Status Kerentanan Aedes Aegypti Dan Kaitannya Dengan Penggunaan Insektisida Di Permukiman Kota Banda Aceh

i

STATUS KERENTANAN Aedes aegypti DAN KAITANNYA
DENGAN PENGGUNAAN INSEKTISIDA DI PERMUKIMAN
KOTA BANDA ACEH

ZULFIKAR

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017

ii

iii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Status Kerentanan Aedes
aegypti dan Kaitannya Dengan Penggunaan Insektisida di Permukiman Kota

Banda Aceh adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2017

Zulfikar
B252140011

ii

RINGKASAN
ZULFIKAR. Status Kerentanan Aedes aegypti dan Kaitannya Dengan
Penggunaan Insektisida di Permukiman Kota Banda Aceh. Dibimbing oleh SUSI
SOVIANA dan FADJAR SATRIJA
Kota Banda Aceh merupakan satu diantara daerah endemis demam berdarah
dengue (DBD) di Provinsi Aceh. Pengendalian Aedes aegypti sebagai vektor DBD

lebih dititik beratkan pada pengendalian kimiawi dengan fogging focus
menggunakan insektisida. Penggunaan insektisida dapat menurunkan populasi
vektor dengan cepat, namun aplikasi satu jenis insektisida dalam waktu yang lama
dan frekuensi yang tinggi dapat menimbulkan permasalahan baru yaitu munculnya
populasi nyamuk yang resisten terhadap insektisida yang digunakan. Tujuan
penelitian ini untuk mengukur status kerentanan Ae. aegypti serta kaitannya
dengan penggunaan insektisida rumah tangga di permukiman. Pengukuran status
resistensi dilakukan sesuai standar WHO (1975) dengan impregnated paper
berbahan aktif malation 0.8% dan sipermetrin 0.05%. Isolat Ae. aegypti diperoleh
dengan memasang ovitrap pada 18 desa dari 9 kecamatan endemis DBD di Kota
Banda Aceh. Telur yang terkumpul ditetaskan dan dipelihara hingga generasi
kedua (F2) selanjutnya dilakukan pengukuran status resistensinya. Pengumpulan
data penggunaan insektisida rumah tangga dilakukan melalui wawancara terhadap
180 responden pemilik rumah yang dipasang ovitrap. Pemilihan rumah
berdasarkan keberadaan penderita DBD.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 18 isolat Ae. aegypti terdapat 13
isolat yang telah resisten dan 5 isolat toleran terhadap malation. Isolat Ae. aegypti
yang telah resisten memiliki persentase kematian antara 41.33 - 78.67%,
sedangkan isolat Ae. aegypti berstatus toleran memiliki persentase kematian
antara 80 - 90.67%. Waktu terlama yang dibutuhkan untuk mematikan 95%

populasi Ae. aegypti oleh malation adalah 75.79 jam (3 hari) terjadi pada isolat
Kampung Keramat dan waktu tersingkat adalah 21.07 jam pada isolat Lampaseh
Kota. Status kerentanan isolat Ae. aegypti terhadap sipermetrin menunjukkan
bahwa semua isolat sudah resisten, berdasarkan persentase kematian nyamuk yang
lebih kecil dari 80%. Waktu terlama untuk dapat mematikan 95% populasi Ae.
aegypti adalah 150.15 jam (6 hari) pada isolat Bandar Baru dan waktu tersingkat
adalah 35.21 jam (1.5 hari) pada isolat Punge Blang Cut.
Hasil wawancara menunjukkan bahwa 98.89% responden adalah pengguna
insektisida rumah tangga dan terutama untuk menghindari gigitan nyamuk.
Frekuensi penggunaan insektisida sebagian besar setiap hari (71.91%), dengan
lama penggunaan insektisida lebih dari satu tahun sebesar 87.64%. Hampir semua
insektisida rumah tangga yang digunakan responden berbahan aktif piretroid
sintetik (90.45%).
Hasil uji korelasi menunjukkan penggunaan insektisida rumah tangga
(p=0.027 dan R=0.237), frekuensi penggunaan insektisida (p=0.005 dan R=0.211)
dan lama penggunaan insektisida (p=0.010 dan R=0.213) memiliki hubungan
yang signifikan tetapi berkekuatan lemah terhadap angka kematian Ae. agypti
terhadap sipermetrin 0.05%.
Kata kunci: Aedes aegypti, Kota Banda Aceh, Malation, Sipermetrin, Resistensi


iii

SUMMARY
ZULFIKAR. Status of Aedes aegypti Resistance and Its Relationship to Use of
Household Insecticide in Settlement of Banda Aceh City. Supervised by SUSI
SOVIANA and FADJAR SATRIJA.
Banda Aceh is one of dengue hemorrhagic fever (DHF) endemic areas in
Aceh province. As a dengue vector, Aedes aegypti control was focused on
chemical controlling by fogging using insecticides. Actually, insecticides
application can reduce vector population rapidly, but long time effect and
frequent insecticides application can cause new problems, such as appearance of
resistant mosquitoes population. This research was conducted to measure the
vulnerabilty status of Ae. aegypti and its relation due to the use of household
insecticides. Resistance status measurement was carried out based on WHO
Standard (1975) using impregnated paper which has active ingredient of 0.8%
malathion and 0.05% sipermethrin. Ae. aegypti isolates were collected by
installing ovitrap in 18 villages in nine endemic districts in Banda Aceh City.
Eggs collected by ovitrap then reared and hatched up to be second generation (F2),
which were conducted for resistance status measurement. Data on the use of
household insecticides were collected by interviewing to 180 respondents who

were installed ovitrap in their house. The selected houses were based on the
presence of family members who ever suffering from DBD.
The result showed that from 18 isolates of Ae. aegypti, 13 of them were
resistant and 5 others were tolerant to malathion. The resistant Ae. aegypti isolates
had mortality of 41.33 – 78.67%, meanwhile tolerant isolates had 80 – 90.67%.
The longest time to kill 95% of the total population of Ae. aegypti by malathion
was 75.79 hours (3 days) occured on isolates from Keramat Village and the
shortest was 21.07 hours on isolates from Lampaseh City. Measurement of
susceptibility status to cypermethrin showed that all isolates were resistant based
on mortality less than 80.0%. The longest duration to kill 95% of total population
was 150.15 hours (6 days) happened on isolates from Banda Baru and the shortest
was 35.21 hours (1.5 days) on isolates from Punge Blang Cut.
The result of interviews showed that 98.89% of respondents were
insecticides users. Mostly to prevent mosquito bites. 71.91% of respondents used
insecticides everyday, in which 87.64% of respondents have already used
insecticides for more than a year. Most of the respondents used synthetic
pyrethroid insecticides.
The result of correlation test showed that the use of household insecticide
(p=0.027 and R=0.237), the frequency of insecticide used (p=0.005 and R=0.211)
and duration in the use of insecticides (p=0.010 and R=0.213) had a significant

but weak relationship to Ae. aegypti mortality by 0.05% cypermethrin.
Keywords: Aedes aegypti, Banda Aceh City, Cypermethrin, Malathion, Resistance

iv

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

i

STATUS KERENTANAN Aedes aegypti DAN KAITANNYA
DENGAN PENGGUNAAN INSEKTISIDA DI PERMUKIMAN
KOTA BANDA ACEH


ZULFIKAR

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017

ii

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof Dr Drh Upik Kesumawati Hadi, MS

iii
Judul Tesis : Status Kerentanan Aedes aegypti dan Kaitannya Dengan Penggunaan

