………. 309 3 Skema proses ligitasi perundang-undangan di Mahkamah Konstitusi... 310 4 Kuesioner survey pakar metode AHP... 311 5 Zona-zona maritim menurut Konvensi Hukum Laut (UNCLOS 1982)... 313 6 Daftar 92 Pulau terluar Indonesia berdasarkan Peraturan Presiden ...

Nomor 78 Tahun 2005... 314 7 Matriks peraturan perundang-undangan... 318 8 Peta daerah penelitian Rancangbangun Hukum dalam ...


(25)

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic state) yang berciri nusantara mempunyai kedaulatan atas wilayah serta memiliki hak-hak berdaulat di luar wilayah kedaulatannya untuk dikelola dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 25A mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas secara geografis berada pada posisi silang antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia dengan panjang pantai 95.181 km2 dan dengan wilayah laut seluas 5,8 juta km2 serta terdiri dari sekitar 17.480 pulau (Numberi 2009), beserta semua ekosistem laut tropis produktif yang terurai, dikelilingi oleh pulau-pulau kecil. Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia memiliki keanekaragaman habitat yang sangat tinggi, memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan kelautan yang sangat besar, yang terdiri atas sumberdaya alam dapat pulih (renewable resouces), dan sumberdaya alam tidak dapat pulih (non-renewable resouces). Sumberdaya alam dapat pulih diantaranya berbagai jenis ikan, terumbu karang, lamun dan mangrove. Sumberdaya alam tidak dapat pulih meliputi minyak bumi, gas, mineral, bahan tambang/galian seperti biji besi, pasir, timah, bauksit serta bahan tambang lainnya; sedangkan jasa lingkungan pulau kecil yang sangat prospektif adalah kegiatan pariwisata bahari.

Ekosistem wilayah pesisir dan laut merupakan lokasi beberapa ekosistem yang unik dan saling terkait dinamis dan produktif. Ekosistem utama yang secara permanen ataupun secara berkala tertutup air dan terbentuk melalui proses alami antara lain ekosistem terumbu karang (coral reef), ikan (fish), rumput laut (seaweed), padang lamun (seagrass bads), pantai berpasir (sandy beach), pantai


(26)

berbatu (rocky beach), hutan mangrove (mangrove foresh), estuaria, laguna, delta dan pulau-pulau kecil.

Pulau-pulau kecil memiliki potensi sangat besar dalam menunjang pembangunan nasional sehingga penentuan kebijakan pemanfaatan merupakan hal yang sangat penting, karena dengan keberadaan pulau-pulau kecil inilah maka keberadaan (eksistensi) sumberdaya kelautan menjadi strategis. Dengan demikian, penting untuk dipahami seberapa besar dukungan keberadaan pulau-pulau kecil terhadap keberlangsungan sumberdaya kelautan secara umum. Oleh karena itu konsep kebijakan pembangunan pulau-pulau kecil di Indonesia yang direncanakan, hendaknya berdasarkan azas kelestarian alam dan keberlanjutan lingkungan yang ada; sehingga pada akhirnya pengembangan berbagai aktivitas pembangunan secara terpadu di pulau-pulau kecil sebagai wujud pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa -jasa kelautan, diharapkan dapat menjadi faktor pendukung pulau-pulau kecil Indonesia secara berkelanjutan (Bengen 2006).

Pengembangan kawasan pulau-pulau kecil merupakan suatu proses yang akan membawa suatu perubahan pada ekosistemnya. Perubahan-perubahan tersebut akan membawa pengaruh pada lingkungan. Semakin tinggi intensitas pengelolaan dan pembangunan yang dilaksanakan berarti semakin tinggi tingkat pemanfaatan sumberdaya, maka semakin tinggi pula perubahan-perubahan lingkungan yang akan terjadi di kawasan pulau- pulau kecil.

Kegiatan pengelolaan pulau-pulau kecil menghadapi berbagai ancaman baik dari aspek ekologi yaitu terjadinya penurunan kualitas lingkungan, seperti pencemaran, perusakan ekosistem dan penangkapan ikan yang berlebihan (overfishing) maupun dari aspek sosial yaitu rendahnya aksesibilitas dan kurangnya penerimaan masyarakat lokal. Oleh karena itu, di dalam mengantisipasi perubahan-perubahan dan ancaman-ancaman tersebut, pengelolaan pulau-pulau kecil harus dilakukan secara komprehensif dan terpadu. Kebijakan dan Strategi Nasional pengelolaan pulau-pulau kecil dapat berfungsi sebagai referensi nasional (national reference) atau pedoman bagi kegiatan lintas sektor baik pusat maupun daerah dalam mengembangkan dan memanfaatkan pulau-pulau kecil, sehingga kebijakan dan strategi hukum penetapan batas wilayah negara dan pengelolaan


(27)

pulau-pulau kecil perbatasan, sangat penting sehingga menyebabkan upaya pengelolaan pulau-pulau kecil menjadi optimal.

Mengingat sisi terluar dari wilayah negara atau yang dikenal dengan kawasan perbatasan merupakan kawasan strategis dalam menjaga integritas wilayah negara, maka diperlukan juga pengaturan secara khusus. Pengaturan batas-batas wilayah negara dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum mengenai ruang lingkup wilayah negara, kewenangan pengelolaan sumberdaya di wilayah negara, dan hak–hak berdaulat.

Negara berkepentingan untuk ikut mengatur pengelolaan dan pemanfaatan di laut bebas dan dasar laut internasional sesuai dengan hukum internasional. Pemanfaatan di laut bebas dan di dasar laut meliputi pengelolaan kekayaan alam, perlindungan lingkungan laut dan keselamatan navigasi. Pengelolaan wilayah negara dilakukan dengan pendekatan kesejahteraan, keamanan dan kelestarian lingkungan secara bersama-sama. Pendekatan kesejahteraan dalam arti upaya-upaya pengelolaan wilayah negara hendaknya memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi peningkatan kesejahteraaan masyarakat yang tinggal di kawasan perbatasan. Pendekatan keamanan dalam arti pengelolaan wilayah negara untuk menjamin keutuhan wilayah dan kedaulatan negara serta perlindungan segenap bangsa, sedangkan pendekatan kelestarian lingkungan dalam arti pembangunan kawasan perbatasan yang memperhatikan aspek kelestarian lingkungan yang merupakan wujud dari pembangunan yang berkelanjutan.

Peran Pemerintah dan Pemerintahan Daerah menjadi sangat penting terkait dengan pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan sesuai dengan prinsip otonomi daerah dalam mengelola pembangunan kawasan kepulauan perbatasan negara.

