Status kerentanan nyamuk Aedes aegypti terhadap insektisida malation di Kota Surabaya

(1)

STATUS KERENTANAN NYAMUK Aedes aegypti

TERHADAP INSEKTISIDA MALATION

DI KOTA SURABAYA

AGUSTINUS. H.B

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PERNYATAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Status kerentanan nyamuk Aedes aegypti terhadap insektisida malation di Kota Surabaya adalah benar-benar karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan dalam bentuk apapun. Semua informasi yang berasal dari karya ilmiah yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan oleh penulis lain telah disebut dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

Bogor, Mei 2010

Agustinus. H.B B252070011


(3)

ABSTRACT

AGUSTINUS H.B. Aedes aegypti mosquito’s resistance state to malathion insecticide in Surabaya, West Java Province. Supervised by F.X. Koesharto and Susi Soviana.

Dengue haemorragic fever is a relatively common problem in Indonesia, with high mortality and morbidity cases. Control of A. aegypti using insecticide as fogging is the best and fast method. The aim of the research is to identify the susceptibility of A. aegypti againt malathion. The study started from July until December 2009. The research using the WHO “Susceptibility tes methods” in 5, 15, 30, 45, and 60 minutes contact time with three replications. The A. aegypti

mosquitoes were come from some areas which categorized as high to low case area. The regression curve in mortality of field mosquitoes from high to low case indicated that the curves tended to move to the right side. Even, the result of RR95 count of A. aegypti from high case area showed less than ten times (RR95 =5,576), but these mosquito’s mortality rate were 85%, which mean the population are being tolerant againts of malathion.

Keyword : kerentanan, A. aegypti , malathion, Kota Surabaya.

.


(4)

RINGKASAN

AGUSTINUS. H.B. Status kerentanan nyamuk A. aegypti terhadap insektisida malation di Kota Surabaya.

Dibimbing oleh F.X. Koesharto dan Susi Soviana.

Penyakit Demam Berdarah Dengue telah lama menjadi masalah kesehatan di beberapa negara Asia khususnya di Indonesia dengan angka kesakitan dan kematian tetap tinggi setiap tahun terutama pada golongan anak-anak.

Pada tahun 1968 sejak ditemukan kasus demam berdarah di Jakarta dan Surabaya, sebanyak 58 orang menderita dan meninggal 24 orang (CFR 41,3%). Sampai sekarang penyakit ini telah menyebar di seluruh provinsi di Indonesia dengan jumlah kasus pada tahun 2005 mencapai 95,279 kasus, tahun 2006 kasus 114,656 dan tahun 2007 mencapai 123,828 kasus (Dep.Kes. RI. 2008). Keadaan ini erat kaitannya dengan peningkatan mobilitas penduduk sejalan dengan semakin lancarnya hubungan transportasi.

Kota Surabaya yang terdiri atas 31 kecamatan dengan 163 kelurahan adalah merupakan satu kota di Indonesia dengan jumlah penduduk padat, permukiman padat serta mobilitas yang tinggi, sejak tahun 2005 sampai dengan 2008 jumlah kasus demam berdarahdan angka kematian secara berturut-turut sebesar 2568 kasus, kematian 33 orang (CFR 1,28%), 4187 kasus dengan kematian 22 orang (CFR 0,52%), 214 kasus dengan kematian 25 orang (CFR 0,78%) dan 2169 kasus dengan kematian 10 orang (CFR 0,51%).

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi status kerentanan nyamuk

Aedes aegypti terhadap insektisida malation di Kota Surabaya. Hasil penelitian ini

diharapkan dapat memberikan informasi dasar dalam hal penanggulangan penyakit demam berdarah dengue dengan pengasapan (fogging) yang lebih efektif dan efisien.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Desember 2009. Pengumpulan larva nyamuk pada tempat penampungan air dalam beberapa sampel rumah di daerah dengan endemisitas rendah, sedang dan tinggi, selanjutnya larva di indentifikasi dan di kirim ke Insektarium PEK-IPB. Di tempat ini, larva dipelihara

(rearing) sampai diperoleh nyamuk dewasa generasi F3. Nyamuk generasi F3 ini g

dilakukan uji toleransi dengan standar WHO dengan waktu kontak 5, 15, 30, 45 dan 60 menit dengan tiga ulangan, setiap perlakuan menggunakan impregnated

paper malation 5%. Sebagai pembanding digunakan nyamuk dewasa A. aegypti

generasi F74 Strain Liverpool yang ada di Insektarium PEK-IPB. Analisis data menggunakan regresi Anova dan Analisa probit serta Uji Duncan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase kematian nyamuk Aedes

aegypti pada kasus tinggi diperoleh persamaan regresi (Y)= - 6,870 + 1,404 (x)

dengan nilai R2 = 78,3%, pada kasus sedang (Y) =3,80 + 1,920 (x) dengan nilai R2 = 78,2%, pada kasus rendah (Y) = 30,05 +1,439 (x) dengan nilai R2 = 69,3%, pada taraf kepercayaan 95%, lama kontak berpengaruh nyata terhadap kematian nyamuk. Hasil analisis probit diperoleh waktu kematian 50% (LT50) nyamuk pada kasus tinggi 37,242, kasus sedang 18,812 dan kasus rendah 10,868. Sedangkan nilai RR95 pada kasus tinggi, sedang dan rendah berturut-turut adalah 5,576, 1,373 dan 1,205, dapat disimpulkan bahwa pada ketiga lokasi tersebut dengan nilai RR95


(5)

<10 belum terindikasi resisten, tetapi sudah mengarah ke toleran (pada kasus tinggi) dengan persentase kematian 85%.

Pelaksanaan fogging harus sesuai dengan tata laksana yang telah ditetapkan, (siklus pengasapan I dan II) sehingga efektifitas dan efisiensi insektisida malation seperti yang diharapkan, serta perlu rotasi insektisida yang dipergunakan.


(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dialrang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(7)

STATUS KERENTANAN NYAMUK Aedes aegypti

TERHADAP INSEKTISIDA MALATION

DI KOTA SURABAYA

AGUSTINUS. H.B

Tesis

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

SEKOLAH PASCASARJA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(8)

PENGUJI LUAR KOMISI PADA UJIAN TESIS


(9)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Tesis : Status kerentanan nyamuk Aedes aegypti terhadap insektisida malation di Kota Surabaya

N a m a : Agustinus. H.B NRP : B 252070011

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. drh. F.X. Koesharto, M.Sc Dr. drh. Susi Soviana, M.Si

Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Parasitologi dan Entomologi

Kesehatan

Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, M.S Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S


(10)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Kupersembahkan kepada Ytc.

1. Kakak Agus Tulung T [Kapt. Inf. AD] (Alm) Agustus 2007

2. Ibunda Tercinta Agustina D (Alm) September 2009

1 Korintus 13: 1-13

Sekalipun aku dapat berkata-kata

Dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, Tetapi jika aku tidak mempunyai KASIH,

Aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing Sekalipun aku mempunyai KARUNIA untuk bernubuat dan aku mengetahui segala

rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan.

Dan sekalipun aku memiliki IMAN yang sempurna untuk memindahkan gunung, Tetapi jika aku tidak mempunyai KASIH aku sama sekali tidak berguna. Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku...

Bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar

Tetapi jika aku tidak mempunyai KASIH sedikitpun tidak ada faedahnya. Kasih ituSABAR, kasih itu MURAH HATI

Ia tidak CEMBURU, ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong Ia tidak melakukan yang tidak SOPAN

Dan tidak mencari keuntungan diri sendiri

Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain Ia tidak bersuka cita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran

Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu Mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu Kasih tidak berkesudahan, nubuat akan berakhir, bahasa roh akan berhenti Pengetahuan akan lenyap sebab pengetahuan kita tidak lengkap dan nubuat kita

tidak sempurna, Tetapi jika yang sempurna tiba, maka yang tidak sempurna itu akan lenyap

Ketika aku kanak-kanak, aku berkata-kata seperti kanak-kanak, aku merasa seperti kanak-kanak, aku berpikir seperti kanak-kanak,

Sekarang sesudah aku menjadi dewasa, aku meninggalkan sifat kanak-kanak itu Karena sekarang kita melihat dalam cermin suatu gambaran yang samar-samar,

Tetapi nanti kita akan melihat muka dengan muka.

Sekarang aku hanya mengenal dengan tidak sempurna, tetapi nanti aku akan mengenal dengan sempurna, seperti aku sendiri dikenal

Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu IMAN, PNGHARAPAN dan KASIH dan yang paling besar diantaranya ialah KASIH


(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2009 hingga desember 2009 ini adalah Status kerentanan nyamuk Aedes aegypti terhadap insektisida malation di Kota Surabaya.

Dalam menyelesaikan tesis ini tidak lepas dorongan, bantuan dan bimbingan dari semua pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak. Dr. drh. F.X. Koesharto, M.Sc, selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu Dr. drh. Susi Soviana, M.Si, selaku anggota komisi pembimbing. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. drh. Singgih H. Sigit, M.Sc, Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, MS (Ketua Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan), Dr. drh. Ahmad Arif Amin, MS serta Dr. drh. D. J. Gunandini, M.Si yang telah banyak memberi saran dan bimbingan, serta seluruh staf pengajar dan laboratorium di lingkungan Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan yang telah banyak memberikan bantuan dan bimbingan selama menyelesaikan studi.

Penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak. H. Moh. Muchson, M.Sc selaku Direktur Politeknik Kesehatan Surabaya yang telah memberikan kesempatan untuk melanjutkan studi ke S2 juga kepada Ibu Hj. Siti Sundari, SE, M. Kes selaku Pembantu Direktur II yang berhubungan dengan dana mahasiswa tugas belajar. Ucapan terima kasih kepada Menteri Kesehatan RI melalui Pusat Perencanaan dan Pendayagunaan SDM Kesehatan yang memberikan beasiswa, Drs. Winarno, M.Si selaku Kasubdit P2B2 beserta staf yang banyak membantu memberikan bimbingan selama pendidikan. Ucapan terima kasih kepada staf Puskesmas di Kota Surabaya sebagai lokasi penelitian serta teman-teman di program studi PEK angkatan 2007 ( Bpk. Gondo Suprapto dari Papua, Bpk. Ali Wardana dari Lombok, Yahya dari Palembang, Ibu Ety dari Kupang, Bpk Mulyadi dari Buton dan Mas Irwan Sulistio dari Surabaya).

Doa penulis panjatkan untuk Ibunda dan kakak tercinta Agustina Dadu (alm), Kapten Inf. Agus Tulung Tolanda (alm), terima kasih yang tulus disampaikan kepada Ayahanda serta saudara-saudara tercinta (Andreas . B. Bu’tu, Mama Anto, Mama Linda, Mama Lia sekeluarga dan adikku Paulus P.B) serta semua keponakan Yanto, Tika, Serly, Linda, Irvin, Lia dan Eko yang banyak memberikan dukungan dalam doa. Terima kasih kepada Bapak Winarko, SKM, M.Kes selaku Ketua Program Studi beserta staf di Program Studi Kesehatan Lingkungan Surabaya serta semua sahabat-sahabatku berkat doanya penulis dapat berhasil dan sukses. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, namun diharapkan informasi yang telah dimuat dalam tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, Mei 2010 Penulis


(12)

RIWAYAT HIDUP

 

Penulis dilahirkan di Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 17 Agustus 1968 dari pasangan orang tua bernama Andreas B. Bu’tu dan Agustina Dadu (Alm). Penulis merupakan putra keempat dari lima bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas pada tahun 1987 dari SMA Negeri 6 Ujungpandang. Pada tahun 1987 diterima sebagai Mahasiswa Diploma Satu (D I) Sekolah Pembantu Penilik Hygiene (SPPH) Depkes RI di Makassar dan menamatkan pada tahun 1998.

Tahun 1991 penulis diangkat sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Pusat oleh Depkes RI dan ditempatkan di Puskesmas Kabupaten Raha-Muna Provinsi Sulawesi Tenggara. Pada tahun 1995 penulis mendapatkan beasiswa dari Depkes RI untuk melanjutkan pendidikan pada Diploma III [Akademi Kesehatan Lingkungan (AKL)] di Surabaya dan menamatkannya pada tahun 1997.

