Tinjauan Hukum Tentang Peralihan Pengawasan Perbankan Dari Bank Indonesia Kepada Otoritas Jasa Keuangan Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan

(1)

OTORITAS JASA KEUANGAN DIHUBUNGKAN DENGAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011

TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN

THE LEGAL VIEW OF BANKING SUPERVISION

TRANSITION FROM BANK INDONESIA TO

THE FINANCIAL SERVICES AUTHORITY CONNECTED TO

UNDANG-UNDANG NUMBER 21 OF YEAR 2011 ABOUT

FINANCIAL SERVICES AUTHORITY

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Pada Ujian Skripsi Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia

Oleh :

Nama : WAHYU SAMSUL HIDAYAT NIM : 3.16.10.005

Program Kekhususan :Hukum Bisnis

Dibawah Bimbingan :

FEBILITA WULAN SARI, S.H., M.H. NIP : 4127.33.00.007

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA

BANDUNG


(2)

LEMBAR PENGESAHAN SURAT PERNYATAAN

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 9

C. Maksud Dan Tujuan ... 9

D. Kegunaan Penelitian ... 10

E. Kerangka Pemikiran ... 11

F. Metode Penelitian ... 19

BAB II BANK INDONESIA DALAM SISTEM PERBANKAN NASIONAL DAN OTORITAS JASA KEUANGAN A. Bank Indonesia Dalam Sisitem Perbankan Nasional ... 23

1. Sistem Perbankan Nasional ... 23

2. Ruang Lingkup Bank Indonesia ... 27

3. Status dan Kedudukan Bank Indonesia ... 32

4. Tugas Bank Indonesia ... 35

B. Otoritas Jasa Keuangan ... 48

1. Latar Belakang Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan ... 48

2. Ruang Lingkup Otoritas Jasa Keuangan ... 55

3. Tugas Otoritas Jasa Keuangan ... 68


(3)

BAB III PERALIHAN PENGAWASAN PERBANKAN DARI BANK INDONESIA KEPADA OTORITAS JASA KEUANGAN

A. Aspek Hukum Peralihan Pengawasan Perbankan Dari Bank

Indonesia Kepada Otoritas Jasa Keuangan ... 77

B. Pelaksanaan Pengawasan Perbankan Oleh Otoritas Jasa Keuangan ... 89

BAB IV ANALISIS HUKUM TENTANG PERALIHAN PENGAWASAN PERBANKAN DARI BANK INDONESIA KEPADA OTORITAS JASA KEUANGAN DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN A. Akibat Hukum Terhadap Bank Indonesia Atas Peralihan Pengawasan Perbankan Dari Bank Indonesia Kepada Otoritas Jasa Keuangan Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan ... 92

B. Efektivitas Peranan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Hal Pengawasan Perbankan Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan ... 103

BAB V PENUTUP A. Simpulan ... 108

B. Saran ... 109

DAFTAR PUSTAKA ... 111


(4)

A. Sumber Buku

Adler Haymans Manurung, Otoritas Jasa Keuangan : Pelindung Investor, Adler Manurung Press, Jakarta, 2013.

Adrian Sutedi, Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan, Raih Asa Sukses, Jakarta, 2014.

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana, Jakarta, 2013. Ktut Silvanita, Bank Dan Lembaga Keuangan Lain, Erlangga, Jakarta, 2009. Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti,

Bandung, 2006.

Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern (Berdasarkan Undang-Undang Tahun 1998), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.

Neni Sri Imaniyati, Hukum Perbankan, Fakultas Hukum Unisba, Bandung, 2008.

Otje Salman S. Filsafat Hukum (Perkembangan dan Dinamika Masalah), Refika Aditama, Bandung, 2013.

---, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2013.

Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis Dan Disertasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013.

B. Sumber Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.


(5)

Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

C. Sumber Internet

Http://www.ahmad-rifai-uin.com, Ahmad Rifai, Akibat Hukum.

Http://www.bi.go.id, Unit Khusus Museum Bank Indonesia, Sejarah Bank Indonesia.

Http://www.bismar.wordpress.com, Bismar Nasution, Aspek Hukum Tanggung Jawab Sosial Perusahaan.

Http://www.ekonomi.kompasiana.com, Stehpanie Rebecca Ester, Ironisme OJK: Gagal di Negara Maju, namun Diminati di Indonesia.

http://www.finansialbisnis.com, Adler Haymans Manurung, Aspek Filosofis Arsitektur Perbankan Indonesia.

Http://www.hukumonline.com, NN, Nasionalisasi De Javasche Bank NV. Http://www.id.wikipedia.org, Wikipedia Biografi, Margono Djojohadikusumo. Http://www.lipsus.kontan.co.id, Tim Redaksi, Selamat Datang Wasit Baru

Industri Keuangan.

Http://www.ojk.go.id,Otoritas Jasa Keuangan, Dewan Komisioner.

Http://www.sdchronos.org, The World Business Council of for Sustainable Development, Corporate Social Responsibilty.


(6)

D. Sumber Lain

Deputi Gubernur Bidang Pengawasan, Laporan Serah Terima Pengawasan Mikroprudensial Bank Dari Bank Indonesia Kepada Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia, Jakarta, 2013.

Heru Soepraptomo, Analisis Ekonomi Terhadap Hukum Perbankan, makalah pada pertemuan Ilmiah tentang analisis ekonomi terhadap hukum dalam menyongsong era globalisasi, BPHN-Departemen Kehakiman, Jakarta, 1996

Muliaman D. Hadad, Serah Terima Pengalihan Fungsi, Tugas Dan Wewenang Pengaturan Dan Pengawasan Kegiatan Jasa Keuangan Di Sektor Perbankan Dari Bank Indonesia Kepada Otoritas Jasa Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan, Jakarta, 2013.

Hasil wawancara peneliti dengan Agus M. Staff perpustakaan Bank Indonesia, Kantor Perwakilan Dalam Negeri Bank Indonesia Wilayah VI. Hasil wawancara peneliti dengan Yudi, Staff Bidang Informasi OJK, Kantor

Otoritas Jasa Keuangan Regional 2 Jawa Barat.

Tim Penyusun Pedoman GCG, Prinsip Dasar Pedoman Good Corporate Governance Perbankan Indonesia, Komite Nasional Kebijakan

Governance, Jakarta, 2012.

Siti Sundari, Laporan Kompendium Hukum Bidang Perbankan, Kementerian Hukum dan HAM RI, Jakarta, 2011.


(7)

Assalamu’alaikum wr.wb.

Segala puji serta syukur Peneliti panjatkan kepada Allah S.W.T. yang telah memberikan segala rahmat dan karunia-Nya, shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi besar kita Muhammad S.A.W., bahwa peneliti masih diberikan kesempatan untuk dapat mensyukuri segala nikmat-Nya, berkat taufik dan hidayah-Nya, Peneliti dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul “TINJAUAN HUKUM TENTANG PERALIHAN PENGAWASAN PERBANKAN DARI BANK INDONESIA KEPADA OTORITAS JASA KEUANGAN DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN”.

Peneliti sangat menyadari bahwa dalam pembuatan penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi substansi maupun sistematika pembahasan dan tata bahasa, sehingga kiranya masih banyak yang perlu dipahami dan diperbaiki. Peneliti sangat mengharapkan kritik dan saran yang

insya Allah dengan kritik dan saran tersebut, diharapkan dapat memperbaiki kekurangan dikemudian hari.

Pada proses penyusunan skripsi ini , peneliti mendapatkan bantuan dan dukungan dari banyak pihak, khususnya terimakasih banyak kepada Bapak Wasiman dan Ibu Partiah tercinta selaku kedua Orang Tua Peneliti atas doa dan dukungannya. Peneliti juga mengucapkan banyak terimakasih dengan penuh rasa hormat kepada Ibu Febilita Wulan Sari, S.H.,M.H. selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, pikiran, dan kesabarannya untuk


(8)

membimbing dalam penelitian dan penulisan Skripsi ini, selain itu dalam kesempatan ini Peneliti juga ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Yth. Bapak Dr. Ir. Eddy Soeryanto Soegoto, Msc. selaku Rektor Universitas Komputer Indonesia;

2. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Umi Narimawati, Dra. S.E., M.Si. selaku Wakil Rektor I Universitas Komputer Indonesia;

3. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Ria Ratna Ariawati, S.E., M.S., A.K. selaku Wakil Rektor II Universitas Komputer Indonesia;

4. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Aelina Surya, selaku Wakil Rektor III Universitas Komputer Indonesia;

5. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Mien Rukmini, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

6. Yth. Ibu Hetty Hassanah, S.H., M.H. selaku Ketua Jurusan Ilmu Hukum Universitas Komputer Indonesia;

7. Yth. Ibu Arinita Sandria, S.H., M.Hum. selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

8. Yth. Ibu Febilita Wulan Sari, S.H., M.H. selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

9. Yth. Bapak Dwi Iman Muthaqin, S.H., M.H. selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

10. Yth. Ibu Farida Yulianti, S.H., S.E., M.M. selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

11. Yth. Ibu Yani Brilyani Tapivah, S.H., M.H. selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;


(9)

12. Yth. Ibu Rika Rosilawati, A.Md. selaku Staff Administrasi Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

13. Yth. Bapak Muray selaku Karyawan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

14. Sahabat dan Teman-teman terdekat Peneliti yang tidak dapat disebutkan satu persatu namanya.

Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada Rizki Novri Wibowo, Bibit Supriyadi, dan Sri Lestari atas segala bantuan dan dukungan yang diberikan, kemudian terima kasih kepada Rizqi Vika Aurora tercinta yang selalu medoakan dan memberi semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

Terima kasih juga kepada teman-teman seperjuangan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia yaitu Jajang Supriatna, Rizky Adiputra, Rhamdan Maulana, Widia Magdewijaya, Farhan Aziz, Ricky Haryanto Nugroho, Meiza Soraya Khaerunnisa, Ivan Rynaldi Setiawan, Adek Wahyudin, Arman Marlando, Wiko Putra Dhiarta, Fitria Yanuari, Dian Pratama Sandi, Endang Mukti Aristanti dan Mochamad Baasith Awaludin, serta semua adik tingkat di Fakultas Hukum yang selalu mendukung dan memberi semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

Semoga segala sesuatu dan pengorbanan yang ditujukan dan diberikan baik moril maupun materil kepada peneliti, mendapatkan imbalan yang berlipat ganda dari Allah S.W.T. Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang serta berada dalam perlindungan-Nya.