Kajian kebijakan pengelolaan pulau-pulau keci di perbatasan negara harus dilakukan secara komprehensif yang tidak terlepas dari potensi dan karakteristiknya yang mencakup aspek sumberdaya alam (lingkungan hidup) baik sumberdaya hayati maupun non hayati; aspek infrasutruktur yang meliputi ekonomi, hukum, kelembagaan dan social budaya serta aspek geopolitik yaitu pertahanan dan keamanan terutama terkait dengan fungsi pulau-pulau kecil di


(28)

perbatasan negara sebagai basis pertahanan negara dan lokasi acuan titik dasar untuk mempertegas kedaulatan Indonesia pada wilayah tersebut. Di samping itu, kegiatan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil di perbatasan negara perlu memperhatikan aspek tata ruang untuk menghindari tumpang tindih dalam pengelolaan dan konflik kepentingan, misalnya penentuan wilayah pulau kecil sebagai daerah penangkapan, budidaya, wisata bahari, dan konservasi. Penentuan alokasi ruang tersebut perlu dilengkapi dengan penyusunan rencana detail dan pembagian zonasi untuk selanjutnya dapat digunakan dalam penyusunan rencana pengelolaan, rencana bisnis dan rencana pertahanan keamanan.

1.2 Perumusan Masalah

Karakteristik wilayah pesisir dan laut yang kompleks, terjadi konflik pemanfaatan pesisir dan pulau-pulau kecil masih terus berlangsung, hal ini dapat disebabkan karena laju peningkatan penduduk, peningkatan teknologi mengakibatkan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil semakin rusak dan berdampak negatif pada keberlanjutan sumberdaya untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Permasalahan kemiskinan dan lingkungan hidup merupakan masalah yang multidimensi yang membutuhkan penyelesaian secara menyeluruh dari berbagai aspek. Kemiskinan tidak hanya dilihat dari pendapatan penduduk saja, namun mencakup kerentanan dan kerawanan penduduk untuk menjadi miskin, dan keterbatasan akses penduduk miskin terhadap kebijakan publik turut mempengaruhi kondisi dan hak-hak dasar masyarakat.

Wilayah negara kepulauan Indonesia terdiri dari kesatuan kepulauan, pulau, selat dan laut, jumlah pulau, nama pulau, batas laut dan batas darat. Permasalahan pengelolaan pulau-pulau kecil pada prinsipnya memiliki karakteristik yang khusus disebabkan karena pulau kecil sangat rentan terhadap berbagai pengaruh ekternal dan internal serta aktivitas pembangunan, keterbatasan sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia, sehingga pulau kecil terluar dengan beragam ekosistemnya merupakan kawasan yang selalu berada dalam keadaan yang dinamis, dan penuh dengan perubahan siklus waktu yang pendek. Dalam kondisi normal, dinamika


(29)

tersebut berada dalam keadaan seimbang (equilibrium), namun bila terjadi kerusakan dampak negatifnya akan berpengaruh besar dan sangat kompleks terhadap ekosistem wilayah sekitarnya.

Ancaman-ancaman dan tekanan yang sangat besar terhadap ekosistemnya mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan, yang akhirnya berpengaruh pada kelangsungan fungsional ekosistem pulau-pulau kecil. Permasalahan yang menjadi ancaman terhadap ekosistem pesisir adalah: pencemaran, degradasi habitat dan sumberdaya alam, sedangkan kendala pembangunan adalah luasan ukuran yang kecil dan terisolasi, tidak menguntungkan dalam hal administrasi, usaha produksi, transportasi, ketersediaan sumberdaya alam dan jasa lingkungan seperti air tawar, vegetasi, tanah, satwa liar yang terbatas sangat berpengaruh dalam penentuan daya dukung untuk menopang kehidupan manusia yang menghuni pulau serta kegiatan pembangunan. Selain beberapa karakteristik yang menjadi kendala pembangunan adalah kelembagaan dan penegakan hukum, sehingga sering terjadi konflik penggunaan dan pemanfaatan ruang, hal ini berdampak pada keuntungan sektoral.

Permasalahan di wilayah pesisir sangat kompleks sehingga menggambarkan

keadaan pesisir dalam keadaan ―sakit‖ yang telah berlangsung terus menerus sejak dahulu hingga saat ini seperti: tindakan penambangan terumbu karang, pasir, penanggkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak atau racun, pencemaran lingkungan dengan membuang limbah dari kegiatan rumah-tangga, pabrik, pelabuhan laut, pertambangan, pemanfaatan ruang laut untuk reklamasi, kegiatan budidaya perikanan, mutiara, rumput laut, serta pemanfaatan pulau-pulau kecil untuk pariwisata dan lain-lain, sehingga kegiatan-kegiatan tersebut berdampak positif akan terjadi penurunan fungsi lingkungan dan konflik kepentingan antara pemerintah dengan masyarakat, masyarakat dengan masyarakat, sehinga apabila kegiatan-kegiatan tersebut yang sudah berlangsung sejak dahulu kala telah menjadi penyakit pesisir (coastal disease), dimana suatu keadaan dari lingkungan pesisir yang menyebabkan tidak alamiah, disfungsi atau kesukaran terhadap lingkungan yang dipengaruhi. Untuk menyembuhkan penyakit perlu kebijakan dan program bersama pemerintah dan masayrakat. Semua tingkah laku yang


(30)

bertentangan dengan norma kebaikan, stabilitas lokal, moral, hak milik, kekeluargaan, kerukunan, disiplin, lingkungan hidup, kemanusiaan, adat istiadat dan hukum formal perlu untuk penanggulangannya secara komperehensif dan dipertangung-jawabkan secara ilmiah adalah patologi pesisir (coastal pathology).

Dengan kemajuan teknologi, maka wilayah negara Indonesia tidak luput dari masalah khusus yaitu yang terjadi di daerah perbatasan. Permasalah khusus antara lain perubahan-perubahan tapal batas di daratan maupun titik koordinat di laut yang mengakibatkan berkurangnya wilayah negara dan berdampak bertambahnya wilayah negara lain yang berbatasan. Bertambah luasnya wilayah laut Indonesia sebagai akibat penerapan Konsepsi Wawasan Nusantara sama sekali tidak mengubah indentitas Indonesia sebagai negara kepulauan. Namun, batas-batas wilayah suatu negara tentunya harus jelas untuk menghindari kemungkinan sengketa dengan negara-negara tetangga. Kejelasan batas-batas wilayah mutlak kerena hanya di atas wilayah tersebut dapat berlakunya wewenang suatu negara. Wewenang dan kedaulatan wilayah negara yang mencakup lautan dan daratan perlu kejelasan batas negara untuk pengelolaannya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Secara umum permasalahan yang ada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sudah sangat memperihatinkan sehingga dapat disebut sebagai suatu penyakit yang kronis karena tingginya kegiatan eksploitasi sumberdaya dan pemanfaatannya yang berlangsung lama, dan terus menerus dilakukan untuk berbagai kepentingan pemanfaatan pembangunan yang tidak memperhatikan keberlanjutan sumberdaya dan lingkungan, antara lain: sektor perikanan laut, pertambangan, pemukiman, kepelabuhanan, kepariwisataan dan lain-lain, sehingga kegiatan yang melampaui daya dukung lingkungan menyebabkan masalah pesisir (coastal problems) sehinga dapat menjadi penyakit pesisir (coastal disease) dan perlu perhatian dan penangganan penanggulan (terapi) secara khusus berdasarkan hasil penelitian (diagnosa).