Pada tahun 2000 penulis mutasi kerja ke Provinsi Jawa Timur pada Institusi pendidikan Akademi Kesehatan Lingkungan Surabaya. Tahun 2001 melanjutkan pendidikan Strata Satu (S1) di Universitas PGRI Adibuana Surabaya sebagai ijin belajar dengan peminatan Biologi pada Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) dan memperoleh gelar Sarjana Sains tahun 2003.

Tahun 2007 penulis mendapat kesempatan studi kejenjang Strata Dua (S2) di Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan Sekolah Pascasarjana IPB dan mendapat beasiswa dari Pusat Perencanaan dan Pendayagunaan SDM Kesehatan Depkes RI melalui Politeknik Kesehatan Surabaya Depkes RI.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... xii

DAFTAR GAMBAR... xiii

DAFTAR LAMPIRAN... xiv

1. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Tujuan Penelitian... 3

1.3. Manfaat Penelitian... 4

1.4. Hipotesis... 4

1.5. Analisis Data... 4

2. TINJAUAN PUSTAKA... 5

2.1. Masalah Resistensi... 5

2.2. Faktor yang Mempengaruhi Kerentanan... 6

2.3. Mekanisme Resistensi... 7

2.4. Penyakit Demam Berdarah... 12

2.5. Biologi Aedes aegypti... 14

2.6. Peranan Aedes aegypti sebagai Vektor Penyakit... 20

2.7. Toksikologi Insektisida... 20

3. BAHAN DAN METODE... 26

3.1. Lokasi Pengambilan Sampel... 26

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian... 26

3.3. Alat dan Bahan Penelitian... 26

3.4. Metode Penelitian... 26

4. HASIL DAN PEMBAHASAN... 30

5. SIMPULAN DAN SARAN... 43

5.1. Simpulan... 43

5.2. Saran... 43

DAFTAR PUSTAKA... 44


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Insiden dan Case Fatality Rate demam berdarah di Kota Surabaya Tahun

2005-2008……….……….. 15

2 Empat kriteria toksisitas malation berdasarkan nilai LD50... 25 3 Persentase kematian nyamuk A. aegypti pada lokasi kasus tinggi terhadap

malation 5% ... 30 4 Frekuensi fogging dan jumlah malation pada lokasi kasus tinggi di Kec.

Sawahan dan Tambaksari……….... 31 5 Persentase kematian nyamuk A. aegypti pada lokasi kasus sedang

terhadap malation 5% ... 32 6 Frekuensi fogging dan jumlah malation pada lokasi kasus sedang di Kec.

Wiyung dan Wonocolo... 33 7 Persentase Kematian nyamuk A. aegypti pada lokasi kasus rendah

terhadap malation 5%... 34 8 Frekuensi fogging dan jumlah malation pada lokasi kasus rendah di Kec.

Bulak dan Pakal... 35 9 Persentase Kematian nyamuk A. aegypti pada strain Liverpool terhadap

malation 5% ... 36 10 Pengukuran LT50,LT95 dan RR50, RR95 nyamuk A. aegypti terhadap

malation 5%... 38 11 Persentase kematian nyamuk A. aegypti, pada lama kontak di lokasi kasus

tinggi, kasus sedang, kasus rendah dan strain Liverpool terhadap malation 5%... 39


(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Siklus hidup nyamuk A. aegypti ... 14

2 Ciri-ciri diagnostik untuk membedakan beberapa jenis nyamuk Aedes yang penting di bidang kesehatan... 17

3 Reaksi enzim asetilkolinestaerase (A) dalam keadaan normal (B) Terinhibisi oleh senyawa organofosfat... 24

4 Rumus bangun malation... 24

5 Garis regresi kematian nyamuk A. aegypt pada kasus tinggi... 31

6 Garis regresi kematian nyamuk A. aegypti pada kasus sedang ... 33

7 Garis regresi kematian nyamuk A. aegypti pada kasus rendah ... 34

8 Garis regresi kematian nyamuk A. aegypti pada strain Liverpool... 36

9 Garis regresi kematian nyamuk A. aegypti pada lokasi (tinggi, sedang, rendah) dan strain Liverpool ... 37


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Jumlah penduduk dan luas wilayah Kota Surabaya tahun 2008... 50

2 Jumlah kasus DBD per kelurahan Kota Surabaya tahun 2005-2008... 51

3 Peta Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Surabaya………. 56

4 Gambar Lokasi Penelitian di Kota Surabaya... 57

5 Alat Susceptibility tes kit ... 58

6 Pelaksanaan uji kerentanan nyamuk A. aegypti (A) nyamuk dimasukkan dalam tabung penyimpanan (holding tube), (B) nyamuk dalam tabung penyimpanan, (C) nyamuk ditiup pelan-pelan ke tabung kontak (exposure tube), (D) menghitung waktu kontak, (E) Tabung kontak (exposure tube) bertanda merah, (F) Memindahkan nyamuk ke tabung penyimpanan setelah dikontakkan... 59

7 Regression Analysis kematian pada kasus tinggi vs lama kontak (x)... 61

8 Regression Analysis kematian pada kasus sedang vs lama kontak (x)... 63

9 Regression Analysis kematian pada kasus rendah vs lama kontak (x)... 65

10 Regression Analysis kematian pada strain Liverpool vs lama kontak (x) .. 67

11 Persentase kematian nyamuk pada Lokasi Tinggi, Sedang, Rendah dan Strain Liverpool terhadap malation 5%... 69

12 Uji Beda Nyata Duncan Persentase kematian nyamuk pada lama kontak 5 menit... 70

13 Uji Beda Nyata Duncan dengan Persentase kematian nyamuk pada lama kontak 15 menit ... 72

14 Uji Beda Nyata Duncan dengan Persentase kematian nyamuk pada lama kontak 30 menit ... 73

15 Uji Beda Nyata Duncan dengan Persentase kematian nyamuk pada lama kontak 45 menit ... 74

16 Uji Beda Nyata Duncan dengan Persentase kematian nyamuk pada lama kontak 60 menit ... 75

17 Probit Analysis Program Used for Calculating LT/EC Values Version 1.5... 76


(17)

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit deman berdarah Dengue (DBD) hingga saat ini merupakan masalah

kesehatan masyarakat Indonesia dengan angka kesakitan dan angka kematian tinggi.

Pertama kali mewabah tahun 1635 di French West Indies (Kepulauan Karibia),

tercatat pada tahun 1897 di Australia, kemudian tahun 1928 di Italia serta tahun 1931 di Taiwan. Kejadian luar biasa (KLB) pertama kali dikonfirmasi di Filipina tahun 1953-1954. Sejak saat itu penyakit tersebut mewabah dan disertai tingkat kematian tinggi yang melanda beberapa negara Asia Tenggara termasuk di Indonesia, selama 20 tahun terjadi peningkatan kasus dan penyebaran yang luar biasa, hingga KLB setiap tahunnya (Dep.Kes RI, 2004).

Kasus DBD untuk pertama kali di Indonesia diketahui abad 18 oleh David Bylon, dokter kebangsaan Belanda, di kenal dengan penyakit demam lima hari

(vijfdaagse koorts) atau demam sendi (knokkel koorts) kemudian setelah lima hari

penyakitnya menghilang, tidak pernah ada laporan yang menyatakan bahwa penyakit tersebut menimbulkan kematian, tetapi sejak tahun 1952, infestasi virus dengue menimbulkan gejala dengan manifestasi berat. Wabah demam berdarah dilaporkan pertama kali tahun 1968 di Jakarta dan Surabaya dengan 58 penderita dan 24 diantaranya meninggal (CFR=41%). Konfirmasi virologis baru di dapat tahun 1972, sejak saat itu DBD mewabah ke daerah-daerah lain sampai tahun 1980, demam berdarah telah dilaporkan di 26 provinsi dari 27 provinsi di Indonesia (Dep.Kes RI. 2004).

Proporsi kasus DBD pergolongan umur di Indonesia tahun 1993-1998 tertinggi pada usia sekolah (5-14 th), sedangkan pada tahun 1999-2000 kasus DBD bergeser ke usia diatas 14 tahun baik di perkotaan maupun pedesaan, kasus terjadi

tidak lagi di bulan-bulan tertentu namun terjadi sepanjang tahun ( Kusriastuti et al.

2005)

Penelitian untuk mencegah dan memberantas penyakit Demam Berdarah

Dengue telah banyak dilakukan, seperti cara diagnosis yang cepat, tepat dan efektif,


(18)

memuaskan. Alternatif yang paling membawa harapan adalah mengendalikan kepadatan populasi vektor sampai dibawah ambang batas.

Pengendalian nyamuk vektor telah banyak dilakukan dengan berbagai cara antara lain dengan pengendalian menggunakan bahan-bahan kimia yaitu menggunakan insektisida kimia yang sesuai baik untuk larva maupun nyamuk dewasa, pengendalian genetik yaitu dengan teknik jantan mandul, pengendalian mekanik yaitu memanipulasi/modifikasi lingkungan dengan mengendalikan tempat – tempat perindukan yang disukai oleh nyamuk atau menghalangi kontak vektor dengan manusia, selain itu pula dikenal pengendalian hayati yaitu menggunakan makhluk hidup baik mikroorganisme, hewan invertebrata atau hewan vertebrata sebagai pemangsa larva atau nyamuk dewasa.

Pengendalian kimia dengan menggunakan insektisida banyak dipakai oleh masyarakat karena dapat menurunkan populasi nyamuk dengan cepat dan penggunaannya yang praktis, tetapi penggunaan insektisida terbukti banyak menimbulkan dampak negatif, antara lain matinya organisme bukan sasaran, adanya residu sehingga terjadi pencemaran lingkungan serta munculnya nyamuk yang resisten (Tarumingkeng, 1992).

Pemerintah sedang mengupayakan berbagai strategi dalam mengatasi kasus ini, diantaranya adalah menggunakan larvasida yang merupakan cara efektif yaitu dengan membunuh larva untuk memutuskan siklus hidup nyamuk. Dalam larvasida

yang mengandung bahan kimia temephos bila digunakan secara terus – menerus

sangat mungkin terjadi toleransi larva nyamuk.

Pada tahun 2005 Indonesia pernah mengalami kasus terbesar (53%) DBD di Asia Tenggara yaitu 95,270 kasus dan kematian 1,298 orang (CFR = 1,36 %) (WHO, 2006). Jumlah kasus tersebut meningkat menjadi 17% dan kematian 36% dibanding tahun 2004. Banyak faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit

demam berdarah dengue. Beberapa di antaranya adalah faktor inang (host),

lingkungan (environment) dan faktor penular (vector) serta patogen (virus).

Di Kota Surabaya pada tahun 2005-2008, angka kesakitan dan angka kematian penyakit demam berdarah secara berurutan adalah 2568 kasus, kematian 33 orang (CFR= 1,28%), 4187 kasus, kematian 22 orang (CFR= 0,52%), 3214 kasus, kematian 25 orang (CFR= 0,78%) dan 2169 kasus, kematian 10 orang (CFR=


(19)

0,51%). Angka kesakitan dan kematian tersebar di 31 kecamatan dengan 163 kelurahan. Wilayah endemis DBD sebanyak 154 kelurahan, 9 kelurahan sporadis sedangkan kelurahan yang potensial belum ada (DinKes Kota Surabaya, 2009). Pengambilan sampling berdasarkan endemisitas kasus DBD yakni kasus tinggi, sedang dan rendah. Jumlah kasus DBD rata-rata sebesar ≥ 100 kasus/tahun tersebar pada 12 kecamatan, jumlah kasus rata-rata 50-99 kasus/tahun tersebar pada 16

kecamatan dan jumlah kasus rata-rata ≤ 49 kasus/tahun tersebar di 3 kecamatan.

Berdasarkan tingginya jumlah kasus demam berdarah dan penyebaran yang tidak merata disebabkan oleh permukiman yang begitu padat dan mobilitas yang cukup tinggi antar kota serta arus urbanisasi yang tidak terkontrol, maka untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian penyakit demam berdarah, dilakukan

upaya pengendalian vektor nyamuk dengan pengasapan (fogging) focus

menggunakan malation. Penggunaan malation secara terus menerus memungkinkan

terjadinya galur Aedes aegypti yang resisten terhadap malation.