(10)

Akhir kata Peneliti mengucapkan rasa syukur yang sebesar-besarnya kepada Allah S.W.T., karena atas ijin-Nya Peneliti dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Semoga Skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dan peneliti sendiri.

Wassalammualaikum wr.wb.

Bandung, 17 Agustus 2014


(11)

Data Pribadi

Nama

: Wahyu Samsul Hidayat

Tempat, tanggal Lahir : Poncowarno Kec. Kalirejo

Kab. Lampung Tengah, 12 Januari 1992

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Agama

: Islam

Kewarganegaraan

: Warga Negara Indonesia

Status Perkawinan

: Belum Menikah

Pendidikan Terakhir : SMA Negeri 1 Kalirejo

Alamat

: Jalan Sekeloa Timur No. 25 Bandung

Alamat Orang Tua

: Dusun V Desa Poncowarno Kec. Kalirejo

Kab. Lampung Tengah 34174

Telepon/HP

: 085769545477

E-Mail

: fuzshe@gmail.com

Facebook

: facebook/wahyu.fuzshe

Hobi

: Memancing dan berpetualang.

Riwayat Pendidikan

2010 - sekarang

: Universitas Komputer Indonesia Program Studi Ilmu Hukum (S1)

Strata 1 (sedang ditempuh)

2007 - 2010

: SMA Negeri 1 Kalirejo (Berijazah) Jurusan IPS

2004 - 2007

: SMP Negeri 2 Kalirejo (Berijazah)

1998 - 2004

: SD Negeri 1 Poncowarno (Berijazah)

1996 - 1998

: Taman Kanak-kanak Poncowarno


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perekonomian suatu negara sangat dipengaruhi oleh keberadaan lembaga perbankan, yang merupakan inti dari sistem keuangan di setiap negara. Perekonomian yang baik dapat diwujudkan dengan adanya sistem perbankan yang sehat. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat, badan usaha dan lembaga lainnya dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat atau badan usaha dalam bentuk kredit/pembiayaan dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan di sektor perekonomian.1

Pada umumnya masyarakat menyimpan uang pada bank berdasarkan kepercayaan, dengan harapan bank dapat mengelolanya secara baik dan benar berupa bunga/bagi hasil. Masyarakat kemudian dapat mengambil simpananannya sewaktu-waktu, karena bank mempunyai suatu kewajiban untuk mengembalikan dana milik masyarakat berikut bunga/bagi hasilnya. Sehingga kepercayaan dan perasaan aman masyarakat pada bank dapat terjaga dan terpelihara.

Keberadaan lembaga perbankan dipengaruhi dan bergantung pada kepercayaan masyarakat. Agar kepercayaan dan rasa aman masyarakat dapat terpelihara, dan tujuan pembangunan serta perekonomian dapat berjalan lancar, diperlukan suatu lembaga/institusi/badan yang membina dan mengawasi lembaga perbankan, lembaga tersebut adalah bank sentral.

1

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana, Jakarta, 2013, Hlm. 7


(13)

Bank sentral adalah lembaga negara yang mempunyai wewenang untuk mengeluarkan alat pembayaran yang sah dari suatu negara, merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter, serta mengatur dan mengawasi perbankan.2 Pengawasan dari suatu lembaga yang independen dari pengaruh pemerintah sangat diperlukan dalam dunia perbankan, di Indonesia lembaga tersebut adalah Bank Indonesia (BI).

Bank Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (yang selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Bank Indonesia 2004) adalah lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan Pemerintah dan atau pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang Bank Indonesia 2004.

Berdasarkan Undang-Undang Bank Indonesia 2004, pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas Bank Indonesia. Bank Indonesia dalam melaksanakan tugasnya wajib menolak dan mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak manapun. Pelanggaran terhadap larangan untuk melakukan campur tangan terhadap tugas Bank Indonesia, maupun Dewan Gubernur dan pejabat Bank Indonesia yang tidak menolak campur tangan pihak lain, dikenai ancaman pidana berat dan denda yang besar. Tugas dan kewenangan Bank Indonesia di bidang pengawasan perbankan tersebut meliputi3 :

1. Kewenangan memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu;

2

Ktut Silvanita, Bank Dan Lembaga Keuangan Lain, Erlangga, Jakarta, 2009, Hlm. 70

3

Adrian Sutedi, Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan, Raih Asa Sukses, Jakarta, 2014, Hlm. 8


(14)

2. Kewenangan menetapkan peraturan di bidang perbankan;

3. Kewenangan melakukan pengawasan baik melalui pengawasan secara langsung maupun pengawasan tidak langsung;

4. Kewenangan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan ketentuan perundangan.

Lembaga perbankan merupakan inti dari sistem keuangan dari suatu negara, bank merupakan suatu lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi orang perseorangan, badan-badan usaha swasta, badan-badan usaha milik Negara, bahkan lembaga-lembaga pemerintah menyimpan dana-dana yang dimilikinya. Oleh sebab itu perbankan memainkan peranan yang sangat penting bagi kemajuan suatu bangsa.

Beberapa tahun terakhir ini, terutama setelah terjadi krisis perbankan, perhatian pemerintah di berbagai negara termasuk Indonesia, terhadap kebijakan pengaturan dan pengawasan perbankan semakin besar. Perhatian tersebut antara lain karena semakin didasari arti penting dan peran strategis sektor perbankan dalam suatu perekonomian.4

Pada dunia modern seperti saat ini, peran bank sangat besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara. Hampir semua sektor usaha saat ini dan masa yang akan datang tidak akan lepas dari sektor perbankan bahkan menjadi kebutuhan untuk menjalankan aktivitas keuangan dalam mendukung kelancaran usaha.

Bank Indonesia selaku bank sentral mempunyai peran sangat penting di bidang pengaturan dan pengawasan perbankan, terutama dalam memelihara kestabilan nilai rupiah. Hal tersebut senada dengan tujuan Bank

4


(15)

Indonesia yang tercantum dalam Undang-Undang Bank Indonesia 2004 bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, kemudian untuk mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian.

Bank Indonesia dalam menjaga nilai rupiah memiliki dua tugas penting yang dibebankannya, yaitu tugas dalam menentukan kebijakan mikro seperti pengawasan dan pengaturan bank-bank yang ada di Indonesia dan menentukan kebijakan makro terkait dengan kebijakan moneter dan penangan di saat krisis. Hal itu sesuai dengan apa yang tercantum pada Undang-Undang Bank Indonesia 2004 bahwa untuk mencapai tujuan sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang, Bank Indonesia mempunyai tugas sebagai berikut :

1. menetapkan dan melaksanakan kebijaksanaan moneter; 2. mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; 3. mengatur dan mengawasi Bank.

Tugas mengatur dan mengawasi bank itu penting, tidak saja untuk mendukung kelancaran sistem pembayaran, tetapi juga untuk meningkatkan efektivitas kebijakan moneter dalam mempengaruhi perkembangan ekonomi dan inflansi. Hal ini mengingat lembaga perbankan berfungsi sebagai lembaga kepercayaan masyarakat dalam mobilisasi dana dan penyaluran kredit perbankan ataupun dalam peredaraan uang di dalam perekonomian, baik di tingkat nasional maupun internasional.


(16)

Pada saat Indonesia mengalami krisis keuangan yang terjadi pada tahun 1997-1998, Bank Indonesia dianggap pihak yang paling bertanggung jawab akibat krisis tersebut. Hingga saat ini Bank Indonesia masih dianggap sangat rentan dengan intervensi dari berbagai pihak terutama pemerintah dan pengusaha yang kemungkinan dapat menimbulkan suatu kegagalan terhadap bank. Kegagalan suatu bank, khususnya yang bersifat sistematik akan dapat mengakibatkan terjadinya krisis yang dapat mengganggu kegiatan suatu perekonomian. Hal tersebut serupa dengan suatu lembaga perbankan yang apabila tidak sehat dan tidak dapat berfungsi secara optimal, maka dapat dipastikan akan berakibat pada terganggunya kegiatan perekonomian.5

Sebagian krisis perbankan yang terjadi di berbagai belahan dunia merupakan contoh yang terjadi karena kurangnya independensi lembaga pengatur dan pengawas perbankan dari berbagai tekanan dan intervensi politik maupun pemerintah. Hal tersebut mendorong pendapat bahwa pengaturan dan pengawasan bank sebaiknya memiliki independensi, baik dari pemerintah berupa intervensi politik maupun dari dunia usaha.6

Faktor lain yang juga mendorong menguatnya argumen perlunya independensi pengaturan dan pengawasan bank adalah adanya kecenderungan dalam beberapa terakhir untuk mengeluarkan fungsi pengawasan bank dari bank sentral dan membentuk lembaga tunggal yang independen yang mengatur dan mengawasi seluruh lembaga keuangan (baik bank maupun lembaga keuangan non bank lainnya).