Menurut beberapa penelitian (Clark 1996, Cicin-Sain and Knecht 1998; Kay and Alder 1999; Dahuri 2003) permasalahan umum yang menyebabkan coastal disease/coastal problem di wilayah pesisir dan laut Indonesia adalah:


(31)

(1) Terjadinya konflik kepentingan dan pemanfaatan sumberdaya dan jasa, akibat: 1) besarnya potensi sumberdaya, 2) terpusatnya mata pencaharian penduduk kepada pemanfaatan sumberdaya dan jasa yang sama, 3) meningkatnya jumlah penduduk, 4) meningkatnya kualitas hidup masyarakat, 5) meningkatnya kepentingan dalam kawasan, 6) perubahan dan kompetisi teknologi, dan 7) proses distribusi pasar. Meningkatnya permintaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir yang mengakibatkan peningkatan konflik nilai sumberdaya dan jasa dimaksud karena: 1) meningkatnya kepentingan, 2) besarnya potensi dan produktivitas, dan 3) belum terintegrasi dan implementasinya hukum dan peraturan pelaksanaan, 4) tidak diakui berlakunya hukum adat.

(2) Praktek-praktek manajemen yang tidak berkelanjutan

(3) Kendala dalam optimalisasi pemanfaatan rencana tata ruang pesisir dan laut (4) Perilaku manusia akibat: 1) ketidaktahuan, 2) rendahnya kesadaran, 3)

kemiskinan, dan 4) keserakahan.

(5) Akibat tiga jenis kegagalan, yaitu: 1) kegagalan hak kepemilikan, 2) kegagalan kebijakan, dan 3) kegagalan informasi.

Berdasarkan hal tersebut di atas, terdapat alasan yang kuat tentang pentingnya penelitian rancangbangun hukum dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara, daerah perbatasan Negara Indonesia dan Negara Filipina.

1.3 Kerangka Pemikiran

Indonesia merupakan negara kepulauan yang berbatasan dengan 10 negara di wilayah laut, dengan demikian Indonesia mempunyai peran dalam politik luar negeri/internasional untuk menentukan persepsi kewilayahan dalam konteks negara maritim, sehingga kepastian pengelolaan pulau-pulau kecil terluar, yang adalah batas negara merupakan suatu kajian yang harus segera diselesaikan melalui berbagai pertemuan dan pembahasan internasional bilateral maupun multilateral untuk mendapat dukungan masyarakat internasional terhadap batas negara, demi kepentingan pengelolaan wilayah pesisir dan laut, keberlanjutan


(32)

sumberdaya, kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat, keamanan dan pertahanan, serta kesatuan wilayah negara Republik Indonesia.

Gambar 1 Matriks kerangka berpikir Coastal disease / Coastal conflict

1. Batas wilayah negara

2. Hak berdaulat di ZEE & Landas Kontinen

3. Hukum, sosial, ekonomi dan kesejahteraan masyarakat 4. Keterpencilan

5. Kesenjangan ekonomi

6. Transnational crimes , illegal fishing, illegal logging, illegal imigrant, trafficking, terorims, people smuggling, narcotics, politic problem 7. Sarana dan prasarana terbatas

8. Pemanfaatan sumberdaya belum optimal 9. Pertahanan dan keamanan (security)

Masalah Hukum di Pulau-Pulau Kecil Terluar (coastal disease)

ANALISIS

PERELEVAN

SIAN

AHP

SWOT

DTAL

RANCANG BANGUN HUKUM YANG SUDAH ADA (Peraturan per UU yang berlaku) RANCANG BANGUN HUKUM YANG RELEVAN (Peraturan per UU yang

dicita-citakan) K EBI JA K A N T ERP A DU PE NG ELO L A A N PU L A U PU L A U K EC IL T ERL UAR D I PER BA T A SAN N EG A R A Eksternal Internal


(33)

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Sulawesi Utara yang merupakan salah satu wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia di bagian Timur yang luasnya adalah 15.472,98 km2 terdiri dari beberapa pulau, diantaranya adalah: Pulau Manado Tua, Pulau Bangka, Pulau Talise, Pulau Bunaken, Pulau Mantehage, Pulau Bangka, Pulau Lembeh, Pulau Siau, Pulau Tagulandang, Pulau Karakelang, Pulau Karabuan, dan Pulau Salibabu. Panjang garis pantai Sulawesi Utara 1.837 kilometer dengan luas daratan sekitar 2.200 kilometer persegi. Wilayah perairan laut memiliki 124 pulau yang terdiri atas tiga gugusan kepulauan, yaitu: (1) Gugusan kepulauan Talaud yang letaknya paling utara masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Talaud, (2) Gugusan Sangir Besar masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Sangihe, dan (3) Siau Tagulandang dan Biaro (disingkat Sitaro) masuk dalam wilayah administratif Kepulauan Sitaro. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat II di Sulawesi, maka Kabupaten Sangihe dan Talaud merupakan satu kabupaten, kemudian sejak tanggal 10 April 2002, Pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Kepulauan Talaud di Provinsi Sulawesi Utara, maka terjadi pemekaran dan pemisahan yaitu Kabupaten Kepulauan Sangihe dengan luas wilayah 20.258,60 Km², dan Kabupaten Kepulauan Talaud dengan luas wilayah 27.061,16 Km2. Kabupaten Kepulauan Siau-Tagulandang-Biaro (SITARO) dengan luas wilayah 275,96 Km². Kabupaten Kepulauan Sangihe, Kabupaten Kepulauan Talaud dan Kabupaten Kepulauan Sitaro merupakan tiga wilayah di Provinsi Sulawesi Utara yang secara geografis dan administratif terletak di bagian utara wilayah negara Indonesia, yang berbatasan langsung dengan negara Filipina dan Malaysia.