Resistensi serangga terhadap insektisida telah lama terjadi di beberapa penjuru dunia, sehingga banyak insektisida yang akhirnya tidak dapat digunakan lagi. Adanya resistensi merupakan satu hambatan utama dalam pengendalian vektor secara kimia dengan insektisida.

Hambatan ini sangat mengganggu keberhasilan usaha yang dilakukan,

sehingga perlu dilakukan pelacakan terhadap timbulnya galur A. aegypti yang

resisten terhadap malation. Penggunaan malation di Kota Surabaya sudah cukup lama yakni ± 20 tahun, evaluasi terhadap efektivitas malation belum pernah dilakukan serta uji toleransi terhadap insektisida jarang dilakukan oleh Dinas

Kesehatan. Untuk itu perlu dilakukan uji status kerentanan nyamuk A. aegypti

terhadap insektisida malation untuk mengetahui.

Untuk mengetahui status kerentanan suatu serangga terhadap insektisida

dilakukan uji Susceptibility yang mengikuti standar WHO demikian pula halnya

untuk mengetahui status toleransi nyamuk A. aegypti terhadap insektisida di Kota

Surabaya dilakukan uji tersebut.

1.2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi status kerentanan nyamuk A.


(20)

1.3. Manfaat Penelitian.

Sebagai masukan kepada instansi setempat dalam upaya pengendalian

populasi nyamuk A. aegypti dalam kaitannya pemberantasan penyakit demam

berdarah dengan menggunakan insektisida.

1.4. Hipotesis.

Ada pengaruh pemakaian insektisida tunggal terhadap status kerentanan

nyamuk A. aegypti di Kota Surabaya.

1.5. Analisis Data.

Data yang diperoleh dari penelitian di olah menurut analisis regresi Anova dan analisis probit kemudian dilanjutkan menggunakan uji beda nyata Duncan yang dilengkapi dengan gambar maupun tabel.


(21)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Masalah Resistensi

Populasi suatu serangga yang dikendalikan, pada mulanya rentan terhadap insektisida yang digunakan untuk memberantasnya. Pada beberapa generasi, keampuhan dari insektisida itu semakin menurun sebab serangganya semakin toleran terhadap insektisida dan akhirnya tidak berdayaguna lagi sebab serangga yang diberantas sudah menjadi resisten terhadap insektisida yang digunakan (Brown dan Pal, 1971).

Menurut Darwin (dalam Villee, 1957; Bishop, 1982) di alam terjadi seleksi alamiah terhadap makhluk hidup, yang dapat meningkatkan daya penyesuaian populasi terhadap lingkungannya. Hal ini mungkin terjadi bila faktor-faktor yang menentukan daya penyesuaian itu mempunyai keragaman. Darwin mengatakan bahwa faktor-faktor itu juga diwariskan kepada keturunannya. Mendel (dalam Villee, 1957) menyatakan bahwa hanya karakter yang diatur oleh gen yang dapat diwariskan. Fisher (dalam Bishop, 1982) menyatakan bahwa laju pertambahan daya penyesuaian sebanding dengan keragaman genetik yang mengatur daya penyesuaian itu.

Toleransi suatu spesies serangga terhadap insektisida sangat beragam, dapat terbukti dengan terjadinya berbagai presentasi kematian bila beberapa kelompok serangga dari spesies yang sama, dipaparkan dengan berbagai dosis atau konsentrasi insektisida. Toleransi itu berkisar antara 0 dan 100% yang merupakan distribusi kumulatif normal yang disebut sebaran toleransi sedangkan Macnair (1981)

menyebut differential susceptibility. Wood (1981) telah mengumpulkan fakta-fakta

yang menunjukkan bahwa toleransi diatur oleh gen R. Misalnya resistensi terhadap

DDT pada A. aegypti diatur oleh gen RDDT1 dan gen RDDT2 . Resistensi terhadap

dieldrin diatur oleh gen Rdl , terhadap pyretroid oleh gen Rpy dan terhadap

HCH/cyclodien diatur oleh gen y. Gen-gen RDDT1 , y dan Rdl terdapat pada

kromosom II sedangkan gen-gen RDDT2 dan Rpy terdapat pada kromosom III. Alel

lainnya dari gen R adalah gen (+). Oleh karena kromosom berpasangan maka gen juga berpasangan, sehingga dari gen R dan (+) diperoleh tiga kombinasi genotip


(22)

yaitu RR, R(+) dan (+)(+), yang paling toleran adalah RR sedangkan yang paling

rentan adalah (+)(+). Fenotip dari R(+) tergantung kepada kombinasi dominasi gen

R. Bila gen R dominan maka fenotip dari R(+) menyerupai RR, bila gen R resesif

maka fenotip dari R(+) menyerupai (+)(+) dan bila gen intermediate maka fenotip

dari R(+) beragam diantara RR dan (+)(+). Oleh karena toleransi terhadap pestisida

beragam dan diatur oleh gen maka toleransi ini akan mengalami seleksi bila kontak dengan pestisida sehingga menjadi lebih toleran untuk kemudian menjadi resistensi.

Teori Darwin (dalam Villee, 1957) menyatakan bahwa seleksi alam menyebabkan punahnya individu-individu yang daya penyesuainnya lemah, sedangkan yang daya penyesuainnya baik akan terus mempertahankan eksistensi populasinya. Seperti halnya dengan gen (+) yang (+) akan punah sedangkan gen RR

akan mampu hidup bila kontak dengan insektisida. Untuk gen R(+) keadaannya

tergantung kepada dominasi gen R, bila gen R dominan maka R(+) akan terus hidup

bersama-sama RR, sedang bila gen R resesif maka R(+) akan punah bersama-sama

(+)(+). Bila gen R bersifat intermediate maka nasib R(+) tergantung pada dosis yang

digunakan. Culex pipiens pipiens mempunyai gen R dominan, Anopheles sp

mempunyai gen R resesif sedangkan A. aegypti mempunyai gen R yang

intermediate (Wood dan Mani, 1981; Wood, 1981).

2.2. Faktor yang mempengaruhi kerentanan

Faktor – faktor seperti suhu, kelembaban nisbi, umur, jenis kelamin, dan berat

badan dapat mempengaruhi kerentanan serangga terhadap insektisida (Bainbridge et

al. 1982)

Ogushi et al. (1968) meneliti pengaruh suhu atas kerentanan larva Culex

pipiens terhadap beberapa insektisida. Uji kerentanan terhadap dieldrin dan DDT

menunjukkan peningkatan konsentrasi letalitas 50% (KL50) bila suhu semakin

tinggi. Sebaliknya bila menggunakan fenthion, fenitrothion, fenchlorphos, diazinon,

malathion, trichlorfon, dichlorvos, naled dan lindane menunjukkan penurunan KL50

dengan meningkatnya suhu.

Faktor lain yang mempengaruhi kerentanan serangga terhadap insektisida

adalah umur. Brown dan Pal (1971) meneliti KL50 larva A. aegypti mulai umur satu

hari sampai umur 8 hari terhadap DDT dan dieldrin dengan waktu kontak 1 dan 24


(23)

ppm sedang bila waktu kontaknya 24 jam maka KL50 terhadap DDT berkisar antara 1,2 pada hari keempat sampai 30 ppm pada hari kedelapan.

Kondisi pemeliharaan ternyata besar pengaruhnya terhadap kerentanan. Bila

kepadatan meningkat dari 200 menjadi 2000 larva pernampan maka KL50 akan

menurun 20 kali yang berarti larvanya semakin rentan (Garm dalam Brown dan Pal,

1971). Bila larva lapar selama 4-6 jam maka KL50nya mengecil menjadi

seperduanya (Jones, 1971).

Penelitian Rosen (1967) menunjukkan bahwa kerentanan larva Culex pipiens

pipiens terhadap DDT dan dieldrin serta gamma HCH di Rangoon (Burma), paling

rendah pada musim kemarau dan paling tinggi pada peralihan musim. KL50

mempunyai keragaman paling tinggi pada musim angin muson (Monsoon).

Toleransi A. taeniorhynchus terhadap beberapa pestisida pada musim semi, 2 – 8

kali toleransinya pada musim panas (Keller dalam Brown dan Pal, 1971).

Bainbrigde et al. (1982) meneliti kerentanan larva dan dewasa nyamuk A.

aegypti dari galur rentan dan resisten terhadap DDT selama 12 jam periode gelap

dan 12 jam periode terang secara bergantian dan bersambung. Galur rentan menunjukkan tiga saat paling rentan yang ditunjukkan oleh angka kematian yang paling tinggi dengan kisaran antara 32% sampai 37%. Galur ini menunjukkan dua saat yang paling toleran dengan kematian 5% dan 7%. Saat yang paling rentan adalah dua jam setelah gelap, empat jam setelah waktu gelap dan saat peralihan periode gelap menjadi terang. Saat paling toleran terjadi pada peralihan periode terang menjadi gelap, dan empat jam sebelum terang. Galur resisten hanya menunjukkan satu saat yang paling rentan yang terjadi pada pertengahan periode terang.

2.3. Mekanisne resistensi

Resistensi serangga terhadap insektisida diartikan sebagai kemampuan peningkatan daya tahan suatu populasi serangga terhadap insektisida yang biasanya mematikan. Pada suatu populasi serangga, individu-individu yang pada dasarnya sudah resisten terhadap suatu insektisida akan menghasilkan keturunan yang resisten (Brown dan Pal, 1971).

Adapun kerugian penggunaan insektisida adalah timbulnya galur-galur serangga sasaran yang resisten terhadap insektisida. Mekanisme resistensi serangga


(24)

terhadap insektisida dapat terjadi melalui perubahan fisiologi dan perubahan tingkah laku (O’Brien, 1967, Brown dan Pal, 1971). Resistensi fisiologi pada serangga memperlihatkan kenyataan yang lebih penting. Hal ini disebabkan karena faktor-faktor 1) daya absorbsi insektisida yang sangat lambat sehingga serangga tidak mati; 2) daya penyimpanan insektisida dalam jaringan yang tidak vital, seperti jaringan lemak sehingga alat-alat vital terhindar dan serangga tidak mati; 3) daya ekskresi insektisida yang cepat sehingga tidak sampai membunuh serangga; 4) daya beberapa enzim yang bersifat meniadakan efek keracunan (detoksifikasi) yang menyebabkan serangga tidak mati seperti dehidroklorinase untuk senyawa DDT (Tarumingkeng, 1992).

Mekanisme resistensi perubahan tingkah laku disebabkan karena faktor-faktor 1) perubahan habitat serangga sehingga terhindar dari pengaruh insektisida dan keturunannya akan mempertahankan habitat yang baru tersebut; 2) meningkatnya kepekaan serangga terhadap insektisida, dengan demikian serangga tersebut dapat menghindarkan diri dari pengaruh insektisida sehingga tidak terbunuh, tanpa mengubah habitatnya.

Lalat rumah yang resisten terhadap DDT mempunyai kutikula yang lebih tebal pada pulvilusnya dari pada galur yang rentan. Kutikula berpengaruh terhadap penetrasi DDT, hal ini diatur oleh gen organotonin-R atau tin (Plapp dan Hoyer, 1968). Ketebalan ini dapat menyebabkan lalat rumah menjadi lebih toleran terhadap pestisida lainnya (Plapp, 1970)

Finney (1964) menyatakan bahwa toleransi suatu spesies serangga terhadap insektisida adalah beragam. Toleransi berkisar antara 0 sampai 100% yang merupakan distribusi komulatif normal yang disebut sebagai sebaran toleransi. Hal ini dapat ditunjukkan bila beberapa kelompok serangga dari spesies yang sama dikontakkan dengan berbagai dosis insektisida yang sama.

Senyawa fosfor organik dan karbamat bekerja sebagai penghalang kolinesterase, suatu enzim yang berfungsi dalam rangsangan syaraf dan bekerja pada sinap kolinergik. Adapun senyawa hidrokarbon berklor bekerja menimbulkan kerusakan pada komponen selubung sel-sel syaraf menyebabkan fungsinya terganggu (Matsumura, 1975). Brown dan Pal (1971) menyatakan bahwa resistensi


(25)

mengandung gen-gen yang tahan terhadap insektisida.