Insektisida di Permukiman Kota Banda Aceh
Nama
: Zulfikar
NIM
: B252140011

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Drh Susi Soviana, MSi
Ketua

Drh Fadjar Satrija, MSc, PhD
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Parasitologi dan Entomologi Kesehatan


Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Drh Upik Kesumawati Hadi, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MscAgr

Tanggal Ujian: 17 Nopember 2016

Tanggal Lulus:

iv

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2015 ini ialah Status Kerentanan
Aedes aegypti dan Kaitannya Dengan Penggunaan Insektisida di Permukiman Kota
Banda Aceh.
Terima kasih yang sangat besar penulis ucapkan kepada yang terhormat komisi
pembimbing Ibu Dr Drh Susi Soviana, MSi dan Bapak Drh Fadjar Satrija, MSc, PhD

atas bimbingan, arahan dan motivasi semangat yang diberikan kepada penulis selama
penulisan tesis serta Ibu Prof Dr Drh Upik Kesumawati Hadi, MS yang telah berkenan
menjadi penguji luar komisi dalam ujian tesis. Terima kasih dan penghormatan penulis
sampaikan kepada seluruh dosen di Mayor Parasitologi dan Entomologi Kesehatan
(PEK), Bapak Prof Dr Drh Singgih Harsojo Sigit MSc, Bapak Dr Drh FX. Koesharto
MSc, Ibu Dr Drh Dwi Jayanti Gunandini MSi, dan Bapak Dr Drh Ahmad Arif Amin
MSc yang selama ini telah memberikan ilmunya. Selanjutnya, terima kasih dan
penghargaan penulis sampaikan kepada Kepala Kesbangpol dan Linmas Kota Banda
Aceh, Kepala Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh, Kepala Puskesmas yang telah
memberi izin dan mendukung pelaksanaan penelitian ini. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada para staf di Bagian PEK, Drh Supriyono MSi, Ibu Juleiha, Bapak
Heri Lukman Taher, Bapak Taufik, Bapak Nanang Mulyadi, Bapak Guspriyadi, Ibu Een
serta teman-teman seperjuangan, Kursianto, Lalu Simbawara, Wirokartiko S Wardhana,
R Irpan Pahlevi, M Umar Riandi, M Rasyid Ridho, Nurhadi E Firmansyah, Yuni Nindia,
Evi Sulistyorini, Lisa Hidayati D, Milda Lestari, Noviriliensi, Wendy Afrianda, Wa
Ummayah Imran dan Isfanda serta semua pihak atas bantuan, motivasi dan keceriaan
selama ini.
Ucapan terimakasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada ayahanda
(Alm) Zainal Abidin HS dan Ibunda Siti Hawa, Isteri Novi Andrilia serta aneuk inoeng
loen 3S (Shiffaunnisa, Shulha Haffafa dan Suheila Ilma Nafia) atas segala doa, kasih

sayang dan pengorbannya serta saudara-saudariku (Wirda Hayati, M Fadhiel, Mardiana,
Al Kautsar, Nauvan Ghazepna) atas segala bantuan moril dan materil sehingga penulis
bisa menyelesaikan karya ilmiah ini.
Semoga bantuan, dukungan, dorongan dan perhatian dari semua pihak yang
telah diberikan dengan tulus kepada penulis mendapat imbalan yang setimpal dari
Allah subhanahu wa ta’ala. Tesis ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu kritik
dan saran yang sifatnya membangun dan menyempurnakan tesis ini sangat penulis
harapkan. Semoga tesis ini bermanfaat, khususnya di bidang Parasitologi dan
Entomologi Kesehatan.
Bogor, Januari 2017

Zulfikar
B252140011

v

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

x

DAFTAR GAMBAR

x

DAFTAR LAMPIRAN

xi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
2
2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Aedes aegypti Sebagai Vektor Demam Berdarah Dengue
Pengendalian Nyamuk Aedes aegypti
Resistensi Aedes aegypti Terhadap Insektisida

3
3
4
5

3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Pemasangan Perangkap Telur
Penetasan Telur dan Pemeliharaan
Pengukuran Status Kerentanan Aedes aegypti
Pengumpulan Data Penggunaan Insektisida di Permukiman
Pemetaan Status Kerentanan Aedes aegypti
Analisis Data

8
8
8
8
9
9
10
10

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Angka Indeks Ovitrap
Status Kerentanan Ae des aegypti Terhadap Malation
Status Kerentanan Aedes aegypti Terhadap Sipermetrin
Pemetaan Status Kerentanan Aedes aegypti
Penggunaan Insektisida Rumah Tangga di Permukiman
Hubungan Penggunaan Insektisida Rumah Tangga Dengan Status Kerentanan
Aedes aegypti Terhadap Sipermetrin

12
12
13
14
16
18
19

5 SIMPULAN
Simpulan
Saran

33
33
33

DAFTAR PUSTAKA

34

LAMPIRAN

39

RIWAYAT HIDUP

48

31

vi

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7

8

Indek ovitrap dan jumlah telur Ae. aegypty yang terdapat pada ovitrap di
Kota Banda Aceh, 2015
Status kerentanan Ae. aegypti terhadap malation di Kota Banda Aceh, 2015.
Status kerentanan Ae. aegypti terhadap sipermetrin di Kota Banda Aceh,
2015
Titik koordinat pengambilan sampel telur Ae. aegypti di Kota Banda Aceh,
2015
Karakteristik responden pengguna insektisida rumah tangga di permukiman
Kota Banda Aceh, 2015
Persentase kombinasi kandungan bahan aktif dan jenis formuasi insektisida
rumah tangga di permukiman Kota Banda Aceh, 2015
Hasil uji chi-square penggunaan insektisida, frekuensi penggunaan
insektisida dan lama penggunaan insektisida terhadap angka kematian Ae.
aegypti terhadap sipermetrin
Hasil uji korelasi penggunaan insektisida, frekuensi penggunaan insektisida
dan lama penggunaan insektisida terhadap angka kematian Ae. aegypti
terhadap sipermetrin