Pendapat para ahli ekonomi yang dikemukakan pada umumnya adalah bahwa pengaturan dan pengawasan bank akan lebih baik dilakukan secara

5

Adrian Sutedi, Op. Cit., Hlm. 36 6


(17)

independen oleh bank sentral, namun banyak pula yang berpendapat bahwa bank merupakan bagian dari lembaga keuangan dengan alasan efisiensi, maka pengaturan dan pengawasan bank sebaiknya digabungkan menjadi satu dengan pengaturan dan pengawasan lembaga keuangan lainnya yang dilakukan oleh satu lembaga independen.7

Hal tersebutlah yang mendorong harus dibentuknya lembaga pengawas perbankan yang bebas dari campur tangan pihak manapun, maka dibentuklah lembaga pengawas di sektor jasa keuangan. Dasar hukum untuk pembentukan lembaga pengawas di sektor Jasa keuangan yang dimaksud adalah Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Bank Indonesia 2004 yang menjelaskan bahwa tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang.

Mengenai hal di atas sempat terjadi perdebatan terhadap munculnya Pasal 34 tersebut, banyak para ahli yang menganggap bahwa pengalihan fungsi pengawasan nantinya akan menghambat stabilitas nilai rupiah dan tingkat efektivitas pengalihan tersebut sangat rendah serta pemborosan dana dan berdampak tidak bermanfaat. Pasal 34 tersebut secara tidak langsung akan membatasi instrumen penting yang dimiliki Bank Indonesia sebagai bank sentral untuk dikemudian harinya.

Fenomenanya dapat dilihat dari contoh kasus yang terjadi di antara lembaga jasa keuangan. Pada akhirnya dibentuk suatu lembaga yang memiliki tugas pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan yang sekarang ini disebut dengan Otoritas Jasa Keuangan. Otoritas Jasa

7


(18)

Keuangan (OJK) merupakan lembaga negara yang dibentuk pada tahun 2011 berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (yang selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan).

Penegasan mengenai tugas Otoritas Jasa Keuangan terdapat pada Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan, yang menyatakan bahwa Otoritas Jasa Keuangan melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap :

1. kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan; 2. kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan

3. kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. Aturan tersebut menjelaskan fungsi Otoritas Jasa Keuangan dalam menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam jasa keuangan. Terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan tersebut maka secara otomatis akan menimbulkan suatu akibat terhadap tugas pengaturan dan pengawasan perbankan yang sebelumnya sudah terlebih dahulu dimiliki oleh Bank Indonesia. Hal tersebut dapat menimbulkan permasalahan baru, contohnya mengenai akibat yang timbul terhadap kewenangan pengawasan perbankan oleh Bank Indonesia setelah dibentuknya Otoritas Jasa Keuangan tersebut.

Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan ini diharapkan dapat melakukan pembagian tugas dengan Bank Indonesia. Bank Indonesia yang juga bertugas mengatur dan mengawasi perbankan, dengan terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan maka akan menimbulkan akibat terhadap tugas Bank Indonesia tersebut. Dapat dikatakan bahwa sebetulnya peran Otoritas Jasa


(19)

Keuangan sebagai lembaga pengawas keuangan ini tak benar-benar baru, di dalamnya terdapat penyatuan wewenang dan kekuasaan beberapa institusi yang sudah ada.

Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan seharusnya dapat mempertimbangkan beberapa alasan, salah satunya adalah terkait fungsi Bank Indonesia. Bank Indonesia yang dulunya diberi tugas mengatur dan mengawasi sektor perbankan pada kenyataannya dianggap belum mampu menjalankan tugasnya dengan maksimal. Keberadaan Bank Indonesia sampai saat ini masih dianggap sangat rentan dengan intervensi dari berbagai pihak terutama pemerintah dan pengusaha. Kondisi ini menjadi dorongan untuk membentuk lembaga pengawas yang lebih independen. Lembaga pengawas perbankan harus bebas dari intervensi dan campur tangan pihak manapun sehingga mampu bekerja secara profesional.

Hubungan antara dua lembaga negara yaitu Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan terkait kewenangan di bidang pengawasan sektor jasa keuangan terutama perbankan masih perlu dikaji lagi karena hal tersebut menyangkut kepentingan umum di bidang perekonomian yang dapat berdampak pada kesejahteraan masyarakat bersama.

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang akan dituangkan dalam bentuk penulisan skripsi yang berjudul : “Tinjauan Hukum Tentang Peralihan Pengawasan Perbankan Dari Bank Indonesia Kepada Otoritas Jasa Keuangan Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan”.


(20)

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, selanjutnya dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana akibat hukum terhadap Bank Indonesia atas peralihan pengawasan perbankan dari Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan ?

2. Bagaimana efektivitas peranan Otoritas Jasa Keuangan dalam hal pengawasan perbankan dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan ?

C. Maksud Dan Tujuan

Peneliti mempunyai maksud dan tujuan atau hal-hal yang ingin dicapai melalui penelitian ini. Maksud dan tujuan itu berupa maksud dan tujuan secara obyektif dan secara subyektif. Adapun maksud dan tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan memahami akibat hukum terhadap Bank Indonesia atas peralihan pengawasan perbankan dari Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan.

2. Untuk mengetahui dan memahami efektivitas peranan Otoritas Jasa Keuangan dalam hal pengawasan perbankan berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.


(21)

D. Kegunaan Penelitian

Penulisan hukum ini diharapkan dapat memperoleh kegunaan, baik secara teoritis maupun praktis. Kegunaan yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Segi Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan bagi peneliti dan dapat memberikan rumusan pemikiran umumnya di bidang ilmu hukum, khususnya di bidang Hukum Perbankan.

2. Segi Praktis

Bagi pembuat peraturan perundang-undangan dan praktisi hukum, hasil penelitian diharapkan dapat menjadi masukan yang berguna dalam membuat kebijakan baru dalam bidang hukum mengenai tugas pengaturan dan pengawasan perbankan. Bagi penulis, seluruh rangkaian kegiatan dan hasil penelitian diharapkan dapat lebih memantapkan penguasaan fungsi dan penerapan keilmuan yang dipelajari selama mengikuti program perkuliahan Ilmu Hukum di Universitas Komputer Indonesia. Bagi perguruan tinggi, hasil penelitian diharapkan dapat menjadi dokumen akademik yang berguna untuk dijadikan acuan bagi sivitas akademika.


(22)

E. Kerangka Pemikiran

Pelaksanaan pembangunan nasional yang bertujuan memajukan kesejahteraan umum sebagaimana tercantum dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu :

“Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan tentang lima sila dari Pancasila. Pancasila secara substansial merupakan konsep luhur dan murni. Luhur karena telah mencerminkan nilai-nilai bangsa yang diwariskan turun temurun dan abstrak. Murni karena kedalaman substansial yang mencangkup beberapa pokok, baik agamis, ekonomis, ketuhanan, sosial, dan budaya yang memiliki corak partikular sehingga Pancasila secara konsep dapat disebut sebagai suatu sistem tentang segala hal, karena secara konseptual seluruh hal yang tertuang dalam sila-sila berkaitan erat dan tidak dapat dipisahkan.8

Tujuan negara Indonesia dirumuskan dengan Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

8

Otje Salman S, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka kembali, Refika Aditama, Bandung, 2013, Hlm. 158


(23)

kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial sedangkan prinsip dasar yang dipegang teguh untuk mencapai tujuan itu adalah dengan menyusun kemerdekaan Indonesia itu dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dan berdasarkan Pancasila. Rumusan dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sekaligus menegaskan beberapa hal, yaitu :

1. Negara Indonesia mempunyai fungsi sekaligus menjadi tujuannya, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan pada kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial;

2. Negara Indonesia berbentuk Republik dan berkedaulatan rakyat; 3. Negara Indonesia mempunyai dasar falsafah Pancasila, yaitu

ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang di pimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Amanat dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 di atas merupakan konsekuensi hukum yang mengharuskan pemerintah tidak hanya melaksanakan tugas pemerintahan saja, melainkan pelayanan hukum melalui pembangunan nasional.