Detoksikasi diatur oleh gen madya (intermediate) yang menghasilkan

resistensi melalui peningkatan kemampuan detoksikasi insektisida (Plapp, 1970). Dehidroklorinase adalah faktor utama pada detoksikasi DDT. Detoksikasi senyawa orgonfosfat (OP) dengan karboksilesterase, fosfotriesterase, asetilkolinesterase

(AChE), glutation dependen transferase dan mixed function oxidase (MFO)

(Georghiou dan Pasteuer, 1978). Dehidroklorinase pada larva A.aegypti galur yang

resisten menghasilkan DDT lebih banyak dibanding dengan yang dihasilkan oleh

galur yang rentan (Abedi et al. 1963). Kimura dan Brown (1964) menyatakan

bahwa dehidroklorinase mempunyai korelasi kuat dengan tingkat resistensi

A.aegypti galur Amerika Tengah, tetapi lemah pada galur Asia, Rathor dan Wood

(1981) menemukan bahwa DDT dihasilkan lebih banyak oleh galur resisten dari pada galur rentan, bukan hanya pada galur Amerika tetapi juga pada galur Asia dan Afrika.

Senyawa OP dan karbamat berfungsi menghambat pekerjaan enzim AChE. Bila serangga mampu menggurangi pengaruh itu melalui seleksi alam, maka serangga tersebut akan menjadi resisten terhadap OP dan Karbamat (Wood, 1981).

Hemingway dan Georghiou (1983) menyimpulkan bahwa pada larva Anopheles

albimanus yang resisten, AChE semakin sukar dihambat dibanding dengan AChE

pada galur yang rentan dan ada korelasi yang kuat antara laju hambat AChE dengan tingkat resistensi serangganya.

Sifat merangsang (iritasi) beberapa insektisida dapat menyebabkan serangga meninggalkan permukaan yang ada lapisan insektisidanya, sebelum memperoleh dosis yang mematikan. Hal ini menyebabkan kontak berulang-ulang untuk

menghasilkan kematian. Sifat ini dikenal pada DDT terutama terhadap Anopheles

sp. (Brown dan Pal, 1971).

Selain itu pula resistensi silang (cross resistance) dapat terjadi bila suatu

spesies serangga resisten terhadap beberapa insektisida dalam satu golongan. Hal ini dapat terjadi karena secara umum daya kerja insektisida di dalam satu kelas adalah sama, misalnya malation dan paration atau fosfor organik yang lain. Suatu spesies

serangga juga dapat mengalami resistensi majemuk (multiple resistance) yaitu


(26)

berbeda (Brown dan Pal, 1971; WHO, 1976).

Faktor-faktor yang mempengaruhi laju perkembangan resistensi adalah 1) faktor genetik; 2) faktor ekologi; 3) faktor fisiologi/biokimia dan 4) frekuensi penggunaan insektisida (Metcalf dan Luckman, 1975; WHO, 1976)

Laju perkembangan resistensi untuk setiap spesies organisme berbeda. Resistensi dapat berkembang sangat cepat pada suatu spesies tapi lebih lambat pada spesies yang lain. Menurut Fisher semakin besar keragaman genetik yang mengatur resistensi, maka semakin cepat pula tercapainya status resistensi. Wood dan Mani (1981) mengemukakan bahwa bila gen R dominan maka resistensi semakin cepat

tercapai dibanding dengan bila gen R intermediate atau resesif. Demikian pula bila

gen R intermediate , resistensi akan lebih cepat tercapai dari pada bila gen R resesif.

Faktor ekologi yang penting dalam mempengaruhi laju resistensi adalah tingkah laku isolasi, migrasi dan mobilitas dari individu-individu yang bersifat rentan (WHO, 1975). Faktor fisiologi dan biokimia sangat berpengaruh terhadap laju resistensi suatu populasi serangga. Kecepatan menghasilkan keturunan merupakan faktor yang penting, semakin besar jumlah generasi per tahun yang dihasilkan maka makin cepat terjadi evolusi resistensi.

Anopheles stephensi di Irak hanya membutuhkan waktu selama sekali

perlakuan dengan DDT untuk menjadi resistensi terhadap DDT. Spesies yang sama di Arab Saudi membutuhkan waktu 5 tahun untuk menjadi resistensi terhadap DDT

(Davidson, 1958). Culex pipiens pipiens setelah mengalami kontak selama 40

generasi, toleransinya meningkat 100 kali semula (RF = 100), sedang bila kontak

dengan triprene selama 27 generasi RF nya hanya 10 (WHO, 1980). RF (resistance

factor (Wood, 1981)atau resistance ratio (Brown dan Pal, 1971) adalah rasio antara

KL50 atau KL90 dari satu spesies yang telah mengalamai seleksi dengan KL50 atau

KL90 dari populasinya yang normal.

Status dan ukuran kerentanan serangga terhadap insektisida dapat diukur

dengan uji kerentanan (Susceptibility). Uji ini didasarkan atas kontak serangga

dengan insektisida yang menghasilkan respon berupa kematian. Status kerentanan dapat dilihat dari hasil kontak selama periode waktu tertentu, misalnya satu jam dengan masa pengamatan 24 jam (WHO, 1975; Dit. Jen. PPM & PLP, 1986).


(27)

jurkan untuk menggunakan dosis diagnosa tentative yang besarnya tergantung pada spesies, jenis insektisida dan stadium hidup serangganya. Untuk menentukan status

kerentanan nyamuk A. aegypti dewasa terhadap malation dengan konsentrasi 5%.

Pelacakan untuk mengetahui timbulnya galur serangga yang resistensi perlu dilakukan di berbagai tempat secara periodik. Hal ini disebabkan karena waktu timbulnya resistensi tidak dapat diduga dengan tepat sebab tergantung pada tempat, waktu, spesies serangga sasaran, dan insektisida yang digunakan. Faktor-faktor seperti suhu, kelembaban nisbi, umur, jenis kelamin, dan berat badan

mempengaruhi kerentanan serangga terhadap insektisida (Bainbridge et al. 1982).

Brown dan Pal (1971), mengatakan bahwa hingga akhir dekade enam puluhan,

belum ada laporan adanya galur A. aegypti yang resisten terhadap senyawa OP.

Tetapi WHO (1980) telah mencatat adanya galur spesies ini yang resisten terhadap senyawa OP seperti malathion, temephos dan fenitrithion di Kepulauan Karibia, malation di India, Malaysia, Thailand dan Vietnam.

Masalah resistensi sudah dilaporkan di beberapa wilayah Indonesia seperti

Jakarta, Yogyakara, Surabaya dan Palembang menunjukkan populasi nyamuk A.

aegypti asal Jakarta dan Surabaya, dengan kematian 92,8% dan 91% sudah mulai

toleran terhadap malation (Soekirno et al, 1990). Di wilayah Jabotabek, populasi A.

aegypti dari Jakarta Pusat telah resisten terhadap malation 5%, populasi dari Bogor

dan Tangerang masih rentan sedangkan populasi dari Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, dan Kota Bekasi telah toleran terhadap insektisida

organophosphat dan pyretroid (Shinta et al, 2006). Seperti halnya di wilayah

endemik Kel. Duren Sawit Jakarta Timur penggunaan insektisida malation dengan konsentrasi 0,8% dan 5% belum terindikasi resisten, tetapi menuju ke arah toleran (Marisa. 2007).

Di Yogyakarta dari 14 kelurahan (8 kecamatan) nyamuk A.aegypti masih

rentan (RR) sebesar 96,7% dan 3,3% (RS) toleran terhadap insektisida piretroid, di Kab. Bantul dari 14 kelurahan (9 kecamatan), beragam status resistensinya terhadap insektisida organofosfat dengan mekanisme peningkatan aktivitas enzim esterase

non - spesifik (Mardihusodo, 1995). Sementara populasi nyamuk A. aegypti di

Kota Bandung belum terjadi resistensi oleh insektisda malation (Sulianti et al,


(28)

Resistensi di Brazil dilaporkan oleh Lima et al, (2003) adanya tanda-tanda

resistensi larva dan dewasa A. aegypti terhadap beberapa jenis insektisida, sampel

diambil dari 10 kota di Rio de Janeiro dan Espirito Santo, delapan kota yang resisten terhadap temefos (0,012 mg/L), dengan tingkat mortalitasnya adalah 23,5% - 74%.

Menurut Dep. Kes R.I (1986), macam-macam resisten yang terjadi pada serangga yang disebabkan oleh insektisida adalah; 1) Resistensi fisiologis

(physiological resistance), resisten yang disebabkan oleh mekanisme fisiologis

suatu gen sehingga menurun dimana populasi nyamuk sebagai mahluk hidup akan mengadakan reaksi akibat adanya tekanan racun serangga, dengan cara menghasilkan enzym untuk menawarkan daya racun serangga, mengikat racun serangga dalam jaringan lemak, memblokir racun serangga dalam tubuh, atau segera mengeluarkan racun serangga dari dalam tubuhnya; 2) resistensi perilaku

(behaviouristic resistance). resisten yang disebabkan oleh kepekaan terhadap

adanya rangsangan dari racun serangga yang menyebabkan nyamuk menghindari kontak dengan racun tersebut sehingga yang sensitif akan hidup dan kurang sensitif

akan mati; 3) resistensi bersifat toleransi (toleransi resistance), resisten bukan

karena faktor genetik, karena variasi musiman seperti bentuk yang lebih besar, kutikula menebal, kenaikan kandungan lemak, sehingga konsentrasi insektisida tidak cukup untuk mematikannya; 4) resistensi terhadap kelompok insektisida yang

sama (cross resistance), kekebalan yang terjadi pada racun serangga lain dalam

kelompok yang sama, misalnya penyemprotan dieldrin menyebabkan serangga kebal terhadap DDT atau gamexane.

2.4. Penyakit Demam Berdarah

Penyakit demam berdarah merupakan masalah kesehatan di Asia Tenggara sejak tahun 1950. Kasus penyakit demam berdarah pertama kali dilaporkan di Filipina tahun 1954, kemudian Thailand 1958, Singapura 1960, Vietnam 1961,

Malaysia 1962, India 1963 dan Indonesia 1968 (Kho et al, 1969; Hammon, 1973).

Hsiech et al. (1982) melaporkan bahwa demam berdarah dengue merupakan

masalah yang sangat serius di Asia Tenggara. Pada tahun 1981 terjadi wabah di


(29)

1988 terjadi wabah yang disebabkan oleh virus dengan tipe 1, dengan jumlah kasus sebanyak 10,420 orang, Di Taiwan virus tipe 1 ini telah diketahui sejak tahun 1945.

Penyakit demam berdarah adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengan tipe 1, 2, 3 dan 4 yang ditandai dengan demam mendadak 2 sampai 7 hari, lemah atau lesu disertai tanda pendarahan di kulit berupa bintik-bintik kadang-kadang mimisan, muntah darah, berak darah, kesadaran menurun atau shock (Krupp dan Chatton, 1976; Soedarmo, 1988; WHO, 1986).

Virus dengue memperbanyak diri dan menyebar ke seluruh tubuh nyamuk,

termasuk ke kelenjar liurnya, virus dengue ini dapat dibedakan dalam tipe 1, 2, 3

dan 4 (Jawetz, 1982; Kettle, 1984). Infeksi virus ini pada manusia mengakibatkan suatu manifestasi klinis yang bervariasi (WHO, 1986) yaitu : a) Demam Dengue

(Dengue klasik atau “Silent Dengue Infection”); b) Demam berdarah dengue

(“Dengue Haemorragic Fever”); dan c)Dengue dengan renjatan (“Dengue Shock

Syndrome DSS”). Orang yang terinfeksi virus dengue, tidak semuanya akan sakit

demam berdarah dengue. Ada yang menderita demam ringan yang akan sembuh dengan sendirinya atau bahkan ada yang sama sekali tanpa gejala sakit, tetapi

semuanya merupakan pembawa virus dengue selama kurang lebih tujuh hari

sehingga dapat menularkan kepada orang lain di berbagai wilayah yang ada nyamuk penularnya (Ramalingam, 1974).

