Analisis kerentanan pulau-pulau kecil di Kecamatan Togean Provinsi Sulawesi Tengah (Studi Kasus P. Kukumbi, P. Enam, P. Mogo, P. Kadidiri, P. Pagempa, P. Tongkabo)

(1)

(2)

(3)

iii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Analisis Kerentanan Pulau-Pulau Kecil di Kecamatan Togean Provinsi Sulawesi Tengah (Studi Kasus P. Kukumbi, P. Enam, P. Mogo, P. Kadidiri, P. Pagempa, P. Tongkabo)” adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, 16 Maret 2012

Mohamad Akbar NRP. C252090121


(4)

(5)

v ABSTRACT

Mohamad Akbar. Vulnerability Asssesment of Small Islands Togean district central selebes province (Case Study Kukumbi Island, Enam Island, Mogo Island, Kadidiri Island, Pagempa Island, Tongkabo Island). Under direction of Luky Adrianto and Ario Damar.

This research was conducted in small islands area wild belongs to Togean District, TojoUna-Una Regency Central Celebes by ecological and sosio-economic approach. Methods used in this research were vulnerability index, MCDM (multi criteria dimension making) and Geographycal information system (SIG) approach. Data were collected by participative and explorative approach. Data analysed parameters using vulnerability, assessment method involving vulnerability variabel parameters i.e. area characteristic, area degradation, sea level rise, human impact, economic exposure, economic remoteness. The results

shows the range of composit vulnerability index for ecological (CVI-Ek) is 0.07-0.86, economic (CVI-En) is 0.07-0.96, and composite vulnerability

ecological-economic (CVI-EE) is 0.12-0.90. Enam island (0.90) is rated extreme vulnerable, Tongkabo island (0.68) is rated to high vulnerable (0.67), Mogo Island (0.19), Kukumbi Island (0.17), Pagempa Island (0.13) and Kadidiri Island (0.12), is non vulnerable. MCDM analysis result shows ecological criteria is the most important compared with economy criteria and social criteria. Analysis of SMART technique shows the type small islands sustainability management scenario in Togean District. Those are scenario A (adaptation, 0.94) and scenario B ( without adaptation, 0.55).

Keyword : Small Island, composite vulnerability index, sustainability, Togean District.


(6)

(7)

vii RINGKASAN

Mohamad Akbar. Analisis Kerentanan Pulau-Pulau Kecil di Kecamatan Togean Provinsi Sulawesi Tengah (Studi Kasus P. Kukumbi, P. Enam, P. Mogo, P. Kadidiri, P. Pagempa, P. Tongkabo). Dibimbing oleh Luky Adrianto dan Ario Damar.

Kawasan Kepulauan Togean merupakan kawasan yang punya peranan ekologis dan ekonomis yang cukup penting bagi keberlanjutan pembangunan Sulawesi Tengah secara umum dan Kabupaten Tojo Una Una pada khususnya. Berkaitan dengan gambaran potensi sumberdaya perairan Kepulauan Togean yang cukup tinggi dan upaya-upaya dalam pengeksploitasiannya yang cukup intensif oleh masayarakat sehingga kawasan ini menjadi penting untuk diperhatikan keberlanjutannya. Bilamana pengendalian yang tidak berimbang dalam pengelolaan tersebut, tidak menutup kemungkinan suatu saat keberlanjutannya akan bermasalah. Dengan demikian salah satu unsur penting yang dikaji adalah bagaimana menempatkan komponen lingkungan sebagai faktor penyeimbang dari berbagai kegiatan pengembangan yang telah dan akan dilakukan. Berkaitan dengan uraian di atas maka untuk kepentingan pengelolaan lingkungan dan sumberdaya pesisir Kepulauan Togean, perlu dikaji secara baik sehingga tindakan-tindakan pengelolaannya dapat bermanfaat secara baik dan berkelanjutan. Kurangnya data akan menyebabkan pengelolaan menjadi mubazir

yang akan mengakibatkan merosotnya sumberdaya alam yang dimiliki pulau-pulau kecil. Untuk mendefinisikan rencana strategi yang tepat dan akurat

guna pengembangan pulau-pulau kecil di gugus Pulau Togean perlu dilakukan kajian kerentanan (vulnerability) dan model pengelolaan yang berkelanjutan.

Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis tingkat kerentanan di gugus Pulau Togean berbasis mitigasi, ditinjau dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya. Berdasarkan tujuan umum tersebut, selanjutnya dapat diuraikan tujuan spesifik penelitian, yaitu : (1) Mengestimasi tingkat kerentanan masing-masing PPK gugus Pulau Togean; (2) Memetakan tingkat kerentanan masing-masing PPK gugus Pulau Togean secara spasial dengan metode cell based modeling; (3) Menyusun strategi pengelolaan pembangunan PPK berbasis mitigasi gugus Pulau Togean.

Penelitian ini dilakukan di wilayah PPK Kecamatan Togean, Kabupaten Tojo Una Una Propinsi Sulawesi Tengah dengan pendekatan ekologi dan sosial-ekonomi. Adapun metode yang digunakan meliputi Indeks kerentanan, MCDM (multi criteria decision making) dan pendekatan Sistem Informasi Geografis (SIG). Pengambilan data dilakukan dengan pendekatan partisipatif dan eksploratif. Pengambilan data biofisik lapangan menggunakan metode tracking GPS untuk 6 pulau yang menjadi objek penelitian, transek 10x10 untuk mangrove, untuk terumbu karang pengamatan yang telah dilakukan oleh instansi pemerintah tahun 2009. Keterwakilan sumber data diperkuat dengan analisis Citra Satelit Landsat 7 ETM+. Sedangkan untuk data sosial-ekonomi didapatkan dari instansi pemerintah terkait dan kepala desa.

Metode analisa data untuk menilai kerentanan PPK yang menjadi objek penelitian dilakukan dengan melibatkan berbagai variabel indeks kerentanan. Dampak exogenous dilakukan dengan menggunakan indeks pantai (coastal index), indeks keterisolasian (insularity index). Analisis mengenai tekanan penduduk


(8)

dilakukan dengan menggunakan indeks populasi, degradasi tutupan mangrove, degradasi terumbu karang, degradasi lahan terbangun. Analisis dampak alamiah (natural disaster) dilakukan dengan menggunakan indeks dampak kenaikan muka laut (sea level rise index). Analisis keterbukaan ekonomi (economic exposureness) dilakukan dengan indeks rasio keuangan external (external finance index), indeks rasio keterbukaan ekonomi (external trading index). Analisis dampak jarak PPK dari daratan utama dilakukan dengan menggunakan indeks keterpencilan ekonomi (economic remoteness index). Analisis penentuan tingkat kerentanan PPK dilakukan dengan menggunakan composite vulnerable index sedangkan pemetaan hasil tingkat kerentanan masing-masing PPK dilakukan dengan metode Cell Based Modeling.

Hasil komposit indeks kerentanan CVI-EE PPK yang menjadi objek penelitian memperlihatkan bahwa P. Enam tergolong ke dalam extreme vulnerable, P. Tongkabo tergolong ke dalam level high vulnerable, P. Mogo, P. Kukumbi, P. Pagempa, P. Kadidiri tergolong ke dalam level non vulnerable. P. Enam merupakan pulau yang kecil yang terpadat penduduknya, shingga mengakibatkan sangat rentannya pulau tersebut. Sedangkan untuk P. Mogo, P. Kukumbi dan P. Pagempa walaupun belum berpenghuni namun tingkat kerentanan pulau tersebut menunjukan bahwa pengeksploitasian terhadap masyarakat sekitar mulai memperlihatkan dampak tekanan bagi pulau tersebut.

Penentuan alternatif terbaik bentuk pengelolaan PPK yang berada di Kecamatan Togean, menggunakan analiss MCDM berdasarkan kriteria Ekologi (Krentanan Ekologi dan Ukuran Pulau), kriteria ekonomi (kerentanan ekonomi dan skala ekonomi) dan kriteria sosial (kependudukan). Berdasarkan hasil analisis MCDM, kriteria ekologi merupakan kriteria yang paling penting bila dibandingkan dengan kriteria ekonomi dan kriteria sosial. Selanjutnya dari analisis menggunakan teknik SMART menunjukan skenario bentuk pengelolaan PPK yang ada di wilayah Kecamatan Togean dengan dua skenario yaitu skenario A (adaptasi) dan skenario B (tanpa adaptasi).

Berdasarkan dua skenario tersebut, maka skenario yang terbaik dalam pengelolaan PPK yang berada di wilayah Kecamatan Togean dengan mengadopsi skenario A (Adaptasi). Skenario adaptasi yang dilakukan didasarkan pada kriteria dan atribut yang menjadi prioritas dalam pengelolaan PPK. Dimana strategi yang dilakukan yaitu ecological based management. Dengan atribut yang menjadi prioritas dalam pengelolaan yaitu bentuk pulau (coastal index), degradasi mangrove, degradasi terumbu karang, insularitas, kepadatan penduduk, keterpencilan ekonomi dan bantuan tunjangan pemerintah.

Kata Kunci : Komposit indeks kerentan, Keberlanjutan, Pengelolaan, Pulau-Pulau Kecil, Kecamatan Togean


(9)

ix

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutip hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penulisan kritik atau tinjauan masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(10)

(11)

xi

ANALISIS KERENTANAN PULAU-PULAU KECIL

DI KECAMATAN TOGEAN PROVINSI SULAWESI TENGAH

(Studi Kasus P. Kukumbi, P. Enam, P. Mogo, P. Kadidiri,

P. Pagempa, P. Tongkabo ,)

MOHAMAD AKBAR

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(12)

xii


(13)

xiii

Judul Penelitian : Analisis Kerentanan Pulau-Pulau Kecil di Kecamatan Togean

Provinsi Sulawesi Tengah (Studi Kasus P. Kukumbi, P. Enam, P. Mogo, P. Kadidiri, P. Pagempa, P. Tongkabo)

Nama : Mohamad Akbar

NIM : C252090121

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc Ketua

Dr. Ir. Ario Damar, M.Si Anggota

Diketahui Ketua Program Studi

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr


(14)

(15)

xv PRAKATA









Puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan ridho-nya lah sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis dengan judul Analisis Kerentanan Pulau-Pulau Kecil (Studi Kasus P. Kukumbi, P. Enam, P. Mogo, P. Kadidiri, P. Pagempa, P. Tongkabo Kecamatan Togean Kabupaten Tojo Una Una Provinsi Sulawesi Tengah).

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan dan dukungan kepada penulis hingga menyelesaikan studi ini, sebagai berikut :

1. Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc, selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Ario Damar, M.Si selaku anggota yang telah banyak memberikan

arahan dan bimbingan kepada penulis mulai dari penyusunan Proposal Penelitian sampai penulisan Tesis ini.

2. Dosen Penguji Luar Komisi, yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi dan atas saran dan masukan yang sangat berharga demi perbaikan tesisi ini.

3. Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku Ketua Program Studi, Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan atas segala arahan selama masa studi.

4. Seluruh staf dosen PS. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan atas segala arahan, sumbangsih, bantuan dan kerja sama yang baik selama masa studi.

5. Lurah Kecamatan Togean, Kepala Desa Pulau Enam, Kepala Desa P. Ketupat, Kepala Desa Pulau Tongkabo yang telah memfasilitasi penulis selama pelaksanaan penelitian di lapangan.