Wilayah Provinsi Sulawesi Utara beriklim tropis yang dipengaruhi oleh angin muson. Pada bulan November sampai bulan April bertiup angin barat yang menurunkan hujan. Sebaliknya angin tenggara yang bertiup dari bulan Mei sampai Oktober mendatangkan musim kemarau. Curah hujan yang terjadi antara 2000-4000 milimeter per tahun dengan jumlah hari hujan 90-120 hari. Suhu udara


(34)

rata-rata adalah 25.2°C. Kelembaban udara tercatat 73,4 persen, dan suhu atau temperatur dipengaruhi oleh ketinggian tempat di atas permukaan laut. Provinsi Sulawesi Utara yang beribukota di Manado, terletak pada posisi 0°30 - 5° 35’

Lintang Utara dan 123° 30’ - 127°00’ bujur timur dengan batas wilayah sebagai berikut :

(1) Sebelah Utara berbatasan dengan Negara Filipina (2) Sebelah Selatan berbatasan dengan Teluk Tomini

(3) Sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Gorontalo, dan (4) Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Maluku.

Berdasarkan hasil penelitian dari data sekunder maka di wilayah penelitian perbatasan Indonesia dan Filipina, jumlah pulau terluar sebanyak 11 (sebelas) pulau yaitu (1) Pulau Bangkit, (2) Pulau Manterawu (3) Pulau Makalehi (4) Pulau Kawalusu (5) Pulau Kawio (6) Pulau Marore (7) Pulau Batubawaikang (8) Pulau Miangas (9) Pulau Marampit (10) Pulau Intata (11) Kakorotan. Penelitian hanya difokuskan pada dua pulau kecil terluar yang dinyatakan sebagai pulau yang sangat srategis yaitu Pulau Miangas dengan koordinat 5° 34 2 LU, 126° 34 54 BT dan Pulau Marore koordinat 4° 44 14 LU, 125° 28 42 BT yang masuk dalan wilayah administratif Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud.

Wilayah Kabupaten Kepulauan Sangihe dengan luas 11.863,58km2 yang terdiri dari 105 pulau, dengan rincian sebagai berikut: 26 pulau berpenghuni dan 79 pulau tidak berpenghuni, terdiri 14 kecamatan, 125 kampung dan 22 kelurahan, yang sebagian besar terdiri dari pegunungan dan tanah berbukit yang dikelilingi oleh lautan. Kabupaten Kepulauan Sangihe terletak diantara 02°04’13‖ sampai

04°44’22‖ Lintang Utara dan 125°9’28‖ sampai 125°56’57‖ Bujur Timur. Daerah Kabupaten Kepulauan Sangihe adalah daerah perbatasan jang terdiri dari pulau-pulau terbentang dari utara ke selatan dengan batas batasnya sebagai berikut : (1) Sebelah Utara berbatasan dengan Negara Filipina

(2) Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Kepulauan SITARO (3) Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Sulawesi


(35)

(4) Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Kepulauan Talaud dan Laut Maluku

Wilayah Kabupaten Kepulauan Talaud dengan luas 27.061,16 km2 yang terdiri dari 112 pulau, dengan rincian sebagai berikut: 30 pulau berpenghuni dan 82 pulau tidak berpenghuni, terdiri 24 kecamatan, 195 kampung dan 26 kelurahan. Kabupaten Kepulauan Talaud dikategorikan sebagai Daerah Kepulauan, dimana terdapat 4 gugusan kepulauan yakni : Gugusan Pulau Nanusa (8 pulau), Gugusan Pulau Karakelang (3 pulau), Gugusan Pulau Salibabu (3 pulau) dan Gugusan Pulau Kabaruan (2 pulau).

Daerah Kabupaten Kepulauan Talaud adalah daerah perbatasan, juga disebut daerah Kepulauan karena terdiri dari pulau-pulau yang terbentang dari utara ke selatan. Daerah Kabupaten Kepulauan Talaud terletak antara 4°01'00" Lintang Utara dan 126°40'00‖ Bujur Timur dengan batas-batasnya sebagai berikut :

(1) Sebelah Utara berbatasan dengan Republik Filipina

(2) Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Kepulauan Sangihe (3) Sebelah Timur berbatasan dengan Samudera Pasifik

(4) Sebelah Barat berbatasan dengan Laut Sulawesi.

Permasalahan nasional dan internasional pulau-pulau kecil di wilayah perbatasan negara Indonesia dengan negara Filipina sebagai berikut:

(1) Batas wilayah Negara Indonesia dengan Negara Filipina belum disepakati dan ditetapkan secara bersama antara kedua negara

(2) Berdampak positif terhadap hak berdaulat pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya di Zona Ekonomi Eklsklusif (ZEE) dan Landas Kontinen (LK) (3) Berpengaruh terhadap hukum, sosial, dan ekonomi dalam meningkatkan

kesejahteraan masyarakat lokal sehingga daerah perbatasan sangat terpengaruh dengan kehidupan negara Filipina

(4) Keterpencilan perbatasan wilayah Indonesia di Provinsi Sulawesi Utara yaitu: Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud, sangat


(36)

berdampak terhadap jaminan hukum, pertahanan dan keamanan negara Indonesia

(5) Kesenjangan sosial ekonomi dengan negara tetangga semakin tajam

(6) Banyak terjadinya kegiatan transnational crimes, illegal fishing, illegal logging, woman and child trades (trafficking), illegal imigrant, people smuggling, peredaran narkotika, pintu masuk teroris, dan potensi konflik sosial dan politik

(7) Sarana dan prasarana di pulau-pulau kecil terluar sangat terbatas, sehingga terisolir

(8) Potensi ekonomi pulau-pulau kecil terluar di perbatasan negara belum dimanfaatkan secara optimal.

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah merancangbangun hukum dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di perbatasan negara, dengan mempertimbangkan keterpaduan pengelolaan pulau kecil di wilayah pesisir bagi keberlanjutan pengelolaan sumberdaya, kesejahteraan masyarakat dan pengakuan wilayah negara Republik Indonesia. Keterpaduan mencakup aspek sumberdaya alam, sosial, ekonomi, budaya, hukum dan kelembagaan. Secara spesifik tujuan penelitian ini adalah:

(1) Mengidentifikasi coastal problems/coastal disease di daerah perbatasan negara untuk menyelesaikan problem yang sudah sejak dahulu dan hingga saat ini berlangsung terus-menerus antara lain: pencurian ikan oleh nelayan asing, jalur laut pelintasan kapal asing, perusakan dan pencemaran lingkungan, perdagangan illegal antar negara, penyelundupan, pelintas batas masyarakat lokal, termasuk kejahatan transnasional seperti jalur terorisme, perdagangan senjata, perdagangan ikan di tengah laut, narkotika, woman traficking dan lainnya

(2) Mengidentifikasi hukum internasional yang telah di ratifikasi dan hukum nasional yang berlaku di wilayah pesisir dan laut sebagai upaya strategi dan


(37)

harmonisasi hukum dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di perbatasan negara,

(3) Mengidentifikasi arah kebijakan penetapan kembali batas wilayah negara (delimitasi) dan pulau perbatasan sebagai titik dasar (TD), serta titik referensi (TR) pengukuran untuk pemanfaatan sumberdaya di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia serta Landas Kontinen, dalam upaya meningkatan pendapatan negara dan daerah pada sektor perikanan serta serta sektor lainnya untuk meningkatkan sosial ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. (4) Merancangbangun hukum dan arahan kebijakan nasional maupun regional

untuk perencanaan, pemanfaatan, pengawasan. dan pengendalian pulau-pulau kecil terluar di perbatasan negara.