Di Indonesia kasus demam berdarah ditemukan pertama kali pada tahun 1968 di Surabaya dan Jakarta dan dari tahun ke tahun ada kecenderungan peningkatan kasus. Dalam tahun 1988 diketahui ada 47,573 orang penderita dan sebanyak 1,527 orang meninggal atau 3,2 % (Suroso, 1991). Seluruh wilayah mempunyai resiko

untuk kejangkitan penyakit demam berdarah dengue, namum tempat yang potensial

bagi penyebaran penyakit adalah rumah-rumah maupun tempat-tempat umum, kecuali yang ketinggiannya lebih dari 1000 meter dari permukaan laut. Semua tipe virus penyebab demam berdarah telah diisolasi di Indonesia (Suharyono, 1990).

Nyamuk A. aegypti sebagai vektor utama penyakit demam berdarah tersebar

luas di seluruh Indonesia. Meskipun nyamuk ini banyak ditemukan di daerah perkotaan yang padat penduduk, namun ditemukan juga di daerah pedesaan. Faktor lingkungan fisik yang penting dalam mempengaruhi endemisitas penyakit demam


(30)

Kelembaban udara akan mempengaruhi umur nyamuk. Nyamuk A. aegypti hanya dapat menularkan penyakit demam berdarah bila umurnya lebih dari sepuluh

hari, karena masa inkubasi ekstrinsik virus dengue di dalam tubuh nyamuk antara

delapan sampai sepuluh hari. Disamping itu faktor curah hujan akan menambah genangan air sebagai tempat perindukan, dengan demikian populasi vektor akan bertambah dan kemungkinan terjadinya penularan penyakit demam berdarah lebih besar lagi (Soedarmo, 1988; Dit.Jen. PPM & PLP, 1990).

Di Kota Surabaya, dilaporkan angka kesakitan dan angka kematian penyakit demam berdarah oleh Subdin P2M Dinas Kesehatan Kota dari tahun 2005-2008 seperti lokasi dengan kasus tinggi di Kecamatan Sawahan, tahun 2005 (CFR =2,01%) dan tahun 2007 (CFR =1,92%) sedangkan di Kecamatan Tambaksari secara berurutan angka CFR adalah 2,20%, 1,06%, 0,85% dan 0,79%. Pada lokasi kasus sedang di wilayah Wiyung, tahun 2007 (CFR =1,37%) dan tahun 2008 (CFR =1,78%). Pada Wilayah Wonocolo, tahun 2005 angka (CFR =3,57%). Sementara diwilayah Bulak, tahun 2005 (CFR = 2,94%), tahun 2006 (CFR=1,88%), dan tahun 2008 (CFR = 5,26%) pada (Lampiran 3). Gambaran kasus penyakit demam berdarah oleh Subdin P2M Dinas Kesehatan Kota Surabaya Tahun 2005-2008 ditunjukkan pada Tabel 1.

2.5. Biologi Aedes aegypti

Siklus hidup vektor yang berperan dalam penularan demam berdarah dengue

adalah nyamuk family Culicidae, subfamily Culicinae, genus Aedes spesies aegypti

(Gubler et al. 1978). Nyamuk ini mengalami metamorfosis sempurna

(holometabola) ditunjukkan pada Gambar 1 berikut :

Telur Larva Pupa Dewasa


(31)

Tabel 1 Insiden dan Case Fatality Rate Demam Berdarah di Kota Surabaya Tahun 2005-2008

No Kecamatan 2005 2006 2007 2008

Kasus CFR Kasus CFR Kasus CFR Kasus CFR

1 Sukomanunggal 86 1,16 163 0 115 1,74 88 1,14

2 Tandes 93 2,15 206 0,97 164 0,61 133 0,75

3 Asemrowo 35 0 66 0 51 0 46 0

4 Benowo 29 0 52 0 62 0 27 0

5 Pakal 26 0 31 0 33 0 31 0

6 Lakarsanti 29 0 41 0 88 0 60 0

7 Sambi Kerep 46 0 71 0 88 0 50 0

8 Genteng 134 0 122 0 67 0 68 0

9 Tegalsari 86 1,16 128 2,34 152 0 41 0

10 Bubutan 93 1,07 150 0,67 147 0,68 68 0

11 Simokerto 122 0,82 118 0,53 76 1,32 58 1,72

12 Pab. Cantikan 61 1,64 119 0 90 1,11 55 0

13 Semampir 178 1,12 181 0.55 124 0.81 140 0.71

14 Krembangan 154 1,30 235 0.42 128 1.56 85 1.18

15 Kenjeran 124 0,81 122 0 129 0.76 80 0

16 Bulak 34 2,94 53 1,88 20 0 19 5,26

17 Tambaksari 227 2,20 378 1,06 236 0,85 127 0,79

18 Gubeng 122 0,82 208 0,48 146 0 80 0

19 Rungkut 70 1,43 152 0 147 0,68 117 0,85

20 Teng. Mejoyo 40 0 122 1.64 87 1.15 83 0

21 G. Anyar 58 0 82 0 58 1.72 74 0

22 Sukolilo 53 1,89 147 0,68 95 1,05 71 1,41

23 Mulyorejo 57 3,51 88 0 83 0 58 0

24 Sawahan 199 2,01 320 0 208 1,92 159 0

25 Wonokromo 74 1,35 232 1.29 95 2,10 60 0

26 Krg.pilang 55 0 85 0 102 0.98 59 0

27 Dukuh Pakis 66 0 71 0 100 0 52 0

28 Wiyung 60 0 122 0 73 1,37 56 1,79

29 Gayungan 39 2,56 108 0,93 68 0 40 2,50

30 Wonocolo 84 3,57 129 0 101 0 47 0

31 Jambangan 32 3,12 85 0 81 1,23 37 0

Jumlah 2568 4187 3214 2169

Sumber : Dinas Kesehatan Kota Surabaya. Subdin P2M

Tahap Telur. Telur A. aegypti berbentuk ellips atau oval memanjang, warna

hitam, ukuran 0,5 – 0,8 mm, permukaan polygonal, tidak memiliki alat pelampung

dan diletakkan satu per satu pada benda – benda yang terapung atau pada dinding bagian dalam tempat penampungan air (TPA) yang berbatasan langsung dengan air. Dilaporkan bahwa dari telur yang lepas, sebanyak 85% melekat di dinding TPA, sedangkan 15% lainnya jatuh ke permukaan air .


(32)

Tahap Larva. Larva nyamuk A. aegypti tubuhnya memanjang dan tanpa kaki

dengan bulu – bulu sederhana yang tersusun bilateral simetris. Ciri utama larva A.

aegypti adalah bentuk siphon oval agak gemuk dan berwarna kecoklatan. Larva ini

dalam pertumbuhan dan perkembangannya mengalami empat kali pergantian kulit

(ecdysis), dan larva yang terbentuk berturut – turut disebut larva instar I, II, III dan

IV .

Tahap Pupa. Pupa nyamuk A. aegypti bentuk tubuhnya bengkok, dengan

bagian kepala – dada (cephalothorax) lebih besar bila dibandingkan dengan bagian

perutnya, sehingga tampak seperti tanda baca “koma”. Pada bagian punggung

(dorsal) dada terdapat alat bernafas seperti terompet. Pada ruas perut ke-8 terdapat

sepasang alat pengayuh yang berguna untuk berenang. Alat pengayuh tersebut berjumbai panjang dan bulu di nomer 7 pada ruas perut ke-8 tidak bercabang. Pupa adalah bentuk tidak makan, tampak gerakannya lebih lincah bila dibandingkan

dengan larva. Waktu istirahat posisi pupa sejajar dengan bidang permukaan air.

Tahap Dewasa. Nyamuk A. aegypti tubuhnya tersusun dari tiga bagian, yaitu kepala, dada dan perut. Pada bagian kepala terdapat sepasang mata majemuk dan

antena yang berbulu. Alat mulut nyamuk betina tipe penusuk – penghisap (piercing

– sucking) dan termasuk lebih menyukai manusia (anthropophagus), sedangkan

nyamuk jantan bagian mulut lebih lemah sehingga tidak mampu menembus kulit

manusia, karena itu tergolong lebih menyukai cairan tumbuhan (phytophagus).

Nyamuk betina mempunyai antena tipe-pilose, sedangkan nyamuk jantan tipe mulut

plumose.

Dada nyamuk ini tersusun dari 3 ruas, prothorax, mesothorax dan metathorax.

Setiap ruas dada ada sepasang kaki yang terdiri dari femur (paha), tibia (betis) dan

tarsus (tampak). Pada ruas – ruas kaki ada gelang – gelang putih, tetapi pada bagian

tibia kaki belakang tidak ada gelang putih. Pada bagian dada juga terdapat sepasang

sayap tanpa noda – noda hitam. Bagian punggung (mesonotum) ada gambaran garis

– garis putih yang dapat dipakai untuk membedakan dengan jenis lain.

Perut terdiri dari 8 ruas dan pada ruas-ruas tersebut bintik-bintik putih. Waktu

istirahat posisi nyamuk A. aegypti, tubuhnya sejajar dengan bidang permukaan yang


(33)

Gambar 2 Ciri-ciri diagnostik untuk membedakan beberapa jenis nyamuk Aedes yang penting di bidang kesehatan (Taboada, 1967).

Morfologi Larva. Larva A. aegypti tubuhnya memanjang tanpa kaki dengan bulu – bulu sederhana yang tersusun bilateral simetris. Larva ini dalam pertumbuhan dan perkembangan mengalami 4 (empat) kali pergantian kulit

(ecdysis), dan larva yang terbentuk berturut-turut disebut larva instar I, II, III, dan

IV sebagai berikut (Soegijanto, 2003):

Larva instar I memiliki ciri-ciri tubuhnya sangat kecil, warna transparan,

panjang 1 – 2 mm, duri-duri (spinae) pada dada (thorax) belum begitu jelas, dan

corong pernafasan (siphon) belum menghitam.

Larva instar II memiliki ciri-ciri tubuhnya tambah besar, ukuran 2,5 – 3,8 mm, duri belum jelas, dan corong pernafasan sudah berwarna hitam.

Larva instar III Pada stadium ini telah memasuki siklus perkembangan larva menjadi pupa atau berumur sekitar 4 hari.

Larva instar IV Memiliki ukuran tubuh 5 mm dan telah lengkap struktur

anatominya, tubuh dibagi menjadi bagian kepala (chepal), dada (thorax), dan perut


(34)

Pada bagian kepala terdapat sepasang mata majemuk, sepasang antenna tanpa

duri-duri, dan alat-alat mulut tipe pengunyah (chewing). Bagian dada tampak paling

besar dan terdapat bulu-bulu yang simetris. Perut tersusun atas 8 ruas. Ruas perut ke-8, ada alat untuk bernafas yang disebut corong pernafasan. Corong pernafasan

tanpa duri-duri, berwarna hitam, dan ada seberkas bulu-bulu (tuft). Ruas ke-8 juga

dilengkapi dengan seberkas bulu-bulu sikat (brush) di bagian ventral dan gigi-gigi

sisir (comb) yang berjumlah 15 -19 gigi yang tersusun dalam 1 (satu) baris.

Gigi-gigi sisir dengan lekukan yang jelas membentuk gerigi. Larva ini tubuhnya langsing dan bergerak sangat lincah, bersifat fototaksis negatif, dan waktu istirahat membentuk sudut hampir tegak lurus dengan bidang permukaan air.

Lamanya perkembangan larva akan tergantung pada suhu, ketersediaan makanan, dan kepadatan larva pada sarang. Habitat alami larva jarang ditemukan, tetapi dapat mencakup lubang pohon, pangkal daun, dan tempurung kelapa. Di daerah yang yang panas dan kering, tanki air di atas, tanki penyimpanan air di

tanah, dan septic tank bisa menjadi habitat utama larva. Di wilayah yang persediaan

airnya tidak teratur, penghuni menyimpan air untuk kegunaan rumah tangga sehingga semakin memperbanyak jumlah habitat yang ada untuk larva (WHO. 2004).

Habitat. Tempat berkembang biak larva A. aegypti adalah kontainer buatan yang berada di lingkungan perumahan. Habitat larva buatan manusia yang banyak ditemukan di dalam rumah dan sekitar lingkungan perkotaan (rumah tangga, lokasi pembangunan dan pabrik), misalnya botol minuman, pot bunga, bak mandi, tong kayu dan logam, ban, kaleng, pipa saluran (WHO, 2004).