13
14
16
18
20
30

31

32

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5

6
7
8
9
10

Peta adminitrasi pemerintahan Kota Banda Aceh Provinsi Aceh, Indonesia ...... 12
Peta sebaran status kerentanan Ae. aegypti terhadap malation di Kota Banda
Aceh, 2015 ........................................................................................................... 18
Peta sebaran status kerentanan Ae. aegypti terhadap sipermetrin di Kota
Banda Aceh, 2015 ................................................................................................ 19
Persentase responden pengguna insektisida rumah tangga di permukiman
Kota Banda Aceh, 2015 ....................................................................................... 21
Persentase responden pengguna insektisida rumah tangga di permukiman
Kota Banda Aceh sesuai dengan (A) formulasi dan (B) cara pemakaiannya,
2015
.............................................................................................................. 22
Persentase responden pengguna insektisida rumah tangga di permukiman
Kota Banda Aceh, sesuai dengan waktu penggunaanya, 2015 ............................ 23
Persentase responden pengguna insektisida rumah tangga di permukiman
Kota Banda Aceh, sesuai dengan frekuensi penggunaan insektisida, 2015 ......... 24
Persentase responden pengguna insektisida rumah tangga di Kota Banda
Aceh, sesuai dengan pemakaian ruangan setelah aplikasi insektisida, 2015 ....... 25
Persentase responden pengguna insektisida rumah tangga di Kota Banda
Aceh, berdasarkan lama penggunaan insektisida, 2015 ....................................... 26
Persentase responden pengguna insektisida rumah tangga di permukiman
Kota Banda Aceh, berdasarkan biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan
insektisida, 2015 ................................................................................................... 27

vii
11

12

13

Persentase responden pengguna insektisida rumah tangga di permukiman
Kota Banda Aceh, berdasarkan (A) alasan penggunaan insektisida dan (B)
tujuan penggunaan insektisida, 2015 ................................................................... 28
Persentase responden pengguna insektisida rumah tangga di permukiman
Kota Banda Aceh, berdasarkan (A) kebiasan membaca label dan (B) cara
menyimpanan insektisida, 2015 ........................................................................... 29
Persentase responden pengguna insektisida rumah tangga di permukiman
Kota Banda Aceh, berdasarkan tempat penyimpanan insektisida, 2015 ............. 29

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8

Pemeliharaan dan pengukuran status kerentanan Aedes aegypti
Wawancara menggunakan kuesioner dengan seorang responden pemilik
rumah yang dipasang ovitrap
Hasil analisis Uji Chi-square dengan progam SPSS
Hasil analisis Uji pearson correlation dengan program SPSS
Persentase jawaban responden tentang penggunaan insektisida rumah tangga
di permukiman Kota Banda Aceh
Persentase responden berdasarkan produk insektisida rumah tangga yang
digunakan di permukiman Kota Banda Aceh
Persentase responden berdasarkan kandungan bahan aktif insektisida rumah
tangga di permukiman Kota Banda Aceh
Kuesioner penggunaan insektisida rumah tangga di permukiman Kota
Banda Aceh

40
40
41
42
43
44
44
45

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Demam berdarah dengue (DBD) disebabkan oleh virus dari famili
Flaviviridae, genus Flavivirus. Virus ini diketahui terdiri atas empat serotipe yaitu
DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 (Gubler 2002; Halstead 2008). Keempat
serotipe virus ini telah ditemukan di berbagai wilayah Indonesia, tetapi strain
DEN-3 merupakan serotipe virus penyebab DBD yang paling luas distribusinya
(Kemenkes RI 2013). Virus masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan Aedes
aegypti yang merupakan vektor utama dalam transmisi DBD. Nyamuk ini tersebar
luas di wilayah tropis dan subtropis, pada umumnya hidup dan berkembang biak
di sekitar rumah. Ae. aegypti ditemukan hampir di seluruh wilayah Indonesia,
kecuali di tempat-tempat dengan ketinggian lebih dari 1000 meter di atas
permukaan laut (Hadi 2016).
Kasus DBD cenderung selalu terjadi bahkan semakin menyebar luas
terutama di daerah perkotaan. Peningkatan kasus terjadi setiap tahun seringkali
berulang di wilayah yang sama (Widiarti et al. 2011). Penderita DBD di Indonesia
pada tahun 2013 dilaporkan berjumlah 112,511 kasus dengan case fatality rate
(CFR) sebesar 0.77% dan insiden rate (IR) sebesar 45.85 per 100 000 penduduk
dengan jumlah angka kematian sebesar 871 orang (Kemenkes RI 2014). Pada
tahun 2014 kasus DBD menurun menjadi 100 347 kasus dengan CFR sebesar
0.90% dan IR sebesar 39.83 per 100 000 penduduk. Namun dilaporkan terjadi
peningkatan angka kematian sebesar 907 orang (Kemenkes RI 2015).
Laporan kasus DBD di Provinsi Aceh pada 2013 berjumlah 1369 dengan
angka kematian 13 orang (CFR=0.95%, IR=29 per 100 000 penduduk). Pada 2014
terjadi peningkatan kasus DBD menjadi 2210 kasus dengan CFR=0.36% dan
IR=45 per 100 000 penduduk, namun jumlah orang yang meninggal mengalami
penurunan dari tahun sebelumnya menjadi 8 orang (DKP Aceh 2015). Tren kasus
DBD di Kota Banda Aceh dilaporkan menunjukkan penurunan dari tahun 20122013 yaitu berturut-turut sebesar 506 dan 258 kasus. Namun pada tahun 2014
dilaporkan terjadi peningkatan kembali, menjadi 299 kasus (DKK Banda Aceh
2015).
Pengendalian DBD terutama ditujukan untuk memutus rantai penularan
penyakit dengan pengendalian vektornya. Salah satu cara yang sering digunakan
adalah pengasapan (fogging) dengan insektisida terutama dalam keadaan darurat
atau kejadian luar biasa (KLB). Kegiatan fogging masih menjadi pilihan utama
untuk mengendalikan vektor DBD (Kemenkes RI 2013). Hal ini juga sering
dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh. Riwayat pemakaian
insektisida di Kota Banda Aceh dimulai dengan penggunaan insektisida golongan
organofosfat (malation) kemudian digantikan dengan insektisida golongan
piretroid sintetik (sipermetrin) pada tahun 2010 dan masih digunakan hingga
sekarang.
Penggunaan insektisida secara terus menerus dan dalam jangka waktu yang
lama dapat menyebabkan timbulnya galur Ae. aegypti resisten (Lima et al. 2011).
Resistensi adalah kemampuan populasi vektor untuk bertahan hidup terhadap
dosis insektisida yang dalam keadaan normal dapat mematikan. Resistensi Ae.