1.6 Manfaat Penelitian

Manfaat dalam rancangbangun hukum dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di perbatasan negara antara lain adalah:

(1) Masukan penyusunan strategi pengelolaan pulau-pulau kecil terluar, akan efektif dan berkelanjutan jika penetapan batas negara jelas dan diakui oleh negara yang bertetangga serta peningkatan pertahanan dan keamanan negara terhadap hal-hal yang bersifat geopolitik dapat dibendung jika mengancam bangsa dan negara Indonesia

(2) Penegakan hukum dalam pencapaian hasil optimal pembangunan kelautan dan perikanan di Indonesia, terutama di wilayah perbatasan negara, untuk peningkatan pendapatan negara dan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat Indonesia

(3) Penetapan batas laut negara dan penentuan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia termasuk landas kontinen, untuk menjamin kepastian hukum wilayah kedaulatan negara yang diakui secara Internasional dan kepastian hak pengelolaan sumberdaya pulau-pulau kecil di perbatasan negara


(38)

(4) Sebagai bahan masukan bagi pemerintah, dan pemerintah daerah dalam penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pengelolaan pulau-pulau kecil di perbatasan negara.


(39)

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Batasan Laut, Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil 2.1.1 Laut

Laut adalah keseluruhan rangkaian air asin yang menggenangi permukaan bumi. Definisi ini hanya bersifat fisik saja, sedangkan laut menurut definisi hukum adalah keseluruhan air laut yang berhubungan secara bebas di seluruh permukaan bumi (Mauna 2005).

Dalam Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir (DKP 2001), wilayah laut adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang terbatas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administrasi dan atau aspek fungsional. Laut merupakan jalan raya yang menghubungkan seluruh pelosok dunia, melalui laut masyarakat dari berbagai bangsa mengadakan segala macam pertukaran dari komoditi perdagangan sampai ilmu pengetahuan. Dapat dikatakan bahwa laut merupakan sarana penting dalam hubungan internasional, sebagai contoh-contoh kompetisi antar negara-negara besar untuk menguasai laut, karena barangsiapa yang menguasai laut akan menguasai lalu-lintas laut dan barangsiapa menguasai lalu-lintas laut juga akan menguasai dunia.

Khusus bagi negara pantai, dalam menjalankan kegiatan di laut, maka perlu adanya pengawasan yang dilakukan secara bersama oleh negara-negara pantai melalui konvensi untuk menjaga kebebasan di laut lepas atau kepentingan-kepentingan khusus negara pantai. (Mauna 2005).

Lebar laut negara pantai menetapkan laut teritorialnya hinga suatu batas yang tidak melebihi 12 mil laut, diukur dari garis pangkal (Pasal 3 UNCLOS). Sedangkan batas luar laut teritorial adalah garis jarak setiap titiknya dari titik yang terdekat garis pangkal, sama dengan lebar laut teritorial. (pasal 4 UNCLOS). 2.1.2 Wilayah pesisir

Wilayah pesisir (coastal zone) belum dididefiniskan secara baku, namun terdapat kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan (Dahuri et al. 2001). Sebagai kawasan daratan,


(40)

wilayah pesisir yang masih dipengaruhi oleh proses dan dinamika laut seperti pasang surut, intrusi air laut dan kawasan laut yang masih mendapat pengaruh dari proses dan dinamika daratan seperti sedimentasi dan pencemaran. Sementara itu pendekatan administrasi membatasi wilayah pesisir sebagai wilayah administrasi pemerintahan memiliki batas terluar sebelah hulu dari kecamatan atau kabupaten/kota yang mempunyai laut dan ke arah laut sejauh 12 (dua belas) mil laut dari garis pantai untuk provinsi dan sepertiganya untuk kabupaten/kota. Dalam konteks pendekatan perencanaan, wilayah pesisir merupakan wilayah perencanaan pengelolaan sumberdaya yang difokuskan pada penanganan isu yang akan dikelola secara bertanggung-jawab.

Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai bagian integral dari pembangunan kelautan dan perikanan, perlu mendapat perhatian dengan skala prioritas yang tinggi dan menjadi bagian dari orientasi kebijakan perencanaan pembangunan nasional. Mengingat wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan tempat bermukim sebagian penduduk (60% penduduk Indonesia tinggal di wilayah pesisir), juga memiliki potensi kekayaan sumberdaya alam yang besar karena didukung oleh adanya sumberdaya hayati dan non-hayati, sehingga dalam melaksanakan program pengelolaan pesisir pulau-pulau kecil memerlukan pendekatan terpadu yaitu pendekatan: ekologi, adminsitasi, perencanaan, sosial, budaya, dan hukum.

2.1.3 Pulau-pulau kecil

Definisi pulau dalam Pasal 121 UNCLOS, adalah daratan yang dibentuk secara alamiah yang dikelilingi oleh air dan yang ada di atas permukaan air pada air pasang, sedangkan definisi pulau sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 (Bab VIII Pasal 121 ayat 1) bahwa: Pulau adalah massa daratan yang terbentuk secara alamiah, di kelilingi oleh air dan selalu berada/muncul di atas permukaan air pasang tinggi. Sedangkan, pulau-pulau kecil secara harafiah merupakan kumpulan pulau berukuran kecil yang secara fungsional saling berinteraksi dari sisi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya. Interaksi ini menyebabkan pulau-pulau kecil tersebut terpisah dari pulau induknya (mainland).


(41)

Karakteristik pulau-pulau kecil yang sangat menonjol menurut Griffith dan Inniss (1992) serta Beller, 1990) adalah:

(1) terpisah dari habitat pulau induk sehingga bersifat insuler

(2) memiliki persediaan air tawar yang sangat terbatas, termasuk air tanah atau air permukaan

(3) rentan terhadap gangguan eksternal, baik alami maupun akibat kegiatan manusia

(4) memiliki spesies endemik yang memiliki fungsi ekologi yang tinggi, dan (5) tidak memiliki daerah hinterland.

Menurut Brookfield (1990), pulau-pulau kecil adalah pulau yang luasnya sekitar 1.000 km2 dan penduduk lebih kecil dari 100.000 orang. Batasan ini juga digunakan di Jepang (Nakajima dan Machida, 1990). Berkaitan dengan hal tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (DKP 2001) mendefinisikan pulau kecil sebagai pulau yang ukuran luasnya kurang dari 2.000 km2 dengan jumlah penduduk sekitar 200.000 jiwa (Abubakar 2004).