Soegijanto (2003) melaporkan nyamuk Aedes hanya senang di air yang cukup

bersih dan tidak langsung beralaskan tanah. Tempat perkembangbiakan utamanya ialah tempat penampungan air di dalam atau di sekitar rumah atau tempat-tempat umum biasanya tidak melebihi jarak 100 meter dari rumah . Habitat larva yang alami seperti pada lubang pohon, bambu, ketiak daun, dan tempurung kelapa

merupakan habitat utama larva Aedes .

Agustina (2006), melaporkan bahwa A. aegypti dapat hidup di air

terkontaminasi deterjen dengan perolehan telur tertinggi 2,7 ppm, kaporit dengan konsentrasi 10 ppm ditemukan perolehan telur tertinggi, pada tanah konsentrasi 30


(35)

gm/ml juga memperoleh jumlah telur tertinggi sedangkan air terkontaminasi feses ayam, perolehan telur tertinggi pada konsentrasi 10 gr/ml.

Aktifitas menghisap darah. A. aegypti dewasa betina menghisap darah manusia umumnya pada siang hari yang dilakukan baik di dalam rumah maupun di

luar rumah. Aktifitas menghisap darah pada nyamuk A. aegypti ini memperlihatkan

dua puncak waktu yaitu pukul 08.00 sampai pukul 12.00 dan pukul 15.00 sampai pukul 17.00. Nyamuk ini mempunyai kebiasaan mengisap darah berulang, yaitu aktifitas menghisap darah dilakukan pada beberapa orang dalam waktu singkat secara bergantian. Hal ini disebabkan karena nyamuk ini sangat sensitif dan mudah terganggu. Pada siang hari manusia aktif melakukan pekerjaan dan selalu bergerak, nyamuk belum kenyang darah, orang sudah bergerak lagi maka nyamuk akan terbang untuk menggigit orang lain sampai cukup mendapatkan darah untuk pertumbuhan dan perkembangan telurnya. Keadaan seperti ini sangat membantu nyamuk tersebut dalam transmisi atau memindahkan virus dengue ke beberapa orang (Dit.Jen PPM & PLP, 1990). Perubahan suhu dan kelembaban udara dan angin dapat mempengaruhi aktifitas nyamuk dalam hal menghisap darah (Bruce Chwatt, 1980).

Menurut Marchoux dan Simond (dalam Christopher, 1960) nyamuk A. aegypti

pada suhu 15 0C tidak dapat melakukan aktifitas menghisap darah. Umumnya jarak

terbang A. aegypti sekitar 50 meter (Horsfall, 1955; Dit.Jen. PPM & PLP. 1990)

dengan demikian populasi nyamuk ini penyebarannya akan terpencar – pencar atau

tersebar. Menurut Howard, 1923 (dalam Christopher 1960) pada suhu 13 - 14 0C

nyamuk akan susah terbang dan kakinya akan lemah.

Jangka hidup. Lama hidup A. aegypti ditentukan terutama oleh tinggi rendahnya suhu dan kelembaban udara, persediaan air dan makanan. Makanan di sini darah dan air juga merupakan kebutuhan pokok bagi serangga karena air sangat penting untuk kelangsungan hidupnya (Christopher, 1960).

Gubler et al. (1978) melaporkan bahwa pada suhu 20 0C dan kelembaban 70%

umur nyamuk betina dapat mencapai lebih kurang 100 hari dan nyamuk jantan sekitar 35 hari. Nyamuk yang tidak menghisap darah umurnya lebih pendek

daripada yang menghisap darah. Lama hidup A. aegypti di laboratorium


(36)

nyamuk yang dipelihara pada suhu optimum tanpa diberi makan dapat hidup selama tujuh hari, diberi makan larutan gula dapat hidup sampai 20 hari, dengan pemberian makan susu di campur gula dapat hidup sampai 19 hari, dengan pisang sampai 68 hari, sedangkan diberi makan dengan darah manusia mencapai umur 93 hari.

Dilaporkan oleh Gould et al. (1970) bahwa rata-rata lama hidup nyamuk A.

aegypti dewasa di Malaysia adalah 3 – 6 minggu pada suhu 28 0C dan kelembaban

nisbi antara 80% sampai 90%. Suhu yang tinggi yaitu 35 0C akan mengurangi umur

nyamuk A. aegypti, sedangkan suhu rendah antara 15– 20 0C dengan kelembaban

90% akan memperpanjang lama hidupnya.

2.6. Peranan A. aegypti sebagai vektor penyakit.

Chen et al. (1993) di Taiwan mengatakan bahwa A. albopictus dan A. aegypti

mempunyai kemampuan sebagai virus dengue 1 dan virus ini telah di isolasi dari A.

aegypti yang terdapat di Taiwan sedangkan A. albopictus belum dilakukan (Lien et

at, 1975). Kemudian dilanjutkan pula dengan percobaan menginfeksikan virus

dengue 1 kepada nyamuk A. aegypti dan A. albopictus. Pada hari ke 7 (tujuh)

positif terinfeksi dari 30 ekor A. albopictus dan 30 ekor A. aegypti masing-masing

3,3%. Pada hari ke 35,24% dari 28 A. albopictus positif terinfeksi dan pada hari ke

21 terdapat 100% dari 6 ekor nyamuk A. aegypti positif terinfeksi.

Selain virus dengue A. aegypti dapat pula terinfeksi oleh virus Sinbis. Virus

Sinbis (Sin) adalah suatu alphavirus yang termasuk Famili Togoviridae (Westaway

et al. 1985). Virus Sinbis ini dapat merupakan grup yang penting karena dapat

menyebabkan penyakit ensefalitis pada manusia dan kuda (Jackson dan Johnson, 1987).

2.7. Toksikologi Insektisida.

Toksisitas pada suatu organisme selalu dinyatakan dalam istilah LD50 (lethal

dose) yang berarti jumlah racun per unit berat organisme yang dibutuhkan untuk

membunuh 50% populasi percobaan. Satuan dari LD50 dinyatakan dalam mg

insektisida per Kg berat organisme. Pada kondisi bahan kimia/insektisida digunakan

untuk serangga, maka LD50 dinyatakan dalam mikrogram insektisida per serangga

( μ g/serangga ).

Konsentrasi bahan kimia yang digunakan secara eksternal dapat membunuh


(37)

yang pasti pada serangga tidak dapat ditentukan. Istilah LT50 (lethal time) adalah waktu yang dibutuhkan sehingga menyebabkan kematian 50% hewan percobaan

pada dosis dan konsentrasi tertentu (Perry et al. 1998). Metode ini digunakan ketika

jumlah hewan percobaan terbatas dan sering digunakan pada pengujian lapangan dimana sulit mengumpulkan jumlah serangga yang cukup untuk suatu pengujian.

Pada kasus tertentu digunakan nilai KD50 (knockdown dose) dan KT50 (knockdown

time).

Beberapa cara untuk melakukan pengujian pada serangga dan metode yang paling banyak digunakan adalah aplikasi topikal, karena insektisida dilarutkan dalam pelarut yang relatif tidak toksik seperti aseton dan larutan yang dihasilkan

diteteskan pada permukaan tubuh serangga (Perry et al. 1998). Metode lain yaitu

metode injeksi yang menggunakan jarum suntik yang halus terbuat dari baja tahan

karat 20-30 gauge (diameter 0,41 atau 0,3 mm), yang membutuhkan gelas kecil

untuk wadah insektisida yang dilarutkan dalam propiles glikol atau minyak kacang

tanah dan injeksi dilakukan ke dalam rongga tubuh (intraperitoneal). Metode

pencelupan digunakan ketika aplikasi topical dipandang tidak praktis untuk dilaksanakan.

Pengujian menggunakan metode kontak atau residu dengan cara insektisida

dilarutkan dalam pelarut yang mudah menguap (volatile) kemudian dimasukkan

pada kontainer gelas. Pelarut yang mengandung insektisida tersebut akan menguap dan ditampung dalam kontainer yang diputar-putar sehingga menghasilkan lapisan residu pada dinding gelas. Alternatf lain insektisida ditempatkan pada kertas saring, panel kayu atau jenis material bangunan lainnya dan dibiarkan mengering sebelum dipajankan pada serangga percobaan. Deposit residu insektisida tersebut dinyatakan

sebagai miligram ramuan aktif per meter persegi (mg atau g AI/m2).

Insektisida Organofosfat. Menurut Foley (2005), fungsi sistem syarat adalah perantaraan komunikasi antara sel syaraf dengan sel-sel lain dalam suatu organisme. Komunikasi diawali dengan melepaskan senyawa kimia yang disebut neurotransmiter dari pre sinap sel-sel syaraf. Senyawa ini berdifusi sepanjang sinap

diantara sel-sel syaraf dan sel-sel pengontak (postsynaptic) dan berikatan pada

protein reseptor di dalam membran sel. Ikatan tersebut menstimulasi perubahan


(38)

atau Cl-) yang mengalir sepanjang membran bagian bawah dari gradien konsentrasinya masuk atau keluar dari sel. Gradien konsentrasi ini dapat memicu ataupun menghambat tergantung pada perubahan muatan ion di bagian dalam sel. Pada keadaan absennya neurotransmiter muatan di luar sel menjadi negatif. Pemicu

neurotransmiter oleh sel terjadi melalui aliran ion Na+ dan dilipatgandakan melalui

pembukaan tegangan listrik sensitif pada saluran Na+ disepanjang akson sel-sel

syaraf. Aliran ini membukakan tegangan listrik sensitif saluran Ca2+ pada ujung sel

syaraf. Aliran Ca2+ selanjutnya menstimulasi perbedaan neurotransmiter berikutnya

yang menghasilkan kontraksi otot. Inhibisi neurotransmiter pada sel disebabkan

oleh aliran ion K+ atau ion Cl- yang menghasilkan suatu sel lebih resisten dalam

mendepolarisasika aliran Ca2+.

Asetilkolin adalah suatu neurotransmiter yang menstimulasikan pembukaan

saluran Na+ dan K+ . Asetilkolin memberikan sinyal pada sinap yang diakhiri

melalui suatu enzim asetilkolinesterase (AchE) yang berfungsi mengkatalisis reaksi hidroksil asetilkolin menjadi kolin tidak aktif dan asetat seperti ditunjukkan pada reaski berikut :

AChE

(CH3)NCH2CH2OCOCH3 CH3)3NCh2CH2OH + CH3CO2H

Asetilkolin kolin asam asetat

Enzim AchE merupakan kelompok serin esterase yang mengandung sisi aktif serin (Ser), histidin (His) dan residu asam amino glutamat (Glu) yang bersama-sama mengkatalisis reaksi hidrolisis asetilkolin. Ikatan H antara gugus Glu karboksilat dan N-1 pada histidin meningkatkan kemampuan N-3 His untuk bertindak sebagai basa yang menghilangkan H dari gugus hidroksil Ser. Hal ini menyebabkan oksigen pada Ser merupakan neukleofilik dan mampu menyerang gugus karboksil dari asetilkolin.

Organofosfat bekerja dengan cara menghambat enzim AchE, sehingga enzim ini tidak dapat menghidrolisis Ach. Senyawa orgaonfosfat secara luas telah digunakan menggantikan insektisida organoklorin. Senyawa ini merupakan ester atau derifat amida dari asam fosfat dan merupakan zat toksik untuk serangga maupun vertebrata melalui inhibisi enzim kolinesterase.


(39)

ENZIM-OH + Z-P-(O)(OR)2 ENZIM-O-P(O)(OR)2 + ZH Enzim kolinesterase Senyawa organofosfat enzim terinhibisi

Senyawa organofosfat diproduksi pada suhu tinggi (150 – 200 oC) sehingga

pada umumnya mengandung isomer atau produk samping yang menyebabkan bau tidak enak (Perry et al. 1998).

Gejala keracunan pada serangga mengikuti pola umum dari peracunan syaraf,

misalnya keresahan, hyperexitibility, gemetaran, kejang, lumpuh dan mati. Untuk

mengetahui mekanisme aksi toksik senyawa organofosfat adalah interaksi enzim asetilkoline dengan asetilkolinesterase (AChE). Pertama-tama AChE menghasilkan kompleks E-OH – Ach (Asetilkolin – Enzim) yang merupakan intermediasi antara enzim dengan substrat kompleks tersebut bersifat reversibel yang membentuk asetilase AChE, selanjutnya asetil AChE dihidrolisis kembali menghasilkan AChE (Perry et al. 1998).