2
aegypti terhadap insektisida merupakan fenomena global yang terutama
dilaporkan oleh pengelola program pengendalian penyakit tular vektor di
Indonesia. Resistensi dapat diturunkan dan merupakan rintangan tunggal dalam
keberhasilan pengendalian vektor secara kimia (Kemenkes RI 2012).
Laporan adanya resistensi Ae. aegypti terhadap insektisida golongan
organofosfat (malation) dan piretroid sintetik (sipermetrin) telah ada di berbagai
negera termasuk di Indonesia. Ae. aegypti telah resisten terhadap malation
dilaporkan di Port Sudan City (Husham et al. 2012), di Selangor Malaysia
(Hidayati et al. 2011) juga di Surat Thani Thailand walaupun tidak terjadi
disemua wilayah (Ponlawat et al. 2005). Laporan Ae. aegypti telah resisten
terhadap sipermetrin juga dilaporkan di Brazil (Lima et al. 2011). Sementara itu
beberapa wilayah di Indonesia dilaporkan resistensi Ae. aegypti terhadap malation
juga terjadi di tiga wilayah DKI Jakarta (Prasetyowati et al. 2016a), Jawa Tengah
(Sunaryo et al. 2014), Sumatera Selatan (Ambarita et al. 2015), Kota Bogor
(Nurjanah 2013) serta sembilan kabupaten di Jawa Tengah (Ikawati et al. 2015).
Sementara Ae. aegypti telah resisten terhadap sipermetrin dilaporkan terjadi di
Kota Cimahi (Pradani et al. 2011), Kota Semarang (Sayono et al. 2012) dan
delapan kabupaten di Jawa Tengah (Ikawati et al. 2015).
Selain akibat penggunaan insektisida pada program fogging, resistensi Ae.
aegypti juga dapat dipicu oleh penggunaan insektisida rumah tangga yang terus
menerus terutama di perkotaan. Penggunaan insektisida rumah tangga merupakan
cara yang paling banyak dilakukan oleh masyarakat dalam upaya pencegahan
penularan penyakit tular vektor terutama nyamuk (Kemenkes RI 2011).
Insektisida rumah tangga yang digunakan oleh masyarakat didominasi bahan aktif
dari golongan piretroid sintetik. Penggunaan insektisida rumah tangga diduga ikut
mempercepat terjadinya resistensi terhadap Ae. aegypti. Oleh sebab itu
pengukuran status kerentanan Ae. aegypti dan kaitannya dengan penggunaan
insektisida di Kota Banda Aceh perlu dilakukan. Data resistensi ini dapat menjadi
dasar kebijakan program untuk menentukan insektisida yang tepat untuk
pengendalian DBD.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengukur dan menganalisis data status
kerentanan Ae. aegypti terhadap insektisida malation dan sipermetrin serta
kaitannya dengan penggunaan insektisida rumah tangga di permukiman Kota
Banda Aceh.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar tentang status
kerentanan Ae. aegypti terhadap insektisida yang digunakan sehingga dapat
menjadi bahan rekomendasi dalam pengambilan kebijakan pada program
pengendalian DBD agar lebih efektif dan efisien.

3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Aedes aegypti Sebagai Vektor Demam Berdarah Dengue
Vektor adalah artropoda yang dapat menularkan, memindahkan dan atau
menjadi sumber penular penyakit terhadap manusia. Vektor utama DBD di
Indonesia adalah Ae. aegypti dan Ae. albopictus sebagai vektor sekunder
(Kemenkes RI 2010; Hadi dan Koerharto 2006; Sukowati 2010). Genus Aedes
memiliki ciri ujung abdomen meruncing, sersi yang menonjol, bagian lateral
terdapat rambut post-spiracular dan tidak mempunyai rambut spiracular. Ae.
aegypti memiliki corak belang hitam putih pada toraks, abdomen dan tungkai.
Corak putih pada dorsal torak Ae. aegypti berbentuk seperti siku yang berhadapan
(lyre-shaped), sedangkan Ae. albopictus berbentuk lurus di tengah-tengah thoraks
(median stripe) dan bewarna lebih gelap dari Ae. aegypti (Hadi 2010).
Perkembangan dari telur menjadi dewasa terjadi pada suhu ruangan antara
10 - 280C. Waktu perkembangan paling cepat 5.5 hari dan paling lambat 121 hari.
Perkembangan tercepat terjadi pada rerata suhu ruangan 28.70C dan terlama pada
rerata suhu ruangan 100C. Waktu perkembangan telur menjadi dewasa menjadi
singkat dengan peningkatan suhu udara (Hidayati et al. 2012). Telur Ae. aegypti
bewarna gelap, menetas secara bersamaan menjadi larva pada suhu optimum 25 300C. Larva hidup pada air yang jernih akan berkembang menjadi pupa dalam
waktu 5-6 hari, sedangkan pada suhu di bawah 100C larva akan mati. Setelah 5 - 6
hari larva akan berubah menjadi pupa dengan temperatur optimum untuk
perkembangan berkisar 27 - 320C. Pada temperatur tersebut pupa jantan
membutuhkan waktu berkembang rata-rata 1 - 9 hari, sedangkan pupa betina
membutuhkan waktu rata-rata 2.5 hari. Setelah 1 - 2 hari pupa berubah menjadi
nyamuk dewasa (Hadi dan Koesharto 2006).
Ae. aegypti merupakan nyamuk di permukiman karena stadium
pradewasanya mempunyai habitat di tempat penampungan air atau wadah yang
berada di permukiman. Spesies ini mempunyai sifat antropofilik, artinya lebih
suka menghisap darah manusia dan juga bersifat multiple feeding artinya
menghisap darah beberapa kali untuk memenuhi kebutuhan darah dalam satu
periode siklus gonotropik (Sukowati 2010; Hadi dan Koesharto 2006).
Perilaku Ae. aegypti betina lebih memilih dan menggigit manusia pada pagi
hari pukul 09.00 - 10.00 dan sore hari pukul 16.00 - 17.00. Namun nyamuk ini
akan menghisap darah sepanjang hari di dalam ruangan. Ae. aegypti betina adalah
pemangsa gesit dan berespon cepat terhadap gerakan inang, dan akan kembali
pada inang yang sama atau inang yang berbeda untuk melanjutkan proses
menghisap darah. Hal ini disebabkan pada siang hari manusia beraktivitas,
sehingga pengisapan darah akan terganggu dan nyamuk akan terbang dan
menggigit lagi sampai cukup kenyang untuk pertumbuhan dan perkembangan
telurnya (Kemenkes RI 2013).
Setelah seseorang digigit oleh nyamuk infektif, virus mengalami
perkembangan di dalam tubuh manusia (masa inkubasi intrinsik) selama 3 - 14
hari (rata-rata 4 - 7 hari) untuk menimbulkan gejala klinis berupa demam akut
disertai dengan berbagai tanda spesifik, seperti nyeri kepala, nyeri belakang bola
mata, nyeri otot dan tulang dan ruam kulit. Selain seringkali diikuti manifestasi