4. Adrian Mahmud, Mohamad Sidik, Rahma, Rudi sebagai Tim Peneliti teman-teman kos podjok Fery, Aris Prascoyo, Zendy, Niko, Nadir, Tri terimakasih atas dukungannya, semoga persahabatan kita selalu abadi selamanya


(16)

5. Teman-teman Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Angkatan 16 Tahun 2009 Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor (Fery Kurniawan, James Walalangi, Mohamad Sayuti Djau, Mochamad Idham Shilman, Sudirman Adibrata, Syultje M. Latukolan, Suryo Kusumo, RM. Puji Rahardjo, Dewi Dwi Puspitasari Sutedjo, Ita Karlina, Al Azhar, Rieke Kusuma Dewi, Yofi Mayalanda, Aldino Akbar, Destilawaty, Andi khodijah).

6. Sembah sujud dan penghargaan yang sebesar-besarnya penulis persembahkan kepada kedua orang tua, ayahanda (alm) Alimun Pasisi Latasad dan ibunda Mawar Madi yang telah membesarkan, mendidik dan memberikan doa. Kakak-kakaku Liswati, Rahman, Sunafri, Lismawati, Lisnawati yang telah memberikan motivasi.

Sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa Tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Olehnya kritik dan saran sangat diharapkan dari semua pihak sehingga dapat menjadi motivasi bagi penulis. Semoga tesis ini dapat bermanfaat

Bogor, 16 Maret 2012


(17)

xvii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah pada tanggal 31 Desember 1984. Penulis merupakan putra ke enam dari enam bersaudara dari

pasangan Alimun Pasisi Latasad dan Mawar Madi.

Tahun 1996, penulis menamatkan pendidikan dasar di SDN 3 Birobuli, lulus dari SMPN 6 Palu pada tahun 1999, dan pada tahun 2002 penulis lulus dari SMAN 3 Palu. Tahun 2003 melanjutkan pendidikan strata satu pada Universitas Tadulako Program Studi Budidaya Perairan dan menyelesaikannya pada tahun 2008. Tahun 2009 penulis berkesempatan melanjutkan Studi Magister di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan dan berhasil menyelesaikan studi pada tahun 2012.


(18)

(19)

xix DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xxi

DAFTAR GAMBAR ... xxiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xxv

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Kerangka Pemikiran ... 6

1.4 Tujuan Penelitian ... 7

1.5 Manfaat Penelitian ... 7

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Pengertian Pulau-Pulau Kecil (PPK) ... 9

2.2 Tipe Pulau... 9

2.3 Karakteristik Pulau-Pulau Kecil ... 11

2.4 Konsep dan Kerangka Kerentanan Pulau-pulau kecil ... 14

2.5 Analisis Spasial PPK Berbasis Sistem Informasi Geografis ... 21

2.5.1 Sistem Informasi Geografis (SIG) ... 21

2.5.2 Struktur Data Rester dan Cell based modeling... 22

2.6 Multi Criteria Decision Making (MCDM) ... 25

3. METODOLOGI ... 29

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 29

3.2 Jenis dan Sumber Data ... 29

3.3 Metode Pengumpulan Data ... 29

3.4 Analisis Data ... 30

3.4.1 Indeks Kerentanan Ekologi ... 30

3.4.2 Indeks Kerentanan Ekonomi ... 34

3.4.3 Standarisasi dan Komposit Indeks Kerentanan ... 37

3.4.4 Penentuan Tingkat Kerentanan ... 39

3.4.5 Pengolahan Citra Satelit ... 41

3.4.6 Analisis Multi Kriteria ... 43

3.4.7 Penyusunan Skenario Pengelolaan PPK Gugus Pulau Togean ... 44

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 47

4.1 Sistem Ekologi Dan Sosial-Ekonomi Pulau-Pulau Kecil... 47

4.1.1 Sistem Ekologi ... 47


(20)

4.2 Indeks Kerentanan Ekologi ... 59

4.2.1 Indeks Pantai (Coastal Index, CI) ... 59

4.2.2 Indeks Keterisolasian Pulau (Insularity Index, II) ... 60

4.2.3 Degradasi Lahan Terbangun... 61

4.2.4 Degradasi Terumbu Karang ... 62

4.2.5 Degradasi Tututpan Mangrove ... 63

4.2.6 Kenaikan Muka Laut ... 64

4.3 Indeks Kerentanan Ekonomi ... 65

4.3.1 Tekanan Populasi (Populasi Impact, PopI) ... 65

4.3.2 Keterbukaan Ekonomi ... 67

4.3.3 Keterpencilan Ekonomi ... 68

4.4 Komposit Indeks dan peta Kerentanan Ekologi-Ekonomi ... 69

4.4.1 Skenario Pengelolaan Pula-Pulau Kecil ... 76

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 85

5.1 Kesimpulan ... 85

5.2 Saran ... 85


(21)

xxi

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Tipe pulau dan implikasi terhadap bahaya gangguan alam ... 10

2. Perbandingan umum ciri-ciri umum Pulau Oseanik (pulau kecil), pulau kontinental dan benua (Salm et al. 2000 dalam Bengen dan Retraubun 2006) ... 11

3. Pengertian kerentanan ... 15

4. Penentuan tingkat kerentanan PPK ... 41

5. Keputusan dalam model analisis multikriteria ... 43

6. Penilaian terhadap elemen-elemen permasalahan ... 44

7. Nama dan posisi PPK lokasi penelitian ... 48

8. Luas pulau dan panjang garis pantai PPK Kecamatan Togean ... 48

9. Lokasi pengambilan data terumbu karang PPK Kecamatan Togean... 50

10. Persentase tutupan terumbu karang PPK Kecamatan Togean ... 50

11. Luasan tutupan terumbu karang PPK Kecamatan Togean ... 51

12. Luas tutupan mangrove PPK Kecamatan Togean ... 52

13. Karakteristik arus di Kecamatan Togean ... 54

14. Pola angin di Kepulauan Togean ... 55

15. Kualitas perairan PPK Kecamatan Togean ... 55

16. Jumlah penduduk PPK Kecamatan Togean ... 56

17. Luas lahan terbangun PPK Kecamatan Togean ... 56

18. Valuasi ekonomi PPK Kecamatan Togean ... 59

19. Sarana dan prasarana umum PPK Kecamatan Togean ... 65

20. Implementasi strategi pengelolaan berkelanjutan PPK Kecamatan Togean ... 84


(22)

(23)

xxiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Kerangka pemikiran penelitian ... 8 2. Interaksi yang tak terpisahkan antar komponen PPK

(Dehance 1999 in Adrianto 2004a)... 20 3. Produk Domestik Bruto PPK Kecamatan Togean... 57 4. Indeks pantai (Coastal Index) ... 59 5. Indeks keterisolasian (Insularity Index) ... 61 6. Degradasi lahan oleh lahan terbangun ... 62 7. Indeks degradasi terumbu karang ... 63 8. Indeks degradasi tutupan mangrove (%)... 64 9. Indeks kenaikan muka laut (%) Terhadap GIP ... 65 11. Indeks tekanan populasi (PopI) ... 66 12. Indeks Keterbukaan Ekonomi ... 68 13. Indeks Keterpencilan Ekonomi ... 69 14. Komposit indeks kerentanan ekologi, ekonomi dan ekologi-ekonomi... 70 15. Peta kerentanan ekologi PPK Kecamatan Togean ... 71 16. Peta kerentanan ekologi-ekonomi PPK Kecamatan Togean ... 71 17. Peta kerentanan ekologi-ekonomi PPK Kecamatan Togean ... 73 18. Struktur hirarki MCDM pada keberlanjutan pengelolaan sumberdaya

di wilayah PPK Kecmatan Togean ... 75 19. Skenario pengelolaan pulau-pulau kecil berdasarkan kriteria ... 78 20. Skenario pengelolaan pulau-pulau kecil berdasarkan Atribut ... 79


(24)

(25)

xxv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Matriks hubungan antara tujuan, metode pengambilan data

dan analisis data………....95

2. Proyeksi nilai dampak SLR terhadap riel value (RV) dan present value (PV) terhadap gross island product (GIP) masing-masing PPK Kecamatan Togean, Selama periode

analisis (2009-2011)………. 98

3. Hasil Pengukuran Variabel penyusunan indeks kerentanan PPK Kecamatan Togean untuk tahun analisis 2007-2011……… 99 4. Hasil standarisasi indeks kerentanan ekologi, ekonomi dan komposit

indeks kerentanan ekologi-ekonomi pada masing-masing PPK Kecamatan Togean, selama periode analisis (2007- 2011)... 100 5. Total Nilai Perdagangan masuk (outflow) dan keluar (inflow) pada masing-masing PPK Kecamatan Togean, selama periode

analisis (2007-2011)………... 101

6. Bantuan tunjangan pemerintah daerah untuk setiap masing-masing PPK pada masing-masing PPK Kecamatan Togean selama periode analisis (2007-2011)……..………... 102 7. Harga satuan biaya transportasi modal orang dan modal barang

masing-masing PPK Kecamatan Togean selama periode

analisis (2007-2011)………... 103

8. Nilai riel (reel value, RV) dan nilai manfaat (present value, PV)

dari GIP ….……….104

9. Rata-rata kepadatan populasi dan pertumbuhan populasi selama periode analisis ………... . 105 10. Hasil valuasi ekosistem terumbu karang PPK Kecamatan Togean……… 106 11. Hasil Valuasi Ekosistem Mangrove PPK Kecamatan Togean…………... 112


(26)

(27)

1

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Kawasan pulau-pulau kecil memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang tinggi dan dapat dijadikan sebagai modal dasar pelaksanaan pembangunan Indonesia saat ini dan di masa yang akan datang. Di kawasan ini

terdapat ekosistem yang produktif yaitu potensi sumberdaya hayati dan non-hayati yang begitu besar, sehingga jika pulau-pulau kecil (PPK) berhasil

dikembangkan secara optimal dan berkelanjutan maka secara ekonomi akan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru. Secara ekologis pulau-pulau kecil

memerlukan pengelolaan yang hati-hati terutama ancaman secara alamiah maupun non-alamiah.

Sebagai wilayah yang memiliki karakteristik khusus, pengelolaan dan pembangunan pulau-pulau kecil tidak dapat dilakukan dengan pendekatan yang standar dan yang umum digunakan di wilayah daratan induk lainnya tetapi

memerlukan format yang berbeda dengan wilayah regional lainnya (Adrianto, 2005). Dengan karakteristik yang sangat khusus, pengelolaan secara

berkelanjutan bagi wilayah ini memerlukan pendekatan yang lebih sistemik dan lebih spesifik lokasi (site specific) atau dengan perkataan lain dalam mengembangkan kawasan pulau-pulau kecil, filosofi pendekatan yang digunakan bersifat spesifik sesuai dengan karakteristik masing-masing pulau-pulau kecil tersebut.

Pulau-pulau kecil sering diisukan sebagai suatu wilayah yang rentan oleh faktor lingkungan, faktor ekonomi dan faktor sosial (Pratt et al.2004). Faktor lingkungan : perubahan iklim dan naiknya permukaan laut; resiko gempa bumi; tsunami dan peristiwa vulkanik; ekosistem-ekosistem rapuh dan keterpencilan/keterasingan. Faktor ekonomi : ketergantungan eksternal yang tinggi (bantuan, impor) dan keterisolasian lemah terhadap fluktuasi-fluktuasi ekonomi global; peluang yang terbatas untuk penganekaragaman ekonomi; kemampuan pasar kecil; dasar sumberdaya kecil dan ketergantungan tinggi di sumber alam; kemampuan keuangan dan investasi rendah dan dampak yang tinggi dari ketidakstabilan politis. Faktor sosial : pertumbuhan populasi tinggi; migrasi


(28)

dan emigrasi tinggi berkenaan dengan kota; kapasitas sumberdaya manusia yang terbatas; meningkatkan timbulnya malnutrisi, kegelisahan atau rasa tidak aman, penyakit-penyakit dan makanan; kultur-kultur dan pengetahuan tradisional.