Reaksi tersebut sangat cepat sehingga tidak terjadi akumlasi asetilkolin

sepanjang sinap atau pada sambungan neuromuscular. Bagian kolin kemudian

dihilangkan dan asam asetat berkombinasi lagi (dengan bantuan enzim lain) membentuk asetilkolin dan siklus berulang.

Insektisida organofosfat yang diaplikasikan pada serangga bereaksi dengan AChE pada kondisi yang sama. Tahap pertama enzim membentuk kompleks reversibel dengan senyawa organofosfat, kemudian kompleks putus menghasilkan organofosfat dan enzim yang terinhibisi (enzim fosforilate). Inhibisi tersebut menghasilkan fosforilat yang eksistensinya cukup sama dengan tahapan terakhir. Kemudian terjadi hidrolisis dan AChE dibebaskan dengan sebuah residu fosfat (sebagai dimetil asam fosfat). Tahapan hidrolisis tersebut sangat lambat dibanding dengan kondisi normal substrat asetilkolin sehingga enzim tidap dapat berfungsi secara efektif dengan peningkatan asetilkolin yang masuk ke sinap hasil akhir dari aktivitas syaraf. Mekanisme reaksi inhibisi tersebut ditunjukkan pada Gambar 3.

ENZIM –OH++ (CH3)3N+CH2OC(O)CH3ÆENZIM-OH ---(CH3)3N+CH2OC(O)CH3

(CH3)3N+CH2OC(O)CH3 HOC(O)CH3 ENZIM-OC(O)CH3


(40)

ENZIM-OC(O)CH3 = X-P (O)(OR2) Æ ENZIM-OC(O)CH3 ---X-P(O)(OR2)

XH

ENZIM-O-P(O)(OR)2

X-P(O)OR2)

ENZIM-O-P(OR)(OH) Gambar 3 Reaksi enzim asetilkolinesterase (A). dalam keadaan normal

(B). Terinhibisi oleh senyawa organofosfat.

Insektisida Malation. Malation termasuk ke dalam golongan insektisida organofosfat, yang pertama kali dibuat di Jerman pada tahun 1934 oleh Schrader.

Insektisida ini termasuk jenis yang aman bagi mamalia dengan nilai LD50 oral akut

900-5800 mg/kg berat badan mempunyai tekanan uap 1.25 x 10-4 mm Hg pada suhu

20 oC. Malation berwujud cair, tidak berwarna dengan titik didih 156 – 157 oC, larut

dalam hampir semua pelarut organik dan sedikit larut dalam air. Malation memiliki gugus karboksil yang menyebabkan insektisida ini mudah terhidrolisis dalam tubuh mamalia (Matsumura, 1975).

Malation merupakan insektisida organofosfat yang telah digunakan sejak tahun 1950 di Amerika Serikat. Pemakaian malation sebagai insektisida di Amerika Serikat mencapai 30 juta pound per tahun. Malation mulai digunakan di Indonesia

sejak tahun 1972 dengan metode pengasapan (fogging) ( Suroso, 1991 dan Heodojo,

1993). Malation (O,O-dimetyl dithiophosphate of diethyl mercaptosuccinate) adalah insektisida yang digunakan untuk berbagai tanaman sayuran, buah dan lain-lain.

Rumus empirik malation adalah C10H19O6PS2 dengan berat molekul 330,4 (Cox,

2003). Rumus bangun malation (gambar 4).

Gambar 4. Rumus bangun malation (www.google.com) B


(41)

Malation membunuh serangga dengan cara dalam tubuh serangga malation diubah menjadi malaoxon yang menghambat enzim asetilkolinesterase. Tahun 2000 malation diduga sebagai bahan karsinogenik, tetapi tidak cukup berdampak karsinogenik terhadap manusia (Cox, 2003). Toksisitas malation dibagi menjadi empat jenis sesuai dengan dosisnya dan ditunjukkan pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2 Empat kriteria toksisitas malation berdasarkan nilai LD50

Jalur masuk ke dalam tubuh

Toksisitas kuat

Toksisitas sedang

Toksisitas rendah

Toksisitas sangat rendah

Oral (mulut) LD50 -50 mg/kg 50-500 mg/kg 500-5000

mg/kg

>5000 mg/kg

Dermal(kulit) LD50 -200 mg/kg 200-2000

mg/kg

2000-5000 mg/kg

>5000 mg/kg Inhalasi (pernapasan)

LD50


(42)

BAHAN DAN METODE

3.1. Lokasi pengambilan sampel.

Pengambilan sampel larva A. aegypti berasal dari Kota Surabaya. Koleksi

larva dilakukan pada beberapa lokasi berdasarkan tingkat endemisitas yang mempunyai kasus demam berdarah tinggi, kasus demam berdarah sedang dan kasus demam berdarah rendah. Dengan menggunakan kategori berikut :

- Lokasi dengan kasus tinggi ≥100 yang diwakili Kecamatan Tambaksari dan

Sawahan

- Lokasi dengan kasus sedang 50- 99 yang diwakili Kecamatan Wonocolo dan Wiyung

- Lokasi dengan kasus rendah ≤ 49 yang diwakili Kecamatan Bulak dan

Pakal.

Pemilihan lokasi berdasarkan data sekunder Dinas Kesehatan Kota (DKK) mengenai jumlah kasus DBD pertahun di wilayah Kota Surabaya (Lampiran 2) dan merupakan lokasi yang mudah dijangkau serta kepadatan permukiman sangat tinggi.

3.2. Waktu dan Tempat penelitian.

Waktu penelitian di laksanakan pada bulan Juli sampai Desember 2009. Tempat penelitian di Kota Surabaya dilanjutkan di Insektarium Parasitologi dan Entomologi Kesehatan (PEK) – IPB Bogor.

3.3. Alat dan Bahan penelitian.

Perlengkapan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ”WHO

Susceptibility test kit, hygrometer dan termometer, penghitung waktu (timer), gelas

plastik, aspirator, pinset, kapas, karet gelang, handuk (basah), ovitrap, kertas saring, spidol, kandang nyamuk (40x40x60cm), nampan (20x30x5cm), pipet plastik, botol dan kertas perekat (Lampiran 6). Bahan yang digunakan adalah kertas berinsektisida

(impregnated paper) malation 5%, larutan gula, marmut, rebusan ati ayam serta

sejumlah nyamuk A. aegypti yang akan diuji, kira-kira 60 ekor setiap percobaan.

3.4. Metode Penelitian.

Pengadaan Nyamuk untuk uji kerentanan. Larva nyamuk dikumpulkan dari tiga lokasi pada TPA yang berada di dalam maupun luar rumah kemudian diidentifikasi. Larva yang didapat ditampung dalam botol aqua (650 ml) diberi label


(43)

kemudian dikirim ke laboratorium. Pengiriman larva dengan wadah termos es yang diberi kain basah/handuk guna menjaga kelembaban agar larva tidak mati.

Di laboratorium larva dipelihara di dalam nampan plastik (20x30x5 cm) dan diberi makan rebusan ati ayam. Setelah menjadi pupa maka pupa dipindahkan ke dalam gelas plastik, selanjutnya dimasukkan dalam kandang nyamuk (40x40x60 cm), dipelihara sampai menjadi nyamuk dewasa serta di identifikasi untuk memastikan jenisnya.

Nyamuk setelah menjadi dewasa umur 2 – 3 hari, baru diberi makan darah marmut, sebelumnya marmut dicukur bulunya pada bagian punggung setelah itu dimasukkan ke dalam kandang jepit. Disamping itu di dalam kandang nyamuk disediakan larutan air gula 10% ke dalam botol tersebut dimasukkan kapas agar nyamuk dapat menghisap air gula melalui kapas untuk memberi makan nyamuk jantan. Setelah menghisap darah 2-3 hari, dipasang perangkap telur menggunakan ovitrap yang berisi air dan pada bagian tepinya diberi kertas saring secara melingkar sebagai tempat peletakkan telur. Setiap kertas yang telah ada telurnya diambil dan dikeringkan secukupnya dan dipasang kembali kertas saring yang baru.

Setelah telur generasi pertama (F1) terkumpul kemudian dengan cara yang sama telur-telur ditetaskan menurut lokasinya sampai diperoleh nyamuk dewasa generasi ketiga (F3). Nyamuk F3 inilah yang kemudian digunakan untuk uji kerentanan.

Uji kerentanan. Uji kerentanan mempergunakan standar WHO Susceptibility

test kit. Percobaan ini dilakukan berdasarkan kontak nyamuk dewasa dengan

insektisida malation (impregnated paper) dengan konsentrasi 5%, sebagai

pembanding digunakan nyamuk strain Liverpool yang ada di insektarium PEK. Jumlah nyamuk yang digunakan sebanyak 20 ekor tiap lokasi dengan tiga ulangan.

Sebagai kontrol, digunakan 20 ekor nyamuk A.aegypti yang berasal dari ketiga

lokasi yang dikontakkan dengan kertas tanpa insektisida dalam tabung bertanda hijau.

Dua puluh ekor nyamuk betina yang seragam umur dan kondisi perut kenyang air gula diambil dari kandang, menggunakan aspirator kemudian dimasukkan ke

dalam tabung penyimpanan (holding tube) bertanda hijau. Selanjutnya nyamuk di


(44)

dilapisi kertas berinsektisida malation 5% dengan cara meniup pelan-pelan. Nyamuk dibiarkan di dalam tabung kontak selama waktu yang telah ditentukan dengan masa kontak bervariasi yakni 5 menit, 15 menit, 30 menit, 45 menit dan 60 menit. Kematian nyamuk dihitung setelah 24 jam penyimpanan. Selama penyimpanan dijaga suhu dan kelembaban dengan meletakkan handuk basah/kapas basah pada tabung penyimpanan.

Pengamatan. Setelah masa kontak kemudian nyamuk tersebut dipindahkan ke

tabung penyimpanan (holding tube) warna hijau dengan cara ditiup secara perlahan,

selanjutnya di simpan selama 24 jam dan pada bagian atas tabung penyimpanan

(holding tube) diberi kapas yang mengandung larutan air gula 5%. Disimpan pada

kondisi yang baik untuk hidup nyamuk yaitu suhu 27 – 30 ºC dan kelembaban nisbi udara antara 75% sampai 90%. Setelah 24 jam, dari masing-masing tabung diperiksa jumlah kematian nyamuk, dan bila ada dicatat kematiannya.

Penghitungan. Penghitungan hasil percobaan dilakukan setelah 24 jam masa penyimpanan, dihitung jumlah nyamuk yang mati dan yang masih hidup. Nyamuk dinyatakan mati bila sudah tidak mampu bergerak lagi.

Apabila pada kelompok nyamuk pembanding terjadi kematian antara 5 - 20 % maka data harus dilakukan koreksi dengan rumus Abbot yaitu:

% kematian nyamuk uji - % kematian kontrol

--- x 100 % 100 - % kematian kontrol.

Apabila kematian pada nyamuk pembanding lebih besar dari 20% maka harus diuji ulang.

Penentuan Status Kerentanan. Penentunan uji kerentanan dengan masa kontak 60 menit dan pengamatan selama 24 jam dapat dihasilkan tiga golongan populasi nyamuk yaitu 1) resisten, bila kematian nyamuk di bawah 80%; 2) toleran, bila kematian nyamuk antara 80 - 97% dan 3)rentan bila kematian nyamuk antara 98 - 100% (WHO, 1975).

Rancangan Percobaan dan Analisis Data. Percobaan ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan lima perlakuan dan tiga ulangan, kemudian dibuat persamaan regresi antara waktu kontak dengan mortalitas sehingga dapat diketahui status kerentanan terhadap insektisida. Analisis kerentanan tiap-tiap lokasi


(45)

didasarkan pada persentase kematian nyamuk dengan uji statistik regresi dan analisis probit serta uji beda nyata Duncan menggunakan bantuan sofware program

minitab versi 15 dan EFA.