4
pendarahan, leukopenia, trombositopenia dan peningkatan hematokrit. Selama
periode demam akut (minimal 2 hari dan maksimal 10 hari) virus dengue
bersirkulasi dalam darah perifer manusia. Ae. aegypti lain menggigit manusia
selama tahap viremia dan dapat menular kemudian menularkan virus dengue ke
orang lainnya, setelah masa inkubasi ekstrinsik selama 8 - 12 hari (Gubler 2002).
Selain dapat ditularkan secara horizontal dari manusia kepada manusia
lainnya melalui gigitan vektor, virus dengue dapat juga ditularkan secara vertikal
dari induk kepada keturunannya (transovarial) (Joshi et al. 2002; Freier dan
Rosen 1998). Penularan virus dengue secara transovarial seperti dilaporkan
Ahmad et al. (1997) di Malaysia, virus dengue ditemukan pada Ae. aegypti dan Ae.
albopictus pada stadium larva. Wasinpiyamongkol et al. (2003) melaporkan di
Provinsi Chiang Rai dan Santun Thailand, Ae. aegypti yang diberi makan darah
yang mengandung virus DEN-2 dengan titer 7.8 log 10 MID50/ml menunjukkan
filial infection rate (FIRs) yang rendah sampai generasi F3. Joshi et al. (2002)
menginjeksi Ae. aegypti dari Jodhpur City di bagian Rajasthan India yang
berumur 4-5 hari dengan virus DEN-3 melalui intrathoraxic dengan dosis
inokulasi 1.2 log/0.2 µl. Hasilnya menunjukkan terjadinya peningkatan virus dari
generasi F1 ke F2 dan mulai stabil pada generasi F3 sampai F7. Selanjutnya
Rohani et al. (2008) melaporkan bahwa Ae. aegypti dari Selangor Malaysia yang
berumur 4-5 hari diberi darah yang mengandung virus DEN-2 menemukan virus
dengue sampai generasi F5 dan tidak ditemukan pada generasi F6 dan F7.
Sementara Satoto et al. (2013) melaporkan virus DEN-2 dapat ditransmisikan
secara transovarial pada Ae. aegypti dengan laju infeksi lebih tinggi pada generasi
F0 dari F1.
Pengendalian Nyamuk Aedes aegypti
Pengendalian Ae. aegypti dapat dilakukan secara fisik, biologi, kimia dan
secara terpadu. Pengendalian fisik merupakan alternatif utama pengendalian
vektor DBD melalui upaya pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dengan cara
menutup, menguras dan mendaur uang (3M). Pengendalian biologi menggunakan
agen biologi seperti predator (ikan pemakan jentik), parasit dan bakteri.
Pengendalian cara kimiawi dengan menggunakan insektisida merupakan salah
satu metode pengendalian yang populer di masyarakat dibanding dengan cara
pengendalian lainnya (Hadi dan Soviana 2013; Kemenkes RI 2013).
Penggunaan insektisida dalam pengendalian vektor DBD secara tepat
sasaran, tepat dosis, tepat waktu dan cakupan akan mampu mengendalikan vektor
dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan organisme yang bukan
sasaran. Penggunaan insektisida dalam jangka panjang secara terus menerus akan
menimbulkan resistensi populasi nyamuk yang resisten. Pengendalian Ae. aegypti
dengan cara kimiawi merupakan metode pengendalian yang menjadi pilihan
karena beberapa kelebihan diantaranya mudah diaplikasikan, dapat menurunkan
populasi Ae. aegypti dengan cepat dan mudah didapat. Pengendalian vektor DBD
bertujuan untuk menurunkan populasi Ae. aegypti, dengan sasaran pengendalian
baik stadium larva dan stadium dewasa.
Pengendalan larva nyamuk ini dapat dilakukan dengan menghilangkan
tempat perindukan (PSN) dan penggunaan larvasida dengan cara penaburan
larvasida ke dalam penampungan-penampungan air. Larvasida yang sering

5
digunakan adalah temefos dan pyriproxyfen yang diaplikasi langsung dalam
tempat penampungan air (McCall dan Kittayapong 2006). Temefos 1% dengan
dosis 1 ppm (10 gram untuk 100 liter air) dapat memberikan kontrol yang efektif
selama 8 – 12 minggu, terutama dalam bak air tidak berpori, apabila volume air
tidak berubah (WHO 2013).
Pengendalian Ae. aegypti perlu dilakukan ketika pengendalian larva tidak
efisien. Metode yang paling umum di gunakan untuk pengendalian Ae. aegypti
dengan penyemprotan ULV dan fogging (Kemenkes RI 2013; CDHS 2005).
Insektisida yang umum digunakan pada upaya pengendalian Ae. aegypti pada saat
ini organofosfat dan piretroid. Insektisida tersebut memiliki cara kerja
mengganggu sistem saraf serangga. Penggunaan insektisida piretroid semakin
meningkat setelah munculnya nyamuk yang resisten terhadap insektisida
golongan organofosfat dalam beberapa tahun terakhir (WHO 2009).
Achmadi (2010) memperkenalkan konsep manajemen demam berdarah
berbasis masyarakat. Konsep ini menggabungkan pengendalian penyakit pada
sumbernya yakni penderita yang memiliki potensi sebagai sumber penularan,
pengendalian pada nyamuk Ae. aegypti yakni pengendalian sarang nyamuk serta
penyuluhan masyarakat untuk mendukung Gerakan Berantas Tuntas Penyakit
Demam Berdarah (Getas DBD).
Resistensi Aedes aegypti Terhadap Insektisida
Resistensi merupakan proses pengembangan kemampuan suatu populasi
serangga untuk mentolerir dosis racun yang mematikan bagi sebagian besar
individu dalam populasi tersebut (IRAC 2006). Munculnya galur Ae. aegypti
resisten dapat dipicu oleh adanya pajanan yang berlangsung lama terhadap
insektisida tertentu. Hal ini terjadi karena Ae. aegypti mampu mengembangkan
sistem kekebalan terhadap insektisida yang sering digunakan sehingga terjadi
peningkatan metabolisme insektisida dalam tubuh serangga dengan enzim mixed
function oxidase, hidrolase, esterase dan glutathione-S-tranferase (Lima et al.
2011).
Insektisida masuk ke dalam tubuh serangga (mode of entry) melalui
kultikula (racun kontak), alat pencernaan (racun perut) dan spirakel (racun
pernafasan). Sehingga satu insektisida dapat mempunyai satu atau lebih cara
masuk ke dalam tubuh serangga (Kemenkes RI 2012). Insektisida memberikan
pengaruh terhadap serangga akibat aktivitas insektisida di dalam tubuh serangga.
Aktivitas insektisida terdiri atas lima cara yaitu mempengaruhi sistem saraf,
menghambat produksi energi, mempengaruhi sistem endokrin, menghambat
produksi kutikula dan menghambat keseimbangan air (Wirawan 2006).
Insektisida organofosfat merupakan racun sinaptik, bekerja menghambat
enzim asetilkolinesterase (AChE). ChE mengendalikan hidrolisis dari asetilkolin
(ACh), yaitu neurotransmiter yang dihasilkan dalam vesikel-vesikel pada akson
dekat celah sinaptik. ACh meneruskan rangsangan saraf pada celah sinaptik.
Setelah rangsangan diteruskan ACh dihidrolisi oleh ChE menjadi kolin. Dalam
keadaan tidak terdapat AChE, ACh yang dihasilkan berakumulasi sehingga
terjadi gangguan transmisi rangsangan, yang menyebabkan menurunnya
koordinasi otot-otot, kekejangan dan kematian serangga (Hadi dan Soviana 2013).