Kepulauan Togean merupakan kawasan perairan yang terletak di wilayah Kabupaten Tojo Una Una Provinsi Sulawesi Tengah di sisi selatan. Kawasan ini juga merupakan andalan bagi produksi perikanan Kabupaten Tojo Una Una. Kebutuhan konsumsi ikan di Kabupaten ini sebagian besar berasal dari kawasan perairan ini (Bappeda Kab. Tojo Una Una, 2005).

Sebagai salah satu daerah di Kabupaten Tojo Una Una, Kepulauan Togean memiliki potensi sumberdaya PPK yang cukup besar yaitu 211 pulau (BRKP, 2008). Selain sebagai kawasan andalan bagi produksi perikanan, Kepulauan Togean juga sebagai kawasan wisata yang mengandalkan pariwisata bahari yakni dengan wisata kategori selam, snorkling, pancing, jelajah hutan alam (tracking) dan hutan mangrove. Secara umum, potensi dan upaya pemanfaatan PPK bagi kegiatan pariwisata dan perikanan seharusnya mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Namun, dengan meningkatnya pertambahan penduduk Kabupaten Tojo Una Una yakni 4,45%/tahun (2000-2004) menjadi 6,12%/tahun (2004-2005) dan kegiatan pembangunan di wilayah pesisir pulau-pulau kecil, maka tekanan terhadap ekosistem semakin meningkat pula. Meningkatnya tekanan pemanfaatan sumberdaya tentunya dapat mengancam keberadaan dan kelangsungan ekosistem dan sumberdaya pulau-pulau kecil, baik secara langsung (misalnya kegiatan konversi lahan) maupun tidak langsung (misalnya tekanan penduduk).

Keprihatinan kerusakan lingkungan pesisir pulau-pulau kecil, yang diikuti menurunnya kesejahteraan penduduk pada satu sisi, dan kemajuan pembangunan yang bertumpu pada sisi ekonomi semata, melahirkan paradigma yang komprehensif guna memahami prinsip-prinsip pengelolaan yang berkelanjutan. Pengelolaan pulau-pulau kecil mendapat berbagai macam tantangan yang sangat kompleks baik dari segi ekologi, ekonomi, sosial dan kelembagaan. Segi ekonomi dapat dilihat dengan rendahnya akses dan pendapatan masyarakat lokal. Segi ekologi dapat dilihat dengan menurunnya kualitas lingkungan seperti pencemaran, lingkungan, kelembagaan atau pembentukan aturan penunjang yang dapat


(29)

3

membantu mengendalikan dampak buruk akibat kegiatan yang berdampak negatif bagi pulau-pulau kecil serta alamiah seperti bencana alam (angin kencang, gempa bumi, gelombang pantai dan tsunami), kenaikan muka laut (sea level rise).

Secara umum mitigasi bencana dapat diartikan sebagai pengurangan dampak bencana, atau usaha-usaha yang dilakukan untuk mengurangi korban ketika bencana terjadi, baik korban jiwa maupun harta atau kerusakan ekologis. Dalam melakukan tindakan mitigasi bencana pada sebuah daerah, langkah awal yang kita harus lakukan ialah melakukan kajian resiko bencana terhadap daerah tersebut. Dalam menghitung resiko bencana sebuah daerah kita harus mengetahui bahaya, kerentanan dan kapasitas daerah tersebut. Bahaya (hazard) merupakan suatu kejadian yang mempunyai potensi untuk menyebabkan terjadinya kecelakaan, cedera, hilangnya nyawa atau kehilangan harta benda. Bahaya ini bisa menimbulkan bencana maupun tidak. Bahaya dianggap sebuah bencana (disaster) apabila telah menimbulkan korban dan kerugian. Sedangkan yang harus kita pahami selanjutnya ialah tentang kerentanan (vulnerability). Kerentanan adalah rangkaian kondisi yang menentukan apakah bahaya (baik bahaya alam maupun bahaya buatan) yang terjadi akan dapat menimbulkan bencana (disaster) atau tidak.

Potensi bencana alam ini telah diperparah oleh beberapa permasalahan lain yang muncul di pulau-pulau kecil yang memicu peningkatan kerentanan. Laju pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi, sebagai salah satu contohnya akan banyak membutuhkan kawasan-kawasan hunian baru yang pada akhirnya

kawasan hunian tersebut akan terus berkembang hingga mencapai wilayah-wilayah marginal yang tidak aman. Tata tertib dan tepatnya tata guna

lahan sebagai inti dari permasalahan ini adalah faktor utama yang menyebabkan peningkatan kerentanan. Peningkatan kerentanan ini akan lebih diperparah bila aparat pemerintah ataupun masyarakatnya sama sekali tidak menyadari dan tanggap adanya potensi bencana alam di daerahnya. Pengalaman memperlihatkan bahwa kejadian-kejadian bencana alam selama ini telah banyak menimbulkan kerugian dan penderitaan yang cukup berat sebagai akibat dari perpaduan bahaya alam dan kompleksitas permasalahan lainnya. Mitigasi pada umumnya dilakukan dalam rangka mengurangi kerugian akibat kemungkinan terjadinya bencana, baik


(30)

itu berupa korban jiwa dan atau kerusakan alam yang akan berpengaruh pada kehidupan dan kegiatan manusia.

Berkaitan dengan uraian di atas maka untuk kepentingan pengelolaan lingkungan dan sumberdaya pesisir Kepulauan Togean, perlu dikaji secara baik sehingga tindakan-tindakan pengelolaannya dapat bermanfaat secara baik dan berkelanjutan. Kurangnya data akan menyebabkan pengelolaan menjadi mubazir

yang akan mengakibatkan merosotnya sumberdaya alam yang dimiliki pulau-pulau kecil. Untuk mendefinisikan rencana strategi mitigasi yang tepat dan

akurat guna pengembangan pulau-pulau kecil di gugus Pulau Togean perlu dilakukan kajian kerentanan (vulnerability).

1.2 Perumusan Masalah

Pulau-Pulau Kecil umumnya memiliki karakteristik yang khas dan unik ditinjau dari segi geografis, fisik, sumberdaya alam dan masyarakatnya. Berdasarkan karakteristik tersebut PPK merupakan daerah yang rentan terhadap berbagai pengaruh baik itu eksternal maupun internal, terutama yang sifatnya pengeksploitasian berlebihan dan perusakan lingkungan sehingga menyebabkan penurunan kualitas sumberdaya.

Zamani dkk (2007) menyatakan, kerusakan terumbu karang yang terjadi di Kepulauan Togean disebabkan oleh aktivitas penduduk. Berbagai aktivitas penduduk yang secara langsung adalah penggunaan bahan peledak, potasium sianida, penambangan karang untuk bahan bangunan dan pembukaan lahan di daratan. Degradasi terumbu karang teridentifikasi yaitu dari 11 0643.33 ha pada tahun 2001 menjadi 9 767.98 ha pada tahun 2007.

Ekosistem Kepulauan Togean yang terancam mengalami kerusakan selain terumbu karang adalah ekosistem mangrove. Keberadaan hutan mangrove di Kepulauan Togean di samping menjaga keutuhan garis pantai juga menyokong potensi perikanan dan ekosistem terumbu karang yang menjadi andalan kehidupan masyarakat Togean. Mengacu pada hasil Studi partisipatif ekosistem mangrove di Kepulauan Togean oleh Conservation International dan Yayasan Pijak, berhasil mengidentifikasi sekitar 33 jenis mangrove, yang terdiri dari 19 jenis mangrove sejati (true mangrove) dan 14 jenis mangrove ikutan (associate mangrove). Ke-33 jenis mangrove tersebut dikelompokkan dalam 26 genus dan 21 familia. Lebih


(31)

5

lanjut lagi CII (2004), menyatakan munculnya bentuk ancaman lain terhadap hutan mangrove yatu pengambilan kulit kayu pohon mangrove dari jenis Rhizophora sp. yang berdiameter sekitar 20-30 untuk bahan lirang (pewarna jaring) bagan. Cara ini telah menjadi ancaman teradap kelestarian hutan mangrove sebagaimana terjadi di Teluk Kilat di mana pohon dikuliti secara melingkar dengan panjang sekitar 1,5 m (CII 2006).

Penurunan kualitas dan kuantitas ekosistem yang berada di Kepulauan Togean akan memiliki dampak yang sangat besar bagi masyarakat yang mendiami daerah tersebut dan juga bagi kegiatan lainnya seperti penurunan daya tarik PPK terhadap minat berwisata dan penurunan pada sektor perikanan (budidaya dan tangkapan). Akibatnya akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat.

Terdapat tiga masalah umum yang selama ini terjadi di Kepulauan Togean, yakni (1) Kerusakan sumberdaya alam yang menjadi sumber kehidupan masyarakat ini antara lain disebabkan oleh kurangnya penegakan aturan hukum akibat terbatasnya kemampuan penegak hukum, sarana penunjang, serta terbukanya peluang KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme). Terbatasnya kemampuan sebagian masyarakat untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan ekonomi alternatif yang ramah lingkungan dan dapat diandalkan. Salah satu hal yang mempengaruhi kondisi ini adalah lemahnya daya tawar masyarakat di dalam pasar komoditas pertanian dan perikanan. (2) Status kawasan Taman Nasional Kepulauan Togean yang belum jelas telah mengundang banyak kepentingan yang saling bertentangan dan tumpang tindih sehingga pengembangan Kepulauan Togean belum memiliki arah yang jelas pula. Hal seperti ini akan memperlemah batas antara fungsi pemanfaatan dan pelestarian pada wilayah-wilayah tertentu dan (3) Pertentangan kepentingan dan kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya alam Togean telah menimbulkan konflik-konflik antarpihak (stakeholder).

Secara luas pulau-pulau kecil baik yang berada di Kecamatan Togean maupun di berbagi wilayah memiliki permasalahan yang sama dimana ukuranyang kecil, kedudukan yang rendah, keterpencilan sehingga memiliki kecenderungan yang tinggi terhadap pengaruh bancana alam. Faktor-faktor


(32)

tersebut akan mengarah kepada peran pulau-pulau kecil yang sangat rentan dari segi ekologi serta ekonomi.

Terkait dengan kegiatan ekonomi, pulau-pulau kecil yang berada di Kecamatan Togean memiliki skala ekonomi yang sangat rendah. Timbulnya kesenjangan ekonomi ini lebih di pengaruhi oleh sarana transportasi yang kurang lancar. Dari segi kependudukan, peyebaran penduduk di PPK hanya terpusat pada beberapa PPk, sehingga menyebabkan kepadatan penduduk yang cukup tinggi. 1.3 Kerangka Pemikiran

Kawasan Kepulauan Togean merupakan kawasan yang punya peranan ekologis dan ekonomis yang cukup penting bagi keberlanjutan pembangunan Sulawesi Tengah secara umum dan Kabupaten Tojo Una Una pada khususnya. Berkaitan dengan gambaran potensi sumberdaya perairan Kepulauan Togean yang cukup tinggi dan upaya-upaya dalam pengeksploitasiannya yang cukup intensif oleh masyarakat sehingga kawasan ini menjadi penting untuk diperhatikan keberlanjutannya. Bilamana pengendalian yang tidak berimbang dalam pengelolaan tersebut, tidak menutup kemungkinan suatu saat keberlanjutannya akan bermasalah. Dengan demikian salah satu unsur penting yang dikaji adalah bagaimana menempatkan komponen lingkungan sebagai faktor penyeimbang dari berbagai kegiatan pengembangan yang telah dan akan dilakukan.