(24)

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa

“Negara Indonesia adalah negara hukum”, maka segala kegiatan yang dilakukan di Negara Indonesia harus sesuai dengan aturan yang berlaku, tidak terkecuali dalam hal pelaksanaan pembangunan dalam kegiatan perekonomian yang menitikberatkan pada perekonomian nasioanal dan kesejahteraan sosial dalam pembangunan. Hal tersebut dijabarkan melalui Pasal 33 ayat (1) dan (4) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi :

“(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”

Berkaitan dengan konsep Welfare State di mana, tujuan negara adalah untuk memberikan kesejahteraan bagi masyarakat seperti konsep yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham yaitu konsep The Greatest Happiness Of The Greatest Number, kesejahteraan menjadi dasar utama bagi kaum masyarakat untuk berbahagia. Salah satu cara yang digunakan untuk mencapai kesejahteraan tersebut dengan dibentuknya Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan. Bank Indonesia sebagai bank sentral yang berwenang mengatur dan mengawasi perbankan di Indonesia, diatur dalam Undang-Undang Bank Indonesia 2004.9

Pada umumnya dalam hukum perbankan dikenal beberapa prinsip perbankan, yaitu10 :

1. prinsip kepercayaan (fiduciary relation principle),

9

Ibid. 10

Neni Sri Imaniyati, Hukum Perbankan, Fakultas Hukum Unisba, Bandung, 2008, Hlm. 28


(25)

2. prinsip kehatihatian (prudential principle), 3. prinsip kerahasiaan (secrecy principle), dan

4. prinsip mengenal nasabah (know how costumer principle).

Pengertian perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara, dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.11 Berdasarkan hal tersebut maka pengertian perbankan menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (yang selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Perbankan 1998) yaitu :

“Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya”.

Berdasarkan pengertian perbankan di atas, maka pengertian bank menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Perbankan 1998 yaitu :

“Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.

Menurut Heru Soepraptomo, sebagai agen dari pembangunan, bank diharapkan dapat memberikan kontribusi pada usaha meningkatkan tabungan nasional, menumbuhkan kegiatan-kegiatan usaha meningkatkan tabungan

11


(26)

nasional, menumbuhkan kegiatan usaha dan meningkatkan alokasi sumber-sumber perekonomian.12

Dari beberapa pengertian bank di atas, maka pemerintah membentuk suatu Bank Sentral yaitu Bank Indonesia, hal tersebut diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Bank Indonesia 2004 yang menyebutkan bahwa :

“(1) Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia.

(2) Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-undang ini.

(3) Bank Indonesia adalah badan hukum berdasarkan undang-undang

ini.”

Pengertian Bank Indonesia di atas selaras dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 20 Undang-Undang Perbankan 1998 yaitu:

“Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang yang berlaku.”

Bank Indonesia dalam API (Arsitektur Perbankan Indonesia) memperkenalkan adanya enam pilar untuk tercapainya sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien guna mencipatakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu pertumbuhan ekonomi nasional. Adapun pilar tersebut sebagai berikut13 :

1. Menciptakan struktur perbankan domestik yang sehat yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dan mendorong pembangunan ekonomi nasional yang berkesinambungan.

12

Heru Soepraptomo, Analisis Ekonomi Terhadap Hukum Perbankan, makalah pada pertemuan Ilmiah tentang analisis ekonomi terhadap hukum dalam menyongsong era globalisasi, BPHN-Departemen Kehakiman, Jakarta, 1996, Hlm. 1

13

Adler Haymans Manurung, Aspek Filosofis Arsitektur Perbankan Indonesia,

http://www.finansialbisnis.com, Diakses Pada Hari Kamis, 14 Agustus 2014, Pukul 14.40 WIB.


(27)

2. Menciptakan sistem pengaturan dan pengawasan bank yang efektif dan mengacu pada standar internasional.

3. Menciptakan industri perbankan yang kuat dan memiliki daya saing yang tinggi serta memiliki ketahanan dalam menghadapi risiko.

4. Menciptakan good corporate governance dalam rangka memperkuat kondisi internal perbankan nasional.

5. Mewujudkan insfrastruktur yang lengkap untuk mendukung terciptanya industri perbankan yang sehat.

6. Mewujudkan pemberdayaan dan perlindungan konsumen jasa perbankan.

Bank Indonesia sebagai Bank Sentral memiliki kewenangan dalam mengatur dan mengawasi bank. Ketentuan mengenai kewenangan tersebut terdapat dalam Pasal 29 ayat (1), dan (2) serta penjelasan Pasal 29 Undang-Undang Perbankan 1998 yaitu :

Pasal 29

“(1) Pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia. (2) Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan

ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian.”

Penjelasan Pasal 29

“Ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)

Yang dimaksud dengan pembinaan dalam ayat (1) ini adalah upaya-upaya yang dilakukan dengan cara menetapkan peraturan yang menyangkut aspek kelembagaan, kepemilikan, pengurusan, kegiatan usaha, pelaporan serta aspek lain yang berhubungan dengan kegiatan operasional bank.

Yang dimaksud dengan pengawasan dalam ayat (1) ini meliputi pengawasan tidak langsung yang terutama dalam bentuk pengawasan


(28)

dini melalui penelitian, analisis, dan evaluasi laporan bank, dan pengawasan langsung dalam bentuk pemeriksaan yang disusul dengan tindakan-tindakan perbaikan.

Sejalan dengan itu, Bank Indonesia diberi wewenang, tanggung jawab, dan kewajiban secara utuh untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap bank dengan menempuh upaya-upaya baik yang bersifat preventif maupun represif.

Di pihak lain, bank wajib memiliki dan menerapkan sistem pengawasan intern dalam rangka menjamin terlaksananya proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan bank yang sesuai dengan prinsip kehati-hatian.

Mengingat bank terutama bekerja dengan dana dari masyarakat yang disimpan pada bank atas dasar kepercayaan, setiap bank perlu terus menjaga kesehatannya dan memelihara kepercayaan masyarakat padanya.”

Kewenangan mengenai tugas Bank Indonesia dalam mengatur dan mengawasi bank juga terdapat dalam ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Bank Indonesia 2004 yang menyebutkan bahwa :

“Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Bank Indonesia mempunyai tugas sebagai berikut:

a. menetapkan dan melaksanakan kebijaksanaan moneter; b. mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; c. mengatur dan mengawasi Bank.”

Kewenangan mengenai tugas Bank Indonesia di bidang pengawasan perbankan tersebut selanjutnya diatur lebih lanjut dalam Pasal 34 Undang-Undang Bank Indonesia 2004 yang menyebutkan bahwa :

“(1)Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang.

(2) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember

2010.”

Berdasarkan ketentuan tersebut maka Pemerintah membentuk lembaga baru yang juga bertugas mengawasi bank, dimana tugas tersebut dapat dialihkan kepada lembaga baru yang dimaksud. Hal tersebut diatur


(29)

dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, yang menjelaskan bahwa :

“(1) Dengan Undang-Undang ini dibentuk OJK.

(2) OJK adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang ini.” Ketentuan mengenai tugas Otoritas Jasa Keuangan mengenai pengaturan dan pengawasan bank diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, yang menyebutkan bahwa :

“OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap : a. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;

b. Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal;

c. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.” Berdasarkan ketentuan yang dikemukakan di atas, maka Otoritas Jasa Keuangan memiliki tugas pengaturan dan pengawasan dibidang perbankan yang juga merupakan salah satu tugas yang dimiliki Bank Indonesia sebagai bank sentral.


(30)

F. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan peneliti dalam menyusun skri

psi ini

adalah sebagai berikut :

1. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis, yaitu metode penelitian yang digunakan dengan cara menggambarkan data dan fakta baik berupa:

a. Data sekunder bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan antara lain :

1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945;

2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;

3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia;

4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang;

5) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan;

b. Data sekunder bahan hukum sekunder berupa doktrin atau pendapat para ahli hukum terkemuka.


(31)

c. Data sekunder bahan hukum tersier berupa bahan-bahan yang di dapat dari majalah, brosur, artikel-artikel, surat kabar dan internet.

Berdasarkan data diatas maka peneliti bertujuan untuk menggambarkan secara lengkap ciri-ciri keadaan, kewenangan lembaga, tugas lembaga dengan memisahkan data yang telah terkumpul untuk kemudian ditafsirkan, digambarkan sejauh mana upaya lembaga jasa keuangan tertinggi dalam melaksanakan kewenangan tugasnya untuk melakukan pengawasan terhadap perbankan.

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan hukum ini yaitu secara yuridis normatif, yaitu hukum dikonsepsikan sebagai norma, asas atau dogma-dogma. Pada penulisan hukum ini, peneliti mencoba melakukan penafsiran hukum gramatikal yaitu penafsiran yang dilakukan dengan cara melihat arti kata pasal dalam undang-undang.

Penafsiran yang dilakukan dengan hukum sosiologis yaitu penafsiran yang dilakukan menghadapi kenyataan bahwa kewenangan dalam melakukan pengawasan perbankan yang tumpang tindih ternyata tidak sesuai lagi dengan tujuan untuk mensejahterakan masyarakat yang seharusnya dijadikan contoh pada saat ini.


(32)

3. Tahap Penelitian

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Penelitian kepustakaan dilakukan untuk memperoleh bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang berhubungan dengan pelaksanaan pengawasan perbankan.

b. Penelitian Lapangan (Field Research)

Penelitian lapangan dilakukan untuk menunjang dan melengkapi studi kepustakaan dengan wawancara.