6
Resistensi Ae. aegypti terhadap malation terjadi salah satunya akibat
penggunaan insektisida ini dalam jangka waktu yang lama dan frekuensi yang
tinggi. Resistensi yang disebabkan karena aktivitas enzim AChE terjadi pada saat
enzim tersebut menghalangi senyawa insektisida untuk mencapai organ targetnya
ditandai dengan peningkatan kosentrasi enzim AChE. Adanya peningkatan enzim
AChE mengindikasikan adanya mekanisme detoksifikasi metabolis insektisida di
dalam tubuh serangga (Selvi et al. 2007). Selain itu terjadi perubahan sensitifitas
tempat sasaran dalam tubuh serangga, berupa insensitifitas saraf dan insensitifitas
enzim asetikolinesterase (AChE) serta penurunan penetrasi insektisida ke arah
tempat aktif yaitu saraf dan AChE.
Ae. aegypti telah resisten terhadap malation dilaporkan di Port Sudan City
(Husham et al. 2012), di Selangor Malaysia (Hidayati et al. 2011) juga di Surat
Thani Thailand walaupun tidak terjadi disemua wilayah (Ponlawat et al. 2005).
Sementara itu beberapa wilayah di Indonesia dilaporkan resistensi Ae. aegypti
terhadap malation juga terjadi di tiga wilayah DKI Jakarta (Prasetyowati et al.
2016a), Jawa Tengah (Sunaryo et al. 2014), Sumatera Selatan (Ambarita et al.
2015), Kota Bogor (Nurjanah 2013) serta sembilan kabupaten di Jawa Tengah
(Ikawati et al. 2015).
Proses mengurangi resistensi terhadap insektisida organofosfat akan
memerlukan waktu lebih dari tujuh tahun (Lima et al. 2011). Resistensi akibat
penggunaan insektisida, spesifik atau mungkin cross resistance tergolong tipe
resistensi reversible (dapat pulih seperti semula) ketika pemakaian insektisida
dihentikan, akan tetapi nilai kerentanan tidak dapat kembali ke nilai sebelumnya
dan menurun dengan cepat manakala penggunaan insektisida dimulai (Pradani et
al. 2011). Penelitian di DKI Jakarta menunjukkan meskipun semua Ae. aegypti
berstatus resisten terhadap malation 0.8% namun terdapat perbedaan persentase
kematian nyamuk uji. Pada tahun 2006 persentase kematian nyamuk uji asal
Jakarta Timur, Jakarta Selatan dan Jakarta Barat masing-masing 2%, 16% dan
16% (Shinta et al. 2008) dan tahun 2016 persentase kematian meningkat menjadi
53%, 72% dan 33% (Prasetyowati et al. 2016a). Penurunan kepekaan titik tangkap
Ae. aegypti terjadi pada 20 generasi nyamuk yang secara terus menerus di
paparkan dengan temefos, bahwa LC50 akan semakin meningkat dengan
bertambahnya generasi (Gunandini 2002).
Penemuan piretroid merupakan terobosan penting dalam dunia insektisida
karena memiliki sejumlah karakteristik seperti bekerja cepat pada serangga (knock
down dan flushing), memiliki efek repelen, dapat diaplikasi dengan dosis rendah,
toksisitas pada mamalia relatif rendah, tidak berbau, non-residual (generasi
pertama) dan residual jangka panjang, kelarutan dalam air rendah dan toksik
terhadap ikan. Penggunaan insektisida ini di Indonesia dimulai pada tahun 1980
dan mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir (Wirawan 2006).
Piretroid sintentik merupakan satu diantara insektisida paling aman yang
bekerja pada serabut saraf (akson) dan menghambat impuls saraf. Insektisida ini
terkait dengan suatu protein dalam saraf yang dikenal sebagai voltage gate sodium
channel (VGSC). Pada keadaan normal protein ini membuka untuk memberikan
rangsangan dan menutup untuk menghentikan rangsangan, karena senyawa
piretroid terikat pada bagian ini sehingga mencegah penutupan secara normal.
Efek yang ditimbulkan sama seperti yang disebabkan oleh insektisida golongan
organofosfat dan karbamat, yaitu impuls saraf serangga akan mengalami stimulasi

7
secara terus menerus dan mengakibatkan serangga tremor dan gerakan tak
terkendali (Wirawan 2006).
Mekanisme dasar yang berperan dalam proses terjadinya resistensi Ae.
aegypti terhadap insektisida piretroid sintetik (sipermetrin) karena adanya proses
detoksifikasi insektisida oleh enzim mixed function oxidase (MFO) dan
insensitifitas tempat target yang melibatkan gen kdr (Astari dan Ahmad 2005).
Penelitian yang dilakukan Ghiffari et al. (2013) melaporkan terjadinya perubahan
insensitifitas tempat target pada Ae. aegypti dari Palembang terjadi akibat mutasi
gen pada titik tangkap Va1016Ile (kodon valine) gen VGSC dengan uji diagnostik
molekuler.
Resistensi Ae. aegypti terhadap insektisida piretroid sintetik telah banyak
dilaporkan terutama di kota-kota besar di berbagai negara seperti Ae. aegypti di
Brazil telah resisten terhadap sipermetrin (Lima et al. 2011) dan empat wilayah di
Thailand sudah resisten terhadap permetrin (Thongwat dan Bunchu 2015).
Beberapa wilayah di Indonesia seperti dilaporkan Ahmad et al. (2009) Ae. aegypti
di Kota Bandung telah resisten terhadap permetrin. Sementara Ae. aegypti di Kota
Cimahi sudah resisten terhadap sipermetrin (Pradani et al. 2011) dan beberapa
lokasi di Kota Bogor telah resisten terhadap deltametrin (Nurjanah 2013).

8

3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap yaitu pengambilan sampel telur Ae.
aegypti di lapangan pada Agustus sampai Nopember 2015. Telur nyamuk
dikumpulkan dari 9 kecamatan dari setiap kecamatan dipilih 2 desa yang memiliki
kasus DBD tertinggi. Desa-desa yang dipasang ovitrap adalah Desa Kampung
Keramat dan Bandar Baru (Kecamatan Kuta Alam), Desa Kopelma Darussalam
dan Jeulingke (Kecamatan Syiah Kuala), Desa Punge Jurong dan Blang Oi
(Kecamatan Meuraxa), Desa Lhoong Raya dan Lam Ara (Kecamatan Banda
Raya), Desa Punge Blang Cut dan Lamteumen (Kecamatan Jaya Baru), Desa
Lambhuk dan Doy (Kecamatan Ulee Kareng), Desa Lampaseh Kota dan
Peulanggahan (Kecamatan Kuta Raja), Desa Ateuk Pahlawan dan Sukaramai
(Kecamatan Baiturrahman), serta Desa Bathoh dan Panteriek (Kecamatan Lueng
Bata). Selanjutnya proses rearing dan pengujian resistensi di Laboratorium
Lokalitbang Biomedis Aceh sejak April hingga Mei 2016.
Pemasangan Perangkap Telur
Setiap desa ditentukan 10 rumah berdasarkan keberadaan penderita DBD
untuk pemasangan ovitrap. Ovitrap diletakkan pada tiap rumah selama 5-7 hari.
Ovitrap yang digunakan berupa wadah kecil yang telah dicat hitam dan diletakkan
di dalam rumah. Ovitrap tersebut diisi dengan air sebanyak ½ bagian, kemudian
ditempelkan kertas saring mengelilingi dinding bagian dalam ovitrap yang
berfungsi sebagai media bagi nyamuk meletakkan telur. Ovitrap diletakkan di
tempat gelap dan lembab yang diduga sebagai tempat persembunyian nyamuk,
seperti di bawah meja, kursi, tempat tidur dan tempat potensial lainnya. Jumlah
ovitrap yang dipasang pada setiap rumah sebanyak 2 buah, secara keseluruhan
jumlah ovitrap yang dipasang dalam penelitian ini sebanyak 360 ovitrap pada 9
kecamatan.
Penetasan Telur dan Pemeliharaan
Telur nyamuk yang diperoleh dari ovitrap ditetaskan menjadi larva dalam
wadah plastik yang berisi air. Larva diberi makan rebusan hati ayam dan
dipelihara sampai menjadi pupa. Pupa dipindahkan ke dalam gelas plastik
kemudian dimasukkan ke dalam kandang pemeliharaan hingga menjadi nyamuk
dewasa. Nyamuk Ae. aegypti yang telah dewasa berumur 2-3 hari diberi darah
marmut. Pemberian darah marmut untuk nyamuk betina dilakukan selama 1-2 jam
untuk pematangan telur. Selain itu dalam kandang pemeliharaan juga diletakkan
air gula 10% yang ditempatkan pada botol-botol kecil yang diberi kapas. Setelah
menghisap darah 2-3 hari di dalam kandang pemeliharaan dipasang ovitrap untuk
memperoleh nyamuk keturunan pertama (F1). Nyamuk F1 dipelihara lebih lanjut
hingga diperoleh generasi kedua (F2). Populasi Ae. aegypti yang diperoleh dari