Bentuk ancaman lainnya terhadap pembangunan pulau-pulau kecil adalah potensi kerusakan yang diakibatkan oleh faktor-faktor alamiah. Perubahan iklim secara global memicu ketidakstabilan alam. Semakin meningkatnya suhu air secara global maka akan semakin menaikkan ketinggian muka laut (SLR), angin, gelombang, badai, elnino, erosi dan banjir. Faktor alamiah lainnya adalah aktivitas geologi seperti gempa bumi, tsunami, dan gunung berapi.

Tekanan lain yang bersumber dari kependudukan juga merupakan ancaman terhadap lingkungan dan sumberdaya alam di pulau-pulau kecil. Pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat merupakan ancaman yang semakin menekan dan akhirnya akan menurunkan daya dukung lingkungan. Pengembangan ekonomi bagi pulau-pulau kecil juga merupakan hal yang tergolong sulit. Tingkat keterbukaan adalah hal perdagangan dan kedudukan ekonomi pulau yang terpencil adalah hal penghambat dalam pengembangan ekonomi disuatu pulau.


(33)

7

Berbagai model pembangunan yang dilaksanakan di wilayah ini yang hingga saat ini belum ada bentuk yang jelas dalam arah pengembangan wilayahnya. Sektor Pariwisata perlu dijadikan unggulan dapat dikemas dalam model pembangunan. Meskipun saat ini perkembangannya belum dapat memberikan kontribusi dalam pembangunan masyarakat sekitarnya. Dalam pembangunan pariwisata harus bertumpu pada karakteristik yang dimiliki oleh kawasan tersebut, seperti keunikan, kekhasan, seni budaya dan masyarakat sebagai kekuatan dasar yang dimiliki daerah tersebut. Pengembangan pariwisata di Kepulauan Togean sebaiknya lebih diarahkan pada pengembangan ekoturisme/ekowisata (perpaduan dari berbagai minat yang tumbuh dari keprihatinan lingkungan, ekonomi dan sosial).

Untuk mengembangkan pulau-pulau kecil secara terpadu dan berkelanjutan diperlukan suatu informasi yang representative dengan kondisi lingkungan masing-masing pulau. Informasi ancaman terhadap pengembangan dan keberlanjutan, dapat dihasilkan melalui pendekatan indeks kerentanan yang bersumber dari masing-masing indikator kerentanan. Lebih jelasnya kerangka penelitian dapat dilihat pada gambar 1.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis tingkat kerentanan di gugus Pulau Togean berbasis mitigasi, ditinjau dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya. Berdasarkan tujuan umum tersebut, selanjutnya dapat diuraikan tujuan spesifik penelitian, yaitu :

1. Mengestimasi tingkat kerentanan masing-masing PPK gugus Pulau Togean.

2. Memetakan tingkat kerentanan masing-masing PPK gugus Pulau Togean secara spasial dengan metode cell based modeling.

3. Menyusun strategi pengelolaan pembangunan PPK gugus Pulau Togean. 1.5 Manfaat Penelitian

1. Menjadi sumber bahan informasi bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan masalah kerentanan PPK dan wilayah/kawasan lainnya.


(34)

2. Menghasilkan peta informasi tingkatan bahaya-bahaya yang dialami PPK gugus Pulau Togean.

Menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam penyusunan strategi pengelolaan pembangunan PPK di gugus Pulau Togean yang lebih baik dan berkelanjutan secara ekologi dan sosial-ekonomi oleh pihak-pihak terkait (stakeholders).

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian Sistem Ekologi - Ekonomi

Stres dan Gangguan Pulau Keci Ke i (i=6)

Gangguan Ekonomi Gangguan

Ekologi

Kerentanan

Parameter Ekologi Ke- n

Parameter Ekonomi Ke- n

Komposit Ekologi

Komposit Ekonomi

Komposit Kerentanan

Pembangunan Berkelanjutan PPK


(35)

9

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Pulau-Pulau Kecil (PPK)

Pengertian PPK hingga saat ini belum ada kesepakatan secara pasti sebagai akibat masih adanya pertentangan pendapat dan beragamnya argumen yang dikemukakan oleh masing-masing pihak. Dalam konteks pulau kecil, ada beberapa definisi yang digunakan dalam berbagai studi pulau-pulau kecil di dunia. Fors (2007) berpendapat pulau kecil merupakan wilayah daratan dengan luas terbatas. Towle (1979) yang diacu Debance (1999) menjelaskan batasan lebih spesifik mengenai pulau kecil yaitu pulau yang memiliki luas kurang dari 10.000 km2 dan penduduk kurang dari 500.000 jiwa. Brookfield (1986), mengartikan pulau kecil adalah pulau yang mempunyai luas kurang dari 800 km2 dengan jumlah penduduk kurang atau sama dengan 100.000 jiwa. Berdasarkan Kepmen DKP No. 41/2000, pulau yang mempunyai luas kurang dari atau sama dengan 10.000 km2 dengan jumlah penduduk kurang dari atau sama dengan 200.000 jiwa.

Defenisi UU No.27/2007 pulau-pulau kecil merupakan pulau yang memiliki ukurang kurang dari 2.000 km2. Pulau-Pulau Kecil merupakan pengertian yang terintegrasi satu dengan yang lainnya, baik secara fisik, ekologis, sosial, budaya, maupun ekonomi dengan karakteristik sebagai berikut :

a. Terpisah dari pulau besar.

b. Sangat rentan terhadap perubahan yang disebabkan alam dan/atau disebabkan manusia.

c. Memiliki keterbatasan daya dukung pulau.

d. Apabila berpenghuni, penduduknya mempunyai kondisi sosial dan budaya yang khas.

e. Ketergantungan ekonomi lokal pada perkembangan ekonomi luar pulau, baik pulau induk maupun kontinen.

2.2 Tipe Pulau

Begen dan Retraubun (2006) membagi pulau kecil ke dalam dua kelompok besar yaitu pulau dataran dan pulau berbukit. Pulau dataran terdiri dari pulau atol, pulau karang, pulau alluvium. Sedangkan pulau berbukit terdiri dari pulau


(36)

tektonik, pulau vulkanik, pulau karang timbul, pulau petabah dan pulau genesis campuran. Campbell (2006) mengelompokkan pulau-pulau kecil di kawasan pasifik menjadi 4 tipe yaitu Pulau continental, pulau vulkanik, pulau atol dan pulau karang terangkat. Keempat pulau tersebut memiliki implikasi yang berbeda-beda terhadap gangguan dari bencana alam maupun yang secara tidak langsung disebabkan oleh manusia.

Tabel 1. Tipe pulau dan implikasi terhadap bahaya gangguan alam

No Tipe Pulau Implikasi Terhadap Bahaya

Gangguan Alam 1. Pulau Kontinental

Sangat Luas

Memiliki Elevasi Tinggi Ketersediaan tanah yang cukup untuk daerah pertanian System aliran sungai daratan

Berada daerah subduksi dan mudah mendapatkan pengaruh dari gempa bumi dan aktivitas vulkanik

Masalah banjir merupakan masalah yang utama di pulau ini

2 Pulau Vulkanik

Memiliki slope yang curam Ada penghalang karang Daratan lebih kecil dibandingkan pulau kontinental

Memiliki sistem aliran sungai yang lebih kecil

dibandingkan dengan pulau kontinental

Sungai-sungai kecil dapat menyebabkan banjir

Karena ukuran yang besar sehingga tidak terekspose terhadap badai tropis

3. Pulau Atol.

Lahan daratan sangat terbatas Elevasi sangat rendah

Tidak tersedia air permukaan

Terekspose terhadap badai, pasang dan gelombang

Sumberdaya alam terbatas

Air permukaan merupakan masalah utama

4. Pulau Karang Terangkat Slope outer curam Pesisir dataran sempit Tidak ada air permukaan Tidak ada atau sangat minim tanah pertanian.

Sangat tergantung pada ketinggian, ekspose terhadap badai.

Air permukaan Terbatas


(37)

11

Tabel 2. Perbandingan umum ciri-ciri umum Pulau Oseanik (pulau kecil), pulau kontinental dan benua (Salm et al. 2000 dalam Bengen dan

Retraubun 2006)

No Karakteristik Pulau Oseanik Pulau Kontinental Benua 1 Geografis Jauh dari benua

Dikelilingi oleh laut luas

Area daratan kecil

Suhu udara stabil Iklim sering berbeda dengan pulau kontinental terdekat Dekat dengan benua Dikelilingi

sebagian oleh laut yang sempit Area daratan besar

Suhu agak bervariasi

Iklim mirip benua terdekat Area daratan sangat besar Suhu udara bervariasi Iklim musiman

2 Geologi Umumnya karang atau vulkanik Sedikit mineral penting Tanahnya porous/permeabel Sedimen atau metamorphosis Beberapa mineral penting Beragam tanahnya Sedimen tau metamorphosis Beberapa mineral penting Beragam tanahnya 3 Biologi Keanekaragaman

rendah Pergantian spesies cukup tinggi Tingginya pemijahan misal hewan laut bertulang belakang Keanekaragaman hayati sedang Pergantian spesies agak rendah Seringnya pemijahan misal hewan laut bertulang belakang Keanekaragaman hayati tinggi Pergantian Spesies biasanya rendah Sedikit pemijahan misal hewan laut bertulang belakang

4 Ekonomi Sedikit sumberdaya daratan

Sumberdaya laut lebih penting Jauh dari pasar

Seumberdaya daratan agak luas Sumberdaya laut lebih penting Lebih besar pasar

Sumberdaya daratan luas Sumberdaya laut sering tidak penting

Pasar relatif mudah 2.3 Karakteristik Pulau-Pulau Kecil

Berlandaskan kepentingan hidrologi (ketersedian air tawar), para ilmuan menetapkan pulau kecil adalah dengan ukuran kurang dari 1.000 km2 atau lebarnya kurang dari 10 km (Diaz and Huertas 1986). Batasan pulau kecil juga dikemukakan dalam pertemuan CSC, 1984 yang menetapkan pulau kecil adalah pulau dengan luas area maksimum 5.000 km2. Namun pada kenyataannya,


(38)

banyak pulau yang berukuran antara 1.000 - 2.000 km2 memiliki karakteristik dan permasalahan yang sama dengan pulau yang berukuran kurang dari 1.000 km2, sehingga terjadi perubahan batasan pulau kecil menurut UNESCO (1991) bahwa pulau yang luasnya kurang atau sama dengan 2.000 km2. Bengen dan Retraubun (2006), menggunakan batasan yang sama, dengan jumlah penduduk kurang atau sama dengan 20.000 jiwa.

Berdasarkan morfogenesa dan potensi sumberdaya air, pulau–pulau kecil dapat diklasifikasikan atas 2 kelompok yaitu pulau dataran dan kelompok pulau berbukit. Secara topografi pulau daratan terdiri dari 3 (tiga) kelompok yaitu pulau alluvium, pulau karang (koral) dan pulau atol sedangkan pulau berbukit dikolompokan ke dalam 5 (lima) golongan yaitu pulau vulkanik, pulau tektonik, pulau teras terangkat, pulau petabah dan pulau genesis campuran. Berdasarkan tipe dan asal pembentukannya, pulau-pulau kecil dibedakan menjadi pulau benua, pulau vulkanik dan pulau karang sedangkan berdasarkan karakteristik pulau-pulau kecil juga diartikan sebagai wilayah daratan yang terbentuk secara alami yang dikelilingi oleh air laut dan selalu berada di atas permukaan air pada waktu air pasang (UNCLOS 1982).