4. Teknik Pengumpulan Data

Tehnik Pengumpulan Data yang dilakukan peneliti adalah sebagai berikut :

a. Studi Dokumen, yaitu teknik pengumpulan data yang berupa data primer, sekunder dan tersier yang berhubungan dengan permasalahan yang peneliti teliti. b. Wawancara, yaitu mengadakan tanya jawab dengan pihak

Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan dengan cara mempersiapkan pertanyaan terlebih dahulu untuk memperlancar proses wawancara.

5. Metode Analisis Data

Hasil Penelitian dianalisis secara yuridis kualitatif untuk mencapai kepastian hukum, dengan memperhatikan hirarki peraturan perundang-undangan, sehingga ketentuan-ketentuan yang satu tidak bertentangan dengan ketentuan lainnya serta menggali hukum yang tidak tertulis.


(33)

6. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian diambil untuk mendapatkan data yang dibutuhkan dalam penyusunan skripsi ini, yaitu :

a. Perpustakaan

1) Perpustakaan Universitas Komputer Indonesia Jl. Dipati Ukur No.112 Bandung

2) Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Jl. Dipati Ukur No.35 Bandung

3) Perpustakaan Bank Indonesia Jl. Braga 108 Bandung 40111 b. Instansi

1) Bank Indonesia Jl. Braga 108 Bandung 40111

2) Otoritas Jasa Keuangan Jl. Braga 108 Bandung 40111 c. Situs

1) www.bi.go.id 2) www.ojk.go.id

3) www.hukumonline.com 4) www.id.wikipedia.org

5) www.ekonomi.kompasiana.com 6) www.google.com


(34)

ANALISIS HUKUM TENTANG PERALIHAN

PENGAWASAN PERBANKAN DARI BANK INDONESIA

KEPADA OTORITAS JASA KEUANGAN DIHUBUNGKAN

DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011

TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN

A. Akibat Hukum Terhadap Bank Indonesia Atas Peralihan Pengawasan Perbankan Dari Bank Indonesia Kepada Otoritas Jasa Keuangan Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

Akibat hukum adalah akibat dari melakukan suatu tindakan untuk memperoleh suatu akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan atau telah diatur/ditentukan oleh hukum. Tindakan yang dilakukan merupakan tindakan hukum yakni tindakan yang dilakukan guna memperoleh sesuatu akibat yang dikehendaki hukum, akibat hukum yang diperoleh tersebut dapat berupa hak dan kewajiban.

Akibat hukum berupa hak dan kewajiban yang timbul terhadap subyek hukum karena telah ditentukan oleh hukum dan/atau peraturan perundang-undangan terjadi pada kasus peralihan pengawasan perbankan dari Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan. Pada dasarnya kewenangan pengawasan perbankan diamanatkan kepada Bank Indonesia, kewenangan yang dimiliki Bank Indonesia tersebut sebagai Bank Sentral adalah mengatur dan mengawasi bank.


(35)

Ketentuan mengenai kewenangan tersebut terdapat dalam Pasal 29 ayat (1), dan (2) Undang-Undang Perbankan 1998 yaitu :

“(1) Pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia. (2) Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan

ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian.”

Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 29 tersebut kemudian ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 29 Undang-Undang Perbankan 1998 yaitu :

“Yang dimaksud dengan pembinaan dalam ayat (1) ini adalah upaya-upaya yang dilakukan dengan cara menetapkan peraturan yang menyangkut aspek kelembagaan, kepemilikan, pengurusan, kegiatan usaha, pelaporan serta aspek lain yang berhubungan dengan kegiatan operasional bank.

Yang dimaksud dengan pengawasan dalam ayat (1) ini meliputi pengawasan tidak langsung yang terutama dalam bentuk pengawasan dini melalui penelitian, analisis, dan evaluasi laporan bank, dan pengawasan langsung dalam bentuk pemeriksaan yang disusul dengan tindakan-tindakan perbaikan.

Sejalan dengan itu, Bank Indonesia diberi wewenang, tanggung jawab, dan kewajiban secara utuh untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap bank dengan menempuh upaya-upaya baik yang bersifat preventif maupun represif.

Di pihak lain, bank wajib memiliki dan menerapkan sistem pengawasan intern dalam rangka menjamin terlaksananya proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan bank yang sesuai dengan prinsip kehati-hatian.

Mengingat bank terutama bekerja dengan dana dari masyarakat yang disimpan pada bank atas dasar kepercayaan, setiap bank perlu terus menjaga kesehatannya dan memelihara kepercayaan masyarakat padanya.”

Kewenangan Bank Inonesia tersebut tidak terlepas dari ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Bank Indonesia 2004 yang mengatur bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah sangat penting untuk mendukung pembangunan


(36)

ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Bank Indonesia dalam mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah tersebut dapat melakukan aktifitas perbankan yang dianggap perlu, dan dapat dilaksanakan dengan bentuk kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, transparan, serta dapat juga mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah bidang perekonomian.

Kewenangan mengenai tugas Bank Indonesia lainnya terdapat dalam ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Bank Indonesia 2004 yang menyebutkan bahwa :

“Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Bank Indonesia mempunyai tugas sebagai berikut:

a. menetapkan dan melaksanakan kebijaksanaan moneter; b. mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; c. mengatur dan mengawasi Bank.”

Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal ini mempunyai keterkaitan dalam mencapai kestabilan nilai rupiah. Tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter dilakukan Bank Indonesia antara lain melalui pengendalian jumlah uang beredar dan suku bunga. Efektivitas pelaksanaan tugas ini memerlukan dukungan sistem pembayaran yang efisien, cepat, aman, dan handal, yang merupakan sasaran dari pelaksanaan tugas mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Sistem pembayaran yang efisien, cepat, aman, dan handal tersebut memerlukan sistem perbankan yang sehat, yang merupakan sasaran tugas mengatur dan mengawasi Bank. Selanjutnya, sistem perbankan yang sehat akan mendukung pengendalian moneter mengingat pelaksanaan kebijakan moneter terutama dilakukan melalui sistem perbankan.


(37)

Tugas mengatur dan mengawasi bank sesuai Pasal 8 huruf c selanjutnya dipertegas dengan Pasal 24 Undang-Undang Bank Indonesia 2004 yang berbunyi :

“Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c, Bank Indonesia menetapkan peraturan memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari Bank, melaksanakan pengawasan Bank dan mengenakan sanksi terhadap Bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”

Berkaitan dengan bunyi pasal di atas terdapat pengaturan untuk melaksanakan pengawasan bank. Tugas pengawasan tersebut merupakan kewenangan yang paling mendasar yang diperlukan oleh otoritas pengawas bank. Pengawasan bank dilaksanakan melalui pengawasan tidak langsung (off site supervision) yaitu pengawasan yang dilakukan melalui alat pantau seperti laporan berkala yang disampaikan bank, laporan hasil pemeriksaan, dan informasi lainnya. Otoritas pengawas dengan data yang diperoleh melalui alat pantau tersebut, kemudian melakukan penilaian terhadap keadaan usaha dan kesehatan bank.

Pengawasan di atas tersebut selain melalui pengawasan tidak langsung, otoritas pengawas dari Bank Indonesia selaku bank sentral juga melakukan pengawasan secara langsung (on site examination) yang dapat berupa pemeriksaan umum dan pemeriksaan khusus. Pengawasan langsung ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang ketaatan terhadap peraturan yang berlaku serta untuk mengetahui apakah terdapat praktik-praktik yang tidak sehat yang membahayakan kelangsungan usaha bank.

Pengawasan Bank oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 adalah pengawasan langsung dan tidak langsung, yang


(38)

kemudian di perjelas dalam Penjelasan Pasal 27 Undang-Undang Bank Indonesia 2004 yaitu :

“Yang dimaksud dengan pengawasan langsung adalah dalam

bentuk pemeriksaan yang disusul dengan tindakan-tindakan perbaikan.

Yang dimaksud dengan pengawasan tidak langsung terutama dalam bentuk pengawasan dini melalui penelitian, analisis dan

evaluasi laporan Bank.”

Bank Indonesia mewajibkan Bank untuk menyampaikan laporan, keterangan dan penjelasan sesuai dengan tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia untuk melakukan pengawasan dan pemeriksaan bank. Hal ini selaras dengan ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Bank Indonesia 2004 yang menyatakan sebagai berikut :

“(1) Bank Indonesia melakukan pemeriksaan terhadap Bank, baik secara berkala maupun setiap waktu apabila diperlukan.

(2) Apabila diperlukan, pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan terhadap perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait, pihak terafiliasi dan debitur Bank.

(3) Bank dan pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib memberikan kepada pemeriksa :

a. keterangan dan data yang diminta;

b. kesempatan untuk melihat semua pembukuan, dokumen dan sarana fisik yang berkaitan dengan kegiatan usahanya, hal-hal lain yang diperlukan.”

Pengawasan bank tersebut selain dilakukan oleh Bank Indonesia akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, ini telah ditentukan dalam Pasal 34 Undang-Undang Bank Indonesia 2004 yaitu :

“(1) Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang.


(39)

(2) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31

Desember 2010.”

Pasal 34 ayat (1) di atas kemudian diperjelas dalam Penjelasan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Bank Indonesia 2004, yang berbunyi sebagai berikut :

“Lembaga pengawasan jasa keuangan yang akan dibentuk

melakukan pengawasan terhadap Bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat.