9
setiap desa mewakili isolat Ae. aegypti yang diuji sehingga terdapat 18 isolat Ae.
aegypti.
Pengukuran Status Kerentanan Aedes aegypti
Pengujian dilakukan dengan menggunakan impregnated paper mengacu
kepada WHO (1975) dengan alat susceptibility test kit. Pengujian ini dilakukan
dengan memaparkan nyamuk Ae. aegypti dengan kertas berinsektisida malation
0.8% dan sipermetrin 0.05%. Jumlah nyamuk yang digunakan 25 nyamuk.
Nyamuk betina berumur 2-3 hari dengan kondisi perut kenyang air gula
diambil dari kandang pemeliharaan dengan menggunakan aspirator, dimasukkan
ke dalam holding tube (tidak dilapisi impregnated paper) bertanda hijau,
kemudian nyamuk dipindahkan ke dalam exposure tube (dilapisi impregnated
paper) bertanda merah dengan cara meniup perlahan-lahan sampai semua nyamuk
berada dalam tabung tersebut. Nyamuk dibiarkan dalam exposure tube (tabung
kontak) selama 1 jam sambil diamati kematiannya pada menit ke 10, 20, 30, 40,
50 dan 60 (1 jam). Setelah kontak selama 60 menit, nyamuk dipindahkan kembali
ke holding tube dan dimasukkan dalam paper cup dan diberi air gula 10%
kemudian disimpan pada kondisi yang baik. Kematian nyamuk diamati pada 1, 2,
3, 4, 5, 6, 12 dan 24 jam penyimpanan.
Nyamuk dinyatakan mati apabila nyamuk tersebut sudah tidak mampu
bergerak lagi. Kematian nyamuk setiap uji insektisida dihitung persentase
kematian dengan menggunakan rumus :
% kematian =

a

a

ya

ya

ya

ya

a

x 100%

Setiap isolat Ae. aegypti diuji dengan 3 kali ulangan dan satu kontrol yang
masing-masing terdiri atas 25 Ae. aegypti betina. Setelah 24 jam, jumlah nyamuk
yang mati dihitung dan dicatat. Apabila kematian nyamuk pada kelompok kontrol
(tidak dipaparkan dengan impregnated paper) lebih besar dari 20% maka harus
dilakukan pengujian ulang dan bila kematian terjadi antara 5-20 % maka
dilakukan koreksi dengan menggunakan rumus Abbot :
Rumus Abbot =

%

a a

ya

−%

−%

a a

a a

x 100%

Pengumpulan Data Penggunaan Insektisida di Permukiman
Pengumpulan data penggunaan insektisida diperoleh melalui wawancara
dengan kepala keluarga (KK) atau anggota keluarga pada rumah tempat
pemasangan ovitrap. Setiap rumah diwakili oleh seorang responden, sehingga
terdapat 180 responden.

10
Pemetaan Status Kerentanan Aedes aegypti
Pemetaan status kerentanan dilakukan dengan memproyeksikan kriteria
status kerentanan menurut WHO (1975) dari persentase kematian Ae. aegypti ke
dalam peta, berdasarkan tempat pengambilan sampel telur nyamuk. Peta diperoleh
dari Bappeda Kota Banda Aceh, tiap kriteria akan dibedakan berdasarkan warna
pada setiap lokasi pengambilan sampel. Data status kerentanan Ae. aegypti diolah
dengan program Microsoft Excel kemudian dimasukkan ke dalam program
ArcGIS versi 10.2.
Analisis Data
Indeks Ovitrap
Indeks ovitrap merupakan satu di antara ukuran yang menyatakan kepadatan
Ae. aegypti di suatu wilayah. Pengukuran indeks ovitrap dilakukan satu minggu
setelah pemasangan ovitrap dengan memeriksa telur Ae. aegypti pada setiap
ovitrap yang dipasang (Kemenkes RI 2013).
Ovitrap Indeks (OI) =

J

J

a

a

�����

�����

a a

x 100%

Menurut FEDH (2006), kriteria indeks ovitrap dinyatakan dalam empat
level dengan masing-masing kategori, yaitu level 1 jika IO 40%.
Pengukuran Status Kerentanan dan Penggunaan Insektisida
Status kerentanan ditentukan berdasarkan persentase kematian Ae. aegypti.
Apabila kematian nyamuk dibawah 80% maka populasi tersebut dinyatakan
resisten, antara 80-97% dinyatakan toleran, dan antara 98-100% dinyatakan rentan
(WHO 1975) dan dianalisis secara deskriptif. Penggunaan insektisida rumah
tangga dari hasil wawancara dianalisis dan disajikan dalam bentuk tabel dan
grafik.
Analisis Kaitan Status Kerentanan Dengan Penggunaan Insektisida
Data status kerenatan Ae. aegypti dan data penggunaan insektisida rumah
tangga dianalisis dengan uji bivariat dengan uji chi square dan korelasi
menggunakan program SPSS 21.00. Analisis ini digunakan untuk melihat
hubungan antara penggunaan insektisida rumah tangga (jumlah pengguna,
frekuensi penggunaan dan lama penggunaan insektisida) dengan angka kematian
Ae. aegypti terhadap sipermetrin.
Menurut Colton dalam Dini et al. (2010) analisis bivariat korelasi yaitu
r = 0.00 – 0.25; hubungan lemah, r = 0.26 – 0.50; hubungan sedang, r = 0.51 –

11
0.75; hubungan kuat, dan r = 0.76 – 1.00; hubungan sangat kuat. Analisis juga
dilakukan dengan melihat kemaknaan hasil korelasi melalui nilai probabilitas
yang didapat dengan hipotesis H0 = tidak ada hubungan (korelasi) antara dua
variabel dan H1 = ada hubungan (korelasi) antara dua variabel. Bila confident
level (CI) yang digunakan adalah 95%, maka probabilitas p-value yang didapat
lebih besar dari 0.05 maka H0 diterima dan jika probabilitas yang didapat kurang
dari 0.05 maka H0 ditolak. Hipotesis dalam penelitian ini adalah hubungan
(korelasi) antara penggunaan insektisida rumah tangga (jumlah pengguna,
frekuensi penggunaan dan lama penggunaan insektisida) dengan angka kematian
Ae. aegypti akibat sipermetrin.