Dengan karakteristik yang khas, Hall (1999) membagi persoalan lingkungan yang ada di PPK ke dalam 2 (dua) persoalan yaitu (1) persoalan lingkungan secara umum (common environmental problems), persoalan ini hampir terjadi diseluruh PPK di dunia yaitu limbah lokal, perikanan, penggunaan lahan, kehutanan dan persoalan hak ulayat pula. (2) persoalan lingkungan lokal (local environmental problems) yang terdiri dari hilangnya tanah (soil loss) baik secara fisik maupun kuantitas, kekurangan air (water shortage), limbah padat dan bahan kimia beracun. Kehilangan tanah baik dalam arti fisik maupun kualitas (kesuburan) terjadi karena erosi yang juga terjadi di berbagai wilayah lainnya. Akan tetapi di PPK dampak dari masalah di atas sangat terasa bagi masyarakat hal ini dikarenakan luas wilayah yang sangat sempit.

Persolan lain juga seperti ketersedian air bersih yang cukup sehingga dalam beberapa hal perlu dilakukan teknik desalinisasi air laut ke air tawar (Adrianto, 2005). Limbah padat juga merupakan persoalan umum di PPK dikerenakan lahan pembuangan limbah yang sangat terbatas karena sifat PPK


(39)

13

yang kecil dalam konteks luas wilayah. Karakteristik lain adalah PPK sangat rentan terhadap bencana alam (natural disasters) seperti angin topan, gempa bumi dan banjir (Briguglio, 1995). Dalam kacamata ekonomi Adrianto and Matsuda (2003;2004), menjelaskan dampak bencana alam terhadap ekonomi di PPK sangat besar sehingga menyebabkan tingkat resiko di PPK menjadi tinggi pula.

Menurut Hein (1990), agar kegiatan ekonomi di PPK mendapat skala yang sesuai maka pengembangan sektor perdagangan menjadi sangat diperlukan, walaupun tergantung pula pada infrastruktur yang ada di PPK tersebut. Lebih lanjut lagi Hein (1990) mengemukakan karakteristik PPK khususnya masalah yang terkait dengan luas lahan (smallness) dan insularitas (insularity) dapat secara bersama-sama memiliki efek terhadap kebijakan ekonomi pembangunan wilayah PPK. Terkait dengan ukuran luas fisik PPK memiliki peluang ekonomi yang sangat terbatas khususnya ketika berbicara tentang skala ekonomi (economics of scale). Berdasarkan dengan karakteristik ukuran luas fisik PPK, maka kegiatan ekonomi yang mungkin adalah kegiatan ekonomi yang terspesialisasi dengan daya dukung di PPK tersebut.

Karakteristik ekonomi lain dari PPK adalah tingkat ketergantungan yang tinggi dari bantuan atau subsidi dari pihak luar dalam hal ini adalah pemerintah pusat. Karakteristik penting lain dari PPK yang terkait dengan pengembangan ekonomi wilayah adalah tingkat insularitas atau terpencil jauh dari daratan induknya (mainland). Persoalan ekonomi PPK yang terkait dengan insularitas, terutama berhubungan dengan persoalan transportasi dan komunikasi, lingkungan ekonomi yang cenderung monopolistic, melimpahnya sumberdaya alam kelautan dan dominasi sektor jasa (Adrianto 2005).

Mengingat rentannya ekosistem pulau dan gugusan pulau kecil, pemerintah melakukan pembatasan kegiatan yang cenderung menimbulkan dampak negatif yang sangat luas, baik secara ekologis maupun sosial. Pemerintah hanya mengizinkan pemanfaatan antara lain untuk konservasi, budidaya laut, kepariwisataan, usaha penangkapan dan industri perikanan secara lestari, pertanian organik dan peternakan skala rumah tangga, industri teknologi tinggi non-ekstraktif, pendidikan dan penelitian, industri manufaktur dan pengelolaan sepanjang tidak merusak ekosistem dan daya dukung lingkungan (Bengen 2003).


(40)

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang rentan terhadap perubahan perlu dilindungi melalui pengelolaan agar dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan penghidupan masyarakat. Oleh sebab itu, diperlukan kebijakan dalam pengelolaannya sehingga dapat menyeimbangkan tingkat pemanfaatan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil untuk kepentingan ekonomi tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang

2.4 Konsep dan Kerangka Kerentanan Pulau-pulau kecil

Awal pengelolaan PPK di Indonesia dilakukan sejak berdirinya Departemen Kelautan dan Perikanan. Setiap pulau memiliki format pengelolaan yang berbeda disesuaikan dengan latar geografisnya, karakteristik ekosistem, dan sosial budaya masyarakat setempat. Dalam arah kebijakan pengelolaan pulau-pulau yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat, terdapat beberapa pendekatan yang dikombinasikan yaitu: (1) hak; (2) ekosistem dalam alokasi ruang wilayah pulau dan gugusan pulau; dan (3) sesuai kondisi sosial budaya setempat (Dahuri 2003).

Selain memiliki potensi yang besar, pulau-pulau kecil juga mengandung

potensi mudah rusak baik secara ekologi, ekonomi maupun sosial (Kaly et al. 2004). Persoalan potensi kerusakan yang dianggap paling berbahaya

adalah resiko baik secara antrophogenic ataupun secara alami. Resiko tersebut merupakan suatu kejadian yang dapat mempengaruhi integritas biologi atau kesehatan dari ekosistem.

Kerentanan memiliki banyak pengertian memiliki banyak pengertian baik ditinjau dari aspek maupun dari sisi cakupan. Menurut Ford (2002) pengertian kerentanan mengandung dua aspek yang terkait dengan sifatnya (relative nature) dan terkait dengan cakupan dan skala. Terkait dengan sifatnya, kerentanan adalah suatu entitas yang menggambarkan kondisinya, sedangkan dilihat dari skalanya, kerentanan digunakan dalam berbagai skala yang berbeda seperti rumah tangga, komunitas ataupun Negara. Kerentanan juga didefinisikan sebagai tingkat dimana sebuah sistem (dalam konteks ini pesisir dan pulau-pulau kecil sistem) akan mengalami kerugian karena terkena gangguan dan tegangan. Pada Tabel 3 disajikan beberapa pengertian tentang kerentanan.


(41)

15 Tabel 3. Pengertian kerentanan

Nama Tahun Pengertian

Timmerman 1981 Derajat atau tingkatan pada suatu sistem bertindak terhadap suatu kejadian yang tidak baik.

Susman et.al 1983 Derajat atau tingkatan pada suatu kelas sosial yang berbeda dalam hal resiko baik suatu kejadian fisik maupun efek dari sistem sosial

UNDepartement of Humanitarian Affairs

1992 Tingkatan kehilangan (0-100%) yang dihasilkan dari suatu potensi dampak fenomena alam

Cutter 1993 Kecenderungan yang dialami oleh individu atau kelompok yang akan terekspose terhadap suatu bahaya

Watts dan Bohle 1993 Kerentanan didefinisikan sebagai fungsi dari keterbukaan, kapasitas, dan potensial dimana respon terhadap kerentanan untuk mereduksi keterbukaan dan meningkatkan kemampuan mengatasi dan atau menguatkan potensi pemulihan

Blaikie et.al 1994 Karakteristik dari seorang atau sekumpulan orang terkait dengan kemampuannya untuk mengantisipasi, mengatasi, resisten dan memulihkan diri dari dampak bencana alam.

Bohle et. al 1994 Suatu ukuran secara aggregate kesejahteraan manusia yang terintegrasi antara lingkungan, sosial, ekonomi, dan politik dalam mengatasi gangguan. Down dan

Downing

1995 Perbedaan kepekaan dari keadaan yang berpengaruh terhadap kondisi rentan, seperti faktir biofisik, demografi, ekonomi, sosial, dan teknologi

Vogel 1998 Karakteristik dari seorang atau kelompok orang terkait dengan kapasitasnya dalam mengantisipasi, mangatasi, bertahan, dan memulihkan diri dari dampak perubahan iklim

Adger dak Kelly 1999 Kondisi individu atau kelompk masyarakat dalam kaitannya dengan kemampuan mengatasi dan beradaptasi terhadap berbagai tekanan eksternal yang mengganggu kehidupan mereka.

Karosperson et. al

2001 Tingkatan pada suatu sistem yang dipengaruhi oleh keterbukaan atau gangguan/tekanan dan kemampuan untuk mengatasi atau memulihkan diri terhadap gangguan

Leichenko and

O’ Brien 2001 Dinamika kerentanan adalah proses ekonomi nasional dan internasional yang mempengaruhi kapasitas individu dalam mengatasi, merespon dan beradaptasi terhadap gangguan (shocks) alam dan sosial ekonomi


(42)

Konsep kerentanan yaitu kemampuan sistem untuk mengatasi dengan konsekuensi melalui strategi-strategi dan mekanisme merupakan penentu kunci dari respon sistem. Dalam kaitan tersebut, sebuah kerangka kerentanan telah diberikan oleh Turner, et.al (2002) in Adrianto (2004), menyatakan kerangka kerentanan terdiri dari tiga unsur penting yaitu pemaparan, kepekaan dan ketahanan. sistem Paparan berasal dari variabilitas dan perubahan pada kondisi manusia serta lingkungan dan alam. Perubahan ini mengakibatkan gangguan dan tegangan yang dianggap sebagai parameter kunci dari pantai/pulau eksposur. Sistem berikutnya adalah sensitivitas sistem yang terkait dengan keragaman sosial-ekonomi serta kondisi biofisik dari sistem pesisir. Akhirnya, sistem ketahanan berkaitan dengan tanggapan sistem yang bergantung pada kemampuan sistem untuk mengadopsi dampak dan dalam waktu yang sama untuk mengelola resiko yang dihasilkan.

Resiko memiliki keterkaitan erat dengan kerentanan. Resiko akan menjadi perhatian yang serius apabila resiko tersebut cukup signifikan. Menurut Tompkins et al. (2005) apabila resiko berasosiasi dengan sejumlah biaya. Sebagai contoh jika terjadi kerusakan ekosistem disuatu pulau yang tidak berpenduduk, hal tersebut dianggap bukan merupakan sebuah bencana, namun apabila hal yang sama terjadi pada pulau yang berpenduduk padat, maka kejadian tersebut sangat signifikan karena memiliki berbagai konsekuensi terkait dengan penduduk di pulau tersebut.

Peeling dan Uioto (2001) membagai ke dalam 6 faktor mengapa pulau-pulau kecil dianggap memiliki tingkat kerentanan yang tinggi yaitu : 1) ukuran yang kecil berimplikasi pada keterbatasan sumberdaya berbasis daratan; 2) insularitas dan remotness yang berimplikasi pada biaya yang mahal dan memerlukan waktu yang lebih lama; 3) masalah faktor lingkungan seperti ketersingkapan terhadap gangguan; 4) kapasitas mitigasi terhadap bencana yang terbatas; 5) faktor penduduk yang memiliki kualitas sumberdaya manusia yang rendah, tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi ; 6) faktor ekonomi seperti ketergantungan pada pembiayaan eksternal, pasar internal yang terbatas.