Lembaga ini bersifat independen dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar pemerintah dan berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Dalam melakukan tugasnya lembaga ini (supervisory board) melakukan koordinasi dan kerjasama dengan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang akan diatur dalam Undang-undang pembentukan lembaga pengawasan dimaksud.

Lembaga pengawasan ini dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan Bank dengan koordinasi dengan Bank Indonesia dan meminta penjelasan dari Bank Indonesia keterangan dan data makro yang diperlukan.

Berkaitan dengan ketentuan di atas mengenai pengawasan bank, terlihat bahwa ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Bank Indonesia 2004 tersebut dapat menimbulkan suatu akibat hukum. Tugas pengawasan bank yang mulanya dilaksanakan oleh Bank Indonesia selanjutnya akan beralih dan dilaksanakan oleh lembaga pengawas independen baru, apabila lembaga tersebut telah terbentuk berdasarkan undang-undang.

Menurut Pasal 34 Undang-Undang Bank Indonesia 2004, pembentukan lembaga pengawas bank sebagaimana dimaksud di atas akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010. Pada kenyataannya pada tahun lembaga pengawas tersebut baru terbentuk,


(40)

Otoritas Jasa Keuangan terbentuk berdasarkan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan yang diundangkan tanggal 22 November 2011.

Pasal 2 Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan menyatakan bahwa :

“(1) Dengan Undang-Undang ini dibentuk OJK.

(2) OJK adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam

Undang-Undang ini.”

Otoritas Jasa Keuangan merupakan lembaga yang independen, dan bebas dari campur tangan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam ketentuan di atas, yang kemudian dibentuk dengan tujuan tertentu. Pasal 4 Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan menyebutkan bahwa :

“OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:

a. Terselenggara secara teratur, adil, transparan, akuntabel; b. Mampu mewujudkan sistem keuanganyang tumbuh secara

berkelanjutan dan stabil;

c. Mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.” Mengenai fungsi Otoritas Jasa Keuangan itu sendiri telah dijabarkan dalam Pasal 5 Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan yang menyatakan bahwa :

“OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.”

Pengaturan dan pengawasan terintegrasi yang dimaksud di atas selanjutnya diatur lebih rinci dalam Pasal 6 Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan, yaitu :

“OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:


(41)

b. Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan

c. Kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.” Berdasarkan bunyi pasal di atas Otoritas Jasa Keuangan jelas memiliki tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan khususnya di sektor perbankan. Tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan tersebut, secara keseluruhan diatur lebih lanjut dalam Pasal 7 Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan yang berbunyi :

“Untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, OJK mempunyai wewenang :

a. Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi :

1. Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank; dan

2. Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa;

b. Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi :

1. Likudasi, rentabilitas, solvabilitas, kualitas asset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank;

2. Laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank;

3. Sistem informasi debitur:

4. Pengujian kredit (credit testing); dan 5. Standar akuntansi bank;

c. Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank meliputi :

1. Manajemen risiko; 2. Tata kelola bank;

3. Prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan 4. Pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan;

dan


(42)

Ketentuan selanjutnya mengenai tugas pengawasan sektor Jasa Keuangan yang terdapat dalam ketentuan pasal 6 secara keseluruhan diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan, yang menyatakan :

“Untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang :

a. Menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan;

b. Mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif;

c. Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;

d. Memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak tertentu;

e. Melakukan penunjukan pengelola statuter; f. Menetapkan penggunaan pengelola statuter;

g. Menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan

h. Memberikan dan/atau mencabut : 1. Izin usaha;

2. Izin orang perseorangan;

3. Efektifnya pernyataan pendaftaran; 4. Surat tanda terdaftar;

5. Persetujuan melakukan kegiatan usaha; 6. Pengesahan;

7. Persetujuan atau penetapan pembubaran; dan 8. Penetapan lain,

Sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.”

Secara substansial bisa dikatakan bahwa kewenangan Otoritas Jasa Keuangan merupakan amanat konstitusi yang bertujuan agar sektor jasa keuangan berjalan dengan tertib, teratur, adil, transparan, serta akuntabel. Tujuan ini pada akhirnya diharapkan dapat mewujudkan sistem keuangan


(43)

yang stabil dan berkelanjutan. Berdasarkan ketentuan didalam Pasal 34 Undang-Undang Bank Indonesia 2004 beserta penjelasannya dapat dikatakan bahwa Otoritas Jasa Keuangan akan menjalankan tugas pengawasan terhadap bank setelah dibentuk dengan undang-undang.

Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa Otoritas Jasa Keuangan telah terbentuk berdasarkan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan yang diundangkan tanggal 22 November 2011, dan juga telah dijelaskan mengenai tugas pengawasan terhadap sektor perbankan. Berkaitan dengan hal itu maka tugas pengawasan bank dari Bank Indonesia akan beralih kepada Otoritas Jasa Keuangan, namun peralihan tugas pengawasan bank tersebut harus melewati beberapa proses masa transisi.

Tahap pertama masa transisi ini adalah pembentukan struktur Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, setelah itu dilanjutkan dengan proses peralihan tugas pengawasan bank dari Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan dan kemudian yang terakhir adalah acara serah terima pengawasan perbankan dari bank sentral (Bank Indonesia) kepada Otoritas Jasa Keuangan. Pada pertengahan tahun 2012, anggota sekaligus Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan terpilih dan kemudian disahkan oleh Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat, selanjutnya Otoritas Jasa Keuangan mulai melakukan peralihan pengawasan untuk menjadi lembaga pengawas bank independen yang baru.

Peralihan pengawasan tersebut dilakukan berdasarkan dengan Naskah Keputusan Bersama antara Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia yang ditandatangani tanggal 18 Oktober 2013 perihal “Kerjasama dan Koordinasi dalam rangka Mendukung Pelaksanaan Tugas Bank


(44)

Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan”. Keputusan bersama ini merupakan landasan untuk lebih memperlancar dan mengoptimalkan koordinasi pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan baik pada masa transisi maupun dalam pelaksanaan tugas di masa depan (setelah masa transisi).

Selanjutnya untuk melaksanakan amanat Undang-Undang Bank Indonesia 2004 dan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan, maka pada hari Selasa 31 Desember 2013 Bank Indonesia yang diwakili oleh Gubernur Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan yang diwakili oleh Ketua Otoritas Jasa Keuangan melaksanakan upacara penandatanganan Berita Acara Serah Terima (BAST) fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan. Dalam upacara serah terima ini, Bank Indonesia juga menyerahkan Buku Laporan Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia di Bidang pengaturan, perizinan dan pengawasan bank sebagai gambaran pelaksanaan fungsi dan tugas pengawasan bank oleh Bank Indonesia selama ini.

Acara serah terima yang diselenggarakan pada 31 Desember 2013 merupakan momentum penting dan bersejarah, karena sejak acara serah terima tersebut selesai, Otoritas Jasa Keuangan telah resmi beroperasi penuh dalam menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor perbankan. Acara serah terima tersebut merupakan langkah awal dan resmi bagi Otoritas Jasa Keuangan untuk mengemban tugas sebagai lembaga pengawas perbankan, dalam hal ini amanat Pasal 34 Undang-Undang Bank Indonesia 2004 telah terlaksana


(45)

bahwa pengawasan perbankan akan dialihkan kepada lembaga pengawas independen yang dibentuk dengan undang-undang (yaitu Otoritas Jasa Keuangan).

Berdasarakan amanat Pasal 34 Undang-Undang Bank Indonesia 2004 dan upacara penandatanganan Berita Acara Serah Terima (BAST) fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan yang diselenggarakan pada 31 Desember 2013, maka akibat hukum terhadap Bank Indonesia atas peralihan pengawasan perbankan dari Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan adalah gugurnya hak dan kewajiban Bank Indonesia sebagai pengemban tugas pengawasan bank karena suatu keadaan hukum yang telah diatur/ditentukan oleh hukum.

B. Efektivitas Peranan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Hal Pengawasan Perbankan Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

Anthony Allot mengemukakan tentang efektivitas hukum, bahwa hukum akan menjadi efektif jika tujuan keberadaan dan penerapannya dapat mencegah perbuatan-perbuatan yang tidak diinginkan (menghilangkan kekacauan). Hukum yang efektif secara umum dapat membuat apa yang dirancang untuk diwujudkan. Jika suatu kegagalan maka kemungkinan terjadi pembetulan secara mudah, jika terjadi keharusan untuk melaksanakan atau menerapkan hukum dalam suasana baru yang berbeda, hukum akan sanggup menyelesaikannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan itu meliputi substansi hukum, struktur, kultur, dan fasilitasnya. Norma hukum


(46)

dikatakan berhasil atau efektif apabila norma itu ditaati dan dilaksanakan oleh masyarakat, subyek hukum, maupun aparatur penegak hukum itu sendiri. Maksud kata ditaati dan dilaksanakan adalah bahwa norma hukum (perundang-undangan) dalam mencapai keefektifannya tidak terlepas dari suatu peranan oleh masyarakat, subyek hukum, maupun penegak hukum yang telah diatur dalam norma hukum tersebut.