Pulau-pulau kecil (PPK) juga mempunyai peran yang sangat penting bagi manusia, seperti mempengaruhi iklim global, siklus hidrologi, biogeokimia, dan penyerap limbah (Dahuri 1998). Pulau-pulau kecil tersebut juga memberikan manfaat lain bagi kehidupan manusia seperti pemanfaatan jasa lingkungan untuk kegiatan usaha pariwisata, budidaya perairan yang dapat menambah pendapatan dan devisa, serta sebagai tempat yang menyimpan plasma nuftah yang sangat berharga bagi keberlangsungan kehidupan manusia.

Pulau kecil menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil didefinisikan, sebagai pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan ekosistemnya.

2.2 Potensi Pulau-Pulau Kecil Terluar di Perbatasan Negara

Pulau-pulau kecil terluar merupakan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berbatasan dengan negara tetangga, sehingga keberadaannya mempunyai arti yang strategis dalam proses pembangunan.


(42)

Menurut Dahuri (1998), potensi pulau-pulau perbatasan dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (1) potensi sumberdaya alam dan jasa lingkungan, (2) potensi ekonomi, dan (3) potensi sebagai bisnis pertahanan negara.

Lebih lanjut Dahuri (1998) menyatakan bahwa potensi sumberdaya alam dan jasa lingkungan di pulau-pulau kecil terluar terdiri dari sumberdaya hayati (padang lamun, terumbu karang, dan hutan manggrove), yang sangat berperan dalam mengendalikan keseimbangan ekosistem termasuk kelestarian biota-biota perairan. Sementara itu, potensi sumberdaya non-hayati seperti bahan tambang, energi laut dan jasa lingkungan (terutama pariwisata) dapat dimanfaatkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Upaya untuk menjadikan pulau-pulau terluar sebagai basis pengembangan komuditas pertanian, perikanan, peternakan atau industri, serta jasa lingkungan bukan merupakan sesuatu yang mudah dilakukan, hal ini dikarenakan oleh masing-masing sektor mempunyai peluang yang sama. Adakalanya pengembangan jasa lingkungan pada pulau-pulau kecil terluar mendapat tantangan dari para aktivis lingkungan, karena diduga dapat merusak lingkungan ekosistem pesisirnya.

Permasalahan yang terjadi di pulau-pulau kecil terluar adalah kondisinya yang relatif terisolasi dan jauh dari pulau induk, terbatasnya sarana dan prasarana perekonomian seperti: jalan raya, pelabuhan, pasar, penerangan listrik, lembaga perbankan, sehingga berakibat pada kesejahteraan dan pendapatan masyarakat rendah serta kualitas sumberdaya manusia rendah akibat kurangnya fasilitas pendidikan, tidak tersedianya informasi dan komunikasi serta fasilitas kesehatan (Bengen 2004).

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, meliputi kegiatan perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian terhadap interaksi manusia dalam memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta proses alamiah secara berkelanjutan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.


(43)

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil wajib dilakukan dengan cara mengintegrasikan kegiatan: (a). antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah; (b). antar Pemerintah Daerah; (c). antar sektor; (d). antara Pemerintah, dunia usaha, dan Masyarakat; (e). antara Ekosistem darat dan Ekosistem laut; dan (f). antara ilmu pengetahuan dan prinsip-prinsip manajemen.

2.3 Hukum Laut Indonesia

Kedudukan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic state) telah diakui dunia internasional yang penetapannya sejak Indonesia meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 31 Desember 1985 melalui Undang-Undang No.17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea 1982. Konvensi ini telah memberi pengakuan terhadap status Indonesia sebagai suatu negara kepulauan dengan dicantumkannya Bab IV pasal 46 sampai pasal 54 tentang Negara Kepulauan. Menurut Konvensi Hukum Laut 1982 Indonesia berhak untuk menetapkan batas-batas terluar dari berbagai zona maritim, dengan batas-batas maksimum yang ditetapkan sebagai berikut:

(1) Laut teritorial sebagai bagian dari wilayah negara: 12 mil laut

(2) Zona tambahan dimana negara memiliki yuridiksi khusus: 24 mil laut (3) Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE): 200 mil laut, dan

(4) Landas kontinen: antara 200-350 mil laut atau sampai dengan 100 mil laut dari isobath (kedalaman) 2.500 meter.

Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Landas Kontinen (LK) Indonesia memiliki hak-hak berdaulat untuk memanfaatkan kekayaan sumberdaya. Sebagai negara kepulauan Indonesia berhak untuk menetapkan perairan kepulauan pada sisi dalam dari garis-garis pangkal kepulauannya dan perairan pedalaman pada perairan kepulauannya, dan pada zona maritim harus diukur dari garis-garis pangkal atau garis dasar.

Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia pada tanggal 8 Agustus 1996, maka secara tegas telah menetapkan batas-batas terluar (outer limit) kedaulatan dan yuridiksi Indonesia di laut, termasuk memberikan dasar dalam menetapkan garis batas (boundary)


(44)

dengan negara-negara tetangga yang berbatasan, baik negara-negara yang letaknya berhadapan maupun yang berdampingan dengan Indonesia. Undang-undang tersebut telah dilengkapi dengan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 Tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Pangkal Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Karena Peraturan Pemerintah tersebut, masih memasukkan Pulau Sipadan dan Ligitan, dimana kedua pulau tersebut terdapat 3 (tiga) titik pangkal pengukuran dan letaknya sangat strategis dalam mempertegas batas-batas terluar, sehingga Pengumunan Pemerintah tersebut secepatnya dilakukan perubahan sehingga tidak menimbulkan permasalahan yang baru di wilayah tersebut.

Indonesia sebagai negara kepulauan, dalam arti laut mempunyai makna sebagai satu kesatuan wilayah, memiliki dua aspek utama yaitu keamanan (security) dan kesejahteraan (prosperity), sehingga penetapan batas-batas terluar wilayah sebagai yuridiksi negara di laut dengan negara-negara yang bertetangga perlu dilaksanakan. Penetapan batas merupakan kepastian hukum yang dapat menunjang berbagai kegiatan pembangunan nasional dibidang pertahanan keamanan, perikanan, pariwisata, pelayaran, pertambangan seperti: eksplorasi dan eksploitasi mineral-gas dasar laut dan tanah di bawahnya, termasuk harta warisan muatan kapal tenggelam, dan lain sebagainya. Penyempurnaan batas-batas wilayah dan yuridiksi negara di laut harus dapat menunjukkan tegaknya wibawa Republik Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, terwujudnya rasa aman, perekonomian dan teknologi yang maju untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pengelolaan wilayah pesisir dan laut terpadu.