(43)

17

Terkait dengan kegiatan perikanan yang tidak ramah lingkungan merupakan indikasi terjadinya penurunan kualitas sumberdaya perikanan dan lingkungan laut di PPK. Terjadi berbagai kerusakan ekosistem PPK seperti terumbu karang rusak karena penambangan karang untuk bahan bangunan atau karena aktifitas penangkapan ikan seperti penggunaan bom dan racun. Selain itu, kegiatan pemanfaatan lahan di PPK memerlukan pengaturan lahan secara komprehensif dan tepat sesuai dengan peruntukannya serta tidak melebihi daya dukung lingkungannya (Adrianto 2005).

Secara luas PPK dikenal memiliki berbagai banyak permasalahan, kebutuhan dan kerugian khusus yang berhubungan dengan ukurannya yang lebih kecil, kedudukan yang rendah, keterpencilan dan kecenderungan yang tinggi oleh pengaruh bencana alam. Faktor-faktor di atas mengarah kepada peran pulau-pulau kecil yang sangat rapuh dan rentan dari segi ekologi serta ekonomi (Beller et al. 1990; Briguglio 1995). McLean (1980), memandang dari segi lingkungan sudah menunjukkan bahwa pulau-pulau kecil yang khusus terbuka bagi samudra luas pada semua sisi cenderung terpengaruh sangat berbahaya bagi aktivitas di laut. Lebih lanjut lagi bahwa pulau-pulau kecil cenderung terpengaruh oleh bencana lingkungan alami dibanding pulau-pulau yang lebih besar. Dari segi ekonomi pulau-pulau kecil memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi pada ekonomi luar (Beller 1990; Adrianto and Matsuda 2004).

Wilayah PPK juga memiliki tingkat ketergantungan tinggi pada bantuan atau subsidi dari pemerintah pusat, menyebabkan diperlukan subsidi yang tepat sasaran dalam upaya pengelolaan ekonomi PPK (Adrianto 2004a). Beberapa hal yang menjadi ciri keterbatasan ekonomi wilayah PPK terkait dengan ukuran fisik (smallness) antara lain keterbatasan sumberdaya alam, ketergantungan terhadap komponen impor, terbatasnya subsitusi impor bagi ekonomi pulau, kecilnya pasar domestik, ketergantungan terhadap ekspor dengan tingkat spesialisasi tinggi, terbatasnya kemampuan untuk menentukan skala ekonomi, keterbatasan kompetisi lokal dan persoalan yang terkait dengan administrasi publik (Adrianto 2005).


(44)

Dalam arah pola pembangunan wilayah pesisir dan laut, terjadi perubahan paradigma dari pembangunan konvensional yang hanya mengejar pertambuhan ekonomi semata menjadi pembangunan berkelanjutan yang mempertimbangkan kondisi ekologi dan sosial sebagai dasar dalam mencapai peningkatan ekonomi. Dalam United Nations Environmental Programme (UNEP) dan Convention Biological Diversity (CBD) (2004) menyebutkan bahwa keberlanjutan merupakan suatu usaha rekonsiliasi terhadap tiga komponen dasar utama pembangunan yaitu ekologi, sosial dan ekonomi, dimana ekosistem dan keragaman hayati sebagai inti dalam pengelolaan terpadu wilayah pesisir dengan mempertimbangkan tekanan aktivitas manusia, tanpa memperkecil pengembangan sosio-ekonomi.

Kebijakan pembangunan ekonomi selama ini terkesan lepas dari kebijakan ekologi dan sosial. Pelaksanaan baru dilakukan pada tingkat wacana ataupun koordinasi antar instansi yang terkait. Koordinasi yang dimaksud masih terbatas pada tahap pembicaraan rencana pelaksanaan dan belum terwujud. Alasannya belum ada perangkat aturan yang dapat memberikan rujukan tolak ukur untuk menjawab masalah tersebut. Misalnya perkembangan ekonomi yang meningkat sekian persen maka beberapa seharusnya target untuk perbaikan lingkungan dan sosial yang mampu ditunjang oleh ekonomi secara proporsional (Ristianto 2003).

Adrianto (2004), mengemukakan pertumbuhan ekonomi memiliki keterbatasan sehingga suatu titik dimana ekonomi menuju stabil (steady-state economy). Seoptimis apapun teknologi yang mampu dihasilkan, sudut pandang bahwa ekonomi bukan tak terbatas merupakan pandangan yang penting dalam koridor keberlanjutan (sustainability corridors).

Dalam konteks dan pertimbangan seperti diuraikan di atas, Adrianto (2004) berargumen perlunya perubahan paradigma lingkungan dalam pembangunan ekonomi di mana keduanya (ekonomi dan lingkungan) harus di pandang sebagai sebuah integrasi dan berinteraksi aktif satu sama lain serta tidak terpisah seperti yang terjadi selama ini sehingga menjadi sangat dimetris satu sama lain.

Salah satu penghalang terkuat dari bersatunya ekonomi dan ekologi adalah cara pandang dan asumsi bahwa sistem ekologi dan sistem ekonomi adalah dua sistem yang terpisah dan tidak perlu dipahami secara bersama-sama. Para ekonom berpendapat bahwa sistem ekonomi terpisah dari sistem alam sehingga beberapa


(45)

19

isu yang terkait dengan sistem yang berada diluar ekonomi akan dianggap sebagai eksternalitas, sementara pemerhati lingkungan tidak jarang memandang sistem alam dan lingkungan sebagai sebuah sistem yang terpisah dari ekonomi.

Sehingga pemikiran yang mampu menjelaskan bagaimana sistem ekonomi yang bekerja dalam sebuah delineasi ekosistem (biosphere) menjadi sangat diperlukan untuk diwujudkan. Alternatif ini ditawarkan oleh mainstream ecological economics yang memfokuskan pada diri pada hubungan yang kompleks, non-linier dan time-frame yang lebih panjang antara sistem ekologi-ekonomi. Komitmen normatif dari mainstream ini adalah berusaha mewujudkan terciptanya “masyarakat yang bukan tanpa batas” (frugal society), dalam arti bahwa kehidupan masyarakat berada dalam keterbatasan sistem alam baik sebagai penyedia sumberdaya maupun penyerap limbah (Adrianto 2004).

Strategi pengelolaan lingkungan di PPK sudah sejak lama dilakukan secara parsial dan individualistic. Strategi pengelolaan di atas gagal memahami bahwa

seluruh komponen di PPK terikat satu sama lain. Lebih lanjut lagi Cicin Sain (1998) in Adrianto (2004a) menegaskan bahwa keseluruhan komponen

kegiatan di PPK terkait satu sama lain (inextricably linked) dan interaksi serta hasil dari seluruh kegiatan di PPK dapat menciptakan reaksi berganda sekaligus berantai (multiple chain reactions) dari persoalan dan tekanan terhadap ekosistem dan komunitas di PPK. Cambers (1992) in Adrianto (2004a), menyebutkan bahwa strategi pengelolaan PPK harus dapat mengaitkan seluruh kegiatan dan stakeholders yang ada di PPK, dengan menggunakan pendekatan yang terkoordinasi.


(46)

Gambar 2. Interaksi yang tak terpisahkan antar komponen PPK (Dehance 1999 in Adrianto 2004a)

Gambar di atas dapat menunjukkan bahwa dalam sistem PPK, terdapat paling sedikit 5 (lima) proses alam, sosial, ekonomi, perubahan iklim dan proses pertemuan antara daratan dan lautan (Debance 1999 in Adrianto 2004a), proses-proses di atas masing-masing merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari 3 komponen PPK yaitu sistem lingkungan daratan (Terestrial environments), sistem lingkungan (Marine environments) laut dan sistem aktivitas manusia (Human activities).

Berdasarkan uraian-uraian tersebut, kebutuhan akan strategi khusus untuk mencapai pembangunan berkelanjutan PPK menjadi pertimbangan yang sangat penting (Beller et al. 1990). Dengan kata lain, pengelolaan wilayah pesisir PPK tidak dapat terpisahkan satu sama lain. Holling (1973) dan Perrings (1998), menyatakan kita dapat menggunakan suatu konsep yang penting yaitu konsep resiliensi. Menurut Perrings (1998), terdapat dua definisi yang berbeda mengenai resiliensi (1) definisi ini lebih mengacu pada beberapa sistem dekat keseimbangan stabil sedangkan (2) menggambarkan sebagian gangguan dapat diserap sebelum sistem itu berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya.

Lingkungan Daratan

Lingkungan Perairan Laut Aktifitas

Manusia

Hubungan Keterkaitan Komponen


(47)

21

Dengan mengacu kepada konsep yang ke-2 (dua) dari resiliensi, maka kita dapat menitik beratkan pada penaksiran tingkat gangguan atau goncangan eksternal seperti indeks kerentanan (Walker et al. 2002; Adrianto and Matsuda 2002;2004; SOPAC 2005). Kerentanan dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai suatu yang bersifat potensial dari sebuah sistem yang rusak oleh dampak yang bersifat exogenous. Goncangan exogenous menggunakan variabel ekologi

dan ekonomi dalam menyusun indeks kerentanan PPK. Adrianto and Matsuda (2002;2004), menyatakan tujuan dari suatu indeks

kerentanan adalah untuk menaksir tingkat gangguan atau goncangan eksternal pada suatu sistem. Lebih lanjut lagi dinyatakan bahwa semakin besar tingkat kerentanan pada pulau-pulau kecil akan menjadi penghalang yang besar terhadap pembangunan berkelanjutan.

2.5 Analisis Spasial PPK Berbasis Sistem Informasi Geografis 2.5.1 Sistem Informasi Geografis (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah kumpulan yang terorganisir dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografi, dan personel yang dirancang secara efisien untuk memperoleh, menyimpan, mang-update, memanipulasi, manganalisis dan menampilkan semua bentuk informasi yang bereferensi geografi (ESRI 1990 in Prahasta 2001). Borrough (1986), mendefinisikan Sistem Informasi Geografis sebagai seperangkat alat yang digunakan untuk mengumpulkan, menyimpan, memanggil kembali, mentransformasi dan menyajikan data spasial dari penampakan bumi untuk tujuan tertentu.

Menurut Zetka (1985) in Amarullah (2007) menyebutkan bahwa ekosistem pesisir merupakan area yang luas meliputi daratan pesisir, estuaria dan perairan pesisir, sehingga sumber data yang dibutuhkan sangat bervariasi. Melalui Sistem Informasi Geografis (SIG) dan citra penginderaan jauh dengan resolusi spasial dan spectral yang tinggi dapat diperoleh pemetaan wilayah pesisir. Amri (2001) menyatakan pada hakekatnya Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan guna mendapatkan gambaran situasi ruang muka bumi yang nantinya diperlukan sebagai jawaban untuk menyelesaikan suatu


(48)

masalah yang terdapat dalam ruang muka bumi tertentu. Rangkaian kegiatan tersebut meliputi pengumpulan data, penataan, pengolahan, penganalisasian, penyajian data atau fakta yang terdapat dalam ruang muka bumi. Sistem ini sudah ada sebelum komputer ditemukan dan merupakan kegiatan rutin ahli geografi.

Menurut Rice 2000; Gistut 1994 in Prahasta (2001) definisi SIG adalah sistem komputer yang digunakan untuk memasukkan (caoturing), menyimpan, memeriksa, mengintegrasikan, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan data-data yang berhubungan dengan posisi-posisi permukaan bumi dan merupakan sistem yang dapat mendukung pengambilan keputusan spasial serta mampu mengintegrasikan deskripsi-deskripsi lokasi dengan karakteristik-karakteristik fenomena yang ditemukan di suatu lokasi.