Berkaitan dengan peranan oleh subyek hukum, maupun penegak hukum disini adalah peranan Otoritas Jasa Keuangan (sebagai subyek hukum) dalam hal pengawasan perbankan. Peranan Otoritas Jasa Keuangan dalam hal pengawasan perbankan harus sesuai dengan tujuan dibentuknya lembaga tersebut, sebagaimana telah diamanatkan Pasal 4 Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan, yaitu :

“OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan :

a. terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel; b. mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara

berkelanjutan dan stabil; dan

c. mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.” Pada kenyataannya berdasarkan data yang diperoleh peneliti, pelaksanaan yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan masih belum sesuai dengan tujuan dari amanat dalam Pasal 4 Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan. Masih banyaknya kasus yang terjadi sejak dialihkannya pengawasan perbankan kepada Otoritas Jasa Keuangan, khususnya berkaitan dengan perbankan mengenai pelayanan dan perlindungan konsumen/nasabah secara tidak langsung mengartikan bahwa tujuan dibentuknya lembaga pengawas tersebut masih belum tercapai, walaupun


(47)

peranan Otoritas Jasa Keuangan telah dilaksanakan yakni sebagai lembaga pengawasan perbankan.

Peranan Otoritas Jasa Keuangan dalam hal pengawasan perbankan harus sesuai dengan Pasal 7 Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan, yaitu :

“Untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, OJK mempunyai wewenang :

a. Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi :

1. Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank; dan

2. Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa;

b. Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi :

1. Likudasi, rentabilitas, solvabilitas, kualitas asset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank;

2. Laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank;

3. Sistem informasi debitur;

4. Pengujian kredit (credit testing); dan 5. Standar akuntansi bank;

c. Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank meliputi :

1. Manajemen risiko; 2. Tata kelola bank;

3. Prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan 4. Pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan;

dan


(48)

Pengawasan yang dimaksud dari Pasal 7 di atas, selanjutnya diperjelas dalam Penjelasan Pasal 7 Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan 2011 yang berbunyi :

“Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan, kesehatan, aspek kehati-hatian, dan pemeriksaan bank merupakan lingkup pengaturan dan pengawasan microprudential yang menjadi tugas dan wewenang OJK. Adapun lingkup pengaturan dan pengawasan

macroprudential, yakni pengaturan dan pengawasan selain hal yang diatur dalam pasal ini, merupakan tugas dan wewenang Bank Indonesia. Dalam rangka pengaturan dan pengawasan

macroprudential, OJK membantu Bank Indonesia untuk melakukan himbauan moral (moral suasion) kepada Perbankan.”

Berdasarkan bunyi Pasal 7 Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan dan Penjelasan tersebut, maka peranan Otoritas Jasa Keuangan dalam hal pengawasan perbankan adalah pengawasan terhadap kelembagaan bank, kesehatan bank, aspek kehati-hatian bank, dan pemeriksaan bank. Berkaitan dengan pengawasan tersebut secara keseluruhan, telah jelaskan pada bagian sebelumnya bahwa sejak beralihnya tugas pengawasan dari Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan pada tanggal 31 Desember 2013 hingga saat ini, Otoritas Jasa Keuangan sudah melaksanakan tugas pengawasan terhadap sejumlah bank (yakni sebanyak 1941 bank)48. Pengawasan terhadap bank yang dilakukan tersebut merupakan peranan Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 7 Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan mengenai pengawasan perbankan.

48

Hasil wawancara peneliti dengan Yudi, Staff Bidang Iformasi OJK, Kantor Otoritas Jasa Keuangan Regional 2 Jawa Barat, Pada Hari Senin, 14 Juli 2014, Pukul 12.45 WIB.


(49)

Berkaitan dengan tujuan dibentuknya Otoritas Jasa Keuangan dalam Pasal 4 Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan, kemudian pelaksanaan tugas pengawasan perbankan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana yang ditentukanan dalam Pasal 7 Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan 2011 dan berdasarkan beberapa uraian di atas mengenai teori efektivitas (apabila undang-undang bersangkutan itu dilaksanakan dengan baik dan sesuai dengan tujuan berarti undang-undang tersebut efektif), maka dapat dinyatakan bahwa peranan Otoritas Jasa Keuangan dalam hal pengawasan perbankan dihubungkan dengan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan 2011 belum dapat dikatakan efektif karena tujuan dari dibentuknya Otoritas Jasa Keuangan tidak tercapai.


(50)

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan uraian-uraian di atas pada bab sebelumnya maka dapat diambil simpulan sebagai berikut :

1. Akibat hukum terhadap Bank Indonesia atas peralihan pengawasan perbankan dari Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan adalah gugurnya hak dan kewajiban Bank Indonesia sebagai lembaga pengemban tugas pengawasan bank karena suatu keadaan hukum yang telah diatur/ditentukan oleh hukum, maka kewenangan pengawasan perbankan saat ini ada pada Otoritas Jasa Keuangan.

2. Pengawasan terhadap bank-bank yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan sejak 31 Desember 2013 merupakan peranan Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 7 Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan mengenai pengawasan perbankan, namun masih banyaknya permasalahan yang terjadi sejak dialihkannya pengawasan perbankan dari Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan, khususnya berkaitan dengan perbankan mengenai pelayanan dan perlindungan konsumen/nasabah secara tidak langsung mengartikan bahwa tujuan dibentuknya lembaga pengawas tersebut masih belum tercapai, walaupun peranan Otoritas Jasa Keuangan tersebut telah dilaksanakan yakni sebagai lembaga pengawasan perbankan. Tidak tercapainya tujuan Otoritas Jasa


(51)

Keuangan sesuai dengan amanat Pasal 4 Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan dan berdasarkan beberapa uraian mengenai teori efektivitas bahwa apabila undang-undang bersangkutan itu tidak dilaksanakan dengan baik dan sesuai dengan tujuan berarti undang-undang tersebut tidak efektif, maka dapat dinyatakan bahwa peranan Otoritas Jasa Keuangan dalam hal pengawasan perbankan dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan belum efektif.

B. Saran

1. Sebaiknya Bank Indonesia tetap mempunyai kewenangan yang memungkinkan agar Bank Indonesia memiliki akses secara cepat dan akurat mengenai perbankan, dengan tetap memperhatikan kewenangan pengawasan bank oleh Otoritas Jasa Keuangan demi menunjang fungsinya dalam mewujudkan stabilitas moneter. Kewenangan ini dapat berupa kewenangan untuk melakukan pemeriksaan langsung kepada bank yang hendaknya dituangkan dalam revisi Undang-Undang Perbankan dan Undang-Undang Bank Indonesia berikutnya.

2. Diperlukan koordinasi yang dijalankan dengan sangat baik diantara Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan, serta diperlukan kesepahaman diantara keduanya mengenai tugas dan kewenangannya agar dapat saling menunjang kegiatan masing-masing lembaga ini. Untuk menumbuhkan kesepahaman diantara kedua lembaga ini, Dewan komisioner ex-officio

Otoritas Jasa Keuangan khususnya Nelson Tampubolon, SE, MSM. sebagai Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan merangkap Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan yang berasal dari Bank Indonesia


(52)

harus dapat menyampaikan kebutuhan-kebutuhan Bank Indonesia terhadap informasi perbankan di dalam rapat Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan guna menunjang tugas dan fungsi Bank Indonesia serta untuk meningkatkan peran Otoritas Jasa Keuangan di sektor perbankan (pengawasan bank). Apabila dalam pelaksanaannya nanti kewenangan pengawasan bank oleh Otoritas Jasa Keuangan menghambat fungsi Bank Indonesia dalam mewujudkan stabilitas moneter, maka sebaiknya kewenangan pengawasan bank dikembalikan kepada Bank Indonesia.


(53)

(54)

(55)

OTORITAS JASA KEUANGAN DIHUBUNGKAN DENGAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011

TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN

THE LEGAL VIEW OF BANKING SUPERVISION

TRANSITION FROM BANK INDONESIA TO

THE FINANCIAL SERVICES AUTHORITY CONNECTED TO

UNDANG-UNDANG NUMBER 21 OF YEAR 2011 ABOUT

FINANCIAL SERVICES AUTHORITY

Oleh :

Nama : WAHYU SAMSUL HIDAYAT NIM : 3.16.10.005

Program Kekhususan :Hukum Bisnis Abstrak

Bank Indonesia selaku bank sentral dalam sistem perbankan nasional mempunyai kewenangan di bidang pengaturan dan pengawasan perbankan, namun Pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia mengamanatkan bahwa tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang selambat-lambatnya 31 Desember 2010. Perkembangannya tanggal 27 Oktober 2011 Otoritas Jasa Keuangan terbentuk bersamaan dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, kemudian 31 Desember 2013 kewenangan pengawasan perbankan telah resmi dialihkan kepada Otoritas Jasa Keuangan. Permasalahannya adalah bagaimana akibat hukum terhadap Bank Indonesia atas peralihan pengawasan perbankan dari Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan


(56)

2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Penelitian yang dilakukan peneliti bersifat deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif dan empiris. Data yang dihasilkan dianalisis secara yuridis kualitatif sehingga hirarki peraturan perundang-undangan dapat diperhatikan serta dapat menjamin kepastian hukum.