Posisi geografis Indonesia mempunyai batas dengan sepuluh negara di perairan dan di daratan tiga negara, sehingga pengaturan wilayah perbatasan penting diselesaikan karena sangat strategis. Oleh karena itu Indonesia mengakomodasikan kepentingan internasional di perairan Indonesia, yakni menghormati hak-hak masyarakat internasional di perairan yang kini menjadi perairan nasional, terutama hak lintas damai dan hak lintas alur laut kepulauan, bagi kapal-kapal asing. Dengan meningkatnya kepentingan keamanan nasional, maka kebijakan di wilayah laut yang pada pokoknya hanya mengurus


(45)

kegiatan-kegiatan di atas permukaan laut, saat ini telah diarahkan pada pengelolaan sumberdaya di zona ekonomi eksklusif, dasar laut dan kekayaan mineral yang terkandung di dalamnya, sehingga terjadi perubahan pengertian hukum laut yang dahulu bersifat unidimensional sekarang telah menjadi pluridimensional, yang sekaligus merubahn filosofi dan konsepsi hukum laut di masa lalu (Mauna 2005). 2.4 Pembangunan Wilayah Perbatasan

Pembangunan kawasan perbatasan menurut Dahuri yang diacu Pratikto et al. (2006) mencakup beberapa aspek utama, seperti: (1) geografi (meliputi pembuatan jaringan perhubungan laut, darat dan udara, serta sarana komunikasi), (2) demografi (mencakup pengisian dan pendistribusian penduduk untuk keperluan kekuatan sistem pertahanan keamanan rakyat semesta), serta (3) sumberdaya alam (untuk mengetahui secara rinci data dasar keseluruhan kekayaan sumberdaya alam dan sistem pengamanannya). Selain aspek utama lainnya berupa: (4) ideologi (berkaitan dengan pembinaan dan penghayatan ideologi guna menangkal ideologi asing), (5) politik (mencakup pemahaman sistem politik nasional dan menjaga stabilitas politik yang dinamis bersama aparat pemerintah sebagai mitra pembinaan teritorial serta pemahaman politik internasional negara tetangga), dan (6) perhubungan (mencakup pembangunan sarana perhubungan sehingga terbuka akses pengembangan ekonomi, pendukung logistik, pemberdayaan masyarakat dan wilayah pertahanan keamanan). Aspek lainnya berupa: (7) ekonomi, sosial dan budaya (meliputi peningkatkan akses pasar, kualitas komuditi, pendidikan kesehatan, kesejahteraan yang memadai, serta meningkatkan ketahanan budaya guna membendung penetrasi budaya asing) dan (8) pertahanan dan keamanan (seperti pembuatan pos-pos perbatasan), pembentukan sabuk pengaman dan kekuatan pembinaan teritorial yang memadai dan pengendalian yang cukup baik oleh aparat keamanan maupun swakarsa masyarakat).

Wilayah perbatasan sebagai batas kedaulatan suatu negara secara universal memiliki peran strategis dalam penentuan kebijakan pemerintah untuk kepentingan nasional maupun internasional. Secara geografis penetapan batas wilayah negara di darat maupun di laut belum tuntas diselesaikan dimana


(46)

Indonesia memiliki bagian laut yang langsung berbatasan dengan 10 (sepuluh) negara tetangga yaitu (1) Australia, (2) Filipina, (3) India, (4) Malaysia, (5) Palau, (6) Papua Nugini, (7) Singapura, (8) Timor Leste, (9) Thailand dan (10) Vietnam. Berberapa penjanjian bilateral yang disepakati adalah garis batas laut teritorial, ZEE dan landas kontinen dengan beberapa negara tetangga antara lain dengan Singapura, Malaysia, Thailand, India, Papua Nugini dan Aurtralia, sedangkan Filipina, Palau, Timor Leste, dan Vietnam belum mencapai persetujuan. (Agoes 2002).

Kajian kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar perlu dilakukan secara komprehensif dengan tidak mengabaikan potensi dan karakteristik yang mencakup antara lain aspek sumberdaya alam hayati dan non-hayati; aspek sarana dan pra-sarana pembangunan yang meliputi aspek sosial, ekonomi, budaya, hukum, kelembagaan, serta geopolitik. Dengan tidak menyampingkan kepentingan pembangunan pemanfaatan pulau-pulau kecil, maka penataan ruang sangat penting untuk di dilakukan agar tidak terjadi tumpang tindih kebijakan dan konflik pengelolaan. Penataan ruang pesisir termasuk pulau-pulau kecil dapat dilakukan untuk menentukan lokasi atau wilayah yang dijadikan sebagai tempat penangkapan ikan, budidaya perairan, wisata, dan konservasi. Penetapan pengelolaan pulau-pulau terluar dilakukan secara terencana dan berkesinambungan, terus menenus (continous presence), kemudian dalam proses penyusunan dituangkan dalam kebijakan jangka panjang di daerah pada dokumen-dokumen Rencana Strategi, Rencana Zonasi, Rencana Pengelolaan, dan Rencana Aksi.

Wilayah perbatasan Indonesia – Filipina dibatasi oleh pulau-pulau kecil yang masuk dalam wilayah Provinsi Sulawesi Utara, dan masuk dalam wilayah Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud. Jumlah pulau-pulau kecil yang terdapat di dalam dua wilayah tersebut berdasarkan data dari Dinas Hidrografi–Oseanografi (DISHIDROS) TNI Angkatan Laut November 2003 berjumlah 11 (sebelas) pulau yaitu (1) Pulau Bangkit; (2) Pulau Manterawu; (3) Pulau Makalehi; (4) Pulau Kawalusu; (5) Pulau Kawio; (6) Pulau Marore; (7)


(47)

Pulau Batubawaikang; (8) Pulau Miangas; (9) Pulau Marampit; (10) Pulau Intata; (11) Pulau Kakorotan.

Kompleksitas permasalahan pengelolaan batas negara di wilayah laut terutama berkaitan dengan masih banyak segmen kawasan pesisir yang belum ditetapkan yang berkaitan dengan batas negara seperti pulau-pulau terluar yang belum bernama, hal ini memiliki dimensi strategis kewilayahan terutama penataan ruang laut yang berdampak sangat luas terhadap keamanan dan kesejahteraan. Tindakan yang sering dan selalu terjadi di laut wilayah perbatasan negara yang merupakan penyakit pesisir (coastal disease) antara lain pencurian ikan oleh nelayan asing, di daratan kemiskinan masyarakat karena kesulitan akses dan transportasi, kurang perhatian pembangunan sarana dan prasarana oleh pemerintah, mobilitas masyarakat di pelintasan batas, pengelolaan sumberdaya tidak terkontrol, dan kurangnya pengawasan aparat pemerintah, sulit melakukan pemasaran dan kurang penentuan harga jual hasil perikanan dalam negeri sehingga penjualan hasil perikanan dilakukan ke negara tetangga.