Dalam pengambilan keputusan mengenai dunia nyata yang kompleks, informasi yang didapatkan tidaklah begitu lengkap. Informasi yang relevan dipilih dan disimpan untuk selanjutnya dibuat suatu model konseptual melalui suatu proses seleksi. ESRI (2002) and Jayarman (2002) membagi 2 jenis data berdasarkan aplikasi SIG yaitu (1) data spasial adalah data yang mengacu pada posisi permukaan bumi (georeference). Informasi spasial ini juga bias diartikan sebagai geoinformasi yang bentuk penyajiannya berupa peta. Setiap data spasial dalam SIG mengacu pada bentuk lapisan data atau bidang data. Data spasial ini dapat dibagi menjadi dua yaitu data rester dan data vector, (2) data non spasial atau yang lebih dikenal sebagai data atribut yaitu merupakan data yang melengkapi data spasial baik dalam bentuk statistik maupun deskriptif. Data atribut ini terbagi dua yaitu data kualitatif (nama, jenis dan tipe) dan data kuantitatif (angka, bagian atau besar jumlah, tingkatan dan kelas interval) yang mempunyai hubungan dengan data spasialnya.

2.5.2 Struktur Data Rester dan Cell based modeling

Moolenaar (1998) dan ESRI (2002), menyatakan hal yang sama tentang sebuah data rester yang terdiri atas sekumpulan sel. Masing-masing sel atau piksel berupa persegi yang berukuran sama serta mempresentasikan tempat spesifik pada suatu area. Data rester tersusun dari sel yang berbentuk baris dan kolom yang dengan matriks kartesius (baris sel mewakili bidang x dan kolom sel mewakili bidang y). masing-masing sel mempunyai koordinat serta sebuah nilai


(49)

23

sebagai identitas untuk menggambarkan sebuah kelas, kategori atau grup. Dalam proses analisis spasial ukuran sel ditentukan oleh obyek apa yang akan dianalisis dengan SIG.

Cell based modeling merupakan salah satu analisis spasial dalam SIG yang dapat digunakan untuk memodelkan keadaan di alam (ESRI 2002). Secara umum suatu model dapat mempresentasikan kekompleksitasan dan interaksi di alam dengan bentuk penyederhanaan. Model tersebut akan membantu menggambarkan, memahami dan memprediksi banyak hal di alam. Terdapat dua model yang umum dikenal dalam analisis spasial (1) model yang mempresentasikan objek atau kenampakan di alam (Representation Models). Model ini akan menggambarkan kenampakan di bumi serta bangunan, taman atau hutan. Cara untuk menampilkan model tersebut dalam SIG melalui layer-layer dimana untuk analisis spasial, layer tersebut berupa rester. Layer rester akan menampilkan objek-objek kenampakan di bumi dengan bidang bujursangkar yang saling bertautan atau disebut grid, dan setiap lokasi di rester akan berupa grid cell yang memiliki nilai tertentu; (2) model yang mensimulasikan proses di alam (Process Models), yaitu model yang menggambarkan interaksi dari objek di bumi yang terdapat di dalam Representation Models. Process Models dapat digunakan untuk menggambarkan suatu proses, tetapi lebih sering digunakan untuk memprediksi apa yang terjadi pada suatu lokasi tertentu. Salah satu dasar dari analisis spasial ini yaitu operasi penambahan dua data rester secara bersamaan, dan kemudian konsep ini dapat diterapkan untuk berbagai macam operasi aljabar pada lebih dua data rester. Berikut ini adalah tipe-tipe dari process models yaitu :

a) Suitability modeling, hampir semua analisis spasial bertujuan untuk menentukan lokasi yang optimum, seperti lokasi yang paling sesuai untuk mendirikan tempat wisata.

b) Distance modeling, analisis ini bertujuan untuk menentukan jarak yang paling efisien dari suatu lokasi ke lokasi lain.

c) Hidrologic modeling, salah satu aplikasi dari analisis ini adalah untuk menentukan arah aliran air di lokasi.

d) Surface modeling, salah satu aplikasi dari analisis ini adalah untuk mengkaji tingkat penyebaran polusi di suatu lokasi.


(50)

ESRI (2002), berpendapat bahwa keseluruhan model-model di atas akan lebih efisisen jika dilakukan pada data rester, selanjutnya analisis spasial pada data rester disebut call based modeling karena metode ini bekerja berdasarkan sel atau piksel. Lebih lanjut lagi ESRI (2002), membagi operasi sel pada call based modeling ke dalam lima kelompok yaitu :

a) Local function adalah operasi piksel yang hanya melibatkan satu sel. Nilai piksel output ditentukan oleh satu piksel input

b) Focal function adalah operasi piksel yang melibatkan beberapa sel terdekat.

c) Zonal function adalah operasi piksel yang melibatkan satu kelompok sel yang memiliki nilai atau keterangan yang sama.

d) Global function adalah operasi piksel yang melibatkan keseluruhan sel dalam data rester dan gabungan antara keempat kelompok tersebut. e) Application function adalah gabungan dari keempat operasi di atas

yang meliputi Local function, Focal function, Zonal function, Global function

Sumber data rester yang digunakan dalam pendekatan call based modeling dapat diturunkan dari citra satelit. Pemilihan metode call based modeling berdasarkan pada keunggulan metode ini dalam pemodelan kerentanan (ekologi. Ekonomi dan ekologi-ekonomi) yang lebih presentatif karena berdasarkan analisis spasial pada data rester.

Penelitian ini menggunakan analisis spasial pada data rester dimana pemilihan metode call based modeling dengan berbagai keunggulannya dapat diterapkan pada penelitian ini. Meaden ang Tang (1996) dan Molenaar (1998) menyatakan bahwa analisis overlay, pembuatan jarak dan pengkelasan parameter lebih mudah dilakukan secara cepat dan teratur pada setiap sel. Keunggulan lainnya dari metode ini dibandingkan analisis lainnya adalah struktur data rester yang lebih sederhana sehingga lebih mudah dalam pemodelan dan analisis, kompatibel dengan citra satelit serta memiliki variabilitas yang tinggi dalam mempresentasikan suatu kondisi di lapangan.


(51)

25

2.6 Multi Criteria Decision Making (MCDM)

Salah satu metode yang sudah banyak digunakan, dikembangkan dan direkomendasikan untuk menghadapi berbagai kriteria yang ada dalam pengambilan keputusan tanpa melakukan konversi pada unit pengukuran adalah pengambilan keputusan dengan banyak kriteria. Secara umum MCDM sama dengan AHP (analisis hirarki proses) dimana struktur AHP adalah bagian dari MCDM (Gibbon et al., 1996) bahwa bobot suatu alternatif dengan kriteria yang harus diambil, disusun berdasarkan matrik. Analisis multi kriteria ini memerlukan sejumlah pendekatan dengan terlebih dahulu menghitung banyak kriteria untuk membentuk struktur dan proses pengambilan keputusan. Analisis multi kriteria menggunakan sejumlah pendekatan. Untuk mendukung analisis ini ada beberapa teknik yang digunakan yaitu simple multi attribute rating technique (SMART), Visual interactive sensitivity analysis (VISA) dan preference ratios in multiattribute evaluation (PRIME).

Bidang analisis multi criteria memerlukan sejumlah pendekatan untuk menghitung kriteria yang banyak, guna membentuk struktur pendukung proses pengambilan keputusan. Penggunaan teknik MCDM pada beberapa bidang ditentukan oleh beberapa faktor, yakni: (a) teknik MCDM mempunyai kemampuan dalam menangani jenis data yang bervariasi (kuantitatif, kualitatif dan campuran) dan pengukuran intangible; (b) teknik MCDM dapat mengakomodasi perbedaan yang diinginkan dalam penentuan kriteria; (c) skema bobot yang bervariasi untuk suatu prioritas atau pandangan dari stakeholders yang berbeda, dapat diterapkan dalam MCDM; (d) tidak membutuhkan penentuan nilai ambang seperti pada operasi overlay, sehingga kehilangan informasi yang dihasilkan tidak terjadi akibat penurunan skala dari variabel yang continue pada skala nominal; dan (e) prosedur analisis atau agregasi dalam teknik MCDM relatif sederhana (Barnet, 2001; Carter 1991; Jasen dan Rieveld 1990 in Suriana 2009)

Teknik ini bertujuan mengakomodasi proses seleksi yang melibatkan kriteria (multi objective) dalam mengkalkulasi pemrasaran diantara kriteria konflik yang terjadi. Bidang analisis ini memerlukan sejumlah pendekatan dengan menghitung banyak kriteria untuk membentuk struktur yang mendukung


(52)

proses pengambilan keputusan. Secara umum pelaksanaan teknik MCDM dibagi menjadi tiga, yaitu: (a) penentuan (penetapan) alternatif; (b) penentuan nilai (skor) masing-masing kriteria, dan (c) prioritas pembuatan keputusan (decision making preferences).

Alternatif yang ditetapkan merupakan pilihan-pilihan yang relevan, seterusnya dari alternatif yang telah ditetapkan, disusun kriteria-kriteria yang mempengaruhi alternatif pilihan. Masing-masing kriteria yang telah disusun diberi nilai. Nilai dapat berupa kuantitatif, kualitatif maupun campuran. Proses normalisasi nilai dari masing-masing kriteria dapat dilakukan dengan menggunakan prosedur standar linier dan non-linier. Sedangkan prioritas pembuatan keputusan dapat diformulasikan dari kriteria yang diambil, dengan membentuk nilai sendiri (maksimum atau minimum) atau sesuai dengan tingkat keinginan. Proses pemberian nilai menggunakan fungsi agregasi tunggal atau ganda yang menghasilkan satu atau beberapa alternatif.

Pengelolaan sumberdaya alam, merupakan masalah yang multi kriteria dan multi objektif sehingga diperlukan suatu teknik evaluasi yang saling berhubungan untuk mendukung proses pembuatan keputusan dalam pengelolaan sumberdaya alam. Teknik MCDM merupakan suatu teknik yang cukup baik diterapkan karena bertujuan untuk memberikan alternatif terbaik dengan mengakomodasi proses seleksi yang melibatkan beragam kriteria (multi criteria) dalam pemilihan alternatif (Gumbriech 1996).

Teknik MCDM ini akan lebih luas penerapannya bila dikombinasikan dengan SIG. Penerimaan teknik ini pada beberapa bidang ditentukan oleh beberapa faktor, seperti :

a) Teknik MCDM memiliki kemampuan dalam menangani jenis data yang bervariasi (kuantitatif, kualitatif dan data campuran) dan pengukuran yang intangible.

b) Teknik MCDM dapat mengakomodasi perbedaan yang diinginkan dalam penentuan kriteria ekologi, ekonomi dan sosial budaya.

c) Skema bobot yang bervariasi menghadirkan prioritas yang berbeda atau pandangan dari stakeholders yang berbeda, dapat diterapkan MCDM.


(53)

27

d) Teknik MCDM tidak membutuhkan penentuan nilai ambang seperti pada operasi overlay sehingga kehilangan informasi yang dihasilkan tidak terjadi akibat penurunan skala dari variabel continue pada skala nominal.

e) Prosedur analisis atau agregasi dalam teknik MCDM relatif sederhana dan straightforward (Jansen dan Rietveld 1990; Carter 1991; Jankowski 1994; in Subandar 2002).