Analisis Hasil Uji Kerentanan Nyamuk. Analisis hasil uji kerentanan nyamuk atau larva dilihat pada gambar garis regresi, bila pada gambar terlihat garis regresi bergeser ke kanan berarti ada perubahan dalam tingkat kerentanan nyamuk (Dep.Kes. R.I. 1986). Untuk membuktikan secara komprehenshif status toleransi

nyamuk A. aegypti terhadap malation dilakukan perhitungan probit untuk

menentukan LT50, LT95 dan rasio resistensi (RR). Setelah LT50, LT95 diperoleh dari

perhitungan probit, maka nilai rasio resistensi (RR) dapat dihitung menggunakan

persamaan berikut ini (Rawlins, 1998., Ponlawat et al, 2005):

LT strain yang diamati RR = --- LT strain pembanding  

   


(46)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Demografi. Letak geografis kota Surabaya berada antara 112° 36¨ dan 112° 54¨ bujur timur serta 07° 12¨ garis lintang selatan dengan luas wilayah 326,37 km² yang terdiri dari 31 kecamatan dan 163 kelurahan. Jumlah penduduk kota Surabaya tahun 2008 adalah 2.866.844 jiwa terdiri dari penduduk laki-laki 1.420.296 jiwa dan penduduk perempuan 1.446.545 jiwa dengan ratio jenis kelamin 98,18 serta kepadatan penduduk 8,784 jum/km.

Kematian nyamuk A. aegypti pada lokasi kasus tinggi terhadap malation 5%

Jumlah kematian nyamuk A. aegypti pada lokasi dengan kasus tinggi terhadap

malation 5% dari hasil pengamatan selama 24 jam dengan suhu antara 27 - 32 ºC secara berturut-turut yakni lama kontak 5 menit (0%), 15 menit (18%), 30 menit (35%), 45 menit (45%) dan lama kontak 60 menit (85%) ditunjukan pada Tabel 3.

Tabel 3 Persentase Kematian nyamuk A. aegypti pada lokasi

kasus tinggi terhadap malation 5%

Berdasarkan analisis statistik (Tabel 3) diperoleh persamaan garis regresi

adalah (Y) = - 6,870 + 1,404 lama kontak (x), angka p-value= 0.000 < α = 0,05,

(X2hitung < X2tabel), dengan nilai R2 = 78,3%, ditunjukkan pada (Gambar 5). Pada

Tabel 3 populasi nyamuk A. aegypti mengalami kematian 50% setelah kontak 60

menit selama pengamatan 24 jam sebesar 85%.

Ulangan Waktu kontak (menit)/(persentase) Kontrol

5 (%) 15 (%) 30 (%) 45 (%) 60 (%)

1 0 (0) 9 (45) 10 (50) 8 (40) 18 (90) 0

2 0 (0) 1 (5) 10 (50) 10 (50) 15 (75) 0

3 0 (0) 1 (5) 1 (5) 9 (45) 18 (90) 0


(1)

74

Lampiran 15. Uji Beda Nyata Duncan Persentase Kematian Nyamuk Lama Kontak 45 menit

Dependent Variable: respon

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 6806.250000 2268.750000 363.00 <.0001

Error 8 50.000000 6.250000

Corrected Total 11 6856.250000

Karena pvalue < 0.0001 <α = 0.05 maka model berpengaruh nyata terhadap persentase kematian nyamuk.

R-Square Coeff Var Root MSE respon Mean 0.992707 2.898551 2.500000 86.25000

99.27% keragaman persentase kematian nyamuk dapat dijelaskan oleh kasus kematian pada lokasi (sedang, rendah, tinggi, strain liverpool) dalam model.

Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F kasus 3 6806.250000 2268.750000 363.00 <.0001

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F kasus 3 6806.250000 2268.750000 363.00 <.0001

Karena pvalue < 0.0001 <α = 0.05 maka kasus kematian(rendah, sedang, tinggi, strain liverpool) berpengaruh nyata terhadap persentase kematian nyamuk pada taraf nyata 5%.

Duncan's Multiple Range Test for respon

Alpha 0.05

Error Degrees of Freedom 8 Error Mean Square 6.25

Number of Mean 2 3 4

Critical Range 4.707 4.905 5.016

Means with the same letter are not significantly different.

Duncan Grouping Mean N Strata/lokasi

A 100.000 3 Strain Liverpool

A 100.000 3 Rendah

A 100.000 3 sedang


(2)

75

Lampiran 16. Uji Beda Nyata Duncan Persentase Kematian Nyamuk Lama Kontak 60 menit

Dependent Variable: respon

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 475.0000000 158.3333333 7.60 0.0100

Error 8 166.6666667 20.8333333

Corrected Total 11 641.6666667

Karena pvalue = 0.0100 <α = 0.05 maka model berpengaruh nyata terhadap persentase kematian nyamuk.

R-Square Coeff Var Root MSE respon Mean 0.740260 4.762805 4.564355 95.83333

74.03% keragaman persentase kematian nyamuk dapat dijelaskan oleh kasus kematian pada lokasi (sedang, rendah, tinggi, strain Liverpool) dalam model.

Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F kasus 3 475.0000000 158.3333333 7.60 0.0100

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F kasus 3 475.0000000 158.3333333 7.60 0.0100

Karena pvalue = 0.0100 <α = 0.05 maka kasus kematian pada lokasi (rendah, sedang, tinggi, strain Liverpool) berpengaruh nyata terhadap persentase kematian nyamuk pada taraf nyata 5%.

Duncan's Multiple Range Test for respon

Alpha 0.05

Error Degrees of Freedom 8

Error Mean Square 20.83333

Number of Mean 2 3 4

Critical Range 8.594 8.956 9.158

Means with the same letter are not significantly different.

Duncan Grouping Mean N Strata/ lokasi

A 100.000 3 Strain Liverpool

A 100.000 3 Rendah

A 98.333 3 sedang


(3)

76 Lampiran. 18. Probit Analysis Program

EPA PROBIT ANALYSIS PROGRAM USED FOR CALCULATING LT/EC VALUES

Version 1.5 LT50 Tinggi

Conc. Number Exposed

Number Resp.

Observed Proportion Responding

Proportion Responding Adjusted for Controls

Predicted Proportion Responding 5.000 60 0 0.0000 0.0000 0.0001

15.000 60 14 0.2333 0.2333 0.2604

30.000 60 57 0.9500 0.9500 0.9072

45.000 60 60 1.0000 1.0000 0.9933

60.000 60 59 0.9833 0.9833 0.9995

Chi - Square for Heterogeneity (calculated) = 12.449 Chi - Square for Heterogeneity (tabular value at 0.05 level) = 7.815

Mu = 1.571038 Sigma = 0.342823

Parameter Estimate Std. Err. 95% Confidence Limits --- Intercept 0.417348 1.153650 ( -3.253567, 4.088264) Slope 2.916958 0.743493 ( 0.551163, 5.282753)

Theoretical Spontaneous Response Rate = 0.0000

Estimated LT/EC Values and Confidence Limits

Point LT/Exposure Conc

95% Confidence Limits

Lower Upper

LT/EC 1.00 5.936 0.003 13.917 LT/EC 5.00 10.165 0.051 19.289 LT/EC 10.00 13.542 0.225 23.260 LT/EC 15.00 16.434 0.607 26.698 LT/EC 50.00 37.242 20.095 96.235 LT/EC 85.00 84.399 49.548 4664.026 LT/EC 90.00 102.424 56.250 12710.669 LT/EC 95.00 136.442 67.342 56744.578 LT/EC 99.00 233.640 92.799 954881.500


(4)

77

EPA PROBIT ANALYSIS PROGRAM USED FOR CALCULATING LT/EC VALUES

Version 1.5 LT50 Sedang

Conc. Number Exposed

Number Resp.

Observed Proportion Responding

Proportion Responding Adjusted for Controls

Predicted Proportion Responding 5.000 60 0 0.0000 0.0000 0.0001

15.000 60 14 0.2333 0.2333 0.2604

30.000 60 57 0.9500 0.9500 0.9072

45.000 60 60 1.0000 1.0000 0.9933

60.000 60 59 0.9833 0.9833 0.9995

Chi - Square for Heterogeneity (calculated) = 33.160 Chi - Square for Heterogeneity (tabular value at 0.05 level) = 7.815

Mu = 1.274442 Sigma = 0.153134

Parameter Estimate Std. Err. 95% Confidence Limits

--- Intercept -3.322405 3.450224 ( -14.301018, 7.656208) Slope 6.530235 2.608107 ( -1.768761, 14.829230)

Theoretical Spontaneous Response Rate = 0.0000

Estimated LT/EC Values and Confidence Limits

Point LT/Exposure Conc

95% Confidence Limits

Lower Upper

LT/EC 1.00 8.283 LT/EC 5.00 10.533 LT/EC 10.00 11.973 LT/EC 15.00 13.054 LT/EC 50.00 18.812 LT/EC 85.00 27.111 LT/EC 90.00 29.560 LT/EC 95.00 33.599 LT/EC 99.00 42.725


(5)

78

EPA PROBIT ANALYSIS PROGRAM USED FOR CALCULATING LT/EC VALUES

Version 1.5

LT50 Kasus Rendah.

Conc. Number Exposed

Number Resp.

Observed Proportion Responding

Proportion Responding Adjusted for Controls

Predicted Proportion Responding 5.000 60 7 0.1167 0.1167 0.1004 15.000 60 40 0.6667 0.6667 0.7023 30.000 60 57 0.9500 0.9500 0.9528 45.000 60 60 1.0000 1.0000 0.9904 60.000 60 60 1.0000 1.0000 0.9976 Chi - Square for Heterogeneity (calculated) = 1.279 Chi - Square for Heterogeneity (tabular value at 0.05 level) = 7.815

Mu = 1.036132 Sigma = 0.263579

Parameter Estimate Std. Err. 95% Confidence Limits ---

Intercept 1.068988 0.438650 ( 0.209235, 1.928742) Slope 3.793928 0.372822 ( 3.063197, 4.524658)

Theoretical Spontaneous Response Rate = 0.0000

Estimated LT/EC Values and Confidence Limits Point LT/Exposure

Conc

95% Confidence Limits

Lower Upper

LT/EC 1.00 2.648 1.740 3.552 LT/EC 5.00 4.005 2.879 5.068 LT/EC 10.00 4.993 3.758 6.140 LT/EC 15.00 5.794 4.491 6.998 LT/EC 50.00 10.868 9.288 12.497 LT/EC 85.00 20.385 17.595 24.362 LT/EC 90.00 23.656 20.197 28.911 LT/EC 95.00 29.491 24.642 37.459 LT/EC 99.00 44.596 35.417 61.526


(6)

79

EPA PROBIT ANALYSIS PROGRAM USED FOR CALCULATING LT/EC VALUES

Version 1.5

LT50 Pembanding (strain Liverpool) Conc. Number

Exposed

Number Resp.

Observed Proportion Responding

Proportion Responding Adjusted for Controls

Predicted Proportion Responding

5.000 60 0 0.0000 0.0000 0.0001

15.000 60 14 0.2333 0.2333 0.2604

30.000 60 57 0.9500 0.9500 0.9072

45.000 60 60 1.0000 1.0000 0.9933

60.000 60 59 0.9833 0.9833 0.9995

Chi - Square for Heterogeneity (calculated) = 0.210 Chi - Square for Heterogeneity (tabular value at 0.05 level) = 7.815

Mu = 1.141469 Sigma = 0.150230

Parameter Estimate Std. Err. 95% Confidence Limits

--- Intercept -2.598170 1.416345 ( -5.374206, 0.177865) Slope 6.656482 1.170132 ( 4.363024, 8.949940)

Theoretical Spontaneous Response Rate = 0.0000 Theoretical Spontaneous Response Rate = 0.0000

Estimated LT/EC Values and Confidence Limits

Point LT/Exposure Conc

95% Confidence Limits

Lower Upper

LT/EC 1.00 6.194 3.705 8.022 LT/EC 5.00 7.841 5.283 9.605 LT/EC 10.00 8.891 6.374 10.589 LT/EC 15.00 9.678 7.228 11.320 LT/EC 50.00 13.851 12.021 15.357 LT/EC 85.00 19.823 17.781 23.422 LT/EC 90.00 21.578 19.142 26.373 LT/EC 95.00 24.467 21.235 31.620 LT/EC 99.00 30.971 25.570 44.833