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis dapat diketahui bahwa akibat hukum terhadap Bank Indonesia atas peralihan pengawasan perbankan dari Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan adalah gugurnya hak dan kewajiban Bank Indonesia sebagai lembaga pengemban tugas pengawasan bank karena suatu keadaan hukum yang telah diatur/ditentukan oleh hukum, maka kewenangan pengawasan perbankan saat ini ada pada Otoritas Jasa Keuangan. Terlaksananya Pengawasan perbankan oleh Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan undang-undang dan berdasarkan beberapa uraian mengenai teori efektivitas bahwa apabila undang-undang bersangkutan itu dilaksanakan dengan baik dan sesuai dengan tujuan berarti undang-undang tersebut efektif, maka dapat dinyatakan bahwa peranan Otoritas Jasa Keuangan dalam hal pengawasan perbankan dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan telah efektif.

Kata Kunci : Pembentukan Lembaga Independen, Peralihan, Pengawasan Perbankan.


(1)

Keuangan 2011 dan berdasarkan beberapa uraian di atas mengenai teori efektivitas (apabila undang-undang bersangkutan itu dilaksanakan dengan baik dan sesuai dengan tujuan berarti undang-undang tersebut efektif), maka dapat dinyatakan bahwa peranan Otoritas Jasa Keuangan dalam hal pengawasan perbankan dihubungkan dengan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan 2011 telah efektif.

Simpulan

Berdasarkan uraian-uraian di atas pada bab sebelumnya maka dapat diambil simpulan sebagai berikut :

1. Akibat hukum terhadap Bank Indonesia atas peralihan pengawasan perbankan dari Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan adalah gugurnya hak dan kewajiban Bank Indonesia sebagai lembaga pengemban tugas pengawasan bank karena suatu keadaan hukum yang telah diatur/ditentukan oleh hukum, maka kewenangan pengawasan perbankan saat ini ada pada Otoritas Jasa Keuangan.

2. Pengawasan terhadap bank-bank yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan sejak 31 Desember 2013 merupakan peranan Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 7 Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan mengenai pengawasan perbankan, namun masih banyaknya permasalahan yang terjadi sejak dialihkannya pengawasan perbankan dari Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan, khususnya berkaitan dengan perbankan mengenai pelayanan dan perlindungan konsumen/nasabah secara tidak langsung mengartikan bahwa tujuan dibentuknya lembaga pengawas tersebut masih belum tercapai, walaupun


(2)

peranan Otoritas Jasa Keuangan tersebut telah dilaksanakan yakni sebagai lembaga pengawasan perbankan. Tidak tercapainya tujuan Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan amanat Pasal 4 Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan dan berdasarkan beberapa uraian mengenai teori efektivitas bahwa apabila undang-undang bersangkutan itu tidak dilaksanakan dengan baik dan sesuai dengan tujuan berarti undang-undang tersebut tidak efektif, maka dapat dinyatakan bahwa peranan Otoritas Jasa Keuangan dalam hal pengawasan perbankan dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan belum efektif.

Saran

1. Sebaiknya Bank Indonesia tetap mempunyai kewenangan yang memungkinkan agar Bank Indonesia memiliki akses secara cepat dan akurat mengenai perbankan, dengan tetap memperhatikan kewenangan pengawasan bank oleh Otoritas Jasa Keuangan demi menunjang fungsinya dalam mewujudkan stabilitas moneter. Kewenangan ini dapat berupa kewenangan untuk melakukan pemeriksaan langsung kepada bank yang hendaknya dituangkan dalam revisi Undang Perbankan dan Undang-Undang Bank Indonesia berikutnya.

2. Diperlukan koordinasi yang dijalankan dengan sangat baik diantara Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan, serta diperlukan kesepahaman diantara keduanya mengenai tugas dan kewenangannya agar dapat saling menunjang kegiatan masing-masing lembaga ini. Untuk menumbuhkan kesepahaman diantara kedua lembaga ini, Dewan komisioner ex-officio Otoritas Jasa Keuangan khususnya Nelson Tampubolon, SE, MSM. sebagai


(3)

Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan merangkap Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan yang berasal dari Bank Indonesia harus dapat menyampaikan kebutuhan-kebutuhan Bank Indonesia terhadap informasi perbankan di dalam rapat Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan guna menunjang tugas dan fungsi Bank Indonesia serta untuk meningkatkan peran Otoritas Jasa Keuangan di sektor perbankan (pengawasan bank). Apabila dalam pelaksanaannya nanti kewenangan pengawasan bank oleh Otoritas Jasa Keuangan menghambat fungsi Bank Indonesia dalam mewujudkan stabilitas moneter, maka sebaiknya kewenangan pengawasan bank dikembalikan kepada Bank Indonesia.

Daftar Pustaka A. Sumber Buku

Adler Haymans Manurung, Otoritas Jasa Keuangan : Pelindung Investor, Adler Manurung Press, Jakarta, 2013.

Adrian Sutedi, Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan, Raih Asa Sukses, Jakarta, 2014.

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana, Jakarta, 2013. Ktut Silvanita, Bank Dan Lembaga Keuangan Lain, Erlangga, Jakarta, 2009. Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti,

Bandung, 2006.

Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern (Berdasarkan Undang-Undang Tahun 1998), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.

Neni Sri Imaniyati, Hukum Perbankan, Fakultas Hukum Unisba, Bandung, 2008.


(4)

Otje Salman S. Filsafat Hukum (Perkembangan dan Dinamika Masalah), Refika Aditama, Bandung, 2013.

---, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2013.

Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis Dan Disertasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013.

B. Sumber Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

C. Sumber Internet

Http://www.ahmad-rifai-uin.com, Ahmad Rifai, Akibat Hukum.

Http://www.bi.go.id, Unit Khusus Museum Bank Indonesia, Sejarah Bank Indonesia.

Http://www.bismar.wordpress.com, Bismar Nasution, Aspek Hukum Tanggung Jawab Sosial Perusahaan.


(5)

Http://www.ekonomi.kompasiana.com, Stehpanie Rebecca Ester, Ironisme OJK: Gagal di Negara Maju, namun Diminati di Indonesia.

http://www.finansialbisnis.com, Adler Haymans Manurung, Aspek Filosofis Arsitektur Perbankan Indonesia.

Http://www.hukumonline.com, NN, Nasionalisasi De Javasche Bank NV. Http://www.id.wikipedia.org, Wikipedia Biografi, Margono Djojohadikusumo. Http://www.lipsus.kontan.co.id, Tim Redaksi, Selamat Datang Wasit Baru

Industri Keuangan.

Http://www.ojk.go.id,Otoritas Jasa Keuangan, Dewan Komisioner.

Http://www.sdchronos.org, The World Business Council of for Sustainable Development, Corporate Social Responsibilty.

D. Sumber Lain

Deputi Gubernur Bidang Pengawasan, Laporan Serah Terima Pengawasan Mikroprudensial Bank Dari Bank Indonesia Kepada Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia, Jakarta, 2013.

Heru Soepraptomo, Analisis Ekonomi Terhadap Hukum Perbankan, makalah pada pertemuan Ilmiah tentang analisis ekonomi terhadap hukum dalam menyongsong era globalisasi, BPHN-Departemen Kehakiman, Jakarta, 1996

Muliaman D. Hadad, Serah Terima Pengalihan Fungsi, Tugas Dan Wewenang Pengaturan Dan Pengawasan Kegiatan Jasa Keuangan Di Sektor Perbankan Dari Bank Indonesia Kepada Otoritas Jasa Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan, Jakarta, 2013.

Hasil wawancara peneliti dengan Agus M. Staff perpustakaan Bank Indonesia, Kantor Perwakilan Dalam Negeri Bank Indonesia Wilayah VI.


(6)

Hasil wawancara peneliti dengan Yudi, Staff Bidang Informasi OJK, Kantor Otoritas Jasa Keuangan Regional 2 Jawa Barat.

Tim Penyusun Pedoman GCG, Prinsip Dasar Pedoman Good Corporate Governance Perbankan Indonesia, Komite Nasional Kebijakan Governance, Jakarta, 2012.

Siti Sundari, Laporan Kompendium Hukum Bidang Perbankan, Kementerian Hukum dan HAM RI, Jakarta, 2011.


Dokumen yang terkait

PENGAWASAN LEMBAGA PERBANKAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN SETELAH DIBERLAKUKANNYA UNDANG-UNDANG NO. 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN

4 28 71

WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN TERHADAP BANK SYARIAH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN

8 98 57

TINJAUAN YURIDIS PERAN OTORITAS JASA KEUANGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN DIHUBUNGKAN DENGAN PERLINDUNGAN TERHADAP INVESTOR PASAR MODAL.

0 3 10

PERLINDUNGAN HUKUM NASABAH PERBANKAN DAN TINJAUAN ASAS KEADILAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN.

0 0 1

KEWENANGAN BANK INDONESIA SETELAH DISAHKAN UNDANG- UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN.

0 0 16

INDEPENDENSI OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM MELAKUKAN PENGAWASAN PERBANKAN DI INDONESIA (BERDASARKAN BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN).

0 0 13

FUNGSI PENGATURAN DAN PENGAWASAN PERBANKAN DI INDONESIA SETELAH DISAHKANNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN.

0 0 14

SISTEM KOORDINASI ANTARA BANK INDONESIA DAN OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGAWASAN BANK SETELAH LAHIRNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN

0 0 8

Kewenangan Bank Indonesia Setelah Disahkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan

0 0 11

SISTEM PENGAWASAN OTORITAS JASA KEUANGAN PADA JASA KEUANGAN SYARI’AH PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Analisis Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan) - Raden Intan Repository

0 0 95