(54)

(55)

29

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan mulai bulan Maret sampai September 2011 yang terdiri dari kegiatan pengumpulan data awal, Pengolahan data awal, survei lapangan dan proses pengolahan data lanjutan. Lokasi penelitian di wilayah administrasi Kabupaten Tojo Una Una Provinsi Sulawesi Tengah yang meliputi pulau-pulau kecil (PPK) yang berada di dalam gugus Pulau Togean. Yaitu, P. Kukumbi, P. Enam, P. Mogo, P. Tongkabo, P. Pagempa, dan P. Kadidiri.

3.2 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer maupun data sekunder. Pengambilan data primer dan sekunder meliputi data ekologi dan sosial-ekonomi pada setiap pulau yang ada dalam kawasan Kepulauan Togean. Metode yang digunakan adalah metode survei dengan tujuan untuk membuat suatu gambaran secara sistematis mengenai fakta-fakta serta hubungan antara fenomena yang diteliti. Metode ini terbagi ke dalam tiga kelompok yaitu (1) memberikan gambaran situasi atau suatu kejadian; (2) menerangkan hubungan antar peubah-peubah; (3) pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara terhadap responden. Data sekunder meliputi data dari berbagai sumber yang berkaitan dengan informasi terhadap penelitian ini seperti Badan perencanaan pembangunan daerah, Dinas perikanan dan kelautan, Badan pusat statistik dan Lembaga Swasta terkait yang ada dalam pemerintahan Kabupaten Tojo Una Una. 3.3 Metode Pengumpulan Data

Data primer diperoleh dari pengamatan langsung, wawancara dengan observasi dengan menggunakan alat survey dan data kuiosioner. Data primer meliputi data geofisik, ekobiologi dan data sosial-ekonomi. Data geofisik berupa kenaikan muka laut, kejadian tsunami, perubahan garis pantai, tipologi pulau, luas pulau, insularity (keterpencilan), Data ekobiologi berupa terumbu karang dan mangrove. Sedangkan data sosial-ekonomi berupa pertumbuhan dan kepadatan penduduk, keamanan, penggunaan lahan, pola pemukiman, sumber pendapatan,


(1)

PULAU MOGO Mangrove

A. Mangrove Sebagai Bahan Kayu Bakar

No Komponen Satuan Jumlah

1. Jumlah pengambilan kayu bakar2 orang 43

2. Jumlah waktu pengambilan2 Hari/Tahun 72

3. Jumlah hasil pengambilan per hari2 m3/hari 0,75 4. Jumlah hasil pengambilan per tahun2 m3/Tahun 2322

5. Harga Kayu Bakar2 Rp/ m3 9000

6. Luasan mangrove ha 12,59

7. Nilai Penghasilan Rp/Thn 20 898 000

8. Nilai Manfaat Rp/ha/thn 1 659 889

B. Mangrove Sebagai Nursery Ground

No Komponen Satuan Jumlah

1. Pembuatan Kolam1 Rp/ m2 4000

2. Pembuatan Kolam1 Rp/ha 40 000 000

3. Biaya Investasi 5 tahun1 Rp/ha 8 000 000

4. Luasan Mangrove ha 12,59

5. Nilai Manfaat Rp/ha/Thn 100 720 000

C. Mangrove Sebagai Pemecah Ombak dan penahan abrasi

No Komponen Satuan Jumlah

1. Pembuatan Tanggul (381 m)1 Rp/m 900 000 000

900000000/381 m 2 362 205

2. Panjang Pantai m 3204

3. Nilai Manfaat Rp/m/thn 7 568 50 3937

Valuasi Ekosistem Mangrove (Nilai manfaat (A + B + C)) 7 691 781 826 Keterangan : 1 (Bakosurtanal 2004); 2(Alfian 2003)


(2)

113 PULAU ENAM

Mangrove

A. Mangrove Sebagai Bahan Kayu Bakar

No Komponen Satuan Jumlah

1 Jumlah pengambilan kayu bakar2 orang 50

2 Jumlah waktu pengambilan2 Hari/Tahun 72

3 Jumlah hasil pengambilan per hari2 m3/hari 0,75 4 Jumlah hasil pengambilan per tahun2 m3/Tahun 2700

5 Harga Kayu Bakar2 Rp/ m3 9000

6 Luasan mangrove ha 1,06

7 Nilai Penghasilan Rp/Thn 24 300 000

8 Nilai Manfaat Rp/ha/thn 22 924 528

B. Mangrove Sebagai Nursery Ground

No Komponen Satuan Jumlah

1. Pembuatan Kolam1 Rp/ m2 4000

2. Pembuatan Kolam1 Rp/ha 40 000 000

3. Biaya Investasi 5 tahun1 Rp/ha 8 000 000

4. Luasan Mangrove ha 1,06

5. Nilai Manfaat Rp/ha/Thn 8 480 000

C. Mangrove Sebagai Pemecah Ombak dan penahan abrasi

No Komponen Satuan Jumlah

1. Pembuatan Tanggul (381 m)1 Rp/m 900 000 000

900000000/381 m 2 362 205

2. Panjang Pantai m 2662

3. Nilai Manfaat Rp/m/thn 6 288 188 976

Valuasi Ekosistem Mangrove (Nilai manfaat (A + B + C)) 6 319 593 505 Keterangan : * Data asumsi merujuk pada valuasi di wilayah Kepulauan Wakatobi


(3)

PULAU KUKUMBI Mangrove

A. Mangrove Sebagai Bahan Kayu Bakar

No Komponen Satuan Jumlah

1 Jumlah pengambilan kayu bakar2 orang 32

2 Jumlah waktu pengambilan2 Hari/Tahun 72

3 Jumlah hasil pengambilan per hari2 m3/hari 0,75 4 Jumlah hasil pengambilan per tahun2 m3/Tahun 1728

5 Harga Kayu Bakar2 Rp/ m3 9000

6 Luasan mangrove ha 11,54

7 Nilai Penghasilan Rp/Thn 15 552 000

8 Nilai Manfaat Rp/ha/thn 1 347 660

B. Mangrove Sebagai Nursery Ground

No Komponen Satuan Jumlah

1. Pembuatan Kolam1 Rp/ m2 4000

2. Pembuatan Kolam1 Rp/ha 40 000 000

3. Biaya Investasi 5 tahun1 Rp/ha 8 000 000

4. Luasan Mangrove ha 11,54

5. Nilai Manfaat Rp/ha/Thn 92 320 000

C. Mangrove Sebagai Pemecah Ombak dan penahan abrasi

No Komponen Satuan Jumlah

1. Pembuatan Tanggul (381 m)1 Rp/m 900 000 000

900000000/381 m 2 362 205

2. Panjang Pantai m 2620

3. Nilai Manfaat Rp/m/thn 6 188 976 378

Jumlah Valuasi Ekosistem Mangrove (A + B + C) 6 282 653 038 Keterangan : * Data asumsi merujuk pada valuasi di wilayah Kepulauan


(4)

115

PULAU KADIDIRI Mangrove

A. Mangrove Sebagai Bahan Kayu Bakar

No Komponen Satuan Jumlah

1. Jumlah pengambilan kayu bakar2 orang 0

2. Jumlah waktu pengambilan2 Hari/Tahun 0

3. Jumlah hasil pengambilan per hari2 m3/hari 0 4. Jumlah hasil pengambilan per tahun2 m3/Tahun 0

5. Harga Kayu Bakar2 Rp/ m3 0

6. Luasan mangrove ha 0

7. Nilai Penghasilan Rp/Thn 0

8. Nilai Manfaat Rp/ha/thn 0

B. Mangrove Sebagai Nursery Ground

No Komponen Satuan Jumlah

1. Pembuatan Kolam Rp/ m2 0

2. Pembuatan Kolam Rp/ha 0

3. Biaya Investasi 5 tahun Rp/ha 0

4. Luasan Mangrove ha 0

5. Nilai Manfaat Rp/ha/Thn 0

C. Mangrove Sebagai Pemecah Ombak dan penahan abrasi

No Komponen Satuan Jumlah

1. Pembuatan Tanggul (381 m)1 Rp/m 900 000 000

900000000/381 m 2 362 205

2. Panjang Pantai m 5275

3. Nilai Manfaat Rp/m/thn 12 462 992 126

Jumlah Valuasi Ekosistem Mangrove (A + B + C) 12 462 992 126 Keterangan : * Data asumsi merujuk pada valuasi di wilayah Kepulauan


(5)

PULAU PAGEMPA Mangrove

A. Mangrove Sebagai Bahan Kayu Bakar

No. Komponen Satuan Jumlah

1 Jumlah pengambilan kayu bakar2 orang 50

2 Jumlah waktu pengambilan2 Hari/Tahun 72

3 Jumlah hasil pengambilan per hari2 m3/hari 0,75 4 Jumlah hasil pengambilan per tahun2 m3/Tahun 2700

5 Harga Kayu Bakar2 Rp/ m3 9000

6 Luasan mangrove ha 4,55

7 Nilai Penghasilan Rp/Thn 24 300 000

8 Nilai Manfaat Rp/ha/thn 5 340 659

B. Mangrove Sebagai Nursery Ground

No Komponen Satuan Jumlah

1. Pembuatan Kolam1 Rp/ m2 4000

2. Pembuatan Kolam1 Rp/ha 40 000 000

3. Biaya Investasi 5 tahun1 Rp/ha 8 000 000

4. Luasan Mangrove ha 4,55

5. Nilai Manfaat Rp/ha/Thn 36 400 000

C. Mangrove Sebagai Pemecah Ombak dan penahan abrasi

No Komponen Satuan Jumlah

1. Pembuatan Tanggul (381 m)1 Rp/m 900 000 000

900000000/381 m 2 362 205

2. Panjang Pantai m 5304

3. Nilai Manfaat Rp/m/thn 12 462 992 126

Jumlah Valuasi Ekosistem Mangrove (A + B + C) 12 595 174 518 Keterangan : * Data asumsi merujuk pada valuasi di wilayah Kepulauan


(6)

117

PULAU TONGKABO Mangrove

A. Mangrove Sebagai Bahan Kayu Bakar

No. Komponen Satuan Jumlah

1. Jumlah pengambilan kayu bakar2 orang 50

2. Jumlah waktu pengambilan2 Hari/Tahun 72

3. Jumlah hasil pengambilan per hari2 m3/hari 0,75 4. Jumlah hasil pengambilan per tahun2 m3/Tahun 2700

5. Harga Kayu Bakar2 Rp/ m3 9000

6. Luasan mangrove ha 1,01

7. Nilai Penghasilan Rp/Thn 24 300 000

8. Nilai Manfaat Rp/ha/thn 24 059 406

B. Mangrove Sebagai Nursery Ground

No Komponen Satuan Jumlah

1. Pembuatan Kolam1 Rp/ m2 4000

2. Pembuatan Kolam1 Rp/ha 40 000 000

3. Biaya Investasi 5 tahun1 Rp/ha 8 000 000

4. Luasan Mangrove ha 1,01

5. Nilai Manfaat Rp/ha/Thn 8 080 000

C. Mangrove Sebagai Pemecah Ombak dan penahan abrasi

No Komponen Satuan Jumlah

1. Pembuatan Tanggul (381 m)1 Rp/m 900 000 000

900000000/381 m 2 362 205

2. Panjang Pantai m 2737

3. Nilai Manfaat Rp/m/thn 6 465 354 331

Jumlah Valuasi Ekosistem Mangrove (A + B + C) 6 514 521 737 Keterangan : * Data asumsi merujuk pada valuasi di wilayah Kepulauan