12

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kota Banda Aceh salah satu daerah otonom di Provinsi Aceh, secara
geografis terletak antara 5016’15” - 5036’16” LU (NL) dan 95016’15” – 95022’35”
BT (EL) dengan ketinggian 0.80 meter diatas permukaan laut. Kota Banda Aceh
memiliki batas-batas daerah, sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka,
sebelah selatan dan timur berbatasan dengan Kabupaten Aceh Besar dan sebelah
barat berbatasan dengan Samudera Indonesia. Kota Banda Aceh memiliki 9
kecamatan dengan jumlah desa (gampong) 90 desa dengan luas wilayah 61.36
km2 (Gambar 1).
Keadaan klimatologi dengan rata-rata suhu udara 27 0C per bulan dan ratarata kelembaban nisbi 80.7% per bulan, kecepatan angin 5.1 knot per bulan, curah
hujan 135.3 mm per bulan dengan puncak curah hujan pada bulan Desember
dengan jumlah hari hujan 20 hari serta rata-rata penyinaran matahari 49.4% per
bulan tertinggi pada bulan Maret 64.2%. Penduduk tahun 2013 berjumlah 249 282
jiwa dengan rata-rata kepadatan 4 063 jiwa per km2 mengalami peningkatan dari
tahun sebelumnya. Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin tahun 2013
penduduk laki-laki 128 333 jiwa dan penduduk perempuan 120 949 jiwa dengan
perbandingan jumlah penduduk laki-laki dan perempuan 106.11 jiwa. Pelayanan
kesehatan masyarakat terdapat 11 puskesmas. Tahun 2013 kasus penyakit menular
seperti diare 6301 kasus, demam berdarah dengue (DBD) 258 kasus dan malaria 1
kasus (Bappeda Kota Banda Aceh 2014).

Gambar 1 Peta adminitrasi pemerintahan Kota Banda Aceh Provinsi Aceh,
Indonesia

13
Angka Indeks Ovitrap
Hasil pemasangan seluruh ovitrap di dalam rumah diperoleh telur Ae.
aegypti berjumlah 897 butir. Ovitrap positif mengandung telur terbanyak adalah 8
(40%) masing-masing ditemukan di Desa Punge Blang Cut dan Lampaseh Kota.
Selain itu paling sedikit ditemukan ovitrap yang mengandung telur yaitu di Desa
Ateuk Pahlawan dan Kampung Keramat masing-masing berjumlah 2 (10%)
(Tabel 1).
Sembilan dari 18 desa yang dipasangi ovitrap di Kota Banda Aceh memiliki
nilai indeks ovitrap (IO) rendah, 38.89% memiliki nilai IO sedang dan
11.11% memiliki nilai IO tinggi. Ho et al. (2005) melaporkan bahwa
indeks ovitrap tidak memberikan estimasi kepadatan populasi Ae. aegypti tetapi
dapat memberikan informasi perubahan relatif pada populasi nyamuk betina.
Karena IO lebih menggambarkan tingkat oviposisi dari Ae. aegypti yang gravid
(penuh telur).
Lokasi penelitian merupakan daerah endemis DBD dan pemukiman padat
penduduk dengan jarak antar rumah sangat berdekatan, sehingga nyamuk dapat
berpindah dari satu rumah ke rumah lainnya, untuk menghisap darah dan
tersedia tempat perindukan. Mohiddin et al. (2015) melaporkan di Malaysia larva
Ae. aegypti lebih banyak ditemukan di dalam rumah (72.37%). Harrington et al.
(2005) melaporkan di Thailand dan Puerto Rico bahwa tempat tinggal
perkotaan dengan penduduk yang padat dan terdapatnya tempat-tempat
potensial sebagai breeding place untuk perkembangbiakan nyamuk sehingga
memungkinkan nyamuk terkosentrasi pada lokasi tersebut.
Tabel 1 Indek ovitrap dan jumlah telur Ae. aegypty yang terdapat pada ovitrap di
Kota Banda Aceh, 2015
Ovitrap
No

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18

Desa
Punge Blang Cut
Lampaseh Kota
Punge Jurong
Kopelma Darussalam

Lhong Raya
Panteriek
Doy
Lam Ara
Batoh
Lamteumen Timur
Blang Oi
Jeulingke
Lambhuk
Peulanggahan
Sukaramai
Bandar Baru
Ateuk Pahlawan
Kampung Keramat
Total

Terpasang

Positif

Jumlah
telur

20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
360

8
8
7
5
5
5
4
4
4
3
3
3
3
3
3
3
2
2
75

174
163
91
83
37
41
59
27
21
23
18
33
13
23
25
37
16
13
897

Rata-rata
telur
21.75
20.37
13.00
16.60
7.40
8.20
14.75
6.75
6.75
7.67
6.00
11.00
4.33
7.67
8.33
12.33
8.00
6.50
11.96

Indeks
ovitrap

Kriteria

(IO)
40.00
40.00
35.00
25.00
25.00
25.00
20.00
20.00
20.00
15.00
15.00
15.00
15.00
15.00
15.00
15.00
10.00
10.00
20.833

Tinggi
Tinggi
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
Sedang

* Kriteria indek ovitrap (IO) : sangat rendah = IO < 5%, rendah = 5% < IO < 20%, sedang = 20% < IO <
40% dan tinggi = IO > 40% (FEDH 2006)

14
Endemisitas DBD tidak terlepas dari keberadaan Ae. aegypti sebagai vektor
penular. Kepadatan larva Ae. aegypti meningkat pada saat menjelang dan akhir
musim penghujan, berhubungan erat dengan keberadaan kontainer di sekitar
rumah. Nilai IO dengan kategori rendah, karena pelaksanaan penelitian dilakukan
pada musim kemarau dimana puncak musim hujan pada lokasi penelitian terjadi
pada bulan Desember. Mohiddin et al. (2015) melaporkan terdapat korelasi positif
antara indeks ovitrap dengan curah hujan dan kelembapan namun berkolerasi
negatif dengan suhu (temperatur).
Status Kerentanan Ae des aegypti Terhadap Malation
Hasil pengujian 18 isolat Ae. aegypti, 13 isolat telah resisten dan 5 isolat
berstatus toleran terhadap insektisida malation (Tabel 2). Isolat Ae. aegypti yang
berstatus resisten persentase kematian paling tinggi berasal dari isolat Punge
Blang Cut sebesar 78.67% dan persentase kematian terendah dari isolat Kampung
Keramat sebesar 41.33%. Sementara isolat Ae. aegypti yang berstatus toleran,
persentase kematian paling tinggi sebesar 90.67% berasal dari isolat Lampaseh
Kota dan terendah (80%) dari isolat Lamteumen Timur.
Status kerentanan isolat Ae. aegypti dapat juga dilihat dari nilai lethal time
(LT). Nilai LT yang tinggi mengindikasi bahwa nyamuk tersebut sudah resisten
(Astari dan Ahmad 2005). Nilai LT tinggi berarti waktu yang dibutuhkan untuk
membunuh nyamuk uji semakin lama, nyamuk tidak segera mati akibat paparan
insektisida atau sudah resisten. Pada penelitian ini dengan menggunakan malation
0.8% untuk dapat membunuh 95% populasi Ae. aegypti membutuhkan waktu
Tabel 2 Status kerentanan Ae. aegypti terhadap malation di Kota Banda Aceh,
2015.
No
1
2
3
4
5