Menurut Sabarno (2003) dalam pemanfaatan potensi pulau-pulau kecil terluar terdapat permasalahan hukum yang terkait dengan negara tetangga yang meliputi :

(1) Belum adanya peraturan perundang-undangan yang jelas dan menyeluruh untuk pemanfaatan potensi pulau-pulau kecil terluar;

(2) Penyelesaian permasalahan perbatasan negara saat ini masih tergantung pada pertimbangan keuntungan dan kerugian dari wilayah tersebut;

(3) Penetapan batas negara masih menggunakan acuan survei dan pemetaan wilayah yang bersifat parsial, sehingga realisasinya memerlukan koordinasi yang panjang dan berbelit-belit;

(4) Penyelesaian permasalahan perbatasan masih bersifat insidentil dan situasional.

Menurut Numberi (2006) isu tentang pembangunan pulau-pulau kecil terluar diantaranya adalah kedaulatan, ekonomi dan penegakan hukum.


(1)

Matriks Peraturan Perundang-undangan Internasional yang telah di ratifikasi di Indonesia

No Aspek Peraturan

PerUUan Nomor dan Tahun Tentang

Fokus PerUUan Pasal Terkait Permasalahan terkait dgn peraturan perUUan

Analisis PerUUan Keterangan

1 Sumberdaya

Alam dan Lingkungan

UU Nomor 17 Tahun

1985

United Nation Convention on the Law of the Sea III

2 Pesisir dan

lautan

UU November 2005 Jakarta Mandate on Marine and

Coastal Development

November 2005

3 UU Nomor 21 Tahun

2009

Pengesahan Agreement For The Implementation Of The Provisions Of The United Nations Convention On The Law Of The Sea Of 10 December 1982 Relating To The Conservation And Management Of Straddling Fish Stocks And Highly Migratory Fish Stocks (Persetujuan Pelaksanaan Ketentuan-Ketentuan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut Tanggal 10 Desember 1982 Yang Berkaitan Dengan Konservasi Dan Pengelolaan Sediaan Ikan Yang Beruaya Terbatas Dan Sediaan Ikan Yang Beruaya Jauh)

4 UU Nomor 15 Tahun

2009

Pengesahan Protocol against the Smuggling of Migrants by Land, Sea and Air, Supplementing the United Nations Convention against Transnational Organized Crime (Protokol Menentang Penyelundupan Migran melalui Darat, Laut, dan Udara, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi)

5 UU Nomor 14 Tahun

2009

Pengesahan Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children, Supplementing the United Nations Convention against


(2)

No Aspek Peraturan

PerUUan Nomor dan Tahun Tentang

Fokus PerUUan Pasal Terkait Permasalahan terkait dgn peraturan perUUan

Analisis PerUUan Keterangan

Transnational Organized Crime (Protokol untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak-Anak, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi)

6 UU Nomor 5 Tahun

2009

Pengesahan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional Yang Terorganisasi

7 UU Nomor 1 Tahun

2008

Pengesahan ILO Convention No. 185 Convention Revising The Seafarers Identity Documents Convention, 1958 ( Konvensi ILO No. 185 Mengenai Konvensi Perubahan Dokumen Identitas Pelaut, 1958)

8 UU Nomor 7 Tahun

2006

Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003

9 UU Nomor 6 Tahun

2006

Pengesahan International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme, 1999

10 UU Nomor 5 Tahun

2006

Pengesahan International Convention for the Suppression of the Terrorist Bombing 1997 (Konvensi Internasional Pemberantasan Pengeboman Oleh Teroris, 1997)


(3)

No Aspek Peraturan

PerUUan Nomor dan Tahun Tentang

Fokus PerUUan

Pasal Terkait

Permasalahan terkait dgn

peraturan perUUan

Analisis PerUUan Keterangan

11 UU Nomor 21 Tahun

2004

Pengesahan Cartagena Protocol on Biosafety to the Convention on Biological Diversity (Protokol Cartagena tentang Keamanan Hayati Atas Konvensi Tentang Keanekaragaman Hayati)

12 UU Nomor 17 Tahun

2004

Pengesahan Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change (Protokol Kyoto Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-bangsa Tentang Perubahan Iklim


(4)

(5)

323

KUESIONER SURVEY PAKAR METODE AHP

Nama Pakar

:

Bidang kepakaran

:

Instansi

:

Skala pendapat (nilai dan definisi)

Nilai

Definisi

1

Sama penting (

equal

)

3

Sedikit lebih penting (

moderate

)

5

Jelas lebih penting (

strong

)

7

Sangat jelas penting (

very strong

)

9

Mutlak lebih penting (

extreme

)

2, 4, 6, 8

Apabila ragu antara dua nilai yang berdekatan

1 / (1

9)

Kebalikan nilai tingkat kepentingan dari skala 1 - 9

Pembobotan kriteria

(Saaty 1993)

Pedoman penilaian :

Contoh : Pembobotan kriteria.

Kriteria : A = peraturan perundang-undangan; B = pencapaian program;

C = ketersediaan sumberdaya; D = pemberdayaan masyarakat; E =

kelembagaan

Kriteria

A

B

C

D

E

A

1

3

1/5

4

B

C

D

E

Penjelasan :

Nilai A terhadap B = 1 diartikan : kriteria A sama penting dari kriteria B

Nilai A terhadap C = 3 diartikan : kriteria A sedikit lebih penting dari kriteria C

Nilai A terhadap D = 1/5 diartikan : kriteria B jelas lebih penting dari kriteria A

Nilai A terhadap E = 4 diartikan : kriteria A ada keraguan sedikit lebih penting atau

jelas lebih penting dari kriteria E

Pengisian pada kolom yang tersedia mengikuti petunjuk diatas.

Terima kasih.


(6)

324

Judul penelitian: Rancang Bangun Hukum dalam Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil

Terluar di Provinsi Sulawesi Utara

Lembar Isian

1.

Kriteria :

A : Perundang-undangan; B : Potensi Sumberdaya;

C : Program Pengelolaan

Kriteria

A

B

C

A

B

C

2.

Tujuan :

A : Data & Informasi; B : Penetapan Batas Negara; C : Sosial Ekonomi;

D : Coastal Problematic

Kriteria

A

B

C

D

A

B

C

D

3. Alternatif:

A : Tata Kelola Kelembagaan; B : Peran Aktor (Pemangku Kepentingan;

C : Basis Konservasi; D Penangan Terpadu; E. Pemanfaatan Kearifan Lokal

Kriteria

A

B

C

D

E

A

B

C

D

E